Tag: kali porong

  • BPLS Buat Tanggul Porong yang Baru

    BPLS Buat Tanggul Porong yang Baru

    Sidoarjo, beritasatu.com – Ancaman melubernya lumpur panas Lapindo akibat hujan deras yang setiap hari mengguyur wilayah Porong dan sekitarnya di Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur (Jatim), membuat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) harus bekerja keras mengalirkan lumpur ke Kali Porong.

    Elevasi lumpur bercampur air hujan di sebelah barat atau yang berdekatan dengan rel kereta api (KA) dan Jalan Raya Porong yang hanya berjarak 60 cm dari bibir tanggul kolam yang menjulang hingga ketinggian 12 meter, sudah terancam meluber.

    “Lumpur itu harus kita aduk, kita encerkan sehingga bisa kita alirkan ke Sungai Kali Porong. Kita sudah terjunkan empat unit kapal keruk bekerja di tengah dan dua kapal keruk bekerja di timur dan tiap hari terus melaksanakan aktivitasnya,” ujar Humas BPLS Sidoarjo, Dwinanto Prasetyo, yang dikonfirmasi, Kamis (19/2).

    Guna meminimalisasi volume lumpur hingga mencapai bibir tanggul yang tingginya 12 meter dan meluber ke rel dan Jalan Raya Porong, BPLS sudah mengoperasionalkan enam kapal keruk, ujarnya lagi.

    BPLS, menurut dia, juga membuat alur atau aliran air di sebelah barat dan tengah agar air dan lumpur yang disemburkan dari sumur utama, bisa langsung menuju ke arah selatan. Tanggul di titik 73B itu disebutkan, kini dibiarkan dan BPLS membangun tanggul baru mulai titik 67 hingga titik 73. Pembangunan tanggul baru itu diperkirakan pekan depan sudah selesai dengan ketinggian 12 meter lebih.

    BPLS tetap mengutamakan pengamanan tanggul di sebelah barat yang berbatasan langsung dengan rel KA tujuan Surabaya-Banyuwangi, Surabaya-Malang, serta Jalan Raya Porong. Karena kedua jalur tersebut merupakan jalur vital yang harus diselamatkan agar perekonomian Jatim tetap berjalan sebagaimana mestinya.

    Sementara itu, Gubernur Jatim Soekarwo sehari sebelumnya mengemukakan, bahwa pasca pembayaran ganti rugi korban semburan lumpur panas Lapindo cukup lama terkatung-katung, diperkirakan sebelum akhir 2015, akan selesai.

    Jaminan tersebut, kata Pakde Karwo, panggilan akrab Soekarwo, diberikan karena uang untuk membayar sisa ganti rugi sebesar Rp 781 miliar yang menjadi tanggungan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar PT Lapindo Brantas Inc., bangkrut dan terpaksa harus ditutupi pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015.

    Aries Sudiono

    Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/250666-bpls-buat-tanggul-porong-yang-baru.html

  • BPLS: Lumpur Lapindo Rawan Luber

    BPLS: Lumpur Lapindo Rawan Luber

    Metrotvnews.com, Sidoarjo: Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mencatat volume lumpur di dalam kolam penampungan sangat rawan meluber. Pihaknya menyiapkan empat kapal keruk untuk mengalirkan lumpur dari dalam kolam penampungan ke Kali Porong. (more…)

  • Pulau Dem: Potret Kelam Pembuangan Lumpur Lapindo ke Kali Porong

    Pulau Dem, gundukan yang membentuk pulau seluas lebih dari 900 hektar di muara Kali Porong, merupakan lahan tambak produktif yang mampu memberi hidup bagi para warga. Ada 88 laban (pintu air tambak) jumlah lahan garapan di tempat itu. Area ini, menurut pihak desa, sejak 1980an mulai digunakan sebagai lahan tambak. Menurut beberapa warga lainnya, bahkan akhir tahun 1960an, atau setelah peristiwa pembantaian ’65, warga telah mulai memakai Pulau Dem sebagai lahan tambak.

    Riwayat mana pun yang benar tak mengurangi kenyataan bahwa para pionir ini pasti pekerja keras, karena bukan perkara mudah menuju daerah ini. Lokasinya ada di tengah-tengah muara Kali Porong. Area ini juga cukup jauh dengan jalanan yang tidak bersahabat. Di musim hujan, kita harus menyeberangi Kali Porong untuk mencapai Pulau Dem.

    Haji Machfud (52 tahun) adalah bagian dari para pekerja keras itu. Dengan luas tambak seluas 7,5 hektar, bapak tiga putra ini berharap bisa mencukupi kebutuhan hidupnya melalui tambak itu. Warga Dusun Pandansari RT 16 / RW 5, Desa Kedung Pandan, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, ini merasa bahwa penghasilannya yang didapat dari usaha tambak ini mencukupi. “Setidaknya 60 hingga 70 juta per panen saya dulu biasa dapatnya,” tuturnya. Dengan setahun bisa mendapat dua kali panen saja, Haji Machfud bisa menghidupi keluarganya.

    Namun, semua itu cerita masa lalu. Semenjak Pemerintah memutuskan membuang lumpur ke laut melalui Kali Porong, pelan-pelan sumber nafkah Haji Machfud menyusut. Puncaknya adalah ketika ombak besar pasang di muara laut menghajar tanggul-tanggul penghalang tambak dan menghancurkan panenan ikannya serta merusak tambaknya. “Rusak semua tambak di sana. Mungkin hanya ada tiga tambak yang luput dan masih bisa dikerjakan,” terangnya. Semua bencana itu, tutur Haji Machfud, adalah akibat pendangkalan muara karena lumpur Lapindo yang digelontorkan melalui Kali Porong.

    “Dulu arus pasang dari laut bisa mengalir lancar, bahkan sampai ke wilayah Porong sana. Tapi karena sekarang di sini (area muara) jadi dangkal, air pasang tidak bisa mengalir lewat Kali Porong, dan masuk ke tambak-tambak (di Pulau Dem),” tutur Haji Machfud.

    Sekarang tambak-tambak itu tak berbentuk lagi. Semua galengan pembatas dan laban telah hancur diterjang air pasang. Sejauh yang bisa dilihat, lahan itu menjadi perluasan laut yang menjorok masuk ke dalam pulau itu. Tidak ada pembatas apapun. Hanya air di mana-mana. Sebuah kehancuran yang jelas memukul para pekerja seperti Haji Machfud. Untuk memperbaiki tambak lagi, setidaknya harus disiapkan dana sekurang-kurangnya 50 juta. Itu pun tanpa jaminan bahwa air pasang tidak menghancurkan lagi tambak mereka. “Kawan saya sudah keluar 40 juta memperbaiki tambak. Sudah pakai bego (eskavator). Tapi juga belum selesai juga,” tambah H. Machfud.

    Jika para pemilik tambak merasa susah dengan rusaknya area tambak di daerah Pulau Dem maka para pekerja tak kalah susahnya. Jumingan (36 tahun), warga Desa Kedung Pandan, mengaku hanya menguasai cara memelihara tambak, lainnya tidak. Sehingga, ketika tambak tidak lagi bisa dikerjakan, Jumingan hanya bisa pasrah. Untuk mengatasi kebutuhan, dia mencari ikan, udang, atau kepiting yang masih bisa dicari di bekas tambak-tambak yang sudah berantakan itu.

    “Susah sekarang kerja tambak di sini,” keluh Jumingan sambil membenahi alat pancingnya dan melemparnya kembali. Dari ujung telunjuknya dia memperlihatkan betapa masifnya kerusakan yang diakibatkan oleh pendangkalan Kali Porong tersebut. “Dari ujung ke ujung, tidak ada yang tersisa. Semua sudah rusak, bahkan sekarang laban-laban sudah hilang. Mau kerja di tambak, apa yang harus dikerjakan?” tanyanya penuh kekesalan.

    Jumingan juga menuding bahwa lumpur Lapindo lah yang membuat semua jadi begini. “Dulu tidak pernah begini, air pasang besar juga tidak sampai merusak tambak. Tapi karena sungainya dangkal, air dari laut jadi masuk dan merusak tambak,” jelasnya lebih lanjut.

    Pihak Desa Kedungpandan, sebagai induk administrasi daerah Pulau Dem, bukannya tanpa usaha. Kepala Desa Kedung Pandan, Suparman, menyatakan telah membawa permasalahan ini kepada BPLS dan Pemerintah Kabupaten. Dua-duanya memberi jawaban seragam: akan diusahakan untuk mengurangi pendangkalan dan memperbaiki tanggul penahan di daerah tambak di daerah muara. Namun, hingga air pasang telah membunuh nafkah banyak orang di daerah itu, aksi nyata pihak-pihak terkait ini jauh panggang daripada api. Tidak sampai satu bulan usaha pengerukan dan pembuatan penahan air pasang, proyek tersebut tidak lagi berjalan. “Alasannya tidak ada material untuk membuat tanggul penahannya,” tutur Suparman.

    Haji Machfud juga merasa jengkel dengan lambannya perhatian pemerintah terhadap masalah mereka. “Kita (pemilik tambak) bahkan sampai harus membayar masing-masing 1 juta agar usaha perbaikan dan pengurangan pendangkalan dilakukan. Tapi tidak ada yang selesai,” katanya. Kepala Desa Kedung Pandan mengatakan bahwa uang 1 juta itu untuk ongkos pembelian solar alat-alat berat yang mengerjakan usaha pembenahan pendangkalan di muara itu. Oh, bahkan untuk sebuah tanggungjawab karena telah menyebabkan pendangkalan dan kerusakan didaerah muara, usaha pembenahannya harus memberatkan masyarakat yang telah menjadi korban kebijakan pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong itu.

    Dalam ketidakjelasan siapa yang harusnya bertanggungjawab membereskan masalah di muara Kali Porong, Kepala Desa Kedung Pandan berharap agar masalah ini bisa diselesaikan dan muara Kali Porong bisa normal kembali. Ini bisa memberi kesempatan usaha untuk para petani tambak yang telah berjuang keras. “Memang baiknya lumpur tidak dibuang melalui Kali Porong, tapi sepertinya itu susah. Semoga bisa cepat diselesaikan masalah ini,” tambah Suparman.

    Sebagai korban, Haji Machfud juga bingung harus menuntut kepada siapa. “Siapa yang harus bertanggung jawab di sini? Kami ini dirugikan, mengapa tidak ada perhatian?”

    Silang sengkarut kasus ini memang menumbuhkan begitu banyak keanehan, sampai sekarang belum jelas siapa yang akan mengambil langkah perbaikan di kawasan muara Kali Porong ini. Sementara para pemilik dan pekerja tidak tahu lagi mesti ke mana meminta pertanggungjawaban dari sebuah kebijakan yang membuat mereka harus kehilangan mata pencaharian dan masa depan hidupnya.

    Ah, ya, Pak Menkokesra mungkin bisa menjawab, karena menurutnya pembuangan lumpur kelaut tidak bermasalah.[re]

  • Normalisasi Sungai, BPLS Diberi Waktu Dua Minggu

    Kamis, 9 Oktober 2008

    SIDOARJO, KOMPAS – Bupati Sidoarjo Win Hendrarso memberi batas waktu dua minggu kepada Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS Jawa Timur untuk merampungkan normalisasi Sungai Porong. Bupati mengusulkan pembuatan celah di tengah-tengah endapan sungai dan penambahan mesin pengeruk lumpur Lapindo di Sungai Porong.

    Win menjelaskan, endapan lumpur Lapindo di Sungai Porong semakin parah dan sangat mengkhawatirkan. Apalagi, sekarang sudah mendekati musim hujan. Beberapa titik tanggul sungai bukan mustahil jebol karena tidak mampu menampung aliran air Sungai Porong yang tidak lancar akibat endapan lumpur.

    ”Saya berharap BPLS dapat segera merampungkan normalisasi Sungai Porong itu. Jika tidak, dikhawatirkan terjadi luapan air sungai di musim hujan nanti,” kata Win, Rabu (8/10) di Sidoarjo, Jatim.

    Win juga mengimbau agar mesin pengeruk lumpur di Sungai Porong ditambah. Lima mesin pengeruk yang beroperasi saat ini masih kurang seiring dengan semakin dekatnya musim hujan. ”BPLS sepatutnya menambah jumlah mesin pengeruk lumpur menjadi 12 unit,” ujarnya.

    Senin lalu Win meninjau endapan lumpur Lapindo Brantas di Sungai Porong yang berada di Desa Bulang, Kecamatan Prambon, Sidoarjo. Lokasi tersebut dinilai paling rawan saat musim hujan nanti. Tahun lalu, selisih permukaan air sungai dengan tanggul sekitar 15 sentimeter. Tahun ini, diprediksi terjadi luapan air sungai saat musim hujan dan hal itu bakal merendam ratusan hektar sawah di desa tersebut.

    Masih berlanjut

    Tentang pembuangan lumpur Lapindo ke Sungai Porong, hingga kemarin hal itu masih berlanjut. Dalam waktu dekat bahkan akan ada penambahan pipa pembuangan lumpur ke sungai itu. Rencananya, pipa tersebut dipasang dari titik tanggul nomor 42 menuju Sungai Porong melewati Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    Menurut anggota staf Humas BPLS, Akhmad Kusairi, selain ada penambahan pipa pembuangan lumpur, akan ada penambahan tujuh mesin pemompa lumpur sehingga total mesin jadi 19 unit.

    Pipa yang dipasang, katanya, berdiameter 60 sentimeter dengan debit 0,6 meter kubik lumpur per detik. ”Penambahan pipa pembuangan lumpur ini bertujuan mengurangi debit pembuangan lumpur ke kolam penampungan lumpur yang saat ini nyaris penuh. Selain itu, untuk mencegah timbulnya wilayah terdampak baru sebagai akibat jebolnya tanggul jika tak mampu menampung lumpur,” kata Kusairi.

    Masih terkait lumpur Lapindo, kemarin 211 keluarga pengungsi korban lumpur di Dusun Besuk, Desa Besuki, tepatnya di sisi barat Jalan Tol Porong-Gempol, berbenah untuk pindah. Pasalnya, tempat pengungsian yang selama ini mereka tempati akan dilalui pipa pembuangan lumpur menuju Sungai Porong. (APO)

  • Bupati Tuntut BPLS Segera Cairkan Lumpur Kali Porong

    Sidoarjo (ANTARA News) – Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, memberi batas akhir (deadline) dua pekan ke depan kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menormalkan Kali Porong, Sidoarjo.

    “Kami sudah bertemu BPLS dan pihak yang menangani Kali Porong. Intinya, saya minta dalam dua minggu ini endapan lumpur di Kali Porong sudah mencair,” kata Bupati Sidoarjo kepada pers di Sidoarjo, Rabu (8/10).

    Win Hendrarso juga menunjukkan Surat Keputusan Bupati bernomor: 630/404.3.18/2008 perihal Tanggul Kali Porong yang ditekennya pada hari Selasa (7/10).

    Berdasarkan prediksi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Juanda, kata dia, Sidoarjo dan sekitarnya, dua pekan lagi akan turun hujan.

    Oleh karena itu, bupati berharap saat musim hujan tiba, endapan lumpur yang mengering di Kali Porong itu terbawa air ke laut.

    Ia mengkhawatirkan, bila endapan lumpur sepanjang kurang lebih 12 km itu tidak segera ditanggulangi, bakal menghambat aliran air pada musim hujan sehingga menyebabkan banjir.

    “Kondisi lumpur seperti itu sangat mengkhawatirkan, apalagi sekarang lumpurnya sudah mengeras,” kata Win Hendrarso yang beberapa hari lalu inspeksi mendadak (sidak) di lokasi endapan lumpur Kali Porong.

    Dalam pertemuan dengan BPLS dan Jasa Tirta di Pendapa Delta Wibawa Pemkab Sidoarjo, Selasa (7/10), juga dijelaskan langkah-langkah untuk mempercepat normalisasi.

    Pada kesempatan itu, BPLS mengaku sanggup menambah sedikitnya enam ekskaponton untuk mempercepat pengerukan endapan lumpur di Kali Porong.

    BPLS juga akan membuat saluran air di tengah permukaan Kali Porong yang tertutup lumpur. Begitu hujan turun, arus air dari barat akan mengalir dan bisa menggerus lumpur.

    Saat ini saluran air dibuat di sisi selatan Kali Porong sehingga menuai protes dari warga di selatan Kali Porong. Masalahnya, air tidak bisa mengalir, karena di tengah permukaan sungai tertutup lumpur. Bahkan, dikhawatirkan tanggul akan terkikis.

    Selain mendesak mempercepat normalisasi Kali Porong, Win Hendrarso juga minta BPLS segera membuat tanggul penampungan lumpur di Desa Renokenongo dan Glagaharum.

    Menurut dia, keberadaan kolam lumpur itu sangat mendesak karena berfungsi untuk menampung lumpur yang dialirkan ke sisi utara dan timur pusat semburan. Apalagi ketika pembuangan lumpur ke Kali Porong dihentikan seperti saat ini.

    Dengan adanya penambahan kolam lumpur baru, dia yakin kolam lumpur yang ada tidak akan jebol. “Saya sudah memerintahkan Camat Porong agar warga Glagaharum yang belum menerima pembayaran 20 persen mengizinkan tanah dan bangunannya digunakan untuk tanggul,” kata Win Hendrarso.

    Ia menjamin berkas-berkas warga Glagaharum yang belum menerima pembayaran 20 persen akan segera dibayar oleh Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan Lapindo Brantas Inc.

    Disebutkan pula, dari 403 bidang tanah dan bangunan milik warga Glagaharum, tinggal 116 bidang yang belum menerima pembayaran 20 persen.

    “Saya menjamin itu akan segera dibayar. Untuk itu saya minta warga memperbolehkan tanah dan bangunannya untuk dibuat tanggul,” katanya menandaskan.(*)

    © Antara

  • Tanggul Lumpur Ring Reno-Glagaharum Dibangun

    Sidoarjo, (ANTARA News) – Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mulai Senin (6/10) akan membangun tanggul ring luar penahan luapan lumpur Lapindo Brantas Inc. di area perbatasan Renokenongo-Glagaharum, Porong Sidoarjo.

    Staf Humas BPLS Ahmad Kusairi di Sidoarjo, Minggu mengatakan, pembangunan tanggul ring itu sekaligus penahan pond (kolam penampungan lumpur) yang akan dijadikan cadangan tempat pembuangan lumpur saat menormalisasi Kali Porong yang akan juga mulai dikerjakan pasca Lebaran ini.

    “Ketika normalisasi Kali Porong dikerjakan, pembuangan lumpur akan dilakukan ke pond-pond, termasuk pond Renokenongo yang dikuatkan dengan tanggul sisi luar yang sedang akan kami kerjakan pasca lebaran ini. Kalau tanggul luar bisa terealisasi, pembuangan lumpur ke pond akan aman,” katanya.

    Menyinggung masih adanya enam rumah yang bertahan (tidak mau dibebaskan) di area itu, Kusairi mengatakan pihaknya sudah melakukan pendekatan agar mereka mencapai kesepahaman dan siap meninggalkan rumah, pasca menerima realisasi uang muka ganti rugi 20 persen.

    Ia juga mengaku BPLS sudah meminta kepada PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk segera merealisasikan pembayaran uang muka ganti rugi 20 persen kepada tiga rumah milik warga Renokenongo dan tiga rumah lainnya milik warga Glagaharum tersebut.

    “MLJ sudah berjanji akan komitmen membayar uang muka ganti rugi keenam aset itu pasca lebaran ini,” katanya menegaskan.

    Ia menambahkan bahwa dibangunnya tanggul ring luar Renokenonego-Glagaharum itu sangat penting agar lumpur tidak meluber ke kawasan di luar area peta terdampak. (*)

    © Antara

  • Institute Offers to Plug Mud Leaks

    The 10 November Institute of Technology (ITS) in Surabaya is offering a new solution to control the hot mudflows at the Lapindo Brantas Inc. mining site in Porong and a new way to manage the dumping of mudflow waste.

    The new technology was invented and developed by an ITS team of experts in cooperation with the UN Environmental Program (UNEP) and United Stated Agency for International Development (USAID).

    ITS team leader I Nyoman Sutantra said the technology was based on the Bernoulli Theory.

    It would stop the flows by rerouting the hot mudflow through a dam of pipes of 50 centimeters in diameter and 50 meters in height, each erected right on the source of the flow, he said.

    The flow, he added, would go back down the pipes to be diverted, once it reached their top end.

    “We have conducted research and a series of experiments to analyze the validity of the idea. We are confident this could deal with the mudflow,” he told The Jakarta Post on Monday.

    He said his team, in cooperation with the private sector, was ready to finance the implementation of the solution to control the mudflow that has badly affected local residents and the provincial economy.

    The new technological solution comes following a series of failures of other technologies previously proposed to stop the mudflow, including the insertion of stone balls into the holes and various methods suggested to divert the flow.

    Regarding the method that his team has proposed to deal with the mudflow, Sutantra said it was designed to prevent further destruction of the environment and possible flash flooding during the rainy season.

    The team sees the current handling by the Sidoarjo Mudflow Handling Agency (BPLS) as being not effective enough, since the mudflow is partly dumped into a giant pond and partly diverted into the Porong River.

    This, according to his team, has damaged the environment and could trigger flash flooding in the city during the rainy season.

    Since October, 2006, the volume of mudflow containing oil and gas and dumped into the river has reached 69 million cubic meters.

    This has formed a layer of sediment four meters thick on the riverbed, thus reducing its depth and causing it to overflow, producing odorous gases in the surrounding areas.

    “What we want to introduce is to divert the hot mud to the downstream wetlands, where shrimp ponds belonging to villagers are located,” Sutantra said.

    The mudflow, he said, could be rerouted through 20-kilometer pipelines to the wetlands. “Then we will no longer need to dump the hot mud to the storage pond or the river,” he added.

    The new dump site, he said, could be planted with mangroves that could absorb the salt content and toxic substances in the hot mud and the site could later be developed into farmland.

    “This will be the best alternative win-win solution and the safest way to salvage the environment and help save the Surabaya residents from a possible environmental and social disaster,” he said.

    “But this will be very costly as the development of the dump site requires the acquisition of thousands of hectares of shrimp and fish ponds belonging to local people,” he added.

    Sutantra also said that should the method be applied, the current giant pond could be developed into a residential complex and apartments to help the housing crisis in the capital city.

    Meanwhile, the BPLS deputy chairman overseeing operational affairs, Soffian Hadi, said the current disposal of hot mud into the river was an effective way of dealing with the problem.

    The sediments, he assured, would be washed out to sea by the rains in the coming rainy season.

    Indra Harsaputra, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/09/17/institute-offers-plug-mud-leaks.html

  • Pembuangan Lumpur Lapindo Ke Laut Tak Menyelesaikan Masalah

    korbanlumpur.info – Kalangan pemerhati lingkungan dan banyak pihak menolak rencana pemerintah yang berencana mengalirkan lumpur Lapindo ke laut melaui kanal buatan. Seperti dalam pertemuan dengan Ketua Tim Ad Hoc Pelanggaran HAM lumpur Lapindo, Syafrudin Ngulma Simeulue di ruang pleno Komnas HAM hari ini (17/9).

    Seperti diketahui, pemerintah berencana membuang langsung lumpur Lapindo ke laut tanpa melalui Kali Porong setelah meyakini lumpur Lapindo tak bisa dihentikan. rencananya akan dibuat kanal selebar 200 meter dengan ketinggian kanal 15 meter yang panjangnya  14,6 kilometer.

    Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Berry Nahdian Furqan mengatakan pembuangan lumpur Lapindo itu akan membuat paparan lumpur akan semakin meluas. “Selat madura itu arus lautnya bergerak,  jadi lumpur akan menyebar ke daerah yang lebih luas. Ini harus ditolak,” kata dia. Jika pemerintah masih memaksa pembuangan itu, menurutnya Pemerintah sudah bisa dikategorikan sebagai penjahat lingkungan. Karena upaya pemerintah itu akan merusak lingkungan.

    Sementara sudut pandang lain dikemukakan Mustiko Saleh. Menurut ahli pengeboran yang mantan wakil Direktur Pertamina ini langkah pemerintah itu adalah usaha yang mubazir, alias sia-sia. Sebab menurut dia lumpur lapindo itu bukan lumpur homogen, melainkan campuran air dan partikel yang digerus dari dalam bumi. “Air dan partikel itu akan pisah, jadi airnya akan mengalir dan partikelnya akan mengendap. Coba lihat Sungai Porong, endapannya itu tidak terbawa air,” ungkapnya. Ia menambahkan kalau di Kali Porong saja lumpur tidak jalan apalagi di kanal yang tidak punya air.

    Mustiko juga menjelaskan usaha pemerintah itu tidak menyelesaikan masalah, selama sumber lumpur tidak ditutup. Menurutnya ada tiga alternatif yang bisa untuk menutup lumpur yaitu penyuntikan lumpur berat, mengeluarkan air dan meledakkan lapisan tanah. “Berdasarkan pengalaman saya dan temen-teman di Drilling Engineer Club, semburan seperti ini bisa ditutup,” ujar dia. Ia juga menyesalkan pernyataan pemerintah yang mengatakan lumpur Lapindo sudah tak dapat diatasi. [navy]

  • Normalkan Kembali Kali Porong

    korbanlumpur.info  – Kerusakan berat yang terjadi di Kali Porong akibat pembuangan lumpur Lapindo, mengakibatkan kekhawatiran warga Jabon. Hari rabu (10/08) sekitar 60-an warga yang berasal dari desa-desa yang terletak di sepanjang selatan sisi Kali Porong mengadakan aksi demonstrasi untuk menuntut penghentian pembuangan lumpur ke Kali Porong sebelum normalisasi dijalankan. Mereka beranggapan Lapindo dan BPLS tidak peka dengan warga yang ada di sekitar Kali Porong.

    Dengan terus menerus menggelontorkan lumpur ke Kali Porong tanpa diimbangi usaha normalisasi yang maksimal, maka bencana bagi mereka tinggal menunggu waktu. Sekarang yang terlihat bekerja hanya tiga eskavator yang mengaduk-aduk lumpur, jelas tidak seimbang dengan banyaknya lumpur yang terus mengendap di Kali Porong.

    Sudirman Al Rosyad, Kepala Desa Semambung menyatakan bahwa pembuangan ke Kali Porong harus dievaluasi kembali. “Kami tidak ingin peristiwa banjir yang terjadi dulu di Kali Sogo akibat pembuangan lumpur terulang lagi” katanya. Peristiwa melubernya air ke desa-desa disepanjang sungai akibat tidak bisa lancarnya aliran sungai menurutnya karena kinerja Lapindo dan BPLS tidak maksimal menangani kerusakan Kali Porong. “Kalau ini terus dibiarkan, kurang dari satu bulan desa kami juga akan mengalami banjir” sambungnya.

    Aksi yang dimulai sekitar pukul sembilan pagi ini, kemudian ditambah dengan kedatangan massa dari desa Besuki, dan desa Keboguyang. Kedatangan massa ini karena mereka merasa juga akan mengalami dampak akibat pembuangan lumpur ke Kali Porong.

    Setelah sekitar dua jam berdemonstrasi, proses negosiasi mereka sampai pada kesimpulan bahwa mereka harus menemui Bupati Sidoarjo, akhirnya dengan tertib massa membubarkan diri, dan menyatakan akan segera mendatangi Bupati untuk menuntut hal yang sama. “Lapindo dan BPLS harus mengembalikan fungsi Kali Porong” tegas Sudirman lagi. [re]

  • Lumpur Cemari Saluran Irigasi

    Lumpur Cemari Saluran Irigasi

    korbanlumpur.info – Selama ini tidak banyak yang diketahui oleh masyarakat luas, bahwa pembuangan lumpur ke Kali Porong bermasalah dan tidak sesukses seperti apa yang direncanakan oleh pihak Lapindo Brantas Inc dan BPLS.

    Permasalahan muncul saat saluran irigasi Sungai Brantas yang berasal dari Mojokerto untuk pengairan sawah warga tercemar oleh luberan lumpur dari Kali Porong.

    Luberan ini muncul karena gorong-gorong I yang ada di Desa Pejarakan mengalami kerusakan, kemungkinan kerusakan ini disebabkan oleh endapan lumpur di Kali Porong yang kondisinya sudah cukup mengkhawatirkan. Endapan lumpur di Kali Porong menyebabkan aliran sungai terganggu. Yang kemudian membuat alirannya mandeg.

    Hal ini membuat warga Pejarakan sengsara, karena selain masalah bocornya gorong-gorong, selama ini air sumur juga sudah tidak bisa dikonsumsi warga. Desa-desa lain juga mengalami hal yang serupa.

    Kebocoran ini diketahui oleh pihak Dinas Pengairan pada tanggal 19 Agustus 2008. Informasi yang didapatkan dari pihak Dinas Pengairan apabila ini tidak segera diatasi, maka sawah-sawah warga sepanjang aliran irigasi akan tercemar.

    Ketika ditanya mengenai tindakan BPLS atas kejadian ini, pihak Dinas Pengairan mengatakan, “wah mas, kalo nunggu responnya pihak BPLS, kebocoran ini malah nggak akan cepat diselesaikan. Ya lebih baik kita selesaikan sendiri dengan tindakan cepat”.

    Tiga hari setelah kejadian, usaha penutupan sumber kebocoran irigasi baru dapat diselesaikan. Namun usaha penutupan ini belum dapat menghilangkan kekhawatiran warga Pejarakan, karena tidak menutup kemungkinan kejadian serupa akan terjadi lagi. [cek/tang]

  • Pipa Pembuangan Lumpur Ditutup

    Jalan Raya Porong dan Rel KA Terancam

    SIDOARJO, KOMPAS – Sebanyak 10 dari 15 pipa pembuangan lumpur ke Sungai Porong ditutup sejak Rabu (20/8) pukul 22.00. Penutupan dilakukan Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS atas desakan warga. Namun, dalam hal ini berisiko mengurangi ketahanan tanggul dan lumpur bisa meluber.

    Rabu malam di Kantor Kecamatan Porong, BPLS menyosialisasikan normalisasi Sungai Porong di hadapan sejumlah warga dan 11 kepala desa di Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ke-11 desa itu dilalui aliran Sungai Porong.

    BPLS menyatakan, normalisasi Sungai Porong menunggu musim hujan agar di Dam Lengkong di Mojokerto tersedia cukup air untuk menggelontor endapan lumpur. Namun, warga menolak rencana itu karena khawatir jika endapan lumpur tidak segera diatasi Sungai Porong keburu meluap.

    Warga mendesak agar lumpur tidak dialirkan ke sungai dan pipa pembuangan ditutup. Beberapa warga mengancam akan memotong pipa pembuangan jika desakan mereka tidak dipenuhi.

    Akhirnya, melalui stasiun pompa, pembuangan lumpur ke Sungai Porong dihentikan. Pipa pembuangan yang ditutup terdiri dari empat pipa di Desa Besuki dan enam pipa di Desa Kedungcangkring. Lima pipa lain sudah tidak berfungsi karena terendam oleh endapan lumpur di sungai.

    Kepala Desa Kedungcangkring Abdul Rosyid, Kamis, mengatakan, endapan lumpur di Sungai Porong yang makin tinggi membuat warga cemas. Saat ini permukaan air Sungai Porong sudah di atas tanah permukiman dan sawah warga Desa Besuki serta Kedungcangkring akibat air tertahan endapan lumpur. Mereka khawatir pada musim hujan air sungai meluap dan merendam rumah.

    Wira’i (59), petani Desa Besuki, menyatakan, ia kini tidak bisa lagi mengolah sawah karena ada rembesan air dari sungai.

    Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, lumpur yang dialirkan ke sungai adalah 10 persen dari volume semburan lumpur. Padahal, total semburan sekitar 100.000 meter kubik per hari.

    ”Jika seluruhnya terus dibuang ke kolam penampungan, akan mengancam ketahanan tanggul yang berbatasan langsung dengan Jalan Raya Porong dan rel kereta api di sisi barat tanggul. Selain itu juga mengancam permukiman warga Kecamatan Tanggulangin di sisi utara tanggul,” katanya.

    Tebal endapan lumpur di Sungai Porong 3-5 meter dengan panjang endapan sekitar 500 meter. Saat ini BPLS berupaya mengeruk lumpur dengan mesin keruk. Selain dua alat keruk yang ada, BPLS berencana menambah dua alat keruk lagi. (APO)

    © Kompas

  • Stop Buang Lumpur ke Kali Porong

    Warga Desa Kupang Minta Pipa Pembuangan Ditutup

    SIDOARJO – Pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong dihentikan sejak kemarin. Penghentian itu dilakukan setelah Rabu malam warga Desa Kupang, Kecamatan Jabon, meminta pipa lumpur itu ditutup.

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memenuhi permintaan warga dengan mengalihkan pembuangan dari selatan ke utara.

    Menurut Kepala Desa Kupang Sudjarwo, permintaan warga dipicu kondisi kali yang semakin parah. Aliran air Kali Porong mulai terhenti dan menyebabkan permukaan hampir rata dengan tanggul. Mereka khawatir, air meluap dan terjadi banjir. ”Rumah warga bisa habis nanti,” kata Sudjarwo.

    Warga tidak yakin langkah BPLS mengerahkan ekskaponton untuk memecah endapan lumpur di Kali Prong akan efektif. Alasannya, ekskaponton tidak berguna selama pembuangan tetap dilakukan. ”Percuma jika pembuangan lumpur tidak dihentikan,” ujarnya. Atas dasar itulah, sekitar 500 warga mendatangi rumah pompa dan memaksa untuk menutupnya.

    Mulai kemarin pembuangan tidak lagi dialirkan ke Kali Porong, tetapi ke selatan. Yaitu, ke kolam lumpur Renokenongo, Kedungbendo, dan Siring. Debit lumpur yang dialirkan sekitar 100 ribu meter kubik per hari.

    Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, sementara pembuangan ke Kali Porong dihentikan. Tujuannya, demi kepentingan bersama. Dia tidak mengetahui hingga kapan penghentian itu. ”Kemungkinan hingga Kali Porong dianggap normal,” ucapnya.

    Dia juga berupaya mengerahkan ekskaponton di kali tersebut. Alat berat itu berfungsi membuat celah 10-15 meter di tengah kali. Melalui celah itu, air bisa mengalir dan menggerus lumpur yang menggendap. ”Itu langkah awal yang akan kami lakukan,” terang dia. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Kontrak Habis, Ganti Rugi Tak Segera Dilunasi

    Mendesak, Normalisasi Sungai Porong

    SIDOARJO, KOMPAS  Sekitar 100 warga Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berunjuk rasa lagi menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80 persen. Saat ini kontrak rumah mereka sudah habis. Warga yang tidak memiliki uang terpaksa mengungsi kembali ke Pasar Baru Porong.

    Unjuk rasa dilakukan seusai upacara peringatan HUT Kemerdekaan Ke-63 RI di areal tanggul lumpur Lapindo, Minggu (17/8). Upacara itu diikuti anggota Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), karyawan PT Lapindo Brantas, anggota Batalyon Zeni Tempur V Brawijaya, dan warga korban lumpur dengan inspektur upacara Mayor (Inf) Rukun Santoso.

    Selesai upacara pada pukul 08.30, warga Jatirejo lantas mengibarkan spanduk bertuliskan tuntutan pembayaran sisa ganti rugi.

    Uswanti (31), salah satu warga, berteriak sambil menangis di hadapan anggota BPLS. Ia meminta agar BPLS memperjuangkan nasib korban lumpur Lapindo yang belum juga menerima sisa ganti rugi 80 persen.

    “”Masa kontrak kami sudah habis sejak Juli lalu. Seharusnya kami sudah menerima sisa ganti rugi pada Juni 2008. Kenyataannya, hingga kini ganti rugi belum kami terima,”” ujar Uswanti.

    Mereka juga belum menerima uang perpanjangan kontrak. Akibatnya, Uswanti, suami, dan dua anaknya kembali menempati Pasar Baru Porong. Sebelumnya ia mengontrak rumah di Kelurahan Sidokare, Kecamatan Sidoarjo. ””Kami terpaksa meninggalkan rumah kontrakan karena tidak punya uang untuk memperpanjang kontrak,”” katanya.

    Warga lain, Mohamad Amrul (48), mengancam akan menduduki tanggul dan menghentikan proyek penanggulangan lumpur jika sisa pembayaran tidak segera dilunasi.

    Kepala Humas BPLS Ahmad Zulkarnain menyatakan, pihaknya terus mengupayakan penyelesaian sisa ganti rugi 80 persen kepada PT Minarak Lapindo Jaya.

    Normalisasi Sungai Porong

    Sebanyak 11 kepala desa di Kecamatan Porong beserta Camat Porong Totok Mariyanto mendesak BPLS melakukan normalisasi Sungai Porong. Penyebabnya, kondisi sungai terus mendangkal akibat pembuangan lumpur ke sungai.

    ”Akibat pembuangan lumpur ke sungai, air menjadi susah mengalir, sedangkan permukaan air terus naik. “Kami khawatir jika musim hujan tiba permukiman warga yang terletak di sekitar sungai bisa terendam luapan air sungai,”” kata Totok.

    Menjawab desakan tersebut, Zulkarnain menyatakan, BPLS akan menambah alat keruk untuk memperdalam sungai agar air mengalir lancar. 

    Adapun upaya lain, yaitu menggelontorkan air ke sungai agar lumpur hanyut tidak bisa dilakukan. ”Air untuk menggelontor sungai berasal dari dam Lengkong, Mojokerto. Padahal, pada musim kemarau ini debit air di sana menipis,” kata Zulkarnain. (APO)

    © Kompas

  • Plan to build new coast with mudflow

    INDONESIA’S Environment Minister wants to dredge a $730 million, 24 kilometre-long channel to build a new coastline in East Java with the mud from an unstoppable “volcano” that erupted from a gas drilling well two years ago.

    The announcement by Rachmat Witoelar came after the Government’s response to the disaster was condemned by its own Human Rights Commission. An inquiry described the failure to halt the mudflow and compensate victims as a gross violation of human rights.

    Conceding that authorities could not stop the devastating torrent, Mr Witoelar said yesterday that it could be channelled to the coast. There, it could be used to build a new coastline stretching at least 15 kilometres.

    In an interview with the Herald, Mr Witoelar said he would soon submit the radical proposal to cabinet. All attempts to plug the volcano had failed and “it is beyond the capacity of us to stop it”, he said.

    The Human Rights Commission’s scathing report marked yesterday’s second anniversary of the eruption near Surabaya, which has flooded seven square kilometres with toxic mud and displaced 36,000 people.

    It noted that the gas company Lapindo, owned by Indonesia’s richest man and the Minister for People’s Welfare, Aburizal Bakrie, had been protected by the state, while victims had not received promised compensation.

    Although Lapindo drilled without a required safety casing to prevent mud and gas escaping, it claims the leak was caused by an earthquake more than 600 kilometres away. Mr Bakrie said his firm would pay $300 million in relocation compensation as a benevolent gesture, but the Government has been left with costs which will run into the billions.

    A study by British and Indonesian geological experts released this week warns the disaster will worsen. The weight of the more than 1 billion barrels of mud spouting from the leak each day is likely to collapse into a huge crater, with mud drowning more villages and diverting rivers.

    The mud was now 20 metres thick and causing the area to sink, said Richard Davies, professor of geology at the University of Durham. It could drop 140 metres over the next 10 years.

    Mr Witoelar said attempts to drill relief wells and erect dams had failed. “We have tried everything to stop it; I believe it will not stop,” he said. “My ministry has made plans for a solution: to channel to the sea, for 24 kilometres. It’s big, around 200 metres wide.”

    He defended the Government’s failure to seek damages from Mr Bakrie’s company. “We are afraid we might lose,” he said. “The scientists are split. Perhaps they should be paying more, but we cannot have a judicial decision that they win – we would have to refund the $300 million they have already paid.”

    Mr Bakrie had maintained he was not liable, the Environment Minister said, but he was paying the costs of rehousing some of those affected due to a “moral responsibility”. He denied Mr Bakrie’s presence in cabinet had influenced any decisions on the mudflow.

    The Australian mining giant Santos is a minority shareholder in the Lapindo well and has agreed to pay a proportional share of compensation costs.

    Mark Forbes in Jakarta

    Sumber: Sidney Morning Herald

  • Lumpur Maut Lapindo

    Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Lapindo Brantas Inc tanggal 5 Juni 2006, Medco menyebutkan bahwa operator telah tidak mengindahkan peringatan untuk melakukan pemasangan casing pada kedalaman 8500 ft sebagaimana telah disampaikan dalam technical meeting tanggal 18 Mei 2006. Walhasil, Medco menolak untuk dibebani biaya ganti rugi sebagaimana sudah disepakati dalam kontrak kerjasama operasi antara mereka.

    Kekacauan bulan-bulan awal menunjukkan karut-marut pengelolaan migas di Indonesia. Berbagai prediksi dikeluarkan. Bahkan seorang Jenderal pemangku teritorial wilayah Jawa Timur menyatakan bahwa semburan Lumpur adalah bencana alam, lumpurnya juga tidak berbahaya. Ada apa gerangan sang Jenderal ikut-ikutan membuat pernyataan demikian?

    Sementara itu polisi berperan mengawasi setiap perkembangan pergolakan yang terjadi di warga sekitar lokasi, dan mengatasi kemacetan luar biasa jalur ini. Sedangkan untuk proses pidana, polisi dipersulit pendapat para ahli yang didatangkan Lapindo yang mengarahkan semburan lumpur sebagai bencana alam. Kejaksaan yang menginginkan adanya satu kesatuan pendapat ahli, beberapa kali mengembalikan BAP kepada kepolisian.

    Bupati dan Gubernur yang seharusnya menjadi benteng warga korban pada akhirnya ‘terselamatkan’ dengan keluarnya Perpres 14/2007, mereka mendalilkan bahwa masalah lumpur sudah ditangani pemerintah pusat. Setali tiga uang dengan wakil warga di DPRD kabupaten maupun propinsi.

    Perpres melahirkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Bagaimana kinerja task force ini juga menjadi tanda tanya. Hari, seorang warga korban, menggambarkan bahwa kerja BPLS hanya menanggul lumpur saja. Ini jauh dari harapan warga bahwa BPLS akan berperan membantu percepatan pemenuhan hak. BPLS tidak melakukan langkah-langkah jelas untuk mencegah bahaya akibat semburan baru yang hingga hari ini mencapai angka ke-94.

    Dugaan lumpur panas Lapindo sangat berbahaya, terbukti sudah. Selain berbagai riset berbagai institusi yang telah dimuat berbagai media, WALHI Jawa Timur telah melakukan riset awal kandungan logam berat dan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) pada air dan lumpur lapindo. Berdasar laporan riset (Mei 2008) ini, jumlah kandungan yang ditemukan sungguh mengerikan. Langkah gegabah pengelolaan lumpur tanpa treatment khusus, menjadi kesalahan besar.

    Pemerintah dan korporasi yang memiliki tanggung jawab dan sumber daya harusnya lebih cermat dalam mengelola lumpur. Kandungan Logam Berat pada air dan lumpur Lapindo dideteksi jauh melebihi ambang baku yang ditetapkan regulasi kesehatan Indonesia. Kadar untuk timbal (Pb) tertinggi mencapai angka 20,9853 mg/l ditemukan pada sampel dari wilayah Besuki juga. Ini sungguh jauh diatas ambang batas maksimal sejumlah 0,05 mg/l. Sungai Porong dari wilayah barat telah tercemar logam berat, dan menjadi semakin parah ketika ribuan liter lumpur panas Lapindo digelontor ke dalamnya. Sampel air pada titik koordinat S 07o32’10.7″ E 112o51’01.7″ bagian timur sungai menunjuk angka 1,05 mg/l untuk timbal, berselisih lebih tinggi 0,2 dari sampel kontrol bagian barat jembatan porong(0,8035). Sedimen sungai porong juga menunjuk angka tinggi, dengan temuan kadar 4,7341 mg/l pada salah satu titik sampel.

    Jumlah cemaran Kadmium (Cd) lebih parah, terendah 0,2341 mg/l dan tertinggi 0,4638 mg/l. Jauh diatas ambang batas jika mengacu pada Kep.Menkes No. 907/2002 yang mematok angka 0,003 mg/l. Hal yang sama ditemukan untuk PAH. Dua jenis yang diperiksa meliputi Chrysene dan Benz(a)anthracene ditemukan: Chrysene terendah 203,41 µg/kg dan tertinggi mencapai hingga 806,31 µg/kg (kadar tertinggi ditemukan pada sampel lumpur dari Besuki), sedangkan Benz(a)anthracene ditemukan pada sampel 3 titik lokasi rendaman lumpur dengan jumlah terendah 0,4214 mg/kg dan tertinggi 0,5174 mg/kg. Monitoring secara periodik dan penanganan darurat khusus harus segera dilakukan.

    PAH merupakan suatu kelompok senyawa kimia yang dibentuk dari proses pembakaran tidak sempurna dari gas, batubara, minyak bumi, kayu, sampah, ataupun senyawa kimia organik lain seperti tembakau. Senyawa PAH juga ditemukan di sepanjang lingkungan baik di udara, air, dan sebagai partikel yang berhubungan dengan debu atau sebagai padatan di dalam sedimen atau lahan. Jumlahnya diperkirakan sekitar 10.000 senyawa. Sifat karsinogenik memicu tumor, kanker kulit, kanker paru-paru, dan kanker kandung kemih. Dapat masuk dalam tubuh manusia melalui pernafasan akibat menghirup limbah gas yang mengandung senyawa PAH di dalamnya. Makanan atau minuman yang terkontaminasi senyawa ini juga akan mempengaruhi tubuh jika dikonsumsi. Yang lebih cepat adalah interaksi secara langsung dengan menyentuh tanah atau air yang tercemar PAH. Walaupun dalam kadar rendah, senyawa ini dapat terserap melalui pori-pori kulit.

    BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun.

    Walhasil, Anton seorang warga korban menjumpai sedikitnya 5 warga yang secara fisik terindikasi mengidap tumor(20/7/2008). Seorang bayi perempuan umur 7 bulan memiliki benjolan di dada dan lehernya. Kanker kulit juga ditemukan menjangkit seorang anak umur 3 tahun. Hal ini tentu harus segera ditangani khusus dengan melakukan pemeriksaan medik secara terus menerus kepada semua warga yang pernah ‘berjibaku’ dengan lumpur. Akumulasi dalam jumlah besar sangat mempengaruhi metabolisme tubuh warga dan mempercepat munculnya tumor dan kanker. Pemeriksaan periodik terhadap kandungan logam berat dan PAH harus dilakukan secara periodik untuk acuan pengelolaan lebih lanjut. Namun jika pemerintah melalui badan khususnya tidak mengagendakan, siapa lagi yang harus melakukannya?

    Keselamatan dan kesejahteraan warga korban telah dipertaruhkan dalam hitungan kerugian material melalui skema jual beli tanah dan bangunan sebagaimana dalam Perpres 14/2007. Sandaran hukum pemenuhan hak warga inipun masih ditawar dengan skema resettlement yang tidak memiliki jaminan apapun. Bulan Agustus dan September merupakan masa kontrak sebagian warga korban habis. Namun itikad pemenuhan oleh korporasi tak juga ditunjukkan. Padahal jika diperbandingkan, jumlah yang akan diterima tidak akan mencukupi kebutuhan pengobatan jika efek logam berat dan PAH telah muncul beberapa waktu kedepan. Jaminan kesehatan bagi seluruh warga mutlak menjadi tanggungjawab korporasi dan negara.

    Melihat kenyataan demikian, seharusnya tiada alasan bagi korporasi untuk menghindari dan menunda penggantian hak material warga. Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) tanggal 24 Maret 2008 menegaskan adanya jaminan bagi tanah selain sertifikat hak milik (Yasan, Gogol, letter C, petok D, dan HGB) bisa dilakukan peralihan dengan status yang sama. Hanya perusahaan bodoh yang menginginkan hak milik tanah di negeri ini. Dalam regulasi agraria Indonesia (UUPA NO. 5/1960) sudah diatur kepemilikan tanah Hak Milik hanyalah untuk perorangan. Korporasi hanya bisa mendapat hak berupa Hak Guna (HGU/HGB) atau Hak Pakai yang masa waktunya terbatas. Jika ini dijadikan alasan untuk tidak mengganti 80% sebagaimana disepakati dalam perikatan antara warga dan korporasi, dan ditawar dengan skema resettlement, bertambah sudah derajat kejahatan korporasi ini.

    Namun, temuan kandungan-kandungan berbahaya ini disangsikan oleh Ahmad Zulkarnaen dari BPLS, “Kalau benar ada PAH, kenapa baru sekarang dirilis? Padahal ratusan peneliti sejak dua tahun lalu tidak pernah mengungkapkan adanya PAH” (Koran Tempo, 29/7). Bukannya menindaklanjuti dengan rencana cepat untuk melakukan penanganan, minimal dengan sebuah rencana melakukan penelitian lebih dalam, pernyataan elemen tim khusus ini nampak mencoba mengaburkan adanya temuan bahan berbahaya itu. Dan yang lebih parah, BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun. Petugas BPLS yang rapi dalam pengamanan diri dengan menggunakan sepatu, sarung tangan, dan masker tentunya lebih tak lebih beresiko dibanding warga yang dengan tangan telanjang, kaki bersendal, dan hidung tak bersaring bergelut di area lumpur setiap saat.

    Sungguh sebuah kebetulan jika pada Juli ini selain disibukkan dengan agenda ‘pesta’ pilkada, pada waktu yang bersamaan keluarga Bakrie -sang konglomerat yang dikenal sebagai salah satu pemilik korporasi penguasa blok Brantas di Jawa Timur- menggelar pesta bahagia perkawinan salah satu keluarganya. Lengkap sudah penggalan sejarah buruk negeri ini, dua prosesi digelar tanpa melihat sedikitpun derita warga korban.