Category: Bingkai

  • Warga Peringati 12 Tahun Semburan Lumpur Lapindo

    Porong, 29 Mei 2018 – Pagi sekitar jam delapan (29/5) terasa terik di atas tanggul lumpur Lapindo. Musim kemarau sudah dirasakan sejak akhir April. Hujan tak lagi ada. Panas terik disertai bau menyengat lumpur ditengah suasana bulan ramadhan tak menyurutkan puluhan warga korban Lapindo dari berbagai wilayah untuk memperingati 12 tahun tragedi semburan ini. Untuk diketahui, pada 29 Mei 2006 lumpur Lapindo untuk pertama kalinya diketahui menyembur. Ia menjadi bencana yang luar biasa menghancurkan saat dampaknya tak ditangani dengan baik. Desa-desa terdekat dengan semburan merasakan ganasnya lumpur. Rumah, sawah, pabrik-pabrik, dan sekolah terkubur lumpur. Hingga hari ini, semburan lumpur masih terus berlangsung.

    Pengurus negara masih dipandang tak menangani lumpur Lapindo dengan baik hingga kini. Penyelesaian dampak lumpur dengan hanya memberikan ganti kerugian tanah dan bangunan milik warga berujung pada tak terpulihkannya hak-hak warga korban. Lumpur Lapindo membuat kerusakan lingkungan bagi wilayah sekitarnya. Tanah, sungai, kolam, tambak, dan sumur-sumur warga tidak bisa lagi digunakan seperti sebelumnya. Berbagai jenis logam berat ditemukan oleh banyak penelitian. Udara juga tak kalah buruknya. Akibatnya kesehatan warga menurun. Redaksi Kanal merekam beberapa temuan peneliti dan lembaga: kandungan logam berat Pb, Cr, Cd, Arsen dan Hg ditemukan tinggi oleh DR Ir Dwi Andreas Santosa(Antara 14 Desember 2016). Timbal(Pb) dan Kadmium (Cd) jauh melebihi ambang batas aman bagi lingkungan dan manusia (Walhi Jatim, 2008). Tarzan Purnomo 92014) menemukan Cd di air >0.01 ppm, Pb >0.03 ppm. Cadmium dalam tubuh ikan 0.037- 1.542 ppm dan Timbal 0.179-1.367 ppm (>0.008 ppm). Ditemukan 8 jenis logam berat di lumpur Lapindo: tembaga (Cu), besi (Fe), mangan (Mn), kobalt (Co), seng(Zn), kadmium (Cd), molibdenum (Mo) dan boron(Bo) oleh Dagdag, dkk (2015).

    Pada lima tahun awal periode semburan, infeksi pernapasan warga meningkat tajam.  Puskesmas Porong mencatat sekitar 24 ribu warga yang menderita ISPA pada 2005, tahun berikutnya meningkat hingga lebih dari 28 ribu. Jumlah tertinggi mencapai 63 ribu warga pada 2010. Tidak ada jaminan khusus yang diterima korban Lapindo untuk bisa mendapat layanan kesehatan. Mereka harus mengurus surat keterangan miskin jika tak mampu berobat. Untuk mendapat jaminan negara melalui Jamkesda, mereka juga mesti bersusah payah agar bisa masuk daftar penerima jaminan. Saat sistem jaminan kesehatan nasional berlaku, warga juga tak mendapat kekhususan jaminan pelayanan seperti korban bencana. Mereka harus berusaha masuk dalam daftar penerima, atau menjadi peserta JKN secara mandiri.

    “Ide bahwa seolah-olah kasus lumpur Lapindo sudah selesai hanya karena pembayaran kompensasi jual beli tanah bangunan sudah selesai, padahal masih banyak perihal kasus-kasus lain yang belum terselesaikan yang harus dialami warga korban Lumpur akibat semburan,” ujar Rere Christanto, direktur Walhi Jawa Timur. Ia lebih lanjut menjelaskan seharusnya taggung jawab pemerintah adalah mengembalikan hak korban. Salah satu yang paling menonjol adalah kesehatan warga.  Material lumpur Lapindo yang keluar berupa air, lumpur, sedimen, maupun gas semuanya mengandung bahan racun. Dari banyak penelitian diketahui berbagai jenis logam berat seperti timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) tersebar di sekitar area semburan lumpur. Walhi Jatim pernah menemukan adanya jenis poliaromatik hidrokarbon (PAH) yang cukup tinggi. Munculnya berbagai jenis penyakit dan memburuknya kesehatan warga patut diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan yang sangat buruk.

    Harwati, korban Lapindo dari Siring menuturkan hal yang sama. Ia merasakan benar bagaimana dampak lumpur Lapindo tidak hanya pada hilangnya harta bendanya tetapi juga anggota keluarganya yang meninggal karena sakit. Penyakit-penyakit semacam kanker banyak dijumpai.  Orang mati mendadak banyak diketahui, namun tidak ada yang melihat ada hubungan dengan lingkungan yang buruk. Ia berharap agar pemerintah melakukan tindakan-tindakan guna memulihkan kondisi yang ada. “Kesehatan, pendidikan, dan ekonomi yang saat ini diharapkan warga,” kata Harwati. Ia berharap pemerintah turun lapangan dan memeriksa dengan baik kondisi yang ada agar didapatkan pemahaman situasi dengan baik. “Jangan hanya bertanya saja, turun lapangan dan benar-benar lakukan,” pesan Harwati.

    Hal senada disampaikan Rere,”Pemerintahan harus memikirkan ada sebuah jaminan kesehatan ke seluruh masyarakat yang terdampak karena lingkungannya sudah rusak. Bukan mereka yang merusak tetapi akibat bencana lumpur Lapindo. Pemerintah seharusnya merespon dengan cepat karena kalau tidak, lama kelamaan makin banyak orang sakit, makin banyak orang menderita. Kalau tidak ada tanggung jawab pemerintah, ini sama saja membiarkan orang mati perlahan-lahan.”

    Ada dua langkah cepat yang menurutnya bisa dilakukan pemerintah. Pertama, membuat peta kerawanan bencana untuk menunjukan seberapa luas racun dari lumpur Lapindo ini menyebar baik melalui air, melalui sedimen, maupun melalui udara. Kedua, memberikan jamian kesehatan kepada warga agar mereka tidak harus mengeluarkan biaya pengobatan. (Fika_C)

  • Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015)

    Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015)

    Tanggal 29 Mei 2015, semburan lumpur Lapindo genap berusia sembilan tahun. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, warga secara mandiri mengorganisasi peringatan semburan lumpur yang telah memporak-porandakan kehidupan sosial dan lingkungan mereka. Semua itu diselenggarakan demi suatu usaha mengingat tragedi industri migas paling fenomenal di republik ini.

    Pada kesempatan ini Redaksi Kanal menghadirkan sebagian rekaman kegiatan komemoratif itu.

    Foto-foto oleh Daris Ilma dan Rita Padawangi.

    Unduh versi pdf di sini.

     

  • Di Atas Monumen Petaka Industri Migas

    Di Atas Monumen Petaka Industri Migas

    Salah satu fenomena sosial baru yang menyusul semburan lumpur Lapindo adalah maraknya kunjungan publik ke Porong. Para pengunjung itu tidak hanya berdatangan dari wilayah di sekitar Sidoarjo, beberapa datang jauh-jauh dari luar Jawa dan bahkan luar negeri. Mereka datang untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri, beberapa juga mengabadikan sebuah momen langka: kehadiran mereka di atas monumen petaka industri migas di republik ini.

    Foto-foto: Henri Ismail/PorosPhoto; Teks: Anton Novenanto

    Unduh versi PDF di sini.

    This slideshow requires JavaScript.

     

     

  • Tanah Yang Hilang

    Tanah Yang Hilang

    Tahun 2005, saya bertugas untuk pemotretan perajin perak di desa Reno Kenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Desa yang sebagian warganya bertani ini memiliki sentra usaha kecil kerajinan perak yang juga memasok kerajinan perak di pulau Bali. Saya mengingat desa ini dengan suasana khas pedesaan. Halaman rumah yang luas dan warga yang antusias mengelap kerajinan perak setengah jadi di teras rumah mereka. Selebihnya, masjid, sekolah dan jalan desa yang aspalnya mulai tergerus adalah pemandangan lain yang saya ingat.

    Ingatan akan tanah yang makin tenggelam oleh lumpur membawa saya kembali menelusuri jejak kampung halaman warga di kecamatan Tanggulangin, Porong dan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Tragedi Lumpur Sidoarjo ini kemudian menuntun saya untuk sedikit demi sedikit mengumpulkan rekam jejak kampung halaman yang makin hilang. Rumah, sawah, sekolah, masjid, makam, kantor pemerintahan, pabrik, dan jalan desa berangsur hilang ditelan lumpur.

    Mamuk Ismuntoro – Nukilan dari buku Tanah yang Hilang (Pannafoto, 2014)

    (versi PDF unduh di sini)

    This slideshow requires JavaScript.

  • Penghancuran Terencana

    Penghancuran Terencana

    Selang beberapa tahun berlalu, terdapat banyak perubahan kondisi di sekitar semburan lumpur Lapindo. Tidak hanya lingkungan fisik, melainkan juga terjadi perubahan sosial dan budaya.

    Setelah masuk dalam skema Perpres, warga harus menjual tanah dan rumahnya. Kondisi ini secara otomatis pula memaksa mereka untuk meninggalkan kampung halaman dan mencari permukiman baru. Sebelum meninggalkan rumah dan tanahnya, biasanya warga menghancurkan bangunannya sebab sisa bangunan itu bisa dimanfaatkan dengan dijual atau dimanfaatkan lagi jika membangun rumah baru.

    Foto-foto ini hanyalah sekelumit cerita mengenai dampak lumpur Lapindo, sebuah bencana teknologi yang menyisakan kehancuran. Desa dan kampung kini menjadi wilayah mati. Desa tak berpenghuni. Sisa puing bangunan rumah yang telah dihancurkan. Kehancuran itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Kehancuran itu terjadi karena telah direncanakan. Inilah beberapa potret penghancuran terencana itu.

    Teks dan foto oleh Lutfi Amiruddin

    Versi PDF unduh di sini.

    “Go Away From Porong”

    Proses pembongkaran rumah di tepi Jalan Raya Porong di seberang tanggul penahan lumpur. Setelah “masuk peta” berdasarkan Perpres 68/2011 dan dibeli pemerintah dengan APBN, tanah dan bangunan yang berada dalam wilayah Kelurahan Siring Barat ini harus dibongkar. Tulisan “Go Away from Porong” terpampang pada salah satu dinding bangunan yang masih tersisa. Judul itu menyiratkan pula bahwa penghuni yang mendiami tanah itu harus pergi meninggalkannya. (Aperture priority, F/8, 1/640sec, ISO 400)

    Puing-Puing

    Ini bukanlah sawah yang sedang diairi, melainkan tanah bekas bangunan yang telah dibongkar. Genangan air berasal dari hujan yang turun pada pagi sebelum foto ini diambil. Dahulu lokasi tersebut merupakan permukiman warga. Namun, demi kelancaran penyelesaian bagi korban lumpur Lapindo melalui skema Perpres, semua warga harus rela tanah dan bangunannya dibeli, termasuk wilayah Kelurahan Siring Barat ini. Setelah tanah dan bangunan dibeli, maka bangunan dibongkar, dan hanya menyisakan puing-puingnya. (Aperture priority, F/8, 1/800 sec, ISO 400)

    Tanggul Protes

    Tanggul penahan lumpur tidak hanya berfungsi untuk menahan lumpur agar tidak meluap, tetapi juga dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat memampang spanduk protes. Protes biasanya ditujukan kepada pihak Lapindo yang belum melunasi cicilan jual beli rumah dan tanah berdasarkan Peta Area Terdampak 22 Maret 2007. Protes juga kerap berisi tuntutan pertanggungjawaban Lapindo atas kerusakan lingkungan di wilayah kecamatan Porong dan Jabon, Sidoarjo. Tanggul penahan lumpur bukan sekedar bangunan fisik, melainkan juga arena pertarungan berbagai macam opini. (Aperture priority, 1/8, 1/400 sec, ISO 400)

    Masih Bertahan

    Salah satu rumah di sebelah barat tanggul di Jalan Raya Porong ini masih bertahan. Meskipun sudah miring akibat penurunan tanah, sang pemilik menolak untuk menjualnya. Rumah ini bisa jadi akan menjadi rumah terakhir yang masih berdiri di antara rumah lain yang telah dirobohkan. Memang penyelesaian korban Lapindo dengan cara menjual aset berupa rumah dan tanah dirasakan oleh korban bukanlah cara yang adil. (Manual, f/22, 1/60 sec, ISO 400)

    Kampung Mati

    Dulu, lokasi ini adalah kampung, tempat warga hidup bertetangga. Rumah itu dulu ditempati oleh beberapa keluarga. Di rumah itu pula mereka hidup, membesarkan, dan mendidik anak-anak mereka. Namun, setelah “masuk peta” dan melalui proses jual beli, beberapa bangunan rumah hanya menunggu waktu untuk dihancurkan. Penghuninya pun harus pindah dan mencari permukiman baru. Kini, tidak ada lagi manusia yang mendiaminya. Yang tersisa hanyalah seonggok batu bata yang direkatkan oleh semen menunggu gilirannya untuk dihancurkan. Sebuah musholla pun menunggu untuk dihancurkan. Ruang sosial, tempat interaksi sosial, kini hanya menjadi puing-puing yang tak berguna. (Aperture priority, f/10, 1/400 sec, ISO 400)

    Jangan Dibongkar

    Salah satu dinding rumah warga yang belum dibongkar. Pemilik bangunan belum membongkar dinding rumah ini lantaran pihak Lapindo belum melunasi proses jual beli bangunan dan tanah. Mempertahankan sisa bangunan ini penting karena dapat digunakan sebagai bukti luas bangunan yang harus dibeli oleh pihak Lapindo. Meskipun telah enam tahun berlalu sejak Perpres 14/ 2007 ditetapkan, proses cicilan jual beli tanah antara PT Minarak Lapindo Jaya dengan korban belum juga terlunasi sepenuhnya. (Aperture priority, f/8, 1/100sec, ISO 400)

  • Pelanggar HAM Berat

    Pelanggar HAM Berat

    Salah seorang perwakilan Jaringan Rakyat Miskin Kota Indonesia membacakan pernyataan sikap saat peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia di kantor LBH Jakarta, Selasa malam (10/12/2013). Dalam pernyataan sikapnya, para korban yang berasal dari Kendari, Makassar, Tulang Bawang, Bandar Lampung, Jakarta, Surabaya dan Porong Sidoarjo menuntut agar pemerintah memberikan hukuman berat kepada Aburizal Bakrie sebagai pelanggar HAM berat atas kasus lumpur Lapindo.

    FOTO: FRINO BARIARCIANUR

    pelanggar ham berat

    Sumber: http://kabarkampus.com/2013/12/foto-bakrie-di-dada-manusia-lumpur-lapindo/

  • Lumpur Lapindo Kini (2013)

    Lumpur Lapindo Kini (2013)

    Lumpur Lapindo Kini (2013)

    This slideshow requires JavaScript.

     

     

     

    Diunduh dari: (http://www.tempo.co/read/beritafoto/7109/Lumpur-Lapindo-Kini/1)

  • Sekolah Tenggelam, Ujian Nasional Numpang

    Sekolah Tenggelam, Ujian Nasional Numpang

    32 siswa MA Khalid bin Walid mengikuti ujian nasional di rumah kepala sekolahnya di Desa Glagaharum, Porong, Sidoarjo. Hal ini dikarenakan gedung sekolah utama di Desa Renokenongo terendam lumpur sejak 24 Oktober 2008 silam.

    Sudah dua kali MA Khalid bin Walid menyelenggarakan UAN di luar gedung utama. Pada tahun 2009, sekolah ini mengadakan UAN di toko bahan bangunan dan tahun ini di rumah kepala sekolahnya yang berjarak 50 meter dari toko bahan bangunan.

    Salah satu siswa, Ika Fatma Riawanti (18) mengakui kalau rumah tempat belajarnya sekarang sangat tidak memenuhi standart untuk proses belajar mengajar. Ika juga berharap supaya pihak terkait merelokasi sekolahnya agar adik kelasnya nanti bisa melaksanakan UAN di gedung sekolah yang layak. (fahmi)

    This slideshow requires JavaScript.

  • Sebelum Menjadi Kedung

    Sebelum Menjadi Kedung

    Barangkali sebentar lagi, mereka hanya akan menyimpan rumah-rumah itu dalam laci ingatan. Belasan warga Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, masih memilih bertahan di tempat tinggal mereka, persis di sisi utara tanggul lumpur Lapindo. Lumpur beracun yang bercampur air hujan perlahan menggenangi hunian mereka.

    BPLS berkali-kali mengatakan perlunya kolam penampung (pond) baru. Belasan rumah warga Kedungbendo itu sebentar lagi akan benar-benar menjadi kedung (kolam). Warga menolak pergi. Mereka belum punya rumah baru di tempat lain. Pembayaran Lapindo atas tanah dan bangunan mereka dilakukan dengan cara cicilan, dan selalu terlambat. Basis ekonomi yang hancur membuat warga menghabiskan uang itu untuk biaya hidup sehari-hari.

    Tidak saja pelunasan aset tersendat, sejumlah warga malah belum menerima sisa pembayaran 80 persen sama sekali. Entah sudah berapa puluh kali aksi-aksi demonstrasi dilakukan, entah berapa belas kali ngluruk ke pusat-pusat kekuasaan di Jakarta. Namun kekuasaan yang pongah lebih memilih cari aman ketimbang menentang kezaliman—yang bakal diwarisi bocah-bocah yang menatap suram masa depan. (fahmi)

     

  • Tanggul Semakin Tinggi

    BPLS menyatakan telah berupaya meninggikan tanggul menghindari ambrol, juga mengalirkan air lumpur ke sungai. Alat-alat berat diturunkan. Hingga kini, ketinggian tanggul mencapai 11 meter. BPLS tidak memberikan informasi sejelas-jelasnya kepada warga mengenai daya tahan lumpur, tingkat bahaya, dan bagaimana menyelamatkan diri jika bahaya mengancam. BPLS hanya memasang papan-papan bahaya di bibir-bibir tanggul.
    Terang saja, hal itu tak mengurangi kecemasan warga. Sejumlah warga, tak terkecuali saudara jauh yang datang dari luar kota, berupaya ‘menenangkan’ semburan dengan cara-cara magis. Sejumlah warga lainnya hanya memandangi lumpur, mengumpulkan serpihan ingatan tempat tinggal mereka. [fahmi]
    {gallery}foto/lumpur100115{/gallery}
  • Mengungsi ke Ladang Tebu

    Tanah ini mereka beli secara kolektif dengan uang mereka sendiri. Mereka tidak mampu mengontrak rumah lagi. Uang pembayaran aset-aset mereka, yang mayoritas aset kecil, hanya cukup untuk membayar hutang-hutang selama tiga tahun hidup di pengungsian tanpa pekerjaan dan membeli sebidang tanah di ladang tebu ini.  Mereka membangun barak-barak alakadarnya. Suplai air dan listrik masih minus. Entah, berapa lama lagi mereka harus hidup tak layak. Lumpur Lapindo telah menghancurkan nyaris segala sendi kehidupan mereka.

    Foto-foto: Fahmi ‘Indie’ (more…)