PT Minarak Lapindo Jaya berulang kali tak mampu memenuhi pembayaran kepada korban lumpur Lapindo. Warga gerah dan meminta pemerintah pusat untuk mengambil alih. lagi-lagi lumpur Lapindo justru ditanggung negara. (more…)
Tag: Perpres 14
-
Mengapa Kita Tidak Ikut Jalan kaki Porong-Jakarta?
Refleksi Kecil 6 Tahun Perlawanan Korban Lumpur Lapindo
Oleh: Rere Christanto
25 Juli 2012 menjadi hari yang penuh kejutan bagi sebagian besar korban lumpur Lapindo. Pada sebuah siaran langsung yang dipancarkan dari media televisi milik keluarga Bakrie, mereka menghadirkan seorang korban lumpur lapindo yang sejak lebih dari sebulan sebelumnya telah menghiasi layar pemberitaan media dengan aksi jalan kakinya dari Sidoarjo menuju Jakarta. Tapi alih-alih mengungkapkan bagaimana susahnya dia selama lebih dari 6 tahun kehidupannya dihancurkan oleh lumpur panas sebagaimana diumbarnya ketika pertama kali meniatkan langkahnya berjalan menuju ibu kota, Hari Suwandi sang korban lumpur menangis sesenggukan dan meminta maaf kepada keluarga Bakrie atas ulahnya menista nama baik mereka, tidak kurang lagi ia menyatakan keyakinannya bahwa keluarga Bakrie akan sanggup menyelesaikan penggantian kerugian yang sampai sekarang masih menjadi tanggungan yang belum juga terselesaikan.
Kejutan adalah sesuatu yang jamak terjadi pada kasus semburan lumpur Lapindo. Ketika pertama kali muncul pada akhir Mei 2006 kita terkejut bagaimana kegiatan pengeboran yang belum menyelesaikan analisa dampak lingkungannya dibiarkan ada di tengah lingkungan padat penghuni dan memunculkan bencana semasif itu. Ketika kemudian Presiden mengeluarkan peraturan bernomor 14 pada tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo kita terbengong-bengong menyaksikan mengapa pemerintah tidak mengambil tindakan hukum dan malah memberikan Lapindo sebagai pihak yang paling bisa ditunjuk sebagai biang keladi masalah sebuah keleluasaan mengambil tanah warga dengan mekanisme yang sangat longgar untuk korporasi tersebut. Ketika bencana industrial ini telah berjalan lebih dari 6 tahun, kita lagi-lagi masih memutar dahi melihat bagaimana sekelompok warga negara dibiarkan begitu saja meregang nyawa ditengah lingkungan dan kondisi yang hancur dan tidak ada inisiatif sama sekali dari Negara untuk menyelamatkan mereka. Lalu kemudian seorang yang ketika pertama kali muncul menyatakan kegeramannya kepada seorang politisi cum pengusaha yang selama ini telah menghancurkan hidupnya tiba-tiba diwawancarai dan menangis meminta maaf. Mungkin ada baiknya kita semua berhenti terkejut dan mulai melihat apa yang terjadi dalam perjalanan kasus ini.
Ilusi Negara, Mengapa Pemerintah Tidak Dipihak Kita?
Untuk memulainya, mungkin kita mesti memeriksa lagi bagaimana kita memposisikan diri pada carut marut perjuangan korban lapindo. Hal pertama yang paling tampak pada aksi-aksi kita (korban lumpur lapindo) adalah ketergantungan kita pada harapan akan keberpihakan negara bersama elit penguasa dan para politisi di belakangnya. Ketika pertama kali korban Lapindo turun jalan dan menutup akses jalan raya Porong serta menyerbu langsung kantor korporasi sebagaimana awal-awal perjuangan ini bermula, sebenarnya kita telah menyasar musuh yang sesungguhnya. Sebuah aksi langsung ditujukan kepada pihak yang memang harusnya bertanggung jawab atas segala kehancuran atas hidup kita. Justru ketakutan Bakrie terhadap eskalasi aksi langsung korban lapindo ini yang memaksa pemerintah turun tangan menerbitkan aturan yang pada dasarnya dibuat untuk melindungi kepentingan lapindo.
Simak saja dari awal ketika lumpur muncrat. Semburan lumpur panas pada 29 Mei 2006 pertama kali diketahui muncul di areal persawahan Desa Renokenongo, sekitar 100 meter dari tempat pengeboran PT Lapindo Brantas. Lumpur kemudian meluas dan tidak bisa dikendalikan sehingga menenggelamkan ribuan rumah di sekitarnya. Hingga April 2007, dibutuhkan nyaris satu tahun setelah semburan itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007). Perpres ini memerintahkan Lapindo membeli (dan artinya masyarakat harus mau menjual) tanah dan bangunan yang telah tenggelam dan hanya dibatasi kepada daerah yang dinyatakan masuk peta area terdampak. Artinya, Lapindo tidak perlu memikirkan lagi bahwa lumpur masih akan meluas, dan akan menenggelamkan desa-desa yang lainnya, karena mereka hanya diberi tanggungjawab untuk membeli tanah dan bangunan di 4 desa di dalam peta area terdampak.
Beberapa bulan kemudian, kebutuhan untuk memperluas tanggul semakin mendesak, karena semburan belum berhenti mengeluarkan lumpur panas. Maka, Pemerintah kembali menerbitkan Perpres 48/2008, yang menambahkan 3 desa baru untuk masuk peta area terdampak. Kali ini, bukan Lapindo yang akan mengeluarkan dana untuk pebayaran tanah dan bangunan, namun seluruh masyarakat Indonesia akan dipaksa membayar kebutuhan perluasan tanggul dengan menenggelamkan 3 desa, yakni melalui dana APBN. Ini kemudian diikuti oleh sejumlah Perpres yang muncul sesudahnya untuk menambah jumlah wilayah yang akan dibeli pemerintah melalui dana APBN. Dengan analisa telanjang, kita bisa mengambil kesimpulan, Perpres tidak dibuat untuk menyelamatkan masyarakat tapi lebih untuk mengamankan Lapindo dari kehancuran yang lebih dalam.
Sejak saat Perpres ini dimunculkan, sejak itulah serangan kepada Lapindo dialihkan menjadi harapan agar pemerintah bertindak menyelesaikan kasus semburan lumpur Lapindo. Ilusi yang menyertai harapan akan berpihaknya penguasa kepada warganya alih-alih kepada korporasi segera muncul dengan desakan agar seluruh lembaga negara turun menyelesaikan kasus ini. Maka kemudian aksi-aksi korban lapindo berpindah arah mendatangi Presiden, menteri, anggota Parlemen, Lembaga yudisial dan komisi Negara untuk memaksa Lapindo menuntaskan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden yang telah dibuat.
Di titik inilah kita mesti membaca ulang pilihan untuk meminta negara bertindak bagi kita. Ini bukan berarti bahwa aksi-aksi tersebut kemudian menjadi tidak bermakna, juga bukan dimaksudkan agar korban lapindo berhenti memaksa pemerintah turut bertanggungjawab atas kehancuran yang terjadi akibat kesalahan korporasi tersebut. Namun kita mesti melampaui buaian indah bahwa pemerintah dibuat untuk melindungi kepentingan rakyatnya.
Negara, pemerintah serta semua lembaga dan birokrasi yang dimilikinya harus dilacak sebagai bagian dari permasalahan itu sendiri. Pemerintah dibakukan ada untuk menjamin bahwa kekuasaan hanya bisa diakses oleh sekelompok orang saja, yang tanpanya kemudian kita merasa tidak berdaya menghadapi permasalahan sosial. Seolah-olah tanpa Presiden kita tidak bisa memaksa Bakrie untuk bertanggungjawab terhadap kehancuran yang diakibatkannya. Ini bukan soal apakah Presiden kita tegas atau tidak. Karena pada dirinya, tidak ada penguasa yang akan bertindak tanpa memikirkan akan keberlangsungan kuasanya sendiri. Bagi para elit politik pilihan untuk terlibat bagi kebutuhan publik adalah bagian dari tarik-menarik kuasa. Selama korban lapindo tidak dianggap begitu dibutuhkan untuk masa depan kekuasaan, selama itu juga tidak akan ada harapan bahwa pejabat publik mau campur tangan pada urusan ini.
Dengan memeriksa ulang posisi negara, kita bisa menerima penjelasan mengapa Presiden seolah mati kutu dihadapan Aburizal Bakrie, mengapa para politisi hanya muncul mempermasalahkan kasus lumpur Lapindo cuma di momen-momen mendekati pemilihan umum, mengapa hukum tidak bekerja menghadapi pelanggaran industrial yang terang benderang seperti ini, mengapa Komnas HAM tidak jua berani menyatakan adanya pelanggaran HAM berat pada kasus ini. Korban lapindo selamanya akan terkerdilkan sejak kita bukan lagi terror bagi kelanggengan kekuasaan tersentral Negara.
Dari Individu ke Keterwakilan
Efek samping dari munculnya Perpres 14/2007 kemudian bukan hanya soal distorsi posisi perlawanan dan pemiskinan imajinasi aksi, namun juga mereduksi tuntutan akan hilangnya kehidupan yang sudah dilibas lumpur panas.
Sejak Perpres menyebutkan bahwa penanggulangan masalah sosial korban lumpur Lapindo adalah soal pembayaran lahan yang tenggelam atau akan ditenggelamkan oleh lumpur panas, disaat itulah batas pertarungan kita telah diwp-content menjadi melulu urusan berapa uang yang kita terima dari penjualan tanah kita yang memang telah tidak mungkin lagi ditinggali baik oleh Lapindo maupun oleh Negara. Sekali lagi kita mesti melihat bahwa refleksi ini tidak untuk mengecilkan arti aksi-aksi tuntutan pembayaran tanah dan bangunan yang telah diusung selama ini. Bahwa kehilangan tanah, sawah, rumah dan tempat hidup kita adalah sesuatu yang wajib diganti oleh Lapindo Brantas inc sebagagai pihak yang menyebabkan semua ini adalah sebuah keniscayaan. Namun pada saat bersamaan kita harus meloncati jeratan Perpres dan bergerak memaksa Lapindo juga mempertanggungjawabkan kehilangan kehidupan kita yang lebih luas.
Tragedi ini bukan hanya kisah pilu hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur. Ini juga kisah hancurnya masa depan beratus ribu masyarakat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, atau bahkan lebih luas dari sekedar 3 kecamatan ini. Mari kita runut kehancuran yang tidak bisa dilihat oleh Presiden, kehancuran yang melebihi Perpres.
Di sektor ekonomi dan tenaga kerja sekitar 31 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Data Badan Pusat Statistik Jatim menyebutkan, di sektor formal, jumlah tenaga kerja turun 166 ribu orang akibat kolapsnya perusahaan yang terkena lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, berdiri 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain juga harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak. Menurut data Greenomic perkiraan kerugian ekonomi akibat semburan adalah sekitar Rp 33,2 triliun, sedang menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsungnya ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 triliun.
Bagi korban Lapindo, selain kehilangan rumah dan tanah, mereka juga terancam kesehatannya karena lingkungan yang tidak sehat. Penelitian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik (memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh hidrokarbon mencapai tingkat 8 ribu – 220 ribu kali lipat di atas ambang batas.
Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Puskesmas Porong dan Jabon. Di wilayah Puskesmas Jabon data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2006 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007. Dalam catatan Puskesmas Jabon pasca semburan lumpur juga tercatat dua kasus gangguan jiwa serius.
Di sektor pendidikan, tercatat 63 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, dan ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.
Potensi kerusakan sosial yang diakibatkan oleh semburan lumpur panas juga telah begitu kuat. Masyarakat yang dulunya terkumpul di desanya, harus terpencar ke berbagai wilayah. Solidaritas sosial yang dulu terbangun semakin memudar. Kasus yang sering terjadi adalah perebutan status lahan atau tanah. Posisi masyarakat yang dibuat Lapindo sebagai mitra jual-beli tanah membuat banyak keluarga yang harus berkonflik karena pembagian uang hasil pembayaran tanah dan rumah. Selain itu keselamatan warga yang tidak terjamin dengan berdirinya tanggul-tanggul penahan lumpur menjadikan warga antar desa sering berkonflik untuk saling menyelamatkan desanya. Setiap warga ingin desanya selamat tetapi tidak ada jaminan baik dari pemerintah ataupun Lapindo tentang hal itu sehingga mereka memilih jalan sendiri dengan misalnya mengalirkan lumpur menjauhi desanya yang dampaknya mengalir ke desa lain yang juga tidak mau tenggelam.
Selain itu, kehilangan tanah berdampak juga hilangnya keterikatan warga dengan sejarah leluhurnya di desa. Dalam masyarakat jawa penghormatan akan leluhur mendapat tempat yang tinggi. Setidaknya setiap tahun mendekati bulan Ramadhan, selalu ada ritual tabur bunga dan berdoa di makam leluhur. Namun ketika makam itu tenggelam bersama desa mereka, ritual itu kini hilang. Warga hanya bisa berdoa di tepi tanggul, yang secara keterikatan jelas tidak akan sekuat ketika mereka memanjatkan doa di depan nisan. Berapa kita menilai kerugian sosial budaya begini dalam satuan mata uang mana pun?
Dari sekian catatan diatas, kita bisa dengan jelas melihat bahwa selain membatasi kita dengan ilusi pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan saja, Perpres juga telah mencerabut potensi perlawanan masing-masing individu dan mengalihkannya hanya menjadi angka-angka semata dalam berkas-berkas bukti kepemilikan lahan.
Kehancuran yang kita rasakan adalah kehancuran hidup sebagai masing-masing individu. Pekerjaan kita yang hilang, kesehatan kita yang terdegradasi, pendidikan kita yang berantakan adalah persoalan-persoalan yang kita hadapi sebagai individu. Namun Perpres menisbikan hal tersebut dan hanya mengakui korban sebagaimana dia ditulis dalam tumpukan berkas-berkas yang ditumpuk untuk menunggu cicilan pembayaran. Karena itulah mudah bagi pemerintah dan korporasi untuk berdalih bahwa mereka sudah hampir menyelesaikan kasus ini berdasarkan berapa angka berkas lahan yang telah dicicil. Dan bagi kitapun ilusi ini berlanjut dengan melupakan setiap komponen hidup yang telah dihilangkan dari masing-masing kita.
Dari masing-masing individu yang punya hasrat menyampaikan kemarahan karena hancurnya hidupnya akibat ulah korporasi, kita dikecilkan menjadi hanya kumpulan KK (Kepala Keluarga) yang menuntut pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan, lalu kita dikecilkan lagi menjadi sekian berkas yang menunggu untuk dibayar. Dari sini setiap potensi konflik yang bisa dimunculkan kita sebagai individu dengan kemerdekaan yang telah diganggu bisa dikanalkan melalui perwakilan-perwakilan keluarga, lalu menjadi perwakilan kelompok desa dan berakhir dengan munculnya elit-elit baru yang tidak kalah birokratisnya dibanding negara dan korporasi yang harusnya kita serang dalam kasus ini.
Disetiap desa dan kelompok perlawanan korban lumpur lapindo kemudian elit-elit baru ini mengambil peranan mediasi dengan kekuasaan dan seringkali akan berakhir dengan semakin melemahnya tuntutan demi tuntutan yang diperjuangkannya. Wakil-wakil kelompok kemudian bertransformasi menjadi pengambil keputusan hidup setiap individu yang tergabung dalam kongsinya. Kita yang sudah tidak mampu lagi menemukan kekuasaan menentukan pilihan tuntutan pengembalian hidup karena Negara sudah menutup akses kita membuat tuntutan yang lain diluar yang sudah digariskan melalui Perpres kemudian juga ditundukkan oleh perwakilan-perwakilan kita yang punya hak melakukan negosiasi atas nama kita. Bukan lagi setiap individu merasakan hasrat memenangkan kembali kehidupannya yang telah direnggut, sekarang kita menunggu hasil-hasil yang dibawa oleh negosiasi wakil-wakil kita dengan pemerintah dan lapindo yang hanya berakhir semakin menyedihkan.
Media Massa dan Kita adalah Penonton
Munculnya elit-elit warga ini pada gilirannya juga semakin menjauhkan pola aksi-aksi langsung warga menjadi mediasi baik melalui negosiasi tertutup mereka dengan negara dan korporasi maupun melalui aksi rebut simpati di media. Untuk kasus kegagapan menilai media ini, ada baiknya kita berkaca kembali melalui kasus Hari Suwandi diatas.
Beberapa dari kita masih ingat bagaimana ketika memulai aksinya pertama kali di pinggiran tanggul penahan lumpur panas, Hari Suwandi dilepas dengan berderai air mata dan harapan akan terbukanya mata pemerintah maupun lapindo untuk segera menuntaskan kasus ini (baca: membayar sisa ganti rugi). Dengan sorotan media yang tiap hari mengulas perjalanan Hari Suwandi “berjihad” ke ibu kota, tak pelak isu soal kasus lapindo terlihat kembali ke permukaan.
Namun disinilah pangkal permasalahannya. Ilusi lain tentang bahwa media massa adalah alat perlawanan yang bisa dipakai untuk memperjuangkan tuntutan bukan saja sekedar lomba kegenitan belaka untuk muncul secara nasional dan ajang verifikasi ketokohan seseorang, namun juga semakin menjauhkan kita dalam partisipasi aktif perlawanan. Arus komunikasi dan informasi tentu saja adalah hal penting untuk membangun basis solidaritas perlawanan kita dengan mereka yang merasa punya kemarahan yang sama di tempat-tempat lain. Tapi media massa mainstream adalah makhluk berbeda. Kebutuhan media massa adalah menarik sebanyak-banyak penonton terpaku didepan layar kaca, karenanya faktor penampilan menjadi faktor penting bagi media massa. Ketika logika penampilan adalah apa yang utama dalam media massa, maka apa yang akan ditampilkan akan disaring hanya berdasarkan apa yang akan memberi mereka keuntungan lebih besar. Isu-isu menarik akan dicari dan dikemas untuk menjaring penonton. Pada gilirannya, kita tetap akan dipaksa menjadi penonton saja, didudukkan untuk melihat tokoh-tokoh dan wakil-wakil kita yang dalam logika tampilan media massa dianggap menarik untuk mengambil peran dan berbicara serta bertindak mewakili kita.
Sama halnya dengan mediasi melalui negosiasi wakil-wakil kelompok, mediasi melalui media populis semacam televisi adalah bagian dari usaha menjauhkan kita dari kemampuan kita mengambil keputusan sendiri atas hidup kita. Ketika Hari Suwandi berjalan dari Porong menuju Jakarta, kita melihatnya disirakan media dan kita menaruh perlawanan kita ditangannya. Maka ketika kemudian Hari Suwandi menangis dan meminta maaf kepada keluarga bakrie kita terkejut dan merasa dikhianati karena bukan itu yang kita inginkan. Tapi mengapa? Mengapa kita menaruh kemarahan individu kita hanya pada citra Hari Suwandi di layar kaca? Kalau dari awal kita bukan hanya sekedar penonton untuk perlawanan ini, kalau sedari semula setiap kita adalah individu yang punya hak menentukan tuntutan apa yang harus kita ajukan untuk mengembalikan hidup kita yang dirampas oleh lumpur panas, kita tidak harus merasa dikhianati oleh Hari Suwandi. Karena dia bukan masing-masing dari kita, dia bukan manifestasi pilihan kita, dia bukan citra yang kita taruh untuk mewakili masing-masing kita sebagai individu korban Lapindo.
Mencari Lapangan Bermain yang Lain: Bukan Sebuah Proposal
Setelah 6 tahun lebih skandal lumpur Lapindo berjalan, rasa lelah dan frustrasi akan semakin sering menghinggapi kita. Refleksi singkat ini hanya catatan individu yang juga seringkali merasa lelah dengan segala kekalahan bertubi-tubi menghadapi gabungan Negara dan korporasi terutama dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Refleksi ini juga tidak bertendensi mengajukan proposal apapun akan pilihan apa yang terbaik untuk penyelesaian kasus ini. Namun dengan semakin panjangnya waktu berjalan mau tidak mau kita mesti melihat lagi bagaimana relasi perlawanan kita dan bagaimana kita memposisikan diri.
Perhatian utama dari refleksi ini adalah ketidakrelevanan lagi lapangan bermain kita melawan Negara dan korporasi. Memakai institusi Negara yang nyata-nyata bagian dari akar permasalahan dalam usaha memaksakan tuntutan kita kepada lapindo jelas tidak akan membawa kita kemana-mana. Berharap aturan hukum dan perundang-undangan serta turunannya semacam Peraturan Presiden akan memberi angin perubahan hanya akan menambah luka. Hukum dan aturan tertulis produksi pemerintah adalah media perlawanan yang tidak akan bisa kita menangkan. Institusi Negara tidak dinubuatkan untuk melindungi dan mendukung perlawanan warga. Usaha untuk memperbaiki dan atau menegakkan kemurnian aturan yang dibuat oleh mereka jelas bisa kita anggap kesia-siaan. Sejak aturan itu ditujukan memang untuk mengamputasi gerak perlawanan kita sendiri.
Pun demikian dengan hilangnya perlawanan masing-masing individu yang terorganisir tergantikan oleh perwakilan-perwakilan yang kenyataannya tidak berjuang untuk pilihan kita. Kita mesti melacak ulang apa saja yang telah dihilangkan dari kita untuk kemudian berusaha mewujudkannya kembali. Yang direnggut dari kita bukan sekedar tanah atau rumah kita, namun seluruh hidup kitalah yang telah ditenggelamkan oleh lumpur panas. Ketika wakil-wakil kita terus menerus menurunkan level tuntutan yang menyisakan kita hanya jadi semacam peminta-minta yang berharap kebaikan hati penguasa dan pengusaha untuk membayar sesuatu yang semestinya memang milik kita, jelas itu pertanda riil bahwa kita telah jauh dari kemerdekaan menentukan yang kita inginkan kembali pada hidup kita.
Lalu mediasi populis melalui media massa mainstream terbukti juga tidak memberi dampak apa-apa kepada kita kecuali bahwa kita dipertontonkan guyonan yang lebih garing dari Opera van Java. Menjauhkan kita dari tindakan langsung yang mungkin bisa kita ambil karena kita sudah muak dengan ketidakberpihakan negara dan kebebalan korporasi.
Adalah lebih memungkinkan ketimbang terus menerus melawan kejahatan korporasi di lapangan bermain yang tidak memungkinkan kita merebut kemenangan, kita bisa membuat pola aksi lain yang tidak lagi mengimajinasikan konsep lama yang nyatanya tidak membebaskan kita sama sekali. Sebagaimana sebuah pertandingan sepakbola, memakai Negara, konsep keterwakilan dan media massa mainstream untuk melakukan perlawanan serupa dengan bertanding tandang ke sebuah stadion yang dipenuhi supporter tuan rumah dengan pengadil lapangan yang dibayar khusus untuk memenangkan tim tuan rumah. Kita akan cuma jadi tim yang selalu kalah di tempat seperti itu.
Lupakan imajinasi lama, yang tidak lagi punya daya gerak, untuk melanjutkan lagi pertarungan melawan keserakahan korporasi yang dilindungi Negara kita perlu keluar dari jebakan-jebakan yang selama 6 tahun lebih ini mengurung ide-ide perlawanan kita menjadi lebih maju. Kita perlu mengkaji lagi aksi-aksi langsung yang memang menyerang jantung korporasi, sekali lagi menjadi terror untuk keberlangsungan tatanan yang menyebabkan kita tertindas, diluar semua mediasi yang diwakilkan ke pihak lain di luar diri kita sendiri. Setelah 6 tahun lebih perlawanan korban lapindo berjalan, daripada selalu terkejut mengapa kita selalu dikalahkan, bukankah tidak terlalu muluk-muluk jika kita mencari tahu apakah kita masih punya kemungkinan untuk menang. Setidaknya itu tidak lebih buruk ketimbang menangis di sebuah siaran langsung setelah berjalan kaki dari Porong ke Jakarta kan?
Sumber: http://selamatkanbumi.com/ID/refleksi-perlawanan-porong/
-
Perpres Tong Pes
SUBAGYO
Tanggal 3 Desember 2008, ada sebuah peristiwa sejarah hukum yang mengenaskan. Kacamata hukum memandang itu luar biasa. Apa itu? Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 gugur di istana negara, menjelma dalam kesepakatan perdata di tangan orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan hukum utuh.
Sembilan wakil korban Lapindo asal Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas), Sidoarjo, menyepakati tawaran Nirwan Bakrie yang mewakili Lapindo Brantas Inc, untuk mencicil sisa ganti rugi jual-beli tanah dan rumah korban lapindo yang masih 80 persen itu dengan cicilan sebesar Rp. 30 juta per bulan. Hasil itu disambut dengan demo korban Lapindo lainnya di Sidoarjo yang menolaknya.
Di luar kacamata hukum, itu sukses Lapindo kesekian kalinya memecah-belah warga korban Lapindo. Harus diakui, Lapindo lebih hebat dibandingkan para relawan pendamping korban Lapindo. Sebab, Lapindo dibantu kekuatan pemerintah.
Kronologi Perpres 14 Tahun 2007
Setelah semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006 mulai menghancurkan pemukiman penduduk sekitarnya, pemerintah tidak mengambil kebijakan yang tegas dan tepat untuk menyelamatkan korban. Saat itu pemerintah menyatakan bahwa masalah itu menjadi tanggung jawab Lapindo. “Pemerintah tak akan mengeluarkan uang sesenpun. Itu tanggung jawab Lapindo,” kata pemerintah waktu itu.
Statement pemerintah itu tampak dalam Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 yang membebani tanggung jawab semburan lumpur Lapindo seratus persen, sebagaimana disebutkan dalam Diktum Kelima Keppres itu: “Dengan terbentuknya Tim Nasional dengan tugas sebagaimana dimaksud pada Diktum Ketiga, tidak mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.”
Bahkan biaya pelaksanaan tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dibebankan sepenuhnya kepada Lapindo Brantas Inc. (Diktum Keenam Keppres No. 13 Tahun 2006).
Entah siapa yang menjadi pembisik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sehingga Keppres No. 13 Tahun 2006 yang menjadi ‘angka sial’ bagi Lapindo itu diganti dengan Perpres No. 14 Tahun 2007.
Eliminasi Keppres No. 13 Tahun 2006 dengan kelahiran Perpres No. 14 Tahun 2007 lebih menguntungkan anak Grup Bakrie itu, sebab berdasarkan pasal 15 Perpres tersebut ditentukan bahwa masalah sosial kemasyarakatan korban pada peta terdampak 22 Maret 2007 akibat semburan lumpur itu dibebankan kepada Lapindo, sedangkan di luar peta 22 Maret 2007 itu menjadi beban negara.
Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dibebankan kepada Lapindo, sedangkan biaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.
Cara penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan korban Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007 adalah dengan “jual-beli” tanah dan rumah korban Lapindo yang terkena dampak semburan lumpur. 20 persen dibayar di muka, sisanya 80 persen dilunasi paling lambat sebulan sebelum masa kontrak dua tahun habis. Demikian ketentuan pasal 15 Parpres No. 14 Tahun 2007.
”Tong Pes”
Dalam pelaksanaannya, pembayaran uang muka 20 persen dilakukan dengan cara kelompok per kelompok berkas, dalam gelombang waktu yang berbeda-beda. Kini, jatuh tempo pelunasan pembayaran 80 persen itu sudah terlewati bagi sebagian besar kelompok korban yang ada, sejak Maret 2008 lalu.
Jangankan pelunasan 80 persen, ternyata masih ada ratusan berkas yang belum menerima pembayaran 20 persen, dipaksa Lapindo mengikuti cara relokasi. Di Desa Kedungbendo masih ada 182 berkas dan di Perumtas I Tanggulangin ada 48 berkas belum dibayar 20 persen, termasuk lebih dari 600 kepala keluarga yang mengungsi di Pasar Porong Baru. Belum lagi kelompok-kelompok korban yang ada di Gempolsari, Jatirejo, Renokenongo yang sama sekali belum menerima uang pembayaran 20 persen itu (data Posko Korban Lapindo di Desa Gedang).
Tak kalah mengenaskan, bagi korban yang kadung mau mengikuti program pembayaran tunai bangunan dan tukar tanah (relokasi) ternyata banyak yang menangis karena belum dibayar uang muka 20 persen dan tanah relokasinya belum jelas. Tidak cocok dengan yang diiklankan di media-media massa. Korban Lapindo yang ‘tertipu’ itu dalam kelompok Gabungan Korban Lapindo (GKLL) dan Pagarekontrak yang selama ini paling lama mengungsi di Pasar Porong Baru.
Korban yang belum dilunasi 80 persen datang ke Jakarta. Dengan dalih masalah ekonomi global, di hadapan Presiden SBY terjadi negosiasi yang membenarkan cicilan Rp. 30 juta per bulan. Sementara itu pemerintah menyatakan menutup pintu negosiasi, padahal gelombang korban Lapindo yang menolak hasil negosiasi di sitana negara itu jumlahnya juga masih ribuan, dari kelompok yang berbeda-beda.
Tragedi hukum yang terjadi adalah bahwa Perpres No. 14 tahun 2007 sebagai regulasi ternyata tidak dipatuhi oleh Lapindo, lantas digeser bentuknya dari hukum publik menjadi hukum perdata. Pun penggeseran tersebut belum dapat memenuhi kedudukan hukum para wakil korban Lapindo dari kelompok tertentu, yang tentunya tak dapat mewakili seluruh korban yang ada.
Dari segi hukum, bagi warga dalam satu kelompok pun yang tidak menyetujui hasil negosiasi dalam istana negara itu berhak untuk melakukan aksi opt out (memilih keluar) dari kelompok yang diwakili oleh orang yang tidak dipercayainya. Bagi kelompok korban yang tak terwakili tentu tak boleh dipaksa tunduk dengan hasil negosiasi wakil kelompok yang lainnya. Grup Bakrie dibiarkan Presiden SBY tidak patuh dengan Perpres, lalu apa korban lumpur mau dipaksa patuh hasil negosiasi yang menabrak Perpres?
Pemerintah telah kehilangan kewibawaannnya dalam kasus lumpur Lapindo, yang masih akan menyisakan persoalan dan jalan panjang. Jika terhadap ketentuan hukum publik berupa Perpres itu mudah disimpangi, apalagi terhadap produk hukum perdata berupa hasil negosiasi yang menabrak ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Lebih gampang lagi disimpangi.
Solusinya hanya satu: pemerintahan yang tegas dan berwibawa. Kemarahan seorang Presiden atas penelantaran nasib rakyat korban seharusnya membuahkan garis kebijakan tegas. Perpres No. 14 Tahun 2007 harus dijalankan Lapindo. Jika tidak, diberi sanksi, sebagai ciri hukum yang adil dan pasti. Jika perlu Grup Bakrie dipailitkan oleh pemerintah untuk mempercepat pemberesan seluruh kewajibannya kepada korban Lapindo. Kepailitan bukanlah akhir hidup sebuah korporasi, sebab dalam proses kepailitan itu kegiatan usaha tetap berjalan atas izin Hakim Pengawas.
Apa guna membuat Perpres jika hanya dijadikan tong pes alias gentong kempes yang tak dihargai? Jangan sampai contoh buruk pelaksanaan hukum itu akan menjadi preseden yang berlanjut dalam pemerintahan selanjutnya. Jika ditiru, semua orang boleh dong tidak patuh regulasi pemerintah, dengan dalih ini dan itu?
-
“Cash and Resettlement”, Jalan Sesat
Subagyo SH, Tim Advokasi Posko Bersama Korban Lumpur Lapindo
Tampaknya jalan yang ditempuh korban lumpur Lapindo untuk mendapatkan pembayaran jual-beli tanah dan bangunan mereka yang telah terkubur bubur lumpur itu harus penuh liku.
Kilas balik perjuangan warga korban lumpur Lapindo, saya coba ingatkan kembali. Dahulu, warga korban lumpur terwp-content-wp-content dalam wadah yang secara prinsip terbelah dalam dua aliran. Aliran pertama Warga yang setuju skema Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14/2007) yaitu jalan penyelesaian sosial dengan jual-beli tanah dan rumah warga korban dengan pembayaran 20 persen di muka dan 80 persen sebelum masa kontrak rumah korban berakhir.
Mereka kini tergabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang konon merupakan mayoritas korban lumpur Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007.
Aliran kedua, warga yang tidak setuju skema Perpres No. 14/2007, mereka meminta pembayaran strict cash (tunai langsung). Mereka tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagarrekontrak). Tapi seiring jalan, Pagarrekontrak yang bertahan di pengungsian Pasar Porong Baru Sidoarjo itu akhirnya setuju dengan skema Perpres No. 14/2007 setelah ditekan melalui ancaman pemutusan air PDAM, listrik dan penghentian jatah makanan. Pada akhir April 2008 kemarin Pagarekontrak setuju dengan skema pembayaran jual-beli 20:80, tapi meminta jaminan jika ternyata PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) ingkar janji. Namun, terakhir pimpinan mereka (H. Sunarto) tiba-tiba mengambil keputusan menukik tajam: setuju cash & resettlement yang menimbulkan rasan-rasan para pengikutnya yang takut menyatakan ketidaksetujuan mereka.
Di luar GKLL dan Pagarrekontrak masih ada ribuan korban lain yang berjuang dalam kelompok-kelompok kecil dan para individu. Bahkan di Pasar Porong Baru saya menemukan adabeberapa orang korban yang mendeklarasikan tekadnya, Sampai kiamatpun saya tak akan menjual tanah dan rumah saya yang telah terendam! Ternyata di luar itu juga banyak yang belum mau menjual tanah dan rumah mereka yang terkubur lumpur. Mereka kelak akan menggugat ganti rugi kepada Lapindo. Pilihan ini juga harus dihormati.
Ada juga warga yang berkasnya diblokir oknum aparat desa sebab mereka tidak mau menuruti adanya pungutan 25 persen sehingga BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) tidak berani meneruskan prosesnya. Ada juga sengketa perbedaan tafsir jenis tanah yang menurut dokumennya tanah pekarangan tapi menurut kenyataan separoh rumah dan separoh dibuat tempat menamam kangkung (ditafsir sawah).
Ada pula warga yang resah sebab ada pengurus desa atau kelurahan atau pengurus kelompok warga yang meminta uang jasa 0,5 persen. Ada juga sedikit warga yang berbelanja perhiasan dan kendaraan setelah memperoleh pembayaran uang muka 20 persen. Dan lain-lain, kisahnya tidak sesederhana yang diberitakan media, tidak semesra apa yang digambarkan oleh iklan-iklan Lapindo di media.
Jalan tengah?
Warga kini dibelit masalah baru, yaitu: MLJ tidak lagi tunduk pada skema Perpres No. 14/2007. MLJ tidak mau membayar cash and carry (C&C) sesuai klausul PIJB dan Perpres No. 14/2007. Alasannya, tanah nonsertifikat (Petok D dan Letter C) tidak dapat di-dibuatkan akte jual beli (di-AJB-kan) karena berbenturan dengan aturan UU No. 5/1960 (UUPA).
Atas dalih tersebut, maka muncullah skema baru di luar PIJB yang telah ditandatangani MLJ dan korban lumpur Lapindo, yaitu: cash and resettlement (C&R). Skema C&R itu disusun dalam Nota Kesepahaman tanggal 25 Juni 2008 antara MLJ, pengurus GKLL, perwakilan warga dan Emha Ainun Nadjib yang dinyatakan dalam nota tersebut sebagai penggagas pendekatan budaya.
Dalam skema ini, pembayaran uang muka 20 persen yang telah dilakukan MLJ kepada warga dihibahkan kepada penerimanya. Selanjutnya, MLJ hanya mau membayar harga rumah atau bangunan milik warga yang terendam lumpur. Sedangkan tanahnya tidak dibeli, tapi diganti dengan tanah di tempat lain. Inilah yang dianggap sebagai jalan tengah sebagai bentukwin win solution.
Sesungguhnya, ketika Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 14/2007 sudah menjadi jalan tengah bagi Lapindo Brantas Inc., (putusan Mahkamah Agung RI No. 24 P/HUM/2007) meski belum tentu jalan adil bagi rakyat Indonesia, sebab rakyat melalui APBN harus menanggung biaya pembangunan infrastruktur serta biaya penyelesaian sosial di luar peta terdampak versi pemerintah. Perpres No. 14/2007 itu sendiri sudah tidak taat dengan prinsip absolute liability dalam pertanggungjawaban usaha hulu migas yang seharusnya diformulasikan dalam kontrak kerjasama usaha hulu migas berdasarkan pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas).
Ketika mayoritas korban lumpur Lapindo mau menerima skema pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu maka aturan jual-belinya membentur UU No. 5/1960 (lihat pasal 21). Sebab, mayoritas tanah korban lumpur adalah tanah Hak Milik. Sedangkan MLJ selaku perseroan terbatas (PT) bukan merupakan subyek hukum yang boleh memiliki Hak Milik atas tanah. Seharusnya mekanisme formalnya bukan jual-beli tanah, tapi bisa dengan pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. MLJ bertekad berpegang teguh pada Perpres No. 14/2007 (tampak pada catatan tangan di Risalah Pertemuan tanggal 2 Mei 2007 antara Menteri Sosial, BPN, BPLS, MLJ dan perwakilan 4 desa). Tapi kini MLJ mulai membangkang Perpres itu, ingkar dengan klausul C&C dalam PIJB yang disusunnya sendiri. Pebruari 2008 lalu, MLJ meminta syarat: MLJ akan mau meng-AJB-kan tanah-tanah Petok D dan Letter C, asalkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi persetujuan. Lalu BPN mengeluarkan Surat BPN tanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Lapindo (yang ditandatangani Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Atas tanah) yang menjamin dapatnya dilaksanakan jual-beli terhadap tanah-tanah Petok D, Letter C, gogol dan yasan.
Sebelumnya, Kepala BPN Sidoarjo juga menjamin akan menerbitkan sertifikat kepada Lapindo jika seluruh tanah warga korban lumpur sudah dibeli (Radar Sidoarjo, 12/4/2007). Menteri Sosial pun pernah mengatakan bahwa Lapindo tidak bisa tidak membayar, karena itu perintah Perpres No. 14/2007 (Kompas, 4/5/2007). Tetapi nyatanya MLJ bisa memaksakan diri untuk mengingkari skema Perpres No. 14/2007 dan PIJB yang telah dikonsepnya sendiri. Bagi Lapindo, hukum itu adalah apa saja keinginannya. Negara sepertinya tunduk kepada Lapindo.
Jalan sesat
Silahkan para pihak yang menyetujui cara atau skema C&R untuk menganggapnya sebagai jalan tengah. Tetapi bukan berarti para korban lumpur yang ‘terpaksa’ menerima jalan itu telah diperlakukan adil dan pasti. Saya katakan ‘terpaksa’ sebab jika mereka ditanya jawabannya memang terpaksa, daripada tak memperoleh apa-apa.
Skema C&R itu secara hukum menjadi jalan sesat sebab melawan aturan Perpres No. 14/2007 yang susah payah melanggar UUPA dan terpaksa dilegalisasi dengan putusan Mahkamah Agung RI (MA) No. 24 P/HUM/2007. Itulah diskresi hukum yang di tingkat teknis telah disetujui Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga pihak Lapindo telah diberikan jaminan kepastian hukum oleh Presiden, MA dan BPN.
Tetapi justru hak kepastian hukum para korban lumpur Lapindo dilanggar oleh MLJ seenaknya sendiri. Jika hari ini Lapindo bisa membangkang Perpres No. 14/2007 dan perjanjian (PIJB) yang telah ditandatanginya, apa susahnya baginya untuk kelak mengingkari model-model penyelesaian baru yang sudah terlanjur disetujui dengan keterpaksaan warga korban lumpur Lapindo yang tak pernah diberikan pilihan, baik skema C&R dan lain-lainnya yang tak ada payung hukumnya? Bolehkah masyarakat korban lumpur Lapindo juga seenaknya sendiri untuk tidak patuh pada hukum negara?
Apakah MLJ bisa dijamin tak akan ingkar lagi dan tak akan membuat masalah lagi dengan skema penyelesaian baru yang belum pasti itu? Salahkah para korban yang tidak lagi menaruh kepercayaan kepada MLJ setelah dibohongi?
Artikel ini tidak memberikan solusi baru, kecuali bahwa seharusnya solusi yang telah disepakati agar dilaksanakan, sebagai cara saling menghormati kedudukan hukum masing-masing pihak. Jika tidak, negara punya wewenang melakukan paksaan pemerintahan kepada Lapindo serta MLJ untuk tunduk kepada hukum negara. Jika tidak, berapa kali lagi negara ini dan warga korban lumpur akan diremehkan terus oleh anak-anak kecil dari Grup Bakrie itu?
-
Hentikan Jatah Makan, Kami Tetap Bertahan
Lapindo dan pemerintah, selalu membuat opini bahwa pengungsi ini adalah kelompok yang serakah. Sebab, kami tidak mau menerima skema yang ditawarkan (lebih tepatnya, dipaksakan) melalui Perpres 14/2007, seperti 94 persen dari ‘korban’ (ingat tentang korban dalam tulisan sebelumnya), atau 48 ribu jiwa lainnya.
Faktanya, justru kelompok inilah yang masih keukeuh dan tidak tunduk pada paksaan pemerintah. Sementara sebagian besar korban lainnya, justru sudah tertundukkan akibat politik pengabaian dan pembiaran yang kompak dari pemerintah dan perusahaan. Akibatnya, mereka tidak ada pilihan lain kecuali menerima skema pemerintah. Dan bagi pemerintah, mereka inilah warga yang ’baik’.
Sedangkan pengungsi di pasar ini, dari awal menolak skema ganti rugi dengan model jual beli. Kami juga menolak uang kontrak rumah Rp 5 juta rupiah, uang jatah hidup Rp 300 ribu per bulan dan uang pindah Rp 500 ribu. Kami lebih memilih bertahan di pasar, dengan kondisi yang sangat tidak layak, dibanding menerima kontrak, seperti yang selalu didesakkan pemerintah dan Lapindo, dan diterima oleh 48ribu korban lainnya.
Lalu mengapa kami ngotot menolak skema perpres?
Pertama, sebenarnya bukan kami saja yang ngotot menerima skema perpres. Hampir semua korban lapindo awalnya menolak skema perpres. Tetapi karena selalu diombang-ambingkan oleh isu, diintimidasi, diancam untuk tidak dibayar, sementara keseharian hidup di pengungsian juga sangat menderita, sebagian besar dari korban akhirnya memilih untuk menerima skema perpres. Sehingga mereka keluar dari pasar, dapat uang kontrak, lalu mencari rumah kontrak sendiri-sendiri.
Kedua, alasan kami menolak bukan karena skema pemerintah ini bakal tidak menguntungkan kami, tetapi justru sebaliknya. Percayalah, dibayar berapapun kami akan lebih memilih hidup kami yang dahulu di desa. Masalahnya, dengan menerima kontrak, hidup kami yang sudah susah akibat bencana ini, bakal tambah jauh lebih sengsara.
Sebab, dg menerima kontrak, kami akan tercerai berai dan tidak bisa hidup dalam satu komunitas seperti di desa dahulu. Dengan hidup tercerai berai, maka sebagian dari anggota komunitas ini, tidak akan bertahan, bahkan untuk hidup sekalipun.
Lho, kok bisa?
Ambil contoh mbok Ma, salah satu warga dusun Sengon, Renokenongo, yang sudah berusia sangat lanjut (dia tidak lagi ingat tanggal lahirnya). Selama ini dia hidup sendiri, di rumah dengan ukuran 5 x 6 meter, tanpa pekerjaan dan tanpa simpanan. Dia bisa hidup layak, dan masih relatif bahagia, sekalipun tanpa kerabat, ya karena dia hidup disitu, di Desa Renokenongo.
Dia sudah tinggal disana sejak kecil, kenal dengan semua orang. Hingga bagi mbok Ma, semua orang adalah kerabat, menggantikan kebutuhan akan kedekatan dengan cucu2nya, anak2nya. Secara ekonomi-pun, dia bisa hidup layak, karena sering terbantu oleh tetangga2nya. Yang seringkali, didesa penghitungan ekonomi memang tidak selalu untung/rugi. Sehingga dengan kemampuan seadanya, ada saja yang bisa dikerjakan oleh Mbok Ma, untuk dapat uang, dan dipakai makan sehari-hari.
Nah, orang seperti Mbok Ma ini tidak akan bisa bertahan kalau harus pindah ke desa lain. Dia bukan seperti anggota masyarakat urban yang bisa dengan mudah pindah dari satu kota ke kota lain, dari perumahan satu ke apartemen lain, dari satu komunitas ke lingkungan lain. Bukan pula seperti mereka yang punya pekerjaan di sektor formal atau keahlian multi sektor, sehingga ketika pindah ke lingkungan baru, tidak akan kesulitan sama sekali.
Mbok Ma butuh tinggal di desa Renokenongo, untuk hidup, untuk selamat dan untuk sejahtera di hari tuanya. Dan orang seperti Mbok Ma, atau bernasib sama dengan dia (pedagang nasi, toko kelontong, petani penggarap, dan banyak lainnya) jumlahnya ribuan, puluhan ribu bahkan. Dan kepentingan mereka sama sekali terabaikan oleh skema yang ditawarkan pemerintah, yang hanya menguntungkan Lapindo.
Kadang saya cuman bisa mbathin, ngerti gak sih Lapindo dan pemerintah itu. Ini rumah, yang meskipun sederhana, rumah kami sendiri, rumah yang kami bangun dengan penuh upaya, dan kebanggaan, yang menyimpan semua kenangan kemanusiaan kami. Dan sekarang itu semua sudah lenyap, sementara kami terancam tidak mampu lagi beli rumah yang baru, karena ketidakjelasan pembayaran dari pemerintah
Untuk ukuran rumah yang rata2 didesa, kami hanya akan dapat dibawah 60 – 80 juta rupiah. Kalau dibayar 20 persen dulu, ini pasti akan segera habis untuk mbayar utang, nyicil ini itu, dan berbagai kebutuhan keluarga lainnya selama kami di pengungsian. Sehingga kami minta dibayar sekaligus, atau paling tidak jangan 2 tahun kemudian.
Toh duitnya Bakrie, kata koran, triliunan rupiah. Ada yang bilang, ya kan gak bisa gitu, keduanya kan harus berkorban, gak bisa saling ngotot. Omongan orang KEPARAT! Lha gimana kalo gini, sambil nunggu kejelasan, kami tak tidur di rumah petinggi2 Lapindo dan pemerintah, sedangkan mereka tidur dipasar. Sampai penyelesaiannya tuntas. Gimana kalau gitu? Jadi kenapa harus kami yang diminta paham dan empati?
***
Maka, kamipun menolak skema perpres itu. Kami punya tawaran sendiri, bukan atas dasar egois, dan tidak memberatkan mereka, tapi akan mempermudah kami, melewati masa sulit ini. Kami ingin tinggal sepaguyuban dengan saudara dan tetangga sedesa, maka ganti aja uang kontrak dan lain2 kami dengan tanah 30 ha. Untuk pembayaran, kami sudah turunkan, dari awalnya 100 persen, jadi 50-50, sekarang 20-80, tetapi jangan 2 tahun.
Dan mereka tidak menerima, entah dengan alasan apa. Pemerintah menuduh kami melanggar hukum dan HAM karena menolak perpres dan bertahan di pasar. Padahal, semua orang tahu kalau perpres itu juga melanggar banyak UU lain yang lebih tinggi, bahkan UUD, lalu kenapa kami harus tunduk pada perpres SIALAN itu! Ketika sesuai dengan kepentingan mereka, undang-undang bisa diganti, tetapi kalau tidak, kami yang dituduh subversi.
Maka kamipun bertahan di pengungsian. Di pasar yang baru jadi, dengan beralaskan kasur tipis dan segala keterbatasan fasilitas (lihat cerita ttg sekolah TK kami disini). Padahal kami bukan gelandangan kok, kami warga bangsa yang bermartabat. Meskipun bukan orang kaya, tapi hidup kami tentram di desa kami. Namun kami memaksa tinggal dipasar, karena hanya inilah cara yang kami tahu untuk menyatakan tidak.
Kami berusaha ’hidup’ di pengungsian. Selama hampir 2 tahun kini. Meski makan dijatah ala narapidana, kadang basi, pernah berbelatung. Dengan segala macam keterbatasan sarana dan prasarana, yang membuat kami tidak nyaman dalam melakukan segala macam hal. Termasuk ketika berbuat dengan istri kami, dimalam yang dingin, berimpit2an dengan tetangga, hanya berbatas dinding kain butut (rumah gombal, sebut anak2 kami).
Pun ketika pemerintah melihat kami, korban keserakahan industri ini, justru sebagai pengganggu. Bagi mereka, kami adalah sebutir kerikil, disepatu kulit yang empuk dan nyaman. Bagi mereka, kami adalah debu yang masuk ke mata yang menimbulkan perih, pada saat semuanya sudah sesuai dengan keinginan. Maka pemerintah, yang seharusnya melindungi kami, malah bergandengan dengan si pemodal, untuk mengenyahkan kami, dengan cara apapun.
Intimidasi, teror, hasutan, bujukan, dan berbagai cara yang tak terbilang. Kami ditangkap bak teroris ketika hendak menyampaikan pendapat, di negeri sendiri, atas undangan saudara sebangsa di Bali. Kami juga dihasut dengan berbagai macam cara, dan diadu domba antar kami sendiri. Bahkan, mengancam dan mengultimatum akan menyerbu kami, bak tentara Inggris yang akan menduduki Surabaya.
Dan ketika ratusan bambu runcing (setelah bbrp pejuang kemerdekaan bilang adalah hak kami untuk bertahan) sudah disiapkan untuk menanti serbuan itu, ternyata mereka masih punya akal sehat (atau mungkin takut karena tahu bahwa kami akan kalap kalau jadi diserbu), dan urung menyerbu. Upaya lain dicoba. Berbagai fasilitaspun dipreteli. Air bersih sudah tidak kami konsumsi sejak 5 bulan yang lalu. Bahwa negara seharusnya bertanggungjawab atas nasib pengungsi didalam negeri, sudah tidak dijalankan sejak berbulan-bulan yang lalu
Namun kami tetap bertahan, dengan satu kesadaran, bahwa kalau kami keluar dari pasar, sementara tuntutan kami hanya seperlima dipenuhi, maka tidak ada satupun kekuatan kami untuk memaksa mereka memenuhi sisanya. Pada saat negara sudah memposisikan kami sebagai warga kelas dua, dengan tidak melindungi kami, tetapi memihak pengusaha, maka kami harus berusaha sendiri memperjuangkan tuntutan kami.
Maka, silahkan mengancam mencabut jatah makanan. SILAHKAN terus mengangkangi kesadaran dan akal sehat semua orang, tetapi kami percaya, masih banyak anak bangsa yang tidak merelakan negara ini tenggelam dalam hipokrisi.
Sebab kami yakin, akan banyak saudara sebangsa yang akan mendukung perjuangan kami. Setelah ini, warga bangsa akan berbondong2 untuk datang ke Pasar Porong, mengganti peran pemerintah membantu kami. Untuk menunjukkan bahwa akal sehat mungkin bisa dibeli, tetapi nurani tidak mati di negeri ini
Karena kami percaya bahwa…
KEBENARAN BISA DISALAHKAN….
TAPI TAK BISA DIKALAHKAN…!!!
Jadi, hentikan jatah makan, kami akan bertahan
-
Tentang Ganti Rugi
Di media massa kerap kali disampaikan bahwa Lapindo sudah mengganti kerugian yang dialami oleh warga akibat semburan lumpur. Sejalan dengan itu, Lapindo melalui PT Minarak Lapindo Jaya membuat dan memasang iklan yang cukup intensif untuk menunjukkan bahwa mereka sudah melaksanakan tanggung jawab kepada warga. Dan segendang sepermainan, BPLS dan pemerintah juga kerap mewartakan bahwa Lapindo sudah membayar ganti rugi.
Diberitakan pula bahwa warga korban Lapindo setelah dibayar, sekarang kaya raya. Skema pembayaran yang ditetapkan oleh Perpres adalah aset warga dibeli oleh Lapindo. Setelah pembayaran mendapat pembayaran berupa uang, sehingga sekarang kaya raya dan mulai bisa mendapat. Ini ditambah dengan pembandingan bahwa harga yang dibayar oleh Lapindo adalah lebih tinggi dari NJOP.
Warga yang terus menuntut Lapindo adalah karena mereka mengambil untung dan serakah. Hal ini terkait dengan poin nomor dua diatas, bahwa mestinya setelah dibayarkan ganti ruginya oleh Lapindo, warga seharusnya bersyukur dan berhenti berdemo2. Apalagi dibandingkan dengan korban bencana alam biasa, dimana ganti rugi hanya diberikan senilai 15 juta per keluarga
Lapindo sudah memberikan semua fasilitas yang diperlukan oleh korban. Dalam berbagai kesempatan, pihak Lapindo selalu mengemukakan bahwa mereka sudah menyediakan semua fasilitas dasar yang diperlukan oleh korban, mulai dari kesehatan, air bersih, pendidikan sampai pada penyediaan makanan untuk korban.
Lapindo meskipun belum jelas bersalah, sudah mengeluarkan dana miliaran bahkan triliunan rupiah untuk korban. Berlarut-larutnya penyelidikan kasus Lapindo dan ditolaknya dua gugatan class action dari Walhi dan YLBHI kepada Lapindo seringkali dijadikan alasan Lapindo bahwa mereka tidak bersalah. Meskipun mereka tidak bersalah, namun toh Lapindo tetap peduli dan mengeluarkan biaya ratusan milyar bahkan triliunan rupiah lebih.
Yang pertama perlu diklarifikasi adalah, tidak ada yang namanya ganti rugi. Yang terjadi adalah proses jual-beli aset korban (tanah, sawah dan bangunan). Dan korban disini adalah yang rumahnya masuk dalam peta terdampak, mereka adalah korban langsung.
Begini analoginya:
Ada bis yang entah kenapa nyeruduk serombongan pengendara motor. Sebagai bentuk pertanggungjawaban si pengemudi, seharusnya dia membiayai biaya perawatan dan penyembuhan para pengendara, lalu membetulkan kerusakan motornya ke bengkel, dan mungkin memberi sejumlah santunan sebagai ganti rugi atas ketidaknyamanan atau kehilangan waktu yang dialami tiap pengendara. Dan motor tetap dikembalikan kepada si pengendara tho?
Tetapi alih-alih melakukan semua hal diatas, si pengemudi mobil ini ternyata memilih untuk membeli motor yang ditabrak, dengan harga diatas harga pasar, tanpa mempedulikan luka diderita maupun kerugian yang dialami para pengendara. Dengan uang hasil pembelian itu, korban diharap mampu beli motor lain, juga mengobati sendiri lukanya dan mengganti kerugian lain yang timbul tadi.
Masalahnya kemudian adalah, terdapat beberapa jenis pengendara. Ada pengendara yang motornya keluaran terbaru, sehingga dihargai cukup mahal, namun ada juga yang motornya sudah butut, sehingga harganya juga murah. Kalau yang motornya baru tadi, mungkin memang akan cukup untuk beli motor baru, dan biaya pengobatan. Nah untuk yang motornya butut, jangan2 hanya untuk biaya pengobatan saja sudah habis duitnya.
Nah, ada yang lebih celaka lagi nasibya, yaitu adalah mereka yang naik motor pinjaman. Dengan skema tadi, yang dapat duit adalah yang punya motor. Sedangkan dia tidak dapat apa2, dan semakin babak belur karena keluar biaya sendiri untuk pengobatan. Yang untung malah si empunya motor dirumah, yang tidak ikut mengalami kecelakaan.
Usut punya usut, kabarnya kenapa si penabrak tadi memilih skema ini adalah karena ternyata dia punya bengkel reparasi motor. Sehingga, motor-motor yang ditabrak dan ringsek tadi, nantinya bisa diperbaiki lagi dan dijual sehingga mendatangkan untung. Jadi yang mestinya sekarang dia keluar duit dan merugi karena dia bersalah telah nabrak, malah potensial dapat untung.
Demikian juga dengan bencana Lapindo ini. Tidak ada itu yang namanya ganti-rugi. Oleh Perpres 14/2007, alih-alih membayar ganti rugi kepada warga, malah diperintahkan membeli sawah, tanah dan bangunan milik warga. Tidak peduli kerugian lain yang mereka alami, baik fisik (seperti kehilangan dan rusaknya perabot dan barang lainnya) maupun non fisik (penderitaan di pengungsian, kehilangan sumber pencaharian maupun pekerjaan, hidup yang tiba-tiba tercerabut dari lingkungan sosial dan budaya yang diakrabinya, dan sebagainya), Lapindo hanya bertanggungjawab membeli aset mereka.
Masalahnya, tidak semua orang mempunyai aset yang besar, sehingga ganti rugi tersebut hanya akan cukup untuk membeli aset di tempat yang lain. Sedangkan kehilangan barang, hutang yang harus diambil selama mengungsi, kehilangan pekerjaan, biaya pengobatan, tambahan biaya sekolah anak, dan sebagainya tidak dihitung. Apalagi kerugian yang bersifat immaterial.
Seperti analogi kecelakaan mobil nabrak motor diatas, yang paling merana nasibnya adalah kelompok warga yang tinggal disitu, namun tidak ikut memiliki aset, alias pengontrak atau penyewa. Meskipun mereka sudah bertahun-tahun (beberapa kasus bahkan puluhan tahun) tinggal disitu dan bekerja serta menjadi bagian dari warga, karena bukan pemilik aset, maka dia tidak dapat apa-apa. Yang mendapat pembayaran malah pemilik tanah yang bisa jadi orang dari luar daerah dan tidak mengalami dampak apa2 dari bencana ini.
Sekali lagi sesuai dengan analogi diatas, ternyata Lapindo tidak benar-benar ’rugi’. Dengan skema jual beli ini, mereka saat ini sudah menguasai tanah seluas hampir 700 ha, secara utuh dalam satu blok, diwilayah yang diperkirakan sangat kaya akan kandungan hidrokarbon. Dan dengan adanya pengembang besar PT Bakrieland Development, Tbk, bukan tidak mungkin bekas wilayah yg sekarang terendam lumpur ini, entah berapa tahun lagi akan disulap jadi kawasan industri atau hunian yang mahal (ingat perkembangan kawasan pantai Indah kapuk di Jakarta atau kawasan Pakuwon di Surabaya?). Jadi, duit yang keluar hari ini anggap saja investasi lahan properti masa depan.
Dari uraian diatas, bagaimana mungkin Lapindo sudah mengganti rugi korban?