Lumpur Penimbun Nurani


dr. Egha Zainur Ramadhani – Entah apa yang ada dalam benak mereka. Ketika sekelompok warga, menarik perhatiannya, dan menuntun kendaraan yang ditumpanginya untuk singgah di dekat gundukan tanggul yang tinggi itu.

Entah apa yang terasa, saat orang-orang itu mengantarnya berkeliling, menceritakan asal-muasal berhektar-hektar lumpur di hadapannya, sembari menyelipkan sebuah pesan, “kami tak tergoda dengan cicilan ganti rugi itu, selama keadilan belum kami rasakan”.

Boleh jadi sebuah memori saat ia berkeras mengatakan banjir lumpur ini bermula dari gempa jogja terlintas kembali. Boleh jadi lobby-lobby dengan pemerintah dan pihak-pihak lain yang gencar dilakukannya kala itu muncul di benaknya. Atau, boleh jadi kepalanya hanya mengangguk-angguk tanpa makna, mengingat lumpur di hadapannya juga tengah merendam nuraninya. Boleh jadi…

Sejarah mencatat, inilah salah satu tragedi kontrovesial yang belum berujung, semenjak kemunculannya pada pertengahan 2006 lalu. Tak hanya ‘mengusir’ paksa ribuan orang dari 3 kecamatan; sendi perekonomian, kesehatan, dan akses beberapa wilayah di Jawa Timur juga terpengaruh.

Jika kemudian bencana ini kini terlihat terhenti, sesungguhnya itu hanyalah kamuflase belaka. Kamuflase yang terjadi saat tatapan mata terhadang oleh tingginya tanggul. Kamuflase saat melihat lumpur di dalamnya seolah telah mengendap. Kamuflase yang semoga tidak memburamkan sisi kritis kita. Karena kenyataan yang ada berkata lain.

Tanggul penahan itu hanyalah solusi sementara. Fakta menunjukkan, rentetan kejadian yang di alami penduduk di sekitar tanggul menjadi bukti masih aktifnya efek lumpur ini. Beberapa bangunan di dekat tanggul menjadi tak layak huni karena kerusakan struktur dan pondasinya. Rasa air sumur yang pahit juga kiat menguatkan hal tersebut.

Maka, sungguh ironi ketika menengok kembali asal muasal lumpur maut ini, dan menyandingkannya dengan akibat yang ada kini. Sangat ironi karena ulah manusia ada didalamnya.

Berawal dari sebuah perusahaan bertajuk Lapindo, anak perusahaan grup konglomerat di negeri ini, yang mengebor ranah Minyak dan Gas Bumi (migas) berdasar klausul Kontrak Kerja Sama dengan pemerintah di Blok Brantas. Disinyalir, ada tindakan di luar prosedur kala itu yang baru diketahui kemudian. Lapindo diduga ‘sengaja menghemat’ biaya operasional dengan tidak memasang casing (selubung bor). Pemasangan selubung ini termasuk dalam standar operasional dalam pengeboran migas.

Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing memang berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun, ceritanya lain jika dilihat dari perspektif keamanan dan keselamatan lingkungan. Dan, benar saja, lumpur yang ada di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali di wilayah penambangan tersebut.

Kambing hitam segera dicari. Gempa Jogja yang belum lama terjadi ditunjuk menjadi penanggungjawabnya. Alhasil, segeralah teori semburan pasca gempa dimaklumatkan untuk mencari permakluman.
Pada awalnya teori yang seolah logis ini dapat merasuk ke dalam opini masyarakat. Seiring berjalannya waktu, kelogisan teori ini dipertanyakan. Puncaknya, dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition yang dilaksanakan di Afrika Selatan, terkuak data sesungguhnya. Kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dan dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli:

“3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung GEMPA JOGJA sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan PENGEBORAN sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pengeboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini”.

Siapa Menanam, seharusnya dia yang Menuai. Hanya, faktor ‘kuasa’ dan ‘kekuasaan’ kadang memberi pengaruh lain. Pemerintah hanya membebankan kepada Lapindo pembelian lahan ‘bersertifikat’ untuk 4 desa (Kedung Bendo, Renokenongo, Siring, dan jatirejo). Sementara desa-desa lainnya ditanggung APBN, juga penanganan infrastruktur yang rusak.

Bisa dibayangkan, bagaimana dengan warga yang belum bersertifikat, mengingat proses sertifikasi tanah itu sendiri belum merata? Bagaimana pula dengan wilayah bencana yang terus meluas ini, masihkah ditanggung APBN di kelak kemudian hari?

Apalagi sebuah penelitian ilmiah oleh Richard Davies dan peneliti lainnya, yang diterbitkan dalam Journal of the Geological Society, memprediksi semburan ini masih akan berlangsung sekurang-kurangnya dalam 26 tahun ke depan.

Semoga napas kesabaran ini masih cukup panjang menghadapinya. Ahh… Kadang jadi berandai-andai, alangkah nikmatnya saat punya ‘teman’ berkuasa. Kesalahan yang ada bisa dipoles dan dibebankan pada negara, toh saya juga adalah warga negara.

(c) www.satuportal.net
Lomba Artikel 5 Tahun Kasus Lapindo, Lumpur Penimbun Nurani


Translate »