Tag: penghargaan proper hijau

  • Penghargaan Proper Hijau, Tak Layak Buat Lapindo

    Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, Senin 3 Desember 2012, memberikan penghargaan kepada PT Lapindo Brantas Unit Wunut sebagai perusahaan peraih Proper Hijau. Meskipun mendapatkan penghargaan sebagai perusahaan yang peduli lingkungan, kiranya  kondisi di lapangan menunjukkan sebaliknya. (more…)

  • Walhi Bali: KLH Lecehkan Korban Lapindo

    Denpasar, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bali menuding Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) telah melakukan pelecehan terhadap korban Lapindo Sidoarjo. Dimana KLH telah memberikan anugerah biru plus kepada Lapindo Brantas Incorporation.

    Padahal menurut Walhi, Lapindo Brantas merupakan perusahaan hitam perusak lingkungan. Tudingan tersebut disampaikan Walhi Bali ketika melakukan aksi teatrikal bersama Aliansi Peduli Korban Lapindo (APKL) di Jl. Dewi Sartika, Denpasar, Jumat (8/8).

    Direktur Walhi Daerah Bali, Agung Wardana menyatakan, KLH tidak saja melakukan pelecehan terhadap masyarakat korban lumpur Lapindo akan tetapi pemerintah terutama KLH tidak mempunyai kepekaan sosial terhadap penderitaan para korban Lapindo.

    Walhi juga menuding, Lapindo Brantas juga ikut melakukan pelecehan terhadap korban lumpur Lapindo dimana pada saat korban Lapindo mengalami penderitaan, justru keluarga Bakrie menggelar pesta pernikahan dengan menghabiskan dana puluhan milyar rupiah.

    “Di tengah penderitaan korban, ternyata keluarga Bakrie lebih memilih untuk menghabiskan dananya hingga puluhan milyar rupiah untuk berpesta daripada memenuhi tanggung jawabnya kepada korban. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak punya sense of crisis,” ujar Agung Wardana.

    Sementara dalam aksi teatrikalnya, Aliansi Peduli Korban Lapindo membawa duplikat kue pernikahan yang terbuat dari triplek setinggi 1,2 meter. Kue pernikahan tersebut dikelilingi oleh 5 orang aktivis yang badannya dilumuri oleh lumpur dan lehernya diikat dengan tali. Hal ini disimbolkan sebagai pernikahan yang dilaksanakan di atas penderitaan korban lapindo. (Mlt)

    © BeritaBali.com

  • Saat Menteri KLH dibutakan oleh Lapindo

    Pada 31 Juli 2008 lalu, KLH memberikan predikat biru plus pada Lapindo Brantas Inc. Blue company merupakan predikat kepada perusahaan yang telah cukup baik melaksanakan kewajibannya terhadap lingkungan. Sejak dibebankan tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial bagi perusahaan tambang oleh Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas, perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri mining, oil and gasoline berlomba-lomba menggelar kegiatan-kegiatan amal yang diekspos oleh media, sementara perusakan lingkungan oleh perusahaan tersebut tak lagi menjadi persoalan besar di bangsa ini. Eco-labeling le[ada Lapindo tersebut menunjukkan keberpihakan Pemerintah RI terutama Kementrian KLH terhadap korporasi pelaku kejahatan lingkungan dan kemanusiaan.

    Undang-undang Perseroan Terbatas sebenarnya masih absurd dalam mengemas Corporate Environmental and Social Responsibility. Sejauh apa suatu perusahaan dinilai menghormati lingkungan hidup belum ada stadarisasinya. Meskipun absurd, sesuatu yang mutlak terlihat jelas bahwa suatu perusahaan tidak comply terhadap lingkungan hidup adalah jika aktivitas perusahaan itu telah jelas mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Terlebih bila disambungkan dengan tiga elemen CSR  yang dikenal di dunia internasioanl yaitu people, planet, profit (masyarakat, planet, dan keuntungan). Suatu perusahaan dalam mencari keuntungan wajib memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan planet ini.

    Di tengah kerancuan indikator perusahaan comply atau tidak terhadap lingkungan hidup, pemerintah dapat sewenang-wenang menyematkan predikat hijau dan biru terhadap perusahaan yang nyata-nyata mengakibatkan ecocide, seperti halnya yang diterima Lapindo. Menurut penemuan BPK-RI dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Lapindo terbukti lalai dalam pengeboran hingga menyebabkan menyemburnya Lumpur Panas yang mengandung gas mudah terbakar di sumur Banjar Panji-1 yang kini telah merendam habis 12 desa di Sidoarjo. Semburan Lumpur ini mengakibatkan sedikitnya 60 ribu orang mengungsi karena ekosistemnya dimusnahkan. Menurut penelitian berapa ahli, Lumpur ini mengandung logam berat seperti Cadmium, Chromium, Arsen, dan Merkuri yang kadarnya diatas baku mutu yang dipersyaratkan. Tidak hnya itu, Lumpur ini juga mengandung mikrobiologi yang bersifat patogen seperti coliform, salmonella, dan staphylococcus aureus.

    Coliform ini adalah bakteri yang banyak ditemui di feses binatang berdarah panas seperti reptiliaColiform tidak menyebabkan penyakit tapi adanya coliform ini menjadi indicator adanya organisme yang membawa penyakit atau patogen. Sedangkan Salmonella adalah mikrobiologi yang menyebabkan typhoid fever, paratyphoid fever, dan foodborne illness/food poisoning. Staphylococcus aureus, adalah mikrobiologi yang menyebabkan penyakit golden step yang dapat mengakibatkan radang selaput otak (meningitis), Pneumonia, toxic shock syndrome (TSS) dan septicemia.

    Lebih buruk lagi, akhir-akhir ini baru diketahui bahwa lumpur ini mengandung Polyciclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) 2000 kali ambang batas normal. PAH ini adalah senyawa kimia yang terbentuk proses pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil di areal pengeboran. PAH merupakan senyawa yang berbahaya karena ia selain karsinogenik dan mutagenik, ia juga teratogenikIa tidak langsung menyebakan tumor atau kangker secara lansung, namun PAH akan berubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan berpotensi tinggi akan resiko tumor dan kangker. Mengerikannya, PAH dapat berpindah dari media apapun. Tidak hanya dari udara yang dihirup, namun dari pori-pori kulit dan lubang tubuh. Menginjak tanah yang terkontaminasi PAH (akibat terkena udara yang mengandung PAH), serta mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi PAH dapat mengakibatkan PAH masuk ke tubuh manusia.

    Dampak dari PAH di tubuh manusia ini baru dapat terlihat setelah PAH terakumulasi dalam tubuh, antara lain dapat menyebabkan kangker permasalahan reproduksi, dan membahayakan organ dalam dan kulit. Di Pasar Porong, beberapa orang telah teridentifikasi memiliki benjolan-benjolan di sekitar leher, payudara dan punggung. Menurut data di RSUD Sidoarjo, beberapa korban telah meninggal dunia dan teridentifikasi flek di paru-paru mereka, bahkan di korban yang diketahui selama hidupnya bukan perokok aktif. Saat ini masih ada ratusan ribu warga Sidoarjo yang menghirup udara yang terkontaminasi dan berbau busuk, mengkonsumsi air yang terkontaminasi PAH, hidup tanpa peringatan dari perusahaan.

    Setelah kerusakan lingkungan dan sosial akut yang ditimbulkan oleh perusahaan ini, penyematan predikat biru kepada Lapindo merupakan bentuk kongkret pemerintah menutup mata atas perbuatan Lapindo. Predikat biru ini merupakan bukti adanya konspirasi antara lapindo dengan pemerintah dan menempatkan posisinya diametral dengan rakyat. Penyematan ini dikemas dalam sebuah perhelatan mewah yang memakan dana sekitar 3 milyar rupiah. Tidak ada transparansi dalam penentuan indikator menghormati lingkungan, apalagi adanya partisipasi masyarakat sekitar areal aktivitas perusahaan untuk memberikan penilaian apakah perusahaan itu comply terhadap lingkungan dan sosial atau tidak.

    Uang triliunan yang telah dikeluarkan oleh Lapindo untuk upaya menanggulangi dampak semburan (yang pada kenyataannya tidak tuntas), tidak bisa dikategorikan sebagai bentuk CSR, karena uang tersebut adalah kewajiban lapindo yang lahir akibat perbuatannya merusak lingkungan. Berbeda dengan konsep awal CSR yang merupakan filatropi korporasi atau karitatif. Uang tersebut bukanlah bantuan bencana alam seperti halnya banyak bantuan perusahaan untuk korban gempa, namun merupakan kewajiban perusahaan karena telah memusnahkan suatu ekosistem tanpa ampun.

    Sangat tidak tepat adanya apabila pemerintah menyematkan predikat biru plus kepada lapindo yang tidak hanya melakukan pemusnahkan ekosistem (ecocide), namun juga tidak bertanggung jawab atas restitusinya, mengingat sebagian besar dana penanggulangannya dibebankan kepada APBN. Pemerintah yang harusnya melindungi rakyat karena posisi timpang antara korporasi dan rakyat, justru menambah kekuatan gigantika korporasi. Begitulah apabila kehormatan menteri KLH telah dibeli dengan uang panas Lapindo.

    DINA SAVALUNA

  • Nilai Aneh untuk Lapindo

    Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup menempatkan PT Lapindo Brantas sebagai perusahaan yang memperoleh nilai cukup bagus dalam soal lingkungan hidup sungguh membingungkan. Publik tahu apa yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Sudah lebih dari dua tahun lumpur menyembur dari ladang pengeboran yang dikelola PT Lapindo Brantas, dan membuat sengsara warga sekitarnya.

    Akibat semburan yang bahkan masih berlangsung hingga sekarang, lebih dari 10 ribu rumah tenggelam. Enam desa harus dihapus dari peta, ribuan orang kehilangan tempat bernaung dan harapan. Belum lagi kerugian ekonomi bernilai puluhan triliun rupiah akibat lumpuhnya industri dan infrastruktur. Bagaimana mungkin kemudian Lapindo justru mendapat nilai baik dalam hal pengelolaan lingkungan.

    Memang, yang mendapat label biru (artinya bagus) dari Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper) bukanlah unit perusahaan Lapindo yang melakukan pengeboran sehingga kemudian terjadi semburan lumpur. Penerima label ini adalah anak perusahaan Lapindo Brantas yang memproduksi gas. Tapi, apa bedanya bila pemilik perusahaan itu sama?

    Penghargaan lingkungan seharusnya diberikan kepada perusahaan yang benar-benar bersih dari unsur perusakan dan pencemaran lingkungan. Bukan hanya pencemaran lingkungan, mereka juga harus memenuhi tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitar. Apakah kedua faktor itu sudah dipenuhi oleh PT Lapindo Brantas?

    Yang kita tahu, penyelesaian bencana lumpur Lapindo belum tuntas. Sampai sekarang, lumpur masih menyembur. Kerusakan lingkungan sudah pasti akan bertambah luas dan parah dari hari ke hari. Upaya ganti rugi kepada korban yang diberikan oleh pemerintah dan Lapindo, jelas, tak menghapus dampak kerusakan itu. Apalagi tidak semua korban lumpur mendapat ganti rugi sebagaimana yang seharusnya.

    Bahkan siapa yang harus bertanggung jawab atas kehancuran lingkungan itu pun sampai sekarang belum jelas. Belum ada kepastian hukum, apakah semburan lumpur Lapindo akibat kelalaian dalam proses pengeboran, atau memang bencana alam. Semua masih merupakan kontroversi. Maka, di tengah kontroversi seperti ini, bukanlah langkah tepat memasukkan Lapindo sebagai perusahaan yang relatif ramah lingkungan.

    Seharusnya Kementerian Lingkungan Hidup lebih berhati-hati dalam memberi peringkat pelestari lingkungan. Apalagi, dalam daftar peringkat itu, perusahaan yang masuk kategori merah dan hitam lebih banyak perusahaan kecil. Bagaimana dengan perusahaan besar yang membabat hutan habis-habisan, atau perusahaan tambang yang mencemari sungai dan laut dengan limbahnya?

    Penghargaan seperti yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup seharusnya menjadi pendorong bagi perusahaan untuk meningkatkan komitmennya terhadap pelestarian lingkungan. Tujuan ini hanya bisa berhasil bila ada kriteria yang jelas. Tanpa kejelasan kriteria, masyarakat akan semakin skeptis terhadap keseriusan pemerintah melestarikan lingkungan.

    Koran Tempo

  • Yo opo rek, Pejabat Ngelucu

    Para pelawak sudah tak lucu lagi. Padahal rakyat masih butuh hiburan. Bayangkan, harga bensin naik, listrik byar-pet melulu, para pejabat hobi menilep duit rakyat, jaksa suka main mata dengan makelar suap, dan sebagainya–bagaimana mungkin semua itu tidak membikin kepala dan perasaan rakyat jadi spaning?

    Karena para juru hibur profesional sudah kehilangan jurus melucu, posisi itu pun diambil alih pemerintah. Kali ini kementerian lingkungan hidup yang membikin rakyat ngakak. Kantor itu baru saja menobatkan PT Lapindo Brantas sebagai salah satu perusahaan yang mengelola lingkungan dengan baik. Ha-ha-ha!

    Pancen wis wolak-waliking jaman,” celetuk kawan saya. Kata dia, lha wong semburan lumpur Lapindo telah membikin enam desa kelelep, 10 ribu rumah ambles, dan menyebabkan ribuan penghuninya jadi pengungsi, kok dianggap mengelola lingkungan hidup dengan baik? “Lelucon wagu!” sumpah serapahnya.

    Saya bilang kepadanya, yang dinilai baik itu adalah anak perusahaan Lapindo Brantas yang memproduksi gas, bukan Lapindo yang mengebor itu. Kawan saya malah melotot, “Apa bedanya? Kan pemiliknya sama. Logikamu itu sama saja dengan perumpamaan yang menyebut aku orang dermawan karena tangan kananku suka sedekah, padahal tangan kiriku aktif nilep duit sana-sini–persis para anggota parlemen itu!”

    Lalu ia berceramah. Jargon-jargon pro-lingkungan yang dikoarkan pemerintah selama ini, kata dia, hanya omong kosong. Gerakan penanaman sejuta pohon yang dulu di-blow-up media hanyalah pertunjukan teater sesaat. “Tetapi ketika kekuatan modal yang bicara, lenyaplah semua itu,” ia mengakhiri orasinya.

    Tampaknya ia benar-benar murka. Saya kira ia akan semakin muntap jika melihat kasus di Kulon Progo, Yogyakarta, saat ini. Di sana, para pemodal tengah berusaha mereklamasi pantai Kulon Progo untuk menambang bijih besi. Itu artinya, akan melenyapkan hampir 3.000 hektare lahan dan gumuk pasir yang dikelola warga. Padahal di sana tumbuh subur tanaman cabai, semangka, jeruk, sawi, terung, kentang, juga padi yang telah menghidupi belasan ribu jiwa di empat kecamatan. Sedangkan gumuk pasir melindungi mereka dari ancaman tsunami.

    Penambangan itu tinggal menunggu lampu hijau saja dari Pak Presiden. Saya berdebar menanti: apakah akan ada lawakan besar lain di Kulon Progo? Dan apakah rakyat akan tertawa oleh lawakan itu?

    Tulus Wijanarko Wartawan Tempo

    © Koran Tempo

  • A disastrous award?

    Environmental NGOs, including the Mining Advocacy Network (Jatam), strongly protested last week the results of a Ministry of Environment audit on 516 companies, since this included an environmental award for PT Lapindo Brantas, allegedly responsible for an environmental disaster.

    Activists doubted the audit’s transparency and objectiveness. NGOs protested some audit results and awards, especially those involving companies thought to have a poor record on environmental damage, local community relations and human rights.

    State Minister for the Environment Rachmat Witoelar openly questioned the auditing team — which he himself selected — about the validity of published rankings, “as some big companies which have come under public scrutiny were awarded high marks.”

    The ministry also has a program to present environmental awards for individuals (Kalpataru) and for cities (Adipura). The awards for cities have also often been controversial.

    The NGOs have reason to protest. The inclusion in the award list of gas exploration company PT Lapindo Brantas, which allegedly caused the mud disaster in Sidoarjo, East Java, is very questionable. It is hard for the general public, especially the mudflow victims, to accept that the government gives an environmental award to this company.

    The check and balance role of environmental NGOs deserves praise, since the environment is one of our critical problems, but one which receives relatively little attention from government. No matter the shortcomings of the ministry in auditing these companies, the audit is important as a means to encourage state-owned and private companies to improve environmental performance.

    Companies are facing more pressure to contain pollution and environmental damage, to adopt environmental targets and go green. Local communities are becoming more courageous and knowledgeable on the environment. Investors and trading partners from advanced countries are more demanding on environmental requirements. Overseas companies are under pressure to be environmentally friendly to follow legislation, maintain their markets, keep good community relations and access bank credits.

    On Wednesday, the ministry announced the results of its audit on 516 companies for the 2006-2007 period. These companies voluntarily took part in an environmental rating program, popularly known as Proper. The program classified companies into gold, green, blue, blue minus, red, red minus and black categories. They were judged according to achievements in controlling air and water pollution and in fulfilling environmental impact analyses (Amdal). Corporate social responsibility (CSR) program performance was also included.

    There was only one winner in the red category, which went to Bandung-based geothermal firm Magna Nusantara Ltd. The company is praised for its energy-saving efforts. The green category was won by 46 companies, including PT Unilever Indonesia, PT Riau Andalan Pulp and Paper Mill, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Indah Kiat Pulp and Paper and PT Astra Daihatsu Motor.

    The blue category was won by 180 companies. There are big names in the list, including PT LG Electronics Indonesia, PT Indorama Synthetics, Bandung and Purwakarta and pharmaceutical company PT Otsuka Indonesia. Meanwhile 43 companies were categorized as being in the worst polluter group.

    Indonesia has one of the worst environmental records in the world, especially given its poor forestry management. Amid worsening global warming indicators companies are eager to go green either to boost earnings or to win prestige. Many companies have no choice but to produce environmentally friendly products, to meet the demands of increasingly aware buyers.

    The ‘Proper’ audit program deserves our support, although since it started in 2003 it remains a voluntary scheme. The government needs to provide incentives, including fiscal rewards to encourage more companies to go green. There should also be sanctions against companies which damage our environment.

    The award to PT Lapindo Brantas is a disastrous decision. Perhaps only a few people, including the auditing team members and the company, believe this award is deserved.

    The Jakarta Post