Simpang Siur Nasib Warga Tiga Desa


SIDOARJO – Warga tiga desa dalam wilayah penanganan Perpres 40/2009 kini dihadapkan pada ketidakpastian. Sesuai Perpres ini, Desa Siring Barat, Desa Jatirejo Barat, dan sebagian Desa Mindi harus segera dikosongkan demi keselamatan masyarakat paling lama 2 (dua) tahun. Sebagai kompensasi, warga diberi uang jatah hidup (jadup) selama enam bulan, selain uang kontrak rumah dan biaya evakuasi. Belum ada kepastian nasib setelah jatah hidup enam bulan habis.

Ibu Budi Rahayu (50 tahun), warga Siring Barat, terpaksa pindah mengontrak di Perumahan Mutiara Citra Asri (MCA), Kecamatan Candi, Sidoarjo, meskipun tidak ada kejelasan soal ganti rugi asetnya. Uang jadup diterima Rahayu sudah lima kali, yang kini seharusnya enam kali. “Yang keenam terlambat,” tuturnya. Memang, Januari ini warga Siring Barat dan Jatirejo Barat memasuki bulan ke-6 setelah warga menerima uang kontrak pada bulan Juli 2009.

Bulan Juni 2009, terjadi insiden rumah ambles sedalam 6 meter di Desa Siring Barat akibat penurunan tanah (land subsidence). Insiden ini disertai semburan gas yang menyebabkan kebakaran dan membuat satu orang luka-luka. Menyusul peristiwa ini, Pemerintah menetapkan Siring Barat dan Jatirejo Barat sebagai kawasan tak layak huni, dan harus segera dikosongkan. Warga diberi kompensasi uang evakuasi Rp 500.000 per kepala keluarga (KK), uang kontrak rumah Rp 2,5 juta per KK untuk satu tahun, dan uang jatah hidup Rp 300.000 per bulan per jiwa selama enam bulan.

Skema itu kemudian ditetapkan dalam sebuah Perpres beberapa bulan kemudian. Persisnya, 23 September 2009, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua  Perpres 14 Tahun 2007. Pada Pasal 15b ayat 8 disebutkan, dalam rangka penanganan sosial kemasyarakatan di wilayah Jatirejo Barat, Siring Barat dan Mindi wilayah tersebut harus segera dikosongkan demi keselamatan masyarakat paling lama 2 (dua) tahun. Sedangkan Pasal 15b ayat 9 menyebutkan, pada saat wilayah dikosongkan warga diberi bantuan berupa bantuan uang kontrak selama 2 (dua) tahun bantuan tunjangan hidup selama 6 (enam) bulan dan biaya evakuasi. Terdapat 756 KK atau 2.174 jiwa di tiga desa itu. BPLS menyiapkan dana Rp 60 miliar untuk bantuan sosial tersebut.

Tapi warga tiga desa, seperti Rahayu, hanya menerima uang kontrak satu tahun. Dan bagi Rahayu, pindah kontrak berarti ekonomi menurun. Di tempat kontrakan, Rahayu tidak bisa berjualan es campur seperti sebelumnya. Terpaksa, ia tetap berjualan di depan rumahnya di Siring Barat, walau penghasilan merosot tajam. “Saya dulu, sebelum lumpur, dan karyawan pabrik rokok belum pindah, bisa menghasilkan uang sebesar 100 ribu sampai 200 ribu. Tapi sekarang dapat 20 ribu saja sudah untung,” ujarnya.

Untuk itu, setiap hari Rahayu pulang pergi dari kontrakanya yang ada Perumahan MCA ke tempatnya dia berjualan ditemani putrinya. Dia nekat berjualan demi menghidupi kedua anaknya. Sudah hampir enam bulan Rahayu dan warga yang lainnya mengontrak tetapi nasib warga Siring Barat juga belum jelas. Rahayu sangat menyayangkan tindakan pemerintah dalam menangani warga Siring Barat.

Sementara itu, berbeda dari warga Siring Barat, warga Jatirejo Barat banyak yang masih bertahan di rumahnya walaupun uang kontrak sudah mereka terima. Nemok Sutikno (49 tahun) misalnya. Warga yang tinggal di Jatirejo RT 02 RW 02 ini masih tetap bertahan di rumahnya. Pasalnya selain rumah di desa Jatirejo masi bisa ditempati, Nemok dan keluarganya khawatir tentang ketidakjelasan asetnya. “Saya masih tetap bertahan di Jatirejo sebelum ada kejelasan soal aset saya,” tegas Nemok.

Menurut Nemok, warga yang tinggal di desa Jatirejo ini rencananya akan direlokasi ke Kahuripan Nirwana Village (KNV), namun itu semua masih simpang siur. Warga berharap ada kejelasan soal nasib  mereka agar tidak berlarut-larut. (novik)
(c) Kanal News Room


Translate »