Non Sertifikat Bisa Akta Jual Beli


korbanlumpur.info – Keraguan warga terkait apakah tanah Pethok D, Letter C, SK Gogol maupun yasan (non sertifikat) bisa di-Akta-Jual-Beli-kan atau tidak, terjawab di Pendopo Kabupaten Sidoarjo kemarin. Pihak Badan Pertanahan Nasional yang dimintai konfirmasi Bupati Sidoarjo tentang masalah ini menjelaskan bahwa telah ada surat petunjuk pelaksanaan dari BPN Pusat, yang menyatakan bahwa semua tanah warga baik yang bersertifikat, Petok D, Letter C, SK Gogol dan Yasan, bisa di-AJB-kan.

Dalam pertemuan antara perwakilan korban lumpur dengan Bupati, BPLS dan BPN Sidoarjo tersebut, Bupati memfasilitasi permintaan kelompok Gerakan Pendukung Perpres 14/2007 (GEPPRES) akan kejelasan dari pihak BPN dan BPLS terkait dengan status tanah non sertifikat tersebut. Sebab, di luar beredar kabar yang menyebutkan bahwa tanah non sertifikat tidak bisa di AJB-kan, sehingga warga terpaksa mengikuti skema cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya.

Suwito, Wakil Ketua GEPPRES dari Desa Jatirejo mengungkapkan semua dasar hukum dan komitmen telah dilanggar selama ini. Dia mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan Geppres bukan untuk menentang pemerintah, namun untuk menegakkan peraturan yang telah ada. Ibu Mahmudah dari Desa Renokenongo juga menambahkan bahwa warga mayoritas menginginkan dibayar cash and carry, dan dia juga mempertanyakan pernyataan di media yang mengatakan bahwa dengan 20% saja warga sudah makmur.

Senada dengan itu, Bapak Hasan. SH, Mhum, Kepala Desa Kedung Bendo juga mempertanyakan kepada Bupati tentang kelanjutan nasib Petok D dan Letter C yang terkatung-katung, dan meminta kejelasan statusnya

Bupati yang menemui perwakilan-perwakilan masing-masing desa, menyambut baik kedatangan mereka, dan mengatakan bahwa adalah komitmennya untuk tetap bersama warga yang menderita. Dalam kesempatan itu, Bupati juga memfasilitasi untuk mendatangkan pihak Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sidoarjo, dan juga dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sayangnya pihak Lapindo tidak datang pada pertemuan tersebut.

Bupati Sidoarjo, Win Hendarso mengatakan bahwa dirinya tidak ikut terlibat dalam pembahasan adanya program cash and resettlement yang sekarang sedang gencar-gencarnya disosialisasikan (baca: dipaksakan) untuk diberikan terutama bagi korban Lapindo yang status tanahnya Petok D atau Letter C. Bahkan Bupati juga menyatakan jajarannya tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan tentang program yang menyimpang dari Perpres 14/2007 itu.

Pihak BPLS yang diwakili deputi bisang sosial, menyatakan bahwa pihaknya sudah menanyakan kepada BPN tentang perbedaan pendapat tersebut, dan mengatakan bahwa pada dasarnya BPLS akan mengikuti dasar hukum yang dikeluarkan BPN sebagai pihak tertinggi dalam urusan pertanahan di Indonesia.

Bupati juga mengatakan, “Mari kita sama-sama menghormati peraturan. Orang nomor satu itu adalah Presiden.” Dengan demikian, pihak Lapindo harus membayar ganti rugi seperti apa yang dituntut oleh warga dan disahkan oleh Presiden dalam Perpres 14/2007: cash and carry. Di dalam Perpres, risalah dari Menteri Sosial dan surat dari BPN, menyebutkan bahwa tidak ada sistem pembayaran lain selain cash and carry.

Dari pertemuan tersebut ternyata Bupati, BPN, maupun BPLS menyatakan bahwa mereka sepakat Peraturan Presiden 14/2007 harus ditegakkan, dan pembayaran kepada warga secara cash and carry harus bisa diselesaikan. Karena itu, Bupati sebagai anggota Dewan Pengarah BPLS meminta kepada BPLS yang dirasa tidak mampu melawan Lapindo untuk segera menyurati Dewan Pengarah BPLS, dalam hal ini Menteri Sosial yang ikut menandatangani nota kesepahaman dengan warga, bahwa ada butir-butir nota kesepahaman yang mengatakan bahwa Petok D, Letter C dan sebagainya punya hak yang sama tidak berjalan di lapangan.

Diharapkan Pemerintah Pusat proaktif dalam menanggapi hal ini dan segera melakukan tindakan tegas kepada pihak Lapindo yang tidak mau membayar sisa 80% ganti rugi warga secara cash and carry.

Translate »