Tag: walhi jatim

  • Warga Peringati 12 Tahun Semburan Lumpur Lapindo

    Porong, 29 Mei 2018 – Pagi sekitar jam delapan (29/5) terasa terik di atas tanggul lumpur Lapindo. Musim kemarau sudah dirasakan sejak akhir April. Hujan tak lagi ada. Panas terik disertai bau menyengat lumpur ditengah suasana bulan ramadhan tak menyurutkan puluhan warga korban Lapindo dari berbagai wilayah untuk memperingati 12 tahun tragedi semburan ini. Untuk diketahui, pada 29 Mei 2006 lumpur Lapindo untuk pertama kalinya diketahui menyembur. Ia menjadi bencana yang luar biasa menghancurkan saat dampaknya tak ditangani dengan baik. Desa-desa terdekat dengan semburan merasakan ganasnya lumpur. Rumah, sawah, pabrik-pabrik, dan sekolah terkubur lumpur. Hingga hari ini, semburan lumpur masih terus berlangsung.

    Pengurus negara masih dipandang tak menangani lumpur Lapindo dengan baik hingga kini. Penyelesaian dampak lumpur dengan hanya memberikan ganti kerugian tanah dan bangunan milik warga berujung pada tak terpulihkannya hak-hak warga korban. Lumpur Lapindo membuat kerusakan lingkungan bagi wilayah sekitarnya. Tanah, sungai, kolam, tambak, dan sumur-sumur warga tidak bisa lagi digunakan seperti sebelumnya. Berbagai jenis logam berat ditemukan oleh banyak penelitian. Udara juga tak kalah buruknya. Akibatnya kesehatan warga menurun. Redaksi Kanal merekam beberapa temuan peneliti dan lembaga: kandungan logam berat Pb, Cr, Cd, Arsen dan Hg ditemukan tinggi oleh DR Ir Dwi Andreas Santosa(Antara 14 Desember 2016). Timbal(Pb) dan Kadmium (Cd) jauh melebihi ambang batas aman bagi lingkungan dan manusia (Walhi Jatim, 2008). Tarzan Purnomo 92014) menemukan Cd di air >0.01 ppm, Pb >0.03 ppm. Cadmium dalam tubuh ikan 0.037- 1.542 ppm dan Timbal 0.179-1.367 ppm (>0.008 ppm). Ditemukan 8 jenis logam berat di lumpur Lapindo: tembaga (Cu), besi (Fe), mangan (Mn), kobalt (Co), seng(Zn), kadmium (Cd), molibdenum (Mo) dan boron(Bo) oleh Dagdag, dkk (2015).

    Pada lima tahun awal periode semburan, infeksi pernapasan warga meningkat tajam.  Puskesmas Porong mencatat sekitar 24 ribu warga yang menderita ISPA pada 2005, tahun berikutnya meningkat hingga lebih dari 28 ribu. Jumlah tertinggi mencapai 63 ribu warga pada 2010. Tidak ada jaminan khusus yang diterima korban Lapindo untuk bisa mendapat layanan kesehatan. Mereka harus mengurus surat keterangan miskin jika tak mampu berobat. Untuk mendapat jaminan negara melalui Jamkesda, mereka juga mesti bersusah payah agar bisa masuk daftar penerima jaminan. Saat sistem jaminan kesehatan nasional berlaku, warga juga tak mendapat kekhususan jaminan pelayanan seperti korban bencana. Mereka harus berusaha masuk dalam daftar penerima, atau menjadi peserta JKN secara mandiri.

    “Ide bahwa seolah-olah kasus lumpur Lapindo sudah selesai hanya karena pembayaran kompensasi jual beli tanah bangunan sudah selesai, padahal masih banyak perihal kasus-kasus lain yang belum terselesaikan yang harus dialami warga korban Lumpur akibat semburan,” ujar Rere Christanto, direktur Walhi Jawa Timur. Ia lebih lanjut menjelaskan seharusnya taggung jawab pemerintah adalah mengembalikan hak korban. Salah satu yang paling menonjol adalah kesehatan warga.  Material lumpur Lapindo yang keluar berupa air, lumpur, sedimen, maupun gas semuanya mengandung bahan racun. Dari banyak penelitian diketahui berbagai jenis logam berat seperti timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) tersebar di sekitar area semburan lumpur. Walhi Jatim pernah menemukan adanya jenis poliaromatik hidrokarbon (PAH) yang cukup tinggi. Munculnya berbagai jenis penyakit dan memburuknya kesehatan warga patut diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan yang sangat buruk.

    Harwati, korban Lapindo dari Siring menuturkan hal yang sama. Ia merasakan benar bagaimana dampak lumpur Lapindo tidak hanya pada hilangnya harta bendanya tetapi juga anggota keluarganya yang meninggal karena sakit. Penyakit-penyakit semacam kanker banyak dijumpai.  Orang mati mendadak banyak diketahui, namun tidak ada yang melihat ada hubungan dengan lingkungan yang buruk. Ia berharap agar pemerintah melakukan tindakan-tindakan guna memulihkan kondisi yang ada. “Kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang saat ini diharapkan warga,” kata Harwati. Ia berharap pemerintah turun lapangan dan memeriksa dengan baik kondisi yang ada agar didapatkan pemahaman situasi dengan baik. “Jangan hanya bertanya saja, turun lapangan dan benar-benar lakukan,” pesan Harwati.

    Hal senada disampaikan Rere,”Pemerintahan harus memikirkan ada sebuah jaminan kesehatan ke seluruh masyarakat yang terdampak karena lingkungannya sudah rusak. Bukan mereka yang merusak tetapi akibat bencana lumpur Lapindo. Pemerintah seharusnya merespon dengan cepat karena kalau tidak, lama kelamaan makin banyak orang sakit, makin banyak orang menderita. Kalau tidak ada tanggung jawab pemerintah, ini sama saja membiarkan orang mati perlahan-lahan.”

    Ada dua langkah cepat yang menurutnya bisa dilakukan pemerintah. Pertama, membuat peta kerawanan bencana untuk menunjukan seberapa luas racun dari lumpur Lapindo ini menyebar baik melalui air, melalui sedimen, maupun melalui udara. Kedua, memberikan jamian kesehatan kepada warga agar mereka tidak harus mengeluarkan biaya pengobatan. (Fika_C)

  • Walhi Kecewa Jokowi Talangi Ganti Rugi Lapindo

    KBR, Banyuwangi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, menyayangkan langkah pemerintah menalangi ganti rugi korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar.

    Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Ony Mahardika mengatakan, uang talangan yang berasal dari APBN itu sebenarnya juga uang rakyat. Berarti korban lumpur Lapindo membayar deritanya sendiri.

    Menurut Ony, seharusnya pemerintah tidak serta merta menalangi tanpa mekanisme menjadikan aset PT Minarak Lapindo sebagai jaminan. Talangan pemerintah untuk korban lumpur lapindo tersebut, mirip dengan bailout Bank Century.

    “Kasus Lapindo itu bukan hanya urusan ganti rugi, tapi kalau kami mengatakan itu sebenarnya hanya urusan jual beli tanah. Karena kalau ngomong ganti rugi artinya seluruh penduduk, seluruh masyarakat dari sekitar beberapa desa itu mendapatkan semua termasuk anak-anak,” kata Ony Mahardika, Rabu (24/12).

    Ony Mahardika menambahkan, urusan ganti-rugi yang dibahas pemerintah menjadi sekedar urusan jual-beli tanah. Padahal sejak bencana lumpur Lapindo meluap, banyak penyakit seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang menyerang warga.

    Banyak juga anak-anak yang menjadi korban juga kehilangan pendidikannya. Serta ada 130 ribu jiwa yang sebelumnya hidup dari usaha kecil menengah akhirnya kolaps. Kata Ony, Sejak pemerintahan SBY, bencana lumpur Lapindo memang digiring untuk menjadi bencana nasional agar ganti-rugi dibiayai oleh pemerintah.

    Sebelumnya, Presiden Jokowi telah memutuskan akan memberi dana talangan kepada PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 781 miliar. Talangan itu akan digunakan untuk melunasi ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo yang ada di dalam peta area terdampak. 

    Dana talangan dari pemerintah itu diberi tenggat selama empat tahun. Apabila sampai tenggat itu belum dilunasi, aset yang dijadikan sebagai jaminan akan menjadi milik pemerintah pusat.

    Hermawan

    Sumber: http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3374687_4262.html

  • Lumpur Lapindo Mengandung Senyawa Kimia Berbahaya

    Wawancara dengan Bambang Catur Nusantara, Direktur Walhi Jawa Timur

    Temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bahwa lumpur Lapindo mengandung senyawa kimia polycyclik aromatic hydrocarbons (PAH) mengejutkan banyak pihak, termasuk pemerintah, yang selama ini selalu berdalih lumpur yang menyengsarakan puluhan ribu jiwa secara sosial dan ekonomi itu aman bagi kesehatan.

    Wartawan Tempo, Rohman Taufik, akhir pekan lalu mewawancarai Direktur Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara untuk mendapatkan penjelasan mengenai temuan itu. Berikut ini petikan wawancaranya:

    Apa yang mendorong Walhi melakukan penelitian tentang PAH?

    Sebenarnya sudah bisa diduga sejak awal, lumpur Lapindo mengandung senyawa PAH. Setelah kami teliti, ternyata benar. Bahkan, di luar dugaan, PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo 8.000 kali lipat dari ambang batas normal.

    Lumpur Lapindo setidaknya mengandung dua jenis PAH, yaitu chrysene dan benz (a) antracene. Senyawa kimia ini jika masuk ke dalam tubuh akan langsung mempengaruhi sistem metabolisme, yang akan menimbulkan berbagai penyakit. Selama ini korban Lapindo bersentuhan langsung dengan PAH dalam kategori terpapar lama dalam 24 jam berturut-turut. PAH dalam kadar yang terendah saja sangat mudah masuk ke tubuh melalui pori-pori kulit.

    Apa saja efek paling buruk jika terkena PAH?

    PAH bisa menyebabkan tumor dan kanker, khususnya kanker kulit, paru, serta kandung kemih. PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik.

    Senyawa ini sebenarnya tidak secara langsung menyebabkan tumor ataupun kanker, tapi pada orang yang terkena, PAH dalam sistem metabolisme tubuh akan langsung diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif serta sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan risiko kanker.

    Senyawa kimia ini sangat mudah larut dalam tubuh, sehingga jika orang terpapar lama dalam waktu lima hingga sepuluh tahun, orang tersebut langsung akan terkena tumor dan kanker. Karena kadarnya 8.000 kali lipat, risiko terkena tumor dan kanker dipastikan lebih cepat.

    Korban Lapindo yang tinggal di pengungsian Pasar Baru Porong, di setiap blok telah ditemukan sekitar lima anak yang menderita benjolan di lehernya, yang mirip tumor. Selain itu, banyak korban yang terkena penyakit kulit.

    Kondisi seperti ini seharusnya segera ditindaklanjuti. Terhadap semua korban lumpur Lapindo, harus dilakukan general check-up.

    Dari hasil penelitian Walhi, kandungan PAH dalam lumpur Lapindo sejauh radius berapa kilometer?

    Kami mengambil sampel di 20 titik, terjauh di radius 1,5 kilometer dari pusat pusat semburan. Hasilnya, PAH terkandung di semua titik yang kami teliti. Ada kemungkinan lebih jauh lagi radiusnya. Sebenarnya kami juga meneliti lumpur di Sungai Porong. Untuk sementara, baru logam berat yang kami teliti.

    Banyak yang ragu dengan temuan Walhi, bahkan ada yang mengatakan laboratorium di Indonesia belum mampu mendeteksi PAH

    Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung demikian pesat. Laboratorium Universitas Airlangga yang kami gunakan juga bisa dicek akurasinya.

    Sebenarnya logika berpikir yang harus dibangun bukan mencari-cari kelemahan penelitian kami. BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dan Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) seharusnya melihat fakta ini sebagai ancaman. Memang, dalam kasus lumpur Lapindo, tidak ada keberpihakan terhadap warga. Menteri Lingkungan, misalnya, malah memberikan anugerah kepada Lapindo dengan predikat taat lingkungan.

    PAH sebenarnya lazim ditemukan di area pengeboran, tapi anehnya, Kementerian Lingkungan ataupun Bapedal tak pernah menelitinya. Mereka hanya berkutat pada logam berat. Atau mungkin mereka takut karena PAH memang sangat membahayakan, sehingga sengaja tidak dicari tahu kandungannya. Padahal, kalau sejak awal diketahui, bisa langsung diantisipasi.

    Apa langkah lebih lanjut yang dilakukan Walhi?

    Karena menyangkut keselamatan banyak orang, kami akan kirimkan hasil penelitian ke semua pihak, seperti BPLS, Menteri Kesehatan, Gubernur, juga Presiden. Tujuan kami supaya ribuan korban Lapindo segera diperhatikan dan mendapat penanganan serius. Dua pekan lalu kami sudah berikan kepada Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Saat berada di Jakarta, kami sampaikan juga ke Kementerian Lingkungan Hidup, tapi tidak ditanggapi.

    Penelitian ini apakah tidak terlambat? Semburan lumpur sudah berlangsung lebih dari dua tahun.

    Penelitiannya sudah lama. Hasil laboratoriumnya memang baru keluar beberapa waktu lalu. Sejak awal kami sudah memprediksi ancaman seperti ini, tapi tidak pernah ada yang menanggapinya.

    Sejak awal kasus lumpur, Walhi selalu dibenturkan dengan korban Lapindo, tapi kenapa Walhi merilis masalah ini?

    Sebuah korporasi memang akan menggunakan berbagai cara agar kepentingannya tidak terganggu. Kami tahu ada aktor yang bermain, karena Walhi dianggap mengganggu mereka, sehingga banyak ditemui spanduk seolah-olah warga menolak kehadiran kami. Ini aneh. Kami melakukan investigasi untuk kepentingan warga korban, malah ditolak. Kami sudah melacak siapa yang memasang spanduk, ternyata bukan warga. Bukan hanya (tentang) spanduk, kami juga sering diteror.

    Bahkan posko bersama yang kami dirikan di Porong diancam akan dibakar oleh sekelompok orang. Kami tak akan terusik. Tugas kami memang menyoroti masalah lingkungan.

    Sumber: Tempo

  • Walhi Desak Bapedal Teliti Kandungan Lumpur Lapindo

    Lumpur Lapindo mengandung PAH (policyclic aromatic hydrocarbons) yang melebihi ambang batas normal hingga 8 ribu kali lipatnya. Dengan kandungan tersebut potensi penyakit kanker dan tumor yang ditimbulkan cukup besar.

    Dari hasil temuan Walhi, kata Catur, lumpur Lapindo ternyata juga mengandung PAH (policyclic aromatic hydrocarbons) yang melebihi ambang batas normal hingga 8 ribu kali lipatnya. Padahal, dengan kandungan tersebut potensi penyakit kanker dan tumor yang ditimbulkan cukup besar.

    “Dengan kandungan wajar saja orang akan terkena tumor atau kanker. Jika terus terkontaminasi PAH sekitar 10 tahun, kalau PAH-nya sudah 8 ribu, bisa dibayangkan akibatnya,” tambah Catur.

    Karenanya, Walhi mendesak Bapedal segera melakukan kajian mendalam dan merekomendasikan kepada BPLS untuk segera melakukan terapi khusus bagi para warga yang berada di sekitar kawasan bencana. Selain itu, Walhi juga mendesak pemerintah segera mengosongkan kawasan tersebut.

    Desakan kepada Bapedal ini sebenarnya telah dilakukan Walhi sejak awal semburan lumpur. “Tapi saat itu, meski kami menyuguhkan temuan-temuan jika lumpur mengandung zat berbahaya serbupa logam dan hidrokarbon, tetap saja Bapedal tidak lakukan apapun,” kata Catur.

    Temuan Walhi tentang PAH sendiri memang baru dirilis beberapa waktu lalu. Meski demikian, temuan ini adalah sampel lumpur yang telah diambil mereka sejak November tahun 2006 lalu dan sejak saat ini langsung dilakukan penelitian di laboratorium milik Universitas Airlangga Surabaya.

    “Temuan kami bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan karena dilakukan secara serius di Lab Unair,” kata Catur.

    ROHMAN TAUFIQ (tempointeraktif)

  • Lumpur Maut Lapindo

    Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Lapindo Brantas Inc tanggal 5 Juni 2006, Medco menyebutkan bahwa operator telah tidak mengindahkan peringatan untuk melakukan pemasangan casing pada kedalaman 8500 ft sebagaimana telah disampaikan dalam technical meeting tanggal 18 Mei 2006. Walhasil, Medco menolak untuk dibebani biaya ganti rugi sebagaimana sudah disepakati dalam kontrak kerjasama operasi antara mereka.

    Kekacauan bulan-bulan awal menunjukkan karut-marut pengelolaan migas di Indonesia. Berbagai prediksi dikeluarkan. Bahkan seorang Jenderal pemangku teritorial wilayah Jawa Timur menyatakan bahwa semburan Lumpur adalah bencana alam, lumpurnya juga tidak berbahaya. Ada apa gerangan sang Jenderal ikut-ikutan membuat pernyataan demikian?

    Sementara itu polisi berperan mengawasi setiap perkembangan pergolakan yang terjadi di warga sekitar lokasi, dan mengatasi kemacetan luar biasa jalur ini. Sedangkan untuk proses pidana, polisi dipersulit pendapat para ahli yang didatangkan Lapindo yang mengarahkan semburan lumpur sebagai bencana alam. Kejaksaan yang menginginkan adanya satu kesatuan pendapat ahli, beberapa kali mengembalikan BAP kepada kepolisian.

    Bupati dan Gubernur yang seharusnya menjadi benteng warga korban pada akhirnya ‘terselamatkan’ dengan keluarnya Perpres 14/2007, mereka mendalilkan bahwa masalah lumpur sudah ditangani pemerintah pusat. Setali tiga uang dengan wakil warga di DPRD kabupaten maupun propinsi.

    Perpres melahirkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Bagaimana kinerja task force ini juga menjadi tanda tanya. Hari, seorang warga korban, menggambarkan bahwa kerja BPLS hanya menanggul lumpur saja. Ini jauh dari harapan warga bahwa BPLS akan berperan membantu percepatan pemenuhan hak. BPLS tidak melakukan langkah-langkah jelas untuk mencegah bahaya akibat semburan baru yang hingga hari ini mencapai angka ke-94.

    Dugaan lumpur panas Lapindo sangat berbahaya, terbukti sudah. Selain berbagai riset berbagai institusi yang telah dimuat berbagai media, WALHI Jawa Timur telah melakukan riset awal kandungan logam berat dan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) pada air dan lumpur lapindo. Berdasar laporan riset (Mei 2008) ini, jumlah kandungan yang ditemukan sungguh mengerikan. Langkah gegabah pengelolaan lumpur tanpa treatment khusus, menjadi kesalahan besar.

    Pemerintah dan korporasi yang memiliki tanggung jawab dan sumber daya harusnya lebih cermat dalam mengelola lumpur. Kandungan Logam Berat pada air dan lumpur Lapindo dideteksi jauh melebihi ambang baku yang ditetapkan regulasi kesehatan Indonesia. Kadar untuk timbal (Pb) tertinggi mencapai angka 20,9853 mg/l ditemukan pada sampel dari wilayah Besuki juga. Ini sungguh jauh diatas ambang batas maksimal sejumlah 0,05 mg/l. Sungai Porong dari wilayah barat telah tercemar logam berat, dan menjadi semakin parah ketika ribuan liter lumpur panas Lapindo digelontor ke dalamnya. Sampel air pada titik koordinat S 07o32’10.7″ E 112o51’01.7″ bagian timur sungai menunjuk angka 1,05 mg/l untuk timbal, berselisih lebih tinggi 0,2 dari sampel kontrol bagian barat jembatan porong(0,8035). Sedimen sungai porong juga menunjuk angka tinggi, dengan temuan kadar 4,7341 mg/l pada salah satu titik sampel.

    Jumlah cemaran Kadmium (Cd) lebih parah, terendah 0,2341 mg/l dan tertinggi 0,4638 mg/l. Jauh diatas ambang batas jika mengacu pada Kep.Menkes No. 907/2002 yang mematok angka 0,003 mg/l. Hal yang sama ditemukan untuk PAH. Dua jenis yang diperiksa meliputi Chrysene dan Benz(a)anthracene ditemukan: Chrysene terendah 203,41 µg/kg dan tertinggi mencapai hingga 806,31 µg/kg (kadar tertinggi ditemukan pada sampel lumpur dari Besuki), sedangkan Benz(a)anthracene ditemukan pada sampel 3 titik lokasi rendaman lumpur dengan jumlah terendah 0,4214 mg/kg dan tertinggi 0,5174 mg/kg. Monitoring secara periodik dan penanganan darurat khusus harus segera dilakukan.

    PAH merupakan suatu kelompok senyawa kimia yang dibentuk dari proses pembakaran tidak sempurna dari gas, batubara, minyak bumi, kayu, sampah, ataupun senyawa kimia organik lain seperti tembakau. Senyawa PAH juga ditemukan di sepanjang lingkungan baik di udara, air, dan sebagai partikel yang berhubungan dengan debu atau sebagai padatan di dalam sedimen atau lahan. Jumlahnya diperkirakan sekitar 10.000 senyawa. Sifat karsinogenik memicu tumor, kanker kulit, kanker paru-paru, dan kanker kandung kemih. Dapat masuk dalam tubuh manusia melalui pernafasan akibat menghirup limbah gas yang mengandung senyawa PAH di dalamnya. Makanan atau minuman yang terkontaminasi senyawa ini juga akan mempengaruhi tubuh jika dikonsumsi. Yang lebih cepat adalah interaksi secara langsung dengan menyentuh tanah atau air yang tercemar PAH. Walaupun dalam kadar rendah, senyawa ini dapat terserap melalui pori-pori kulit.

    BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun.

    Walhasil, Anton seorang warga korban menjumpai sedikitnya 5 warga yang secara fisik terindikasi mengidap tumor(20/7/2008). Seorang bayi perempuan umur 7 bulan memiliki benjolan di dada dan lehernya. Kanker kulit juga ditemukan menjangkit seorang anak umur 3 tahun. Hal ini tentu harus segera ditangani khusus dengan melakukan pemeriksaan medik secara terus menerus kepada semua warga yang pernah ‘berjibaku’ dengan lumpur. Akumulasi dalam jumlah besar sangat mempengaruhi metabolisme tubuh warga dan mempercepat munculnya tumor dan kanker. Pemeriksaan periodik terhadap kandungan logam berat dan PAH harus dilakukan secara periodik untuk acuan pengelolaan lebih lanjut. Namun jika pemerintah melalui badan khususnya tidak mengagendakan, siapa lagi yang harus melakukannya?

    Keselamatan dan kesejahteraan warga korban telah dipertaruhkan dalam hitungan kerugian material melalui skema jual beli tanah dan bangunan sebagaimana dalam Perpres 14/2007. Sandaran hukum pemenuhan hak warga inipun masih ditawar dengan skema resettlement yang tidak memiliki jaminan apapun. Bulan Agustus dan September merupakan masa kontrak sebagian warga korban habis. Namun itikad pemenuhan oleh korporasi tak juga ditunjukkan. Padahal jika diperbandingkan, jumlah yang akan diterima tidak akan mencukupi kebutuhan pengobatan jika efek logam berat dan PAH telah muncul beberapa waktu kedepan. Jaminan kesehatan bagi seluruh warga mutlak menjadi tanggungjawab korporasi dan negara.

    Melihat kenyataan demikian, seharusnya tiada alasan bagi korporasi untuk menghindari dan menunda penggantian hak material warga. Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) tanggal 24 Maret 2008 menegaskan adanya jaminan bagi tanah selain sertifikat hak milik (Yasan, Gogol, letter C, petok D, dan HGB) bisa dilakukan peralihan dengan status yang sama. Hanya perusahaan bodoh yang menginginkan hak milik tanah di negeri ini. Dalam regulasi agraria Indonesia (UUPA NO. 5/1960) sudah diatur kepemilikan tanah Hak Milik hanyalah untuk perorangan. Korporasi hanya bisa mendapat hak berupa Hak Guna (HGU/HGB) atau Hak Pakai yang masa waktunya terbatas. Jika ini dijadikan alasan untuk tidak mengganti 80% sebagaimana disepakati dalam perikatan antara warga dan korporasi, dan ditawar dengan skema resettlement, bertambah sudah derajat kejahatan korporasi ini.

    Namun, temuan kandungan-kandungan berbahaya ini disangsikan oleh Ahmad Zulkarnaen dari BPLS, “Kalau benar ada PAH, kenapa baru sekarang dirilis? Padahal ratusan peneliti sejak dua tahun lalu tidak pernah mengungkapkan adanya PAH” (Koran Tempo, 29/7). Bukannya menindaklanjuti dengan rencana cepat untuk melakukan penanganan, minimal dengan sebuah rencana melakukan penelitian lebih dalam, pernyataan elemen tim khusus ini nampak mencoba mengaburkan adanya temuan bahan berbahaya itu. Dan yang lebih parah, BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun. Petugas BPLS yang rapi dalam pengamanan diri dengan menggunakan sepatu, sarung tangan, dan masker tentunya lebih tak lebih beresiko dibanding warga yang dengan tangan telanjang, kaki bersendal, dan hidung tak bersaring bergelut di area lumpur setiap saat.

    Sungguh sebuah kebetulan jika pada Juli ini selain disibukkan dengan agenda ‘pesta’ pilkada, pada waktu yang bersamaan keluarga Bakrie -sang konglomerat yang dikenal sebagai salah satu pemilik korporasi penguasa blok Brantas di Jawa Timur- menggelar pesta bahagia perkawinan salah satu keluarganya. Lengkap sudah penggalan sejarah buruk negeri ini, dua prosesi digelar tanpa melihat sedikitpun derita warga korban.