Lima Tahun Lumpur Lapindo, Ibu dan Anak Meninggal


Uslikh Hariadi (42 tahun), warga Siring Barat RT. 01/01 Kecamatan Porong, harus merelakan istri dan anaknya meninggal akibat kesehatan mereka yang terus memburuk. Lapindo maupun pemerintah tak memberikan bantuan apapun bagi perawatan istri dan anak Hariadi hingga mereka menghembuskan nafas terakhir.

Awalnya, pada tahun 2010 silam, istri Hariadi, Wahyuda (36 tahun), mengidap kanker servik stadium 2B. Mulanya Hariadi tidak tahu penyakit yang diderita istrinya. Wahyuda sebelumnya mengaku mengalami keputihan pada 2008. Tapi saat diperiksakan di Rumah Sakit Dr. Subandi, Sidoarjo, Hariadi baru mengetahui kalau istrinya mengidap kanker servik. “Awalnya istriku mengalami keputihan. Saat saya periksakan, istri saya mengidap kanker servik,” kisah Hari, mengenang istri tercintanya.

Penyakit Wahyuda semakin hari semakin memburuk dan kemudian harus diperiksakan di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya. Wahyuda harus menjalani kemoterapi sebanyak lima kali. “Sekali terapi, kami harus mengeluarkan biaya Rp 16 juta. Saya hanya buruh pabrik. Untuk biaya perawatan istri, saya harus jual perabotan rumah saya, dan pinjam ke sanak saudara,” ujar Hari.

Menurut Hari, Wahyuda juga harus menjalani perawatan kankernya dengan cara disinar sebanyak 30 kali. Perawatan ini menghabiskan biaya sebesar Rp 30 juta. Jelas bukan biaya kecil bagi Heri yang hanya karyawan pabrik es dikawasan Siring, Porong.

Setelah menjalani perawatan secara serius, kondisi istrinya tidak juga membaik. Semakin parah, bahkan. Tubuh Wahyuda tidak hanya dijangkiti kanker servik, melainkan juga mengidap masalah jantung, paru-paru, ginjal dan kencing manis. Akhirnya, Wahyuda meninggal pada 24 April 2011.

Penderitaan Hari tidak berhenti di sini. Belum genap 40 hari kematian istrinya, anak bungsunya, Julian Agung Pratama (4,6 tahun), juga meninggal karena mengidap infeksi radang otak. Sebelum diketahui mengidap infeksi radang otak, menurut Hari, anaknya sering mengeluh dan tak tahan dengan bau gas yang keluar dari lumpur Lapindo. “Anak saya tidak tahan dengan bau lumpur. Jika angin mengarah ke barat, kepalanya sering demam dan badannya dingin,” cerita Hari. Desa Siring Barat tempat Hari tinggal hanya berjarak 500 meter dari pusat semburan Lapindo ke arah barat.

Tidak tega melihat kondisi anaknya, Hari memeriksakan anaknya ke RS Dr. Sutomo Surabaya. Dan diketahuilah apa penyakit anak Hari sesungguhnya. “Saat saya periksakan di RS Dr. Sutomo, baru ketahuan anak saya mengidap infeksi radang otak,” tutur Hari. Julian harus menjalani pemeriksaan secara serius.

Hari sudah tidak punya biaya lagi. Sejumlah orang menyarankan Hari untuk mengurus Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk meringankan biaya pengobatan dan perawatan Julian. Namun, belum sempat menindaklanjuti saran itu, kondisi kesehatan Julian semakin memburuk setelah 12 hari opname, dan akhirnya meninggal pada tanggal 22 Mei 2011. “Anak saya opname di RS. Dr. Sutomo selama 12 hari, dan tidak bisa diselamatkan,” ujar Hari. “Belum genap 40 hari ibunya meninggal, anak saya menyusul. Sekarang, sudah 6 hari anak saya meninggal.” Hari berkisah sembari menahan kesedihan yang begitu mendalam.

Hari sadar, kesedihan tidak akan mengembalikan kehidupan anak dan istrinya. Yang sangat ia sayangkan, tidak ada perhatian dari Lapindo maupun Badan Penaggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Seharusnya anak dan istrinya mendapatkan layanan kesehatan dari pemerintah dan Lapindo. Namun, Hari tidak mau larut dari kesedihan. Dirinya masih mempunnyai tanggung jawab untuk merawat kedua anaknya, Setiawan Hariadi (17 tahun) dan Andre Julianto (12 tahun). (vik)

(c) Kanal Newsroom

 


Translate »