Tag: anak-anak korban lapindo

  • Marjinal: Jangan Padamkan Semangat

    “Untuk hari ini, apa yang teman-teman rasakan setidaknya itu bisa jadi bagian pengetahuan yang akan dipahami dan dimengerti oleh teman-teman yang lain agar bisa saling menjaga lebih baik dan tetap semangat,” ujar Maik Marjinal.

    Apa yang terjadi hari ini adalah pelajaran buat ke depan. Apa yang terjadi pada anak-anak di wilayah semburan lumpur Lapindo adalah pembelajaran bagi anak-anak yang lain untuk tidak mengalami pengabaian yang sama. Jangan padamkan semangat.

    Pesan dari MARJINAL ini merupakan bagian dari solidaritas musisi Indonesia untuk menyelamatkan pendidikan anak-anak korban Lapindo.

  • Perjuangan Paguyuban Pasar Baru Porong di Jakarta

    Pada 13 Juni 2007 aku diajak, ketua Peguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo untuk memperjuangkan pengungsi di Pasar Baru, Porong, ke jakarta. Pusat kegiatannya di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat. Aku pikir berada di Ibukota itu sangat menyenangkan, tapi tidak ternyata di sana orangnya begitu sombong dan bisanya merendahkan orang yang tidak mampu termasuk kami.

    Beberapa lama kemudian seorang wartawan mendatangi kelompok kami. Dia bertanya, “untuk apa bambu runcing yang berada di pengungsian Pasar Baru, Porong itu?” “Apakah untuk perang?” Tanya wartawan tersebut sambil merendakan. Lalu kami menjawab “bambu runcing itu untuk semangat juang para korban lumpur panas Lapindo.”

    Beberapa lama kemudian aku juga berfikir bahwa bukan kita aja yang direndahkan tapi anak pinggiran-pinggiran yang di Jakarta juga begitu tidak ada yang merasa iba ataupun terharu dengan kondisi kami.

    Pada waktu itu juga ada lomba melukis untuk memberikan semangat, sore hari kami pulang ke penginapan (di rumah seseorang) begitu capeknya kami, sehabis mandi kami menulis dan melukis sepanduk untuk dibuat pawai besoknya. Pada malam hari kami bertengkar dengan salah satu kelompok kami dari perwakilan Kedungbendo.

    Pagi pun tiba, kami kesiangan untuk pergi ke Tugu Proklamasi manuju ke Monas. Kami terlambat begitu pawai dimulai kami merasa senang bahwa ada sedikit warga yang mendukung kami, dan kami mulai semangat lagi, kami begitu lelah. Sore hari kami kembali ke Tugu Proklamasi di sana begitu ramai dan banyak pameran-pameran lalu kami kembali pulang ke penginapan untuk mempersiapkan barang-barang buat kembali ke pengungsian Pasar Baru, Porong; tiket kereta api pun habis tidak ada yang tersisa untuk kami, lalu kami menyewa travel untuk pulang.

    Pada saat sampai di pengungsian aku merasa senang karena disambut orang-orang banyak dan ini disebut sebagai pengalaman yang mebuat kita tahu bagaimana merasakan orang-orang begitu semangat untuk menghadapi hidup.

    Dian Utami, siswi SMPN 3 Porong

  • Kisahku

    Kisahku

    Hampir 12 tahun sudah aku duduk di bangku sekolah. Mengenyam pendidikan yang semakin tahun semakin susah untuk didapatkan.

    Banyak anak yang putus sekolah. Beralih pada pekerjaan yang menghasilkan uang. Mungkin yang ada di benak mereka adalah “Daripada sekolah menghabiskan uang, lebih baik bekerja menghasilkan uang.” Di perempatan jalan dan lampu merah mereka mencari rezki. Apapun mereka lakukan agar dapat merasakan sesuap nasi. Membersihkan kaca mobil, mengamen bahkan meminta-minta. Mereka semua adalah mereka yang tidak bisa merasakan bangku sekolah. Mereka masih seumuran denganku, bahkan ada yang masih seumuran dengan adikku yang kini kelas 5 SD.

    Aku adalah salah satu dari mereka yang beruntung. Aku sangat bersyukur atas semua yang ada padaku. Aku bisa merasakan indahnya bangku sekolah selama hampir 12 tahun. Masa-masa indah yang aku rasakan selama sekolah mungkin tak pernah dirasakan oleh mereka yang putus sekolah. Ya… aku memang beruntung.

    Saat lulus SD aku mendaftar ke Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN). Dan keberuntungan itu berpihak padaku. Aku diterima di salah satu SMP Negri yaitu Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong.

    Setiap manusia tak selamanya memperoleh keberuntungan dalam hidupnya. Begitu pula denganku. Saat aku kelas 2 SMP, sekolah tempat aku menuntut ilmu tenggelam oleh Lumpur Lapindo. Semua pasti tahu apa, siapa dan bagaimana Lumpur lapindo itu. Aku dan seluruh siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong harus berkali-kali berpindah tempat agar kami tetap mendapatkan pelajaran.

    Terakhir kalinya kami harus menumpang di Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 1 Porong. Lokasinya sangat jauh dari rumahku. Setiap hari aku harus mengayuh sepedaku sejauh 4 km. Bisa dibayangkan, di siang yang terik saat sebagian orang sedang beristirahat dari segala kativitasnya, aku dan yang lain harus berangkat sekolah. Baru ketika aku kelas 3, hati pihak lapindo tergelitik untuk mengantarkan kami yang rumahnya jauh dari lokasi sekolah. Mereka mengirimkan beberapa truk polisi untuk mengantar kami.

    Saat Ujian Nasional (UNAS) pun lagi-lagi kami harus menumpang. Kali ini kami meumpang di Sekolah Menengah Atas Negri (SMAN) 1 Porong. Dengan segala rintangan yang telah kami hadapi akhirnya kami semua dinyatakan lulus. Kami semua sangat senang. Tapi saat kami semua merayakan kelulusan, teryata Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong sudah tak terlihat dari permukaan. Seolah itu benar-benar telah tenggelam.

    Selanjutnya, aku daftar di salah satu SMA Negri. Tapi sayang, keberuntungan memang tak berpihak padaku. Aku dinyatakan gagal. Akhirnya, mau tak mau aku harus menerima itu semua. Kini aku menuntut ilmu di sekolah swasta di seberang desaku.

    Malang tak dapat ditolak. Sawah milik ayahku terendam Lumpur Lapindo. Ugh….. aku berteriak sekeras yang aku bisa. Aku ingin berkata “Sampai kapan aku dihantui oleh Lumpur Jahannam itu???????!”

    Saat itulah kondisi ekonomi keluargaku mulai memburuk. Areal persawahan kini tak bisa ditanami apapun. Dulu ketika aku masih SMP, pembayaran SPP atau yang lain tak pernah telat. Tapi kini? Hampir beberapa bulan aku tak bisa membayar SPP. Aku selalu telat. Aku malu pada tean-temanku. Tapi aku harus sadar. Dengan apa aku membayar SPP itu? Aku tak boleh kalah dengan malu.

    Saat kelas 2 SMA Lumpur Jahannam itu kembali mengusikku. Desa tempat aku tinggal, sebagian tenggelam oleh Lumpur Lapindo karena jebolnya tanggul penahan Lumpur Jahannam itu. Yang lebih parah, hanya sebagian desa saja yang dianggap sebagai korban. Desaku memang terbelah enjadi dua sejak adanya proyek pembangunan jalan tol yang menghubungkan Sidoarjo-Malang.

    Wilayah yang dianggap sebagai korban ialah mereka yang berada di sebelah Barat Tol. Sedangkan kami yang berada di wilayah Timur Tol harus menerima ketidakadilan. Padahal pepohonan di wilayah kami telah mati akibat luberan lumpur begitu juga dengan air. Air kami telah tercemar. Contohnya saja diumahku. Semula banyak orang yang mengambil air di sumurku karena airnya sangat jernih dan segar. Tapi sekarang? Air di rumahku sangat keruh dan berasa pahit? Apa itu bukan korban? Coba pikir lagi. Banyak orang mengira aku adalah orang kaya yang telah mendapat ganti rugi. Mereka salah! Mereka tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tak tau ketidakadilan yang terjadi.

    Mereka yang dianggap sebagai korban juga mendapatkan perlakuan tidak adil. Semua orang berkata “Ganti Rugi”. Padahal itu bukan ganti rugi. Itu adalah sebuah proses jual beli antara pihak Lapindo dan mereka yang dianggap sebagai korban. Dalam setiap proses jual beli tentu ada kesepakatan antara kedua pihak. Tapi dalam permasalahan ini tidak ada kesepakatan sama sekali. Mereka yang dianggap sebagai koraban harus mau menerima apa yang telah ditetapkan oleh pihak Lapindo. Sungguh tidak adil.

    Kami hanya ingin diakui sebagai korban dari koorporasi Mu! Aku tau siapa diriMu! Aku tau siapa namaMu! Aku tau siapa penyebab penderitaan kami semua! Tapi aku tak ingin menyebutkan siapa namaMu! Karena hanya akan membuat sakit hatiku. Kau dalah orang yang serakah!

    Aku harus mengikuti program beasiswa yang diperuntukkan bagi keluarga miskin agar aku bisa tetap sekolah. Di kelasku hanya beberapa anak saja yang mengikuti program itu. Malu? Kini tidak ada kata malu dibenakku. Rasa malu itu hilang seiring dengan penderitaan yang aku alami sejak Lumpur Jahannam meluap. Hingga kelas 3 ini aku masih mengikuti program itu.

    Ujian Nasional (UNAS) tinggal beberapa bulan. Tapi aku masih belum bisa memenuhi persyaratan administratif. Banyak uang yang harus dikeluarkan diantaranya pembayaran Try Out, Penambahan Intensitas Belajar (PIB), Ujian Semester, Ujian Praktek, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan masih banyak lagi. Aku tak tahu bagaimana memberitahukan pada ayahku. Aku tak boleh patah semangat atas apa yang terjadi. Aku terus belajar agar aku menjadi pintar.

    Banyak sekali kampus yang mendatangi sekolahku. Banyak pula yang terpengaruh dengan program yang diberikan setiap kampus. Ada yang memberikan iming-iming siap kerja bagi mereka yang masuk ke kampus itu. Aku sendiri bingung. Tapi untuk apa aku bingung? Toh aku juga nggak aka kuliah?

    Teman-temanku telah menetapkan Universitas dan jurusan yang akan diambil. Saat semua sibuk mengutarakan isi hatinya yang ingin segera lulus dan merasakan dunia kuliah, aku hanya bisa mendengar dan tersenyum. Terkadang aku memberi sedikit saran. Dalam hati aku menangis. Aku ingin seperti mereka. Aku ingin bergabung dengan mereka. Membicarakan dunia perkuliahan, membicarakan jurusan yang dipilih dan membicarakan masa depan.

    Aku tak boleh egois. Untuk dapat menuntaskan bangku sekolahku saja, orang tuaku harus banting tulang. Bagaimana jika aku kuliah nanti? Dengan apa mereka harus membiayai semua itu? Daun?

    Aku pernah membicarakan masalah ini pada ayahku. Dan, “Ayah tidak punya uang untuk membiayai kamu kuliah.” Aku sebenarnya sudah tahu jawaban apa yang akan keluar. Dalam hati aku hanya bisa bicara “Mungkinkan ada Mukjizat pada keluargaku?”

    Ternyata Do’a dan usahaku tak sia-sia. Semester ganjil kemarin aku menduduki peringkat ke 4 di kelasku. Aku sangat senang. Aku menganggap itu sebuah mukjizat. Aku segera memberitahukan kabar baik ini pada ayahku. Dan memang benar. Mukjizat itu ada. Tiba-tiba ayah menyuruhku untuk mengikuti PMDK. Aku sangat senang. Aku segera mencari informasi tentang beasiswa pendidikan. Setiap hari aku membuka internet untuk mencari informasi yang aku butuhkan. Ya Tuhan! Terimakasih.

    Berbagai saran dan informasi diberikan padaku. Aku segera mencetak formulir Beasiswa Mengikuti Ujian (BMU) bagi siswa berprestasi dari berbagai Universitas Negri. akhirnya ada 4 Univesitas Negri yang aku pilih. Aku juga telah mengirim biodata dan persyaratan yang dibutuhkan. Meskipun persaingan sangat ketat aku tak boleh pesimis. Aku yakin keberuntungan dan mukjizat menyertaiku.

    Banyak yang masuk ke Universitas dengan memberikan sejumlah uang. Aku tidak setuju dengan itu. Jika itu masoh berlanjut maka masa depan anak negri akan suram. Mereka yang tidak memiliki uang tapi pintar pasti tidak akan bisa merasakan dunia kuliah. Ujung-ujungnya penganguran merajalela. Aku sangat bersyukur bisa merasakan bangku sekolah dan menuntaskan pendidikanku.

    Ada berita bahwa Yayasan Pendidikan Bakrie memberikan bantuan beasiswa kepada dua anak warga korban lumpur melalui Yayasan Peduli Lumpur Sidoarjo (Yaplus). Biaya pendidikan yang diberikan per orang untuk delapan semester itu mencapai Rp 90 sampai Rp 100 juta. Hanya 2 orang? Sedangkan korban dari Lumpur Lapindo sangat banyak. Apa semua itu hanya untuk mencari simpati?

    Aku tak akan mengikuti beasiswa itu. aku tak akan menjual ilmu yang selama ini aku dapatkan untuk membuat orang menderita. Anak yang mendapatkan beasiswa itu pasti tidak akan peduli dengan mereka yang sesama korban Lumpur Lapindo. Dia akan terikat dengan berbagai aturan yang ditetapkan oleh pihak tersebut. Dia taidak akann menentang ketidak adilan yang ada demi beasiswa yang dia terima.

    Aku berharap agar aku diterima di salah satu Universitas Negri. Akan aku tunjukkan tanpa beasiswa dari seorang yang mengatasnamakan Yaplus, aku bisa kuliah. Aku juga berharap agar mereka semua yang tidak dapat kuliah dengan alasan biaya segera sadar. Banyak car agar tetap melanjutkan pendidikan diantaranya dengan cara mencari beasiswa. Tapi jangan sampai salah mencari beasiswa ya! Kita harus tetap melanjutkan pendidikan kita agar menjadi orang yang berguna bagi semua orang. Kepintaran kita jangan untuk menyengsarakan orang lain.

    Daris Ilma

     

  • Anak-Anak Muhajirin

    Anak-Anak Muhajirin

    korbanlumpur.info – Mulanya anak-anak sering merengek dan minta kembali ke rumah setiap saat, lebih-lebih kalau malam. Ini bikin Lilik Kaminah, korban Lapindo asal Desa Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong, tambah senewen. Mereka sudah pusing memikirkan rumah dan tempat kerja mereka yang musnah diterjang lumpur. Akibatnya, anak-anak jadi dibiarkan main apa saja tanpa pengawasan.

    “Hidupnya nggak  normal, terlalu bebas, sing penting mburu menenge, lek gak sumpek—, hidupnya tidak normal, terlalu bebas, yang penting tidak menangis, biar tidak (makin) sumpek,” tutur ibu 30 tahun yang biasa dipanggil Mbak Kami.

    Desa Renokenongo punya lima dukuh. Sejak meluapnya lumpur Lapindo Mei 2006, secara bertahap desa-desa ini terendam lumpur. Pertama tiga dukuh: Balungnongo, Wangkal dan Renomencil. Penduduknya lalu mengungsi di balai desa Renokenongo. Sementara dua dukuh lainnya, Sengon dan Renokenongo masih bisa ditempati.

    Namun setelah meledaknya pipa gas pertamina di dekat lokasi luapan lumpur pada 22 November 2006, tanggul lumpur ambrol dan lima dukuh di Renokenongo tenggelam, termasuk balai desa yang digunakan mengungsi. Orang-orang Balungnongo, Wangkal dan Renomencil lantas terpencar mencari kontrakan. Sementara warga Sengon dan Renokenongo mengungsi ke pasar Baru Porong. Beberapa media memberitakan ledakan ini mengakibatkan 8-14 orang meninggal namun banyak penduduk yang meyakini korbannya jauh lebih banyak.

    Keadaan semacam ini berlangsung hingga satu tahun dan Lapindo belum punya kejelasan tanggungjawabnya atas musibah pada warga ini. Walau mumet dengan ketidakjelasan ini, mereka tak ingin kehilangan semuanya. Paling tidak mereka ingin anak-anak mereka lebih baik dan tak ingin mereka juga larut dalam kepiluan.

    Ide inilah yang kemudian melatarbelakangi pendirian Taman Kanak-Kanak Muhajirin di tengah-tengah pengungsian Pasar Baru Porong. Nama ‘Muhajirin’ dipilih untuk pengingat bahwa mereka hijrah (lebih tepatnya diusir) dari tempat tinggal mereka menuju pengungsian.

    Mereka hanya modal dengkul dan semangat waktu hendak mendirikan TK ini. Awalnya semua sekolah di Renokenongo tenggelam dalam lumpur Lapindo: SDN I dan II Renokenongo, SMP II Porong dan MI hingga MA milik Yayasan Khalid bin Walid. Belakangan, MI-MA Khalid bin Walid masih bisa digunakan meski bangunannya sudah rusak berat. Sementara SD dan SMP sudah tidak bisa digunakan dan murid-muridnya dipindahkan ke sekolah lain.

    SDN I Renokenongo dipindah ke SD Glagaharum (SD Glagah meminjamkan ruangan dan siswa SDN I Renokenongo masuk sore), SDN II Renokenongo pindah SDLB Juwet Kenongo (masuk pagi) dan SMP II Porong pindah ke SMP I (masuk sore).

    “Yang SD dan SMP gedungnya pindah tapi murid dan gurunya tetep,” tutur Ahmad Surotun Nizar, warga dukuh Reno pada saya.

    Setelah tahun ajaran 2007, pengungsi-pengungsi di pasar Porong punya keluhan sama. Anak-anak usia TK mereka tak bisa sekolah. Lapindo juga belum memberikan ganti rugi sepeserpun.

    “Kalau ke TK paling dekat di desa Gedang dan itu bayar empatratus ribu rupiah, kami tak punya duit,” tutur Mbak Kami.

    Para pengungsi ini mengorganisasikan diri dalam “Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak alias Pagar Rekontrak.” Mereka didampingi beberapa aktivis dari Uplink (Urban Poor Linkage Indonesia), organisasi nirlaba yang mengurusi kaum miskin perkotaan.

    Keluhan soal TK ini lalu dibahas dalam rapat pengurus Pagar Rekontrak dan didampingi beberapa pendamping dari Uplink dan karena kebutuhannya mendesak mereka lalu mendirikan TK Muhajirin ini dengan apa adanya.

    “Ruangnya hanya disekat kain, meja-mejanya dari triplek, pendaftaran pertama ada 70 anak yang masuk, semuanya digratiskan,” tutur Mbak Kami.

    Mbak Kami punya putra berusia 5 tahun yang ikut masuk TK namanya Ahmad Fiqhi. Mbak Kami yang pernah punya pengalaman mengajar lalu didaulat untuk mengajar.

    Tak ada target bisa membaca atau menghitung di TK ini. Tujuan pertama dan utama mereka supaya anak-anak tidak menangis. Mereka dibantu untuk mengungkapkan apa isi pikiran mereka dengan melukis. Mereka di kasih kertas dan pensil dan disarankan untuk melukis apa saja yang menarik menurut mereka.

    Di luar dugaan, lukisan anak-anak ini berkisar pada rumah, lumpur, bulldozer, bego (istilah yang digunakan pengungsi untuk menyebut eskavator) dan alat-alat berat di sekitar lumpur.

    Selain melukis mereka juga menceritakan rumahnya di sana, mainnya di mana, bego yang di sana warna merah atau biru.

    Kegiatan TK ini juga membantu Mbak Kami untuk melupakan sejenak persoalan berat yang dihadapinya karena Lapindo belum memberikan tanggungjawabnya setelah dua tahun.

    Pengungsi di Pasar Baru Porong belum mendapatkan uang pembelian tanahnya sepeserpun mereka hanya dapat uang jatah hidup dan dihentikan bulan Mei lalu. “Aku justru bingung kalau nggak ada kegiatan ini. Dengan anak-anak bawaannya kita bisa ketawa,” tutur Mbak Kami getir.

    FOTO-FOTO: LALA/UPLINK, IMAM S

  • Refleksi Hari Anak Nasional 23 Juli 2008

    Oleh Roostien Ilyas (Ketua Panitia Hari Anak Nasional 2008, aktif di Gerakan Menutup Lumpur Lapindo [GMLL])

    Sayang, anak-anak Indonesia belum semua bisa tertawa gembira dan hidup dengan penuh harapan. Sebagian di antara mereka hidup dalam suasana muram, penuh tekanan, kehilangan kasih sayang, bahkan terancam masa depannya. Mereka adalah anak-anak korban Lapindo. Ribuan anak-anak mengalami tingkat depresi mengerikan akibat semburan lumpur.

    Tanda-tanda depresi itu dapat dilihat dari cara bicara anak umur empat tahun yang sudah fasih meniru orang dewasa. Selain itu, mereka berbicara sangat kasar kepada orang tua dan orang yang lebih tua usianya. Cara mereka becanda juga sangat kasar. Alur hidupnya tidak terkontrol. Jika dibiarkan, mereka pasti akan menjadi lost generation.

    Pada 2007, ketika penulis mengawali pendirian Trauma Center bagi anak korban Lapindo, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Anak-anak yang seharusnya berhak bermain dan belajar itu telantar bersama hilangnya tempat tinggal.

    Suasana penuh kemarahan dari lingkungan di pengungsian telah mengganggu psikologis mereka. Sehari-hari yang terdengar hanya sumpah serapah dari warga yang marah dan kecewa. Belum lagi mereka sering dengan mudah menyaksikan orang tua melakukan hubungan suami-istri.

    Ketika datang bermain di Trauma Center, bisa terlihat dari raut wajah dan tatapan anak-anak itu bahwa perhatian mereka terpecah. Di balik keceriaan khas kanak-kanak, mereka sebenarnya menyimpan trauma, ketakutan, dendam, dan rasa putus asa akibat luapan lumpur Lapindo.

    Yang paling berbahaya adalah mulai munculnya rasa kebencian di pikiran bawah sadar mereka. Kebencian terhadap suatu golongan, dendam terhadap status sosial yang berbeda (yang tidak terkena bencana), dan orang-orang kaya. Sebab, dalam penangkapan mereka, orang-orang kayalah yang menyebabkan mereka hidup menderita.

    Depresi itu terjadi karena situasi ketidakpastian. Baik itu ketidakpastian berhentinya semburan lumpur maupun ketidakpastian penanganan terhadap mereka. Dari pengalaman penulis mendampingi anak-anak di pengungsian Sidoarjo, tidak ada tindakan dari pihak Lapindo Brantas atau pemerintah memedulikan nasib mereka. Dengan kata lain, tampak nyata terjadi pembiaran terhadap penderitaan yang mereka alami.

    Keadaan mengajarkan kepada mereka bahwa kemarahan, sumpah serapah, bahkan kekerasan adalah sesuatu yang wajar. Orang tua mereka yang putus asa dan marah tidak perlu menceritakan apa yang terjadi. Dengan sendirinya, anak-anak menyerap situasi anomali itu ke dalam perilaku dan kebiasaan mereka. Karena itu, tidak heran jika keyakinan mereka terhadap keberadaan Tuhan juga tererosi bersama tenggelamnya rumah mereka. Mulut mereka memang masih bisa diajak berdoa, namun tampak itu dilakukan dengan setengah hati.

    Dalam kondisi yang serbasulit, moralitas seolah menjadi standar yang tidak layak diterapkan. Munculnya prostitusi anak, bahkan mungkin trafficking anak di mata orang tua korban Lapindo, bisa saja terpaksa dianggap solusi bagi defisit finansial mereka.

    Tak Membuka Mata

    Toh tetap saja ironi itu tidak membuka mata para pengambil kebijakan. Bukan saja ketidakjelasan kapan luapan akan dihentikan, recovery atas fisik dan psikis korban juga tidak ada dalam agenda pemerintah atau pihak Lapindo. Padahal, anak-anak dan juga perempuan adalah pihak yang paling rentan dalam hal itu. Mereka rapuh secara fisik dan sosial. Dampak dari ”kejahatan kemanusiaan” dalam bentuk pembiaran dan pengabaian oleh negara, antara lain, hilangnya hak hidup, hak tumbuh kembang, hak dilindungi, dan hak partisipasi pendidikan.

    Ketakutan mereka terhadap lumpur panas telah mengendap menjadi masalah psikologis yang akan mereka bawa seumur hidup. Dan, reaksinya mungkin baru terlihat 5-10 tahun mendatang, saat mereka dewasa dan menggantikan generasi yang telah menyengsarakannya. Saat ini saja mereka telah bertingkah laku seperti orang dewasa dalam hal penggunaan kata-kata kasar dan guyonan dengan nada sarkastis. Padahal, mereka siswa SD. Selain itu, mereka menjadi malas belajar karena lingkungan sekolah bercampur di tempat-tempat darurat.

    Anak-anak adalah bapak masa depan. Siapa pun yang berbicara tentang masa yang akan datang harus berbicara tentang anak-anak. Jika mereka tumbuh di tengah masyarakat yang sedang mengalami depresi masal, bagaimana wajah bangsa ini pada masa depan?

    Bangsa Indonesia yang, konon, menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, namun ternyata pemerintahnya tidak tergerak ketika harkat kemanusiaan warganya terampas.

    Para pejabat negara seharusnya merasa malu dan meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan. Pemerintah telah lalai terhadap amanat rakyat. Jika tidak mampu menekan Lapindo untuk menutup semburan lumpur, setidaknya negara bisa memaksa untuk mendahulukan penanganan ribuan manusia yang menjadi korban, khususnya anak-anak dan perempuan.

    Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2008 ini perlu menjadi momentum yang paling tepat guna membulatkan komitmen kita dalam mengembalikan harapan dan impian anak-anak korban Lapindo yang sudah terendam lumpur. (*)

    Dimuat di Jawa Pos 23 Juli 2008