Akhir Desa Renokenongo


korbanlumpur.info – Bambang Yuli Usman (55 tahun) mengumpulkan barang-barang miliknya yang tersisa di tengah genangan air asin yang mulai masuk rumahnya di RT 07/02 Renokenongo. Selama ini dia bertahan di desa ini sebagai solidaritas bagi tetangga-tetangganya yang belum mendapat ganti rugi sepeserpun dari Lapindo.

“Ini adalah hari terakhir saya di sini,” tuturnya dengan matanya yang sedih, kelopak matanya menghitam karena kurang bisa tidur.

Meski masih banyak warga Renokenongo (baca: 400 keluarga) yang belum dibayar 20% harga aset mereka, sesuai peraturan presiden, namun Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS) memaksakan diri untuk membangun tanggul yang akan mengubur desa Renokenongo secara pelan-pelan dengan lumpur.

BPLS yang selama ini berkoar-koar berusaha meminimalisir korban dalam prakteknya ternyata bertindak sebaliknya. Mereka tidak berusaha memperbaiki timur tanggul cincin yang jebol sejak Agustus lalu dan membiarkan desa Renokenongo sedikit demi sedikit menjadi lautan air asin yang berasal dari pusat luapan lumpur.

Sejak luapan lumpur, dua tahun lebih lalu, warga Renokenongo menjadi tercerai-berai sebagian mengungsi di pengungsian pasar baru porong, sebagian mengontrak di tempat lain dan sebagian masih tinggal di desa mereka meski rumah mereka banyak yang doyong akibat tanahnya ambles.

Warga yang mengungsi di pasar belum mendapatkan uang sepeserpun dari Lapindo atas pembelian tanah mereka begitupun kebanyakan warga yang masih menetap di desa.

Saat mulai penanggulan mereka memprotes supaya pembayaran diselesaikan dulu sebelum penanggulan namun protes warga ini tidak digubris baik oleh BPLS atau Lapindo. Bahkan dua warga Renokenongo, yakni; Danu dan putranya Anang ditangkap polisi Sidoarjo karena aksi ini.

“Hingga kini mereka belum dibebaskan,” tutur Khalik Widodo (34 tahun) warga RT 07/02 Renokenongo.

Khaliq adalah salah seorang warga yang belum mendapatkan 20% dari harga tanah dan bangunannya.

“Ada tiga aset (pekarangan dan bangunan), milik bapak dan kakak saya yang belum dibayar sama sekali,” tutur Widodo.

Meski sudah ditanggul, sebenarnya, Khaliq masih ingin bertahan meneruskan usaha jual pulsa serta pengisian air isi ulang miliknya sembari menunggu uang tanahnya. Namun dia tak lagi bisa meneruskan usaha tersebut karena aliran listrik ke rumahnya sudah dicabut.

“Listrik di Renokenongo mulai dicabut pagi ini,” tutur Widodo.

Lengkaplah sudah teror Widodo dan warga Reno yang masih mendiami rumahnya; setelah tanggul jebol dibiarkan, kemudian banjir air asin pelan=pelan menutup desa, orang yang protes ditangkap dengan alasan yang tak jelas, lalu  listrik diputus. Tak ada pilihan buat mereka selain pindah dengan sangat terpaksa.

Untuk terakhir kali Widodo meminta supaya rumah dan kamar-kamarnya yang masih ada supaya difoto.

“Buat kenang-kenangan,” dia bilang. Tak jauh dari rumahnya ada sebuah papan putih bertuliskan tinta merah, berbunyi, “selamat tinggal desaku.”

Translate »