Tag: tambak

  • Dampak Pembuangan Lumpur, Petani Tambak Rugi Ratusan Juta

    suarasurabaya.net – Sebanyak 15 perwakilan petani tambak dari Masyarakat Sidoarjo Kelompok Korban Lumpur di Luar Area Peta Terdampak mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo. Mereka mengaku mengalami kerugian ratusan juta rupiah, dampak dari pembuangan air bercampur lumpur yang dilakukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Rabu (10/12/2014).

    Mereka diterima langsung Ketua dan anggota Panitia Khusus (Pansus) lumpur dalam rapat dengar pendapat di ruang rapat gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo.

    “Pengerjaan pembuangan air lumpur ke aliran sungai Ketapang membuat petampak rugi. Banyak ikan kami mati, sawah juga rusak” kata Basori pada ketua dan anggota Pansus Lumpur, Rabu (10/12/2014).

    Basori mengatakan sungai Ketapang selama ini airnya selalu mengalir ke sejumlah sungai, diantaranya di Desa Penatar Sewu, Desa Sentul, Desa Glagaharum Kecamatan Porong. Nah, sungai-sungai itu juga menjadi sumber air bagi tambak dan sawah yang dikelola warga sekitar

    Para petani petambak mendesak pemerintah memberikan air bersih, sementara BPLS juga dituntut untuk menyediakan tandon air bagi petani tambak.

    “Mau tidak mau tanggul kolam penampungan lumpur lapindo titik 68 dan 73 Desa Kedungbendo Kecamatan harus ditangani dan ditanggul, jangan sampai air lumpur meluber ke tambak dan petani warga sekitar dekat tanggul,” teriak Rohman.

    Sampai berita ini ditampilkan, rapat itu belum menghasilkan solusi bagi petani tambak, terutama mengenai pembahasan pembuangan, penanggulan dan pengerjaan yang dilakukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.(riy/edy)

    Bruriy Susanto

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2014/144540-Dampak-Pembuangan-Lumpur,-Petani-Tambak-Rugi-Ratusan-Juta

  • Kali Porong Tercemar, Produksi Tambak Permisan Menurun Tajam

    tambakkorbanlumpur.info – Pembuangan lumpur ke Kali Porong tidak hanya mengakibatkan pendangkalan. Tambak-tambak yang berada di sekeliling sungai juga terkena dampaknya. Muhammad Erik (23), warga Desa Permisan, Kecamatan Jabon, menuturkan penghasilan tambaknya menurun tajam.

    Seperti sebagian pemuda Desa Permisan lainnya, Erik lebih menggeluti tambak ketimbang pekerjaan lain. Maklum, luas tambak mencapai 90% dari total luas desa dan bertambak menjadi tumpuan hidup warga. Kalau Sidoarjo punya ikon udang dan bandeng, warga Permisan bisa berbangga menjadi salah satu penyumbangnya.

    Erik dan ayahnya Muhammad Kisom (48 tahun) menggarap tambak keluarga mereka seluas tiga hektar. Biasanya mereka memelihara bandeng dengan cara tradisional. Permisan memang cocok untuk tambak karena airnya menyediakan ganggang yang cukup untuk pakan bandeng di tambak mereka. Pakan tambahannya paling banter rumput dan tak perlu biaya banyak untuk mendapatkannya.

    Modal yang paling besar yang mereka keluarkan adalah untuk pembelian nener (bibit bandeng). Untuk tambak mereka biasanya mereka isi 30 rean (satu rean: 5000 ikan), dengan harga dua juta rupiah.

    Bandeng-bandeng ini bisa besar dengan memakan ganggang tanpa menggunakan pakan buatan pabrik dan obat-obatan kimia. “Tidak perlu (obat-obatan), ganggang seharusnya mencukupi untuk kebutuhan pakan bandeng,” kata Erik.

    Setelah empat bulan Erik bisa memanen bandeng-bandengnya. Hasilnya rata-rata satu ton. Biasanya, kalau musim hujan hasilnya lebih baik. Harganya berkisar antara lima belas hingga delapan puluh ribu rupiah per kilogram.

    Pengalaman itu terjadi sebelum adanya bencana lumpur Lapindo, setelah lumpur meluap dan menenggelamkan desa tetangga mereka, Renokenongo. Lumpur seperti mimpi buruk bagi Erik dan petambak-petambak lainnya. Situasinya memburuk, hal ini semakin parah setelah lumpur dialirkan ke laut melalui sungai Porong. Air sungai yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan tambak mulai berubah.

    “Airnya kehijau-hijauan dan baunya jadi banger, menyengat,” jelas Erik.

    Dampak langsungnya kontan dirasakan Erik dan petambak-petambak lainnya, bandeng-bandengnya jadi mudah mati dan yang masih hidup pertumbuhannya lambat. Akibatnya, waktu panennya semakin panjang. “Dulu kita bisa panen tiga kali dalam setahun, sekarang kalau bisa dua kali saja sudah bagus,” tambahnya.

    Belum lagi bobot panennya juga menurun drastis. Sebelum ada lumpur mereka bisa memanen 1 ton kini mereka hanya mampu memanen kurang dari separuhnya.

    Ini belum lagi pasar yang takut membeli bandeng dan udang yang diproduksi dari tambak-tambak dekat lokasi aliran lumpur. Yang paling takut adalah konsumen luar. Menurut situs Walhi, di Eropa yang biasanya memesan 3 kontainer udang dari Sidoarjo perbulannya kini membatalkan pesanan mereka. Konsumen Jepang juga mulai was-was dengan udang impor dari Sidoarjo. [re/mam]

  • Pipa Petrokimia Meledak, Warga Permisan Protes

    korbanlumpur.info – Sabtu (09/27) pukul 04.00 WIB dini hari, warga Desa Permisan, Kecamatan Jabon, dikejutkan sebuah ledakan keras. Ledakan tersebut membuat warga panik. Suara ledakan semacam itu mengingatkan warga pada ledakan pipa gas Pertamina pada 22 November 2006, yang menyebabkan sedikitnya 14 orang tewas, dan tanggul penahan lumpur jebol. Warga Permisan kian heboh begitu menyadari sumber ledakan berasal dari pipa yang dipasang oleh PT Petrokimia.

    M. Basri, Ketua RT 06 / RW 02, menyatakan ledakan itu terdengar hingga ujung Desa Permisan yang bisa mencapai jarak 3 kilometer. “Kencang sekali ledakannya. Sampai semua warga datang ke sini. Warga ini masih trauma dengan lumpur. Eh, sekarang ada ledakan begini.”

    Pemasangan pipa ini sendiri juga diwarnai pro dan kontra. Warga merasa sosialisasi yang didapatkan kurang memadai. Mereka resah dengan keberadaan pipa tersebut. Apalagi belum ada jaminan keamanan yang didapat dari proyek pemasangan pipa itu. “Belum ada sosialisasi apa-apa tentang kegiatan hari ini,” sambung Basri.

    Ketika mendatangi lokasi ledakan, warga menyaksikan pipa yang meledak itu mengeluarkan semburan air dan asap pekat. Warga langsung berusaha mendapatkan keterangan dan juga pertanggungjawaban pihak Petrokimia. Para pekerja yang ada di tempat kejadian hanya memberi keterangan, pipa sedang dalam proses pembersihan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut.

    Warga langsung meminta para pekerja menghentikan proses pembersihan pipa tersebut dan memanggil pihak Petrokimia yang berwenang guna memberi penjelasan dan pertanggungjawaban. Seratusan lebih warga akhirnya menutup wilayah pengerjaan yang baru saja meledak itu. “Kami akan tutup tempat ini sampai ada kejelasan dari pihak Petrokimia,” tandas Basri.

    Pada pukul 12.00 WIB, warga Desa Permisan dipertemukan dengan pihak Petrokimia. Bertempat di Balai Desa Permisan, pihak Petrokimia yang diwakili Suaji dan pelaksana proyek PT Lagawico yang diwakili Oyek, dengan dimediasi Kepala Desa Suwarno Ichsan dan Kapolsek jabon AKP Satuji, menemui warga.

    Dalam pertemuan itu, perwakilan PT Lagawico menyatakan meminta maaf atas kejadian ledakan tersebut. “Atas nama perusahaan kami mohon maaf. Ledakan itu terjadi karena tekanan yang diberikan untuk proses pembersihan pipa tersumbat kotoran. Kami jamin itu tidak berbahaya.”

    Perwakilan Petrokimia menyatakan hal senada. Proses pembersihan pipa memang bisa menghasilkan ledakan, kata Suaji. Namun Suaji juga mengakui kesalahan karena ledakan itu terjadi waktu dinihari, sehingga bunyi ledakannya sangat mengejutkan warga.

    Tidak puas dengan jawaban tersebut, warga yang didominasi ibu-ibu mulai meneriaki perwakilan perusahaan dan merangsek maju, tapi sama sekali tidak ada aksi kekerasan. Iwan, salah satu perwakilan warga menuntut agar pihak perusahaan menghargai kondisi trauma warga karena ledakan yang terjadi. Apalagi wilayah desa Permisan tidak jauh dari lokasi semburan Lapindo. Perusahaan mestinya mengkaji dengan seksama dan mendalam sebelum bertindak.

    ”Ini baru pembersihan kotoran pihak perusahaan sudah ceroboh. Bagaimana nanti kalau sudah dilewati gas? Ini soal keselamatan jiwa. Tolong itu diperhatikan!” tegas Iwan. Pernyataan ini langsung disambut teriakan kesetujuan warga. Warga mempertanyakan, kenapa harus terjadi ledakan pada waktu subuh.

    Penjelasan saja tidak cukup. Warga juga menuntut ada jaminan keamanan dalam pelaksanaan proyek pemasangan pipa. Selain itu, harus juga kompensasi atas masalah ledakan pipa sebesar 400 ribu rupiah per kepala.

    Pihak Petrokimia tidak bisa memberi jawaban atas tuntutan ini dan hanya berjanji untuk mendatangkan perwakilan yang lebih punya wewenang untuk itu. Pertemuan lanjutan itu direncanakan dilaksanakan Senin (29/09) pukul 13.00.

    Karena belum ada hasil yang memuaskan, warga menyatakan akan menyita aset Petrokimia dan Lagawico yang ada di desa Permisan sampai tercapai kesepakatan tentang kompensasi warga dan jaminan keselamatan. Setelah pertemuan, warga bubar dan kembali ke lokasi ledakan. Mereka lalu menyelubungi peralatan yang ada di sana dengan kain putih bertuliskan: “DISITA WARGA, HARGA PATEN”. [re]

  • Living on the Poisonous Stream

    The residents of Permisan village near the Porong river in East Java have been harvesting fish from their ponds for generations, but since an environmental disaster at the Lapindo Brantas gas mining site in May 2006, the area has been suffering from vast eruptions of volcanic mud, which have buried nearby villages and displaced thousands of people.

    Whilst Permisan is not in the immediate vicinity of the mud flow, it does rely on the local river water to replenish its fish ponds, and since the company has been using the river to deposit the excess mud from the disaster zone, the fishermen have noticed that their fish harvests are getting smaller and less frequent.

    In this video, the residents of the community filmed their own story to demonstrate that their rights to livelihood have been violated and to request the acknowledgement of this by those responsible, and their assistance to help the community to manage their resources more effectively to ensure the sustainability of their local economy and way of life.