Category: Lapindo di Media

  • BPLS Pertimbangkan Bangun Kolam Penampungan Baru

    SIDOARJO, KOMPAS – Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS mempertimbangkan membangun dua kolam baru untuk menampung lumpur di Desa Renokenongo dan Desa Besuki, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

    Hal itu diungkapkan Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain, Senin (1/9) di Sidoarjo. Menurut perhitungan BPLS, sejak pembuangan lumpur ke Sungai Porong dihentikan, Rabu lalu, kolam yang ada seluas 110 hektar hanya mampu menampung lumpur sembilan hari lagi.

    Di Desa Renokenongo, ada lahan seluas 80 hektar, sedangkan di Desa Besuki ada lahan seluas 25 hektar. Persoalannya, belum semua warga memperoleh ganti rugi. Di Desa Renokenongo masih ada 75 keluarga yang tinggal. Padahal, desa tersebut termasuk dalam peta terdampak lumpur Lapindo. Sebagian besar warga desa sudah mengungsi, khususnya yang telah terima ganti rugi.

    Desa Besuki, yang belakangan dimasukkan ke dalam peta terdampak lumpur Lapindo bersama Desa Pejarakan dan Kedungcangkring, masih dalam proses pengukuran tanah dan bangunan.

    ”Untuk rencana pembuatan kolam penampungan di Desa Besuki, Deputi Operasi BPLS sudah berkoordinasi dengan PT Minarak Lapindo Jaya,” katanya.

    Kegiatan pembuangan lumpur di Sungai Porong dihentikan akibat protes warga yang khawatir endapan lumpur akan membuat air sungai meluap di musim hujan. Di sisi lain, pembuangan seluruh semburan lumpur, 100.000 meter kubik per hari, dikhawatirkan mempercepat penuhnya kolam penampungan yang ada.

    Wakil Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur Kusnadi dan Wakil Keta Komisi E DPRD Jawa Timur Kuswiyanto, saat meninjau normalisasi Sungai Porong, mengusulkan peninjauan ulang Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembuangan Lumpur ke Sungai Porong.

    Menurut mereka, perlu kajian komprehensif untuk mendapatkan solusi pembuangan lumpur selain ke Sungai Porong. ””Jika pembuangan lumpur ke sungai menimbulkan dampak lebih berbahaya, perpres perlu ditinjau ulang,”” ujar Kuswiyanto. (APO)

  • PT Lapindo Wajib Bayar Tanah Non Sertifikat

    Dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa pengikatan ganti rugi tanah warga yang tidak bersertifikat mengikuti aturan yang sama dengan ganti rugi bagi tanah bersertifikat. Hal itu sesuai risalah pertemuan antara Menteri Sosial, BPN, BPLS, PT Minarak Lapindo Jaya, dan perwakilan warga 4 desa korban lumpur pada 2 Mei 2007.

    Perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya menolak menandatangani kesepakatan tersebut. Mereka mengaku datang hanya mendampingi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan tidak dapat membuat keputusan sepihak. “Kami datang hanya untuk mendampingi BPLS. Tidak bisa kami langsung tanda tangan begitu saja. Kami harus mengkaji dulu,” kata Yuniwati Theryana, perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya.

    Komnas HAM yang memfasilitasi pertemuan itu akhirnya memutuskan meminta pemerintah dan warga korban menandatangani kesepakatan dengan disaksikan PT Lapindo Brantas dan PT Minarak Lapindo Jaya. (E1)

  • Menteri PU: Prioritaskan Warga Perum TAS I

    Menurut Djoko, mekanisme pembayaran ganti rugi bagi warga yang wilayahnya masuk dalam peta terdampak diatur dalam Keputusan Presiden 14/2007.  “Tolong diberikan prioritas kepada warga Perum TAS yang sampai saat ini belum dapat 20 persen,” katanya.

    Djoko Kirmanto yang mengaku baru mengetahui fakta ini kemudian meminta konfirmasi pada Yuniwati Theryana, perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya. Yuniwati mengatakan, warga yang belum menerima 20% ganti rugi belum memenuhi semua syarat yang ditetapkan. Menurut dia, PT Minarak telah menyelesaikan ganti rugi 12.100 berkas tanah warga yang sudah lengkap. “Jika sampai sekarang belum dibayar, tentu ada hal yang belum dipenuhi,” katanya.

    Juru bicara warga Perum TAS I Sumitro membantah pernyataan Theryana Yuniwati. Menurut dia, alasan warga menunda penyerahan berkas karena ada pelanggaran yang dilakukan PT Minarak Lapindo Jaya. “Tertundanya berkas itu karena ada poin-poin kesepakatan jual beli yang ingin diubah Lapindo. Padahal hal itu tidak diatur dalam risalah Wapres,” ujarnya.

    Saat ini setidaknya terdapat 100 orang warga Perum TAS  I yang belum mendapatkan ganti rugi 20%. Padahal, berdasarkan kesepakatan warga dengan PT Lapindo dalam risalah Wakil Presiden, batas waktu pembayaran ganti rugi 20% April 2008.

    “Kami putus asa dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai akhirnya kami terpaksa menyerahkan berkas ke PT Minarak Lapindo Jaya, Januari lalu. Tapi sampai sekarang belum juga diproses,” kata Sumitro. (E1)

  • Tanggul Penahan Lumpur Lapindo Jebol

    PT MLJ Mengaku Membayar Ganti Rugi Bertahap

    SIDOARJO, KOMPAS – Tanggul lumpur Lapindo di titik 44 di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, jebol pada hari Selasa (26/8) sekitar pukul 05.00. Sehari sebelumnya, warga menduduki tanggul dan memblokir akses kendaraan proyek penanganan lumpur untuk menuntut ganti rugi.

    Pada Senin lalu, sekitar 500 warga memblokir lima pintu masuk menuju tanggul dalam upaya menuntut sisa pembayaran ganti rugi sebesar 80 persen yang belum diterima dari PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Aksi itu membuat aktivitas penanganan tanggul penahan lumpur terhenti. Polisi membubarkan aksi pada pukul 17.00 sehingga kegiatan penanganan tanggul pulih.

    Tanggul yang jebol selebar 6 meter dan tinggi 3 meter tersebut mengakibatkan lumpur meluber dan menutupi jalan yang dilalui truk dan traktor di areal tanggul. Luberan lumpur juga mengenai Desa Renokenongo, tetapi belum membahayakan warga yang masih tinggal di desa tersebut.”

    Jebolnya tanggul sudah kami perkirakan. Hal tersebut akibat terhentinya aktivitas penanganan tanggul penahan lumpur karena pemblokiran warga,” kata Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain di Sidoarjo, Selasa.

    Jika tanggul yang jebol tidak segera ditangani, kata Zulkarnain, dikhawatirkan lumpur akan meluber lebih luas ke permukiman warga Desa Renokenongo.

    Apalagi saat ini seluruh lumpur yang keluar dari semburan dibuang ke kolam penampungan karena pipa pembuangan ke Sungai Porong ditutup atas desakan warga sejak Rabu pekan lalu.

    Berdasarkan perhitungan BPLS, daya tampung kolam seluas 110 hektar tersebut menyisakan waktu sekitar 15 hari lagi. Lebih dari itu, kolam tidak mampu menampung semburan lumpur sebanyak 100.000 meter kubik setiap hari.

    ”Kami berharap dapat kembali membuang lumpur ke laut melalui Sungai Porong,” kata Zulkarnain.

    Koordinator Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres), Suwito, yang kemarin memimpin pemblokiran akses ke tanggul, bersikukuh meminta PT MLJ segera membayarkan sisa ganti rugi sebesar 80 persen.

    ”Kami belum menentukan langkah berikutnya. Kami akan berkoordinasi lagi dengan seluruh warga dalam mengupayakan pembayaran sisa ganti rugi yang belum kami terima,” tuturnya.

    Bertahap

    Sebelumnya, Wakil Presiden PT LMJ Andi Darussalam Tabussala mengemukakan, pihaknya sudah membayar sisa ganti rugi 80 persen senilai hampir Rp 210 miliar untuk 538 warga penerima ganti rugi cash and resettlement. Selain itu, ganti rugi cash and carry senilai hampir Rp 148 miliar juga sudah dibayarkan untuk 648 warga.

    ”Kami tetap bertanggung jawab menyelesaikan ganti rugi. Jika ada keluhan, warga korban lumpur saya minta menghadap langsung ke PT MLJ,” ujar Andi. Menurut dia, sampai kini pembayaran sisa ganti rugi tetap berlangsung meski secara bertahap.

    Saat ini masih ada sekitar 1.000 korban lumpur yang belum menerima ganti rugi karena masih dalam proses verifikasi oleh BPLS. (APO)

  • Mereka yang Dihapus dari Peta

    Siring adalah desa kecil di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang dibelah oleh Jalan Raya Pos. Siring Timur sudah terhapus dari peta sejak lumpur Lapindo Brantas menyembur 29 Mei 2006. Siring Barat tinggal menunggu waktu terhapus dari peta. Perlahan namun pasti, tanah di Siring Barat ambles ke dalam bumi.

    Sebelum Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dibangun, Sidoarjo hanyalah pasar kecil pada sebuah persimpangan menuju Mojokerto, Malang, atau Surabaya. Ahli tata kota dari Universitas Gadjah Mada, Sudaryono, menyebutkan, Sidoarjo adalah satu dari kota-kota modern di Jawa yang tumbuh karena Jalan Raya Pos. Titik kebangkitan kota ini terutama terjadi tahun 1867 ketika jalur rel kereta api lintas Jawa dibangun.

    Namun, Sidoarjo (khususnya Porong) kini memudar. Bermula dari lumpur yang keluar di Desa Reno Kenongo, Kecamatan Porong, desa-desa lainnya mulai terhapus dari peta bumi. Sedikitnya 12.000 warga kehilangan rumah, jumlah yang mungkin terus bertambah karena belum ada tanda semburan berhenti.

    Penyebab semburan lumpur masih memicu kontroversi. Banyak yang menyalahkan Lapindo Brantas Inc yang melakukan pengeboran minyak bumi sekitar 150 meter dari pusat semburan. Lapindo Brantas Inc menyalahkan gempa bumi Yogyakarta, yang berjarak 300 kilometer dari pusat semburan, sebagai pemicunya.

    Sirna

    Apa pun penyebabnya, bencana itu membawa penderitaan luar biasa bagi rakyat.

    Siring Barat, Agustus 2008. Seorang gadis kecil tidur di kursi tamu, di dalam rumah yang nyaris ambruk. Tiga batang kelapa menyangga kuda-kuda rumah yang melengkung ke bawah. Lantai ambles. Dinding rengkah memanjang. Bau gas yang menyengat menguar dari rengkahan itu. ”Kami tak punya tempat tinggal lain,” kata Ikhwan (44), ayah gadis kecil, Nurul Aini (11), yang tengah tidur siang itu.

    Setengah jam di rumah itu, perut terasa mual dan kepala berdenyut akibat menghirup gas yang menyengat. Penelitian Tim Kajian Kelayakan Permukiman (TKKP) menunjukkan, gas di Siring Barat mengandung nitrogen dioksida (NO>sub<2>res<>res<) berkadar 0,116 ppm dan hidrokarbon (HC) hingga 55.000 ppm. Gas-gas ini karsinogenik, dan memicu kanker. Padahal, ambang baku mutu yang diizinkan—sesuai dengan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Jatim Nomor 129 Tahun 1996—untuk HC hanya 0,24 ppm dan NO>sub<2>res<>res< 0,05 ppm. Padahal, keluarga Ikhwan tinggal di sana dua tahun terakhir ini.

    Keluarga Sutiman (72) juga senasib. Mereka terpaksa tinggal di rumah yang nyaris roboh. ”Kasihan cucu-cucu, terpaksa tinggal di rumah seperti ini. Tapi, mau apa lagi? Kami tak punya uang untuk pindah,” ujar Sutiman.

    Perlahan tapi pasti, desa demi desa di Porong terhapus dari peta. Rumah-rumah hilang. Sekolah hilang. Tempat kerja hilang. Masjid juga hilang.

    Hilangnya Porong seakan mengingatkan pada sirnanya Majapahit seperti tercatat dalam Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi, yaitu ketika sirna ilang kertaning bhumi, yang menunjuk tahun 1400 Saka/1478 M. Secara leksikal, penyebutan angka juga dapat didefinisikan bahwa sirnanya

    Majapahit adalah ketika ”musnah hilang sudah selesai pekerjaan bumi”. Porong— sebagai bagian dari Delta Sungai Brantas —pernah menjadi pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Jenggala, sekitar tahun 950 M-1500 M.

    Zona tak bertuan

    Sutiman dan ratusan warga Siring Barat lainnya seperti hidup di zona tak bertuan. Penderitaan mereka tak dianggap. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 tak memasukkan desa mereka dalam zona terdampak yang berhak mendapatkan ganti rugi dari Lapindo Brantas Inc.

    Perpres Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Perpres Nomor 14 Tahun 2007 juga tak memasukkan Siring Barat yang nyata terkena dampak itu ke wilayah yang mendapat prioritas penanganan.

    Padahal, menurut Ketua Forum Komunikasi 9 Desa di Porong dan Tanggulangin Bambang Kuswanto, ada sembilan desa lain di luar desa terdampak yang jelas kena dampak. Yang terparah adalah Siring Barat, Jati Rejo Barat, dan Mindi.

    Pakar manajemen bencana dari Institut Teknologi Sepuluh November Amien Widodo mengaku tak habis pikir dengan kondisi ini. ”Nyawa orang tidak ada harganya di Siring Barat. Tiap detik adalah maut, tapi tak ada tindakan,” kata Amien, yang juga anggota tim peneliti TKKP.

    Tim TKKP yang dibentuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur ini sejak Mei 2008 telah merekomendasikan agar warga Siring Barat, Jati Rejo Barat, dan Mindi segera dievakuasi. Menindaklanjuti rekomendasi itu, Gubernur Jatim Imam Oetomo mengirimkan surat kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pada 5 Mei 2008. Imam meminta agar 628 keluarga di tiga desa itu direlokasi. Namun, hingga sekarang belum ada respons dari Jakarta.

    ”Masalah ini sudah dibahas bersama DPR. Masalahnya, anggaran kita terbatas,” kata Sekretaris BPLS Adi Sarwoko.

    Data terakhir dari BPLS menyebutkan, titik semburan mencapai 98 buah. ”Apa lagi yang ditunggu? Jangan sampai ada korban lebih banyak,” sebut Amien.

    Sutiman dan ribuan warga di Sidoarjo tak hanya kehilangan ruang aman untuk tinggal, tetapi juga sejarah hidup. Akankah mereka juga dibiarkan kehilangan masa depan? (RYO)

    © Kompas

  • Dibutuhkan Kolam Penampungan Baru

    SIDOARJO, KOMPAS – Daya tampung kolam penampungan lumpur Lapindo diperkirakan hanya bertahan 21 hari sejak pipa pembuangan lumpur ke Sungai Porong ditutup atas desakan warga pada Rabu lalu. Agar lumpur tidak meluber dibutuhkan tempat penampungan yang baru.

    Demikian penjelasan Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain di Sidoarjo, Jawa Timur, kemarin. Saat ini, lanjut Zulkarnain, ada empat kolam penampungan yang digunakan untuk membuang lumpur Lapindo, yakni kolam Perumtas, Siring, Ketapang, dan Glagaharum I.

    Luas semua kolam penampungan sekitar 110 hektar. Nama keempat kolam tersebut diambil dari nama desa yang kini tenggelam oleh lumpur panas Lapindo,” kata Zulkarnain.

    Setiap hari, lanjutnya, sekitar 100.000 meter kubik lumpur masih keluar. ”Padahal, kami tidak pernah tahu kapan lumpur ini akan berhenti menyembur,” kata Zulkarnain. Ia berharap warga kembali mengizinkan pembuangan lumpur ke Sungai Porong.

    Unjuk rasa

    Di tempat berbeda, warga delapan desa korban lumpur Lapindo menyatakan akan memblokir areal tanggul di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Senin (25/8) pagi ini. Sebab, hingga kemarin pihak Lapindo belum juga melunasi sisa ganti rugi yang menjadi hak korban lumpur.

    ”Sampai sekarang Lapindo tidak pernah menjelaskan kapan sisa ganti rugi akan dibayar. Padahal, masa kontrak rumah warga sudah mulai habis,” kata Rois, koordinator warga Desa Siring.

    Berdasarkan surat kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh pimpinan Lapindo dan Bupati Sidoarjo pada 4 Desember 2006, pihak Lapindo akan membayar ganti rugi dengan skema 20 persen di muka dan sisanya dibayar selambat-lambatnya dua bulan sebelum masa kontrak rumah para korban lumpur habis. Selama menunggu pencairan sisa ganti rugi itu, warga diberi uang kontrak rumah untuk masa dua tahun.

    Pada umumnya, warga korban lumpur mengontrak rumah pada Agustus 2006. Karena itu, Agustus ini banyak warga korban lumpur yang sudah habis masa kontraknya. Lumpur Lapindo tidak hanya mengakibatkan tenggelamnya sejumlah desa atau tempat tinggal warga. Kemarin toko-toko di sepanjang Jalan Raya Porong yang langsung berhadapan dengan tanggul penahan lumpur pun semakin banyak yang tutup.

    Menurut beberapa pemilik toko yang ditemui, transaksi semakin merosot akibat banyak warga Porong yang menjadi korban lumpur pindah.(APO/LAS/NAW)

  • Aku Ingin Pulang

    Tragedi lumpur Lapindo adalah bencana ekologis terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Sejak bencana itu terjadi pada 29 Mei 2006 hingga hari ini tidak ada upaya nyata untuk menghentikan semburan lumpur ini. Warga korban luapan lumpur panas yang mengungsi di Pasar Baru Porong mencapai 14.768 jiwa. Meskipun sebagian kecil dari mereka telah mendapat bantuan kompensasi dari pihak Lapindo, warga terlanjur kehilangan mata pencaharian, tempat bernaung, segenap harta benda serta hidup dan kebersamaan yang telah terbangung.

    Telah banyak warga yang mengalami gangguan fisik, sebanyak 49.639 jiwa menjalani rawat jalan, 1.130 orang menjalani rawat inap tersebar di berbagai pos kesehatan dan rumah sakit. Penderita gangguan jiwa telah puluhan orang diakibatkan tinggal di lokasi pengungsian. Anak-anak terganggu dalam aktivitas belajar mengajar, 33 gedung sekolah negeri dan swasta, mulai tingkat TK hingga SMA telah terendam lumpur.

    Kerugian akibat Lumpur mencapai Rp 33 Triliun, serta tidak terhitung angka kerugian akibat bencana lingkungan dan sosial yang terjadi. Dan angka-angka akan terus bertambah sepanjang lumpur tetap mengalir….… Entah sampai kapan, hanya ada satu yang pasti …warga Porong yang desanya telah terendam lumpur, tidak akan pernah pulang kembali ke rumahnya.

    Untuk lebih jelas tentang peristiwa ini silahkan lihat di Jatam (www.jatam.org), Walhi (www.walhi.or.id), dan Gekko Studio (www.gekkovoices.com).

    Klik untuk melihat video :

  • Pipa Pembuangan Lumpur Ditutup

    Jalan Raya Porong dan Rel KA Terancam

    SIDOARJO, KOMPAS – Sebanyak 10 dari 15 pipa pembuangan lumpur ke Sungai Porong ditutup sejak Rabu (20/8) pukul 22.00. Penutupan dilakukan Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS atas desakan warga. Namun, dalam hal ini berisiko mengurangi ketahanan tanggul dan lumpur bisa meluber.

    Rabu malam di Kantor Kecamatan Porong, BPLS menyosialisasikan normalisasi Sungai Porong di hadapan sejumlah warga dan 11 kepala desa di Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ke-11 desa itu dilalui aliran Sungai Porong.

    BPLS menyatakan, normalisasi Sungai Porong menunggu musim hujan agar di Dam Lengkong di Mojokerto tersedia cukup air untuk menggelontor endapan lumpur. Namun, warga menolak rencana itu karena khawatir jika endapan lumpur tidak segera diatasi Sungai Porong keburu meluap.

    Warga mendesak agar lumpur tidak dialirkan ke sungai dan pipa pembuangan ditutup. Beberapa warga mengancam akan memotong pipa pembuangan jika desakan mereka tidak dipenuhi.

    Akhirnya, melalui stasiun pompa, pembuangan lumpur ke Sungai Porong dihentikan. Pipa pembuangan yang ditutup terdiri dari empat pipa di Desa Besuki dan enam pipa di Desa Kedungcangkring. Lima pipa lain sudah tidak berfungsi karena terendam oleh endapan lumpur di sungai.

    Kepala Desa Kedungcangkring Abdul Rosyid, Kamis, mengatakan, endapan lumpur di Sungai Porong yang makin tinggi membuat warga cemas. Saat ini permukaan air Sungai Porong sudah di atas tanah permukiman dan sawah warga Desa Besuki serta Kedungcangkring akibat air tertahan endapan lumpur. Mereka khawatir pada musim hujan air sungai meluap dan merendam rumah.

    Wira’i (59), petani Desa Besuki, menyatakan, ia kini tidak bisa lagi mengolah sawah karena ada rembesan air dari sungai.

    Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, lumpur yang dialirkan ke sungai adalah 10 persen dari volume semburan lumpur. Padahal, total semburan sekitar 100.000 meter kubik per hari.

    ”Jika seluruhnya terus dibuang ke kolam penampungan, akan mengancam ketahanan tanggul yang berbatasan langsung dengan Jalan Raya Porong dan rel kereta api di sisi barat tanggul. Selain itu juga mengancam permukiman warga Kecamatan Tanggulangin di sisi utara tanggul,” katanya.

    Tebal endapan lumpur di Sungai Porong 3-5 meter dengan panjang endapan sekitar 500 meter. Saat ini BPLS berupaya mengeruk lumpur dengan mesin keruk. Selain dua alat keruk yang ada, BPLS berencana menambah dua alat keruk lagi. (APO)

    © Kompas

  • Resah, Warga Ancam Blokade

    Sidoarjo – Surya-Ratusan warga korban lumpur Desa Siring resah, karena sudah dua bulan ganti rugi 80 persen belum juga dibayar Lapindo. Padahal, sesuai perjanjian, pembayaran 80 persen dilunasi setelah warga menerima pembayaran yang 20 persen.

    “Padahal pembayaran uang muka 20 persen, sudah dilakukan akhir Juni, seharusnya paling lambat 14 hari pembayaran itu dilakukan setelah masa kontrak rumah habis,” kata H Mursidi, salah satu korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Rabu (13/8).

    Dengan belum dibayarnya hak mereka, ujar Mursidi, warga menilai Lapindo mengingkari komitmen kepada korban lumpur. “Kami mengikuti aturan cash and carry karena lahan kami bersertifikat, tapi sekarang mana komitmennya Lapindo kok belum juga ditransfer,” paparnya.

    Mursidi mengaku pernah tanya ke Vice President PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darusalam Tabusalla, tapi justru hanya mendapat jawaban melalui SMS yang isinya Minarak masih mengurus dan sedang konsentrasi menangani menengah.

    Mursidi mengancam, jika dalam minggu ini Minarak belum melunasi 80 persen warga akan memblokade jalur penanggulan dan jalan raya Porong. “Kami akan merebut kembali aset kami, kami akan patok kawasan kami yang terendam lumpur,” ancam Mursidi.

    Andi Darusalam Tabusalla, menjelaskan jika masalah pembayaran ganti rugi 80 persen saat ini sudah berjalan. “Kalau ada keterlambatan itu mungkin hanya masalah akunting perbankan saja,” kilahnya, di Kantor Minarak, Rabu (13/8). (iit)

     © Surya

  • Ratusan Korban Lumpur Demo Balai Desa Besuki

    Sidoarjo – Ratusan warga korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc asal Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jatim mendatangi kantor desa setempat.

    Kedatangan warga mendesak Kepala Desa Besuki, M Siroj untuk mengirim surat ke pemerintah pusat, agar nilai ganti rugi tiga desa yaitu Penjarakan, Besuki dan Kedungcangkring Utara nilainya disamakan dengan korban lumpur terdahulu.

    Ali Mursyid, salah satu koordinator keluarga Besuki menyatakan, desakan dari masyarakat warga perlu, karena dikhawatirkan pemerintah akan memberikan ganti rugi yang nilainya tidak sama dengan korban lumpur empat desa sebelumnya yakni Siring, Renokenongo, Jatirejo dan Kedungbendo.

    “Kami mendengar isu bahwa ganti rugi akan diberikan kepada tiga desa yang di bawah ganti rugi yang diberikan Lapindo Brantas. Warga minta disamakan nilainya”, katanya menegaskan.

    Ia mengatakan, indikasi akan diberi nilai ganti rugi lebih rendah bisa dilihat, dari pemerintah pusat hingga kini belum mengumumkan nilai ganti rugi tersebut. Kendati pemerintah sudah menetapkan tiga desa masuk peta terdampak yang akan mendapatkan ganti rugi.

    “Jika nilainya tidak sama dengan yang dibayar Lapindo, tidak adil, karena sama-sama menjadi korban. Bedanya kalau korban terdahulu ditanggung Lapindo, namun tiga desa diberi pemerintah melalui APBN-P”, katanya menambahkan.

    Selain itu, warga tetap meminta agar sawah mereka dibeli 120 ribu per meter, tanah pekarangan Rp1 juta dan bangunan Rp1,5 juta. 

    Setelah mendapat penjelasan dari Kades, M Siroj, warga yang datang dengan membawa poster bertuliskan tuntutan kemudian membubarkan diri. “Tuntutan warga akan kami sampaikan ke pemerintah pusat melalui surat”, kata M Siroj.

    © Antara

  • Warga Tolak Padamkan Semburan Api

    Sidoarjo – Surya-Warga Desa Siring Barat RT3/RW1 Kecamatan Porong, dikagetkan dengan munculnya semburan api di tempat semburan liar, tepatnya di Jl Flamboyan, Selasa (19/8) pagi. Namun warga melarang BPLS atau petugas lainnya, memadamkan semburan api tersebut. Sebab, agar pemerintah tahu kalau kawasan Siring Barat memang sudah tidak layak dihuni manusia.

    Bambang Kuswanto, koordinator warga Desa Siring Barat menuntut agar BPLS bertanggungjawab terhadap kejadian ini.

    Menurutnya, kondisi lingkungan dan munculnya semburan liar di kawasan Desa Siring Barat ini sudah cukup membuat warga resah. Sebab selain semburan liar, saat ini banyak rumah warga mengalami retak-retak. “Kami sudah sangat resah dengan banyaknya semburan liar, sekarang malah menyemburkan api,” tambahnya.

    Ny Asih salah satu warga Siring Barat, mengatakan ia dan keluarganya resah dengan semburan liar yang memunculkan api tersebut. Jika tidak ada penanganan dan respon dari pemerintah, warga mengancam akan menutup jalan. “Kami akan turun jalan menutup jalan sampai kapanpun,” kata Ny Asih, yang tempat tinggalnya berada paling dekat dengan lokasi semburan liar.

    Humas BPLS Akhmad Zulkarnain mengatakan, memahami keresahan warga. “Semua semburan liar yang ada di wilayah Siring, mendapat perhatian dan penanganan khusus dari kami (BPLS),” kata Zulkarnain.

    Dewan pengarah pansus lumpur DPRD Sidoarjo, Jalaludin Alham yang kemarin melihat ke lokasi mengatakan kawasan Siring Barat harus mendapat perhatian karena tidak layak huni.

    “Kondisi ini sangat membahayakan, masak harus menunggu korban lebih dulu,” urai Jalaludin. (iit)

    © Surya

  • Stop Buang Lumpur ke Kali Porong

    Warga Desa Kupang Minta Pipa Pembuangan Ditutup

    SIDOARJO – Pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong dihentikan sejak kemarin. Penghentian itu dilakukan setelah Rabu malam warga Desa Kupang, Kecamatan Jabon, meminta pipa lumpur itu ditutup.

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memenuhi permintaan warga dengan mengalihkan pembuangan dari selatan ke utara.

    Menurut Kepala Desa Kupang Sudjarwo, permintaan warga dipicu kondisi kali yang semakin parah. Aliran air Kali Porong mulai terhenti dan menyebabkan permukaan hampir rata dengan tanggul. Mereka khawatir, air meluap dan terjadi banjir. ”Rumah warga bisa habis nanti,” kata Sudjarwo.

    Warga tidak yakin langkah BPLS mengerahkan ekskaponton untuk memecah endapan lumpur di Kali Prong akan efektif. Alasannya, ekskaponton tidak berguna selama pembuangan tetap dilakukan. ”Percuma jika pembuangan lumpur tidak dihentikan,” ujarnya. Atas dasar itulah, sekitar 500 warga mendatangi rumah pompa dan memaksa untuk menutupnya.

    Mulai kemarin pembuangan tidak lagi dialirkan ke Kali Porong, tetapi ke selatan. Yaitu, ke kolam lumpur Renokenongo, Kedungbendo, dan Siring. Debit lumpur yang dialirkan sekitar 100 ribu meter kubik per hari.

    Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, sementara pembuangan ke Kali Porong dihentikan. Tujuannya, demi kepentingan bersama. Dia tidak mengetahui hingga kapan penghentian itu. ”Kemungkinan hingga Kali Porong dianggap normal,” ucapnya.

    Dia juga berupaya mengerahkan ekskaponton di kali tersebut. Alat berat itu berfungsi membuat celah 10-15 meter di tengah kali. Melalui celah itu, air bisa mengalir dan menggerus lumpur yang menggendap. ”Itu langkah awal yang akan kami lakukan,” terang dia. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Siring Tak Layak Huni

    BPLS: Sudah Lama Berbahaya

    SIDOARJO ­- Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengakui, kondisi Kelurahan Siring bagian barat, Kecamatan Porong, memang berbahaya. Hal itu disampaikan Humas BPLS Achmad Zulkarnain kemarin (20/8). Menurut dia, pihaknya selalu melaporkan kondisi Siring dan sekitarnya secara rinci. “Dan, kondisinya memang tidak aman,” kata Zulkarnain.

    Namun, lanjut dia, kewenangan yang dimiliki Badan Pelaksana (Bapel) BPLS hanya menyampaikan laporan tersebut. “Sedangkan kebijakan ada di Dewan Pengarah (DP) BPLS,” tambahnya.

    Dia juga menjelaskan, laporan yang disampaikan kepada pimpinannya menggambarkan bahwa kondisi Siring berbahaya. Hasil pantauan tim independen bentukan Pemprov Jatim juga menyatakan berbahaya. “Padahal, data itu berasal dari BPLS,” tuturnya.

    Masyarakat, imbuh Zulkarnain, sering salah paham terhadap fungsi Bapel BPLS. Dia mengatakan, badan tersebut berfungsi sebagai pelaksana kebijakan di lapangan. Sedangkan penentu kebijakan adalah DP BPLS. “Jadi, wewenang kami terbatas. Sebab, kami hanya pelaksana,” terang dia.

    Penjelasan itu muncul setelah Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo mendesak BPLS segera melakukan evakuasi. “Mumpung belum ada korban,” ujar Dewan Pengarah Pansus Lumpur DPRD Jalaluddin Alham. Bahkan, Jalaluddin menilai BPLS selalu melemparkan masalah tersebut kepada pemerintah.

    Lebih lanjut Zulkarnain menegaskan, persoalan evakuasi bergantung pada kebijakan pemerintah. Artinya, jika muncul kebijakan dari DP BPLS tentang evakuasi, Bapel BPLS segera melaksanakan evakuasi. “Nah, sampai saat ini belum ada kebijakan itu, ” jelas dia.

    Namun, terang Zulkarnain, belum adanya kebijakan bukan berarti DP BPLS tidak berfungsi. Menurut dia, untuk mengeluarkan kebijakan evakuasi, tentunya harus ada pertimbangan yang rumit. “Mungkin sedang dirumuskan kebijakan menyangkut Siring dan sekitarnya,” ucap Zulkarnain.

    Seperti diberitakan sebelumnya, gas yang keluar di kawasan Siring terbakar tanpa diketahui penyebabnya. Warga setempat khawatir dan meminta BPLS bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Mereka sempat menggembosi ban sepeda motor dan mobil milik BPLS. Warga juga melarang BPLS memadamkan api.

    Api akhirnya dipadamkan kemarin malam pukul 18.30. Pemadaman itu dilakukan setelah warga yang rumahnya berdekatan meminta BPLS memadamkan api tersebut. Demi keamanan bersama, akhirnya api dipadamkan. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Kerugian Akibat Lumpur Lapindo Mencapai Rp 45 Triliun

    SURABAYA — Kerugian akibat bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, diperkirakan mencapai Rp 45 Triliun per tahun. Pernyataan ini disampaikan Tjuk Kasturi Sukiadi, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, kemarin.

    “Kerugian ini mencakup ekonomi masyarakat, industri, serta infrastruktur,” katanya. Tjuk mengatakan, akibat lumpur, kerugian ekonomi berupa aset warga mencapai Rp 8 triliun dan kerugian hilangnya potensi pendapatan warga mencapai Rp 250 miliar.

    Angka ini didapat dari nilai 824 hektare lahan yang terendam serta aset rumah warga (milik 10.430 keluarga) yang terendam lumpur dan hilangnya lapangan pekerjaan warga.

    Lapangan pekerjaan yang hilang meliputi sektor formal, seperti pabrik yang tenggelam, dan sektor informal, seperti toko pracangan, pedagang di pasar desa, warung, tukang ojek, hingga tukang becak yang ada di Porong.

    Sektor industri, menurut Tjuk, kerugiannya mencapai Rp 700 miliar berupa aset 28 pabrik (dengan 2.935 karyawan) yang terendam serta potensi hilangnya pendapatan pabrik yang per tahunnya mencapai Rp 280 miliar.

    Akibat lumpur Lapindo, sektor infrastruktur juga ikut terpukul. Infrastruktur ini meliputi jalan tol, jalan raya, jaringan pipa gas, jaringan listrik Jawa-Bali, hingga tenggelamnya sejumlah bangunan publik yang kerugiannya mencapai Rp 20 triliun.

    Selain tiga sektor ini, menurut Tjuk, masih ada kerugian sekitar Rp triliun yang dialami warga di sejumlah desa di sekitar lokasi bencana. 

    Kondisi yang memprihatinkan ini, kata Tjuk, karena 40 persen pergerakan ekonomi di Jawa Timur melalui jalan tol Surabaya-Porong yang hancur digerus lumpur. “Sebagian besar kendaraan yang ke Surabaya lewat jalur ini,” katanya.

    Di jalan tol Porong, misalnya, sebelum terendam lumpur, per hari jalan ini dilalui 60 ribu kendaraan niaga dan 30 ribu kendaraan pribadi.

    Sedangkan jalan raya Porong, sebelum ada lumpur, per hari dilalui 30 ribu kendaraan. “Karena jalan tol Porong tertutup, jalan raya Porong saat ini harus menampung 120 ribu kendaraan,” katanya.

    Akibat lumpur ini, kerugian di sektor transportasi (termasuk kereta api) mencapai Rp 3,65 triliun.

    Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan, bencana lumpur di daerahnya merugikan Jawa Timur, khususnya daerah Sidoarjo.

    Menurut dia, saat ini sektor usaha kecil menengah dan bisnis perumahan di Sidoarjo sudah mulai bangkit. “Dulu sektor perumahan drop 80 persen, tapi, alhamdulillah, saat ini sudah bangkit,” katanya.

    “Ada teori menarik, di tengah bencana, ekonomi di sektor tertentu akan naik, dan ini terjadi di Sidoarjo,” katanya.

    ROHMAN TAUFIQ

    © Koran Tempo

  • Masa Depan Warga Porong Suram

    Semburan Lumpur Lapindo agar Segera Diatasi

    Surabaya, Kompas – Warga sekitar kawasan Porong, Kabupaten Sidoarjo, terancam tidak mempunyai masa depan apabila lumpur Lapindo tidak ditangani secara tepat. Persoalannya, dampak luapan lumpur itu berkepanjangan. Lebih dari 2 tahun semburan lumpur itu telah menimbulkan dampak negatif bagi warga dan ekonomi Jawa Timur.

    Jalur di Porong ibarat urat nadi perekonomian Jawa Timur (Jatim). Pergerakan ekonomi Jatim yang melewati jalur di Porong sekitar 40 persen. Kondisi tersebut tercermin dari berbagai industri dan usaha, mulai perhotelan sampai angkutan darat. Dampak yang sangat terasa terutama untuk kawasan di sekitar Porong maupun daerah yang melewati Porong, seperti Prigen, Tretes, Pasuruan, bahkan sampai Banyuwangi.

    Selama lumpur Lapindo tidak tertangani secara baik, kawasan Porong menjadi terganggu dan ini berpengaruh terhadap pelaku usaha serta warga di sana. “Walau banyak yang mengatakan sekarang perekonomian di sana mulai pulih, itu bukan berarti tidak ada masalah,” kata pengamat ekonomi dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, Tjuk Kasturi Sukiadi, dalam Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi, Kamis (21/8). Simposium itu juga menghadirkan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

    Bahkan, rencana relokasi infrastruktur Porong menjadi pukulan tersendiri bagi warga yang menempati peta terdampak. Di satu sisi relokasi infrastruktur menjadi solusi untuk mengatasi persoalan transportasi, tetapi di sisi lain menyebabkan kawasan Porong dan sekitarnya mati. “Bisa-bisa Porong dan sekitarnya menjadi daerah yang ditinggalkan,” tuturnya. Hanya 1 persen

    Dikatakan, berdasarkan perhitungan beberapa unsur, di antaranya pariwisata, industri, dan transportasi, potensi kerugian akibat lumpur Lapindo berkisar Rp 45 triliun per tahun. Artinya, sejak semburan lumpur pada Mei 2006 sampai sekarang, kerugian akibat lumpur di atas Rp 90 triliun. “Kerugian masih terus bertambah karena belum ada jalan keluar,” kata Tjuk.

    Menurut dia, seharusnya pusat semburan lumpur ditutup. Tidak ada jalan lain. Apalagi, sumber daya manusia baik pakar dari dalam negeri maupun luar negeri siap membantu. Dengan dana yang diperlukan sekitar Rp 1 triliun, seharusnya upaya menutup pusat semburan bisa segera direalisasikan. “Ini kecelakaan teknis kok dibiarkan saja,” ujar Tjuk.

    Namun, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menilai adanya lumpur Lapindo tidak berarti mematikan Sidoarjo. Sebagai gambaran, wilayah Sidoarjo berada di atas lahan seluas 743 kilometer persegi. Sementara daerah yang terdampak lumpur Lapindo hanya 700 hektar. “Luasnya hanya 1 persen dari seluruh wilayah. Sidoarjo akan pulih,” katanya.

    Membaiknya perekonomian di sekitar Sidoarjo terlihat dari human development index Sidoarjo yang mencapai 72,85 persen. Perolehan tersebut mengacu pada beberapa kriteria, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat. “Maka, kami mengampanyekan Sidoarjo Bangkit dan memberikan kemudahan kepada masyarakat korban lumpur. Salah satunya berupa bantuan modal kerja,” ujar Win. (BEE)

    © Kompas

  • Korban lapindo Demo Patoki Tanah Mereka

    Korban lapindo Demo Patoki Tanah Mereka

    Korban Lapindo yang sampai sekarang belum terselesaikan pembayaran sisa ganti rugi 80%-nya menuntut penyelesaian secara cash and carry sesuai Perpres 14/2007. Mereka memasang patok-patok ditanggul sebagai peringatan bahwa tanah itu masih tanah mereka karena belum lunas dibayar. Mereka meminta BPLS tidak meneruskan pengerjaan tanggul selama tanah mereka belum dibayar lunas.

    Klik video dibawah ini untuk melihat berita

  • Korban Lapindo Demo Usai Upacara

    Korban Lapindo Demo Usai Upacara

    Seusai upacara bendera memperingati proklamasi kemerdekaan Indonesia, Korban Lapindo melakukan aksi demo dengan membentangkan spanduk dan menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80% dibayar secara cash and carry.

    Klik video dibawah ini untuk melihat berita

     

  • Korban lapindo Demo Usai Upacara

    Korban lapindo Demo Usai Upacara

    Seusai upacara bendera memperingati proklamasi kemerdekaan Indonesia, Korban Lapindo melakukan aksi demo dengan membentangkan spanduk dan menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80% dibayar secara cash and carry.

    Klik video dibawah ini untuk melihat berita

    © Liputan 6

  • Kontrak Habis, Ganti Rugi Tak Segera Dilunasi

    Mendesak, Normalisasi Sungai Porong

    SIDOARJO, KOMPAS  Sekitar 100 warga Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berunjuk rasa lagi menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80 persen. Saat ini kontrak rumah mereka sudah habis. Warga yang tidak memiliki uang terpaksa mengungsi kembali ke Pasar Baru Porong.

    Unjuk rasa dilakukan seusai upacara peringatan HUT Kemerdekaan Ke-63 RI di areal tanggul lumpur Lapindo, Minggu (17/8). Upacara itu diikuti anggota Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), karyawan PT Lapindo Brantas, anggota Batalyon Zeni Tempur V Brawijaya, dan warga korban lumpur dengan inspektur upacara Mayor (Inf) Rukun Santoso.

    Selesai upacara pada pukul 08.30, warga Jatirejo lantas mengibarkan spanduk bertuliskan tuntutan pembayaran sisa ganti rugi.

    Uswanti (31), salah satu warga, berteriak sambil menangis di hadapan anggota BPLS. Ia meminta agar BPLS memperjuangkan nasib korban lumpur Lapindo yang belum juga menerima sisa ganti rugi 80 persen.

    “”Masa kontrak kami sudah habis sejak Juli lalu. Seharusnya kami sudah menerima sisa ganti rugi pada Juni 2008. Kenyataannya, hingga kini ganti rugi belum kami terima,”” ujar Uswanti.

    Mereka juga belum menerima uang perpanjangan kontrak. Akibatnya, Uswanti, suami, dan dua anaknya kembali menempati Pasar Baru Porong. Sebelumnya ia mengontrak rumah di Kelurahan Sidokare, Kecamatan Sidoarjo. ””Kami terpaksa meninggalkan rumah kontrakan karena tidak punya uang untuk memperpanjang kontrak,”” katanya.

    Warga lain, Mohamad Amrul (48), mengancam akan menduduki tanggul dan menghentikan proyek penanggulangan lumpur jika sisa pembayaran tidak segera dilunasi.

    Kepala Humas BPLS Ahmad Zulkarnain menyatakan, pihaknya terus mengupayakan penyelesaian sisa ganti rugi 80 persen kepada PT Minarak Lapindo Jaya.

    Normalisasi Sungai Porong

    Sebanyak 11 kepala desa di Kecamatan Porong beserta Camat Porong Totok Mariyanto mendesak BPLS melakukan normalisasi Sungai Porong. Penyebabnya, kondisi sungai terus mendangkal akibat pembuangan lumpur ke sungai.

    ”Akibat pembuangan lumpur ke sungai, air menjadi susah mengalir, sedangkan permukaan air terus naik. “Kami khawatir jika musim hujan tiba permukiman warga yang terletak di sekitar sungai bisa terendam luapan air sungai,”” kata Totok.

    Menjawab desakan tersebut, Zulkarnain menyatakan, BPLS akan menambah alat keruk untuk memperdalam sungai agar air mengalir lancar. 

    Adapun upaya lain, yaitu menggelontorkan air ke sungai agar lumpur hanyut tidak bisa dilakukan. ”Air untuk menggelontor sungai berasal dari dam Lengkong, Mojokerto. Padahal, pada musim kemarau ini debit air di sana menipis,” kata Zulkarnain. (APO)

    © Kompas

  • Berkali-kali Dicek, Belum Masuk Rekening

    Warga Tagih Pelunasan 80 Persen

    SIDOARJO – Janji pelunasan ganti rugi 80 persen PT Minarak dipertanyakan oleh warga. Sebab, banyak warga mengaku belum menerima uang ganti rugi tersebut saat mengecek rekening di bank.

    Padahal, pada kuitansi yang mereka terima, dijelaskan bahwa uang akan ditransfer maksimal 14 hari setelah penandatanganan.

    Mursidi, salah seorang warga Kelurahan Siring, Kecamatan Porong, mengaku menandatangani akta jual beli bertanggal 26 Juni 2008. Seharusnya, uang itu masuk pada 10 Juli 2008. “Tapi, sampai sekarang uang tersebut belum masuk,” ujarnya.

    Yang bikin dia cemas, seluruh dokumen miliknya sudah diserahkan kepada PT Minarak saat penandatanganan akta jual beli. Sehingga, kini dia tidak memiliki bukti kepemilikan. “Kami merasa dirugikan,” ucapnya.

    Mursidi tidak sendirian. Banyak warga bernasib sama. Mereka sering mengecek rekening banknya melalui ATM. Hasilnya, tentu saja mereka kecele. “Kami selalu kecewa,” tutur warga yang enggan disebut namanya.

    Vice President PT Minarak Andi Darussalam Tabusalla menegaskan berkomitmen penuh pada janji yang pernah disampaikan. Yakni, pelunasan ganti rugi sepenuhnya.

    Jika sampai saat ini uang pelunasan itu belum masuk, penyebabnya adalah persoalan bank accounting (penghitungan di bank). “Jadi, mohon sabar,” jelasnya.

    Bila warga merasa resah atau dirugikan, Andi mempersilakan melapor ke kantor PT Minarak di ruko Juanda. Dia berjanji membuka diri untuk berkomunikasi dengan warga soal pelunasan dan ganti rugi. “Kami akan terbuka,” terangnya.

    Terkait cash and resettlement, Andi mengatakan tidak akan mengubah. Sebab, kebijakan itu sudah mengacu pada perpres. Yakni, pembayaran ganti rugi tersebut merupakan akta jual beli.

    Untuk persyaratan akta jual beli, harus ada sertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB). “Kami rancang itu supaya tidak ada pihak yang dirugikan,” tegasnya. (riq/ib)

    © Jawa Pos