Mengapa Komnas HAM Menunda Keputusan Kasus Lumpur Lapindo?


Para korban hidup kocar-kacir dalam ketidakpastian, bahkan saat pipa gas milik Pertamina meledak pada 22 Nopember 2006, memakan korban 12 orang tewas. Namun keluarbiasaan kehancuran yang ditimbulkan Lumpur Lapindo ternyata disikapi secara BIASA-BIASA SAJA oleh pihak Pemerintah Indonesia dan Lapindo Brantas Inc (LBI).

Sikap pemerintah yang biasa-biasa saja itu terlihat jelas dari, pertama, ketidakseriusan menghentikan semburan (payung kebijakan baru turun tiga bulan kemudian dan sampai saat ini tidak ada mobilisasi teknologi, expert dan dana yang secara sungguh-sungguh diarahkan untuk menghentikan semburan).

Pemerintah juga terlihat tidak serius menangani dampak (sampai saat ini hak-hak korban tidak terlindungi dan tidak dipenuhi), sementara proses hukum hanya dilakukan setengah hati (berkas kasus sudah lebih dua tahun cuma bolak-balik Polda-Kejati Jatim). Bahkan, meledaknya pipa Pertamina yang merenggut 12 nyawa sama sekali tidak diusut.

Sementara itu, pihak LBI hanya sibuk membangun citra, membangun opini lewat media seolah-olah LBI sudah berbuat melampaui kewajibannya. Sebagai contoh, banyak iklan dan pemberitaan media yang memperlihatkan pejabat sedang menyerahkan kunci rumah kepada korban. Kesan yang dibangun adalah seolah-olah ribuan korban sudah menerima rumah. Padahal, kenyataannya rumah yang tersedia hanya beberapa unit saja, demikian juga pembayaran yang menggunakan skema 20 dan 80 sampai saat ini belum juga terselesaikan.

Melihat semburan lumpur yang luar biasa, kondisi kawasan yang terkena dampak yang sangat parah dan korban yang begitu banyak, tetapi di sisi lain sikap pemerintah dan LBI yang biasa-biasa saja, maka Komnas HAM sebagai lembaga negara yang mandiri serta diberikan wewenang, tugas dan fungsi mendorong kondisi yang kondusif penegakan dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia, berkesimpulan: kasus Lumpur Lapindo yang luar biasa itu harus ditangani dengan pendekatan dan cara-cara yang luar biasa pula.

Karena itu pula, Komnas HAM membentuk tim investigasi. Kini, draft temuan, kesimpulan dan rekomendasi tim investigasi sudah disampaikan dan dibahas oleh Sidang Paripurna Komnas HAM pada hari Rabu 7 Januari 2009 dan dilanjutkan pada tanggal 27 Januari 2009 kemarin. Namun, setelah seharian dibahas, Sidang Paripurna belum bisa membuat keputusan.

Mengapa dalam dua kali Sidang Paripurna tetapi belum membuahkan keputusan, ada apa sebenarnya di Komnas HAM?

Masalahnya adalah dalam laporan Tim Investigasi Lumpur Lapindo secara garis besar berisi empat hal yang harus dipahami secara cermat dan sungguh-sungguh, yakni:

Pertama, dalam kasus Lumpur Lapindo diduga telah terjadi 18 bentuk pelanggaran hak asasi mansuia, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 39 Tentang HAM: hak atas informasi, hak hidup, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak-hak pekerja, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan (terutama hilangnya hak milik), hak atas jaminan sosial, hak-hak pengungsi, hak penyandang cacat, hak orang berusia lanjut, hak anak dan hak-hak perempuan.

Kedua, tentang ‘status’ Lumpur Lapindo  dalam konteks hak asasi manusia.

Ketiga, tentang tanggungjawab ‘aktor non negara’.

Keempat, tentang bentuk pertanggungjawaban baik negara maupun aktor non negara serta langkah-langkah strategis untuk pemulihan dan permenuhan hak-hak korban.

Point pertama (diduga telah terjadi 18 bentuk pelanggaran hak asasi manusia), hampir tidak ada perbedaan pendapat di antara Anggota Komnas HAM.

Namun, terhadap point 2, 3 dan 4, dibuka perdebatan dan setiap Anggota Komnas HAM diberi keleluasaan menyampaikan argumentasi. Hal ini mengacu pada pandangan bahwa kasus Lumpur Lapindo yang luar biasa itu seharusnya ditangani dengan langkah-langkah progresif dan cara-cara yang luar biasa pula.

Akibatnya, sidang tidak bisa selesai sesuai jadwal. Kami menyadari tertundanya keputusan Kasus Lumpur Lapindo ini menimbulkan konsekuensi logis termasuk opini di masyarakat/publik (terutama para korban),  mungkin ada yang marah atau sangat kecewa.

Namun, perlu dipahami dengan baik bahwa komitmen dan kepekaan kami terhadap kesengsaraan para korban, tidak boleh kemudian kami membuat keputusan emosional seperti “babi kaget” (asal lari ke depan tanpa mau melihat ada apa di depannya). Komnas HAM adalah sebuah lembaga negara, karena itu keputusan yang kami buat harus mencerminkan keputusan dari sebuah lembaga negara.

Semoga penjelasan ini bisa mengurangi kekecewaan masyarakat Sidoarjo terutama para korban yang sampai saat ini tidak jelas nasib mereka, terombang-ambing dalam ketidak-pastian.

Jakarta, 28 Januari 2009

Syafruddin Ngulma Simeulue, Komisioner Komnas HAM, Ketua Tim Investigasi Kasus Lumpur Lapindo. Artikel ini pernah dipublikasikan Surya, 28 Januari 2009


Translate »