Tag: cash and carry

  • Setelah Dua Tahun Ngontrak, Tinggal Di Mana?

    korbanlumpur.info – Hari mengontrak dua tahun rumah dua kamar di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II setelah rumahnya di Kedung Bendo, ditenggelamkan lumpur Lapindo. Cak Hari, sapaan akrab Hari Suwandi, tak ada duit untuk memperpanjang kontrakan. Duit 20 persen dari rumahnya yang terpaksa dijual pada Lapindo sudah habis dan 80 persennya nunggakLapindo milik keluarga Bakrie itu enggan mengeluarkan duit untuk melunasinya.

    Harusnya, seturut pasal 15 Perpres No. 14/2007, sisa 80 persen uang Hari dibayar sebulan sebelum masa kontrakanya habis. Tepatnya pada bulan Juli tahun ini. Cak Hari, yang gara-gara lumpur Lapindo tak hanya kehilangan rumah tapi juga pekerjaannya, pusing tujuh keliling. Nilai 20 persen yang diterima Cak Hari, yakni sebesar 31.268.000 rupiah, sudah habis untuk makan sehari-hari dan dibagikan pada tiga anaknya perempuannya yang sudah berkeluarga.

    Masing-masing saya bagi tiga jutaan,” tutur Hari.

    Di Kedung Bendo rumahnya yang lama, Cak Hari dan sebelas anggota keluarganya, terdiri dari istri, 3 putrinya, 3 menantu, dan tiga cucu, menempati rumah seluas 54 meter di tanah seluas 75,34 meter. Setelah bencana lumpur Lapindo Cak Hari hanya bisa mengontrak rumah kecil dan tak cukup 11 orang. Keluarganya pecah.

    Anak-anak ada yang ngungsi ke mertuanya dan ada yang ngontrak sendiri,” kata Cak Hari, di rumah kontrakannya, di Blok S, yang habis masa sewanya itu.

    Cak Hari, sebenarnya, sudah mempersiapkan uang untuk kontrakan ini, beberapa hari sebelum kontrakannya habis. Uang didapat dari hasil menggadaikan sepeda motor milik menantunya Ahmad Novik pada Bank Citra Abadi, bank simpan pinjam di dekat pom bensin Tanggulangin. “Saya tarik (gadaikan) dua juta,” tutur Cak Hari.

    Setelah dapat uang Cak Hari akan menitipkan uanguntuk kontrakan namun ditolak orang suruhan Ahmad Zuhron karena takut terpakai dan habis.

    Beberapa hari setelah kedatangan pertama orang suruhan Zuhron datang dan uang tersebut sudah dipakai Cak Hari untuk makan. “Sisanya tinggal tujuh ratus ribu,” kata Cak Hari.

    Semua uang itu dikasihkan dan kurangnya Cak Hari minta waktu untuk cari pinjaman. Empat hari kemudian orang suruhan Ahmad Zuhron datang ke rumah Hari dan menagih pembayaran perlunasan. Cak Hari bilang cuma punya duit itu dan tidak bisa cari tambahan. Dengan duit 700 ribu Cak Hari meminta diizinkan ngontrak setengah tahun.

    Kalau tidak diperbolehkan, ya, balik ngungsi ke pasar atau tidur di tanggul,” tutur Cak Hari pasrah.

    Multajam

    Nasib serupa juga dialami oleh Multajam, 43 tahun, dan keluarganya. Sama seperti Hari, sudah dua tahun Multajam menganggur. Pabrik sabun Debrima tempat dia bekerja tak lagi beroperasi karena digulung lumpur Lapindo. Sehari-hari biaya hidupnya dan kedua anaknya bergantung pada Taslimah, 37 tahun, istrinya, yang kerja di pabrik rokok Andalas. Per 1000 batang rokok yang diproduksi, Taslimah mendapat bayaran 2.400 rupiah.

    Paling banter sehari dia menghasilkan 3000 batang. Kerjanya tak tentu, kadang dalam sebulan libur 3 minggu. Tergantung pada pesanan.

    Multajam, yang dulu tinggal di Desa Kedung Bendo RT 05/RW 02 dengan aset rumah seukuran 110 meter di tanah seluas 213 meter ini, pusing. Uang 80 persen belum juga dibayarkan Lapindo. Di pihak lain, kebutuhannya tak bisa diajak kompromi. Ongkos sekolah dua anaknya, Ahmad Ulum Fahrudin dan Ferry Afriyanto, di SMK dan SMP tak bisa ditunda.

    Lebih pusing lagi, Multajam dihadapkan pada pola baru, cash and resettlement. Dengan skema ini, bangunan dibeli dan akan dibayar 2 bulan setelah penandatanganan, sementara tanah diganti tanah baru, satu banding satu. Multajam menolak.

    Kalau (luas) tanahnya kurang, hangus dan kalau tanahnya lebih (warga harus) nomboki, ini dipotong dari pembayaran bangunan,” jelas Multajam.

    Pembayaran pertama 20 persen diterima Multajam pada Agustus 2006. Multajam tak punya sawah, hanya punya pekarangan dan bangunan. Totalnya dia menerima, 75,6 juta. Uang 20 persen pembayaran tanah dan bangunan ini lalu dipakai Multajam untuk mengontrak rumah di Perumahan Tanggul Angin Anggun Sejahtera. Karena khawatir pencairan keduanya sulit dia memilih tipe yang murah di komplek Blok M 5/64. Dia mengontrak dua tahun. Kontrak itu habis kini, dan uang 80 persen belum dibayar oleh Lapindo. Multajam bingung mau tinggal di mana selanjutnya. Karena sudah memasuki kepala empat dia juga kesulitan mendapat kerja.

    Wis tuwek ngene arep kerjo opo? Kalah saingan karo sing nom-nom (sudah tua begini mau kerja apa? Kalah sama yang muda-muda),” tutur Multajam dengan logat Jawa Timuran.

    Cak Hari dan Multajam disiksa Lapindo dengan pola cash and carry namun Lapindo juga menggantung nasib orang-orang yang memilih cash and resettlement.

    Juminah

    Ini yang terjadi pada Juminah, 66 tahun, bukan nama sebenarnya, dan keluarganya yang memilih cash and resettlementSebelum Lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya sekaligus tempat kerjanya di Kedung Bendo, RT 02 RW 01, Porong, Juminah adalah janda beranak enam. Hidupnya begantung pada usaha dompet yang dikelola Baskoro (bukan nama sebenarnya), anaknya 40 tahun. Tiap bulan, pendapatan Baskoro lima sampai enam juta rupiah. Juminah dan kedua anaknya, termasuk Baskoro dan istrinya, menempati rumah sederhana berukuran 75 meter.

    Rumah ini juga dijadikan tempat usaha. Walau tidak kaya kehidupan mereka tenang. Ketenangan ini terenggut setelah Lapindo gagal dalam pengeboran dan mengakibatkan ribuan warga belasan desa di tiga kecamatan di Sidoarjo kehilangan rumah tinggal, pekerjaan, semua harta milik dan kehidupan sosial mereka.

    Baskoro sibuk mengungsikan keluarganya. Awalnya mereka mengungsi di balai desa, lalu pindah ke Tulangan dan terakhir di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II (Perum TAS II) blok S7/39. Selama setahun Baskoro mengurusi pindah-pindah ini dan mengabaikan pekerjaannya.

    Setahun pasca bencana dan setelah keluarganya aman di Perum TAS II Baskoro baru bisa memulai usaha dompetnya kembali. Selain memproduksi Baskoro juga memasarkan dompet-dompetnya dan ini bukan pekerjaan mudah untuk pengusaha yang vakum setahun.

    Dia harus cari pelanggan-pelanggan baru. Tak hanya itu, omzetnya juga berkurang drastis hingga 50 persen. Kerugian macam ini tak dihitung oleh Lapindo saat membahas ganti rugi. Hanya usaha-usaha menengah ke atas yang dapat ganti rugi. Usaha-usaha kecil rumahan diabaikan. Akibatnya, banyak korban Lapindo kehilangan pekerjaan. Rata-rata mereka akhirnya jadi tukang ojek di lokasi bencana.

    Bagi warga kecil macam Baskoro yang dihitung ganti ruginya hanyalah tanah, rumah dan sawah. Itu pun sebenarnya bukan ganti rugi, melainkan jual beli. Untuk sawah 120 ribu permeter, satu juta permeter untuk tanah, dan satu juta setengah per meter untuk rumah. Sedangkan kerugiannya atas penghasilan setahun serta penurunan omzetnya tak masuk hitungan.

    Total harusnya Baskoro mendapat ganti rugi 187,5 juta. Namun ini tidak bayar kontan oleh Lapindo. Sebagai tahap awal Baskoro hanya mendapat 20 persen yakni 37,50 juta ini sesuai dengan hitungan cash and carry di pasal 15 Perpres No. 14/2007.

    Belakangan, Lapindo tak menaati peraturan pemerintah ini dan membikin peraturan baru yakni cash and resettlementIni membingungkan warga, termasuk Baskoro, dan karena bingung dia memilih cash and resettlement.

    Hitungannya tetap pada rumah yakni 1,5 juta rupiah per meter namun tanahnya diganti dengan tanah baru di tempat lain di wilayah Sidoarjo. Pilihan tanahnya ukuran 90 meter dan 120 meter. Untuk warga yang tanah kurang dari ukuran tesebut harus nomboki dan ini yang dialami Baskoro dan keluarga yang hanya memiliki tanah 75 meter persegi. Uang kekurangan ini dipotong langsung dari uang rumahnya. Ini tidak adil.

    Kami harus nomboki 15 juta,” tutur Baskoro.

    Sementara, pembayaran atas bangunan oleh Lapindo baru dilakukan setelah dua bulan dari Agustus 2008. Itu pun jika Lapindo tidak mangkir. Baskoro gamang karena sebentar lagi hendak puasa di mana kebutuhan hidup melonjak dan kontrakannya pun akan segera habis. Dia tidak tahu, dengan cara apa harus memenuhi semua biaya itu. [mam]

  • Korban Lapindo Bersatu Tutup Langgul

    Korban Lapindo Bersatu Tutup Langgul

    korbanlumpur.info – Gabungan beberapa kelompok korban kembali berunjuk rasa hari ini (25/08). Aksi ini karena masih berlarutnya proses pembayaran ganti rugi warga secara cash and carry. Juga belum jelasnya status desa-desa diluar peta area terdampak.

    Massa terdiri dari kelompok Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden), dan Paguyuban 4 Desa (Gedang, Ketapang, Glagaharum, dan Plumbon), juga tim 3 Desa (Mindi, Siring dan Jatirejo). Meskipun berbeda tuntutan, mereka melakukan aksi bersama menuntut penyelesaian desa-desa mereka.

    Geppres adalah kelompok desa-desa didalam peta area terdampak, yang sampai sekarang masih berjuang mendapatkan ganti rugi 80% secara cash and carry. Ini karena pihak Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menyatakan tidak akan membeli tanah warga yang berstatus kepemilikan Petok D dan Letter C.

    Sedangkan Paguyuban 4 Desa menuntut dimasukkannya wilayah mereka kedalam peta area terdampak. Sebab kesehatan dan keselamatan daerah mereka sangat rentan. Selain tinggal dekat tanggul yang bisa roboh sewaktu-waktu. Lingkungan mereka juga mengalami kerusakan dan terpolusi oleh logam berat dan PAH (policyclic aromatic hydrocarbons) . “Kami ini juga korban, tolong pemerintah jujur melihat kondisi desa-desa kami” kata Jarot dari Siring Barat.

    Sejak pagi, ribuan massa  bergerak menutup semua akses masuk ke tanggul di beberapa titik. Mereka menolak dilanjutkannya proses penanggulan sebelum persoalan mereka diselesaikan. Warga menyatakan bahwa area teanggul itu masih tanah hak milik mereka, karena belum diselesaikan pembayarannya. Mereka mengancam akan menduduki tanggul secara permanen bila tuntutannya tidak dipenuhi.

    “Ini tanah warga dan warga masih punya hak di sini karena Lapindo belum menyelesaikan sisa pembayaran 80%. Sampai kapanpun kami akan tetap disini kalau Lapindo menolak membayar secara cash and carry” tutur Suwito Koordinator Geppres ditengah-tengah massa. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada pihak-pihak terkait yang datang untuk merundingkan permasalahan ini. [re]

  • Perjuangan Panjang Warga Pemilik Tanah Letter C

    Tolak Resettlement, Tuntut Pembayaran 80 Persen Tunai

    Tanpa terasa dua tahun lebih lumpur menyembur di Sidoarjo. Selama itu pula berbagai penderitaan dialami warga. Salah satunya kehilangan tempat tinggal. PT Minarak telah membayar uang muka ganti rugi 20 persen. Namun, pelunasan 80 persen sampai saat ini masih banyak yang belum terbayarkan.

    Dwi Sulastriyah, 32, asal Dusun Sengon, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, mengaku resah. Sebab, sampai saat ini dia belum menerima pelunasan ganti rugi tersebut. Padahal, dia sangat membutuhkan uang itu untuk melanjutkan hidup dan membangun rumah di tempat lain.

    “Saya sangat membutuhkan (uang, Red) itu,” ujarnya. Saat ini yang ada dalam benaknya hanyalah pelunasan ganti rugi rumahnya. Namun, untuk mendapatkan haknya itu butuh perjuangan sangat berat. Sebab, surat-surat tanahnya dianggap tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan PT Minarak. “Surat tanah saya hanya Letter C,” katanya.

    Pada pelunasan 80 persen, PT Minarak menetapkan sertifikat harus hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB). Sebab, persyaratan akta jual beli harus menyertakan sertifikat tersebut.

    Hal itulah yang membuatnya prihatin. Gara-gara bukti tanah hanya Letter C, nasib mereka terkesan dipermainkan. Yakni, PT Minarak tidak mau membayar dalam bentuk tunai, melainkan dengan resettlement. “Padahal, saya butuh uang untuk membeli atau membangun rumah baru,” ucapnya.

    Keprihatinan yang sama dirasakan Untung, 35, warga lain. Ganti rugi yang diterima belum tuntas. Padahal, rumahnya sudah hancur untuk pembangunan tanggul. “Ini masih tanah saya karena belum dilunasi,” ujar yang sambil menunjuk tanggul yang berdiri di atas bekas rumahnya.

    Atas dasar itulah dia bersama warga lain melarang pekerjaan tanggul di kawasan Sengon, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. Penolakan itu dilakukan dengan memasang tiang di sekitar tanggul tersebut. Tiang yang terbuat dari bambu setinggi 1,5 meter itu bertuliskan “Jangan Ditanggul”.

    “Kami tidak izinkan sebelum ada pelunasan ganti rugi dalam bentuk tunai,” tegasnya.

    Keprihatinan itu juga dipicu oleh riwayat tanah tersebut yang umumnya tanah warisan. Artinya, ketika lumpur menenggelamkan kawasannya, tenggelam pula nostaliga yang pernah mereka alami.

    Ahmad Sutono, salah satu ketua RT di desa itu, berharap penderitaan warga cepat selesai. Hal itu ditandai dengan pelunasan ganti rugi 80 persen tunai. Dia tidak menginginkan resettlement. “Yang diinginkan warga hanya pembayaran tunai,” katanya.

    Dia meminta pemerintah segera turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Sebab, warga sudah sangat menderita. Mereka sudah kehabisan uang untuk mengontrak rumah. Pastilah uang tunai yang dibutuhkan. “Karena itu, kami ingin dibayar tunai,” pinta Ahmad.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Zulkarnain memahami posisi warga. Dia berharap warga mengomunikasikannya dengan BPLS.  “Keluh-kesah mereka akan kami sampaikan ke tingkat atas. Atau kami jadikan dasar untuk mendesak PT Minarak,” ujar Zulkarnain yang mengaku siap diajak diskusi kapan saja.

    Dia juga meminta warga mengizinkan pengerjaan tanggul dilanjutkan kembali. Jika tanggul tidak diperkuat, kawasan lain bisa terancam. “Itu akan merugikan warga lain,” tegas dia. (ib)

    © Jawa Pos

  • Warga Blokade Tanggul dengan Spanduk

    Warga Blokade Tanggul dengan Spanduk

    korbanlumpur.info, Porong – Hari ini, Sabtu 9 Agustus 2008, warga desa korban lumpur Lapindo dari desa Siring, Jatirejo, Kedung Bendo, dan Renokenongo melakukan aksi pemasangan spanduk penolakan proyek penanggulan. Aksi dipimpin langsung oleh masing masing koordinator lapangan di tiap desa.

    Warga Siring dan Jatirejo melakukan pemasangan spanduk di pintu masuk dumtruck di pintu masuk bekas kantor Koramil. Aksi dipimpin langsung korlap Siring, Rois Hariyanto, dan korlap Jatirejo, Suwito. Sedangkan warga Kedung Bendo melakukan pengusiran eskavator yang mengerjakan penanggulan di Jalan Demak, Desa Ketapang.

    Aksi dipimpin langsung oleh korlap Kedung Bendo, Usman dan Hari Suwandi. Aksi warga Kedung Bendo ini mendapat dukungan langsung dari Kepala Desa kedung Bendo, H Hasan. Sementara aksi pemasangan spanduk di Desa Renokenongo dipimpin langsung oleh korlap Renokenongo, Mahmudatul Fatchiya. Aksi pemasangan spanduk warga Renokenongo ini dilakukan di sepanjang tanggul Desa Renokenongo.

    Aksi pemasangan dan blokade sesaat ini dilakukan untuk memperingatkan BPLS agar segera memaksa PT Minarak Lapindo Jaya untuk membayar pelunasan aset mereka. Sebab selama ini mereka hanya dibayar dengan uang muka 20 persen oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Kini telah jatuh tempo pembayaran sisa 80 persennya. Tapi belakangan, Andi Darussalam Tabusala, Vice President Minarak Lapindo Jaya menyatakan tidak akan membayar sisa uang 80 persen yang seharusnya diterima warga, jika bukti kepemilikan tanah warga hanya Letter C dan Pethok D, atau SK Gogol. PT Minarak Lapindo Jaya hanya bersedia membayar tanah warga yang bersertifikat hak milik.

    Menurut Suwito, pihaknya memberi batas waktu paling lama seminggu kepada PT Minarak Lapindo Jaya dan BPLS untuk merealisasikan sisa pembayaran secara tunai (cash) sisa uang 80 persen. “Jika tanah kami tidak dibayar, maka kami akan melakukan aksi massa yang lebih besar. Akan tetapi aksi massa tersebut akan kami lakukan secara damai, dan tidak mengganggu masyarakat umum,” ujar Suwito, Koordinator Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres).

    Beragam spanduk kini telah menancap di beberapa titik tanggul lumpur Lapindo dari empat desa. “Bayar dulu, baru tanggul”, “Lapindo perampas tanah rakyat”, “Letter C, Pethok D bisa di-AJB-kan”, begitulah ungkapan tuntutan warga  yang mereka tuangkan dalam beberapa spanduk.

    Warga berkomitmen, spanduk-spanduk itu akan mereka jaga secara bergiliran. Mereka akan mempertahankan spanduk spanduk itu jika ada pihak pihak lain yang berupaya menurunkannya. (ring)

  • 1.000 Korban Lapindo Tolak Uang dan Tempat Tinggal

    Banyak warga yang belum mengambil bantuan Presiden

    SIDOARJO — Sekitar 1.000 korban semburan lumpur Lapindo yang mengatasnamakan Gerakan Pendukung Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 dari berbagai desa kemarin menggelar istigasah. Acara dilakukan di Masjid Nurul Huda, Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, yang kini telah rusak akibat terjangan lumpur Lapindo.

    Warga menuntut Lapindo mempercepat pembayaran cash and carry. Mereka menolak konsep baru cash and resettlement seperti yang diterima kelompok Gerakan Korban Lumpur Lapindo. “Konsep awal jangan diganti-ganti,” kata koordinator warga, Fathurozi, kemarin.

    Dari pantauan Tempo, acara ini diikuti oleh sebagian besar korban Lapindo dari kawasan yang masuk peta dampak lumpur, yakni Desa Renokenongo, Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Besuki, Mindi, Pejarakan, Kedungcangkring, Ketapang, Glagah Arum, Kalitengah, serta Gempol Sari.

    Mereka meminta Minarak melunasi proses pembayaran ganti rugi 80 persen sebagaimana telah diatur dalam Perpres No. 14/2007. Dalam peraturan ini disebutkan, aset warga berupa tanah kering atau tanah pekarangan diganti dengan Rp 1 juta per meter persegi, tanah sawah Rp 120 ribu per meter persegi, dan bangunan Rp 1,5 juta per meter persegi.

    Vice President PT Minarak Andi Darussalam Tabusalla sampai berita ini diturunkan belum mau mengangkat telepon selulernya.

    Mantan Lurah Renokenongo, Ny Mahmudah, berharap pemerintah bisa menjembatani perbedaan penafsiran antara Minarak dan warga.

    Ketua Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo Maimun Siroj berjanji akan segera mempertemukan warga dengan pihak Minarak. “”Jangan sampai warga semakin terpecah,”” ujarnya.

    Dalam kesempatan itu, Maimun meminta korban Lapindo yang berada dalam peta dampak segera mengambil jatah bantuan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Uang itu, kata dia, telah diterima dan dimasukkan ke rekening Pemerintah Daerah Sidoarjo sejak beberapa bulan lalu. Bantuan dari Presiden tersebut, menurut Maimun, berjumlah Rp 10 miliar dan saat ini masih tersisa sekitar Rp 700 juta.

    ROHMAN T | Koran Tempo

  • Harapan Baru untuk “Cash and Carry”

    korbanlumpur.info – Sorak sorai langsung terdengar ketika Suwito, perwakilan warga yang masuk dan ditemui bupati keluar dan menyampaikan hasil pertemuan di pendopo Kabupaten Sidoarjo. Korban lapindo sudah beberapa kali harus berdemo ke Bupati untuk mempertanyakan nasibnya, juga beberapa kali sudah sujud syukur ketika tuntutan mereka seolah terpenuhi, dan mereka sudah lelah ditipu, lalu, apalagi yang baru sekarang?

    Siang itu (05/08/2008), matahari sudah bergeser dan warga yang menunggu di luar pendopo kabupaten masih bertanya-tanya dalam hati, apakah betul asset tanah warga yang Petok D dan Letter C bisa di-AJB-kan, yang artinya bisa mendapatkan ganti rugi secara cash and carry? Sementara di dalam, Perwakilan warga yang ditemui Bupati menyampaikan segala harapan dan tuntutannya.

    Dengan membawa sebendel bukti berisi peraturan-peraturan dan risalah rapat serta komitmen pihak-pihak terkait, warga mengadu dan meminta Bupati merespon tuntutan warga untuk segera dibayar ganti rugi asset mereka secara cash and carry. Sudah lama mereka diombang-ambingkan dan digoyang isu-isu dan informasi yang tidak jelas. Pihak Minarak lapindo Jaya setelah melaukan pertemuan dengan GKLL menyatakan tidak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapun (tempointeraktif, 26 Juni 2008).

    Pasca pernyataan itu, tentu saja korban lumpur yang mayoritas memiliki bukti asset berupa Petok D dan Letter C resah, tidak ada angin tidak ada hujan mereka yang sudah berharap segera menerima sisa ganti rugi 80% karena masa kontrakannya habis kembali menelan pil pahit. Jika sebelumnya mereka melalui GKLL giat menuntut cash and carry, namun akhirnya cash and resettlement yang didapat.

    Pihak Minarak lapindo Jaya berkilah bahwa pemilik asset dengan bukti kepemilikan Petok D dan Letter C tidak bisa di-AJB-kan. Padahal Badan Pertanahan Nasional sudah mengeluarkan surat pada tanggal 24 Maret 2008 mengenai mekanisme AJB untuk semua bukti kepemilikan (Sertifikat, Petok D, Letter C, SK Gogol, Yasan serta tanah asset Pemda dan yang berstatus HGB). Belum lagi jika merujuk pada banyak risalah rapat dan komitmen yang bukan hanya ditanda tangani Andi Darusalam selaku Vice President PT Minarak lapindo jaya tetapi juga pejabat negara baik daerah maupun pusat, yang jelas menyatakan bahwa Petok D, Letter C dsb diperlakukan sama dengan sertifikat dan berhak mendapat ganti rugi yang sama.

    Namun semua itu seolah menguap, dan komitmen yang ditanda tangani seolah tidak ada. Lalu, pada tanggal 25 Juni 2008, keluarlah pernyataan itu: ʽPT MLJ tak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapunʼ Perih dan menyakitkan!’

    Namun, sorak-sorai pada 5 Agustus 2008 di depan Pendopo Kabupaten kemarin seolah memberikan titik cahaya kepada mereka yang memilih untuk tetap menuntut hak mereka secara cash and carry. Bupati Sidoarjo, Badan Pertanahan Nasional, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyatakan bahwa semua asset warga dengan bukti kepemilikan Petok D, Letter C, SK Gogol bisa di-AJB-kan dan Pihak lapindo harus menunaikan kewajibannya membayar sisa ganti rugi 80% secara cash and carry.

    Bukan akhir dari segalanya memang, masih butuh perjuangan untuk tetap menuntut tanggung jawab Lapindo dalam mengganti rugi asset warga yang telah tenggelam. Mereka mengepalkan tangan dan berteriak mengungkapkan kegembiraannya. Bapak-bapak dan kaum muda meloncat-loncat mengekspresikan kelegaannya, beberapa ibu terlihat menangis terharu mendengar berita itu. Harapan itu masih ada dan terjaga, harapan untuk mendapatkan lagi kehidupan mereka yang telah ditenggelamkan oleh Lapindo baik dengan lumpur maupun dengan tindakan-tindakan mereka yang mengingkari hak-hak warga.

    Sorak sorai itu terdengar optimis, kelegaan yang menyeruak setelah kegundahan akan terbayarnya aset mereka terjawab. Tapi perjuangan tidak boleh hanya berhenti pada kelegaan.

  • Bupati Sidoarjo: “Saya Tidak Tahu Apa itu Cash and Resettlement”

    Sidoarjo, SuaraPorong – Pola Cash and Resettlement (CnR) yang digulirkan oleh Lapindo ternyata tidak dikenal oleh pemerintah. Pasalnya, dalam penyelesaian masalah ganti rugi korban Lapindo, yang dijadikan acuan adalah skema yang ada dalam Peraturan Presiden 14/2007, yaitu skema Cash and Carry (CnC) dengan pola pembayaran 20-80 persen.

    “Saya tidak tahu apa itu Cash and Resettlement,” tegas Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso.

    Hal itu terungkap dalam pertemuan antara perwakilan korban Lapindo dengan Bupati, BPLS dan BPN di pendopo tadi siang. Sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang ada, seharusnya mekanisme pembayaran itu adalah dengan CnC. “Warga sudah memegang kumpulan dokumen yang tepat, ada tanda tangan saya, Pak Mensos, semua pihak, semua lengkap semua komitmen pada penyelesaian menurut Perpres.”

    Bupati menambahkan, seharusnya skema CnC yang sesuai Perpres itu yang dijadikan acuan untuk penyelesaian pembayaran. Tetapi karena Minarak cenderung untuk memilih CnR, Bupati meminta agar untuk warga yang menolak tawaran ini juga harus difasilitasi. Dan karena urusan wilayah di dalam Peta Terdampak adalah tanggung jawab BPLS, Bupati meminta BPLS bersikap tegas dan mendorong penyelesaian masalah ini.

    Terkait dengan proses perumusan skema CnR sendiri, Bupati mengaku tidak pernah dilibatkan dan tidak tahu menahu. Demikian juga pihak terkait lainnya yaitu dari BPLS maupun BPN. Hal ini menimbulkan keraguan di warga tentang bagaimana seandainya Minarak Lapindo Jaya nantinya ternyata mengingkari kesepakatan, tidak akan ada dasar hukum dan tidak ada lembaga pemerintahan yang akan membantu.

    Pendapat senada disampaikan oleh Deputi Sosial Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Soetjahjono Soejitno. Sesuai dengan Perpres, ditegaskan bahwa dalam penyelesaian masalah sosial lumpur Lapindo, BPLS berpegang kepada Perpres. Sedangkan terkait pendapat Lapindo yang dijadikan dasar CnR yaitu tidak bisanya tanah non sertifikat untuk di Akta Jual-Beli (AJB),

    BPLS mengacu pada pendapat BPN selaku lembaga yang berwenang dalam masalah pertanahan. “Kami sami’na wa atho’na”, terang Soejitno.

    Penjelasan Bupati itu kontan mendapat sambutan positif dari warga korban Lumpur Lapindo. Sumitro, korban dari Perumtas, mengaku menghargai kepedulian yang ditunjukkan oleh Bupati terhadap nasib korban. Meski begitu, Sumitro mengingatkan agar Bupati tetap konsisten dan berkomitmen memperjuangkan nasib semua korban Lapindo.

  • “Cash and Carry” atau Mati!

    “Cash and Carry” atau Mati!

    Jatirejo, korbanlumpur.info – Pada saat media ramai memberitakan tentang betapa warga korban lumpur yang di dalam peta sudah menerima kunci rumah di perumahan Kahuripan Nirwana Villages, ribuan orang lainnya masih terkatung-katung nasibnya. Mereka adalah kelompok yang menolak tawaran cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Warga tetap bersikeras untuk menuntut pembayaran cash and carry. “Cash and Carry atau Mati!” Demikian semboyan Bang Rois, tokoh warga dari Siring, Porong.

    Semangat itu mengemuka dalam pertemuan korban lumpur Lapindo dari kelompok yang menamakan GEPPRES (Gerakan Penegakan Perpres 14/2007). Pertemuan yang digelar di Posko GEPPRESS di Desa Jatirejo tadi malam (25/07) itu dihadiri oleh ratusan warga dari empat desa, yaitu Siring, Jatirejo, Reno Kenongo dan Kedung Bendo.  Rapat itu bertujuan untuk mensosialisasikan rencana kerja dan tuntutan GEPPRES kepada anggotanya.

    GEPPRES merupakan kelompok pecahan dari kelompok Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang lebih dikenal sebagai kelompok binaan Cak Nun. Pada tanggal 24 Juni 2008, GKLL yang awalnya menuntut cash and carry menandatangani nota kesepahaman dengan MLJ untuk menerima cash  and resettlement, disaksikan oleh Bupati, Kepala BPLS dan Cak Nun selaku pembina GKLL. Karena nota kesepahaman itulah kemudian banyak warga yang kecewa yang kemudian membentuk GEPPRES “Sebab kami sudah dikhianati oleh GKLL dan Cak Nun,” tegas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Menurut Musthofa, awalnya GKLL menuntut untuk pembayaran sisa 80% secara cash and carry. “Bahkan warga semuanya disuruh untuk membuat surat pernyataan dan mandat kepada Cak Nun untuk memperjuangkan”, tambah Musthofa. Sebagian besar warga beranggapan bahwa pembayaran 20% yang sudah mereka terima adalah atas jasa Cak Nun. Saat itu, lanjut Musthofa, ada 3.000-an warga yang tergabung dalam GKLL, “karena kami memang ingin sisa pembayaran 80% dibayar secara cash and carry.”

    Alasan warga menuntut cash and carry adalah karena warga tidak akan bisa hidup di perumahan seperti yang ditawarkan Lapindo. “Sebagian besar warga itu petani dan tukang bangunan. Lha bagaimana kami bisa hidup di perumahan? Kami sudah biasa hidup di desa yang orangnya kenal semua. Jelas kami tidak akan kerasan dan tidak akan bisa kerja,” jelas Wito, salah seorang pengurus GEPPRES dari Jatirejo, dengan panjang lebar.

    Lain lagi yang diutarakan Hari Suwandi, koordinator Desa Kedungbendo dalam kepengurusan GEPPRES. Menurut Hari, orang sudah terlanjur berencana untuk membangun rumah atau melakukan berbagai hal lainnya dengan uang 80% yang mestinya mereka terima akhir bulan ini. “Sebagian sudah beli tanah, mbangunnya dengan uang dari Minarak. Ada yang sudah kadung bayar uang muka untuk beli rumah di desa lain. Lha kalau gak jadi seperti ini ya gimana?” terangnya.

    Yang lebih rumit, sebagian besar orang mengaku berhutang dan berjanji untuk melunasi setelah menerima pembayaran 80%. Tetapi karena Minarak menolak membayar secara tunai, tentunya mereka terancam untuk gagal. “Ada itu bahkan yang sudah membayar uang muka untuk naik haji sampai 15 juta. Lha kalau tidak bisa melunasi ini kan bisa hangus” tambah Hari. Karena itu warga menolak skema cash and resettlement dan tetap menginginkan untuk pembayaran cash and carry.

    Dalam pertemuan GEPPRES yang kedua tadi malam, warga membulatkan tekad untuk tetap menuntut hak mereka. Secara hukum, warga yakin bahwa posisi mereka sudah sangat kuat. “Kita ini kan sudah dilindungi dengan Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk membayar 20-80 kepada korban. Lha kenapa Peraturan dari Presiden bisa dikalahkan oleh nota kesepahaman GKLL dengan MLJ. Yang memimpin negara ini memangnya siapa?” tegas Musthofa yang disambut tepuk semangat peserta pertemuan yang membludak sampai ke sisi jalan raya.

    Pendapat itu dibenarkan oleh Paring Waluyo, pendamping warga dari Posko Porong. Menurut Paring, hak warga untuk mendapatkan sisa pembayaran sebanyak 80 persen secara cash and carry itu dilindungi paling tidak oleh 4 peraturan hukum. Yang pertama adalah Perpres 14/2007 itu sendiri. Pada pasal 15 dari Perpres menegaskan bahwa Lapindo wajib membeli tanah dan bangunan warga dengan skema 20-80, dimana sisa pembayaran dilakukan satu bulan sebelum masa kontrak habis.

    Yang kedua adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 24 P/HUM/2007 tanggal 14 Desember 2007 yang merupakan jawaban atas permintaan Uji Materiil Perpres 14/2007. “Putusan MA yang merupakan lembaga tertinggi dalam masalah hukum ini pada dasarnya menegaskan tentang cara pembayaran yang diatur dalam Perpres, dan menegaskan kewajiban bagi Lapindo untuk menjalankan Perpres bagi warga yang memilih skema ini,” tambah Paring.

    Yang ketiga adalah Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo. “Dalam surat ini disebutkan bahwa tanah Letter C, Pethok D dan SK Gogol, bisa di-akta jual beli-kan. Nah, kalau Minarak bilang bahwa tanah non-sertifikat tidak bisa di AJB-kan, itu kesimpulan sepihak,” terangnya disambut tepuk tangan setuju dari peserta pertemuan.

    Sedangkan yang terakhir adalah risalah rapat tanggal 2 Mei yang ditandatangani Minarak dan Perwakilan warga yang juga disaksikan oleh pejabat terkait (Mensos, Bupati, Kepala BPLS, BPN, dsb) . Pada pertemuan itu juga disepakati bahwa tanah non sertifikat bisa di-AJB-kan. “Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi Minarak untuk tidak memenuhi tuntutan warga yang ingin memilih cash and carry,” pungkas Paring.

    Karena itu, GEPPRES menyatakan dengan tekad bulat bahwa mereka tetap akan memperjuangkan untuk menuntut cash and carry atas sisa pembayaran 80%. Setelah 2 tahun menunggu, warga mengaku bahwa mereka tidak mau lagi dibohongi dan dibodohi. “Lha sebentar lagi kontrak rumah sudah habis, kita tidak punya pilihan lain selain hanya menuntut kepada pemerintah. Kami akan bawa ini sampai ke RI-1 yang keputusannya ternyata diselewengkan di bawah oleh aparatnya,” tukas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Warga sendiri mengaku tidak akan mundur untuk menuntut hak yang selama ini sudah diambil oleh Lapindo. “Warga korban lumpur jangan takut, saya yang akan didepan. Kalau aparat mau menangkap, tangkap saja saya. Silahkan, wong saya memperjuangkan rakyat kecil, tetangga saya yang tukang-tukang becak itu. Jangan takut. Pokoknya cash and carry atau mati,” tegas Bang Rois, tokoh dari Siring yang disambut dengan tepukan setuju dari warga korban lumpur Lapindo lainnya.