Tag: dampak sosial

  • 9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    Bencana lumpur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang dipicu oleh pengeboran PT Lapindo Brantas Inc pada 29 Mei lalu genap sembilan tahun terjadi. Persoalan masih menggantung, terutama terkait pembayaran ganti rugi kepada warga yang menjadi korban terdampak yang belum selesai.

    Pola penanganan dampak bencana industri lumpur Lapindo menciptakan masalah tersendiri. Pembagian pemberian ganti rugi antara wilayah yang masuk peta area terdampak (PAT) dan di luar PAT mengakibatkan penelantaran dan perpecahan di tingkat warga.

    Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 dan Perpres No 40/2009, pemberian ganti rugi kepada korban dikategorikan dalam dua kelompok. Wilayah yang masuk PAT akan dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan juru bayar PT Lapindo Brantas Inc. Sementara desa-desa yang berada di luar PAT diberi ganti rugi oleh negara. Dalam perkembangannya, PT Minarak Lapindo tak mampu memenuhi kesepakatan itu. Akibatnya, masih banyak korban yang tidak jelas nasibnya saat ini.

    Tetap bertahan

    “Kalau hujan deras, ndak ada yang berani di dalam rumah. Kami semua kumpul di emperan depan, takut rumahnya ambruk,” ujar Bu Sanik (65), warga RT 010 RW 002 Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.

    Bu Sanik adalah salah satu warga yang saat ini bersama 18 kepala keluarga (KK) lainnya masih bertahan di lokasi PAT lumpur Lapindo. Bukan hanya keluarga Bu Sanik, hampir sebagian besar warga RT 010 RW 002 yang masih tinggal di wilayah PAT gelisah jika hujan turun. Ancaman rumah ambruk dan banjir air bercampur lumpur menghantui mereka.

    Pertengahan Maret lalu, tanggul penahan lumpur yang berada di belakang rumah warga Desa Gempolsari itu jebol. Air bercampur lumpur setinggi hampir setengah meter masuk ke rumah warga. Sekitar 100 warga dari RT 010 RW 002 mengungsi ke Balai Desa Gempolsari. Ini merupakan kejadian yang ketiga kalinya di tahun 2015.

    Desa Gempolsari berdasarkan Perpres No 14/2007 termasuk salah satu desa yang masuk dalam PAT lumpur Lapindo. Ada 99 KK dengan 314 jiwa warga Desa Gempolsari yang terdampak lumpur. Sebagian besar sudah pindah dari Gempolsari. Yang masih tersisa adalah warga RT 010 dan sebagian kecil RT 009 dari RW 002 yang berjumlah 19 KK dengan 114 jiwa. Area itu termasuk dalam 641 hektar yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI), seperti tertuang dalam Perpres No 14/2007.

    Kini, kondisi lingkungan dan tempat tinggal seluruh warga yang masih bertahan di wilayah ini sudah tidak layak huni. Lingkungan yang lembab akibat seringnya terendam lumpur menyebabkan fisik bangunan terkikis dan rapuh. Sebagian besar rumah lantainya sudah ambles dan lebih rendah dari endapan lumpur yang ada di halaman.

    Mereka yang masih tinggal di area itu bukannya tidak ingin pindah, belum lunasnya sisa pembayaran oleh PT Minarak Lapindo Jaya menyebabkan mereka terus bertahan di situ. Selain karena belum memiliki tempat hunian lain, mereka juga khawatir jika meninggalkan lokasi, sementara tanah dan bangunan belum lunas, mereka akan kehilangan hak atas tanah dan bangunan milik mereka.

    Memberdayakan kelompok

    Di antara penelantaran oleh negara dan PT Lapindo, tetap muncul inisiatif-inisiatif dari para korban untuk menyelesaikan masalah mereka. Seperti yang dilakukan Harwati (39). Meskipun telah sembilan tahun terpaksa meninggalkan rumahnya di Desa Siring, Kecamatan Porong, Harwati belum memperoleh pelunasan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Kini, ia tinggal di rumah orangtuanya di Desa Candipari sambil menjadi tukang ojek di salah satu area tanggul lumpur Lapindo.

    Kematian suami dan ibunya karena kanker beberapa tahun setelah bencana lumpur membuat Harwati bertekad mengumpulkan kembali para tetangga dan keluarganya yang telah tercerai berai. “Kira-kira setahun saya berkeliling ke desa-desa sekitar mencari tahu keberadaan keluarga besar dan tetangga di Desa Siring dulu. Daripada stres kalau belum ada penumpang, lebih baik keliling,” cerita Harwati.

    Setelah mengetahui tempat tinggal mereka, Harwati mengajak tetangga dan keluarga yang sudah ditemukannya untuk berkumpul, membuat arisan kecil-kecilan, hanya agar bisa menyambung kembali ikatan sosial yang telah dihancurkan lumpur Lapindo. Saat ini, tak kurang dari 20 perempuan aktif berkumpul dalam Komunitas Ar-Rohmah yang didirikannya. Mereka memiliki usaha kecil-kecilan membuat produk kreatif, seperti tas kain, selimut, bed cover dari perca. Uang kas yang dikumpulkan sedikit demi sedikit digunakan untuk membantu biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit.

    “Saya tak mau kejadian seperti suami saya yang ditolak rumah sakit ketika berusaha mengobati kankernya terulang kembali. Bikin trauma sekali,” ungkapnya. Pemerintah dan (apalagi) PT Lapindo tidak memedulikan persoalan ini. Warga sendiri yang harus mengupayakan penyelesaian.

    Malu diganti negara

    Pengategorian korban bencana lumpur juga mengakibatkan perpecahan di kalangan warga, baik yang berada di PAT maupun di luar PAT. Seperti yang terjadi pada warga Desa Besuki. Abdul Rokhim (48) menuturkan bahwa tahun 2007 ia dan ratusan warga lainnya menuntut ganti rugi. Tempat tinggalnya memang tidak masuk dalam PAT berdasarkan Perpres No 14/2007.

    Namun, Rokhim menyatakan, dampak luapan lumpur itu juga dirasakan warga yang rumahnya di luar peta tersebut. “Saya tidak bisa kerja lagi karena pabrik sudah tutup, apalagi harus beli air untuk kebutuhan sehari-hari karena air di rumah tidak layak,” tutur Rokhim.

    Pemerintah akhirnya menerbitkan Prepres No 48/2008 yang memasukkan sebagian Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, untuk diberi ganti rugi dari APBN. Namun, peraturan itu menjadikan jalan tol sebagai dasar menentukan wilayah yang masuk penggantian. Akibatnya, hanya Besuki bagian Barat yang masuk. Keputusan ini mengakibatkan kelompok warga yang semula bersatu di atas kepentingan bersama Desa Besuki menjadi terpecah belah. Suasana kekeluargaan pun hancur.

    Akhirnya, Rokhim dan warga Besuki bagian Timur harus berjuang kembali menuntut ganti rugi. Keberuntungan masih dimiliki Rokhim, bagian timur Desa Besuki pun masuk dalam penggantian melalui Perpres No 37/2012. Kini, meski telah tinggal di rumah baru, kegundahan Rokhim tak hilang karena, “Saya pribadi malu karena saya merasakan diganteni (diganti) oleh negara, seluruh rakyat Indonesia. Mestinya yang bertanggung jawab Lapindo,” ungkapnya. Keadilan hukum seharusnya diberikan kepada pelaku bencana industri seperti Lapindo.

    MG Retno Setyowati/Yohan Wahyu/BI Purwantari/Litbang Kompas

    Kompas Siang, 4 Juni 2015

  • Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana

    Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana

    Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah yang susah payah Anda bangun dari jerih payah Anda, kemudian ditenggelamkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah tempat Anda membina hubungan dengan keluarga, membesarkan dan mendidik anak, ternyata dalam waktu tertentu harus dihancurkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika Anda harus meninggalkan kampung halaman Anda karena kesalahan yang tidak pernah Anda buat sebelumnya?

    Dari pertanyaan semacam itulah sebenarnya, saya ingin menggambarkan bahwa masalah rumah bukanlah melulu berhubungan dengan uang. Rumah adalah kebudayaan. Di dalam rumah terjadi interaksi di antara anggota keluarga. Di rumah berlangsung upaya membesarkan dan mendidik anak. Tetapi celakanya, dalam kasus Lapindo, yang tampil di hadapan kita seolah-olah hanyalah masalah jual beli rumah dan tanah saja. Tidak ada perhitungan bagaimana menyelesaikan masalah hancurnya kebudayaan ini. Di lain pihak, pemberitaan media seolah menggiring masyarakat kepada pemahaman, bahwa kasus Lapindo melulu masalah jual beli rumah dan tanah. Padahal di luar itu semua, ada hal yang lebih penting untuk dibahas, yaitu penghancuran lingkungan sekaligus tatanan sosial-budaya masyarakat secara terencana, yang bahkan berlangsung hingga 9 tahun bencana lumpur Lapindo.

    Penghancuran Ekologi

    Temuan Walhi (2008) menunjukkan bahwa lingkungan yang berada dekat dengan semburan lumpur telah tercemar dan dan mengandung senyawa logam berat polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) yang melebihi ambang batas normal. Senyawa inilah yang dapat memicu sel kangker dalam tubuh. Di samping pula, kandungan unsur lainnya, seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan kromium (Cr) yang dapat memicu berbagai penyakit. Hasil ini diperkuat oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa terdapat kandungan besi (Fe) pada air tanah di desa sekitar semburan lumpur.

    Pembuangan lumpur ke Kanal Porong ternyata tidak menyelesaikan masalah dan justru menimbulkan masalah baru. Pada warga Desa Kalisogo yang dekat dengan aliran Kanal Porong ditemukan kecenderungan mengalami penyakit tertentu. Warga yang menggunakan air tanah untuk dikonsumsi sehari-hari memiliki kecenderungan beberapa penyakit, seperti diare, mual, muntah, hingga nyeri perut (Putri dan Yudhastuti, 2013). Pembuangan lumpur ke Kanal Porong juga meningkatkan kandungan kadmium (Cd) dan timbal (Pb) pada ekosistem. Hal ini berpengaruh pula pada kondisi ikan yang hidup pada ekosistem tersebut, yang tentu saja tidak aman bila dikonsumsi (Purnomo, 2014).

    Informasi lain menunjukkan bahwa akibat pembuangan lumpur ke Kanal Porong dan Sungai Ketapang membuat ikan tercemar. Ikan di wilayah tambak Desa Penatarsewu misalnya, memiliki kondisi yang berlendir dan bau. Ini membuat warga tidak mau mengkonsumsinya (Dewi Rachmawati, 2013: 86). Penelitian di atas semakin membuktikan bahwa lumpur Lapindo ini memicu resiko ekologis yang semakin mengkhawatirkan.

    Menjadi semakin jelas, bahwa bencana lumpur Lapindo bukan hanya masalah ganti rugi semata. Kerusakan lingkungan menjadi ancaman serius di wilayah ini. Maka, pemulihan kondisi ekologis menjadi sangat relevan untuk diwacanakan.

    Penghancuran Sosial-Budaya

    Dalam kasus Lapindo, kebudayaan masyarakat dari desa-desa yang ditenggelamkan benar-benar dihilangkan dari akarnya. Ada banyak keluarga dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka untuk melakukan relokasi. Sebab, tinggal di lokasi yang dekat dengan sumber semburan lumpur bukanlah masalah yang gampang. Anda harus berurusan dengan kondisi lingkungan yang rusak: air yang keruh, udara yang busuk, dan tanah yang beracun.

    Sementara itu, melakukan relokasi juga bukanlah perkara mudah. Masalah pindah rumah bukan hanya perihal berpindah secara fisik-geografis semata. Relokasi adalah proses sosial-budaya. Hal inilah yang tak pernah ada dalam logika para pemangku kepentingan yang menangani kasus Lapindo. Anggapan umum yang beredar hanyalah: “Kalau korban lumpur sudah mendapatkan cicilan uang jual beli aset lalu pindah ke relokasi, masalahnya beres”. Sekali lagi, yang terjadi tidaklah sesederhana itu.

    Bagi mereka yang mengalami sendiri proses pemindahan paksa ini, pindah rumah benar-benar hal yang tidak sederhana. Selain harus mempertimbangkan masalah harga tanah di lokasi yang baru, seseorang harus mempertimbangkan kondisi di lokasi tujuannya: Dengan siapa dia tinggal? Dengan sanak keluarga, tetangga lama, atau dengan tetangga baru? Apakah di rumah barunya dia masih bisa bekerja atau justru jadi pengangguran? Bagaimana dengan sekolah anak-anaknya? Siapa teman-teman mereka? Tak jarang kondisi lokasi desa/kota juga menjadi pertimbangan tersendiri yang memusingkan.

    Dampak dari kasus Lapindo ini bukan semata masalah uang ganti rugi saja, melainkan lebih dari itu, masalah sosial budaya. Kondisi sosial budaya yang telah ada dan melekat pada masyarakat, hancur akibat bencana ini.

    Sebelum mempertimbangkan banyak hal tentang relokasi, seseorang harus benar-benar ikhlas bahwa rumah dan kampung halamannya akan dihancurkan. Agar seseorang dapat secara legal dihitung menjadi “korban” bencana lumpur Lapido, rumah dan tanahnya harus terlebih dahulu masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT). Baru setelah itu, dia akan diperlakukan dengan cara tertentu, seperti penghitungan dan pengukuran rumah dan tanah.

    Dengan masuk dalam PAT, sebenarnya seseorang telah merelakan diri sebagian dari hidupnya dihancurkan. Rumah, pekarangan, dan sawah, harus direlakan untuk dijadikan tanggul penahan ataupun kolam lumpur. Dan tentu saja, kehidupan yang ada di dalamnya juga ikut hilang.

    Saya katakan kehidupan sosial dihancurkan karena memang, bagi masyarakat, rumah, pekarangan, dan sawah bukan saja aset yang bernilai ekonomis, melainkan bagian dari kehidupan sosial budaya itu sendiri. Penghancuran ini juga bukan hanya pada produk budaya yang sifatnya artefak saja. Dampak dari kasus Lapindo juga dapat melahirkan rusaknya ikatan sosial.

    Laporan Utomo dan Batubara (2009), misalnya, menunjukkan bahwa warga justru terlibat dalam berbagai macam konflik di antara tetangga sebagai dampak dari bencana ini. Laporan Amiruddin (2012) menemukan bahwa konflik horizontal juga setelah pindah di lokasi resettlement. Sebagai contohnya adalah warga yang tinggal KNV, sebuah pemukiman yang dibangun oleh pihak Lapindo dan dijual kepada warga korban. Ternyata, kasus Lapindo tak hanya menenggelamkan aset saja, melainkan juga memporak-porandakan hubungan sosial di antara warga.

    “Terencana”

    Dari gambaran di atas, saya ingin mengatakan bahwa dari kasus Lapindo ternyata melahirkan penghancuran; dari satu penghancuran melahirkan penghancuran yang lain. Dari penghancuran ekologis, menciptakan penghancuran sosial budaya. Dari penghancuran dan penenggelaman desa, melahirkan penghancuran hubungan sosial antar tetangga. Dari penghancuran tempat tinggal, melahirkan penghancuran pranata sosial di tempat tinggal yang baru. Bermula dari penghancuran di satu tempat dan waktu tertentu, melahirkan penghancuran pada dimensi tempat dan waktu yang lain, dan seterusnya.

    Menurut saya, bentuk-bentuk penghancuran sebagai dampak dari krisis ekologis ini ternyata tidak hadir begitu saja. Dia muncul di tengah relasi manusia dengan lingkungan ekologisnya dan berjalan dalam skema tertentu. Penghancuran ini berjalan secara terencana. Saya katakan terencana karena memang penanganan bencana ini telah mengalami perencanaan yang matang dengan melibatkan banyak jejaring ilmuwan.

    Ada perhitungan-perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penanganannya, seperti, misalnya, mengapa limbah lumpur ini dialirkan ke Sungai (Kanal) Porong? Mengenai hal ini Harnanto (2011) memiliki jawaban kenapa lumpur harus dialirkan ke Sungai Porong:

    Ada tiga prinsip pengelolaan lumpur yang berhubungan dengan Kali Porong, yakni pembuangan lumpur ke Kali Porong didistribusikan di palung sungai melalui beberapa lokasi di hilir spillway, semakin ke hilir semakin baik; memanfaatkan potensi daya air Kali Porong pada saat musim hujan, yang melimpah dan murah, untuk menghanyutkan lumpur ke laut; dan pengamanan fungsi Kali Porong untuk menjaga kinerja Kali Porong sebagai kanal banjir (floodway) Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. (Harnanto, 2011: 1).

    Sebagai ilmuwan yang bekerja untuk BPLS, tentunya pertimbangan-pertimbangan Hartanto di atas didasarkan pada metode ilmiah, sehingga dari hasil penelitiannya itu lahir pula alasan pembenar atas kebijakan pembuangan lumpur ke Kali Porong, dan bukan usaha untuk menyumbat sumber semburan. Padahal, pembuangan lumpur ke Sungai Porong jelas-jelas berdampak pada kehidupan warga. Karena dampak tersebut, pada akhirnya warga harus bersusah payah untuk bertahan hidup (Dewi Rachmawati, 2013), serta kemunculan penyakit baru (Putri dan Yudhastuti, 2013).

    Perencanaan lain misalnya, dilakukan Turniningtyas Rachmawati, dkk (2011) tentang proses pemukiman kembali. Para ilmuwan ini merumuskan lokasi pemukiman kembali yang sesuai dengan preferensi korban. Sebelumnya, melalui Majalah Solusi (Edisi 06, 31 Desember 2007-7 Januari 2008) pihak Lapindo telah menggiring opini warga agar mau memilih opsi resettlement sebagai pengganti pilihan cash and carry. Ini berarti korban sebenarnya diajak untuk menuruti kemauan pihak Lapindo agar mau ikut dalam skema yang mereka rencanakan.

    Apakah negara absen dalam bencana ini? Negara sama sekali tak pernah absen. Jauh sebelum lumpur menyembur di tengah pemukiman warga, siapa lagi yang memberikan ijin berdirinya perusahaan pengeboran di tengah pemukiman padat penduduk kalau bukan negara, melalui Ditjen Migas dan BP Migas? Ijin yang disampaikan kepada wargapun bukan pendirian perusahaan pengeboran, melainkan usaha peternakan. Dengan demikian, lanjut Novenanto, “kehadiran negara di masa awal kasus Lapindo adalah sebagai otorita politik yang memberikan izin berlangsungnya kegiatan industri berbahaya tanpa kontrol ketat yang potensial memicu lahirnya krisis sosial-ekologis yang lebih luas” (Novenanto, 2015: 46).

    Pun demikian dengan penanganan bencana lumpur dinaungi oleh peraturan presiden. Hingga saati ini saja, telah dikeluarkan enam peraturan; Perpres No. 14/2007, Pepres No. 48/2008, Perpres No. 40/2009, Perpres No. 48/2011, Perpres No. 37/2012, dan Perpres No. 33/2013. Namun yang patut dipertanyakan adalah, peran macam apa yang disandang oleh penyelenggara negara melalui aturan itu? Novenanto berargumen justru melalui peraturan presiden itulah “negara hadir untuk melapangkan jalan bagi korporasi untuk bertindak sesukanya—sekalipun itu adalah penghancuran entitas sosial-ekologis di suatu kawasan” (2015: 46). Dengan kata lain, justru melalui peraturan presiden itu, korporasi dapat meraih kekuasaan atas penanganan lumpur Lapindo dengan skema-skemanya, yang pada akhirnya akan melahirkan penghancuran tatanan sosial-budaya dan penghancuran ekologis.

    James C. Scott (1998) pernah mendedahkan dalam bukunya, bahwa melalui proyek-proyek pembangunan yang diusung negara, justru gagal dalam mengayomi masyarakat. Bagi Scott ini disebabkan karena pandangan dan kondisi masyarakat lokal tak pernah diperhatikan. Atas nama efisiensi, maka negara lebih menafikkan kompleksitas masalah kehidupan lainnya. Demikian halnya yang terjadi pada penanganan bencana lumpur Lapindo. Skema-skema yang diciptakan, justru menciptakan malapetaka baru bagi warga, dan melapangkan jalan korporasi. Peraturan presiden adalah mekanisme legal bagi korporasi untuk memisahkan warga dari tanahnya (land exclusion) (Karib, 2012), lalu melakukan pengusiran paksa, dengan memperluas perusakan lingkungan.

    Oleh karena itu, kasus Lapindo adalah bentuk yang sekaligus mampu melahirkan penghancuran yang terencana; melibatkan perencanaan dengan pertimbangan-pertimbangan teknis-akademis dan dinaungi kebijakan negara, demi melapangkan kuasa korporasi.

    Mengapa kita harus “mengingat Lapindo”?

    Penghancuran ini akan terus berlangsung hingga lebih dari 20 tahun ke depan, seiring prediksi ahli bahwa usia semburan lumpur yang mencapai kurun waktu itu pula (Batubara dan Utomo, 2011: 45). Prediksi para ahli ini sepertinya akan menjadi kenyataan karena memang berbagai macam upaya dilakukan, namun belum ada satupun cara yang membuahkan hasil. Tercatat sejak 2006, ada beberapa upaya penutupan semburan, dari cara yang sifatnya saintifik seperti Snubbing Unit method, Well Side Tracking method, Relief Wells method, High Density Chained Balls method, hingga cara yang sifatnya supranatural pernah dilakukan (Batubara dan Utomo, 2011).

    Setelah gagalnya usaha-usaha tersebut, tidak ada lagi upaya penghantian sumber semburan. Sejak saat itu, upaya yang dilakukan Lapindo dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) hanya meninggikan tanggul penahan lumpur saja sembari mengaduk-aduk lumpur agar dapat lancar mengalir ke Kanal Porong. Jika memang kondisinya demikian, sampai kapan proses penghancuran terencana ini berlangsung? Lalu, desa-desa dan kehidupan-kehidupan mana yang akan menunggu giliran untuk dihancurkan?

    Pengalaman saya berikut ini mungkin dapat memberikan sedikit ilustrasi:

    Akhir 2007, ketika perjalanan antara Surabaya-Malang, saya pernah menyempatkan diri singgah di sebuah warung makan. Lokasinya tidak jauh dari tanggul penahan lumpur. Waktu itu luas dan tinggi tanggul belum setinggi tahun 2015 sekarang ini.

    Saat itu saya mengobrol dengan seorang warga Kelurahan Gedang, Kecamatan Porong. Saya mengajukan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan sehari-harinya setelah munculnya lumpur Lapindo. Saya bukan wartawan, tetapi entah mengapa dia sangat serius menjawabnya. Hal yang paling saya ingat dari obrolan itu adalah dia (masih) merasa aman dengan kondisi lingkungannya. Perasaan aman disebabkan antara tanggul lumpur dan rumahnya dipisahkan oleh jalan raya Porong. Dia merasa aman meskipun setiap hari mencium bau menyengat, terutama ketika angin bertiup ke arah rumahnya, dan air di rumahnya mulai mengeruh. Dia merasa aman dan masih merasa tenang tinggal di rumahnya tanpa harus bingung mencari lokasi pindah sambil menuntut ganti rugi.

    Namun apa yang terjadi tahun 2013 lalu semuanya bertolak belakang. Kelurahan Gedang masuk dalam Perpres No. 33/2013. Dapat dipastikan seluruh warga yang tempat tinggalnya masuk dalam Peta Area Terdampak harus pindah. Setelah terancam dengan pencemaran air, tanah, dan udara, maka relasi sosial warga ini dimungkinkan akan terancam. Sebab dalam proses ini, mereka harus segera meninggalkan kampung halaman untuk mencari pemukiman baru. Konflik horizontal dan kemungkinan untuk tinggal tercerai-berai antara tetangga terbuka lebar. Seseorang yang semula merasa aman ternyata harus rela terusir dari kampung halamannya.

    Dari ilustrasi di atas patutlah kita bertanya, apakah kita akan selalu merasa aman dengan kondisi lingkungan kita? Jangan-jangan halaman belakang rumah kita juga akan terancam dengan kasus serupa? Apakah kita bersedia kalau tempat tinggal kita diambil alih dan dirusak oleh korporasi? Apakah kita hanya pasrah dan menunggu waktu saja? Dari tulisan ini, saya ingin mengajak anda untuk mengingat, bahwa yang terjadi pada kasus Lapindo bukan hanya masalah pelunasan jual beli aset saja. Saya ingin mengajak anda mengingat bahwa yang terjadi di Sidoarjo ini adalah sebuah tragedi, sebuah pengahancuran entitas sosial, budaya, dan lingkungan yang terencana.

    Dalam editorial Majalah Solusi edisi perdana (19-25 November 2008) tertulis:

    Cerita masa lalu itu sebaiknya kita simpan saja di memori kita sebagai catatan sejarah. Kini yang penting bagaimana membenahi persoalan di seputar semburan lumpur Sidoarjo secara tepat.

    Dari ajakan tersebut kita patut mempertanyakan; untuk membenahi persoalan, kenapa memori masa lalu ini cukup disimpan saja? Mengapa tidak kita buka saja memori-memori ini sebagai pelajaran? Bukankah kita memiliki reputasi buruk mengenai ingatan, mudah lupa dengan peristiwa-peristiwa penting di tanah air? Dengan menyimpan memori, bukankah kita pada akhirnya tidak pernah menuntaskan berbagai macam tragedi masa lalu di negeri ini?

    Maka, kesadaran yang harus kita miliki bersama adalah kita harus mengingat bahwa kasus Lapindo adalah sebuah penghancuran bentuk kehidupan yang terencana. Sebuah proyek penghancuran tata kehidupan manusia dengan lingkungan fisiknya. Logika ini jelas bertentangan dengan logika yang dibangun oleh pihak Lapindo melalui Majalah Solusi tersebut. Logika yang diusung oleh Majalah Solusi hanya akan menguburkan dan akhirnya membusukkan ingatan sosial. Pada akhirnya, masalah sosial dan lingkungan takkan pernah terselesaikan secara tuntas. Dengan menyimpan memori, kita hanya akan menumpuk-numpuk kebohongan; kebohongan satu ditumpuk dengan kebohongan yang lain, dan seterusnya. Bukankah berdirinya perusahaan pengeboran di tengah-tengah pemukiman warga Porong ini didasarkan atas kebohongan? Dari sinilah kita menemukan bahwa “Mengingat Lapindo” menjadi semakin relevan.

    Lutfi Amiruddin, Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya

    Pustaka Acuan

    Amiruddin, Lutfi. 2012. Solidarity of Lapindo Mudflow Victims in Resettlements. Tesis pada Management of Infrastructure and Community Development, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

    Anonim. 2008. Mencari Solusi. Majalah Solusi, Edisi 01 (19-25 November).

    —–. 2008. Columbus. Majalah Solusi, Edisi 06 (31 Desember 2007-7 Januari 2008).

    Utomo, Paring W. dan Bosman Batubara. 2009. Skema Ganti Rugi Terhadap Korban Lumpur Panas Di Sidoarjo (Kajian di Desa Ketapang dan Besuki Timur), Laporan Penelitian. Surabaya.

    Batubara, Bosman dan Paring W. Utomo. 2011. Kronik Lumpur Lapindo, Skandal Bencana Industri Pemboran Migas di Sidoarjo. Yogyakarta: Insist Press.

    Harnanto, Aris. 2011. Peranan Kali Porong Dalam Mengalirkan Lumpur Sidoarjo ke Laut. Badan Pelaksana, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (Bapel-BPLS), Oktober 2011.

    Karib, Fathun. 2012. Programming Disaster: Switching Network, Village, Politics, and Exclusion beyond Lapindo Mudflow. Tesis (tidak diterbitkan), University of Passau, Germany.

    Novenanto, Anton. 2015. “Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya?” Kanal, Vol. XI (Maret 2015).

    Purnomo, Tarzan. 2014. “Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackiswater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud.” Proceeding of International Conference on Research, Implementation and Education of Mathematics and Sciences 2014, Yogyakarta State University, (18-20 May).

    Putri, Tika A. dan Ririh Yudhastuti. 2013. Kandungan Besi (Fe) Pada Air Sumur dan Gangguan Kesehatan Masyarakat di Sepanjang Sungai Porong Desa Tambak Kalisogo Kecamatan Jabon Sidoarjo. Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya.

    Rachmawati, Dewi F. 2013. Strategi Survival Petani Tambak Di Tengah Bencana Industri Lumpur Lapindo Di Desa Penatarsewu, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Skripsi (tidak diterbitkan), Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan lmu Politik, Universitas Brawijaya, Malang.

    Rachmawati, Turniningtyas A, dkk. 2011. “Disaster Risk Reduction to Municipal Spatial Plan: A Case Study of Mudflow Disaster in Sidoarjo, Indonesia.” European Journal of Social Sciences, Vol. 23, No. 4.

    Scott, James C. 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven & London: Yale University Press.

    Walhi Jawa Timur. 2008. Logam Berat dan PAH Dalam Air dan Lumpur Lapindo (Riset Awal Walhi Jawa Timur 2007-2008). Sidoarjo: Walhi Jawa Timur.

  • Mengapa Kita Tidak Ikut Jalan kaki Porong-Jakarta?

    Refleksi Kecil 6 Tahun Perlawanan Korban Lumpur Lapindo

    Oleh: Rere Christanto

    25 Juli 2012 menjadi hari yang penuh kejutan bagi sebagian besar korban lumpur Lapindo. Pada sebuah siaran langsung yang dipancarkan dari media televisi milik keluarga Bakrie, mereka menghadirkan seorang korban lumpur lapindo yang sejak lebih dari sebulan sebelumnya telah menghiasi layar pemberitaan media dengan aksi jalan kakinya dari Sidoarjo menuju Jakarta. Tapi alih-alih mengungkapkan bagaimana susahnya dia selama lebih dari 6 tahun kehidupannya dihancurkan oleh lumpur panas sebagaimana diumbarnya ketika pertama kali meniatkan langkahnya berjalan menuju ibu kota, Hari Suwandi sang korban lumpur menangis sesenggukan dan meminta maaf kepada keluarga Bakrie atas ulahnya menista nama baik mereka, tidak kurang lagi ia menyatakan keyakinannya bahwa keluarga Bakrie akan sanggup menyelesaikan penggantian kerugian yang sampai sekarang masih menjadi tanggungan yang belum juga terselesaikan.

    Kejutan adalah sesuatu yang jamak terjadi pada kasus semburan lumpur Lapindo. Ketika pertama kali muncul pada akhir Mei 2006 kita terkejut bagaimana kegiatan pengeboran yang belum menyelesaikan analisa dampak lingkungannya dibiarkan ada di tengah lingkungan padat penghuni dan memunculkan bencana semasif itu. Ketika kemudian Presiden mengeluarkan peraturan bernomor 14 pada tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo kita terbengong-bengong menyaksikan mengapa pemerintah tidak mengambil tindakan hukum dan malah memberikan Lapindo sebagai pihak yang paling bisa ditunjuk sebagai biang keladi masalah sebuah keleluasaan mengambil tanah warga dengan mekanisme yang sangat longgar untuk korporasi tersebut. Ketika bencana industrial ini telah berjalan lebih dari 6 tahun, kita lagi-lagi masih memutar dahi melihat bagaimana sekelompok warga negara dibiarkan begitu saja meregang nyawa ditengah lingkungan dan kondisi yang hancur dan tidak ada inisiatif sama sekali dari Negara untuk menyelamatkan mereka. Lalu kemudian seorang yang ketika pertama kali muncul menyatakan kegeramannya kepada seorang politisi cum pengusaha yang selama ini telah menghancurkan hidupnya tiba-tiba diwawancarai dan menangis meminta maaf. Mungkin ada baiknya kita semua berhenti terkejut dan mulai melihat apa yang terjadi dalam perjalanan kasus ini.

    Ilusi Negara, Mengapa Pemerintah Tidak Dipihak Kita?

    Untuk memulainya, mungkin kita mesti memeriksa lagi bagaimana kita memposisikan diri pada carut marut perjuangan korban lapindo. Hal pertama yang paling tampak pada aksi-aksi kita (korban lumpur lapindo) adalah ketergantungan kita pada harapan akan keberpihakan negara bersama elit penguasa dan para politisi di belakangnya. Ketika pertama kali korban Lapindo turun jalan dan menutup akses jalan raya Porong serta menyerbu langsung kantor korporasi sebagaimana awal-awal perjuangan ini bermula, sebenarnya kita telah menyasar musuh yang sesungguhnya. Sebuah aksi langsung ditujukan kepada pihak yang memang harusnya bertanggung jawab atas segala kehancuran atas hidup kita. Justru ketakutan Bakrie terhadap eskalasi aksi langsung korban lapindo ini yang memaksa pemerintah turun tangan menerbitkan aturan yang pada dasarnya dibuat untuk melindungi kepentingan lapindo.

    Simak saja dari awal ketika lumpur muncrat. Semburan lumpur panas pada 29 Mei 2006 pertama kali diketahui muncul di areal persawahan Desa Renokenongo, sekitar 100 meter dari tempat pengeboran PT Lapindo Brantas. Lumpur kemudian meluas dan tidak bisa dikendalikan sehingga menenggelamkan ribuan rumah di sekitarnya. Hingga April 2007, dibutuhkan nyaris satu tahun setelah semburan itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007). Perpres ini memerintahkan Lapindo membeli (dan artinya masyarakat harus mau menjual) tanah dan bangunan yang telah tenggelam dan hanya dibatasi kepada daerah yang dinyatakan masuk peta area terdampak. Artinya, Lapindo tidak perlu memikirkan lagi bahwa lumpur masih akan meluas, dan akan menenggelamkan desa-desa yang lainnya, karena mereka hanya diberi tanggungjawab untuk membeli tanah dan bangunan di 4 desa di dalam peta area terdampak.

    Beberapa bulan kemudian, kebutuhan untuk memperluas tanggul semakin mendesak, karena semburan belum berhenti mengeluarkan lumpur panas. Maka, Pemerintah kembali menerbitkan Perpres 48/2008, yang menambahkan 3 desa baru untuk masuk peta area terdampak. Kali ini, bukan Lapindo yang akan mengeluarkan dana untuk pebayaran tanah dan bangunan, namun seluruh masyarakat Indonesia akan dipaksa membayar kebutuhan perluasan tanggul dengan menenggelamkan 3 desa, yakni melalui dana APBN. Ini kemudian diikuti oleh sejumlah Perpres yang muncul sesudahnya untuk menambah jumlah wilayah yang akan dibeli pemerintah melalui dana APBN. Dengan analisa telanjang, kita bisa mengambil kesimpulan, Perpres tidak dibuat untuk menyelamatkan masyarakat tapi lebih untuk mengamankan Lapindo dari kehancuran yang lebih dalam.

    Sejak saat Perpres ini dimunculkan, sejak itulah serangan kepada Lapindo dialihkan menjadi harapan agar pemerintah bertindak menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo. Ilusi yang menyertai harapan akan berpihaknya penguasa kepada warganya alih-alih kepada korporasi segera muncul dengan desakan agar seluruh lembaga negara turun menyelesaikan kasus ini. Maka kemudian aksi-aksi korban lapindo berpindah arah mendatangi Presiden, menteri, anggota Parlemen, Lembaga yudisial dan komisi Negara untuk memaksa Lapindo menuntaskan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden yang telah dibuat.

    Di titik inilah kita mesti membaca ulang pilihan untuk meminta negara bertindak bagi kita. Ini bukan berarti bahwa aksi-aksi tersebut kemudian menjadi tidak bermakna, juga bukan dimaksudkan agar korban lapindo berhenti memaksa pemerintah turut bertanggungjawab atas kehancuran yang terjadi akibat kesalahan korporasi tersebut. Namun kita mesti melampaui buaian indah bahwa pemerintah dibuat untuk melindungi kepentingan rakyatnya.

    Negara, pemerintah serta semua lembaga dan birokrasi yang dimilikinya harus dilacak sebagai bagian dari permasalahan itu sendiri. Pemerintah dibakukan ada untuk menjamin bahwa kekuasaan hanya bisa diakses oleh sekelompok orang saja, yang tanpanya kemudian kita merasa tidak berdaya menghadapi permasalahan sosial. Seolah-olah tanpa Presiden kita tidak bisa memaksa Bakrie untuk bertanggungjawab terhadap kehancuran yang diakibatkannya. Ini bukan soal apakah Presiden kita tegas atau tidak. Karena pada dirinya, tidak ada penguasa yang akan bertindak tanpa memikirkan akan keberlangsungan kuasanya sendiri. Bagi para elit politik pilihan untuk terlibat bagi kebutuhan publik adalah bagian dari tarik-menarik kuasa. Selama korban lapindo tidak dianggap begitu dibutuhkan untuk masa depan kekuasaan, selama itu juga tidak akan ada harapan bahwa pejabat publik mau campur tangan pada urusan ini.

    Dengan memeriksa ulang posisi negara, kita bisa menerima penjelasan mengapa Presiden seolah mati kutu dihadapan Aburizal Bakrie, mengapa para politisi hanya muncul mempermasalahkan kasus lumpur Lapindo cuma di momen-momen mendekati pemilihan umum, mengapa hukum tidak bekerja menghadapi pelanggaran industrial yang terang benderang seperti ini, mengapa Komnas HAM tidak jua berani menyatakan adanya pelanggaran HAM berat pada kasus ini. Korban lapindo selamanya akan terkerdilkan sejak kita bukan lagi terror bagi kelanggengan kekuasaan tersentral Negara.

    Dari Individu ke Keterwakilan

    Efek samping dari munculnya Perpres 14/2007 kemudian bukan hanya soal distorsi posisi perlawanan dan pemiskinan imajinasi aksi, namun juga mereduksi tuntutan akan hilangnya kehidupan yang sudah dilibas lumpur panas.

    Sejak Perpres menyebutkan bahwa penanggulangan masalah sosial korban lumpur Lapindo adalah soal pembayaran lahan yang tenggelam atau akan ditenggelamkan oleh lumpur panas, disaat itulah batas pertarungan kita telah diwp-content menjadi melulu urusan berapa uang yang kita terima dari penjualan tanah kita yang memang telah tidak mungkin lagi ditinggali baik oleh Lapindo maupun oleh Negara. Sekali lagi kita mesti melihat bahwa refleksi ini tidak untuk mengecilkan arti aksi-aksi tuntutan pembayaran tanah dan bangunan yang telah diusung selama ini. Bahwa kehilangan tanah, sawah, rumah dan tempat hidup kita adalah sesuatu yang wajib diganti oleh Lapindo Brantas inc sebagagai pihak yang menyebabkan semua ini adalah sebuah keniscayaan. Namun pada saat bersamaan kita harus meloncati jeratan Perpres dan bergerak memaksa Lapindo juga mempertanggungjawabkan kehilangan kehidupan kita yang lebih luas.

    Tragedi ini bukan hanya kisah pilu hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur. Ini juga kisah hancurnya masa depan beratus ribu masyarakat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, atau bahkan lebih luas dari sekedar 3 kecamatan ini. Mari kita runut kehancuran yang tidak bisa dilihat oleh Presiden, kehancuran yang melebihi Perpres.

    Di sektor ekonomi dan tenaga kerja sekitar 31 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Data Badan Pusat Statistik Jatim menyebutkan, di sektor formal, jumlah tenaga kerja turun 166 ribu orang akibat kolapsnya perusahaan yang terkena lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, berdiri 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain juga harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak. Menurut data Greenomic perkiraan kerugian ekonomi akibat semburan adalah sekitar Rp 33,2 triliun, sedang menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsungnya ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 triliun.

    Bagi korban Lapindo, selain kehilangan rumah dan tanah, mereka juga terancam kesehatannya karena lingkungan yang tidak sehat. Penelitian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik (memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh hidrokarbon mencapai tingkat 8 ribu – 220 ribu kali lipat di atas ambang batas.

    Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Porong dan Jabon. Di wilayah Puskesmas Jabon data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2006 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007. Dalam catatan Puskesmas Jabon pasca semburan lumpur juga tercatat dua kasus gangguan jiwa serius.

    Di sektor pendidikan, tercatat 63 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, dan ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

    Potensi kerusakan sosial yang diakibatkan oleh semburan lumpur panas juga telah begitu kuat. Masyarakat yang dulunya terkumpul di desanya, harus terpencar ke berbagai wilayah. Solidaritas sosial yang dulu terbangun semakin memudar. Kasus yang sering terjadi adalah perebutan status lahan atau tanah. Posisi masyarakat yang dibuat Lapindo sebagai mitra jual-beli tanah membuat banyak keluarga yang harus berkonflik karena pembagian uang hasil pembayaran tanah dan rumah. Selain itu keselamatan warga yang tidak terjamin dengan berdirinya tanggul-tanggul penahan lumpur menjadikan warga antar desa sering berkonflik untuk saling menyelamatkan desanya. Setiap warga ingin desanya selamat tetapi tidak ada jaminan baik dari pemerintah ataupun Lapindo tentang hal itu sehingga mereka memilih jalan sendiri dengan misalnya mengalirkan lumpur menjauhi desanya yang dampaknya mengalir ke desa lain yang juga tidak mau tenggelam.

    Selain itu, kehilangan tanah berdampak juga hilangnya keterikatan warga dengan sejarah leluhurnya di desa. Dalam masyarakat jawa penghormatan akan leluhur mendapat tempat yang tinggi. Setidaknya setiap tahun mendekati bulan Ramadhan, selalu ada ritual tabur bunga dan berdoa di makam leluhur. Namun ketika makam itu tenggelam bersama desa mereka, ritual itu kini hilang. Warga hanya bisa berdoa di tepi tanggul, yang secara keterikatan jelas tidak akan sekuat ketika mereka memanjatkan doa di depan nisan. Berapa kita menilai kerugian sosial budaya begini dalam satuan mata uang mana pun?

    Dari sekian catatan diatas, kita bisa dengan jelas melihat bahwa selain membatasi kita dengan ilusi pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan saja, Perpres juga telah mencerabut potensi perlawanan masing-masing individu dan mengalihkannya hanya menjadi angka-angka semata dalam berkas-berkas bukti kepemilikan lahan.

    Kehancuran yang kita rasakan adalah kehancuran hidup sebagai masing-masing individu. Pekerjaan kita yang hilang, kesehatan kita yang terdegradasi, pendidikan kita yang berantakan adalah persoalan-persoalan yang kita hadapi sebagai individu. Namun Perpres menisbikan hal tersebut dan hanya mengakui korban sebagaimana dia ditulis dalam tumpukan berkas-berkas yang ditumpuk untuk menunggu cicilan pembayaran. Karena itulah mudah bagi pemerintah dan korporasi untuk berdalih bahwa mereka sudah hampir menyelesaikan kasus ini berdasarkan berapa angka berkas lahan yang telah dicicil. Dan bagi kitapun ilusi ini berlanjut dengan melupakan setiap komponen hidup yang telah dihilangkan dari masing-masing kita.

    Dari masing-masing individu yang punya hasrat menyampaikan kemarahan karena hancurnya hidupnya akibat ulah korporasi, kita dikecilkan menjadi hanya kumpulan KK (Kepala Keluarga) yang menuntut pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan, lalu kita dikecilkan lagi menjadi sekian berkas yang menunggu untuk dibayar. Dari sini setiap potensi konflik yang bisa dimunculkan kita sebagai individu dengan kemerdekaan yang telah diganggu bisa dikanalkan melalui perwakilan-perwakilan keluarga, lalu menjadi perwakilan kelompok desa dan berakhir dengan munculnya elit-elit baru yang tidak kalah birokratisnya dibanding negara dan korporasi yang harusnya kita serang dalam kasus ini.

    Disetiap desa dan kelompok perlawanan korban lumpur lapindo kemudian elit-elit baru ini mengambil peranan mediasi dengan kekuasaan dan seringkali akan berakhir dengan semakin melemahnya tuntutan demi tuntutan yang diperjuangkannya. Wakil-wakil kelompok kemudian bertransformasi menjadi pengambil keputusan hidup setiap individu yang tergabung dalam kongsinya. Kita yang sudah tidak mampu lagi menemukan kekuasaan menentukan pilihan tuntutan pengembalian hidup karena Negara sudah menutup akses kita membuat tuntutan yang lain diluar yang sudah digariskan melalui Perpres kemudian juga ditundukkan oleh perwakilan-perwakilan kita yang punya hak melakukan negosiasi atas nama kita. Bukan lagi setiap individu merasakan hasrat memenangkan kembali kehidupannya yang telah direnggut, sekarang kita menunggu hasil-hasil yang dibawa oleh negosiasi wakil-wakil kita dengan pemerintah dan lapindo yang hanya berakhir semakin menyedihkan.

    Media Massa dan Kita adalah Penonton

    Munculnya elit-elit warga ini pada gilirannya juga semakin menjauhkan pola aksi-aksi langsung warga menjadi mediasi baik melalui negosiasi tertutup mereka dengan negara dan korporasi maupun melalui aksi rebut simpati di media. Untuk kasus kegagapan menilai media ini, ada baiknya kita berkaca kembali melalui kasus Hari Suwandi diatas.

    Beberapa dari kita masih ingat bagaimana ketika memulai aksinya pertama kali di pinggiran tanggul penahan lumpur panas, Hari Suwandi dilepas dengan berderai air mata dan harapan akan terbukanya mata pemerintah maupun lapindo untuk segera menuntaskan kasus ini (baca: membayar sisa ganti rugi). Dengan sorotan media yang tiap hari mengulas perjalanan Hari Suwandi “berjihad” ke ibu kota, tak pelak isu soal kasus lapindo terlihat kembali ke permukaan.

    Namun disinilah pangkal permasalahannya. Ilusi lain tentang bahwa media massa adalah alat perlawanan yang bisa dipakai untuk memperjuangkan tuntutan bukan saja sekedar lomba kegenitan belaka untuk muncul secara nasional dan ajang verifikasi ketokohan seseorang, namun juga semakin menjauhkan kita dalam partisipasi aktif perlawanan. Arus komunikasi dan informasi tentu saja adalah hal penting untuk membangun basis solidaritas perlawanan kita dengan mereka yang merasa punya kemarahan yang sama di tempat-tempat lain. Tapi media massa mainstream adalah makhluk berbeda. Kebutuhan media massa adalah menarik sebanyak-banyak penonton terpaku didepan layar kaca, karenanya faktor penampilan menjadi faktor penting bagi media massa. Ketika logika penampilan adalah apa yang utama dalam media massa, maka apa yang akan ditampilkan akan disaring hanya berdasarkan apa yang akan memberi mereka keuntungan lebih besar. Isu-isu menarik akan dicari dan dikemas untuk menjaring penonton. Pada gilirannya, kita tetap akan dipaksa menjadi penonton saja, didudukkan untuk melihat tokoh-tokoh dan wakil-wakil kita yang dalam logika tampilan media massa dianggap menarik untuk mengambil peran dan berbicara serta bertindak mewakili kita.

    Sama halnya dengan mediasi melalui negosiasi wakil-wakil kelompok, mediasi melalui media populis semacam televisi adalah bagian dari usaha menjauhkan kita dari kemampuan kita mengambil keputusan sendiri atas hidup kita. Ketika Hari Suwandi berjalan dari Porong menuju Jakarta, kita melihatnya disirakan media dan kita menaruh perlawanan kita ditangannya. Maka ketika kemudian Hari Suwandi menangis dan meminta maaf kepada keluarga bakrie kita terkejut dan merasa dikhianati karena bukan itu yang kita inginkan. Tapi mengapa? Mengapa kita menaruh kemarahan individu kita hanya pada citra Hari Suwandi di layar kaca? Kalau dari awal kita bukan hanya sekedar penonton untuk perlawanan ini, kalau sedari semula setiap kita adalah individu yang punya hak menentukan tuntutan apa yang harus kita ajukan untuk mengembalikan hidup kita yang dirampas oleh lumpur panas, kita tidak harus merasa dikhianati oleh Hari Suwandi. Karena dia bukan masing-masing dari kita, dia bukan manifestasi pilihan kita, dia bukan citra yang kita taruh untuk mewakili masing-masing kita sebagai individu korban Lapindo.

    Mencari Lapangan Bermain yang Lain: Bukan Sebuah Proposal

    Setelah 6 tahun lebih skandal lumpur Lapindo berjalan, rasa lelah dan frustrasi akan semakin sering menghinggapi kita. Refleksi singkat ini hanya catatan individu yang juga seringkali merasa lelah dengan segala kekalahan bertubi-tubi menghadapi gabungan Negara dan korporasi terutama dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Refleksi ini juga tidak bertendensi mengajukan proposal apapun akan pilihan apa yang terbaik untuk penyelesaian kasus ini. Namun dengan semakin panjangnya waktu berjalan mau tidak mau kita mesti melihat lagi bagaimana relasi perlawanan kita dan bagaimana kita memposisikan diri.

    Perhatian utama dari refleksi ini adalah ketidakrelevanan lagi lapangan bermain kita melawan Negara dan korporasi. Memakai institusi Negara yang nyata-nyata bagian dari akar permasalahan dalam usaha memaksakan tuntutan kita kepada lapindo jelas tidak akan membawa kita kemana-mana. Berharap aturan hukum dan perundang-undangan serta turunannya semacam Peraturan Presiden akan memberi angin perubahan hanya akan menambah luka. Hukum dan aturan tertulis produksi pemerintah adalah media perlawanan yang tidak akan bisa kita menangkan. Institusi Negara tidak dinubuatkan untuk melindungi dan mendukung perlawanan warga. Usaha untuk memperbaiki dan atau menegakkan kemurnian aturan yang dibuat oleh mereka jelas bisa kita anggap kesia-siaan. Sejak aturan itu ditujukan memang untuk mengamputasi gerak perlawanan kita sendiri.

    Pun demikian dengan hilangnya perlawanan masing-masing individu yang terorganisir tergantikan oleh perwakilan-perwakilan yang kenyataannya tidak berjuang untuk pilihan kita. Kita mesti melacak ulang apa saja yang telah dihilangkan dari kita untuk kemudian berusaha mewujudkannya kembali. Yang direnggut dari kita bukan sekedar tanah atau rumah kita, namun seluruh hidup kitalah yang telah ditenggelamkan oleh lumpur panas. Ketika wakil-wakil kita terus menerus menurunkan level tuntutan yang menyisakan kita hanya jadi semacam peminta-minta yang berharap kebaikan hati penguasa dan pengusaha untuk membayar sesuatu yang semestinya memang milik kita, jelas itu pertanda riil bahwa kita telah jauh dari kemerdekaan menentukan yang kita inginkan kembali pada hidup kita.

    Lalu mediasi populis melalui media massa mainstream terbukti juga tidak memberi dampak apa-apa kepada kita kecuali bahwa kita dipertontonkan guyonan yang lebih garing dari Opera van Java. Menjauhkan kita dari tindakan langsung yang mungkin bisa kita ambil karena kita sudah muak dengan ketidakberpihakan negara dan kebebalan korporasi.

    Adalah lebih memungkinkan ketimbang terus menerus melawan kejahatan korporasi di lapangan bermain yang tidak memungkinkan kita merebut kemenangan, kita bisa membuat pola aksi lain yang tidak lagi mengimajinasikan konsep lama yang nyatanya tidak membebaskan kita sama sekali. Sebagaimana sebuah pertandingan sepakbola, memakai Negara, konsep keterwakilan dan media massa mainstream untuk melakukan perlawanan serupa dengan bertanding tandang ke sebuah stadion yang dipenuhi supporter tuan rumah dengan pengadil lapangan yang dibayar khusus untuk memenangkan tim tuan rumah. Kita akan cuma jadi tim yang selalu kalah di tempat seperti itu.

    Lupakan imajinasi lama, yang tidak lagi punya daya gerak, untuk melanjutkan lagi pertarungan melawan keserakahan korporasi yang dilindungi Negara kita perlu keluar dari jebakan-jebakan yang selama 6 tahun lebih ini mengurung ide-ide perlawanan kita menjadi lebih maju. Kita perlu mengkaji lagi aksi-aksi langsung yang memang menyerang jantung korporasi, sekali lagi menjadi terror untuk keberlangsungan tatanan yang menyebabkan kita tertindas, diluar semua mediasi yang diwakilkan ke pihak lain di luar diri kita sendiri. Setelah 6 tahun lebih perlawanan korban lapindo berjalan, daripada selalu terkejut mengapa kita selalu dikalahkan, bukankah tidak terlalu muluk-muluk jika kita mencari tahu apakah kita masih punya kemungkinan untuk menang. Setidaknya itu tidak lebih buruk ketimbang menangis di sebuah siaran langsung setelah berjalan kaki dari Porong ke Jakarta kan?

    Sumber: http://selamatkanbumi.com/ID/refleksi-perlawanan-porong/

  • Mudflow Threatens Renokenongo Residents

    The remaining residents of Renokenongo village, partly devastated by the mudflow two years ago, were knocking down their homes and salvaging their belongings as hot mud and water began inundating the village after a section of the giant encircling dike collapsed recently.

    Around 300 families stayed on in the submerging village because they had yet to receive full compensation either from mining corporation PT Lapindo Brantas or from the government.

    They did receive 20 percent of the compensation due them from Lapindo, but the remaining 80 percent has not been paid despite the expired deadline the government set in a 2007 presidential instruction addressing the disaster.

    Resident Buang Sucipto said they could do nothing to salvage their houses as the mudflow slowly and surely displaced them from their homes.

    “The land and the houses are undocumented but they are ours. We deserve fair compensation. Lapindo should also pay for the hardship. The disaster has robbed the villagers of their social well-being,” he said here Wednesday.

    Minarak Lapindo Jaya, a unit of Lapindo, has offered resettlement instead of cash compensation for families whose assets were undocumented.

    Acting head of Renokenongo village Subakri urged the Sidoarjo Mudflow Handling Agency (BPLS) to immediately repair the failing dike because, apart from the mudflow inundating their homes, its noxiousness is disturbing the locals.

    “We have never given up. We have to receive what is our right although the disaster has caused so much suffering and violated our right to live peacefully and humanely,” Subakri said.

    Separately, BPLS spokesperson Akhmad Zulkarnain said the failing dike near the main hot mud outpouring was due to fragile soil conditions. He said several cranes had been deployed to dredge mud from the Porong river to strengthen the collapsing dike.

    “It may look like we aren’t doing anything, but we actually have done a great deal to repair the collapsing retaining wall. We need more time to tackle the problem,” he said.

    In a separate development, 600 Renokenongo families who have been living in makeshift dwellings at the Porong market building have negotiated an agreement with Minarak Lapindo Jaya regarding their assets damaged by the mudflow.

    Pitanto, coordinator for the Renokenongo disaster victim group, said the victims have received Minarak’s offer for a 20 percent payment up front and resettlement to end the more than two years of displacement.

    “Minarak is still examining the ownership documents for the houses and land the victims owned,” Pitanto said.

    So far, he said, 147 of the 475 families whose assets were damaged have been examined. The review is expected to be completed in a few weeks.

    “All recipients will sign the agreement at the same time,” he said, adding victims accepted Lapindo’s offer after the government had guaranteed the deal.

    The victims have rejected Lapindo’s proposed compensation scheme because the presidential decree did no spell out any sanctions if the mining company were to fail to meet the compensation payment deadline.

    “If the deal is signed, Minarak will pay 20 percent of the compensation for the damaged houses. The remaining 80 percent will be paid within one year,” he said.

    “All the victims will be resettled to a nearby housing compound within a year and they will receive the deeds for their new homes,” he added.

    Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/09/19/mudflow-threatens-renokenongo-residents.html

  • A Wound in The Earth

    In Indonesia, an entire district has been buried by an eruption of boiling, noxious mud. Was it a natural disaster-or an industrial accident?

    On the morning of June 2, 2006, Ahmad Mudakir, a 33-year-old factory worker from Porong, a sleepy district in eastern Java, was in his front yard tinkering with his motorbike. A little after 8 a.m. he felt a rumbling in the ground-worrying, but not wholly unexpected in this seismically fitful corner of Indonesia. What happened next was anything but expected. Mudakir watched as a neighbor, who had been inside eating breakfast, came tumbling into the street. “There was an explosion,” Mudakir recalls. “Then the mud started to flow.” He gaped in amazement as a geyser of scalding sludge shot five meters into the air, collapsing the roof of his neighbor’s house. Mudakir froze. Then he gathered his mother and two brothers from inside his own house. “The whole village was panicking. Everyone ran.” Mudakir didn’t stop to collect his family’s belongings. He assumed he’d be able to return home.

    Today, Mudakir’s village, along with much of the rest of Porong, is gone, swallowed by an ash-gray lake of mud. The noxious sludge, incredibly, continues to flow at a rate of up to 5.3 million cu. ft. (150,000 cu m) a day-enough to fill 50 Olympic-sized swimming pools. In total, Porong has been smothered beneath nearly 3.5 billion cu. ft. (100 million cu m) of the stuff. The mud has buried 12 villages, displaced around 16,000 people and caused more than a dozen deaths. Porong hasn’t just been destroyed; it has been erased. Where Mudakir’s house once stood, there is now a vast, gurgling expanse, with only the occasional protruding tree branch or rooftop to suggest the landscape entombed beneath it.

    Locals call it Lusi-a portmanteau of the Indonesian word for mud, lumpur, and the name of the nearest city, Sidoarjo. Lusi is a mud volcano, though that appellation is somewhat misleading. The mud is actually more like brackish water. And, unlike the igneous volcanoes that dot Indonesia’s countryside, the underground plumbing fueling Lusi is largely mysterious. Twenty-two months after it first erupted, Lusi remains the world’s most bewildering environmental disaster. “I’ve never seen anything like it,” says Richard Davies, a geologist at Britain’s Durham University and one of only a handful of experts on mud volcanoes. “It’s a scene, when you see it, you can only say, ‘Oh, my God, it’s a complete bloody mess.’”

    The destruction is total. At the eruption’s epicenter-known to workers at the site as the Big Hole-a 100-ft. (30 m) plume of white smoke billows into the sky, obscuring the sun and spreading the sulfurous odor of rotting eggs. On a narrow causeway leading to the caldera, dozens of trucks idle in a queue, waiting to deliver soil for the massive earthworks meant to contain the mud. Already, they have transported more than 88 million cu. ft. (2.5 million cu m) of dirt to build eight miles (13 km) of levees around the site. Dozens of cranes work late into the evening piling the dirt atop bulwarks nearly 65 ft. (20 m) tall in places.

    As the mud rises, so must the levees, but so far Lusi seems to be outpacing human engineering. Twice the earthworks have been breached-most recently on Jan. 4-flooding more houses. On Nov. 22, 2006, the weight of the soil ruptured a natural-gas pipeline, causing a massive fireball that incinerated 13 workers.

    According to an International Monetary Fund estimate, Lusi has already cost Indonesia $3.7 billion in damage and damage control. And things are likely to get worse. As mud spews up from the ground, the area around the eruption is gradually sinking. Eventually, Porong could become a giant sucking wound in the Earth.

    Ground Forces

    INDONESIA IS BOTH BLESSED AND CURSED by geology. Volcanic ash contributes to the archipelago’s fecund soil. Yet eruptions periodically kill thousands. Indonesia is also rich in minerals and oil, exporting nearly half a million barrels a day. All told, the country’s buried wealth accounts for almost 30% of its total exports. But the same grinding geologic processes that make this wealth possible also bedevil Indonesia with disasters like the 2004 earthquake and tsunami that killed more than 160,000 people in Sumatra. Lusi is unlike any previous disaster, however. Unfolding in implacable slow motion, it has confounded Indonesian engineers and mystics alike. The mostly poor villagers who have lost homes and livelihoods to the mud complain that the response to the unfolding disaster has been equally sluggardly-a symptom, perhaps, of the fault lines in Indonesian society’s own unsettled foundations.

    That’s because mud isn’t the only thing boiling over in Porong. Villagers displaced by the eruption blame the disaster on PT Lapindo Brantas, an Indonesian mining company drilling for natural gas in the area. Lapindo is partly controlled by the family of Aburizal Bakrie, Coordinating Minister for the People’s Welfare, one of Indonesia’s wealthiest men and an ally of President Susilo Bambang Yudhoyono. Victims of the disaster say that a murky web of political influence and corporate fecklessness has blunted the official response to the mud eruption. “Everyone is suspicious,” says Mas Achmad Santosa, one of Indonesia’s most prominent environmental lawyers. “It’s a politically heavy case.”

    Some independent geologists, including Davies, believe that Lapindo may have inadvertently roused the awesome force slumbering beneath Indonesia. “I’m 98% certain this was due to drilling,” he says. Davies, who visited Porong last year and has studied the eruption extensively, thinks he knows how that happened. On May 27, Lapindo’s Banjar Panji-1 well was operating in a field not far from Ahmad Mudakir’s village. The well’s target was a shelf of limestone some 9,800 ft. (3,000 m) below the surface. Lapindo’s drillers were searching for natural-gas deposits, but the well was exploratory. No one knew for certain the subterranean conditions beneath Porong. The drillers had reached about 9,300 ft. (2,800 m) when they noticed a drop in pressure inside the well.

    Such a drop, called a loss of circulation, isn’t uncommon in gas drilling. It usually means that natural fractures inside the borehole are allowing drilling fluid to leak out. Lapindo’s engineers responded by pumping heavy drilling mud into the well to seal the cracks and restore pressure. Then they began to pull out the drill. Davies thinks that while they were removing the drill on the morning of May 28, they set off a massive “kick,” in which high-pressure water and gas from the surrounding rock flowed into, rather than out of, the borehole. To prevent a potentially dangerous blowout, the drillers shut vents at the surface, effectively corking the pressure inside the well. But it was too late. Water from a pressurized aquifer thousands of feet below the surface surged upward, picking up debris from a layer of mudstone as it did. Davies compares the effect to a bicycle pump. When the pump is sealed, the pressure is contained inside. But when it is allowed to escape, air comes rushing out. Lapindo’s drilling primed a natural pump, he believes. Unable to escape through the capped well, the water sought other avenues. At around 5 a.m. the following morning, the first eruption started in a rice paddy about 500 ft. (150 m) from the Banjar Panji-1 rig.

    Banjar Panji-1 never should have gotten so out of control, according to Richard Swarbrick, a British expert on geological pressure and a consultant to oil companies. Usually, when drilling in geologically unstable areas, engineers install steel casing at greater depths, where the low density of the rock might allow fluid to escape from the borehole. In the event of a kick, the casing allows drillers to maintain the integrity of the well. Swarbrick, who has reviewed Lapindo’s drilling plan, says the company originally intended to install casing at depths of 3,500 ft., 4,500 ft. and 8,500 ft. (1,000 m, 1,400 m and 2,600 m). “The conventional well design in that sort of pressure environment would be to install casing,” Swarbrick says. Yet, either through oversight or because of technical problems, Lapindo did not case the hole to the planned depth. “For whatever reason, they weren’t following the plan,” Swarbrick says. “They had 5,000 feet of open hole. That’s taking one heck of a risk.”

    The Nature Argument

    LAPINDO SAYS ITS DRILLING PLAN WAS approved by the government. “The drilling process complied with mandatory regulations,” says company vice president Yuniwati Teryana. “We met the requirements.” Teryana offers another explanation for the eruption. Two days before Lusi started, a 6.3-magnitude earthquake shook the city of Yogyakarta, about 190 miles (300 km) to the west of Porong. Lapindo believes that the quake opened natural fractures that allowed the mud to escape. “The mud eruption is caused by a natural phenomenon,” Teryana says. That’s an opinion shared by Adriano Mazzini, a geologist at the University of Oslo.

    After studying data provided by Lapindo, Mazzini concluded that Lusi was probably caused by the May 27 earthquake. “There is strong evidence for a naturally triggered event,” he says. Davies believes that if the eruption had been caused by the quake, it would have occurred sooner afterward; he cites research suggesting Porong was too far from the earthquake’s epicenter to be affected.

    Given that no one fully understands the powerful subterranean engine powering Lusi, efforts to stop it have proven predictably ineffectual. Two relief wells intended to reduce pressure inside the original well have failed. Early last year, scientists from Indonesia’s Bandung Institute of Technology came up with a more novel idea: dropping thousands of concrete balls, linked with chains like a string of pearls, into the Big Hole. The idea was to bleed off pressure inside the volcano slowly enough so that Lusi wouldn’t simply erupt elsewhere-or shoot the concrete balls back out like a cannon. Satria Bijaksana, one of the Bandung scientists who came up with the idea, says that the balls reduced the mud’s flow temporarily. But the project was abandoned last March when a new government team took over management of the site. More recently, a Japanese team proposed building a 130-ft.-high (40 m high) dam to contain the mud. Scientists familiar with Lusi have dismissed that idea. Because the ground beneath the caldera is still sinking, a heavy concrete dam would likely rupture.

    Going with the Flow

    LUSI MAY, IN FACT, BE UNSTOPPABLE. IN 1979, the oil company Shell set off a similar eruption while drilling off the shore of Brunei. That mudflow took 20 years and 20 relief wells to halt, according to Mark Tingay, a geologist at the University of Adelaide in Australia. Lusi may eventually choke itself as mud clogs its interior plumbing. But if left to die on its own, Davies estimates that it could continue to erupt for years, and perhaps even decades. Hardi Prasetyo, deputy head of the new government team in charge of Lusi, says that his workers are now focusing on containing, rather than stopping, the mud. The current strategy includes channeling the sludge into the nearby Porong River in the hope that it will be flushed to the sea. Mud flows through a massive spillway to a pumping station, from which it gushes into the river. Two dredges work to keep the waterway open. But already, the river is filling with mud. At a shrimp farm downstream, where men stripped to their underpants wade through paddies, workers complain that the mud is clogging their water supply. “This is a war,” says Prasetyo, gesturing at a line of trucks rumbling along a levee. “We are not promising to stop it. We must also pray to God.”

    Locals have turned to less orthodox methods. According to one popular story, the Lapindo drilling may have angered a spirit living in a tree near the eruption site. Such beliefs have an enduring appeal in this part of Indonesia, where religion is a syncretic mix of Islam and animism, and Lusi has drawn mystics from Bali and Borneo, who have sacrificed chickens, monkeys and even a cow to mollify the upset spirit. The government’s engineering team has tried similar tactics; a spokesman says the group has hired diviners to pray for rain to wash the mud away.

    Along with the mystics have come opportunists. To attract curious visitors, one enterprising local hotel changed its name to Kuala Lumpur: “Lake of Mud.” In the roads near Lusi, shirtless men dart in and out of traffic selling bags of roasted nuts and dried fruit. They have also installed themselves at certain busy intersections, and demand a small levy to let cars pass. At the top of a levee, the men eagerly tout CDs compiled from video footage of the disaster. “Professional best,” promises one CD featuring a photo of a charred, mud-crusted corpse on its front cover. Some of the CD sellers are displaced villagers; others are merely hoping to make a little money. One man cheerfully says he is a pickpocket. For 10,000 rupiah, or about one dollar, the touts offer visitors motorbike tours of the site.

    One, a laconic, mostly toothless man named Purwanto, says he was a farmer before the mud smothered his rice fields. He now makes extra cash taking tourists to the wreckage of his house, located in the shadow of the levees. Purwanto’s village flooded last year when the dikes broke, and, although it hasn’t been fully inundated yet, most of the people have demolished their homes for scrap and moved on. At present, the village looks like it has been carpet-bombed, with piles of rubble rising out of the greasy water. Purwanto points out an especially large mound: the remains of the town’s grandest house. His own more modest home is gone except for the broken stubble of the walls. “I was born at this house,” Purwanto says, sucking contemplatively on a clove-scented cigarette. From a nearby mosque, still being used despite the rising mud, the call of the muezzin echoes through the abandoned village. “Where my parents are buried is covered by the mud,” Purwanto adds.

    There’s no question about whom the villagers blame for their distress. At a refugee camp in a local outdoor market, where more than 2,000 people live in converted, tarp-covered stalls amid goats grazing contentedly on piles of garbage, graffiti makes their target clear: “Lapindo terrorist,” one reads. The company provides food for everyone in the camp, along with services such as a medical clinic and a makeshift mosque. But the villagers are quick to recite a litany of complaints, from the quality of the rations to the health effects of the mud (though the government team says the gas coming from Lusi has no ill effect, locals complain of difficulty breathing and strange rashes).

    Mostly, though, they complain about money. On the orders of the Indonesian government, Lapindo has agreed to compensate the villagers with a total of $412 million-the company is offering 20% of the money up front, with the balance paid within two years. “It will not be enough,” says Riati, a 45-year-old woman sitting outside the 16-ft.-wide (5 m wide) cubicle where she lives with her husband and sister. Riati says she turned down Lapindo’s offer of 40 million rupiah, or about $4,500-with an initial payment of 8 million rupiah-because she says even the full amount is not enough for her to buy a new home. Teryana, the Lapindo vice president, says the company hopes the holdout villagers can be persuaded to accept the compensation scheme.

    Anger Management

    AS NEGOTIATIONS HAVE DRAGGED ON, THE refugees are growing increasingly militant. In one corner of the market camp, villagers have stockpiled sharpened bamboo stakes-a defense against possible forced eviction. The villagers have also directed their anger at local officials regarded as allies of the company. At one recent protest, a crowd of about 200 people occupied a government compound to demand the resignation of a village chief. The demonstration began almost casually, with families picnicking or resting beneath the shade of a banyan tree. But tempers rose with the broiling midday heat. A squad of policemen armed with machine guns arrived and took up a position opposite the protesters.

    “Please respect our suffering,” a man shouted through a loudspeaker. A scuffle broke out between police and protesters, and the policemen surged forward, kicking and pushing the scattering demonstrators. One of the protest’s leaders explained that the police had previously exercised restraint when dealing with them. “We carry out our protests in a peaceful manner,” he said. “We never have anarchy.” Then he added, for portentous effect: “Not yet.” The demonstrations are indeed growing more aggressive: on Feb. 19, villagers blockaded a main road in the Sidoarjo area to protest a new parliamentary report that concludes Lusi was a natural disaster.

    Fueling the refugees’ anger is the fear that Lapindo will walk away from its promises. Last September, PT Energi Mega Persada, a company controlling 50% of the Lapindo drilling project and connected to Bakrie, the Indonesian Cabinet minister, attempted to unload Lapindo for $2 to a company based on the island of Jersey but owned by Bakrie’s family conglomerate.

    When Indonesian financial regulators blocked that sale, Energi Mega tried to sell half the beleaguered Lapindo to the Freehold Group, registered in the British Virgin Islands. That deal also collapsed amid controversy. The attempted corporate reshuffling raised fears among many that Lapindo was preparing to declare bankruptcy, thus potentially allowing parent company Energi Mega Persada to evade any liability for Lusi. Lapindo says it is committed to compensating Lusi’s victims.

    Critics say the government’s own response to the disaster has been muddy at best. “The government is not serious in its handling of the disposal of the mud or settling the social problems caused by the disaster,” says Sonny Keraf, Indonesia’s former Environment Minister and head of a parliamentary investigation into Lusi. “They are leaving the people to face the company when it should be acting as a bridge between them.” Keraf says that, while he believes Lapindo is acting in good faith, the government’s indecisiveness is blunting any sense of urgency. A yearlong police investigation into the eruption has resulted in no indictments or clear conclusions. “It’s all about politics,” says Ivan Valentina Ageung, head of legal affairs for the environmental group Walhi, referring to the disaster in general. Walhi sued Lapindo, alleging it was responsible for Lusi; that, as well as another lawsuit, were decided in favor of Lapindo. A spokesman for Yudhoyono denies that Bakrie’s connection to the administration has influenced the government’s response. Indeed, it was Yudhoyono who ordered Lapindo to compensate the displaced villagers.

    But cleaning up Lusi’s mess won’t be easy. In a worrying sign, heavy rains in early January caused a breach in the levees, forcing more than a hundred families to evacuate. With the government’s attempts to stop or channel the mud faltering, and the tide rising by the day, the sludge that swallowed Porong could eventually threaten another quarter-million homes. Indonesia’s Big Hole only gets deeper.

    Petter Ritter | © Time

  • Two Years On, a Mud Volcano Still Rages and Bewilders

    As a disastrous mud eruption on Indonesia’s Java Island marks its second anniversary, the unprecedented event continues to stir debate about whether it resulted from an exploratory gas well drilling accident or a distant earthquake and how long it will last. The mud volcano, nicknamed Lusi, has been disgorging mud at a rate of up to 150,000 cubic meters per day. Officials are struggling to contain the effluent within dikes that are regularly breached and built anew farther out.

    In November 2006, ground deformation near the volcano ruptured a natural gas pipeline, killing 13 people. Lusi’s mud has engulfed 750 hectares, destroying the homes of more than 30,000 people as well as factories and farms. “Sadly, it’s not about simple technical problems anymore. It’s more [about] economic and social and political problems,” says Satria Bijaksana, a geophysicist at Institut Teknologi Bandung.

    Lapindo Brantas, the oil and gas exploration company that operated the ill-starred gas well, and the government have promised compensation to landowners, but it has been slow in coming. Hundreds of families are still living in temporary shelters. In two separate cases, Indonesian courts have ruled the eruption a natural disaster, absolving Lapindo Brantas of liability.

    Ivan Valentina Agung, a lawyer for Walhi, an Indonesian environmental group that filed one of the suits, says the group is appealing to a higher court in hopes of getting Lapindo Brantas to take responsibility for environmental rehabilitation.

    For scientists, Lusi is an intriguing specimen. A flurry of papers refines previous work on the eruption’s dynamics and offers insights into the evolution of mud volcanoes. “This is a great opportunity. Nobody knows how other mud volcanoes looked when they were first appearing,” says Adriano Mazzini, a geologist at the University of Oslo.

    There is general agreement on the sequence of events. On 27 May 2006 at 5:54 a.m. local time, a magnitude-6.3 earthquake struck near Yogyakarta, in central Java. Between 5 and 8 a.m. the following day, Lapindo Brantas’s gas well, which was being drilled 250 kilometers to the east near the town of Sidoarjo, began to flood. Workers shut the well’s blowout preventer to keep the fluid from gushing out the top. They noted that pressure inside the well rose rapidly before gradually subsiding. Early in the morning of 29 May, mud began burbling out of the ground about 150 meters away.

    In a February 2007 article in GSA Today, Richard Davies, a geologist at the University of Durham, U.K., and colleagues claimed that the drillers penetrated a porous limestone formation about 2800 meters below the surface, inadvertently tapping into a highly pressurized aquifer. The borehole’s casing didn’t extend deep enough to protect rock from cracking under the pressure when the blowout preventer was shut, he concluded. Water then channeled its way to the surface, bringing mud with it (Science, 2 February 2007, p. 586).

    That’s not how Mazzini and his colleagues see it. In the 30 September 2007 issue of Earth and Planetary Science Letters, they argued that the region’s geological structures, pressurized hydrocarbon deposits, common in the region, and a seismic fault created conditions “perfect for a mud volcano.” The only thing missing was a trigger, Mazzini says. The drilling might have contributed, he says, but he believes a more important factor was that the Yogyakarta earthquake reactivated the fault. At roughly the same time Lusi broke, mud also erupted from eight fissures along a 100-kilometer stretch of the fault line. “I don’t think this is a coincidence,” he says.

    Global Positioning System (GPS) data and an obvious kink in a rail line show that ground along the fault has shifted up to half a meter since the Yogyakarta earthquake. But Michael Manga, a geologist at the University of California, Berkeley, who has studied how earthquakes trigger distant volcanic eruptions, contends that the quake was too small and too far away from the fault to influence it. In recent decades, he says, “there were many earthquakes that were both closer and bigger and by any measure more likely to have triggered an eruption.”

    In a paper published online on 5 June in Earth and Planetary Science Letters, Manga, Davies, and colleagues suggest that the fault is likely to be shifting in response to the movement of vast amounts of material to the surface. The mechanism is not clear. Co-author Rudi Rubiandini, a petroleum engineer at the Institut Teknologi Bandung, says the analysis “makes every other reason [for the eruption] impossible.” Most earth scientists agree that the well must have had some effect, says James Mori, a seismologist at Kyoto University in Japan. But he says researchers can’t determine whether the volcano would have formed without the drilling.

    While sympathizing with Lusi’s victims, geologists say they relish the rare opportunity to study a mud volcano’s birth and evolution. GPS and satellite-based interferometric synthetic aperture radar data indicate that the surface near the volcano’s vent is collapsing into a funnel shape, characteristic of sand draining from the top bulb of an hourglass. Davies and colleagues concluded in a paper published online on 21 May in Environmental Geology that between June 2006 and September 2007, the funnel’s center sank at about 4 centimeters per day, which in 3 years would produce a sag of 44 meters. They also report that areas outside the funnel are rising, probably due to movement of the fault.

    Scientists are puzzling over other phenomena as well. Since March 2007, the flow has periodically stopped for hours or days only to resume with its previous vigor. The likely explanation, Davies says, is that the weight of mud at the surface is collapsing the vent deep underground. Pressure backs up until it breaks through the blockage. In addition, there have been 88 minieruptions of water and methane where the ground is subsiding. Rubiandini believes the subsidence is cracking open pressurized gas pockets. And along the fault, geysers of water have suddenly shot up in the middle of yards, rice paddies, and even within factories, probably due to the rearrangement of subsurface plumbing.

    “The volcano is taking on a life of its own,” Davies says. How long this will go on, he says, is anybody’s guess.

    Unstoppable

    The mud volcano Lusi is unique in its longevity and the volume of material ejected. It may also be setting records for the number or failed attempts to plug it. Immediately after the 29 May 2006 eruption, Lapindo Brantas., the company whose exploratory drilling, some claim, triggered the eruption, pumped concrete into the well to try to stop the gush of hot, salty water from a subsurface aquifer. When that failed, the company brought in a consultant from Houston, Texas, who directed the drilling of two relief wells intended to intercept the original borehole and pump in high density drilling mud to plug the leak. This effort was abandoned when the wells were short of their target, also, reportedly, because Lapindo ran out of money.

    In February 2007, following a proposal from geophysicist Satria Bijaksana and two colleagues from Institut Teknologi Bandung, Lapindo Brantas started dropping into the vent clusters of concrete balls, 20 centimeters and 40 centimeters in diameter, roped together with steel cables. The objective, Bijaksana says, was “to reduce the sheer volume of mud coming out of the vent to a manageable level.” This effort was abandoned after 398 of a planned 1000 clusters had been dropped; a government agency that took over management of the disaster concluded that the balls were having little effect.

    The only hope of plugging Lusi is to drill another relief well to plug the original well at a point below where it was breached, says Rudi Rubiandini, a petroleum engineer at Institut Teknologi Bandung. He estimates that the well would cost $70 t0 $100 million. But that is unlikely to happen, he says: “Our government now thinks this is a natural disaster and impossible to kill.”

    Dennis Normile

  • PT Lapindo Brantas Makes Things Clear as Mud in Indonesia

    On May 29, 2006, PT Lapindo Brantas, an Indonesian energy company, was drilling a wildcat well, the Banjar-Panji-1.

    The driller had struggled through 2,500 feet of clays, underlain by gritty sands and volcaniclastics, and decided to drill ahead into porous limestone below 9,000 feet without stopping to set casing. That was a mistake. At about 5 a.m., a fissure opened about 600 feet from the wellhead, and steam, water, hydrogen sulphide, and methane began to escape. Shortly afterwards, hot viscous mud began to flow rapidly from the fissure. It has been flowing ever since, taking with it homes, factories, livelihoods, crops, roads, railways, and reputations, and creating a huge industrial scandal that will have serious repercussions.

    The Banjar well is one of the most environmentally destructive oil and gas wells ever drilled. The toxic mud has been flowing for 18 months now – and could flow for decades to come – at rates of up to 150,000 cubic meters per day. To date it covers at least 2.5 square miles with a billion cubic feet of mud that is quickly turning into mudstone.

    Lapindo Brantas was operating the well on behalf of its two partners: Santos, Australia’s third-largest oil and gas company, and Medco Energi of Indonesia. The well’s target was natural gas deposits in the Sidoarjo area of eastern Java, an area characterized by mud volcanoes. And the fact that Java is the most densely populated island on earth is what makes the Banjar well’s toxic mud volcano so destructive.

    The already horrific catalogue of damage continues to grow. The mud has displaced 13,000 people from their homes. It has inundated 11 towns, 30 schools, 25 factories, a national toll road, and the state-owned Sidoarjo-Pasuruan railway line. It has buried rice paddies and shrimp farms. (Sidoarjo was the second largest shrimp-producing town in the country.) It has also shut down one of east Java’s key industrial hubs with a slow-moving tsunami of hot, sticky, smelly mud that hardens to rock as it dehydrates and cools. It caused a Pertamina-owned gas pipeline to rupture and explode, killing 11. Environmental damage is estimated at between $5 billion and $10 billion.

    If this had happened on the edges of a city, the political response would have been immediate. But these are rural Indonesians, and since they have no money, and therefore no political voice or leverage in post-Suharto Indonesia, they stay displaced, uncompensated, and, until recently, ignored.

    A network of levees and dams has been erected to contain the mud, but have not been successful. Some sludge is pumped into the Porong River, but this has not been successful either; much of the sludge is insoluble and sits in the river in blocks. The rest is rapidly silting up the river and its delta and affecting its flow, causing flooding.

    The mud, containing a dangerous cocktail of benzene, toluene, xylene, heavy metals, ammonia, and sulphur dioxide, is rendering the river lifeless and its estuary barren. The government has proposed channelling the mud to the sea by canal, but this has some obvious drawbacks and has not been tried (yet).

    Other methods to contain the flow have been tried. The national government’s response team air-dropped 1,500 large concrete balls connected by steel chains into the fissure. But that only made the mud flow faster. Japanese contractors proposed building a high-pressure pipeline to divert the mud to the coast for land reclamation. Local authorities brought together 50 mystics to use their supernatural powers to stop the mudflow, for an $11,000 prize. In another bizarre twist, Lapindo Brantas funded production costs for a 13-episode television soap opera called “Digging a Hole, Filling a Hole” to highlight and dramatize stories of the company’s heroism. Needless to say it was not a big hit.

    More recently, the Japan Bank for International Cooperation offered loans of $110 million to build a 130-foot high containment dam around the mudflow, on the theory that the weight of dammed mud would eventually cut off the flow.

    The technical post mortem appears straightforward: Lapindo Brantas’s drill bit penetrated an overpressured reservoir, causing hydrofractures to propagate outwards from the uncased hole and upwards into the overlying seal, rapidly entraining mud, gas, and water to the surface under high pressure. Unfortunately for the victims, the technical explanation is the only thing about this disaster that is straightforward. The rest would give Kafka nightmares.

    Perhaps the drama’s most surreal aspects concern Lapindo Brantas and its owner Aburizal Bakrie, one of Asia’s richest men who also happens to be a senior executive of Golkar (the ruling party) and the former minister for economics. He’s also currently the ironically titled Minister for the People’s Welfare, a financial backer of President Susilo Bambang Yudhoyono’s 2004 election campaign, and one of the vice president’s closest friends. (Bakrie was closely tied to the former Indonesian dictator, Suharto. In the 1990s, those ties helped him to obtain a substantial ownership stake in Freeport-McMoRan Copper & Gold, the U.S. mining outfit that operates the massive Grasberg mine in West Papua. Bakrie sold the Freeport stake in 1997.) Rather than resign his portfolio, Bakrie has tried to convince the government that Lapindo Brantas was just in the wrong place at the wrong time, an innocent witness to a natural disaster. On two occasions he has tried to sell Lapindo Brantas to escape liability, but has been blocked by the financial regulator. The first proposed sale was for $2 to an unnamed offshore company. The second, for $1 million, was to a U.S.-based outfit run by American friends of the family.

    Recently, partner Medco Energi accused Lapindo Brantas of gross negligence in the operation of the Banjar-Panji-1 well. Shortly after that bombshell, the police opened a criminal investigation into the actions of 13 senior managers and engineers at Lapindo Brantas.

    Until recently, Lapindo Brantas was allowed to choose, on a purely voluntary basis, how, why, and whether to compensate those people and businesses affected by the mudflow. It offered some families payments of up to $540 to cover two years’ displacement rental, $60 in moving costs, and $35 per month for food, if they agreed to free Lapindo Brantas from any further liability.

    Most residents rejected the offer, preferring to keep their options open. The company also claimed it was spending $2.4 million per day on efforts to stop or divert the mud, but this was subsequently found to actually be just under $300 per day. Recently, Indonesia’s President Yudhoyono issued a decree ordering the company “to bear all costs and repercussions” of the disaster, and pay compensation to those displaced. But since the decree has no legal consequence, it became apparent that this was another Kafka-esque way to avoid paying anything to anyone. The government has tried to minimize the political damage by setting aside $127 million from the state budget for compensation payments. But the applications are to be screened by a 50-person committee!

    Politicians are outraged because it appears that the government is bankrolling Lapindo Brantas and the Bakries. Citizens are skeptical that they will ever see any of the money.

    Many analysts predict that the Bakrie Group will simply resort to bankruptcy rather than foot any of the multi-billion dollar clean-up and compensation costs. They are money men, not oil men, and won’t lose any sleep if this forces them out of the oil and gas business for good. It is the prudent operators in Indonesia, trying to conduct their activities safely and with a commitment to the country, who will have to live with the aftermath.

    All of which is music to the ears of law firms that specialize in class-action suits. There are legal precedents for hearing offshore class actions in Australia when Australian companies are involved. So look out, Santos. Although it is only an 18 percent non-operating partner in the project, Santos is the only solid target in this whole sorry saga. The company has set aside about $60 million in its current budget to cover liability arising from the mudflow. But litigation experts in Australia believe that amount could underestimate Santos’s liability by as much as two orders of magnitude.

    Bret Mattes

    Sumber: http://www.energytribune.com/articles.cfm?aid=651

  • Volcano of mud makes 50,000 homeless

    Campaigners say drilling by energy firm caused huge eruption, which has already killed 13 in Indonesia.

    The people of Sidoarjo gathered to say prayers this week. Beside a noxious sea of shifting grey mud they asked for help to rebuild their lives and for deliverance from further encroachment by the methane-spitting sludge.

    Already 13 people from this district in the east of the Indonesian island of Java have lost their lives to the world’s largest mud volcano, and a further 50,000 have been made homeless. Every day as the volcano continues to spew forth hot mud, more people and their villages are threatened. Schools and factories have had to be moved.

    An Indonesian court says this is a natural disaster. Yet human rights campaigners, as well as a team of scientists from Durham University, say the mud volcano that has been named Lusi was triggered by a gas-drilling operation two years ago. What gives this story an added twist is that the company is owned by the family of the country’s richest man, who also happens to be Indonesia’s Welfare Minister.

    The images of Lusi are nothing short of remarkable. The area at the very centre of the volcano has been surrounded by 20m-high concrete walls erected by the authorities to try to stem the flow. But already, the area now covered by the splurging mess totals more than 1,500 acres.

    Worse still, there are signs that the entire area is sinking and forming a huge crater. “The centre is falling by 4cm a day, which amounts to around 14m a year,” said Professor Richard Davies, head of a team from Durham University which has studied the volcano. “Sidoarjo is a populated region and is collapsing as a result of the birth and growth of Lusi. This could continue to have a significant environmental impact on the surrounding area for years to come.” He said the plunging volcano could cause other fractures and faults within the landscape and even begin to start shifting the course of rivers.

    Professor Davies said his team was 99 per cent certain that the volcano had been triggered by gas drilling in the region two years ago. He said it appeared workers from the Lapindo Brantas company had drilled to more than 3,000 metres and tapped into a water-bearing aquifer that was located beneath a seam of mudstone. The effect had been to release the pressure in the aquifer, causing the water to push out through the mudstone, creating a volcano of mud.

    That initial eruption two years ago this week killed 13 people and inundated 12 villages with a flood of mud. Every day since the volcano has continued to produce between 50,000 and 150,000 cubic metres of mud – enough to fill 60 Olympic-sized swimming pools.

    Yet the people of Sidoarjo say they have received barely any help or compensation from the government or Lapindo Brantas, which is owned by the family of the billionaire government minister Aburizal Bakrie. While thousands live in makeshift shanties waiting for help and refusing to move, the company this week took out advertisements in newspapers proclaiming its “social commitment” to the area but insisting experts believe the volcano was a natural phenomenon.

    Last month, the company stopped giving out food rations to displaced villages and said they should accept the compensation that had been offered. The homeless insist instead that they be given a lump sum to build new homes. “They can’t live there for ever. They should immediately submit documents and accept the compensation,” said a company spokeswoman, Yuniwati Teryana.

    Last year the authorities ordered the company to pay more than £220m in compensation and for work to halt the spread of the mud. But campaigners say only residents in four of the villages affected by the mud were eligible for compensation and that, of those people, only 20 per cent have so far received any money from the oil and gas giant.

    Campaigners say the government is unwilling to challenge the company to do more. No one has been charged with any crime in relation to the volcano. Chalid Muhammad, who heads a campaign group, the Movement to Promote Justice for the Lapindo Victims, said: “The government only needs to have the political will and the political courage to push the company to pay compensation.”

    All the while, as the people of Sidoarjo pray for help and as Lapindo Brantas continues to deny responsibility for what happened, the world’s largest mud volcano continues to spew mud and grow. Every single day.

    Andrew Buncombe, Asia Correspondent

    Sumber: The Independent

  • Lingkungan Hidup, Lumpur Lapindo, Siapa Berani?

    Dua tahun sudah semburan lumpur Lapindo Brantas Inc meluluhlantakkan harta benda, emosi, dan kehidupan sosial masyarakat Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dampak semburan lumpur bukan hanya berupa kekacauan infrastruktur, tetapi juga korban jiwa. Lumpur itu juga memberikan efek bagi Provinsi Jatim.

    Data yang dipaparkan pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Kresnayana Yahya, menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Jatim, yang biasanya selalu setengah persen di atas pertumbuhan ekonomi nasional, kini setengah persen di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Biangnya, semburan lumpur di wilayah eksplorasi Lapindo Brantas Inc.

    Seretnya pertumbuhan ekonomi itu antara lain akibat matinya sejumlah industri dan hotel, serta tingginya biaya transportasi yang harus dikeluarkan pengusaha untuk distribusi produk. Seperti Rabu (18/6) lalu, antrean panjang kendaraan berat pengangkut barang memenuhi ruas jalan raya yang menghubungkan Porong, Sidoarjo, dengan Gempol, Pasuruan. Jalan tol Surabaya-Porong, yang semestinya bisa menyedot kendaraan dari ruas jalan raya dan menghemat waktu tempuh, tak bisa diandalkan lagi karena ikut menerima dampak terjangan lumpur. Antrean di jalan raya tak terelakkan. Jarak Surabaya-Malang, yang dalam kondisi normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam, kini butuh hingga tiga jam.

    Dampak sosial juga tak kalah parah. Warga Desa Renokenongo yang rumahnya terkena semburan lumpur panas masih banyak tinggal di pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Sekitar 500 keluarga tinggal di bangunan kios pasar. Pertumbuhan kejiwaan dan sosial anak-anak yang tinggal di penampungan itu dikhawatirkan terganggu. Mereka, 900-an warga Desa Renokenongo, hanya menanti tanggung jawab Lapindo Brantas Inc.

    Tak kurang upaya dilakukan beberapa pihak untuk menggugat keadilan masyarakat atas semburan lumpur ini. Seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang mengajukan gugatan secara terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan untuk menuntut pertanggungjawaban semburan lumpur yang masih berlangsung hingga kini itu. Namun, semua upaya itu kandas.

    Bahkan, upaya hukum yang sudah dilakukan Polda Jatim, dengan menetapkan beberapa orang sebagai tersangka yang bertanggung jawab dalam semburan lumpur itu, tak juga berujung. Pasalnya, kejaksaan masih kukuh membutuhkan bukti yang menunjukkan korelasi antara pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas Inc dan semburan lumpur. Akibatnya, berkas perkara itu berkali-kali bolak-balik dari kejaksaan ke kepolisian.

    Padahal, ilmuwan Inggris, Richard Davies, awal Juni lalu, menyebutkan, semburan lumpur di Sidoarjo bukan bencana alam, melainkan dipicu pengeboran di sumur Banjar Panji I. Sedangkan Lapindo Brantas Inc menyebutkan, lumpur itu menyembur ke permukaan bumi akibat dipicu gempa di Yogyakarta, beberapa hari sebelumnya.

    Yang paling parah dari semua itu, pemerintah sepertinya bergeming. Tak mau menolehkan sejenak ke Porong untuk lebih menyalurkan empati dan bentuk tanggung jawab atas warganya yang kehilangan tanah, rumah, kehidupan sosial, dan ikatan dengan leluhur.

    Sengaja mendiamkan

    Airlangga Pribadi Kusman, pengajar ilmu politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, yakin, elite politik di Jatim dan Jakarta sengaja mendiamkan persoalan lumpur yang menyembur pertama kali pada 29 Mei 2006 ini.

    Tak ada tekanan politik dari Gubernur Jatim Imam Utomo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, maupun DPRD Jatim dan DPRD Sidoarjo. Dugaan Airlangga, semburan lumpur ini akibat kesalahan kolektif yang melibatkan banyak pihak sehingga semua pihak akan menutup persoalan ini.

    Dari sisi politik, kondisi ini akan mendorong proses delegitimasi terhadap proses politik yang berlangsung di Jatim. Juga, delegitimasi masyarakat terhadap negara dan pemerintah. ””Masyarakat merasa kepentingan mereka tidak diperjuangkan wakil rakyat maupun eksekutif yang dipilihnya,”” ujar Airlangga.

    Pemimpin daerah juga terkesan tak bergerak untuk mengantisipasi kian buruknya kondisi di sekitar Porong akibat semburan lumpur yang terus terjadi. Padahal, banyak contoh bencana ikutan yang muncul akibat semburan lumpur yang terus bertumpuk di sekitar sumbernya. Terakhir, tiga pekerja di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, luka akibat ledakan gas.

    Dengan perhitungan kerugian akibat semburan lumpur yang masih bertumpuk, tentu pemimpin Jatim akan berpikir, betapa lebih efektifnya jika menggunakan daya tawarnya terhadap pemerintah pusat untuk segera bertindak tegas menangani dampak lumpur itu. Bayangkan, kemajuan yang dicapai dalam pembangunan oleh Gubernur Jatim terpilih nanti akan ”dipotong” dengan kerugian akibat semburan lumpur yang masih terjadi sampai kini.

    Amien Widodo, geolog yang mendalami manajemen bencana dari ITS, menyarankan, Pemerintah Provinsi Jatim membuat peta risiko di sekitar semburan lumpur. “Peta itu dapat menunjukkan daerah dengan risiko rendah, sedang, dan tinggi sehingga setiap individu yang ada di daerah itu dapat mewaspadai segala kemungkinan yang terjadi. ”Buat peta yang menggambarkan, di sini daerah aman untuk tinggal dan tidak. Lalu, buat juga daerah rawan amblesan, di sini daerah rawan semburan gas, dan sebagainya. Peta ini mesti diperbarui setiap saat, selama lumpur masih menyembur,”” kata Amien.

    Jika langkah seperti itu tak dilakukan, niscaya semburan lumpur Lapindo hanya dianggap angin lalu. ”Apakah nyawa jadi tidak ada artinya?”

    Dewi indriastuti dan Nina Susilo

    © Kompas