Warga Desak Transparansi Jaminan Kesehatan


SIDOARJO – Warga timur tanggul lumpur Lapindo yang berada di Desa Besuki Timur, Jabon, mendesak pemerintah agar memberikan keterbukaan informasi mengenai jaminan kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan banyak warga mengeluh sulitnya memperoleh jaminan kesehatan gratis karena dinilai tidak ada dalam data pemerintah. Padahal mereka termasuk kategori miskin, apalagi setelah lumpur Lapindo melenyapkan sawah-sawah Desa Besuki.

Hal tersebut terungkap dalam pertemuan warga Desa Besuki Timur dengan pihak Dinas Kesehatan Sidoarjo, Jumat sore (15/10/2010). Pertemuan yang diselenggarakan di salah satu rumah warga tersebut dihadiri sekitar seratus orang warga sekitar. Dr. Djoko Setijono, mewakili Dinas Kesehatan, mendapat berbagai pertanyaan dari warga, terutama mengenai Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).

“Jamkesda dikeluarkan oleh Pemprov Jatim,” terang Setijono. “Semua warga Jatim sudah dengan sendirinya memperoleh kartu Jamkesda warna abu-abu, artinya bebas biaya rawat jalan. Sedangkan bagi yang memperoleh Jamkesda warna biru, berarti bebas biaya rawat inap.”

Warga juga bertanya mengenai layanan kesehatan khusus bagi korban Lapindo, terutama bagi warga Desa Besuki Timur yang tidak dimasukkan Peta Area Terdampak (PAT) oleh pemerintah maupun Lapindo. Warga merasa tidak ada informasi yang jelas dari pemerintah, padahal kondisi kesehatan lingkungan di sekitar tanggul kian memburuk.

Menanggapi hal itu, Setijono mengakui memang tidak ada lagi pengobatan gratis bagi warga korban lumpur Lapindo. “Penanganan kesehatan gratis pernah ada pada awal-awal semburan, namun sekarang tidak ada lagi. Sekarang semua melalui program Jamkesmas dan Jamkesda,” ungkap Setijono yang kini juga menjadi PLT. Kepala Puskesmas Jabon ini.

Pertanyaan banyak terlontar ketika membahas bagaimana penerima Jamkesmas dan Jamkesda ditentukan. Sebab, warga hanya tahu kartu Jamkesmas dibagi-bagikan langsung tanpa pengumuman soal pendataan sebelumnya. Sedangkan banyak warga yang miskin tidak menerima, yang menurut petugas dikarenakan tidak ada datanya. “Banyak warga yang tidak mempunyai kartu Jamkesmas,” ujar Abdul Rochim, salah satu warga Besuki. “Kami ingin tahu syarat-syarat mendapat Jamkesmas itu bagaimana. Kok katanya data dikirim dari bawah, tapi kami tidak pernah melihat ada pendataan di lapangan,” lanjutnya.

Setijono menanggapi bahwa pihaknya tidak berwewenang mencetak kartu Jamkesmas atau Jamkesda. Pihaknya berposisi sebagai pelayan kesehatan. Penentuan penerima Jamkesmas/Jamkesda ada di pemerintahan pusat atau provinsi. “Data-datanya biasanya diambil dari statistik di kecamatan, yang kadang tidak dimutakhirkan,” terang Setijono. Misalnya, Jamkesmas 2010 didasarkan pada data 2007 atau 2008. “Makanya kadang ada penerima kartu yang bahkan orangnya sudah meninggal,” tambahnya. Karena itu, Setijono mengusulkan, jika ada pertemuan lagi, hendaknya pihak kelurahan atau kecamatan turut dihadirkan, agar bisa diklarifikasi langsung.

Warga lainnya menanyakan soal layanan-layanan apa saja yang digratiskan. Sebagian yang hadir memang memiliki kartu Jamkesmas, namun kadang masih diminta bayar biaya-biaya obat tertentu. Ada warga yang mengalami diberi obat gratis, namun bayar suntikan. Ada yang disuruh beli obat di apotek luar. “Kalau Jamkesmas semua gratis, rawat inap sekalipun. Jamkesda tergantung kartu warna abu-abu atau biru,” ujar Setijono. “Memang kadang kami di Puskesmas tidak dikirim cairan atu suntikan dari gudang farmasi, tapi di rumah sakit semua lengkap. Jika ada masalah, bisa langsung komplain ke saya,” tambah Setijono.

Pertemuan berlangsung selama kurang lebih dua jam. Merasa kurang lengkap, warga berencana akan menghadirkan pihak kelurahan dan kecamatan pekan depan. Selain itu, warga juga minta daftar tertulis obat atau layanan gratis bagi pemegang kartu Jamkesmas/Jamkesda. (vik/ba)

(c) Kanal Newsroom


Translate »