25 Desember 2014 | Realitas MetroTV, Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jatim masih menghantui warga terdampak.
Tag: ganti rugi
-
Pemerintah akan Ambil Alih Utang Lapindo
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Basuki Hadimuljono mengatakan pemerintah akan mengambil alih utang milik PT Minarak Lapindo Jaya terhadap warga terdampak lumpur Lapindo. Dengan begitu, Lapindo nantinya harus membayar utangnya kepada pemerintah.
“Jadi nanti ada kajian Kumham jadi kita paksa Lapindo untuk bayar. Maksa-maksa itu kan dari dulu kek gitu terus makanya nanti kita ambil alih dulu lalu Lapindo bayar. Jadi akhirnya Lapindo bayar ke pemerintah,” katanya di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Senin (15/12).
Menurutnya, jika pemerintah tinggal diam dan membiarkan kondisi ini, maka pemerintah telah melakukan diskriminasi terhadap masyarakat Indonesia. Pasalnya, pemerintah telah membayarkan ganti rugi terhadap korban lumpur di luar Peta Area Terdampak (PAT).
Sedangkan, Lapindo belum menyelesaikan jual beli tanah korban lumpur di dalam area terdampak senilai Rp 781 miliar. Menurutnya, jika pemerintah tidak segera bertindak dan mengambil terobosan, maka yang ada hanya janji-janji pembayaran dari Lapindo.
Lanjutnya, anggaran untuk jual beli tanah para korban lumpur ini pun masih akan dibahas. Namun, jika berdasarkan dengan kesepakatan sebelumnya, pembayaran akan dilakukan berdasarkan APBN 2015.
“Makanya tadi saya bilang tapi kalau paksa-paksa ini makanya kita beli dulu nanti dia yang bayar,” jelasnya.
Ia menjelaskan, jika Lapindo tidak dapat membayar ganti rugi ke pemerintah, maka pemerintah dapat menyita aset milik Lapindo. Seperti diketahui, korban lumpur di dalam area terdampak menjadi tanggung jawab Lapindo. Sedangkan korban di luar area terdampak ditanggung oleh pemerintah.
Namun, karena Lapindo mengalami kesulitan keuangan, maka tak semua korban di dalam area terdampak mendapat ganti rugi. Sedangkan, korban di luar area terdampak sudah mendapat ganti rugi dari pemerintah.
Dessy Suciati Saputri
-
Batalkan Pembelian Aset Lapindo
ALASAN pemerintah membeli aset PT Minarak Lapindo Jaya (Lapindo) untuk meringankan beban pemilik Lapindo membayar kekurangan ganti rugi kepada warga terdampak bencana lumpur lapindo sebesar Rp781 miliar merupakan kekeliruan.
Untuk memutuskan perlu-tidaknya membeli aset Lapindo, Ketua Umum Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradin) Frans H Winarta meminta pemerintah menggunakan jasa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit aset perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie itu.
Sebagai informasi, PT Minarak Lapindo Jaya merupakan perusahaan juru bayar PT Lapindo Brantas Inc terkait dengan dampak bencana semburan lumpur di Porong, Sidoarjo.
“BPK harus melakukan audit aset Lapindo sehingga BPK bisa memberi rekomendasi untuk tidak membeli aset dari perusahaan yang bangkrut dengan uang negara,” katanya saat dihubungi, kemarin.
Frans juga menyatakan rencana pemerintah membeli aset Lapindo akan merusak citra Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla. “Gebrakan yang konyol dan tidak populer, sebaiknya dibatalkan,” tambahnya.
Pakar hukum perdata dari Universitas Surabaya Sylvia Janisriwati berpendapat pemerintah sebaiknya mengajukan status pailit kepada Lapindo ke pengadilan niaga. “Setelah ditetapkan pailit, baru kemudian negara menjual aset Lapindo dan uangnya untuk melunasi ganti rugi korban lumpur Lapindo,” ujarnya seperti dikutip Metro TV.
Jual beli
Meski menuai kritik, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono tetap akan membeli aset Lapindo senilai kekurangan bayar ganti rugi kepada warga sebesar Rp781 miliar. Bahkan saat ini disiapkan peraturan presiden yang menjadi dasar pembelian aset itu. “Sekarang perpresnya sudah berada di sekretaris kabinet,” ungkapnya.
Seluruh aset yang dibeli tersebut akan menjadi milik negara. Namun, Basuki mengaku belum mengetahui seperti apa pemanfaatan aset tersebut oleh negara nantinya.
Saat dimintai konfirmasi soal rencana negara membeli aset swasta untuk membayar ganti rugi warga, Wakil Presiden Jusuf Kalla justru kaget dan mengaku tidak tahu.
“Saya belum tahu dari mana dana pemerintah membayar itu. Hingga kini belum rencana memasukkannya di APBNP 2015,” kata JK di Kantor Wapres, kemarin.
Bagi JK, pemerintah tidak mungkin ikut campur dalam pembelian aset tanah yang dibeli Lapindo dari warga korban lumpur. “Jangan lupa, Lapindo itu bukan ganti rugi, melainkan jual beli tanah sebab Lapindo pada waktu itu membeli tanah dengan harga tiga atau empat kali lipat.”
Wakil Ketua Komisi V DPR RI Yudi Widiana Adia mempersilakan pemerintah membeli seluruh aset di kawasan terdampak lumpur yang dimiliki Lapindo. Asalkan, lanjut dia, hal itu dilakukan sebagai langkah untuk menuntaskan permasalahan Lapindo yang sudah lama.
Hingga saat ini, luberan lumpur Lapindo masih terus terjadi. Bahkan Kantor Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, harus direlokasi ke tempat lain karena genangan lumpur semakin tinggi. (Mus/Che/Nur/HS/X-10)
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/6810/Batalkan-Pembelian-Aset-Lapindo/2014/12/10%2008:59:00
-
Jokowi Ingatkan Lapindo Tuntaskan Hutang Tahun Depan
JAKARTA – Presiden Joko Widodo mengingatkan perusahaan Lapindo untuk tidak mengulur waktu terlalu lama dalam membayar ganti rugi terhadap warga korban luapan lumpur.
Ganti rugi itu diminta diselesaikan tahun depan sebesar Rp 781 miliar. Ini disampaikan melalui Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto di kompleks Istana Negara, Jakarta, Kamis, (4/12).
“Tadi saya sudah melaporkan masalahnya ke presiden. Instruksi presiden, jangan lagi menunggu terlalu lama. 8 tahun itu cukup. Tahun anggaran 2015 ini harus tuntas,” tegas Andi.
Andi juga mengatakan, pemerintah juga memiliki kewajiban membayar kurang lebih Rp 300 miliar untuk warga. Dana itu telah disiapkan dari APBN tahun anggaran 2015. Namun, masih harus menunggu Lapindo terlebih dahulu melunasi kewajiban ganti ruginya.
Pemerintah, ujarnya, tidak membantu Lapindo dalam bentuk uang. Tetapi akan dicarikan solusi agar Lapindo bisa segera melunasinya. “Kami mencari cara untuk membantu Lapindo supaya bisa melaksanakan kewajiban. Dari keputusan MK, tidak memungkinkan pemerintah untuk mengambil alih kewajiban Lapindo itu. Yang bisa kami lakukan adalah membantu Lapindo, apakah lewat penjualan aset atau langkah lain,” sambungnya.
Jika pemerintah dan Lapindo sudah memenuhi kewajiban, kata dia, akan mempermudah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk memperbaiki tanggul-tanggul yang rusak di wilayah terdampak. (flo/jpnn)
Sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/12/04/273681/Jokowi-Ingatkan-Lapindo-Tuntaskan-Hutang-Tahun-Depan-
-
Lapindo Bokek, Negara Tekor
JAKARTA, Jawa Pos – Menagih janji pelunasan ganti rugi kepada PT Minarak Lapindo Jaya seperti upaya tak berkesudahan bagi warga korban lumpur Sidoarjo. Sudah delapan tahun lima bulan semburan lumpur, namun PT Minarak Lapindo Jaya belum kunjung melunasi kewajibannya.
Bahkan, yang terbaru, PT Minarak Lapindo Jaya angkat tangan karena tidak mampu lagi menyelesaikan ganti rugi warga korban lumpur di peta area terdampak (PAT) di Sidoarjo. Pihak perusahaan menyatakan bahwa kondisi keuangan PT Minarak Lapindo Jaya sedang payah. Padahal, sang pemilik, Aburizal Bakrie, baru saja menjamu hampir 500 peserta musyawarah nasional (munas) Partai Golkar di kompleks wisata mahal, Nusa Dua, Bali.
Sikap tidak bertanggung jawab anak usaha Bakrie Group tersebut membuat negara menanggung kerugian. Sebab, agar warga tetap mendapatkan haknya, pemerintah terpaksa turun tangan dengan mengambil alih pembayaran ganti rugi.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, pihaknya sudah meminta rekomendasi Kementerian Hukum dan HAM soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta negara menjamin pelunasan ganti rugi korban, baik di dalam maupun luar PAT. ”Jadi, (tanggung jawab ganti rugi) ini diambil oleh negara, dibayar dan (tanahnya) jadi aset negara,” ujarnya setelah sidang kabinet di Istana Negara Rabu (3/12).
Sebagaimana diketahui, selama ini korban dalam PAT menjadi tanggung jawab Lapindo, sedangkan ganti rugi untuk korban di luar PAT ditanggung pemerintah. Namun, karena Lapindo sudah kehabisan dana, belum semua korban dalam PAT mendapatkan ganti rugi. Sementara itu, korban di luar PAT sudah mendapatkan ganti rugi dari pemerintah.
Nah, Maret lalu MK telah mengabulkan permohonan enam korban lumpur Lapindo yang berada dalam PAT. Intinya, MK meminta negara dengan kekuasaan yang dimiliki untuk menjamin dan memastikan pelunasan ganti rugi korban dalam PAT. Namun, pemerintahan SBY menilai bahwa arti putusan itu bukan pemerintah yang harus mengganti rugi. Melainkan, pemerintah menggunakan kekuatan untuk menekan Lapindo agar segera menyelesaikan kewajibannya.
Multitafsir itulah yang menurut Basuki sudah dikaji pemerintahan Jokowi. Oleh Kementerian Hukum dan HAM, putusan tersebut ditafsirkan bahwa pemerintah harus mengambil alih karena Lapindo sudah tidak mungkin lagi menyelesaikan kewajiban itu. ”Kalau tidak (mengambil alih), kami disalahkan secara konstitusi,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya sudah melunasi sebagian besar kewajiban pembayaran ganti rugi senilai Rp 3,8 triliun. Namun, masih ada kekurangan Rp 781 miliar yang belum dibayar. ”Bukan kami tidak mau membayar. Tapi, kondisi keuangan perusahaan kami lagi tidak ada,” ucapnya.
Basuki menyebut, untuk mengambil alih tanggung jawab di wilayah PAT, pemerintah segera mengubah Peraturan Presiden tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) agar menjadi payung hukum yang kuat. ”Kami juga minta opini dari Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan dana besar untuk menanggulangi lumpur Lapindo. Sejak 2007 hingga 2014, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai BPLS sudah menyentuh angka Rp 9,53 triliun.
Tuntut Kepastian
Dari Sidoarjo, dikabarkan pansus lumpur Sidoarjo hingga kemarin belum mengambil tindakan tegas terkait dengan keluhan korban luapan lumpur Lapindo di peta terdampak. Namun, mereka tidak akan tinggal diam. Dalam waktu dekat, pansus akan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Mereka bakal menjembatani pertemuan antara BPLS, bupati, dan warga. ”Rencananya, Jumat nanti (5/12) kami memanggil mereka. Melakukan mediasi untuk para pihak,” tegas Machmud, ketua pansus lumpur Sidoarjo.
Pansus juga akan mendesak pemerintah untuk memberikan kepastian kepada korban soal pembayaran ganti rugi. Pansus juga bakal bertanya kepada pemerintah apakah benar pembayaran ganti rugi itu masuk APBN 2015.
Untuk menyelesaikan permasalahan lumpur itu pun, pansus tidak hanya melibatkan korban dalam peta area terdampak. Mereka yang tidak masuk peta tersebut juga harus diberi pemahaman. Sebab, lanjut Machmud, terkait dengan kondisi lumpur saat ini, dua pihak warga itu memiliki keinginan yang berbeda.
Warga yang masuk korban terdampak menginginkan penanggulan dihentikan sebelum ganti rugi tuntas dibayar. Sebaliknya, warga Desa Kedungbendo dan Kaliketapang berharap lumpur segera ditanggul. Sebab, jika dibiarkan meluber, lumpur bisa menggenangi kediaman mereka. ”Kami berharap keadaan tetap kondusif. Kuncinya ada pada pembayaran ganti rugi korban di peta terdampak,” tegas Machmud. (owi/laz/may/hen/sep/c11/end)
Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/9930/Lapindo-Bokek-Negara-Tekor-
-
Tagih Janji, Korban Lapindo Surati Menteri PU
TEMPO.CO, Sidoarjo – Warga dan pengusaha korban luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo yang ada di dalam peta area terdampak mengirimkan surat kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) serta ke Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono.
Isi surat berupa permintaan bertemu Menteri Basuki untuk menanyakan kelanjutan hasil rapat Dewan Pengarah BPLS di Jakarta beberapa waktu lalu. “Suratnya sudah kami kirim, dan sampai sekarang belum ada balasan,” kata kuasa hukum korban Lapindo, Mursyid Murdiantoro, Jumat, 21 November 2014.
Hasil rapat Dewan Pengarah yang dihadiri Bupati Sidoarjo Saiful Illah dan Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang dilakukan di pengujung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu merekomendasikan penyelesaian ganti rugi bagi korban lumpur Lapindo itu bakal ditanggung pemerintah.
Namun ternyata dana ganti rugi itu tidak dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2015. “Kami tidak mau pembahasan ganti rugi berjalan mundur, karena pemerintahan baru hanya tinggal eksekusi,” kata Mursyid.
Mursyid berharap suratnya segera direspons agar dapat digelar pertemuan yang melibatkan pihak-pihak terkait, yaitu Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, BPLS serta warga dan pengusaha korban lumpur. “Jadi tidak perlu melibatkan pemerintahan daerah untuk membahas kelanjutan ganti rugi itu, hanya khusus yang berkepentingan saja,” ujarnya.
Bila upaya menagih janji pemerintah itu tak membuahkan hasil, Mursyid akan mengajukan uji materi lagi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan Lapindo membayar ganti rugi. “Kami sudah siapkan semua data dan berkas-berkasnya jika mau uji materi lagi,” kata dia.
Menurut Mursyid, korban Lapindo mendesak pemerintah memasukkan skema ganti rugi ke dalam APBN Perubahan, sehingga rekomendasi Dewan Pengarah dapat dilaksanakan. “Kalau ganti ruginya tidak dimasukan dalam APBNP, maka hasil rapat Dewan Pengarah itu sia-sia,” katanya.
PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar PT Lapindo Brantas hingga saat ini masih menyisakan tunggakan sebesar Rp 1,2 triliun yang terdiri dari Rp 786 miliar untuk korban di dalam peta area terdampak dan Rp 470 miliar bagi pengusaha yang pabriknya tenggelam. “Semoga pemerintahan yang baru dapat mengatasi masalah ini,” ujarnya.
MOHAMMAD SYARRAFAH
Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/11/21/058623544/Tagih-Janji-Korban-Lapindo-Surati-Menteri-PU
-
Korban Lapindo Ancam Blokade Tanggul
Anggaran pembayaran sisa ganti rugi korban lumpur sebesar Rp 786 miliar tak masuk nomenklatur APBN 2015. Mereka pun mengancam akan memblokade tanggul lagi.
Para korban lumpur sebetulnya sudah memberikan akses untuk menanggulangi tanggul yang jebol, beberapa waktu lalu. Mereka memperbolehkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memperkuat tanggul karena dijanjikan sisa ganti ruginya dibayar pemerintah.
Kenyataannya, sampai saat ini pemerintah belum memasukkan anggaran untuk pembayaran korban lumpur di APBN 2015. Karena itu, banyak warga korban lumpur Lapindo yang kecewa dengan kondisi itu. Sebab, mereka sangat berharap pembayaran itu bisa dilakukan dengan segera. Salah satu korban lumpur, Wiwik Wahyutini, misalnya, mengaku sangat kecewa jika anggaran pembayaran ganti rugi tidak dialokasikan dalam APBN 2015.
”Kami dijanjikan akan dibayar pemerintah. Kenapa kok tidak dianggarkan dalam APBN 2015,” ucapnya. Wiwik mengaku, korban lumpur sudah cukup sabar menunggu pelunasan ganti rugi. Bahkan, terakhirdijanjikanakan dibayar oleh pemerintah setelah ada pertemuan dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan pihak berwenang lain. Namun, kini anggaran pelunasan ganti rugi tersebut tidak dimasukkan dalam APBN 2015. Inilah yang membuat korban lumpur marah.
”Kalau tidak ada kejelasan pelunasan ganti rugi, jangan salahkan jika korban lumpur memblokade tanggul lagi,” kata korban lumpur lain. Kuasa hukum Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) Mursyid Efendi mengatakan, dana APBN untuk ganti rugi korban lumpur peta area terdampak (PAT) itu memang tidak pernah ada. Anggaran Rp786 miliar itu hanya muncul dalam usulan kebijakan, bukan usulan murni.
”Dalam usulan kebijakan, anggaran itu tidak pernah disetujui,” ungkapnya. Kepastian tidak dimasukkan anggaran pembayaran ganti rugi korban lumpur diperoleh setelah Mursyid melakukan kroscek ke Komisi V DPR RI. Yang muncul dalam nomenklatur APBN 2015 itu sebesar Rp 200 miliar.
Dana tersebut bukan untuk ganti rugi tanah dan bangunan, melainkan untuk anggaran BPLS selama 2015 dalam menangani lumpur. Tidak masuknya anggaran ganti rugi korban lumpur dalam APBN 2015 dikhawatirkan akan menimbulkan masalah sosial lagi. Apalagi, dana dari pemerintah itu sudah digembar-gemborkan kepada korban lumpur.
Bahkan, beberapa waktu lalu korban lumpur menggelar syukuran karena merasa tuntutannya akan dipenuhi pemerintah. Rinciannya, sisa ganti rugi korban lumpur yang belum dibayar sebesar Rp 786 miliar dan GPKLL sekitar Rp 426 miliar.
Terpenting, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah juga sudah mengutarakan bahwa pelunasan ganti rugi akan dianggarkan dalam APBN2015. Kenyataannya, yang muncul hanya Rp 200 miliar. Itu pun, menurut Mursyid, anggaran Rp 200 miliar dari APBN 2015 itu tidak ada kaitannya dengan pembayaran ganti rugi.
”Tidak ada dalam pasal nomenklatur untuk ganti rugi,” ujarnya. Meski begitu, Mursyid berharap anggaran ganti rugi itu bisa diusulkan dalam APBN-P (Perubahan) 2015. Untuk itu, dia sudah menemui anggota DPR RI dari Koalisi Merah Putih (KMP) seperti anggota fraksi PAN, Demokrat, dan Gerindra.
Usulan ganti rugi itu akan disampaikan ke DPR RI. Jika memang usulan ini disetujui, nomenklatur ganti ruginya akan muncul pada 2016. Mantan Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Emir Firdaus juga menyayangkan tidak masuk anggaran ganti rugi korban lumpur. ”Korban lumpur sudah berharap banyak agar ganti ruginya bisa segera dibayar pemerintah. Harusnya sudah dimasukkan dalam APBN 2015 agar pembayaran bisa segera dilakukan,” tegas politikus asal PAN tersebut.
Dalam penyelesaian gantirugi lumpur, warga PAT merupakan kalangan yang paling dirugikan. Selama ini pemerintah lebih mengutamakan ganti rugi untuk korban luar PAT. Justru warga yang berada di PAT adalah korban yang paling menderita, namun pembayaran ganti ruginya tidak kunjung selesai.
Hingga kini perjuangan mendapatkan keadilan tidak kunjung direalisasi. Padahal, lahan yang digunakan untuk kolam lumpur berada di wilayah PAT. Bahkan, warga sebenarnya sudah berkali-kali demo menolak lahannya ditanggul sebelum mendapat ganti rugi.
Abdul Rouf
Sumber: http://www.koran-sindo.com/read/923223/149/korban-lapindo-ancam-blokade-tanggul
-
Jokowi Diharapkan Selesaikan Soal Ganti Rugi Lumpur Lapindo
SIDOARJO, KOMPAS — Pemerintahan baru diharapkan melanjutkan upaya penyelesaian pembayaran ganti rugi terhadap korban lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkatung-katung selama hampir sembilan tahun. Supaya lebih efektif, pemerintah sebaiknya melanjutkan proses sebelumnya.
Harapan itu disampaikan Bupati Sidoarjo Syaiful Illah kepada pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebelumnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gagal menyelesaikan permasalahan sehingga mengakibatkan ribuan korban lumpur menderita.
”Pemerintah harus bertanggung jawab menyelesaikannya. Dan, sesuai dengan hasil rapat kerja Dewan Pengarah BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) sudah disepakati pembayaran tunggakan akan dilakukan oleh pemerintah,” ujar Syaiful, Rabu (22/10/2014).
Dia mengatakan, pembayaran sisa ganti rugi harus dilakukan oleh pemerintah karena PT Lapindo Brantas Inc yang seharusnya bertanggung jawab sudah tidak mampu bayar. Perusahaan yang bergerak di bidang migas itu mengalami kesulitan keuangan.
Alasan lain adalah kemanusiaan. Korban lumpur sudah menderita selama bertahun-tahun karena luberan lumpur panas menenggelamkan rumah dan permukiman warga. Lumpur juga mengubur sejumlah pabrik sehingga mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaan.
Lumpur yang menyembur sejak 29 Mei 2006 sudah menenggelamkan 621 hektar kawasan di Kecamatan Tanggulangin, Jabon, dan Porong. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2007 tentang BPLS menyatakan, PT Lapindo harus bertanggung jawab membayar ganti rugi warga di area terdampak, yakni 621 hektar.
Sebelumnya, hasil rapat Dewan Pengarah BPLS di Jakarta memutuskan mengusulkan pemerintah membayar sisa ganti rugi. Ada dua pilihan, pertama pemerintah memberikan dana talangan dan menagihnya kepada Lapindo. Kedua, pemerintah membayar sisa ganti rugi yang belum dibayar dan tanah yang dibayar tersebut menjadi aset negara.
Sisa ganti rugi yang belum dibayar Rp 1,25 triliun dengan rincian Rp 781 miliar untuk warga dan sisanya, sekitar Rp 500 miliar, hak pelaku usaha yang tempat usahanya tenggelam oleh lumpur. Namun, saat rapat, sisa ganti rugi yang diusulkan dibayar hanya Rp 781 miliar.
Warga korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Sulastro, berharap penyelesaian masalah ganti rugi itu masuk dalam program prioritas pemerintahan Joko Widodo yang akan direalisasikan pada 100 hari pertama kerja. ”Kami menagih janji Pak Jokowi sebagaimana tertuang dalam kontrak politik saat berkampanye sebagai calon presiden di atas tanggul di Desa Siring. Beliau telah berjanji menyelesaikan pembayaran ganti rugi,” kata Sulastro. (NIK)
-
Pengusaha Korban Lumpur Dianaktirikan Pemerintah
SURYA Online, SIDOARJO-Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) yang dianaktirikan pemerintah dalam proses ganti rugi korban lumpur akan menemui Menteri Pekerjaan Umum (PU), Joko Kirmanto yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Pengarah Lumpur Sidoarjo (BPLS ).
Kelompok yang dipimpin Ritonga itu meminta kepada Joko Kirmanto agar merevisi keputusan pembayaran dengan dana talangan. Karena korban lumpur dari kelompok GPKLL sama sekali tak disentuh oleh pemerintah seperti korban lumpur lainnya. Dalam pengajuan ini, jumlah dana talangan yang disepakati beberapa waktu lalu nilainya Rp 786 miliar untuk korban lumpur. Sedangkan ganti rugi untuk pengusaha korban lumpur nilanya sekitar Rp 514 miliar belum dimasukkan.
“Kami semua (GPKLL) juga korban lumpur kenapa dalam keputusan tidak disertakan. Makanya kami akan ke Jakarta (menghadap Menteri PU) untuk minta keadilan,” tutur Ritonga, Minggu (5/10/2014).
Pengusaha dari korban lumpur melalui pengacaranya sudah mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tujuannya besaran dana talangan yang sudah ditetapkan Rp 786 miliar direvisi. Surat itu juga ditembuskan ke Menteri PU dan pihak terkait. “Dana talangan yang akan dibayarkan supaya direvisi dan pengusaha korban lumpur juga dimasukkan,” terangnya.
GPKLL nekad menempuh jalur ini karena saat perundingan tidak diperjuangkan Bupati Sidoarjo H Saiful Ilah saat rapat dengan Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, 24 September lalu. Bupati hanya memasukkan dana talangan bagi korban lumpur dari kalangan masyarakat.
Pengusaha korban lumpur juga kecewa dengan pernyataan bupati yang seolah-olah tidak menganggap pengusaha yang pabriknya ikut terendam bukan sebagai korban lumpur. Dalam proses ganti rugi waktu itu, pengusaha korban lumpur penyelesaiannya secara business to business karena tidak masuk dalam Peraturan Pemerintah (Perpres).
“Ya kami semua jelas kecewa dong. Pengusaha sudah delapan tahun menunggu ganti rugi,” ujar Ritonga.
Ritonga optimistis tuntutannya bakal direalisasikan oleh pemerintah. Dalam gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu, yang harus diselesaikan ganti ruginya korban dan pengusaha korban lumpur. “Kami (GPKLL) minta difasilitasi DPRD Sidoarjo untuk bertemu dengan bupati guna menanyakan dana talangan kenapa sampai tidak dimasukkan,” terangnya.
Bupati Sidoarjo, H Saiful Ilah mengungkapkan, yang mendapat dana talangan dari pemerintah adalah korban lumpur dari kalangan masyarakat. Ganti rugi pengusaha yang tergabung dalam GPKLL menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. Karena sebelumnya, antara pengusaha dan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar Lapindo sudah ada perjanjian busines to busines terkait pembayaran ganti rugi.
“Memang waktu pembahasan tidak ada pembahasan ganti rugi pengusaha,” jelasnya.
Abah Ipul demikian dipanggil mengungkapkan, perjanjian bisnis tersebut sudah diatur sendiri antar pengusaha dengan MLJ. Artinya, pembayaran ganti rugi itu nantinya akan dibicarakan secara berkesinambungan hingga lunas. Jika awalnya tidak ada perjanjian antara pengusaha dengan PT MLJ kemungkinan akan masuk semua dalam ganti rugi oleh pemerintah.
“Memang pengusaha adalah bagian dari korban lumpur. Tetapi perjanjian antara PT MLJ dengan pengusaha menjadi ganjalan dalam pengambilalihan ganti rugi oleh pemerintah,” terangnya.
Anas Miftakhudin
Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2014/10/05/pengusaha-korban-lumpur-dianaktirikan-pemerintah
-
2 Bulan Tanggul Lumpur Diblokade Warga, BPLS Angkat Tangan
SIDOARJO – Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) selama dua bulan ini tidak bisa beraktivitas menangani lumpur. Pasalnya, warga korban lumpur masih melarang segara aktivitas penanganan lumpur sebelum ganti rugi mereka dilunasi.
Sejauh ini tidak ada solusi untuk menyelesaikan masalah itu, karena Lapindo Brantas Inc tak kunjung melunasi ganti rugi korban lumpur.
Akibatnya, kekuatan tanggul lumpur tinggal menghitung hari saja karena kondisi di kolam lumpur semakin penuh.
Humas BPLS, Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan pengerjaan tanggul dihentikan warga sejak tanggal 18 Mei lalu. Pihaknya tidak bisa berbuat banyak, bahkan tak berani beraktivitas karena khawatir terjadi gesekan antara korban lumpur dan petugas dari BPLS.
Sedangkan kondisi lumpur saat ini, lanjut Dwinanto, air di permukaan lumpur memang terlihat meninggi.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa semburan dari pusat semburan lumpur lebih banyak didominasi oleh air dibandingkan dengan lumpur.
Sejak musim penghujan usai, tidak ada pengaliran lumpur ke Sungai Porong. Sehingga, pond hanya menampung volume yang dikeluarkan dari pusat semburan.
“Praktis selama dua bulan kita tidak bisa membuang lumpur ke Sungai Porong,” jelas Dwinanto.
Jika pembuangan lumpur ke Sungai Porong terhenti, otomastis lumpur akan menumpuk di kolam penampungan (pond).
Jika sewaktu-waktu hujan turun, dikhawatirkan lumpur penuh dan akan meluber menggenangi Jalan Raya Porong dan rel KA jurusan Surabaya-Malang.
Apa yang dilakukan agar warga memperbolehkan BPLS memperkuat tanggul lagi.Dwinanto mengaku, pihaknya sudah seringkali berdialog dengan warga korban lumpur. Namun, mereka mengaku tidak akan mengijinkan BPLS memperkuat tanggul sebelum ganti rugi aset mereka dilunasi.
Sampai saat ini, Lapindo Brantas Inc berkewajiban membayar sebanyak 13.237 berkas yang kini tinggal 3.348 berkas dengan nilai pembayaran sebesar Rp786 miliar.
Dana yang dikeluarkan Lapindo untuk membayar aset warga sebesar Rp3,043 triliun. Atau dengan kata lain, sebanyak 75% berkas sudah lunas pembayarannya.
Sedangkan total dana yang dikeluarkan oleh Lapindo untuk menangani lumpur sampai kini sudah sekitar Rp8 triliun.
Dengan rincian, untuk penanganan semburan lumpur sekitar Rp5 triliun dan membayar aset warga sekitar Rp3 triliun.
Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Emir Firdaus mengatakan, jika saat ini penyelesaian ganti rugi belum juga tuntas. Apalagi, belum ada kejelasan dari Lapindo kapan akan melunasi sisa pembayaran ganti rugi tersebut.
Emir menjelaskan penyelesaian ganti rugi korban lumpur perlu ada campur tangan pemerintah.
Sayangnya, sampai saat ini belum ada kepastian dari pemerintah kapan akan mengucurkan dana talangan untuk pelunasan ganti rugi.
“Kita berharap secepatnya ada dana talangan dari pemerintah untuk korban lumpur,” tandasnya. (Abdul Rouf)
Sumber: http://daerah.sindonews.com/read/882472/23/2-bulan-tanggul-lumpur-diblokade-warga-bpls-angkat-tangan
-
Korban Lapindo Memarahi Anggota DPRD
indosiar.com, Sidoarjo – (Selasa : 29/04/2014) Warga korban lumpur Lapindo kembali mendatangi gedung DPRD setempat untuk menuntut pembayaran ganti rugi yang belum juga selesai. Pertemuan warga dengan anggota dewan berlangsung penuh amarah setelah warga merasa diabaikan.
Puluhan korban lumpur Lapindo ini rencananya akan menemui anggota DPRD dan anggota pansus lumpur Lapindo untuk meminta klarifikasi putusan Mahkamah Agung terkait pembayaran ganti rugi bagi mereka. Namun mereka harus menelan kekecewaan karena tidak satupun anggota dewan yang menemui mereka.
Terlanjur kecewa, korban lumpur ini kemudian menumpahkan kemarahan saat sejumlah anggota dewan mendatangi mereka. Kemarahan warga mereda setelah ketua pansus lumpur Lapindo mengajak warga berdialog di ruang rapat. Namun dialog kembali membuat warga kecewa. Karena anggota DPRD tidak memberikan jawaban yang memuaskan.
Untuk kesekian kalinya, pihak DPRD Sidoarjo berjanji mendesak pemerintah mengambilalih tanggungjawab pembayaran ganti rugi, atau memberikan pinjaman kepada PT Lapindo. (Tim Liputan/Sup)
Sumber: http://www.indosiar.com/fokus/korban-lapindo-memarahi-anggota-dprd_117316.html
-
Tak Ditemui Anggota Dewan, Korban Lumpur Lapindo Marah
Sidoarjo – Puluhan warga korban lumpur Lapindo mendatangi kantor DPRD Sidoarjo. Mereka datang atas undangan Emir Firdaus selaku ketua pansus lumpur Lapindo.
Sayangnya kedatangan mereka awalnya justru ditolak Emir. Warga tidak diperkenankan masuk. Warga pun akhirnya bergerombol di area halaman parkir dalam gedung DPRD Sidoarjo. Mereka geram dengan sikap Emir.
“Sebagai seorang anggota dewan harus bisa mengayomi, jangan hanya ada perlunya saja,” teriak Nanik, salah seorang warga korban lumpur lapindo, Senin (28/4/2014).
Nanik mengatakan, warga oleh pihak kelurahan disuruh datang ke gedung DPRD Sidoarjo. Yang mengundang adalah Emir Firdaus. Namun Emir sendiri selaku pengundang justru tak ingin ditemui.
“Ayo Emir cepat keluar, jangan hanya duduk dan sembunyi di balik jabatanmu sebagai anggota dewan,” tambah dia.
Warga terus menghujat Emir. Mereka terus berteriak-teriak sehingga membuat gaduh gedung anggota dewa tersebut. Kemarahan warga yang terus memuncak dan makin memanas itu akhirnya membuat mereka diperbolehkan masuk. Mereka diizinkan masuk di ruang rapat DPRD.
Warga akhirnya ditemui oleh Emir. Suasana masih memanas saat dilakukan hearing atau pertemuan antara warga korban lumpur lapindo dengan Emir. Warga ingin mengetahui maksud kenapa mereka dipanggil dan dikumpulkan di DPRD Sidoarjo.
“Apa maksud dan tujuan kami untuk dikumpulkan,” kata Khosim salah satu warga korban lapindo lainnya.
“Kami juga ingin mempertanyakan kenapa pembayaran belum dilunasi. BPLS masih terus bekerja melakukan penanggulan. Itu harus dihentikan,” tambah dia.
Hingga pukul 13.00 WIB, suasana hearing di ruang rapat masih membahas mengenai pembayaraan pelunasan ganti rugi korban lumpur Lapindo, terutama membahas mengenai putusan MK. Ternyata masih banyak warga yang tidak memahami mengenai keputusan MK tersebut.
-
Rakyat Menggugat Lapindo (Negara)
Tanggal 26 Maret 2014 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan maklumat hukum baru yang memerintahkan negara untuk turun tangan mengatasi korban lumpur Lapindo, pembayaran ganti rugi belum juga selesai hingga 8 tahun berjalan.
-
Korupsi Lahan Lapindo: Mantan Kades M. Siroj Diancam 20 Tahun Penjara
LENSAINDONESIA.COM: Mantan Kepala Desa Besuki, M. Siroj akhirnya didudukan di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Surabaya, sebagai terdakwa dugaan korupsi jual beli lahan terdampak Lumpur Lapindo.
Tak tanggung-tanggung dalam perkara ini, M Siroj diancam oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Sidoarjo dengan hukuman 20 tahun penjara.
Berdasarkan nota dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Irwan setiawan, kasus yang menjerat terdakwa bermula saat pemerintah melakukan proses ganti rugi lahan terdampak milik ratusan kepala keluarga di Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo pada 2010 lalu.
Saat itu, Siroj masih menjabat Kades dan terbukti melakukan penyelewengan dana yang diperuntukkan bagi warga. Ia didakwa menggelapkan dana hingga 30 persen, dari total yang digelontorkan pemerintah untuk para warga yang masuk dalam peta terdampak.
“Perbuatan terdakwa sebagaimana dalam dakwaan dan audit yang dilakukan merugikan keuangan negara hingga Rp 603 juta,” ujar Irwan (20/2/2014).
Modus yang dilakuan Siroj, memanipulasi luas lahan milik warga yang hendak dibeli BPLS. Salah satunya sawah milik warga seluas 2.435 meter, disebutkan seluas 1.334 meter persegi. Padahal saat itu, BPLS mematok Rp 1 juta per meter persegi.
“Padahal sesuai data yang terdapat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), luas lahan milik warga mencapai 2.435 meter persegi. Dengan demikian terdakwa terbukti melakukan penggelapan disertai penipuan,” tegasnya.
Atas perbuatan itu, JPU menjerat pasal berlapis kepada terdakwa. Yakni pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak pidana korupsi dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.
Terkait penangguhan penahanan dari tahanan kejaksaan ke tahanan kota, sebagaimana diajukan penasihat hukum terdakwa, majelis hakim yang diketuai Sri Herawati menjelaskan akan mempelajari dulu berkasnya.
“Kami terima surat permohonannya, tapi akan dipertimbangkan dulu,” jelasnya.
Siroj dilaporkan warganya pada awal 2012 lalu, kerena dicurigai telah memainkan dana dari BPLS. Setelah dilaporkan ke Polres Sidoarjo, ia ditetapkan sebagai tersangka September 2012.@ian
-
Tercemar Lumpur Lapindo, Lionmesh (LMSH) Stop Pabrik di Sidoarjo
Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan baja PT Lionmesh Prima Tbk. (LMSH) resmi memberhentikan seluruh kegiatan pabrik di Sidoarjo, Jawa Timur, per 2 Januari 2014, karena terkena dampak lumpur panas PT Lapindo Brantas sejak 2007 lalu.
Direktur Utama Lionmesh Lawer Supendi menuturkan pabrik perseroan di Sidoarjo itu diambil alih pemerintah dan telah dibayar lunas sehingga perseroan mencari lokasi yang cocok untuk operasional pabrik yang baru.
“Seluruh kegiatan pabrik kami di Sidoarjo diberhentikan untuk sementara waktu sampai kami mendapatkan lokasi yang cocok,” ujarnya dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (3/1/2014).
Adapun operasi kegiatan lainnya dialihkan ke Kompleks Pergudangan West Gate Blok B51 Sidoarjo, Jawa Timur.
Dengan adanya pemberhentian sementara kegiatan pabrik itu, Lionmesh memastikan tidak ada karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Selain itu, kegiatan operasional lainnya tetap berjalan seperti sedia kala.
Berdasarkan Peraturan Presiden No 68/2011 tanggal 27 September 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden No 14/2007, Kel Siring Barat, Porong, Sidoarjo ditetapkan sebagai daerah bencana.
Sebagai tindak lanjut dari akta perjanjian pengikatan jual-beli, Lionmesh telah menandatangani perjanjian jual-beli tertanggal 15 Agustus 2012 atas tanah milik perseroan di kawasan tersebut.
Pembayaran pertama sebesar Rp 3,95 miliar diterima pada 29 Desember 2011 dan pelunasannya dilakukan 31 Agustus 2012 sebesar Rp 29,5 miliar.
-
Warga Korban Lumpur Lapindo Gelar Istighosah, Berharap Ganti Rugi Dibayar
Sidoarjo – Ratusan warga korban lumpur Lapindo di dalam peta terdampak menggelar doa bersama. Istighosah itu dilakukan di atas tanggul tepatnya di titik 42. Meski panas menyengat, tetapi mereka tetap khusyuk melakukannya.
“Kami berdoa agar perjuangan rekan kami di Mahkamah Konstitusi (MK) berhasil,” kata Salamun, salah satu warga kepada detikcom, Kamis (28/11/2013).
Salamu mengatakan jika 4 warga korban lumpur Lapindo di dalam peta terdampak telah berangkat ke Jakarta. Mereka adalah Wiwik, warga Desa Siring; Subakri, warga Desa Reno Kenongo; Suwito, warga Desa Reno Kenongo; dan Warno, warga Jatirejo.
“Semoga perjuangan kami di sidang nanti membawa hasil,” lanjut Salamu.
Warga berharap hasil sidang di MK nanti berhasil dengan digolkannya keputusan untuk membayar sisa pembayaran ganti rugi menggunakan dana APBN. “Kami berharap masalah ini diambil pemerintah dengan membayar kami menggunakan APBN. Kami sudah tak percaya lagi dengan Minarak Lapindo Jaya (MLJ),” ujar Salamu.
Alasan Salamu memang masuk akal karena MLJ tak juga melunasi sisa pembayaran ganti rugi. 7 Tahun adalah waktu yang tidak pendek bagi warga korban lumpur Lapindo untuk menunggu.
“Ganti rugi saya sekitar Rp 1 miliar. Tetapi saya masih diberi Rp 600 juta. Sampai kapan saya menunggu untuk hak saya. Kami berharap sidang di MK berjalan lancar dan hasilnya menggembirakan untuk korban lumpur Lapindo,” pungkas Salamu. (iwd)
-
Pengusaha Korban Lumpur Lapindo Masuk Daftar Hitam Perbankan
Massa dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berunjuk rasa di depan Istana Negara menuntut penyelesaian kasus lumpur Lapindo, Jakarta, Senin (29/4/2013). Menjelang 7 tahun musibah lumpur Lapindo Jatam menilai anak-anak korban lumpur Lapindo terancam masa depannya karena tersendatnya penyelesaian maslah tersebut. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Gabungan Pengusaha di Sidoarjo Jawa Timur yang menjadi Korban lumpur PT Lapindo Brantas Inc mengaku kesulitan dalam berusaha karena mereka masuk dalam daftar hitam (black list) perbankan.
“Seluruh pengusaha korban lumpur Lapindo di-‘blacklist’ perbankan. Kami tidak lagi dipercaya untuk mengajukan pinjaman,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GBKLL), SH Ritonga, saat menjadi saksi uji materi Undang-Undang APBN di MK, Jakarta, Kamis (28/11/2013).
Ritonga menuturkan, pihaknya sangat kesulitan untuk berusaha karena sisa ganti rugi belum dilunasi PT Lapindo Brantas Inc. Untuk itu, mereka meminta pemerintah ikut memikirkan kesusahan para pengusaha tersebut.
“Kami menginginkan, sebagai pengusaha yang menampung tenaga kerja dan turut menjadi tonggak perekonomian di Sidoarjo, dipikirkan juga oleh pemerintah,” kata dia.
GBKLL menurut kini beranggotakan 26 perusahaan dari berbagai macam jenis usaha dan memiliki 15 ribu pegawai.
Ritonga sendiri tidak menyebutkan total ganti rugi yang belum dibayarkan PT Lapindo. Dia hanya mengaku telah menerima ganti rugi sebesar 30 persen atau berjumlah Rp7,5 miliar.
Sebanyak Rp 4 miliar, kata Ritonga, dihabiskan untuk membayar gaji dan pesangon pegawainya.
Sekedar informasi, Mahkamah kembali melanjutkan uji materi Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang APBN.
Uji materi UU APBN diajukan oleh para pemohon yang merupakan warga dan pengusaha korban lumpur lapindo, yang termasuk di dalam wilayah Peta Area Terdampak (PAT). Menurut pemohon, UU APBN menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengganti kerugian korban yang berada di luar wilayah PAT, sedangkan bagi korban di dalam wilayah PAT ditanggung kerugiannya oleh PT Lapindo Brantas.
Pemohon uji materi tersebut adalah warga dan pengusaha korban lumpur lapindo, yang termasuk di dalam wilayah Peta Area Terdampak (PAT).
Menurut pemohon, Undang-Undang APBN menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengganti kerugian korban yang berada di luar wilayah PAT, sedangkan bagi korban di dalam wilayah PAT ditanggung kerugiannya oleh PT Lapindo.
Penulis: Eri Komar Sinaga; Editor: Johnson Simanjuntak
-
SBY dan Menteri PU Dituding Bohongi Korban Lumpur Lapindo
Dalam aksinya mereka menuntut Presiden SBY segera menginstruksikan kepada Menteri Pekerjaan Umum (PU), Djoko Kirmanto, untuk menyelesaikan pembayaran ganti rugi kepada lima warga di luar area terdampak semburan lumpur panas Sidoarjo.
“Pembayaran ganti rugi itu harus sesuai Perpres No. 48 tahun 2008, Keputusan PN Sidoarjo No 125-129/PDT.P/2010/PN.Sidoarjo dan Keputusan PN Jakarta Pusat dengan Nomor 246-250/PDP.G/2012/P.N.JKT.PST,” kata Thoyib, koordinator Forum Korban Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (FK-BPLS).
Menurut Thoyib, pada mulanya warga korban lumpur diperas oleh oknum pejabat BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dan Pemda Sidoarjo. Akhirnya, pada tahun 2009, warga yang menolak memberi sejumlah uang kepada pejabat BPLS, Pemda, BPN diancam bahwa status tanahnya ditetapkan sebagai tanah sawah/basah.
Ancaman itu benar-benar-benar terjadi. Ada 5 warga yang mempunyai 7 bidang tanah di desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, yang tanahnya ditetapkan sebagai tanah basah.
Padahal, menurut Thoyib, objek tanah yang dimiliki oleh kelima warga tersebut adalah tanah darat/kering. Hal itu juga sesuai dengan peta BPLS, yaitu peta di luar area terdampak, yang merupakan tanah darat. Selain itu, warga juga mengantongi bukti lain sepertid PBB dan sertifikat kepemilikan tanah.
Untuk diketahui, berdasarkan Peraturan Presiden No.48 Tahun 2008 dan SK Kepala BPLS No.43/KPTS/BPLS/2008 tentang besaran bantuan sosial kemasyarakatan dengan harga tanah dan bangunan disebutkan bahwa tanah darat 1.000.000/m2, tanah basah 120.000/m2dan bangunan 1.500.000/m2.
Atas dasar itulah warga kemudian menempuh jalur hukum. Pada tahun 2011, Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo menetapkan status tanah tersebut sebagai tanah kering melalui putusan Nomor 125-129/PDT.P/2010/PN.Sidoarjo. Namun, pihak BPLS mengabaikan putusan pengadilan tersebut.
Tetapi perjuangan warga tidak berhenti. Mereka lalu menggugat Presiden dan Menteri PU sebagai Dewan Pengarah BPLS, juga BPLS sebagai pelaksana lapangan, ke pengadilan negeri Jakarta Pusat. Akhirnya, PN Jakpus mengeluarkan putusan Nomor 246-250/PDP.G/2012/P.N.JKT.PST bahwa Menteri Pekerjaan Umum dan BPLS telah melanggar hukum dengan tidak membayar kewajiban penyelesaian pemenuhan hak korban lumpur melalui skema jual-beli tanah darat sesuai SK Kepala BPLS No.43/KPTS/BPLS/2008.
Tak hanya itu, pada tanggal 31 Mei 2013, KPA bersama dengan FK-BPLS sempat menggelar aksi di depan kantor Kementerian PU. Saat itu Menteri PU Djoko Kirmanto berjanji menyelesaikan kasus tersebut.
“Djoko Kirmanto berjanji akan menginstruksikan BPLS untuk segera membayar ganti rugi sesuai ketentuan. Tak hanya itu, ia berjanji tidak akan naik banding atas putusan PN Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan korban lumpur,” ujar Thoyib.
Dalam perkembangannya, Menteri PU mengingkari janjinya. Selain tidak menyelesaian pembayaran ganti rugi sesuai ketentuan, Menteri PU juga melakukan langkah banding terhadap keputusan PN Jakpus.
“Ini menunjukan tidak adanya itikad baik pemerintah dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum dan BPLS menyelesaikan kewajibannya memenuhi hak-hak korban lumpur sidoarjo. Jangan sampai BPLS mempraktekan bisnis kemanusiaan di atas penderitaan korban lumpur Sidoarjo dengan melakukan korupsi,” tegas Thoyib.
Mahesa Danu
Sumber: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131119/sby-dan-menteri-pu-dituding-bohongi-korban-lumpur.html