Tag: Sanggar Alfaz

  • “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    Judul tulisan ini mengutip kalimat dalam komik Muasal Lumpur Lapindo karya Rahman Seblat. Kalimat singkat itu hendak menyampaikan pesan sederhana, namun tegas menegasikan anggapan umum tentang posisi warga terdampak lumpur Lapindo yang selama ini dianggap “tak berdaya.”

    Faktanya, di tengah pelbagai resiko dan bahaya ekologis yang menimpanya, warga menyimpan potensi kekuatan besar untuk bertahan hidup dan yang tak kalah pentingnya mereka adalah faktor pendorong bagi arah kebijakan mitigasi bencana lumpur Lapindo. Selama ini, terdapat pra-anggapan bahwa warga itu selalu tak berdaya menghadapi tekanan politik-ekonomi koalisi negara dan korporasi. Pra-anggapan itu dimanifestasikan dengan melekatkan identitas baru pada mereka: “korban.”

    Dalam situasi bencana, posisi sebagai “korban” didapatkan bukan karena pilihan mandiri melainkan akibat tekanan dari luar (bahaya dan resiko ekologis) yang biasanya di luar kendali mereka. Pada saat yang bersamaan, identitas “korban” adalah juga suatu politik budaya yang strategis untuk menekankan bahwa mereka ini membutuhkan “bantuan” dari pihak lain agar dapat kembali ke situasi “normal” dan mengejar pelbagai “ketertinggalan”-nya. Dan, negara merupakan lembaga politik yang paling masuk akal untuk memainkan peran normalisasi bagi kehidupan mereka.

    Peran sebagai “korban” muncul dari suatu relasi sosial yang melibatkan keberadaan aktor lain, “pelaku.” Relasi antara “korban” dan “pelaku” selalu dibayangkan sebagai relasi yang timpang, bahwa “aktor-pelaku” selalu memerdayai “aktor-korban,” dan untuk mengembalikan ketimpangan itu dibutuhkan “aktor-mediator” yang memediasi keduanya.

    Dalam kasus Lapindo, situasi menjadi rumit ketika publik, khususnya warga terdampak, meyakini bahwa semburan lumpur panas itu tidak lahir secara “alamiah” tetapi muncul akibat ulah operator Sumur Banjar Panji 1, Lapindo Brantas, yang lalai dan sengaja mengabaikan prosedur pengeboran yang baik dan benar. Keyakinan semacam ini menghadirkan operator pengeboran sebagai “aktor-pelaku” dalam kasus ini.

    Dalam situasi semacam ini, negara diharapkan hadir sebagai “aktor-mediator” yang bertugas secara adil mengembalikan ketimpangan relasi antara korban dan pelaku dengan membela korban dan menghukum pelaku. Sayangnya, temuan demi temuan menunjukkan bahwa ternyata kelalaian dan pengabaian prosedur itu juga dilakukan oleh negara sebagai pemberi izin pengeboran. Hal ini tentu saja menambahkan negara sebagai salah satu “aktor-pelaku” dalam kasus Lapindo.

    Dan, begitulah konstruksi pemahaman publik tentang relasi kuasa dalam kasus Lapindo: warga adalah “korban” yang berhadap-hadapan dengan kolusi negara dan Lapindo sebagai “pelaku.” Dengan pemahaman semacam ini, kasus Lapindo bukanlah sekadar bencana ekologis akibat semburan lumpur panas, melainkan sebuah tragedi politik-ekonomi/ekologi di sektor industri migas di republik ini.

    Hal penting yang patut kita catat, kesadaran tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi ini justru muncul dan dipertahankan oleh para warga terdampak lumpur Lapindo. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama aparatus negara dan petinggi perusahaan terus berjuang keras memaksakan logika “bencana alam” atas lumpur Lapindo dengan memanipulasi fakta sedemikian rupa. Akan tetapi, semakin kuat manipulasi itu dilancarkan, semakin kuat pula resistensi yang muncul dan berujung pada terus menguatnya kesadaran bahwa kasus Lapindo adalah tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Sayangnya, pemberitaan media arusutama cenderung membingkai perjuangan warga terdampak lumpur Lapindo sebagai tindakan yang kontraproduktif dengan kebutuhan publik luas. Tidak hanya itu, warga selalu dibingkai dalam posisi yang tak berdaya, “korban” yang hanya pasif menunggu para pemegang otoritas dan kewenangan untuk turun tangan mengentaskan permasalahan yang mereka hadapi. Padahal, warga terdampak lumpur Lapindo itu, dengan caranya masing-masing, telah dan tetap berdaya menghadapi pelbagai krisis sosial dan ekologis yang mendera mereka.

    Di antara kelompok warga yang ada, dua yang patut dicatat. Pertama, komunitas Sanggar Alfaz dan kedua, kelompok belajar Ar-RohmahSanggar Alfaz adalah ruang belajar bersama yang didirikan oleh beberapa warga Desa Besuki Timur dari keprihatinan atas kehidupan anak-anak di desa itu. Ketika para orangtua sibuk berjuang untuk mendapatkan “kompensasi” atas kerugian yang diderita, kebutuhan psikologis anak-anaknya yang masih dalam masa pertumbuhan itu terabaikan.

    Anak-anak ini tidak hanya kehilangan ruang, tapi juga waktu untuk bermain dan belajar. Mereka harus menghadapi dan mengatasi krisis psikologis sesuai usia mereka dalam kondisi yang penuh kepanikan, kecemasan, dan ketidakpastian akibat lumpur Lapindo. Pada 2012, anak-anak itu merilis kumpulan cerita dan puisi karya mereka berjudul Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita. Membaca narasi anak-anak ini, mata kita akan semakin terbuka tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Buku "Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita"
    Sampul buku “Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita”

    Kelompok belajar Ar-Rohmah didirikan oleh para perempuan tangguh yang merasa tidak mendapatkan jaminan dari para pengurus negara. Berawal dari meningkatnya permasalahan kesehatan warga terdampak lumpur Lapindo yang tidak pernah diperhatikan para pengurus negara, para perempuan tangguh itu pun bergerak. Mereka tidak hanya menuntut jaminan kesehatan, tapi juga jaminan bagi pendidikan anak-anak mereka yang telah diabaikan negara.

    Bersama dengan sanitasi, kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi pembangunan sumber daya manusia. Kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo dan gas hidrokarbon yang keluar bersamanya berdampak pada degradasi lingkungan hidup, khususnya kualitas air tanah dan udara di sekitar semburan. Ditambahkan dengan goncangan psikologis akibat krisis sosial dan ekologis, degradasi itu berujung pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat yang jelas mengganggu proses belajar-mengajar anak-anak, yang lagi-lagi diabaikan oleh aparatus negara.

    Melalui Sanggar Alfaz dan kelompok Ar-Rohmah, warga tetap berdaya meski negara alpa untuk memperhatikan kebutuhan mereka yang luput dari pemberitaan media arusutama yang seolah-olah gagal “move on” dari liputan tentang persoalan “pelunasan ganti rugi.”

    Persoalan materiil memang penting untuk dituntaskan, namun itu baru lapisan terluar dari tragedi ini. Masih ada inti problem yang tak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan, yaitu: kolusi negara dan korporasi yang berdampak pada pengabaian kebutuhan dan kepentingan warga sipil. Selama persoalan itu belum terpecahkan, bukan tidak mungkin tragedi serupa akan kembali terulang di masa mendatang dan menyerang ruang-ruang hidup lebih luas.

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya

  • Pelajar SMK Membuat Film Dokumenter Anak-anak Korban Lapindo

    Pelajar SMK Membuat Film Dokumenter Anak-anak Korban Lapindo

    Sidoarjo – Beberapa Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jabon melakukan pembuatan film dokumenter terkait  persoalan yang dihadapi korban Lapindo di desa Besuki, Kecamatan Jabon. Film yang direncanakan berdurasi limabelas menit ini menceritan kehidupan anak-anak Besuki sejak luapan lumpur Lapindo.

    Menurut Hisam Ulum, pemuda Besuki sekaligus siswa SMK Jabon, pembuatan film dokumenter ini bertujuan untuk menyajikan potret kehidupan warga kekinian sejak lumpur menyembur. Selain menunjukkan relita kehidupan warga Besuki yang terdegradasi, nasib anak-anak yang tidak mendapat perhatian dalam penanganan pemerintah menjadi pesan utama film ini.

    “Film ini nanti menceritakan kehidupan anak-anak Besuki yang kehilangan tempat bermain, ketidaknyamanan selama menempuh pendidikan, dan kesulitan-kesulitan orang tua dalam membiayai pendidikan anak-anaknya”.

    Lebih lanjut Ia menuturkan, film ini diharapkan dapat menyampaikan pesan kepada pemerintah untuk memahami kesulitan-kesulitan yang dihadapi warga korban lapindo. Kerusakan sumber ekonomi warga telah mempengaruhi masa depan pendidikan anak-anak mereka. Jika pemerintah tidak juga peduli terhadap persoalan pendidikan, Ia berharap masyarakat luas bisa bersolidaritas untuk untuk bersama-sama membantu anak-anak korban lapindo mendapatkan hak pendidikan.

    Sementara itu, Rere pengasuh di Sanggar Al Faz, menyampaikan dukungannya dan telah membantu semua proses yang dilakukan untuk pembuatan film ini. Dimulai sejak perencanaan awal, Ia sudah memberikan masukan agar film ini bisa menyajikan pesan yang kuat. “Ide adik-adik SMK Jabon untuk membuat film dokumenter yang menyajikan realita kehidupan korban lapindo adalah permulaan yang baik, Saya sangat berharap akan muncul kelompok-kelompok lain yang membuat hal serupa,” ujarnya.

    Ia juga berharap film-film yang dibuat oleh pihak-pihak yang peduli akan dapat digunakan sebagai media kampanye untuk perbaikan kehidupan korban lapindo. Saat ini yang paling besar dirasakan warga yang tinggal di wilayah sekitar semburan lumpur adalah ketidakjelasan kebijakan atas hancurnya wilayah tinggal warga, dampaknya sangat nyata yang salah satunya terkait kesulitan untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. (vik/red)

    (c) Kanal News Room

  • Solidaritas Fadly Padi untuk Pendidikan Anak-anak Korban Lapindo

    fadly serahkan donasi1

    SIDOARJO, korbanlumpur.info – Melanjutkan Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur, pada Jumat (14/10) Fadly vokalis grup band Padi mengunjungi dan bernyanyi bersama anak-anak korban Lumpur Lapindo di Sanggar Al Faz desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    “Musik Solidaritas Untuk Anak Lumpur Lapindo” merupakan bentuk dukungan Fadly atas Gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur yang digagas Walhi Jawa Timur, Sobat Padi, Sahabat Walhi Jawa Timur, dan beberapa kelompok masyarakat sipil lainnya. Kedatangan Fadly sekaligus secara simbolis menyerahkan donasi yang sudah digalang dan terkumpul selama bulan September yang menggunakan ikon Fadly-Rindra. Keseluruhan jumlah yang diserahkan 25 juta rupiah.

    Fadly mengatakan akan terus mendukung gerakan penggalangan donasi ini. Menurutnya dengan gerakan ini diharapkan membantu keberlanjutan pendidikan anak-anak korban Lapindo yang sudah lima tahun lebih tidak diperhatikan pemerintah.

    “Saya lebih menghargai dan mendukung gerakan ini daripada menunggu pemerintah, ini langkah awal untuk menyelamatkan generasi bangsa, kedepan Saya akan mendukung terus gerakan penggalangan dana untuk pendidikan anak-anak korban Lapindo”.

    Lebih lanjut menurut Bambang Catur Nusantara, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, gerakan Donasi Sahabat Anak Lumpur merupakan gerakan untuk menyatukan solidaritas untuk korban lumpur Lapindo, terutama untuk menjamin pemenuhan hak pendidikan anak-anak korban lumpur Lapindo. Gerakan ini merupakan kerjasama beberapa lembaga seperti Walhi Jawa Timur, Sahabat Walhi, Posko Keselamatan Korban Lumpur Lapindo, Sobat Padi Surabaya, JRKI, dan komunitas-komunitas di berbagai daerah.

    “Tahun lalu kami sudah menggalang dan mendistribusikan biaya pendidikan untuk 87 anak-anak korban lumpur Lapindo sejumlah 38 juta. Bantuan itu, sesuai dengan kebutuhan biaya pendidikan masing-masing anak, yang berkisar antara 220 ribu sampai 1,8 juta rupiah. Saat ini jumlah anak yang dibantu sekurangnya 212 anak dari jenjang SD SMP hingga SMU dengan kebutuhan biaya 52 juta rupiah”.

    Ia berharap, selain untuk mendukung anak-anak korban Lapindo dapat meneruskan pendidikannya, gerakan ini juga menjadi upaya kritis agar korban lumpur lapindo bisa mengakses pendidikan secara gratis melalui program BOS maupun kebijakan khusus lainnya dari pemerintah.

    Kedatangan Fadly pada pukul sebelas disambut suka cita oleh anak-anak korban Lapindo, pemuda dan orangtua yang sejak satu jam menunggunya. Mereka terlihat suka cita ada yang masih peduli dengan mereka. Zulfika Rohma misalnya, nampak bersemangat selama bernyanyi bersama Fadly.

    “Saya senang sekali ada yang memperhatikan kami,” ungkap anak kelas enam MI Darul Ulum Desa Besuki ini.

    Fadly adalah satu dari sekian artis yang masih mau menunjukkan solidaritasnya untuk kelanjutan generasi bangsa. Kedatangannya di kampung korban lumpur lapindo adalah wujud komitmen untuk turut serta mendukung masa depan pendidikan anak-anak korban Lumpur Lapindo.

    Gerakan donasi sahabat anak Lumpur terus mengajak masyarakat luas untuk turut serta dalam usaha melindungi anak-anak korban Lumpur Lapindo dari kesuraman masa depan, seperti yang telah dinyatakan oleh Fadly, “Ayo Sobat, kita semua bisa menjadi sahabat mereka, Sahabat Anak Lumpur”. (vik)

     

  • Gerakan Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak Korban Lapindo Diluncurkan di Surabaya

    Surabaya, korbanlumpur.info – Sekelompok muda dari Sahabat Walhi, Sobat Padi, Kaum Muda Nambangan, dan Walhi Jawa Timur yang tergabung dalam gerakan Sahabat Anak Lumpur menggelar penggalangan donasi Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak-anak Korban Lapindo di Taman Bungkul Surabaya (16/8).

    Aksi yang diawali dengan pertunjukan musik dan tari dari anak-anak sanggar Al Faz Desa Besuki ini bertujuan untuk membantu pendidikan sekitar 213 anak-anak korban lumpur Lapindo. Sebagian besar anak-anak yang dibantu masih dibangku Sekolah Dasar (SD).

    Rencananya, donasi yang terkumpul akan digunakan untuk membantu biaya pendidikan anak-anak, terutama buku, LKS, dan baju seragam. Biaya yang dibeankan kenyataannya memang memberatkan. PAdahal banyak anak-anak yang terancam putus sekolah karena orangtuanya tidak lagi memiliki biaya setelah lumpur lapindo memporakporandakan sumber ekonomi warga.

    Yuliani, koordinator gerakan ini mengatakan setiap tahun ajaran baru para orangtua selalu dihadapkan pada persoalan biaya pendidikan anak-anaknya. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang seharusnya bisa menjamin seluruh anak Indonesia bisa mengakses pendidikan secara gratis, ternyata pada prakteknya masih ada biaya-biaya untuk menunjang proses belajar mengajar di sekolah.

    “Selama ini anak-anak korban lumpur lapindo masih dikenakan biaya seragam, buku, daftar ulang, sumbangan uang gedung, ujian, pengambilan raport, dan sebagainya. Dana BOS tidak bisa membantu meringankan biaya pendidikan ternyata belum maksimal membantu.”

    Ia menambahkan, gerakan ini sudah yang kedua kalinya dijalankan, yaitu dimulai sebelumnya pada tahun 2010. Pada pengalaman sebelumnya, ada sekitar 87 anak telah mendapatkan bantuan pendidikan. Besaran bantuan pendidikan yang diberikan berkisar 220 ribu rupiah hingga 1,8 juta rupiah. Bantuan donasi tersebut disalurkan langsung ke sekolah dengan kesepakatan penyerahan dihadapan orangtua siswa.

    Pada tahun ajaran 2011-2012 tercatat sekurangnya 213 anak yang mengalami kesulitan pembiayaan. Nantinya mereka akan mendapatkan bantuan pendidikan sesuai besarnya kebutuhan yang dibebankan dan kecukupan donasi yang dikumpulkan. Melihat jumlah yang cukup besar hingga lebih dari 43 juta rupiah, rencananya gerakan ini akan diperluas dengan progam orang tua asuh, beasiswa, dan pendanaan abadi untuk menjamin perbaikan hak pendidikan bagi anak-anak korban lapindo hingga tahun-tahun berikutnya.

    Gerakan donasi ini mendapat sambutan dukungan dari beberapa kelompok masyarakat dan lembaga lain. Setidaknya Save the Street Child (SSC) Surabaya yang ditemui di lokasi berencana akan bergabung dalam penggalangan Donasi Pendidikan ini. Lembaga yang bergerak dalam aktivitas sosial kemanusiaan ini menyatakan sebelumnya pernah memiliki pengalaman mengalang donasi Koin untuk Jasika, satu anak yang terkena kelainan jantung.

    “Kami akan coba membantu dalam penggalangan donasi untuk anak-anak korban Lapindo,” ungkap Indra Setiawan, koordinator SSC.

    Penggalangan donasi akan diadakan di beberapa tempat di Surabaya dan sekitarnya sampai bulan Desember 2011. Harapannya dengan donasi yang maksimal dikumpulkan akan dapat membantu anak-anak Korban Lapindo hingga nantinya mendapatkan perhatian khusus dari pengurus negara.(vik)

  • Celoteh Ini Senjata Kami: Peringatan Hari Anak Nasional oleh Korban Lapindo

    Sidoarjo, korbanlumpur.info – Komunitas anak-anak di Besuki yang tergabung dalam Sanggar Al Faz melaksanakan peringatan Hari Anak Nasional (22/7) dengan berbagai ragam kegiatan. Sejak sebulan jelang pelaksanaan peringatan, anak-anak telah melakukan persiapan. Beberapa workshop digelar: foto, cetak stensil, komik dan balon kertas.

    Lebih dari sepuluh anak membingkai kondisi yang terjadi di Besuki dan sekitar tanggul lumpur dalam foto-foto. Tidak dibutuhkan kemampuan fotografi yang berlebih untuk ini. Anak-anak cukup dikenalkan teknik penggunaan kamera saku otomatis dan menggunakan secara bergiliran. Foto-foto kerusakan bangunan, jembatan yang rusak, tulisan-tulisan protes warga, rutinitas sosial, dan sekolah menjadi bahan-bahan yang dipamerkan. Mereka sendiri yang memilih dai sekian puluh jepretan gambar. Tidak itu saja, anak-anak mampu menyajikan tulisan cukup panjang sebagai keterangan foto. Ditempel pada kertas karton coklat, karya-karya foto ini mendominasi ruang bagian dalam sanggar.

    Sanggar Al Faz didirikan tiga tahun silam. Inisiasi, sejak setahun sebelumnya. Muhammad Irsyad sangat senang menggunakan rumahnya untuk sanggar ini. Latihan tari dan musik mulai digelar pada bagian teras rumah berukuran duapuluhan meter persegi. Cukup sesak saat tigapuluhan anak berkumpul bersama. Tak ayal, bagian ruang tamu ikut direlakan juga. Hampir setiap sore anak-anak berkumpul untuk berlatih dan bermain.

    Rumah Irsyad terletak di sebelah timur bekas Jalan Tol Sidoarjo-Gempol. Wilayah ini tidak masuk dalam wilayah terdampak yang ditetapkan pemerintah dalam Perpres 14/2007. Meski pernah terendam lumpur dan kondisi lingkungan yang rusak, hanya wilayah desa di sebelah barat tol yang diberikan penggantian. Itupun beberapa tahun setelah semburan terjadi. Jalan tol yang bertahun-tahun tidak digunakan, kini diperbaiki dan dijadikan jalur alternatif utama melintas Porong. Baru selesai beberapa bulan lalu.

    Kegelisahan atas kondisi yang ada juga tertuang pada goresan pensil dan krayon pada komik yang dibuat. Meski tiap anak hanya membuat dalam empat bingkai selembar kertas, nampak kejelian merunutkan kisah yang digambar. Bakrie yang diketahui sebagai penyebab semburan lumpur diumpamakan sebagai binatang-binatang. Ada yang menggambarnya sebagai banteng nakal, babi nakal, gajah raksasa, ataupun kambing. Kisahnya lucu-lucu dan menggelikan.

    Salah satunya berjudul Bakrie Kurang Ajar. Bingkai pertama gambar babi merah muda, bagian atasnya bertulis: Suatu hari ada babi bernama bakrie. Bingkai kedua bertulis: Bakrie merusak desa Besuki, dengan gambar atap rumah tenggelam lumpur dan babi yang memandangnya berujar,”ha…ha…ha syukurin kalian.” Berikutnya, Warga melawan Bakrie: beberapa orang membawa pentungan dan berteriak,” tangkap…hajar…sikat!!!”, gambarnya babi lari dikejar dengan teriakan,”tolong…”. Pada bagian keempat nampak babi di atas panggangan kayu bakar: “Akhirnya babi Bakrie dijadikan Babi panggang”.

    Sehari jelang peringatan, workshop cetak stensil sangat diminati. Tiga pengampu yang datang sukarela dari Malang sangat senang dengan antusias anak-anak. Plat-plat cetak yang terbuat dari tripleks dipilih masing-masing. Rebutan, tentu saja. Bergiliran untuk dioles tinta, berikutnya direkatkan pada kertas-kertas putih. Gambar yang tidak terlalu berwarna menjadi guyonan. Lama waktu penginjakan kertas pada cetakan ternyata mempengaruhi hasil gambar. Yang belum puas dengan karya dapat mengulang-ulang hingga beberapa kali. Ratusan lembar yang dihasilkan menjadi koleksi anak-anak dan disimpan di sanggar.

    Jum’at pagi beberapa tamu dari luar kota telah berdatangan. Dua dosen antropologi sebuah universitas di Malang datang paling awal. Disusul rombongan pemuda dan seorang dosen universitas Machung, juga dari Malang. Agus, dokumenter dan fotografer dari Bandung tiba kemudian. Foto dan video diabadikan dengan sebuah kamera DSLR yang ia bawa. Beberapa komunitas lain: Griya Baca Malang, Mahasiswa Unair, dan Kaum muda gereja Katolik Juanda bersusulan tiba. Puluhan wartawan dari berbagai media lain nampak sibuk mengabadikan bagian ruang dalam.

    Sekitar pukul sepuluh, tabuhan jimbe mulai terdengar. Anak-anak yang baru pulang dari sekolah tak menuju rumah untuk sekedar berganti baju. Kawan-kawan sekolah anak-anak sanggar Al Faz, yang sebagian besar dari MI Darul Ulum Besuki, berdatangan bersama dua guru perempuan. Setelah beberapa saat mengamati foto, komik, dan koleksi gambar pewarnaan alam, mereka bergerombol menyaksikan tabuhan-tabuhan yang mulai dimainkan di pendopo sanggar. Sekurangnya lima lagu hampir selama satu jam. Diiringi tarian dan topeng jaranan. Setengah dua belas acara berjeda untuk sembahyangan Jum’at para muslim.

    Anak-anak yang telah berdatangan usai sembahyangan sesaat kemudian menghilang. Hingga pukul dua siang mereka tak kunjung kembali. Rupanya tak ada dispensasi jadwal berlatih drumband yang diselenggarakan sekolah. Kepala Sekolah dan seorang guru merepotkan diri dengan menjemput anak-anak hingga pos kamling kayu seberang sanggar. Anak-anak memilih berangkat berlatih karena ketakutan. Menurut anak-anak kepada Irsyad, guru itu marah karena banyak anak yang tidak hadir meski jam berlatih sudah mulai. Sayang, Irsyad tak sempat tahu kejadian itu. Selama beberapa waktu ia tertidur kecapekan.

    Sesi workshop stensil diulang. Kali ini anak-anak dari komunitas lain ikut terlibat. Puluhan karya lagi dihasilkan. Dengan bangga karya-karya ini ditunjukkan dengan berfoto bersama setelahnya. Semua memegang kertas karya, ada yang diangkat tinggi, sebagian lainnya dipegang didepan dada.

    Pukul tiga sore Griya Baca Malang menyajikan tampilan. Beberapa lagu populer masa kini dilantunkan. Dua anak perempuan, dua laki-laki, dan seorang lagi telah remaja bersemangat bernyanyi dengan iringan gitar. Tak kurang lima lagu dibawakan. Beberapa nada false tak menjadi soal. Solidaritas dan keberanian untuk menyajikan menghasilkan riuhan tepuk tangan. Tampilan berikutnya kombinasi bebas anak-anak sanggar dan seorang pengasuhnya, Om Rere. Tiga lagu dibawakan dengan tabuhan rancak yang cepat dan keras. Sebuah gitar, balera, empat jimbe, dan dua bedug dimainkan mengiring lagu-lagu, Hukum Rimba salah satunya. “Maling maling kecil dihakimi, maling-maling besar dilindungi…,” bagian lirik yang mudah diingat. Rupanya ini merupakan sesi pengantar gelaran pamungkas: pelepasan balon.

    Angin berhembus cukup kencang ke arah barat. Hampir semua bergerombol membentuk lingkaran di jalan depan sanggar. Senja lima sore, balon siap dilepaskan. Ada dua. Balon pertama berukuran lebih lonjong. Irsyad sempat lupa saat membuatnya bersama anak-anak. Enam lembar sambungan kertas minyak saja yang disusun. Tapi tetap bisa terbang. Yang kedua lebih membulat karena terdiri delapan lembaran. Meski sesaat perlu ditambal karena ada sobekan pada bagian atas. Panas dari bakaran kayu tak bakal menghasilkan tekanan jika ada kebocoran. Anak-anak mulai banyak lagi berdatangan, sebagian telah selesai berlatih drumband beberapa jam. Selembar karpet biru butuh dibentang untuk perintang angin yang kencang.

    Balon pertama hanya mampu melintas jalan tol dan jatuh di bekas perkampungan sebelah barat. Sekurangnya dua ratus meter. Yang kedua juga demikian. Anak-anak membawanya kembali untuk diterbangkan ulang, hanya balon kedua. Sangat tinggi. Riuhan sorak dan tepuk tangan mengiringi. Beberapa pengguna mobil dan motor menepi untuk menyaksikan. Sayang angin sempat menghempasnya. Sesaat beranjak turun, melintas tanggul lumpur, dan tak lagi kelihatan.

    Tamu-tamu telah berpamitan. Hingga jelang malam anak-anak masih nampak bermain dan enggan bubar. Sebagian mengharapkan sesi malam: Pemutaran film anak yang telah direncanakan. Sayang, proyektor pinjaman tak kunjung diantarkan. Hingga sepuluh malam, satu demi satu anak kemudian terbaring ketiduran. Nyamuk-nyamuk menempel pada lengan dan kaki. Tak mereka rasakan. (red)

    BC Nusantara