Tag: apbn 2015

  • Ganti Rugi Korban Lumpur, Gus Syaikhul : “Macetnya Tuh di Lapindo”

    Ganti Rugi Korban Lumpur, Gus Syaikhul : “Macetnya Tuh di Lapindo”

    Sidoarjonews, Taman – Dana ganti rugi para korban lumpur Lapindo yang berada di dalam area peta terdampak, hingga saat ini belum turun disebabkan pihak Lapindo tidak serius dalam memberikan komitmen kepada pemerintah. Padahal selama ini, pemerintah sudah berusaha membantu para korban dengan memberikan dana talangan dari APBN P 2015 sebesar Rp 781 miliar.

    Ungkapan itu disampaikan salah satu anggota DPR RI Komisi VII yang membidangi ESDM, Ristek dan Dikti, H Syaikhul Islam saat dikonfirmasi SidoarjoNews terkait ganti rugi korban lumpur Lapindo di salah satu rumah makan di daerah Taman Sidoarjo usai melakukan reses.

    Gus Syaikhul, sapaan akrab H Syaikhul Islam, menyampaikan, sebetulnya pemerintah sudah mempunyai niat atau itikad baik untuk memberikan dana talangan. Akan tetapi pihak lapindo tidak mempunyai niat dan komitmen sehingga pada akhirnya dana tersebut nyangkut seperti ini.

    “Lapindo tidak mempunyai itikad baik untuk mencairkan uang ganti rugi kepada masyarakat (korban lumpur). Kenapa demikian? Di APBN-P 2015 sudah diputuskan bahwa negara memberikan dana talangan sebesar Rp 781 miliar dan sudah diketok di APBN-P itu,” ungkapnya, Rabu (6/05/2015).

    “Kenapa uang tersebut belum cair?,” sambung Gus Syaikhul, “Menteri Keuangan belum berani memberikan atau mencairkan dana sebab pihak Lapindo tidak menunjukkan komitmennya untuk bisa mengembalikan uang tersebut.”

    Gus Syaikhul mencontohkan,  sampai hari ini aset-aset Lapindo sebagai agunan ke pemerintah tak kunjung diberikan dan pihak Lapindo belum menunjukkan data konkrit yang dibutuhkan.

    “Saya tekankan bahwa masalahnya ini bukan pada pemerintah, tetapi pada Lapindo. Masalahnya itu bukan di presiden. Dana talangan yang diberikan pemerintah tidak direspon baik oleh lapindo. Kalau Lapindo membantu pemerintah, tolonglah bantu pemerintah. Sehingga uang Rp 781 miliar itu segera cair,” tegas Gus Syaikhul.

    Tahapan ini menjadi titik krusial untuk menuju tahapan berikut hingga dana talangan itu bisa dicairkan ke korban lumpur Lapindo.

    “Tentang verifikasi penerima, jangan dihambat. Kalau pemerintah minta uang itu dicairkan ya lakukan. Masalah uang APBN-P ini kebaikan pemerintah kepada korban. Saya tidak mau menebak-nebak tujuan Lapindo apa. Yang jelas mereka tidak mempunyai keseriusan untuk melunasi ganti rugi. Padahal pemerintah berniat baik untuk membantu memberikan dana talangan,” ujarnya.

    Pihaknya belum bisa memastikan kapan dana dicairkan. Namun, dirinya masih terus melakukan pemantauan kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan kepastian.

    “Pastinya belum tahu, kita terus melakukan pemantauan kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan kepastian. Sementara jawaban yang kami terima, ada hambatan dari Lapindo yang tidak memberikan data para korban Lapindo, yang jelas mereka tidak memberikan keseriusan,” tandasnya.

    Kholid Andika

    Sumber: http://www.sidoarjonews.com/ganti-rugi-korban-lumpur-gus-syaikhul-macetnya-tuh-di-lapindo/

  • Pemerintah Siap Tambah Dana Talangan Lapindo

    Pemerintah Siap Tambah Dana Talangan Lapindo

    Jakarta, Jawa Pos – Pemerintah tengah menyiapkan tim khusus untuk bernegosiasi dengan pihak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Tim itulah yang nanti menentukan pencairan dana talangan Rp 781,7 miliar untuk Lapindo.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, pemerintah juga memperhitungkan kemungkinan jika dana Rp 781,7 M tersebut tidak cukup untuk membeli tanah warga di peta area terdampak (PAT). ”Kalau memang dibutuhkan, dananya bisa ditambah. Yang penting hak masyarakat terpenuhi,” tuturnya Sabtu (21/2).

    Sebagaimana diketahui, sebelumnya Direktur Utama PT MLJ Andi Darussalam Tabusalla menyatakan, dana Rp 781,7 M yang dialokasikan dalam APBN Perubahan 2015 itu mungkin tidak cukup. Sebab, dana tersebut belum menghitung kebutuhan warga korban lumpur yang sudah mengambil rumah di Kahuripan Nirvana Village.

    Dana itu akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di PAT. Ganti rugi tersebut sebenarnya kewajiban Lapindo. Namun, karena perusahaan itu tidak memiliki kemampuan finansial, pemerintah bersedia memberikan dana talangan agar proses ganti rugi tanah warga bisa segera tuntas.

    Sebagai jaminannya, Lapindo harus menyerahkan 9.900 sertifikat tanah seluas 640 hektare yang sudah mereka beli dari warga. Jika dalam jangka waktu empat tahun Lapindo tidak bisa mengembalikan pinjaman dana talangan, pemerintah berhak mengambil alih tanah warga dari tangan perusahaan tersebut.

    Menurut Basuki, berapa kebutuhan riil pembelian tanah warga akan diketahui berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Badan itulah yang ditugasi pemerintah untuk menentukan nilai tanah warga. ”Jadi, kita tunggu verifikasi BPKP saja,” katanya.

    Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan, dana Rp 781,7 M yang sudah dialokasikan dalam APBN Perubahan 2015 hanya akan dicairkan jika pemerintah sudah memegang komitmen serta ada perjanjian resmi dengan pihak Lapindo. ”Selama negosiasi belum selesai, dana talangan masih kami tahan,” terangnya. (owi/c9/end)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/13312/Pemerintah-Siap-Tambah-Dana-Talangan-Lapindo

  • Talangan APBN Buat Lapindo

    Talangan APBN Buat Lapindo

    Ada satu keputusan amat penting dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 antara DPR dan pemerintah: dana talangan Rp 781,7 miliar ke PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Anggaran itu untuk menalangi jual-beli tanah dan aset antara MLJ dan warga korban lumpur Lapindo.

    Jual-beli, bukan ganti rugi, merupakan skema yang sejak awal diinisiasi MLJ. Sampai saat ini sekitar 20 persen dari total area terkena dampak lumpur belum dibayar MLJ. Perusahaan mengklaim nyaris bangkrut dan tak mampu membayar (baca: membeli) tanah dan aset warga. Pada 2014, MLJ meminta dana talangan dari pemerintah. Di era Presiden SBY, dana talangan tak dikabulkan. Saat Presiden Jokowi bertakhta, permintaan itu mulus.

    Ini pertama kalinya anggaran negara (APBN) dialokasikan untuk menalangi ganti rugi korporasi swasta. Berbagai spekulasi muncul. Dalam perspektif positif, kebijakan ini merupakan pemenuhan janji Presiden Jokowi saat kampanye pemilihan presiden. Poin pertama Nawa Cita Jokowi-JK ditegaskan: “Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.” Dana talangan ini sebagai akad “negara hadir”, seperti kehendak korban lumpur Lapindo. Selama delapan tahun mereka bagai menunggu “Godot” tanpa kejelasan mendapatkan hak-haknya dari MLJ.

    Biasanya, pembahasan anggaran di DPR alot dan bertele-tele. Sedangkan dana talangan ini mulus. Jika kemudian ada penjelasan terang dari Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Hadiyanto bahwa “anggaran itu politis”, segala spekulasi terjawab sudah.

    Padahal, di APBN-P 2015, dana talangan untuk anak perusahaan Grup Bakrie itu masuk dalam bagian pembiayaan. Artinya, skemanya adalah utang-piutang antara MLJ dan pemerintah. Masalahnya, saat anggaran disetujui, skema utang-piutang sebagaimana lazimnya belum ditentukan dan disepakati: berapa bunga, tenor, serta nilai agunan.

    Soal agunan, misalnya, berapa nilai aset MLJ? Hadiyanto menjamin nilai aset MLJ, termasuk lahan yang terendam lumpur, minimal Rp 2 triliun. Nilai agunan itu belum valid karena masih dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Jika di kemudian hari MLJ tidak mampu membayar utang, lalu negara mengambil alih dan ternyata nilai agunan kurang, siapa yang bertanggung jawab?

    Presiden Jokowi tentu wajib memastikan “negara selalu hadir” sebagai pelindung warga. Dalam kasus lumpur Lapindo, kehadiran negara mutlak adanya (Mustasya, 2007). Karena, pertama, kerugian dan hilangnya hak milik warga sudah terjadi dan begitu nyata. Kedua, kekuatan tawar MLJ dengan warga bersifat asimetris. Dalam kondisi seperti itu, negosiasi bipartit antara MLJ dan warga mustahil berlangsung adil. Ketiga, kerugian warga bukan disebabkan oleh wanprestasi dari sebuah perjanjian ekonomi privat, seperti dalam penipuan multilevel marketing. Kasus ini lebih merupakan hilangnya hak milik warga negara akibat kegiatan ekonomi pihak tertentu yang abai akan prinsip kehati-hatian.

    Meski demikian, sebagai bentuk utang-piutang, tata kelolanya harus jelas. Tujuannya ada dua. Pertama, agar tak timbul masalah di kemudian hari. Kedua, dana talangan itu berasal dari APBN, artinya dari pajak warga. Warga berhak dan harus tahu bagaimana skema utang-piutang itu disepakati. Dengan tenor, bunga, dan nilai agunan yang jelas, publik bisa berpartisipasi untuk mengawasi agar tidak terjadi “perselingkuhan” di kemudian hari.

    Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia

  • Lapindo Ditalangi Rp 781M Masih Belum Cukup

    Lapindo Ditalangi Rp 781M Masih Belum Cukup

    JAKARTA – Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 sudah disahkan Jumat malam (13/2). Di dalamnya, terdapat alokasi dana talangan untuk korban lumpur Lapindo senilai Rp 781,7 miliar. Namun, dana tersebut dinilai pihak Lapindo belum cukup.

    Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya yang dilakukan pemerintah dan disetujui DPR untuk memberikan dana talangan atas musibah lumpur Sidoarjo itu. ”Tapi, dana itu mungkin belum cukup,” ujarnya kepada Jawa Pos Sabtu (14/2).

    Sebagaimana diketahui, dana tersebut akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di peta area terdampak. Ganti rugi itu sebenarnya kewajiban Lapindo. Namun, karena keuangan perusahaan sedang seret, pemerintah bersedia memberikan dana talangan agar proses ganti rugi bisa segera tuntas.

    Andi menyebutkan, dana yang dibutuhkan berpotensi melebihi Rp 781,7 miliar seperti yang diperhitungkan sebelumnya. ”Mungkin bertambah ya. Karena belum menghitung (kebutuhan) dana untuk warga (korban lumpur) yang sudah ambil rumah di KNV (Kahuripan Nirwana Village),” katanya.

    Meski begitu, Andi belum bisa memastikan potensi kebutuhan tambahan dana untuk pelunasan ganti rugi, termasuk solusi untuk menutupi kekurangan itu. ”Kami belum berpikir ke situ dulu. Ayo, kita coba selesaikan dulu lah (dari dana talangan yang disediakan pemerintah),” kelitnya.

    Sementara itu, saat ditemui seusai pengesahan APBNP 2015 Jumat malam, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan bahwa pemberian dana talangan kepada Lapindo bukanlah bailout yang bisa diterima tanpa kewajiban pengembalian. ”Ini sifatnya talangan, pinjaman, jadi nanti harus diganti (oleh Lapindo),” tegas dia.

    Pemerintah juga sudah meminta jaminan berupa aset tanah di peta area terdampak yang dibeli Lapindo. Jumlahnya sekitar 9.900 sertifikat tanah atau girik seluas 640 hektare senilai total Rp 3,03 triliun. Karena itu, sebelum dana talangan dicairkan, pemerintah akan membuat perjanjian secara legal dengan Lapindo. ”Intinya, mereka harus mengembalikan (dana Rp 781 miliar) dalam jangka tertentu. Kalau tidak, aset mereka (senilai Rp 3,03 triliun) kami ambil,” jelasnya.

    Mekanisme pencairan dana talangan dan perjanjian legal itulah yang segera dirumuskan oleh tim pemerintah di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Dihubungi secara terpisah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menjelaskan, total ganti rugi korban yang lahannya terkena lumpur Rp 3,8 triliun. Dari jumlah itu, Minarak Lapindo hanya bisa membayar Rp 3,03 triliun. Sisanya terpaksa ditalangi pemerintah, yaitu Rp 781 miliar. ”Pemerintah dan negara harus hadir membantu korban Lapindo, bagaimanapun caranya, tanpa menyalahi aturan dan menghilangkan tanggung jawab Lapindo,” ujarnya.

    Basuki juga menyebutkan skema pembayaran. Yakni, pemerintah membayar Rp 781 miiar. Lalu, aset Rp 3,03 triliun yang sudah diganti Lapindo diberikan kepada pemerintah sebagai jaminan.

    Lapindo diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan Rp 781 miliar tersebut. ”Nanti kalau tidak dilunasi, maka aset tersebut jadi milik pemerintah dan akan dijual. Menurut presiden, nantinya akan ada kuasa jual untuk aset itu,” tegas Basuki.

    Sementara itu, Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan, saat ini BPLS serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan validasi atas semua data yang dilaporkan, terutama dari pihak Lapindo. ”Sekarang kami menunggu pemerintah pusat terkait penyaluran dana talangannya. Teknisnya seperti apa, nanti tunggu jelang pelaksanaan,” ujarnya. (gen/owi/c11/kim)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/12962/lapindo-ditalangi-rp-781-m-masih-belum-cukup
  • Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi

    Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi

    Oleh Anton Novenanto

    PENULISAN ARTIKEL INI dipicu oleh sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkan seorang kawan setelah membaca dua artikel saya yang dimuat di korbanlumpur.info beberapa waktu lalu (Novenanto 2015a, 2015b). Pertanyaan itu adalah, ‘darimanakah nominal dana talangan untuk Lapindo sebesar Rp 781 milyar itu bisa muncul dalam usulan APBN-P 2015?’

    Jawaban sederhana atas pertanyaan itu, tentunya, adalah ‘dari sisa kewajiban Lapindo membayar aset korban lumpur dalam peta area terdampak 22 Maret 2007’. Akan tetapi, nalar kritis rupanya tak berhenti di situ. Pertanyaan demi pertanyaan terus meluncur semakin deras. Berapakah total aset warga-korban? Adakah warga-korban yang sudah lunas sepenuhnya? Jika ya, berapa? Lalu, berapakah pula yang belum lunas? Apakah ada yang belum dibayar sama sekali? Seluruh pertanyaan itu menuntut suatu penelusuran elaboratif yang lebih serius.

    Dalam tulisan sebelumnya, saya berada pada suatu pendapat bahwa dana talangan untuk Lapindo baru menyentuh sebagian kecil dari seluruh korban lumpur Lapindo. Akan tetapi, saya belum pernah merinci siapa sajakah yang ‘sebagian kecil’ itu. Sebagai usaha untuk menjawab beberapa pertanyaan yang muncul belakangan itu, saya pun melakukan penelusuran ulang beberapa dokumen lawas, khususnya yang terkait posisi keuangan Lapindo dalam usahanya membayar kewajiban membeli aset (tanah dan bangunan) dari warga-korban.

    Alih-alih menemukan yang ‘sebagian kecil’ itu, hasil penelusuran saya justru menemukan beberapa kejanggalan terkait strategi politik-ekonomi kasus Lapindo, khususnya yang berhubungan dengan reduksi bertahap kewajiban Lapindo pada warga-korban. Kejanggalan-kejanggalan itu pun memperkuat suatu pendapat bagaimana keputusan politik yang diambil pemerintah terkait kasus Lapindo tidak lebih dari alat legitimasi bagi kepentingan politik-ekonomi perusahaan, yaitu menghindar dari kewajiban atas kasus lumpur Lapindo (Schiller et al. 2008), dan lagi-lagi rakyat Indonesialah yang harus menanggung kerugian terbesar dari keputusan pemerintah yang menguntungkan korporasi. Pada akhirnya, keputusan Dana Talangan untuk Lapindo merupakan suatu momentum pengambilalihan seluruh tanggung jawab atas bencana lumpur Lapindo dari Lapindo ke tangan pemerintah.

    ***

    KEWAJIBAN LAPINDO PADA warga-korban lumpur di Porong mengacu pada Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dikeluarkan tanggal 8 April 2007.

    Ayat 1 Pasal 15 Perpres 14/2007 tertulis:

    Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat [miring ditambahkan, AN] yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah [miring ditambahkan, AN] yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.

    Berdasarkan butir tersebut, pemerintah memerintahkan Lapindo untuk membeli aset (tanah dan bangunan) warga. Akan tetapi, terdapat satu—di antara beragam—kejanggalan, yaitu ketiadaan nominal nilai tukar aset yang harus dibayarkan oleh Lapindo pada warga-korban. Hanya disebutkan bahwa pembayaran dilakukan seperti yang dilakukan terhadap peta area terdampak 4 Desember 2006 (selanjutnya, ‘Peta 4 Desember’). Klausul ini tertulis jelas pada Ayat 2 Pasal 15:

    Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006 [miring ditambahkan, AN], 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka [sic] dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis [miring ditambahkan, AN].

    Peta 4 Desember merupakan lampiran dari surat Lapindo kepada Timnas tanggal 4 Desember 2006 (selanjutnya, ‘Surat 4 Desember’). Melalui surat itu, Lapindo menyatakan kesanggupannya untuk membayar warga di empat desa sebagai ‘bentuk kepedulian sosial dan tanggung jawab moral’ perusahaan. Disebutkan bahwa nilai tukar aset adalah sebagai berikut: Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah pekarangan, Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan, dan Rp 120 ribu per meter persegi tanah sawah. Tertulis dalam surat itu, ‘harga tersebut adalah kemampuan maksimal yang dapat kami [Lapindo, AN] tawarkan’.

    Jika kita membaca teliti isi Surat 4 Desember dan membandingkannya dengan butir-butir Pasal 15 Perpres 14/2007, maka kita akan menemukan beberapa persamaan. Misalnya, dalam Surat 4 Desember dituliskan ‘jual-beli dilakukan dengan akta jual-beli dengan mendasarkan kepada bukti kepemilikan yang sah atas tanah,’ bandingkan dengan Ayat 1 Pasal 15 terkutip di atas. Contoh lain, Surat 4 Desember menyebutkan, ‘pelaksanaan pembayaran dilakukan sebelum berakhirnya masa sewa 2 (dua) tahun,’ bandingkan dengan Ayat 2 Pasal 15 terkutip di atas.

    Sebuah klausul penting dalam Surat 4 Desember namun tidak muncul dalam Perpres 14/2007 adalah opsi relokasi. Bila kita hanya mengacu pada Perpres 14/2007 saja, seolah-olah jual-beli adalah satu-satunya jalan keluar bagi masalah sosial yang dihadapi korban lumpur Lapindo. Dalam Surat 4 Desember itu, Lapindo menawarkan untuk merelokasi warga-korban ke ‘Kawasan Sidoarjo Baru’. Di kawasan itu Lapindo berjanji akan disediakan juga fasilitas umum, seperti sekolah, puskesmas, fasilitas olahraga, mesjid, balai desa dan lahan pemakaman.

    Surat 4 Desember memicu reaksi dari warga yang wilayahnya sudah terendam lumpur Lapindo tapi tidak dicantumkan dalam Peta 4 Desember. Mereka adalah warga yang baru terkena dampak luapan lumpur Lapindo pasca ledakan pipa Pertamina, 22 November 2006. Mereka menghendaki agar Lapindo juga turut bertanggung jawab atas kerugian yang dideritanya. Bersamaan dengan itu, sebagian besar korban lain menganggap Surat 4 Desember tidak memiliki ikatan hukum yang kuat dan oleh karenanya pemerintah perlu menerbitkan payung hukum yang mengatur proses jual-beli aset warga-korban oleh Lapindo. Dalam konteks inilah, pemerintah melakukan revisi peta area terdampak dan menerbitkan peta baru yang dirilis tanggal 22 Maret 2007 (selanjutnya, ‘Peta 22 Maret’). Menyusul kemudian penerbitan Perpres 14/2007 yang mengacu pada peta tersebut sebagai dasar penghitungan kewajiban yang harus dibayarkan Lapindo pada warga-korban.

    ***

    HASIL PENELUSURAN DOKUMEN yang saya lakukan menunjukkan bahwa basis data penghitungan nilai jual-beli aset, yang kemudian diklaim sebagai ‘kompensasi’ pada korban, adalah jumlah berkas yang diklaimkan ke Lapindo. Basis data semacam ini meniadakan faktor manusia, yang dihitung sebagai ‘korban’ adalah tanah dan bangunan yang terendam lumpur Lapindo mengingat atas dasar itulah nilai ‘kompensasi’ ditentukan. ‘Kompensasi’ atas bencana lumpur Lapindo tidak mengindahkan faktor manusia dan hanya mengutamakan luas/fungsi tanah dan bangunan yang hilang. Bahkan, harta-benda lain yang turut tenggelam juga tidak pernah dianggap sebagai sebuah kerugian yang harus diganti oleh Lapindo. Oleh karena itu, untuk berpikir tentang kerugian atas hilangnya jalinan sosial-budaya masyarakat dan kenangan atas segala yang-pernah-Ada masih jauh dalam benak para pengambil kebijakan di negeri ini.

    Dalam praktiknya, mekanisme ‘jual-beli’ semacam itu memunculkan beragam ketidakadilan, namun hal itu tidak menjadi bahasan utama tulisan ini karena data tentang itu perlu mengacu pada temuan-temuan di lapangan. Penelusuran dokumen hanya bertujuan mencari kalkulasi ekonomis dan dengan begitu kita dapat membongkar sebagian kepentingan politis yang melatarbelakanginya.

    Untuk melakukan kewajibannya pada warga, Lapindo mendirikan perusahaan baru bernama Minarak Lapindo Jaya (selanjutnya, ‘Minarak’). Dari Laporan Humanitus Sidoarjo Fund (HSF) (Richard 2011: 90–94), kita dapat mengetahui bahwa sampai Januari 2011 total berkas klaim yang masuk ke Minarak adalah 13.237 berkas dengan total nilai tukar aset mencapai Rp 4.056,4 milyar (lihat Tabel 1). Dari seluruh berkas itu 79 berkas belum lolos verifikasi oleh BPLS terdiri dari 12 berkas yang masih dalam proses verifikasi, 64 berkas masih sengketa kepemilikan atau jenis aset (tanah sawah, tanah pekarangan atau bangunan), dan 3 berkas di tangan polisi. Nilai tukar ke-79 berkas itu mencapai Rp 257,3 milyar. Dengan demikian, sampai Januari 2011 terdapat 13.158 berkas yang sudah lolos verifikasi BPLS dan dari jumlah itu ada 15 berkas yang belum terikat oleh Ikatan Jual-Beli (IJB) dengan Minarak. Ini berarti terdapat 13.143 berkas yang sudah terikat IJB dengan Minarak. Nilai tukar dari berkas itu sebesar Rp 3.799,2 milyar.

    Tabel 1

    Bila kita melihat kembali Perpres 14/2007, pembayaran pada warga dilakukan secara tunai dan bertahap dengan skema 20 persen di muka dan sisanya (80 persen) dibayarkan ‘paling lambat sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis’. Dalam praktiknya, hanya uang muka 20 persen dibayarkan seluruhnya secara tunai karena begitu kita masuk pada laporan pembayaran sisa 80 persen kita akan menemukan bahwa Minarak tidak membayar seluruh warga dengan cara tunai. Dari total uang muka 20 persen dari nilai tukar 13.143 berkas IJB yang mencapai Rp 725,8 milyar, 7 (tujuh) berkas belum dibayarkan (senilai Rp 0,3 milyar) dan sisanya 13.136 berkas sudah dibayar lunas (senilai Rp 725,6 milyar).

    Dalam menentukan pembayaran sisa 80 persen Minarak membedakan berkas ‘non-sertifikat’ dengan berkas ‘sertifikat’. Yang dimaksud dengan berkas ‘sertifikat’ adalah berkas yang dilengkapi surat yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), seperti sertifikat hak milik atau hak guna. Sementara berkas ‘non-sertifikat’ merujuk pada berkas yang tidak dilengkapi surat-surat yang dikeluarkan oleh BPN. Hal ini dimungkinkan terjadi karena mayoritas warga-korban tidak atau belum mengurus sertifikat tanah mereka ke BPN. Seperti kebanyakan penduduk di Indonesia, khususnya di Jawa, selama ini mereka hanya mengandalkan surat ekstra-legal yang dikeluarkan oleh lurah ataupun camat, seperti Letter C, Pethok D, ataupun Surat Gogol. Keberadaan surat-surat semacam ini merupakan dampak dari pemberlakukan sistem agraria yang dualistik di Indonesia dan merupakan sumber utama kemunculan konflik agraria yang jamak terjadi. Ketiadaan sertifikat tanah dari BPN menyebabkan kelemahan posisi tawar warga-korban yang hanya mengandalkan surat-surat ekstra-legal tersebut. Dari total 94 berkas yang bermasalah, misalnya, 77 berkas adalah berkas ‘non-sertifikat’ dengan nilai tukar sekitar Rp 241,9 milyar (lihat Tabel 2).

    Mengacu pada peraturan perundangan tentang jual-beli tanah di republik ini, Minarak hanya bersedia membayar tunai berkas ‘sertifikat’ dan untuk berkas ‘non-sertifikat’ Minarak menerapkan opsi relokasi (yang populer di kalangan korban dengan istilah ‘cash and resettlement’ yaitu menukar aset warga-korban dengan tanah dan/atau rumah baru di Kahuripan Nirvana Village). Kahuripan Nirvana Village (selanjutnya, ‘KNV’) dikelola oleh salah satu unit usaha Bakrieland, Mutiara Masyhur Sejahtera (selanjutnya, ‘MMS’). Peralihan kewajiban Minarak pada MMS itu dituangkan dalam Surat Kesepakatan Bersama (SKB) No. AGR-041/LGL/2007 tertanggal 21 Maret 2007 (lih. Sari 2014: 4), yang ini berarti terjadi persis sehari sebelum Peta 22 Maret dirilis.

    Tabel 2

    ***

    KEJANGGALAN PERTAMA YANG patut kita catat adalah menyangkut ketiadaan pengaturan opsi relokasi (atau cash and resettlement) dalam Perpres 14/2007 yang terbit pada April 2007. Perpres hanya menyebutkan kewajiban Lapindo untuk membeli aset warga yang dilaksanakan dengan mekanisme ‘akta jual-beli kepemilikan tanah […] yang disahkan oleh Pemerintah’, yang membawa kita pada kejanggalan kedua.

    Seperti pernah dibahas sebelumnya (Gustomy 2012; Kurniawan 2012), proses jual-beli antara warga dan perusahaan merupakan sesuatu yang janggal karena bertentangan dengan UU Pokok Agraria No 5/1960 yang tidak mengizinkan perusahaan sebagai subjek hukum yang berhak untuk mendapatkan hak milik atas tanah. Perpres tersebut tidak ‘mengingat’ UU Pokok Agraria No 5/1960 sebagai landasan hukumnya tapi justru berpegang pada UU Tata Ruang No 24/1992, UU Lingkungan Hidup No 23/1997, UU Migas No 22/2001, dan UU Pemerintahan Daerah No 32/2004. Ketiadaan UU Pokok Agraria sebagai landasan hukum Perpres 14/2007 membuka peluang atas pelbagai macam tafsir hukum dan sosial atas apa yang dimaksudkan dengan perintah ‘jual-beli’. Juga tidak dijelaskan status dan peruntukan objek tanah yang sudah dibeli oleh Lapindo dari warga-korban. Padahal, mengacu pada UU Pokok Agraria segala praktik jual-beli tanah yang melibatkan perusahaan akan batal secara hukum dan status tanah akan otomatis menjadi tanah negara. Dari sebab itu, Perpres 14/2007 yang justru menjadi dasar bagi praktik jual-beli antara warga-korban dan perusahaan (Lapindo) adalah sesuatu yang janggal.

    Pada 24 Maret 2008 atau setahun setelah Peta 22 Maret diumumkan, BPN pusat menerbitkan Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo (selanjutnya, ‘Juklak BPN’) untuk mengatur secara rinci alur mekanisme jual-beli aset warga-korban dengan Lapindo. Menurut juklak tersebut, terdapat 4 (empat) mekanisme jual-beli aset antara warga-korban dan Lapindo yang didasarkan pada jenis surat atas tanah, yaitu tanah dengan sertifikat ‘hak milik’, tanah dengan surat ‘Yasan/Letter C/Petok D/Gogol’, tanah dengan sertifikat ‘hak guna bangunan (HGB)’, dan tanah pemerintah pusat/daerah. Klasifikasi mekanisme jual-beli tanah semacam itu mengacu pada UU Pokok Agraria. Dalam setiap bagan alir mekanisme jual-beli disebutkan bahwa setelah IJB dibuat status tanah akan menjadi ‘tanah negara’, Lapindo hanya akan mendapatkan ‘hak guna bangunan’ di atas tanah negara itu.

    Akan tetapi, apa lacur sebagian besar warga-korban sudah mengikatkan diri dengan Minarak sebelum Juklak BPN itu dirilis. Saya menduga, Juklak BPN itu dikeluarkan sebagai respons atas pelbagai reaksi sosial dari warga-korban yang ditekan oleh Minarak untuk menerima opsi relokasi ke KNV. Padahal sebagian besar dari mereka menghendaki pembayaran secara tunai, 80 persen sekaligus, sesuai dengan yang disebutkan dalam Perpres 14/2007. Lapindo/Minarak, dengan dalih terkena dampak krisis ekonomi global, menyatakan tidak sanggup untuk membayar kewajibannya tersebut pada warga-korban secara tunai sekaligus.

    Strategi Minarak untuk menolak membayarkan berkas ‘non-sertifikat’ secara tunai merupakan sebuah strategi jitu untuk melakukan penghematan uang belanja perusahaan dibandingkan jika harus membayar tunai. Perhitungan kasar Gustomy (2012: 80) menunjukkan bahwa praktik tukar guling semacam itu akan menghemat pengeluaran Minarak paling sedikit Rp 750.000 per meter persegi tanah pekarangan. Sayang kita tidak bisa mendapatkan data rinci tentang luas tanah sawah, tanah pekarangan dan bangunan yang menjadi objek transaksi. Bila kita menghitung secara jeli, jumlah berkas ‘sertifikat’ (8.190 berkas) memang lebih banyak dibandingkan jumlah berkas ‘non-sertifikat’ (5.047 berkas), namun nilai tukar berkas ‘sertifikat’ lebih kecil. Berkas ‘sertifikat’ memiliki nilai tukar sekitar Rp 1.704,1 milyar, sedangkan nilai tukar berkas ‘non-sertifikat’ mencapai Rp 2.352,3 milyar (Tabel 2). Dari besaran nilai tukar tersebut, kita hanya dapat membayangkan mengapa Minarak berusaha semaksimal mungkin untuk memaksakan opsi relokasi pada korban dengan berkas ‘non-sertifikat’ dengan melihat berapa rupiah yang dapat dihemat dari opsi tersebut.

    Mengacu pada UU Pokok Agraria No 5/1960 dan Juklak BPN seluruh lahan yang tercantum dalam PAT 22 Maret statusnya akan menjadi tanah negara dan Lapindo hanya dapat mengajukan permohonan ‘hak guna bangunan (HGB)’ di atas tanah negara tersebut. Oleh karena itu, kejanggalan ketiga, atas dasar apakah bila nantinya Pemerintah memberikan HGB pada Lapindo. Yang patut kita ingat, Lapindo adalah perusahaan migas dan segala perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk Lapindo tentunya selalu terkait dengan kegiatan industri, eksplorasi atau eksploitasi, migas. Jika betul demikian, maka Perpres 14/2007 merupakan legitimasi hukum bagi Lapindo untuk mendapatkan lahan tersebut untuk kepentingan perusahaan. Apalagi, di antara peraturan perundangan yang melatarbelakangi penerbitan Perpres 14/2007 terdapat UU Migas yang mengatur tentang pembebasan lahan yang melibatkan perusahaan migas, seperti diatur lebih lanjut dalam PP No 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

    ***

    KEJANGGALAN KEEMPAT TERKAIT kewajiban Lapindo berdasarkan Perpres 14/2007 terlihat bila kita membandingkan nilai tukar total berkas klaim bulan Januari 2011 dan Desember 2013. Mengandalkan data yang bisa kita peroleh dari website BPLS, saya menemukan penurunan total nilai tukar aset yang menjadi kewajiban Lapindo dari Rp 4,06 trilyun menjadi Rp 3,83 trilyun (lihat Tabel 3). Kemanakah larinya kewajiban Lapindo sekitar Rp 200an milyar tersebut?

    Tabel 3

    Tidak banyak publik yang tahu bahwa pada 21 Desember 2010 Menteri Keuangan Agus Martowardojo menerbitkan sebuah Peraturan Menteri Keuangan No 239/PKM.011/2010 tentang Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang Diterima atau Diperoleh Masyarakat yang Terkena Luapan Lumpur Sidoarjo untuk Tahun Anggaran 2010 (selanjutnya, ‘Permenkeu 239/2010’). Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa proses transaksi tanah dan bangunan antara warga-korban dan Minarak dikenai pajak penghasilan dan pajak tersebut ditanggung oleh pemerintah dengan pagu anggaran dalam APBN 2010 sebesar Rp 205 milyar. Jika nilai tersebut ditambahkan dengan nilai total aset posisi Desember 2013 (Rp 3,83 trilyun), maka kita akan menemukan angka yang mendekati nilai total aset posisi Januari 2011 (Rp 4,06 trilyun). Yang perlu diingat, dana Rp 205 milyar itu adalah pagu yang dianggarkan oleh pemerintah dan artinya nilai itu bisa berkurang menyesuaikan dengan kondisi riil.

    Masih mengacu pada Permekeu 239/2010 tersebut, Minarak memiliki kewajiban untuk mengirimkan laporan keuangan bulanan kepada Direktorat Jenderal Pajak mengenai data transaksi aset terkait kasus Lapindo. Jika kewajiban itu betul dilaksanakan, maka pemerintah (c.q., Dirjen Pajak) seharusnya sudah memegang rincian laporan keuangan transaksi aset yang tercantum dalam Peta 22 Maret. Tentunya, kita membutuhkan dokumen tersebut terkait rincian transaksi aset antara warga-korban dengan Minarak. Akan tetapi, Permenkeu 239/2010 sudah cukup untuk menunjukkan kejanggalan kelima, tentang bagaimana Pemerintah menanggung beban pajak penghasilan dari transaksi aset dalam Peta 22 Maret.

    Jika kita mengacu pada peraturan perundangan yang ada, keputusan ‘jual-beli’ memang mewajibkan adanya pajak penghasilan. Dalam transaksi ‘normal’ pajak ditanggung oleh kedua belah pihak sama rata, kecuali disepakati berbeda. Dalam kasus Lapindo, sangat tidak etis tentu bila pajak itu dibebankan pada warga-korban dan oleh karena itu perusahaan sebagai pembeli yang berkewajiban membayarnya. Akan tetapi, alih-alih dibayarkan, nilai pajak sebesar Rp 205 milyar itu pun harus dibebankan pada APBN dan ini berarti, lagi-lagi, rakyatlah yang harus menanggungnya.

    ***

    DI BALIK HIRUK-PIKUK awal tahun seputar polemik KPK vs. kepolisian, pemerintah berhasil meloloskan satu klausul tambahan dalam APBN-P 2015, yaitu Dana Talangan untuk Lapindo, tanpa banyak perdebatan di parlemen. Besaran Dana Talangan untuk Lapindo/Minarak adalah senilai Rp 781.688.212.000,00, atau sebesar kekurangan kewajiban keuangan Minarak per Desember 2013. Artinya, pada tahun 2014 lalu Minarak sudah tidak lagi membayarkan sisa kewajiban mereka pada warga-korban. Mengacu pada laporan keuangan per Desember 2013, kita akan mendapatkan informasi bahwa nilai yang belum terbayarkan tersebut terdiri dari: 1) 54 berkas yang belum dibayarkan sama sekali senilai Rp 19,9 milyar; 3.174 berkas yang sudah lunas 20 persen dan sudah dicicil sebagian sisa 80 persen tapi masih belum lunas sebesar Rp 692,07 milyar; dan 3) 114 berkas yang baru dibayarkan 20 persen saja dan belum mendapatkan sisa 80 persen sama sekali senilai Rp 69,72 milyar (Tabel 3).

    Dari data yang ada itu, kita dapat menghitung tunggakan terbesar Minarak adalah pada kelompok cash and carry yang menyisakan 3.174 berkas belum lunas. Berdasarkan data Januari 2011 (Tabel 1), total kelompok cash and carry adalah 7.040 berkas. Ini berarti 3.866 berkas dari 9.895 berkas yang sudah lunas seluruhnya adalah dari kelompok ini dan sisanya (6.029 berkas) berasal dari kelompok cash and resettlement. Akan tetapi, berdasarkan data Januari 2011, total berkas yang ditukar guling mencapai 5.907 berkas, berarti ada selisih 122 berkas. Kita tidak tahu ke-122 berkas ini, terdiri dari 8 berkas sudah IJB tapi belum dibayar sekali dan 114 berkas baru dibayar uang mukanya saja (lihat Tabel 3), masuk dalam kelompok yang mana: cash and carry atau cash and resettlement. Dugaan saya, ke-122 berkas itu adalah berkas ‘non-sertifikat’ yang pemiliknya menghendaki pembayaran secara cash and carry, padahal Minarak hanya bersedia menukarnya dengan aset di KNV.

    Dengan demikian, penganggaran Dana Talangan untuk Lapindo tidak hanya menandai proses pengambilalihan kewajiban Lapindo pada sebagian warga-korban akan tetapi juga menandai proses pelimpahan segala potensi masalah tanah yang sudah dan akan muncul. Dalam dokumen Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 yang disusun Pemerintah, kita dapat menemukan satu paragraf (5.2.1.2.3) yang berbunyi:

    Pemerintah akan mengalokasikan dana talangan untuk PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya disebabkan oleh PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya tidak mampu membayar sisa pelunasan ganti rugi kepada para korban lumpur lapindo [sic]. PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo jaya [sic] akan menyiapkan 13.237 berkas dengan nominal Rp 3,3 trilyun yang akan digunakan sebagai jaminan atas dana talangan tersebut [miring ditambahkan, AN]. Dana talangan Pemerintah tersebut akan dilunasi oleh PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya dalam waktu empat tahun. Apabila PT Lapindo Brantas Inc/PT Minarak Lapindo Jaya tidak dapat membayar maka Pemerintah akan memperoleh jaminan tersebut [miring ditambahkan, AN].

    Keputusan semacam ini memunculkan kejanggalan keenam. Dana Talangan untuk Lapindo masuk dalam pos ‘Pembiayaan Nonutang’. Mengacu pada UU Keuangan Negara No 17/2003, pos ‘pembiayaan’ dalam APBN adalah ‘setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya’ (pasal 1, butir 17). Dan, menurut PP No 45/2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN, yang termasuk dalam ‘pembiayaan non-utang’ adalah ‘penjualan aset pemerintah, privatisasi BUMN, dan pengembalian penerusan pinjaman dan pembiayaan non-utang lainnya’ (pasal 134, ayat 2). Jika kita memproyeksikan skenario terburuk yang terjadi, yaitu Dana Talangan tersebut tidak dikembalikan oleh Lapindo/Minarak dalam kurun waktu empat tahun, maka kemungkinan terbesar yang dapat dilakukan Pemerintah sebagai usahanya mengembalikan uang rakyat itu adalah melakukan penjualan aset berupa lahan seluas Peta 22 Maret. Dengan demikian, yang harus repot dalam kasus Lapindo bukan lagi Lapindo melainkan Pemerintah. Ini membawa kita pada kejanggalan terakhir yang dibahas dalam artikel ini, kejanggalan ketujuh.

    Selama ini, pengetahuan yang menyebar di masyarakat adalah Perpres 14/2007 sebagai penanda pembagian tanggung jawab antara Lapindo dan Pemerintah (cf. Batubara & Utomo 2012; McMichael 2009; Schiller et al. 2008). Lapindo bertanggung jawab atas wilayah di dalam Peta 22 Maret, Pemerintah bertanggung jawab atas wilayah di luar Peta 22 Maret. Keputusan Pemerintah untuk memberikan Dana Talangan untuk Lapindo melalui APBN 2015 dengan jaminan 13.237 berkas lahan dalam Peta 22 Maret yang selama ini dipegang oleh Lapindo menandakan pengambilalihan seluruh tanggung jawab atas korban lumpur Lapindo ke tangan Pemerintah dan ini berarti meniadakan sama sekali tanggung jawab Lapindo dalam kasus ini.

    Tentunya masih banyak kejanggalan lain yang harus diungkap, khususnya terkait dugaan korupsi. Ketika trilyunan uang dikeluarkan di suatu lokasi tanpa adanya transparansi anggaran, sangat potensial untuk dijadikan ajang korupsi, terlepas bahwa ini adalah kasus bencana. Artikel ini hanyalah satu usaha mengurai beberapa kejanggalan terkait dengan politik-ekonomi keputusan pemerintah atas kasus Lapindo; itu pun masih hanya sebatas pada persoalan jual-beli aset warga-korban yang termasuk dalam Peta 22 Maret. Melalui artikel ini, saya hanya menawarkan satu lagi potongan mosaik kasus Lapindo sebagai pelengkap potongan-potongan sebelumnya dan berharap dapat memicu usaha pencarian potongan-potongan yang lain lagi yang masih tersembunyi (atau yang memang sengaja disembunyikan?).

    Heidelberg, 2 Februari 2015

    Referensi:

    Batubara, B. & P. W. Utomo 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo (ed H. Prasetia). Yogyakarta: INSISTPress.

    Gustomy, R. 2012. Menjinakkan negara, menundukkan masyarakat: menelusuri jejak strategi kuasa PT Lapindo Brantas dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo. In Lumpur Lapindo: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (ed) H. Prasetia, 31–97. Depok: Yayasan Desantara.

    Kurniawan, J. A. 2012. Lumpur Lapindo: sebuah potret mitos tentang negara hukum Indonesia. In Lumpur Lapindo: Kekalahan Negara dan Masyarakat Sipil dalam Penanganan Lumpur Lapindo (ed) H. Prasetia, 99–148. Jakarta: Yayasan Desantara.

    McMichael, H. 2009. The Lapindo mudflow disaster: environmental, infrastructure and economic impact. Bulletin of Indonesian Economic Studies 45, 73–83.

    Novenanto, A. 2015a. Menyoal dana talangan untuk Lapindo (http://korbanlumpur.info/2015/01/menyoal-dana-talangan-untuk-lapindo).

    ––––––– 2015b. Masih menyoal dana talangan untuk Lapindo: Etika (http://korbanlumpur.info/2015/01/masih-menyoal-dana-talangan-untuk-lapindo-etika).

    Richard, J. R. 2011. Report into the Past, Present and Future Social Impacts of Lumpur Sidoarjo. Humanitus Sidoarjo Fund.

    Sari, R. A. 2014. Problematik yuridis pendaftaran tanah bagi warga eks-korban lumpur Sidoarjo yang memilih skema “cash and resettlement” di Perumahan Kahuripan Nirvana Village, Sidoarjo. Jurnal Novum 2, 1–12.

    Schiller, J., A. Lucas & P. Sulistiyanto 2008. Learning from the East Java mudflow: disaster politics in Indonesia. Indonesia 85, 51–77.

  • Ini Mekanisme Pemberian Dana Talangan Lapindo

    Ini Mekanisme Pemberian Dana Talangan Lapindo

    TEMPO.CO, Jakarta – Kebijakan pemerintah menalangi dana ganti rugi PT Minarak Lapindo Brantas sebesar Rp 781,7 miliar dipertanyakan dalam rapat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sigit Sosiantomo, mempertanyakan mekanisme pengembalian dana tersebut kepada pemerintah. “Bunyi talangan ini harus jelas, skemanya seperti apa,” kata Sigit di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa, 3 Februari 2015.

    Menurut Sigit, sebenarnya pemerintah tak perlu memberikan dana talangan. Salah satu alternatif solusinya adalah memberi keleluasaan perusahaan milik Aburizal Bakrie tersebut untuk mengelola tanah yang sudah dibeli dari penduduk. 

    Luas tanah yang mencapai 600 hektare itu, kata dia, sangat berpotensi menghasilkan uang. “Itu luas sekali, dan letaknya di tengah kota,” katanya. Ia mengatakan selama ini Lapindo tak bisa menghasilkan uang karena tak diberi keleluasaan mengelola tanah tersebut. 

    Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Hadiyanto mengatakan mekanisme talangan ini sudah jelas. Kewajiban membayar ganti rugi tetap ada di tangan PT Minarak Lapindo Brantas. “Kami akan konfirmasi ulang, kalau mereka tak mampu bayar, akan kami beri talangan, dengan syarat mereka beri jaminan berupa aset,” ujarnya.

    Skema talangannya juga akan memastikan dua hal. Pertama, ketidakmampuan Lapindo untuk membayar harus dinyatakan secara tertulis. Kedua, aset Lapindo yang dijaminkan harus melewati audit Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan.

    Dana talangan ini kemudian disetujui oleh Badan Anggaran untuk masuk ke dalam Penyertaan Modal Negara yang berada di bawah Kementerian Keuangan. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memang menyatakan dana ini bukan termasuk belanja karena berupa talangan.

    Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mochamad Basuki Hadimuljono mengatakan, dengan pengambilalihan ini, pemerintah bakal mengambil aset milik PT Minarak Lapindo senilai sekitar Rp 3,03 triliun yang terdiri atas 641 hektare milik masyarakat yang terdampak langsung lumpur dan aset lain, seperti puluhan sumur yang telah berproduksi. 

    TRI ARTINING PUTRI

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/02/04/090639776/Ini-Mekanisme-Pemberian-Dana-Talangan-Lapindo

  • Banggar Setujui Suntikan Modal untuk Lapindo

    Banggar Setujui Suntikan Modal untuk Lapindo

    BeritaSatu.com | Jakarta – Badan Anggaran (Banggar) DPR RI menyetujui sejumlah penyertaan modal negara (PMN) untuk beberapa perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) di bawah koordinasi Kementerian Keuangan.

    PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) mendapat tambahan Rp 20,35 triliun sebagai cikal bakal bank infrastruktur, terdiri dari pengalihan investasi di Pusat Investasi Pemerintah sebesar Rp 18,35 triliun dan PMN Rp 2 triliun. Selanjutnya PT BPJS Kesehatan Rp 5 triliun, terdiri dari dana operasional BPJS Kesehatan Rp 3,46 triliun dan cadangan pembiayaan Rp 1,54 triliun. Kemudian PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) sebesar Rp 1,5 triliun.

    Selanjutnya PT Minarak Lapindo sebanyak Rp 781,7 miliar untuk dana talangan korban lumpur Lapindo dengan mekanisme perusahaan tersebut akan diaudit BPKP dan secara tertulis menyatakan tidak mampu menanggung kerugian sehingga negara menyiapkan dana cadangan. Kemudian Organisasi lembaga keuangan internasional sebesar Rp 250,5 miliar untuk penjaminan beberapa parameter perhitungan alokasi anggaran seperti asumsi nilai tukar, eksposur penjaminan, dan matrik probability of default. Terakhir, kewajiban penjaminan sebesar Rp 843,5 miliar.

    “Di luar itu, ada dana bergulir Rp 6,1 trilliun di mana Rp 5,1 triliun di antaranya untuk FLPP (fasilitas likuiditas penjaminan perumahan), kemudian dana cadangan jika sewaktu-waktu pembangunan power plant batu bara berkapasits 10.000 megawatt oleh PLN ada default,” kata Plt Kepala BKF Andin Hadianto kepada Beritasatu.com, Rabu (4/2).

    Andin menyatakan meskipun Banggar telah mengetok palu terkait pemberian sejumlah PMN tersebut, bukan tidak mungkin pada pembahasan selanjutnya dengan Komisi XI besok terjadi perubahan lagi mengingat Banggar hanya berwenang menyetujui besaran anggaran saja.

    Penulis: Yosi Winosa/FMB

    Sumber: http://www.beritasatu.com/makro/246317-banggar-setujui-suntikan-modal-untuk-lapindo.html

  • Menkeu Lapor ke DPR

    Jakarta – Pemerintah melalui Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro melaporkan rencana pemberian talangan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Anggaran yang dibutuhkan adalah Rp 781 miliar.

    Dana ini digunakan untuk membayar kompensasi kepada warga di dalam area terdampak yang semestinya menjadi tanggung jawab Lapindo. Namun sampai saat ini belum ada kepastian.

    “Warga di dalam area terdampak bergantung pada Minarak Lapindo, tapi sampai sekarang masih ada tunggakan Rp 781 miliar, sehingga warga di situ tidak mendapat kepastian. Maka itu, pemerintah susun skema yang sifatnya dana talangan,” jelas Bambang saat rapat kerja dengan Komisi XI di gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Kamis (21/1/2015).

    Dengan demikian, lanjut Bambang, korban akan segera mendapatkan dana ganti rugi. Nantinya pihak Lapindo akan berurusan langsung dengan pemerintah untuk membayar dana talangan tersebut.

    “Kalau dulu utang piutang warga dengan Minarak Lapindo, maka sekarang adalah pemerintah dengan Minarak Lapindo,” tuturnya.

    Dana talangan tersebut, menurut Bambang, tidak masuk ke pos belanja negara dalam APBN-Perubahan 2015. Sebab, nantinya harus dikembalikan oleh Lapindo.

    Pemerintah pun akan membuat perjanjian secara tertulis. “Nanti akan ada perjanjian mengenai skema tersebut sesuai dengan layaknya,” ujar Bambang. (mkl/hds)

    Sumber: http://finance.detik.com/read/2015/01/22/162930/2811107/4/ingin-beri-dana-talangan-buat-korban-lumpur-lapindo-menkeu-lapor-ke-dpr

  • Lapindo Berkubang Dana Talangan

    25 Desember 2014 | Realitas MetroTV,  Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jatim masih menghantui warga terdampak.

  • DPR Akan Kaji Dana Talangan Lapindo

    DPR Akan Kaji Dana Talangan Lapindo

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU Pera), Basuki Hadimuljono menyatakan akan anggarkan Rp781 miliar untuk dana talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo. Terkait hal ini, DPR akan kaji dulu sebelum menentukan akan menyetujui atau menolak penganggaran dana tersebut.

    “Tentu nanti akan dilihat apa alasannya. Setiap dana dari APBN itu harus dipertanggungjawabkan karena dana dari masyarakat,” jelas Wakil Ketua Komisi II Abdul Hakam Naja pada ROL, Kamis (8/1).

    Dalam hal ini, pemerintah harus bisa memberikan landasan yang masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan terkait penganggaran dana talangan tersebut. Selain itu, DPR juga akan mengevaluasi sejauh mana perkembangan dan efektivitas dana yang sudah diberikan pemerintah terkait masalah lumpur Lapindo ini.

    Ini dilakukan sebagai salah satu upaya agar tetap ada akuntabilitas dan transparansi anggaran yang diberikan. Pemerintah juga harus bisa memastikan sampai kapan dana ini akan dikucurkan. Kerasionalan pemerintah dalam pengajuan dana talangan ini akan menjadi acuan bagi DPR

    “DPR bisa menerima kalau alasannya itu bisa dipertanggungjawabkan, objektif, dan masuk akal. DPR punya kewenangan untuk menerima atau menolak,” lanjut Hakam.

    Jika penganggaran dana talangan ini disetujui oleh DPR, Hakam menilai lebih baik dana talangan ini disalurkan melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan tidak langsung ke Lapindo. Pasalnya BPLS merupakan kepanjangan tangan negara.

    Menurut Hakam, Korporasi, dalam hal ini Lapindo, harus bertanggungjawab dalam konteks pertanggungjawaban korporasinya. Pemerintah dalam hal ini hanya bertanggungjawab untuk melindungi masyarakat yang terkena dampak lumpur Lapindo. (C01)

    Ichsan Emrald Alamsyah

    Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/08/nhv87e-dpr-akan-kaji-dana-talangan-lapindo

  • Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika

    Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika

    Versi PDF [unduh]

    Oleh Anton Novenanto

    (Artikel sebelumnya: Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo)

    MENJELANG BERAKHIRNYA TAHUN 2014, Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mengambil sebuah keputusan penuh resiko. Rapat kabinet telah memutuskan untuk memberikan dana talangan bagi Lapindo yang gagal memenuhi kewajiban untuk melunasi sisa pembayaran jual-beli tanah dan bangunan yang berada di wilayah terdampak lumpur Lapindo.

    Rencana dana talangan untuk Lapindo merupakan salah satu butir kontrak politik Jokowi dengan korban Lapindo, pemilik tanah dan bangunan yang telah menunggu bertahun-tahun dalam ketidakpastian tentang kapan Lapindo akan melunasi sisa kewajibannya pada mereka. Kontrak politik itu disepakati dalam kampanye Jokowi di atas tanggul lumpur. Kebetulan kampanye mengambil waktu yang bersamaan dengan hari peringatan delapan tahun semburan lumpur Lapindo, 29 Mei 2014.

    Dalam Pemilihan Presiden 2014 Jokowi menang dengan mengalahkan satu-satunya kandidat lawannya, Prabowo. Berada di belakang Prabowo adalah Partai Golkar yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie. Aburizal adalah figur utama dalam Bakrie & Brothers, perusahaan induk Lapindo Brantas yang dituduh sebagai penyebab semburan karena melakukan malpraktik pemboran. Kekhawatiran publik kala itu adalah bila Prabowo naik menjadi presiden, kasus Lapindo tidak akan pernah tuntas, atau lebih tepatnya, ‘dituntaskan’. Oleh karenanya, terpilihnya Jokowi sebagai presiden telah meningkatkan harapan publik, khususnya korban lumpur, tentang penyelesaian tuntas kasus Lapindo.

    Desakan publik terus meningkat seiring meningkatnya imaji kehancuran akibat luapan lumpur memasuki musim penghujan. Curah hujan yang deras mendorong kebocoran tanggul sehingga lumpur masuk ke beberapa rumah warga yang belum pindah dari wilayah yang memang rawan terkena luberan. Para warga ini tidak hendak pindah karena Lapindo tidak mau membayar tanah dan bangunan mereka sekalipun wilayah mereka sudah dicantumkan dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007.

    Bersamaan dengan itu, sebagian korban lain dari kelompok cash and carry diberitakan menghalangi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melakukan perbaikan tanggul yang bocor. Mereka berdalih bahwa BPLS bekerja di atas tanah yang masih milik mereka karena Lapindo belum melunasi kewajibannya. Bupati Sidoarjo dan Gubernur Jatim pun harus turun tangan berhadapan dengan para korban ini. Aparat kepolisian pun diturunkan untuk menjamin perbaikan dan perawatan tanggul oleh BPLS.

    ***

    WACANA AGAR PEMERINTAH perlu segera mengeluarkan dana talangan demi membantu Lapindo membayar para korban itu terus menguat. Melalui Sekretaris Kabinet Andi Wijadjanto, Jokowi menyatakan akan mendesak Lapindo untuk membayar kewajibannya pada korban lumpur. Pernyataan itu segera digantikan oleh pernyataan lain dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono tentang rencana pemerintah membeli aset Lapindo dan dengan uang hasil pembelian itu perusahaan bisa melunasi kewajiban mereka pada warga. Wacana ini mendapat reaksi langsung dari Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan rencana pembelian aset hanya akan menguntungkan Lapindo. Menurut Jusuf Kalla, pemerintah seharusnya melakukan sita aset Lapindo, bukan justru membelinya.

    Wacana tentang rencana dana talangan untuk Lapindo semakin konkret dalam rapat kabinet. Dalam rapat itu diputuskan bahwa pemerintah akan menganggarkan di APBN dana talangan sebesar Rp781 milyar untuk diberikan pada Lapindo sebelum Lapindo mendistribusikannya pada para korban yang berhak. Sebagai jaminannya, Lapindo berkewajiban untuk menyerahkan asetnya pada pemerintah. Selain itu, Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan uang negara dan bila Lapindo gagal pemerintah akan melakukan sita aset perusahaan.

    Bola panas rencana dana talangan untuk Lapindo sekarang berada di tangan DPR. Tentunya tidak sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan persetujuan dari DPR karena berada di kubu oposisi adalah Partai Golkar. Kali ini, para aparatus pemerintahan sepertinya sudah satu suara. Akan tetapi, publik melihat rencana pemerintah untuk memberi tenggat empat tahun pada Lapindo tidak lebih dari sekadar akal-akalan belaka. Apalagi, Lapindo sebenarnya sejak masa Presiden Yudhoyono telah mengajukan dana talangan untuk melunasi kewajibannya pada korban lumpur di Porong.

    ***

    DALAM BENAK MAYORITAS publik, Lapindo tidak akan mengembalikan uang tersebut. Imaji semacam ini muncul dari pengalaman publik melihat tindak-tanduk Lapindo yang tidak pernah mengutamakan etika dalam berhadapan dengan warga maupun pemerintah. Persoalan etika yang melekat dalam kasus Lapindo sudah dimulai sebelum lumpur menyembur pada 29 Mei 2006, bahkan sebelum pemboran Sumur Banjar Panji 1 dilakukan.

    Lapindo masuk dalam kategori tidak beretika karena telah melakukan kebohongan publik tentang bagaimana perusahaan itu mendapatkan sebidang tanah di Desa Renokenongo. Dengan bantuan Lurah Renokenongo, Lapindo berbohong pada si pemilik lahan dengan mengatakan bahwa di lokasi itu akan digunakan sebagai peternakan, bukan sebagai sumur eksplorasi gas alam. Tentunya, publik juga bertanya-tanya bagaimana Lapindo bisa mendapatkan izin pemboran sumur eksplorasi gas alam di kawasan padat huni dan berdekatan dengan infrastruktur vital lainnya, antara lain: jalan tol dan rel kereta api.

    Persoalan etika Lapindo juga kembali menyeruak dalam keputusan mereka untuk tidak lagi memasang selubung pengaman pada kedalaman tertentu dalam pemboran sumur Banjar Panji 1. Hal ini dilakukan untuk penghematan biaya operasional kegiatan eksplorasi. Akan tetapi, ketiadaan selubung pengaman itu berujung fatal pada runtuhnya dinding sumur di bawah tanah yang menyebabkan mata bor macet di dalam. Runtuhnya dinding sumur meningkatkan tekanan di bawah tanah dan memicu keretakan pada lapisan tanah di sekeliling sumur. Keretakan lapisan tanah merambat sampai pada sumber lumpur panas. Untuk mengatasi krisis tersebut, Lapindo melakukan penyemenan bagian atas sumur eksplorasi yang mengakibatkan semakin meningkatnya tekanan dari bawah tanah. Keretakan lapisan bawah tanah pun sampai ke permukaan, beberapa puluh meter dari mulut sumur Banjar Panji 1. Lumpur panas pun mulai menyembur mengikuti lontaran gas alam.

    Kita juga patut mempertanyakan etika Lapindo yang bersikeras mengkambinghitamkan gempa bumi 26 Mei 2006 di Yogyakarta sebagai penyebab semburan. Klaim semacam ini akan menguntungkan perusahaan karena klaim itu bertujuan mengubah citra perusahaan sebagai pelaku (yang menyebabkan semburan lumpur) menjadi salah satu korban lumpur. Sebagai korban dari sesuatu yang disebabkan oleh gejala alamiah, Lapindo pun berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti halnya para korban lumpur yang lain.

    Dalam dimensi pencitraan yang lain, Lapindo juga kerap menyatakan diri sebagai ‘penyelamat’ bagi para warga-korban. Kali ini, dengan mengatasnamakan ‘Ibunda Bakrie’ sebagai figur yang mendesak Keluarga Bakrie untuk membantu para korban yang menghadapi kesusahan, Lapindo membingkai tindakan mereka membayar ‘ganti-rugi’ pada korban sebagai bantuan, bahkan sedekah, bukannya sebagai kewajiban hukum mengikuti Perpres 14/2007. Karena bantuan atau sedekah, Lapindo pun secara suka-suka memberi para korban dan praktik itu dilakukan bukan dalam bingkai bahwa Lapindo sedang membayar hutang pada korban namun justru kinilah para korban itu yang sedang berhutang pada Lapindo. Ini jelas adalah sebuah strategi tidak etis yang diterapkan Lapindo terkait dengan kewajibannya pada korban.

    ***

    BERAGAM PRAKTIK TIDAK etis yang selama ini dilakukan Lapindo rupanya masih belum cukup untuk membuka cakrawala pemerintah dalam melihat kasus Lapindo. Sikap pemerintah yang selalu permisif terhadap Lapindo, bahkan setelah pergantian tampuk kepemimpinan, patut terus dipersoalkan secara kritis. Pertanyaan saya pun masih sama: aset apa yang akan dijaminkan Lapindo untuk mendapatkan dana talangan dari pemerintah?

    Dalam tulisan sebelumnya (‘Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo’), saya mempersoalkan tentang logika rencana pemerintah untuk menyita aset yang status sudah pasti bakal menjadi ‘milik negara’. Pemikiran semacam itu muncul atas dasar wacana bahwa aset Lapindo yang akan disita pemerintah adalah tanah dalam peta area terdampak. Mengacu pada pasal 26 & 27 UU Agraria No 5/1960, tanah yang dibeli Lapindo akan batal secara hukum dan statusnya akan menjadi ‘tanah negara’. Tidak hanya itu, Lapindo juga tidak berhak untuk meminta kembali uang yang sudah dikeluarkan untuk membeli tanah dari warga.

    Jika Lapindo menjaminkan asetnya sebagai perusahaan pertambangan, maka lagi-lagi publik harus mempertanyakannya. Mengacu pada Pasal 4 PP No. 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, disebutkan bahwa ‘Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan menjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana’ (ayat 1).

    Oleh karena itu, menjaminkan sesuatu yang tidak pernah menjadi miliknya — apakah itu tanah yang dibeli dari warga ataupun barang dan peralatan lain sebagai kontraktor eksplorasi gas alam— tidak hanya sebuah tindakan yang tidak masuk akal secara hukum, tapi juga tidak etis!

    (bersambung: Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi)

    Heidelberg, 13 Januari 2014
    Penulis adalah dosen pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya yang menggeluti kasus Lapindo sejak 2008. Penulis berterima kasih secara khusus pada Prasojo Bayu yang mengangkat kembali persoalan etika dalam kasus Lapindo.

    Versi PDF [unduh]

  • Pemerintah Harus Menindak PT Minarak Lapindo

    JAKARTA, (PRLM) – Pekan lalu Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi masyarakat yang rumahnya terendam lumpur. Dana talangan sebesar Rp 781 miliar akan diambil dari APBN 2015.

    Seharusnya pemerintah tidak menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi kepada warga yang rumahnya terkena dampak luapan lumpur. Demikian disampaikan pengamat ekonomi politik, Nico Harjanto.

    Sementara Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimulyono menegaskan, pemerintah tidak membantu PT Minarak Lapindo melainkan membantu masyarakat yang sudah menderita lebih dari delapan tahun.

    Pekan lalu Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi masyarakat yang rumahnya terendam lumpur. Dana talangan sebesar Rp 781 miliar akan diambil dari APBN 2015.

    Pengamat ekonomi politik dari Populi Center, Nico Harjanto kepada VOA di Jakarta, Minggu (21/12) mengatakan seharusnya pemerintah menindak PT Minarak Lapindo terlebih dahulu sebelum menalangi kewajibannya.

    “Itu keputusan yang mengagetkan karena bagaimanapun juga itu kewajiban PT Lapindo, seharusnya pemerintah memberikan tindakan dulu baru kemudian menalangi. Tidak ada masalah dalam konteks memberikan pertolongan penalangan kepada korban, karena bagaimanapun juga korban itu harus segera dibantu, tetapi dalam perspektif keadilan mestinya Lapindo dan juga perusahaan-perusahaan yang memilikinya termasuk juga keluarga Bakrie itu harus bertanggungjawab dulu,” ujarnya.

    Nico Harjanto berpendapat, pemerintah harus transparan mengenai sumber dana talangan untuk PT Minarak Lapindo karena pemerintah justru sedang sulit menganggarkan berbagai rencana program yang akan mulai dikerjakan tahun depan.

    Terkait berbagai pendapat mengenai keputusan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo, Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimulyono menegaskan,“tujuan pemerintah adalah tidak akan membeli tanah tetapi untuk membantu menyelesaikan tanah itu untuk rakyat, sudah delapan tahun lebih menunggu.”

    Pemerintah memberi batas waktu empat tahun kepada PT. Minarak Lapindo mengembalikan dana talangan sebesar Rp 781 milyar. Jika batas waktu tersebut dilanggar pemerintah akan menyita beberapa aset milik PT. Minarak Lapindo atau aset lain yang masih dalam grup PT Minarak Lapindo.

    Dana talangan diberikan setelah PT Minarak Lapindo menyatakan tidak sanggup membayar kekurangan dari kewajiban sebesar Rp 3,8 triliun. PT Minarak Lapindo sanggup membayar sebesar Rp 3,02 triliun sehingga sisanya meminjam pemerintah.

    Sebelumnya sepanjang masa pemerintahan mantan Presiden Yudhoyono, tercatat sejak tahun 2006 hingga tahun 2012 dana talangan yang dikucurkan pemerintah untuk korban lumpur Lapindo sekitar Rp 6,7 triliun. Langkah pemerintah saat itu sempat diprotes mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarawati yang menilai sebaiknya pemerintah tidak menalangi kewajiban PT. Minarak Lapindo. Sementara keluarga Aburizal Bakrie mengklaim telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp 7,9 triliun untuk mengatasi luapan lumpur Lapindo dan memenuhi kewajiban membayar ganti rugi masyarakat terkena dampak luapan lumpur.

    Untuk itu banyak kalangan menilai diperlukan audit keseluruhan agar dapat ditelusuri sejauh mana kewajiban PT. Minarak Lapindo benar-benar dialokasikan. (voa/A-147)***

    Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/309392

  • Lapindo Diminta Serahkan Sertifikat Aset

    Keraguan korban lumpur Lapindo atas kelancaran proses ganti rugi dari pemerintah dimaklumi Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo.

    Proses pencairan dana Rp781 miliar dari pemerintah tersebut membutuhkan waktu panjang. “Proses pencairan dana hingga bisa diterima oleh korban lumpur memang membutuhkan waktu panjang. Kami meminta semua pihak terutama PT Minarak Lapindo Jaya kooperatif dengan menyerahkan semua persyaratan yang diminta oleh pemerintah,” ujar Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Mahmud, kemarin.

    Dia mengatakan salah syarat dana talangan adalah adanya jaminan aset dari PT Minarak Lapindo yang diserahkan kepada pemerintah. Aset-aset ini secara otomatis akan dikuasai oleh pemerintah jika dalam jangka waktu empat tahun kedepan perusahaan milik Keluarga Bakrie tersebut tidak mampu mengembalikan dana talangan Rp781 miliar. “Semoga Lapindo mau memberi sertifikat asetnya sebagai jaminan atas dana talangan Rp 781 miliar itu,” tegas Mahmud.

    Selain persoalan penyerahan aset dari Lapindo, proses pencairan ganti rugi ini juga membutuhkan perubahan peraturan presiden (Perpres) 14/- 2007 tentang penanganan lumpur. Perubahan ini penting karena bakal menjadi payung hukum atas pengunaan anggaran negara untuk menalangi ganti rugi yang harusnya menjadi tanggung jawab PT Minarak Lapindo.

    Termasuk mekanisme pelunasan ganti rugi korban lumpur, apakah akan dibayarkan oleh Lapindo atau langsung pemerintah. “Hal-hal itu sebelumnya diatur dalam Pepres 14/2007, maka jika ada perubahan maka harus terlebih dahulu ada revisi sehingga payung hukumnya jelas,” ujar Mahmud.

    Tak kalah pentingnya, lanjut Mahmud, dana talangan tersebut juga harus mendapat persetujuan dari Komisi V DPR RI. Sebab, jika DPR tidak sepakat terkait dana talangan bagi korban lumpur akan menjadi percuma. ”Pansus Lumpur juga akan menemui Komisi V terkait dana talangan itu,” tegasnya.

    Sudibyo, salah satu korban lumpur asal Renokenongo, Kecamatan Porong mengatakan pihaknya masih menunggu bukti tertulis dana talangan dari pemerintah. Selama ini korban lumpur sudah sering diberi janji-janji terkait pelunasan ganti rugi, namun sampai sekarang belum direalisasikan.

    Korban lumpur berharap agar dana talangan tersebut bisa segera direalisasikan dan dibayarkan dalam waktu dekat. ”Paling tidak bisa dianggarkan dalam APBN 2015 agar bisa segea dibayarkan kepada korban lumpur,” tandas Sudibyo.

    Secara umum, korban lumpur menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo yang memberikan dana talangan pembayaran ganti rugi lumpur. Namun, keputusan tersebut harus segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait terutama untuk mekanisme pembayaran.

    Berbeda dengan korban lumpur yang menyambut baik dana talangan. Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) kecewa karena belum dimasukkannya anggaran ganti rugi untuk pengusaha korban lumpur. Sebab, mereka juga sama-sama menjadi korban lumpur. ”Perusahaan kami sudah tebenam lumpur. Samasama menjadi korban lumpur tapi dianaktirikan,” keluhnya.

    GPKLL mengaku juga kecewa terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Gubernur Jatim Soekarwo. Sebab, keduanya terkesan mengesampingkan untuk memperjuangkan pembayaran ganti rugi pengusaha korban lumpur.

    Sementara itu pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto meminta pemerintah terlebih dahulu mempailitkan PT Minarak Lapindo Jaya sebelum memberikan dana talangan.

    ”Kalau disebut sebagai uang ganti rugi untuk korban lumpur seharusnya PT Minarak Lapindo Jaya dipailitkan terlebih dahulu dan baru asetnya disita untuk menyelesaikan ganti rugi. Kalau kurang barulah diselesaikan langsung oleh pemerintah sebagai bantuan sosial,” kata Suroto di Jakarta, Minggu.

    Dia menilai kebijakan pemerintah menalangi ganti rugi korban Lapindo bisa menjadi menjadi preseden buruk bagi sistem hukum dan juga bisnis di Indonesia. Menurut dia akibat kebijakan itu kini setiap orang yang melakukan spekulasi bisnis dan bangkrut pada akhirnya dapat menuntut dana talangan pada pemerintah.

    ”Seharusnya perusahaan justru dihukum akibat kelalaian dan merugikan banyak orang secara kemanusiaan. Ini janggal dan terkesan sangat kolutif,” katanya. Suroto meminta pemerintah untuk berperilaku adil pada semua pelaku bisnis dan tidak membawa ”deal” politik ke dalam ranah hukum dan bisnis.

    Ia berpendapat kebijakan pemberian dana talangan itu bisa memacu dilakukannya kegiatan ekploitatif dari korporasi lainya. ”Mereka akan lebih mudah membuat kesalahan dan menanggungkan bebannya pada pemerintah yang sumbernya adalah pajak yang dibayar rakyat,” katanya.

    Suroto justru mempertanyakan kenapa pemerintah tidak mempedulikan UKM yang bangkrut padahal secara riil UKM menjadi penopang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. ”Demi rasa keadilan dan juga kepentingan hukum dan bisnis maka pemerintah harus batalkan kebijakan tersebut,” katanya.

    Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menalangi ganti rugi pembelian lahan atas kasus lumpur Lapindo dimana total ganti rugi tanah yang harus dibayarkan di area terdampak sekitar Rp3,8 triliun dengan Rp3,03 triliun di antaranya sudah dibayar Lapindo, sehingga masih kurang Rp781 miliar. Dana Rp781 miliar tersebut akan diambil dari APBNP 2015.

    Konsekuensinya, Lapindo harus menyerahkan keseluruhan tanah yang ada di peta terdampak dan perusahaan itu diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan dan memperoleh kembali tanah tersebut.

    Abdul Rouf

    Sumber: http://www.koran-sindo.com/read/940462/151/lapindo-diminta-serahkan-sertifikat-aset-1419219863

  • Pemerintah Belum Pikirkan Sanksi untuk Lapindo

    JAKARTA – PT Minarak Lapindo Jaya akhirnya mengakui pada pemerintah tidak sanggup membayar utang ganti rugi pada warga korban luapan lumpur sebesar Rp 781 miliar.  Meski demikian, perusahaan tersebut tidak mendapat sanksi dari pemerintah. Hal ini disampaikan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto di kompleks Istana Negara, Jakarta, Jumat (19/12).

    “Presiden tidak berpikir ke situ dulu. Masyarakat sudah menunggu. Fokus bagaimana caranya supaya harapan yang tertunda ini bisa dipenuhi. Itu saja fokusnya. Hal-hal lain terkait fairness dari Minarak Lapindo, kita pikirkan kemudian,” ujar Andi.

    Selain melakukan pembelian aset Lapindo, kata Andi, pemerintah juga tidak melupakan kewajiban untuk membayar Rp 380 miliar. Jumlah ini adalah kewajiban pemerintah sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penanganan Lapindo.

    “Pemerintah siap yang Rp 380 miliar yang jadi kewajiban pemerintah,” sambung Andi.

    Seperti diberitakan sebelumnya Pemerintah akan menalangi utang lapindo dengan membeli aset perusahaan tersebut sebesar Rp 781 miliar. Pembayaran utang Lapindo itu akan menggunakan pos BA99 (dana taktis) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun 2015. Meski ditalangi pemerintah Lapindo tetap harus melunasi kewajibannya itu. Sebab, pemerintah juga turut menyita seluruh aset Lapindo sebagai jaminan.

    Lapindo diberi waktu 4 tahun. Apabila perusahaan itu bisa lunasi hutangnya pada pemerintah, maka asetnya dikembalikan. Jika sudah melewati tenggat waktu tidak dibayar, aset-aset perusahaan itu akan disita. (flo/jpnn)

    Sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/12/19/276518/Pemerintah-Belum-Pikirkan-Sanksi-untuk-Lapindo-

  • Jokowi Talangi Lapindo, dari Mana Dananya?

    TEMPO.CO, Surabaya – Presiden Joko Widodo menyetujui pembayaran sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo di 20 persen lahan yang masuk area peta terdampak. “Pak Presiden membicarakan solusi soal penanganan itu, dan pemerintah membelinya. Itu artinya pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk pembelian lahan dari peta terdampak ini,” ujar Gubernur Jawa Timur Soekarwo dalam rilis yang dikeluarkan Biro Protokol dan Humas Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Jumat, 19 Desember 2014.

    Pemerintah akan menalangi dengan cara memberikan ganti rugi kepada para korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015. Selain itu, pemerintah akan memberikan tenggang waktu empat tahun kepada PT Minarak Lapindo Brantas untuk melunasi dana talangan yang dikeluarkan pemerintah.

    Pemerintah akan mengambil aset milik PT Minarak berupa tanah dalam area peta terdampak jika tidak bisa mengembalikan talangan itu. “Dengan demikian, diharapkan masyarakat di area peta terdampak Porong memberikan keleluasaan kepada BPLS untuk melakukan pembenahan terhadap tanggul, karena itu menyangkut hal yang sangat penting,” ujar Soekarwo.

    Soekarwo menyatakan, pada musim hujan, lumpur Lapindo dikhawatirkan akan meluber dan membuat tanggul penahan jebol, sehingga membahayakan masyarakat. “Pemerintah Provinsi Jatim dan Kabupaten Sidoarjo menyampaikan terima kasih kepada Presiden karena telah mengambil keputusan penting demi kepentingan masyarakat Porong.”

    Pertemuan itu dihadiri Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Sosial Khofifah, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Soelarso, dan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.

    Lapindo berkewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp 781 miliar kepada warga dan Rp 500 miliar kepada pengusaha. Namun perusahaan itu menyatakan tak sanggup membayar.

    Kementerian PU bersama BPLS, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta Pemerintah Kabupaten Sidoarjo akan membicarakan masalah ganti rugi itu. Rapat itu merekomendasikan pemerintah akan menalangi sisa pembayaran ganti rugi Lapindo sebesar Rp 781 miliar dengan menggunakan APBN. Keputusan itu dilakukan saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/19/078629689/Jokowi-Talangi-Lapindo-Dari-Mana-Dananya?

  • Pemerintah Akhirnya Talangi Utang Lapindo Rp 781 Miliar

    Pemerintah Akhirnya Talangi Utang Lapindo Rp 781 Miliar

    kompas basuki konpers

    JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah akhirnya menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 781 miliar dalam proses ganti rugi tanah korban semburan lumpur di dalam area terdampak. Hal ini diputuskan setelah Lapindo menyatakan tak lagi mampu membayar.

    “Sisanya Rp 781 miliar, Lapindo menyatakan tidak ada kemampuan untuk beli tanah itu. Akhirnya diputuskan pemerintah akan beli tanah itu,” ujar Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimoeljono di Istana Kepresidenan, Kamis (18/12/2014).

    Pembayaran utang Lapindo itu akan menggunakan pos BA99 (dana taktis) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun 2015. Meski ditalangi pemerintah, Basuki menuturkan, Lapindo tetap harus melunasi kewajibannya itu. Sebab, pemerintah juga turut menyita seluruh aset Lapindo sebagai jaminan.

    “Lapindo diberi waktu 4 tahun, kalau mereka bisa lunasi Rp 781 miliar kepada pemerintah, maka itu dikembalikan ke Lapindo. Kalau lewat, maka disita,” ungkapnya.

    Menurut dia, keputusan ini juga telah disepakati oleh CEO Lapindo Brantas Nirwan Bakrie. Basuki hari ini sudah mengontak langsung Nirwan melalui sambungan telepon. Skenario pelunasan utang ini pun akhirnya disepakati kedua belah pihak. “Tinggal di-follow up ke jaksa agung,” ucap Basuki.

    Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengungkapkan alasan pemerintah yang akhirnya turun tangan membayarkan utang Lapindo. Menurut Andi, ini tak lain karena ketidakjelasan yang dialami masyarakat selama 8 tahun. Menurut Andi, warga butuh kepastian dan negara harus hadir pada saat seperti itu.

    Andi mengatakan, pemerintah juga belum berpikir untuk menjatuhkan sanksi terhadap Lapindo akibat ketidakmampuannya membayar utang tersebut.

    “Presiden tidak berpikir, rakyat sudah menunggu. Fokus bagaimana caranya supaya harapan yang tertunda ini bisa dipenuhi. Itu saja fokusnya. Hal-hal lain terkait fairness dari Minarak Lapindo, kita pikirkan kemudian,” kata dia.

    Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang turut ikut dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo menyambut keputusan pemerintah itu. Menurut dia, dengan adanya pelunasan utang Lapindo oleh pemerintah, maka tindakan pembenahan tanggung oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) bisa dilakukan.

    “Ini keputusan bagus kementerian, peta terdampak berikan satu keleluasaan untuk pembenahan tanggul. Ini penting karena kalau luber akan jebol,” ujar pria yang akrab disapa Pakde Karwo itu.

    Sabrina Asril

    Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2014/12/18/1912022/Pemerintah.Akhirnya.Talangi.Utang.Lapindo.Rp.781.Miliar

  • Pemerintah akan Ambil Alih Utang Lapindo

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Basuki Hadimuljono mengatakan pemerintah akan mengambil alih utang milik PT Minarak Lapindo Jaya terhadap warga terdampak lumpur Lapindo. Dengan begitu, Lapindo nantinya harus membayar utangnya kepada pemerintah.

    “Jadi nanti ada kajian Kumham jadi kita paksa Lapindo untuk bayar. Maksa-maksa itu kan dari dulu kek gitu terus makanya nanti kita ambil alih dulu lalu Lapindo bayar. Jadi akhirnya Lapindo bayar ke pemerintah,” katanya di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Senin (15/12). 

    Menurutnya, jika pemerintah tinggal diam dan membiarkan kondisi ini, maka pemerintah telah melakukan diskriminasi terhadap masyarakat Indonesia. Pasalnya, pemerintah telah membayarkan ganti rugi terhadap korban lumpur di luar Peta Area Terdampak (PAT). 

    Sedangkan, Lapindo belum menyelesaikan jual beli tanah korban lumpur di dalam area terdampak senilai Rp 781 miliar. Menurutnya, jika pemerintah tidak segera bertindak dan mengambil terobosan, maka yang ada hanya janji-janji pembayaran dari Lapindo.

    Lanjutnya, anggaran untuk jual beli tanah para korban lumpur ini pun masih akan dibahas. Namun, jika berdasarkan dengan kesepakatan sebelumnya, pembayaran akan dilakukan berdasarkan APBN 2015. 

    “Makanya tadi saya bilang tapi kalau paksa-paksa ini makanya kita beli dulu nanti dia yang bayar,” jelasnya.  

    Ia menjelaskan, jika Lapindo tidak dapat membayar ganti rugi ke pemerintah, maka pemerintah dapat menyita aset milik Lapindo. Seperti diketahui, korban lumpur di dalam area terdampak menjadi tanggung jawab Lapindo. Sedangkan korban di luar area terdampak ditanggung oleh pemerintah. 

    Namun, karena Lapindo mengalami kesulitan keuangan, maka tak semua korban di dalam area terdampak mendapat ganti rugi. Sedangkan, korban di luar area terdampak sudah mendapat ganti rugi dari pemerintah.

    Dessy Suciati Saputri

  • Ganti Rugi Lapindo Masih “Tarik-Ulur”

    Jakarta – Pemerintah nampaknya belum satu suara perihal ganti rugi lahan warga korban lumpur Lapindo di Peta Area Terdampak (PAT). Hal itu terlihat dari perbedaan pendapat antara Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) dengan Menteri Pekerjaan Umum (PU) dan Perumahan Rakyat (Pera) Basuki Hadimuljono.

    Ditemui di kantor Wapres, Jakarta, Senin (15/12), Basuki mengatakan pemerintah akan membayar ganti rugi lahan warga yang seharusnya menjadi tanggung jawab PT Minarak Lapindo Jaya yang jumlahnya mencapai Rp 781 miliar.

    “Komunikasi dengan pak Seskab (Sekretaris Kabinet) itu, kalau dengan statement pak JK itu kan. Asetnya mau dibeli Lapindo disitu kalau mau dibeli pemerintah kan, pemerintah ambil alih lapindo. Pemerintah bantu beli Lapindo agar mereka bisa kembalikan ke rakyat,” kata Basuki.

    Selain itu, lanjut Basuki, pembelian tanah tersebut demi asas keadilan. Mengingat, tanah warga yang berada di luar daerah terdampak sudah diganti oleh pemerintah.

    Tetapi, Basuki menegaskan pemerintah akan berupaya mendesak PT Minarak Lapindo untuk memenuhi kewajibannya membeli tanah warga yang terdampak terlebih dahulu.

    Meskipun, Basuki mengaku pesimis PT Minarak Lapindo akan memenuhi kewajibannya mengingat telah dipaksa sejak dahulu tetapi tak juga dipenuhi kewajibannya.

    “Maksa itu kan dari dulu seperti itu terus, makanya nanti kita ambil alih dulu. Lalu Lapindo bayar. Jadi, akhirnya Lapindo bayar ke pemerintah,” ujarnya.

    Oleh karena itu, Basuki menegaskan dari pada rakyat sengsara, biarlah Minarak Lapindo yang berhutang kepada pemerintah. Dengan konsekuensi, penyitaan aset jika Minarak tidak mampu membayar hutang ke pemerintah.

    Ketika ditanya sumber dananya, Basuki mengatakan akan mengambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2015.

    “Kalau anggaran itu 2015 tapi kalau disepakati. Kalau berdasarkan yang dulu itu ada di APBN 2015. Harus ada terobosan. Kalau tidak, ya gini gini saja (Minarak Lapindo) janji terus,” ungkapnya.

    Tunggu Keputusan Politis

    Namun, Basuki mengatakan keputusan mengambil alih kewajiban PT Minarak Lapindo tersebut masih akan menunggu keputusan politis karena terkait politik anggaran.

    Tetapi, Basuki kembali mengingatkan dalam konstitusi diatur bahwa pemerintah tidak boleh membiarkan rakyatnya menderita.

    Sebelumnya, JK menegaskan pemerintah belum menganggarkan dana untuk mengganti rugi lahan warga korban lumpur Lapindo di PAT, dalam APBN Perubahan tahun 2015.

    “Belum ada (APBN-P 2015), siapa bilang sudah ada, kan baru rencana. Silahkan saja kalau baru rencana tetapi belum ada,” kata JK beberapa waktu lalu.

    Bahkan, JK menjelaskan bahwa perkara lapindo bukanlah ganti rugi. Melainkan, jual beli tanah. Sehingga, jika kembali pulih maka PT Minarak Lapindo Jaya yang diuntungkan karena luas tanahnya mencapai 1.000 hektar.

    “Karena itu (jual-beli) transaksi tidak mungkin transaksi diambil pemerintah. Lapindo pada waktu itu membeli tanah dengan harga 3 atau 4 kali lipat tetapi kalau itu berhenti langsung lapindo kaya lagi karena dapat 1.000 hektar lahan kan,” ungkap JK.

    Padahal, MK dalam putusan pada Maret 2014 lalu, memang mengabulkan permohonan enam orang korban lumpur Lapindo yang berada dalam wilayah PAT. Sehingga, intinya MK meminta negara dengan kekuasaan yang dimiliki untuk menjamin dan memastikan pelunasan ganti rugi korban di dalam PAT.

    Selama ini korban di dalam PAT menjadi tanggung jawab PT Minarak Lapindo, sedangkan korban di luar PAT oleh pemerintah. Namun, karena Lapindo sudah kehabisan dana, maka belum semua korban di dalam PAT mendapat ganti rugi. Sementara korban di luar PAT sudah mendapat ganti rugi dari pemerintah. (N-8/YUD)

    Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/233527-ganti-rugi-lapindo-masih-tarikulur.html

  • Komisi 5 DPR RI Blusukan ke Warga Korban Lumpur Lapindo

    Surabayanews.co.id – Anggota Komisi 5 DPR RI, Sungkono mendatangi korban lumpur Lapindo di tanggul titik 42 dari empat desa Peta Area Terdampak (PAT). DPR RI akan mengusahakan ganti rugi korban Lapindo agar dimasukkan dalam anggaran APBN perubahan awal tahun 2015. Sementara korban Lapindo berharap agar pelunasan ganti rugi melalui APBN-P tidak hanya sekedar janji-janji saja.

    Mendengar informasi akan dikunjungi oleh Komisi 5 DPR RI, warga korban lumpur pun berkumpul di titik 42. Sungkono pun menjelaskan soal ganti rugi yang rencananya akan dibayar oleh pemerintah pusat melalui Perubahan APBN tahun 2015.

    “Anggaran ganti rugi korban lumpur Lapindo akan diusahakan dimasukkan dalam APBN Perubahan awal tahun 2015. Namun apakah anggaran tersebut bisa terealisasi atau tidak karena persoalan politik antara KMP dan KIH,” jelas anggota Komisi 5 DPR RI, Sungkono.

    Sementara itu korban lumpur Lapindo saat ini sudah tidak percaya lagi dengan janji-janji yang diberikan. Sebab saat ini korban lumpur hanya mau ganti rugi dan tidak mengurusi soal masalah politik yang ada di pemerintah pusat.

    APBN tahun 2015 sendiri pemerintah tidak mencantumkan anggaran untuk ganti rugi korban lumpur Lapindo. Satu-satunya peluang agar ganti rugi korban Lapindo bisa segera dibayar melalui APBN Perubahan 2015. Namun jika dalam APBN Perubahan anggaran untuk ganti rugi tidak tercantum maka nasib korban lumpur Lapindo masih belum jelas kembali. (ris/rid)

    Sumber: http://surabayanews.co.id/2014/12/15/12699/komisi-5-dpr-ri-blusukan-ke-warga-korban-lumpur-lapindo.html

  • Menkeu tak Tahu Rencana Pembelian Aset Lapindo

    Metrotvnews.com, Jakarta: Rencana pembelian aset PT Minarak Lapindo masih simpang siur. Sempat muncul wacana pemerintah akan membeli aset-aset Lapindo untuk mempercepat penggantian ganti rugi kepada warga yang menjadi korban. Ternyata sumber dana untuk membeli aset itu masih belum jelas hingga saat ini.

    Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan, belum ada pembicaraan yang dilakukan pemerintah untuk membeli aset-aset Lapindo. “Itu belum ada pembicaraan. Saya tidak tahu ada atau tidak,” kata Bambang di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (12/12/2014).

    Mengenai kabar yang menyebut anggaran pembelian aset itu telah ada di APBN 2015, Bambang membantahnya. Menurut dia, yang dianggarkan di APBN hanyalah anggaran untuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Anggaran untuk BPLS buat biaya perawatan bagian terluar yang terkena langsung dampak lumpur. “Ya untuk maintenance yang terluar, yang terdampak itu,” jelas Bambang. Sementara daerah dalam atau daerah terdampak jadi tanggungjawab Lapindo.

    Sebelumnya, demi mempercepat pembayaran uang ganti rugi kepada warga korban lumpur Lapindo, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan membeli aset PT Minarak Lapindo. Bila DPR mempersoalkan pemerintah siap pasang badan.

    Aset yang akan dibeli pemerintah adalah aset yang belum dibayar Lapindo kepada masyarakat. Jika pemerintah tak membelinya, maka masalah yang sudah delapan tahun tertunggak itu tidak akan jelas kapan selesainya.

    “Uangnya diberikan ke Lapindo dan Lapindo bayar ke masyarakat,” jelas Menteri PU dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljo disela-sela Rapimnas Gapensi di Hotel JW Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2014) lalu.

    DOR

    Sumber: http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/12/12/331165/menkeu-tak-tahu-rencana-pembelian-aset-lapindo