Kehidupan Sosial Budaya Hancur, Upaya Pemulihan Nol


Simaklah laporan Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas). Pada 2007, Bappenas sudah mengeluarkan laporan mengenai kerusakan dan kerugian akibat semburan lumpur Lapindo. Di situ disebut, kerusakan dan kerugian akibat lumpur Lapindo mencapai 7,3 triliun rupiah. Lalu ditambah dengan kerugian tidak langsung yang mencakup potensi ekonomi yang hilang sekira 16,5 triliun rupiah. Di sini yang dihitung sepenuhnya adalah kerusakan fisik, meliputi bangunan dan fasilitas pada sektor perumahan, infrastruktur, ekonomi, dan sosial. Sektor sosial yang dimaksud adalah bangunan pendidikan, tempat ibadah, pondok pesantren, dan panti sosial. Sementara, kerugian tak langsung itu dihitung berdasarkan keuntungan ekonomis yang hilang akibat kerusakan-kerusakan tersebut. Praktis, ini tidak menyinggung ihwal kerugian sosial-budaya.

Begitu pula dengan kebijakan resmi Pemerintah. “Skema penyelesaian” Pemerintah yang dituangkan lewat Peraturan Presiden 14/2007 maupun versi revisinya, Peraturan Presiden 48/2008, memperlakukan seluruh kerugian warga korban menjadi aset fisik semata. Warga korban yang memiliki aset tanah dan bangunan mendapatkan uang tunai dari aset yang dibeli Lapindo maupun Pemerintah lewat dana APBN. Sementara, warga korban yang tak punya aset akan sekadar mendapat santunan uang kontrak dua tahun dan jatah hidup beberapa bulan. Kehidupan selanjutnya? Silakan cari akal sendiri. Pekerjaan yang hilang, pendidikan yang berantakan, kesehatan yang terus menerus menurun—baik akibat kondisi lingkungan yang makin memburuk maupun akibat tekanan mental yang kian berat—juga silakan urus sendiri-sendiri. Apalagi, ihwal sosial-budaya yang “tidak konkrit”, sudah pasti tak masuk daftar pertimbangan. 

Namun, apakah sudah semestinya seperti ini? Apakah memang masalah sosial-budaya tidak bisa, dan tidak perlu, masuk daftar kerugian? Mari dengar apa yang dikatakan Michael Cernea, profesor antropologi dari George Washington University, Amerika Serikat. Profesor Cernea mengatakan, dampak disintegrasi sosial, tercerai-berainya masyarakat, dan hancurnya budaya sangatlah serius, meskipun tak kasatmata dan tak bisa dikuantifikasi. “Rusaknya komunitas, hancurnya struktur tatanan masyarakat, tercerai-berainya jaringan formal dan informal, perkumpulan-perkumpulan, merupakan kehilangan modal sosial yang sangat mahal meski tak bisa dikuantifikasi,” tegas Profesor Cernea.

Kehilangan modal sosial itu bisa mengarah pada pemiskinan korban dari segala sisi. Profesor Cernea sudah melihat ini setelah mengamati dampak “pemindahan paksa” akibat aktifitas pembangunan selama dua puluh terakhir ini di berbagai negara di Asia, Afrika, Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Latin. “Pemindahan paksa” (forced displacement), ya, karena penduduk tidak secara sukarela meninggalkan kampung halamannya. Tapi dipicu oleh proyek pembangunan maupun proyek eksplorasi sumberdaya alam (development-induced forced displacement). Misalnya, pembangunan waduk, jalan raya, cagar alam, pertambangan gas dan energi. Apa yang dialami korban lumpur Lapindo tak lain merupakan bentuk “pemindahan paksa” akibat pertambangan gas dan energi.

Perpindahan paksa macam ini, kata Profesor Cernea, mengakibatkan tercerabutnya komunitas yang ada, hancurnya struktur organisasi sosial, ikatan antarpribadi, dan sendi-sendi sosial. “Ikatan keluarga cenderung hancur. Hubungan tolong-menolong yang menopang keberlangsungan hidup, paguyuban-paguyuban lokal sukarela, dan tatanan layanan mandiri masyarakat hancur sudah. Destabilisasi kehidupan komunitas cenderung melahirkan kondisi anomi, rasa tidak aman, dan rasa kehilangan identitas kultural,” tandas penulis the Economics of Involuntary Resettlement: Questions and Challenges ini.

Yang membuat korban kian rentan dan termiskinkan, lanjut Profesor Cernea, tidak saja karena mereka kehilangan tanah dan rumah. Lebih dari itu, korban “pemindahan paksa” sekaligus mengalami kehilangan akses terhadap fasilitas sosial dan fasilitas umum, kehilangan kelompok dan jaringan sosial, bahkan terkena marjinalisasi sosial dalam lingkungan baru atau lingkungan sementara mereka tinggal. Ini berdampak lebih lanjut pada kesulitan akses terhadap pekerjaan, kesulitan pangan, bahkan kerentanan terhadap penyakit.

Dampak ikutannya saling terkait dan bisa membuat korban makin termiskinkan lagi. Kehilangan pendapatan bisa memicu marjinalisasi, atau keterkucilan sosial, dan begitu pula sebaliknya. “Marjinalisasi ekonomi biasanya berbarengan dengan marjinalisasi psikologis dan marjinalisasi sosial. Ini muncul dalam bentuk turunnya status sosial dan hilangnya kepercayaan diri warga,” terang Profesor Cernea. Ketika korban terkucil secara sosial, ia akan semakin sulit memperoleh akses terhadap kebutuhan-kebutuhan dasarnya.

Ini persis dengan kenyataan yang dihadapi korban Lapindo. “Kalau dulu, semasa masih di kampung, mudah saja kalau mau butuh masak. Katakanlah kalau tidak punya sayur, bumbu  dapur,  masih bisa minta tetangga. Nanti kalau kita punya gula, bisa bagi juga ke tetangga. Gotong royong gitu, Mas,” tutur Roy, seorang warga korban dari Desa Siring yang sudah tenggelam. Tapi sekarang, kata Roy, hidup makin susah, tetangga sudah tercerai-berai ke mana-mana. “Semua sekarang menjerit, Mas,” imbuh Roy.

Pola saling menopang kehidupan tetangga itu juga tampak dalam budaya kolektif, semisal melalui acara-acara informal keagamaan dan kemasyarakatan. Ada banyak kegiatan orang desa yang mungkin tidak penting jika dinilai secara ekonomis semata. Misalnya, kegiatan keagamaan macam tahlilan setiap malam Jumat atau Minggu, dziba’an, barzanji, ziarah makam, dan seterusnya. “Dulu kami rajin dziba’an, sekarang tidak pernah lagi,” tutur Anton, pemuda dari Desa Renokenongo. Padahal rutinitas itu yang membuat individu satu sama lain seperti “saudara”, sehingga apa yang disebut dengan “modal sosial” itu terbentuk. Dan ini tidak bisa dibangun kembali dalam hitungan hari, melainkan tahunan bahkan puluhan tahun.

Singkat kata, kerugian sosial budaya bukan saja penting, tapi bahkan merupakan taruhan hidup warga korban. Dan jika negara ini ada, tentu ia akan melakukan tindakan lebih nyata untuk mengatasi kerugian ini. Terlebih, menurut hukum dan perundang-undangan yang ada, hak-hak sosial budaya korban Lapindo telah dilanggar. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No 11/2005 menunjukkan diakuinya hak untuk menjadi bagian dari kehidupan budaya (pasal 15) dan hak atas perlindungan terhadap keluarga (pasal 9).

Hak atas keluarga ini juga ditegaskan dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 10. Pasal 11-15 undang-undang ini juga menegaskan dilindunginya hak mengembangkan diri melalui berbagai aktifitas: pendidikan, sosial, keagamaan, budaya, seni, dan lain-lain. Undang-Undang No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 59 (f) juga menegaskan  “pemulihan sosial, ekonomi, budaya”.

Artinya, terhadap praktik-praktik budaya, kegiatan sosial, dan ikatan kekeluargaan yang ada, negara berkewajiban untuk melakukan perlindungan. Sementara jika hal itu dirusak, negara wajib memulihkan kembali. Tapi hingga kini, negara tak kunjung hadir di Sidoarjo. [ba]


Translate »