Jejak Tiga Transaksi


Semula Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Fuad Rahmany menganggap informasi yang mampir ke telinganya tidak istimewa. Sepintas isinya hanya aksi korporasi biasa: PT Bumi Resources Tbk membeli tiga perusahaan tambang batu bara.

Ketika itu, awal Januari 2009, ia sedang sibuk mengurusi kasus raibnya dana nasabah PT Sarijaya Permana Sekuritas. Menurut Fuad, informasi itu diterimanya ketika sedang menyiapkan konferensi pers Sarijaya. “Mereka (Bumi) melaporkan sudah melakukan transaksi,” ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Tapi berita susulan yang datang bertubi-tubi membuat Fuad terperanjat. Diduga transaksi senilai Rp 6,2 triliun itu masih ada hubungan afiliasi. Harga pembelian ketiga perusahaan itu juga diduga kelewat mahal. Singkat kata, ada potensi benturan kepentingan di sana.

Dugaan benturan kepentingan menjadi pintu masuk Bapepam dalam mengusut transaksi ini. Pasalnya, jika ini terbukti, Bumi tidak bisa begitu saja merampungkan transaksi akuisisi. Persetujuan pemegang minoritas (independen) dalam rapat umum pemegang saham luar biasa menjadi sebuah keharusan. Tidak ada persetujuan, tak ada transaksi.

Dengan pertimbangan ini, Bapepam bergerak cepat. Fuad meminta yahoo.9msk.ru Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam Sardjito menyelisik kasus ini. Belakangan, Sardjito mengungkapkan telah menerbitkan surat perintah penyidikan atas pembelian tersebut dengan dugaan benturan kepentingan.

Ramainya pemberitaan transaksi ini bermula ketika Bumi, perusahaan tambang batu bara yang terafiliasi dengan Grup Bakrie, membeli tiga perusahaan tambang, yakni PT Darma Henwa Tbk, PT Fajar Bumi Sakti, dan PT Pendopo Energi Batubara. Pembelian ini dilakukan secara bertahap mulai akhir Desember 2008 dan awal Januari 2009 dengan nilai total sekitar Rp 6,2 triliun.

Pembelian dalam jumlah besar ini memicu reaksi pasar yang hebat. Beredar luas rumor yang menyatakan bahwa transaksi tersebut berbau benturan kepentingan. Harga pembelian juga dinilai kemahalan, terutama untuk kelompok Bakrie yang sedang dililit utang.

Akibatnya, saham Bumi, yang semestinya naik setelah akuisisi, justru terjerembap cukup dalam. Dari posisi Rp 940 per lembar pada 5 Januari lalu menjadi tinggal Rp 425 per lembar pada 15 Januari.

Bereaksi cepat, Bursa Efek Indonesia pada 8 Januari berkirim surat kepada manajemen Bumi, meminta penjelasan seputar transaksi tersebut. Sebanyak 20 pertanyaan mengenai tata cara pembayaran, latar belakang pemegang saham ketiga perusahaan, sampai kinerja keuangan disampaikan kepada manajemen.

Jawaban dari Sekretaris Perusahaan Dileep Srivastava pada 14 Januari lalu dianggap Direktur Pencatatan Bursa Eddy Sugito tidak memuaskan. Bursa pun kembali mengirim surat pertanyaan kedua yang, antara lain, meminta kejelasan soal laporan penilaian aset (valuation report) yang tidak dicantumkan. “Sehingga sulit menilai apakah transaksi itu kemahalan atau tidak,” ujar Eddy.

Bapepam juga dibuat meradang. Fuad Rahmany menyatakan Bumi Resources Tbk telah melakukan transaksi tanpa sepengetahuan institusinya. “Kami belum lakukan apa-apa, kok, tapi mereka sudah bertransaksi. Saya tidak pernah kasih persetujuan,” kata dia.

Penelusuran Tempo melalui Indonesian Coal Book 2008-2009 menemukan kejanggalan kepemilikan saham pada beberapa perusahaan tersebut. Buku tersebut menuliskan, pemilik PT Fajar Bumi Sakti adalah PT CMA Indonesia sebesar 89,23 persen, PT Mukti Prabawa Perkasa 10,66 persen, dan PT Bakrie Mining Service Corporation 0,1 persen.

Disebutkan pula, perusahaan tambang batu bara ini berlokasi di Tenggarong, Kutai Kartanegara; berkantor di Wisma Bakrie, Jakarta; dan menjadi anak usaha PT Bakrie Investindo sejak 1992.

Adapun CMA (Capital Managers Asia) diketahui sangat erat kaitannya dengan kelompok Bakrie. Anindya Bakrie, yang kini menjabat Direktur Utama Bakrie Telecom Tbk, juga menjadi Direktur Operasional Capital Managers Asia Pte Ltd, yang berpusat di Singapura.

Data dari Accounting and Corporate Regulatory Authority di Singapura menjelaskan, perusahaan ini didirikan pada 2000. Pemegang sahamnya adalah Robertus Bismarka Kurniawan dan Nalinkant Amratlal Rathod. Robertus saat ini menjabat sebagai Direktur ANTV, stasiun televisi yang didirikan kelompok Bakrie. Sedangkan Nalinkant adalah Komisaris Utama Bumi dan Direktur Utama Bakrie & Brothers.

Saat dimintai konfirmasi, juru bicara Fajar Bumi Sakti, Andi Muchtar, mengaku tidak tahu perihal perubahan struktur kepemilikan perseroan. Ia hanya mengetahui kepemilikan perusahaan sudah di tangan Grup Bakrie sejak 1992. Bakrie, kata dia, masuk melalui PT Bakrie Tondongkura Pratama, yang membeli 100 persen saham pemilik lama.

Bakrie Tondongkura, dia melanjutkan, sudah gulung tikar pada 1995-1996. “Sejak itu, yang kami tahu Grup Bakrie masih pemilik Fajar Bumi Sakti,” katanya ketika dihubungi Tempo, Senin pertama Februari lalu.

Andi mengungkapkan belum ada perubahan dalam akta notaris perusahaan. Pada akta itu, Nalinkant A. Rathod duduk sebagai Komisaris Utama. “Saya tidak ingat sejak kapan Pak Nalin jadi Komisaris Utama di sini, sudah lama,” ujarnya.
Ia melanjutkan, Direktur Utama Fajar Bumi Yufli Gunawan dan Direktur Andi Pravidia dulu bekerja di Capital Managers Asia Pte. Yufli menjabat Direktur Utama sekitar dua tahun lalu, menggantikan Azis Marsuki. “Ketika menjabat Direktur Utama, Azis dibantu direkturnya, Charlie Kasim,” katanya.

Tempo menemukan, nama Charlie Kasim sekarang masih bertengger sebagai Direktur Keuangan PT Visi Media Asia, induk perusahaan pemilik stasiun televisi TVOne. Charlie juga menempati posisi yang sama di situs berita VIVAnews.com. Kedua media ini terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie.

Saat ditemui akhir Januari lalu, Direktur Utama Bumi Ari Saptari Hudaya dan Komisaris Utama Bumi Nalinkant A. Rathod membantah adanya konflik kepentingan dalam transaksi tersebut. Nalin memastikan kepemilikan Bakrie di Fajar sudah dilepas sejak krisis pada 1997. “Saat krisis, Bakrie menjual aset-asetnya, tapi namanya di perusahaan memang tidak diubah,” ujar dia.

Tapi akta perubahan Fajar Bumi Sakti hasil rapat umum pemegang saham pada 16 Juni 1997 menunjukkan, justru ketika itu, Bakrie Investindo dan Nirwan Dermawan Bakrie memperbesar porsi sahamnya di Fajar. Berdasarkan akta ini pula, pada 1 September 2000 Fajar didaftarkan di Kantor Pendaftaran Perusahaan Jakarta Selatan.

Di dalam akta itu dituliskan, modal Bakrie Investindo, yang sebelumnya menempatkan Rp 6,732 miliar (sebanyak 67.320 lembar saham), bertambah menjadi Rp 27,72 miliar (sebanyak 277.200 lembar). Sedangkan Nirwan memperbesar modal dari Rp 68 juta (680 lembar saham) menjadi Rp 280 juta (2.800 lembar saham). Sehingga total modal dasar naik dari Rp 10 miliar menjadi Rp 28 miliar.

Masih mengacu kepada buku Indonesian Coal Book, jejak Bakrie di Pendopo Energi, yang berdiri pada 20 November 1997, juga tampak jelas. Buku itu menyebutkan pemilik mayoritas saham Pendopo Energi Batubara adalah PT Bakrie Capital Indonesia sebanyak 90 persen, sedangkan sisanya PT Barito Putra 10 persen.

Selanjutnya, di Darma Henwa, terdapat rekam jejak kepemilikan saham Long Haul dan Capital Managers. Keduanya sampai 28 November 2008 dilaporkan masih memegang saham masing-masing 11,53 persen dan 8,97 persen. Tapi, pada laporan bertanggal 30 Desember 2008, keduanya lenyap dari daftar pemegang saham berjumlah 5 persen atau lebih.

Jejak Long Haul bertaburan di kelompok usaha Bakrie. Penelusuran Tempo menemukan Long Haul memiliki saham sebanyak 8,08 persen di PT Bakrie Telecom Tbk sampai 30 Januari 2009. Perusahaan ini juga menggenggam 21,51 persen saham Bakrie & Brothers sampai 31 Januari 2009. Bahkan, sampai 31 Maret 2008, Long Haul masih memiliki 18,9 persen saham Bumi.

Siapa pemilik Long Haul? Masih jadi misteri sampai sekarang. Cuma, pada 2003, sewaktu ribut-ribut mengenai divestasi 51 persen saham PT Kaltim Prima Coal, yang merupakan anak usaha Bumi, pernah terungkap pemilik perusahaan yang beralamat di Charlestown, Pulau Nevis, Karibia, ini.

Beberapa di antaranya adalah pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo B. Sulisto, Iman Taufik, dan Kusumo Martorejo. Ketiganya sampai sekarang masih menjabat komisaris Bumi. “Saya sendiri, Iman Taufik, Kusumo, dan teman-teman di Kadin menjadi pemegang saham di sana,” ujarnya ketika itu.

Namun, ketika dimintai konfirmasi kembali soal ini pada Jumat lalu, Suryo membantah pernah mengatakan memegang saham Long Haul. Sambil tergelak di ujung telepon, ia mengungkapkan tidak pernah memegang saham Long Haul dan tidak mengetahui siapa pemegang sahamnya.

Meski begitu, dalam penjelasannya kepada otoritas bursa, nama Capital Managers, Bakrie Capital, Bakrie Investindo, dan Long Haul memang sudah tidak ada lagi dalam struktur kepemilikan saham tiga perusahaan itu. Sebagai gantinya, muncul nama Ancara Properties Ltd dan Indomining Resources Holding Ltd.

Dua perusahaan yang berdomisili di Republik Seychellesdi, Samudera Hindia, ini secara tidak langsung menguasai 99,9 persen saham Fajar dan 95 persen Pendopo. Bumi Resources Investment, anak usaha Bumi, membeli saham Fajar dan Pendopo dari mereka. Sedangkan Bumi masuk ke Darma setelah membeli 80 persen saham Zurich Assets International Ltd dari Goodrich Management Corporation.

Kalangan analis berbeda pendapat mengenai maksud dari transaksi Bumi ini. Seorang analis yang enggan disebutkan namanya menduga transaksi ini hanyalah trik sebagian pemegang saham untuk mengambil uang dari Bumi untuk menutupi utang induk usahanya.

Namun, analis lainnya condong pada dugaan bahwa transaksi ini hanya bertujuan “menggoreng” saham Bumi yang sempat terpuruk akibat krisis keuangan dunia. Ia pun tidak melihat upaya tersebut sebagai langkah Bakrie & Brothers untuk menggerus keuntungan Bumi demi melunasi semua kewajiban-kewajibannya.

Argumentasinya, jumlah uang muka yang dibayarkan kepada ketiga perusahaan itu sedikit sekali. Sedangkan sejumlah besar sisanya dicicil dalam tempo tiga tahun. Keanehan lainnya, Fajar dan Pendopo belum tergolong perusahaan yang menghasilkan batu bara cukup banyak. “Masih greenfield, kenapa dibeli?” kata analis itu.

Semua spekulasi di atas dibantah Direktur Utama Bumi Ari S. Hudaya. Ia berujar ketiga perusahaan tersebut telah lama diincar Bumi. Contohnya, Pendopo, ujar dia, mulai dipantau sejak perusahaan itu meminta bantuan keuangan ke Bumi pada 2007. Menurut Ari, perusahaan ini punya kontrak tambang generasi ketiga, tapi tidak diapa-apakan.

Dia memastikan ketiga perusahaan tersebut dibeli semata-mata untuk mendukung bisnis Bumi. Fajar Bumi, ia membeberkan, dibeli karena sudah memiliki keahlian dan pengalaman menggali batu bara bawah tanah. Kualitas batu bara yang dihasilkannya juga sudah cukup tinggi, mencapai 6.200 kilokalori.

Adapun Darma Henwa, kata dia, dibeli untuk menjamin pasokan alat-alat berat bagi dua anak usahanya, yaitu Arutmin dan Kaltim Prima Coal. “Saya akan dorong Darma menjadi operator besar,” kata Ari. Darma juga disebut akan memperkuat posisi tawar Bumi menghadapi kontraktor-kontraktor lainnya.

Sedangkan Pendopo dibeli karena mempunyai keahlian di bidang gasifikasi (pengolahan batu bara menjadi gas) dan pengembangan pembangkit listrik. “Di sini Bumi akan menjadi pemasok batu baranya,” ujar Ari.

Ia pun membantah adanya benturan kepentingan di antara pihak-pihak yang memiliki ketiga perusahaan. Dia juga membantah adanya keterkaitan antara Long Haul dan Bakrie.

Ari membenarkan bahwa dulu Long Haul pernah memiliki saham di Bumi, Arutmin, dan Bakrie Capital. Tapi itu bukan berarti ada hubungan kepemilikan saham antara Long Haul dan kelompok Bakrie. “Asosiasinya orang selalu ke sana, dikait-kaitkan. Buat apa saya bantah, didiamkan saja,” kata dia.

Walau bantahan Ari sudah cukup detail, rupanya Bapepam punya pandangan sendiri. Dalam perbincangan dengan Tempo, Fuad Rahmany mengaku sudah memegang bukti-bukti bahwa transaksi tersebut material. Artinya, nilainya mencapai 10 persen dari pendapatan atau 20 persen terhadap ekuitas.

Selain itu, Bapepam memperoleh bukti-bukti adanya afiliasi alias keterkaitan di antara para pemegang sahamnya. Nyambung-nyambung, tektok-tektok. “Memang tidak langsung dan tidak kelihatan. Tapi, kalau dibuka, informasinya begitu,” ujar dia. Bapepam pun berpendapat harga beli ketiga perusahaan tersebut kelewat mahal.
Fuad berjanji akan menuntaskan penyidikan kasus ini setelah selesai melakukan valuasi independen terhadap nilai transaksinya. “Kalau tidak tuntas, orang akan menganggap di pasar modal Indonesia itu bisa seenak-enaknya,” kata dia.


Translate »