Tag: lumpur lapindo

  • Mudflow Families Celebrate Idul Fitri in Makeshift Huts

    For Supardi, the recent Idul Fitri celebrations were vastly different to previous years as his village struggled to rebuild after a devastating mudflow struck in February this year.

    As neighborhood head of Besuki village, Supardi and his fellow villagers celebrated Idul Fitri in emergency tents and makeshift houses after their homes and farmland were destroyed in the disaster.

    For Supardi, the recent Idul Fitri celebrations were vastly different to previous years as his village struggled to rebuild after a devastating mudflow struck in February this year.

    As neighborhood head of Besuki village, Supardi and his fellow villagers celebrated Idul Fitri in emergency tents and makeshift houses after their homes and farmland were destroyed in the disaster.

    “We tried to celebrate Idul Fitri as we had in past years, but it’s not the same because we have been expelled from our own homes and deprived of our rights for fair compensation and humane treatment,” Supardi said.

    Despite the poor conditions, Supardi said he was still positive because the disaster had drawn the community together in survival throughout the economic hardship.

    Residents displayed their unity by agreeing to perform the Ied prayer at the damaged village mosque, and by greeting each other according to the Sillaturahmi Islamic family tradition.

    Sillaturahmi is a tradition practiced every Idul Fitri where Muslim families go from door to door visiting their relatives and neighbors, asking for forgiveness by kissing and shaking hands.

    “We used to take two to three days going on Sillaturahmi in our village, but this time it only took a couple of hours because we live right next to each other,” Supardi said.

    Tears were shed at the Sillaturahmi ritual as residents shook hands and comforted each other, asking for pardon.

    Mudflow and gas bubbles inundated Besuki and two other nearby villages, Pejarakan and Kedungcangkrin, earlier this year, rendering them uninhabitable.

    Despite the presidential decree for compensation payment issued in August, residents are yet to receive any funding or humanitarian aid from the government. The major energy company held responsible for the disaster, Lapindo Brantas Inc., is also yet to distribute any compensation.

    The disaster, which buried four villages and hundreds of hectares of farmland, was triggered by hot mud leaks from the company’s mining site since May 29, 2006.

    Following the February nightmare, which submerged hundreds of homes, many people have left their temporary shelters to build huts on their damaged farmland in the village after having difficulties adjusting to their new environment and making money to survive the economic hardship.

    “We have been living together for years, living separately in a new environment feels awkward,” Supardi added.

    Now, the 250 Besuki residents have been living together in makeshift houses along the damaged Porong toll road and planned to stay there until the government or Lapindo pay for the compensation.

    According to the 2008 presidential decree, the mudflow victims in Besuki, Pejarakan and Kedungcangkring villages are entitled to fair compensation from the state budget but so far they have received only a Rp 2.5 million in advance payment to allow them to rent a house for two years while waiting for their resettlement into nearby villages and the payment of the remaining 80 percent compensation.

    “We don’t know the location of the new settlement designated for us yet, but what really matters for all of us is to be together again in one village and just try to start all over again,” Supardi said.

    Faisal Maliki Baskoro,  The Jakarta Post, Sidoarjo

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/13/mudflow-families-celebrate-idul-fitri-makeshift-huts.html

  • Akhir Desa Renokenongo

    korbanlumpur.info – Bambang Yuli Usman (55 tahun) mengumpulkan barang-barang miliknya yang tersisa di tengah genangan air asin yang mulai masuk rumahnya di RT 07/02 Renokenongo. Selama ini dia bertahan di desa ini sebagai solidaritas bagi tetangga-tetangganya yang belum mendapat ganti rugi sepeserpun dari Lapindo.

    “Ini adalah hari terakhir saya di sini,” tuturnya dengan matanya yang sedih, kelopak matanya menghitam karena kurang bisa tidur.

    Meski masih banyak warga Renokenongo (baca: 400 keluarga) yang belum dibayar 20% harga aset mereka, sesuai peraturan presiden, namun Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS) memaksakan diri untuk membangun tanggul yang akan mengubur desa Renokenongo secara pelan-pelan dengan lumpur.

    BPLS yang selama ini berkoar-koar berusaha meminimalisir korban dalam prakteknya ternyata bertindak sebaliknya. Mereka tidak berusaha memperbaiki timur tanggul cincin yang jebol sejak Agustus lalu dan membiarkan desa Renokenongo sedikit demi sedikit menjadi lautan air asin yang berasal dari pusat luapan lumpur.

    Sejak luapan lumpur, dua tahun lebih lalu, warga Renokenongo menjadi tercerai-berai sebagian mengungsi di pengungsian pasar baru porong, sebagian mengontrak di tempat lain dan sebagian masih tinggal di desa mereka meski rumah mereka banyak yang doyong akibat tanahnya ambles.

    Warga yang mengungsi di pasar belum mendapatkan uang sepeserpun dari Lapindo atas pembelian tanah mereka begitupun kebanyakan warga yang masih menetap di desa.

    Saat mulai penanggulan mereka memprotes supaya pembayaran diselesaikan dulu sebelum penanggulan namun protes warga ini tidak digubris baik oleh BPLS atau Lapindo. Bahkan dua warga Renokenongo, yakni; Danu dan putranya Anang ditangkap polisi Sidoarjo karena aksi ini.

    “Hingga kini mereka belum dibebaskan,” tutur Khalik Widodo (34 tahun) warga RT 07/02 Renokenongo.

    Khaliq adalah salah seorang warga yang belum mendapatkan 20% dari harga tanah dan bangunannya.

    “Ada tiga aset (pekarangan dan bangunan), milik bapak dan kakak saya yang belum dibayar sama sekali,” tutur Widodo.

    Meski sudah ditanggul, sebenarnya, Khaliq masih ingin bertahan meneruskan usaha jual pulsa serta pengisian air isi ulang miliknya sembari menunggu uang tanahnya. Namun dia tak lagi bisa meneruskan usaha tersebut karena aliran listrik ke rumahnya sudah dicabut.

    “Listrik di Renokenongo mulai dicabut pagi ini,” tutur Widodo.

    Lengkaplah sudah teror Widodo dan warga Reno yang masih mendiami rumahnya; setelah tanggul jebol dibiarkan, kemudian banjir air asin pelan=pelan menutup desa, orang yang protes ditangkap dengan alasan yang tak jelas, lalu  listrik diputus. Tak ada pilihan buat mereka selain pindah dengan sangat terpaksa.

    Untuk terakhir kali Widodo meminta supaya rumah dan kamar-kamarnya yang masih ada supaya difoto.

    “Buat kenang-kenangan,” dia bilang. Tak jauh dari rumahnya ada sebuah papan putih bertuliskan tinta merah, berbunyi, “selamat tinggal desaku.”

  • Sekolah Khalid bin Walid Akhirnya Pindah

    korbanlumpur.info – Sampai Jumat (24/10) kondisi sekolah Khalid bin Walid kian tak berkutik. Banjir air asin dari pusat semburan lumpur Lapindo, yang dua hari sebelumnya menyebabkan sekolah ini terpaksa diliburkan, kian meninggi dan menutup keseluruan akses jalan ke Renokenongo dari arah timur dan bikin sekolah ini memperpanjang liburnya.

    “Senin baru bisa masuk,”  tutur Tri Ari Wilujeng, guru biologi Madrasah Aliyah (MA) Khalid bin Walid.

    Setelah luapan lumpur ini, dua tahun lalu, sekolah ini berjalan dengan tidak normal. Siswa-siswanya menjadi sulit dikontrol kedatangannya ke sekolah.

    “Hari ini anak ini yang datang besok orang lain. Saya jadi kesulitan mengingat siswa saya,” tutur Sudiono Akhmad  Rofiq, guru sosiologi MA dan juga korban lumpur Lapindo dari desa Glagaharum RT 04/01.

    Hal ini dimaklumi oleh Rofiq karena memang kebanyakan siswa dari keluarga para korban yang mengungsi ke berbagai tempat di Sidoarjo sampai Pasuruan dan ini menjadi kesulitan tersendiri bagi para siswa karena musti mengeluarkan biaya tambahan untuk datang ke sekolah.

    Rofiq tahu betul banyak korban yang kehilangan pekerjaan dan ganti rugi dari Lapindo juga tak kunjung jelas juntrungannya.

    Tak hanya itu, karena tiga kali kena banjir lumpur dan air asin, buku-buku pelajaran milik sekolah ini juga dititipkan ke beberapa rumah guru untuk pengamanan. Ini tentu saja menyulitkan proses belajar-mengajar siswa-siswa Khalid bin Walid dari TK sampai tingkat Aliyah yang jumlahnya mencapai 300 lebih siswa.

    Meski tiga kali kebanjiran, sejak luapan lumpur, sekolah ini tetap bertahan menempati sekolah mereka karena tak ada peringatan atau inisiatif baik dari pemerintah atau Lapindo untuk memindah sekolah ini. Alasannya, karena sekolah ini swasta.

    “Tak ada perintah untuk pindah. Yang disuruh pindah  hanya sekolah negeri,” tutur Rofiq.

    Peringatan untuk pindah tak juga datang hingga desa Renokenongo ditanggul, sekira seminggu lalu, dan karena tidak ada harapan lagi banjir air asin akan surut sebab tanggul di sebelah barat tanggul cincin pusat semburan lumpur yang jebol tidak diperbaiki dengan layak oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Akhirnya pimpinan sekolah ini berinisiatif sendiri untuk pindah ke desa sebelah timur mereka; Glagaharum. Mereka mencari tempat sendiri tanpa bantuan dari pemerintah ataupun Lapindo.

    Tempat baru mereka adalah sebuah gudang bekas milik toko bangunan Sakinah kepunyaan Christina, istri mantan lurah Glagaharum. Toko bangunan ini bangkrut setelah luapan lumpur karena di Glagaharum tak ada lagi yang membangun rumah setelah luapan lumpur.

    “Sejak pagi kami mengangkut meja-kursi ke Glagaharum,” tutur Toni Budiawan, kepala Tata Usaha Madrasah Tsanawiyah (MTs) Khalid bin Walid, “Masih ada dua lemari buku yang tertinggal di dalam.”

    Tempat baru ini buruk sekali karena kotor dan berdebu, meja-kursi sekolah di tata berantakan tak ada sekat  masing-masing kelas. Sementara ruang guru ditempatkan dibekas ruang kecil bekas menyimpan semen.

    “Hanya itu yang bisa saya berikan,” tutur Christina. [mam]