Tag: semburan gas liar

  • Lapindo Mudflow Problem Badly Managed

    TEMPO Interactive, Jakarta –  Priyo Budi Santoso, deputy-chief of the House of Representatives’ (DPR) Lapindo Mud Flow Monitoring Team said 98 new sources of mud flow had been discovered. “The Sidoarjo Mudflow Management Agency has not done its job optimally,” he said during a session with the chairman of the agency’s board of directors and PT Lapindo Brantas at the DPR yesterday.

    The 98 new sources will make the work of controlling the mud flow even more difficult, Priyo said. The worst impacted villages are Jatirejo, Mindi and West Siring. “We have not received information on how the problem is being managed,” he said.

    The DPR team suggested agency includes the three affected villages in their mapping. The villagers should be evacuated to avoid the toxic gas coming out. “The National Budget (APBN) must make provisions to cover the costs for villages that are not in the map,” said Priyo, who led the meeting.

    The agency’s chairman, Djoko Kirmanto, explained that only 50 sources out of the 98 were active. The result of an analysis indicated that the mudflow will be stop by 2009.

    However, Kirmanto is of the opinion that the disaster will continue to happen for a longer period, possibly spearing to even more and larger areas. Hence, with the addition of the three villages, Kirmanto said, the government will have to amend the Presidential Decree No. 14/2007.

    According to Sunarso, chief of the Sidoarjo Mudflow Management Team, the government had allocated Rp 1,194 trillion to manage the problem in 2009. “The Finance Minister has approved it,” he said. Half of the fund – approved in June 10, 2008 — will be used for social welfare activities.

    Meanwhile, PT Lapindo Brantas spokesman, Imam Agustino, claims the company had disbursed Rp 4,4 trillion in managing the mudflow. “This is what we have spent since May 29, 2006 so far,” he said. Around Rp 873 billion was used to cover the mudflow holes, Rp 348 billion to provide for social compensation and the rest for land rehabilitation. “We also spent some amount for buying and selling land,” he added.

    To pay compensation to 20 percent of the victims, he said Lapindo had paid out Rp 650 billion in response to 12,061 applications. Out of the remaining 80 percent, Imam said, the company had compensated 35 percent of the applicants as of August this year. He claimed the company had fulfilled its obligations.

    DWI RIYANTO | RIEKA RAHADIANA | ISMI WAHID

  • Beringin: Dusun Yang Terpinggirkan

    korbanlumpur.info – Apa yang terjadi terhadap dusun Beringin desa Pamotan sungguh memprihatinkan, sumur-sumur warga telah keluar gelembung-gelembung gas sehingga airnya tidak bisa dipakai lagi, selain itu, semburan api juga bermunculan dibeberapa rumah dan pekarangan warga. dusun Beringin, Pamotan terletak di sebelah barat pusat semburan lumpur Lapindo dan berjarak sekitar 2 km. Sama seperti desa-desa di luar peta area terdampak, kondisi kerusakan lingkungan dan turunnya kualitas kesehatan tidak dilihat sama sekali oleh Pemerintah.

    Kondisi ini sudah mulai sekitar bulan Januari 2008 dan hingga sekarang tidak ada penanganan serius. “Ini sudah sejak Januari, awalnya cuma kecil, sekarang semakin membesar” ujar Semiwati, 56 tahun warga Beringin. Semiwati menuturkan, di rumah kakanya Amani, api sudah keluar di dapur. “Awalnya kita mau nyalain kompor, tiba-tiba api menyambar ke sebelahnya, dulu itu bekas bak kontrol selokan” tambahnya. Dirumah Amani itu, semburannya diberi pipa untuk mengalirkan gas dan atapnya dilobangi agar gas bisa keluar ruangan, karena posisi keluarnya semburan api ada di dapur, keluarganya terkadang memakainya sebagai kompor. Sedangkan di rumah Semiwati sendiri air sumur sudah tidak bisa digunakan, gelembung-gelembung gas muncul dan airnya berbau serta berasa asin “Airnya banger, coba saja kalau nggak percaya” ujarnya. Dan memang benar, air itu berbau dan rasanya asin, tentu saja kondisi air yang seperti seharusnya tidak bisa dipakai lagi.

    Namun warga tidak punya pilihan lain, dengan air yang bercampur gas, mereka masih tetap menggunakannya untuk aktifitas sehari-hari. Semiwati sudah sedemikian kesal dengan kinerja pemerintah yang tidak tanggap, menurutnya warga sama sekali tidak terperhatikan, BPLS hanya memberi bantuan air yang tidak konstan pengirimannya “Dua hari sekali, cuma dua tandon pula, tentu tidak cukup, karena sumur warga sudah rusak semua” lagipula, kerusakan sudah terjadi sejak januari, tapi bantuan air baru ada satu bulan kemarin. Bantuan air bersih sama sekali tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan warga. Warga sendiri mengaku gelisah atas kondisi ini “Itu katanya mengandung gas beracun, kita was-was juga, gimana kalau keracunan, gimana kalau tiba-tiba apinya membesar” sambung Semiwati.

    Sampai sekarang, mereka berharap agar wilayah mereka segera diselesaikan dan warga bisa diselamatkan.[re]

  • Siring Tak Layak Huni

    BPLS: Sudah Lama Berbahaya

    SIDOARJO ­- Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengakui, kondisi Kelurahan Siring bagian barat, Kecamatan Porong, memang berbahaya. Hal itu disampaikan Humas BPLS Achmad Zulkarnain kemarin (20/8). Menurut dia, pihaknya selalu melaporkan kondisi Siring dan sekitarnya secara rinci. “Dan, kondisinya memang tidak aman,” kata Zulkarnain.

    Namun, lanjut dia, kewenangan yang dimiliki Badan Pelaksana (Bapel) BPLS hanya menyampaikan laporan tersebut. “Sedangkan kebijakan ada di Dewan Pengarah (DP) BPLS,” tambahnya.

    Dia juga menjelaskan, laporan yang disampaikan kepada pimpinannya menggambarkan bahwa kondisi Siring berbahaya. Hasil pantauan tim independen bentukan Pemprov Jatim juga menyatakan berbahaya. “Padahal, data itu berasal dari BPLS,” tuturnya.

    Masyarakat, imbuh Zulkarnain, sering salah paham terhadap fungsi Bapel BPLS. Dia mengatakan, badan tersebut berfungsi sebagai pelaksana kebijakan di lapangan. Sedangkan penentu kebijakan adalah DP BPLS. “Jadi, wewenang kami terbatas. Sebab, kami hanya pelaksana,” terang dia.

    Penjelasan itu muncul setelah Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo mendesak BPLS segera melakukan evakuasi. “Mumpung belum ada korban,” ujar Dewan Pengarah Pansus Lumpur DPRD Jalaluddin Alham. Bahkan, Jalaluddin menilai BPLS selalu melemparkan masalah tersebut kepada pemerintah.

    Lebih lanjut Zulkarnain menegaskan, persoalan evakuasi bergantung pada kebijakan pemerintah. Artinya, jika muncul kebijakan dari DP BPLS tentang evakuasi, Bapel BPLS segera melaksanakan evakuasi. “Nah, sampai saat ini belum ada kebijakan itu, ” jelas dia.

    Namun, terang Zulkarnain, belum adanya kebijakan bukan berarti DP BPLS tidak berfungsi. Menurut dia, untuk mengeluarkan kebijakan evakuasi, tentunya harus ada pertimbangan yang rumit. “Mungkin sedang dirumuskan kebijakan menyangkut Siring dan sekitarnya,” ucap Zulkarnain.

    Seperti diberitakan sebelumnya, gas yang keluar di kawasan Siring terbakar tanpa diketahui penyebabnya. Warga setempat khawatir dan meminta BPLS bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Mereka sempat menggembosi ban sepeda motor dan mobil milik BPLS. Warga juga melarang BPLS memadamkan api.

    Api akhirnya dipadamkan kemarin malam pukul 18.30. Pemadaman itu dilakukan setelah warga yang rumahnya berdekatan meminta BPLS memadamkan api tersebut. Demi keamanan bersama, akhirnya api dipadamkan. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Gas Liar di Siring Barat

    Gas Liar di Siring Barat

    korbanlumpur.info – Seumur hidup Sumargo, 38 tahun, tak pernah membayangkan ada gas bisa keluar dari dalam rumahnya. Selama ini dia hidup tenang bersama istri tercintanya Muslimah, 29 tahun, dan anaknya yang tampan Nur Mudian, 11 tahun. Mereka menempati rumah kecil sederhana di RT 01/01 Kelurahan Siring Barat, Porong, Sidoarjo.

    Di Siring Barat ada empat RT 1, 2, 3 dan 12. Sementara delapan RT lainnya berada di Siring Timur. Antara Siring Timur dan Siring Barat dipisahkan oleh rel kereta api dan jalan tol yang menghubungkan kota Surabaya dan dengan Malang. Kini, pemisah mereka ditambah lagi satu yakni tanggul lumpur Lapindo tepat di sebelah rel.

    Delapan RT di Siring Barat telah menjadi kampung mati karena terendam lumpur Lapindo. Para penduduknya telah tercecer ke mana-mana. Sedangkan empat RT ini masih bertahan hidup dengan lingkungan yang buruk. Air bersih tercemar dan bau lumpur menyengat dihirup warga empat RT ini. Delapan RT ini masuk dalam peta yang tanahnya akan dibeli Lapindo sedang empat RT tidak masuk peta.

    Orang-orang di delapan RT tersebut baru mendapatkan ganti rugi 20 persen sementara 80 persennya masih belum dibayar Lapindo. “Kami baru dibayar dua puluh persen, dan delapan puluh persennya masih gantung,” tutur Cak Rois, salah seorang warga Siring Timur yang rumahnya terendam lumpur.


    Belakangan, di empat RT ini muncul semburan-semburan gas liar yang menakutkan warga karena terkadang disertai percikan api. Gas-gas ini muncul sembarangan bahkan sampai di dalam rumah warga salah satunya di dalam rumah Sumargo. 

    Saya ketemu Sumargo sekeluarga, Rabu pagi, dia menunjukkan tempat gas itu muncul, yakni tepat di depan pintu rumahnya. Gas ini keluar dari retakan kecil di lantai rumahnya yang diplaster. Awalnya mereka hanya mencium bau gas yang menyengat dan selanjutnya mereka takut menggunakan api, tak berani memasak di lantai. Kalau gas ini di sulut mereka akan keluar api.

    Sumargo mempraktekkannya dengan menyulutkan api dari korek dan api menyala persis kayak sulap. Saya terkejut.

    Sejak gas liar itu keluar Sumargo menjadi was-was dan hidupnya dan keluarganya jadi tidak tenang. Sebelumnya semburan gas liar ini ditemukan di beberapa tempat di empat RT di Siring Barat. Salah satunya di tanah milik Amari, 200 meter dari rumah Sumargo, semburan gas di tempat ini lebih besar bahkan bisa digunakan untuk memasak.

    Warga menjadi gelisah dan menuntut supaya pemerintah memperhatikan hal ini. Mereka menuntut diperlakukan sama dengan warga Siring Timur yang masuk peta dan mendapatkan ganti rugi. Berkali-kali mereka mengajukan tuntutan ke Bupati bahkan empat kali ke presiden namun tak juga ada respon balik.


    Pada tanggal 19 Agustus 2008 kemarin semburan baru muncul Siring Barat. Tempatnya di perbatasan tanah milik Toni dan Hubyo.

    Semburan gas ini mulai muncul setahun lalu dan penduduk Siring Barat sudah mengeluhkan hal ini pada pemerintah. Selama ini mereka bersabar menunggu dan mereka sudah jengkel. Mereka mengancam kalau misalnya dua bulan ke depan tidak ada kepastian dari pemerintah mereka akan turun ke jalan. Mereka berani mati untuk memperjuangkan hak mereka.

    “Wis rak wedi mati nek koyo ngene, sudah tidak takut mati kalau begini,”” tutur Ibu Hartini 53 tahun warga Siring Timur pada saya.

    IMAM SHOFWAN

  • Lagi, Api Menyembur Di Desa Siring

    Lagi, Api Menyembur Di Desa Siring

    korbanlumpur.info – Untuk ke sekian kalinya semburan api muncul lagi di area luar peta terdampak Lumpur Lapindo. Lokasi semburan api berada di Kelurahan Siring, di RT 03, tepatnya di tanah Bapak Doli dan lokasi ini hanya berjarak beberapa meter dari tepi jalan utama Sidoarjo-Malang. Menurut keterangan warga, semburan api mulai muncul sekitar pukul 05.00 wib. Dan seperti yang terjadi sebelumnya, kejadian kali ini membuat warga resah dan semakin was-was. Di lokasi yang sama, beberapa bulan yang lalu semburan api juga memakan 3 korban luka bakar.

    Menurut warga Siring barat, selama ini sudah banyak bermunculan semburan-semburan gas dan api, namun sampai sekarang belum ada keputusan dan tindakan yang jelas dari pihak Lapindo Brantas Inc dan BPLS untuk mengambil tindakan yang serius. Padahal, berdasarkan dari fakta-fakta lapangan, kondisi desa Siring barat dan desa-desa sekitarnya sudah tidak layak untuk ditempati sebagai pemukiman warga. Selain sering muncul semburan-semburan gas dan api, di desa Siring dan sekitarnya, tingkat polusi udara, air, bau gas yang menyengat sangatlah tinggi dan berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kesehatan, keselamatan dan hak hidup warga semakin meluas.

    Sejauh ini sudah banyak warga yang menderita sakit dan banyak juga yang meninggal akibat mengalami tekanan psikis.

    Sekitar pukul 9.00 wib, Humas BPLS Achmad Zulkarnain dan staff Humas Akhmad Kushairi juga hadir di lokasi kejadian. Seketika itu juga warga mengelilingi mereka berdua dan langsung mencerca dengan berbagai pertanyaan dan menumpahkan rasa kekesalan atas ketidak seriusan BPLS. Namun seperti biasanya, jawaban-jawaban yang dilontarkan Achmad Zulkarnain atas pertanyaan yang dilontarkan wartawan dan warga Siring berkaitan dengan tindak lanjut atas kejadian ini sangat mengecewakan.

    “BPLS mencoba semaksimal mungkin, tapi yang punya wewenang, sekali lagi adalah Presiden”. Padahal berdasarkan Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang BPLS, BPLS memiliki tugas untuk menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil (Pasal 1, ayat 1). Bahkan berdasarkan SK Gubernur Jawa Timur tanggal 5 Mei 2008 yang ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah BPLS, warga harus segera dievakusi.

    Agar pemerintah dan Lapindo Brantas Inc segera mengambil tindakan untuk memasukan desa Siring barat dan sekitarnya ke dalam area peta terdampak lumpur lapindo, warga sengaja untuk membiarkan semburan api terus membara. Hal ini dilakukan karena selama ini tidak ada keseriusan tindakan dari pihak pemerintah Daerah, pemerintah Pusat maupun Lapindo Brantas Inc untuk memberikan solusi bagi warga di luar area peta terdampak.

    Bang Rois sebagai salah satu dari korban lumpur Lapindo mengatakan, “Siring barat harus masuk ke dalam area peta terdampak, karena hampir 70 % pemukiman warga, baik di dalam rumah mapun di luar rumah warga pernah mengeluarkan semburan api, sehingga area Siring barat tidak layak huni karena diapit oleh pengeboran dari Wunut, Gedang sebelah utara dan Siring sebelah timur. Jadi Siring barat diserang semburan gas dari berbagai arah, jadi wilayah Siring tidak bisa dipisah-pisahkan dengn Siring timur, karena aset Siring barat juga ada yang di wilayah Siring timur, beberapa contoh antara lain masjid, sekolahan, makam, balai desa, sanak famili dll”.

    Bang Rois juga menambahkan,”Pemerintah harus segera memasukkan Siring barat ke dalam area peta terdampak. Apa sih beratnya memasukkan wilayah terdampak, wong memang daerah Siring barat tidak layak huni dan sering keluar semburan api dan gas. Sebagai contoh, Siring barat sebelah selatan, Siring barat sebelah barat, Siring barat seelah utara dan Siring barat sebelah utara sampai selatan pernah mengeluarkan api semua. Anak-anak dan warga lanjut usia harus segera mendapatkan perhatian karena kesehatannya mulai terancam, setidaknya ada cek kesehatan rutin”.

    Selain itu warga juga mengancam, apabila pihak pemerintah dan Lapindo Brantas Inc tidak segera merespon aspirasi warga, maka warga akan melakukan demo besar-besaran, memblokade jalan, blokade tanggul dan demi keselamatan masyarakat umum akan melarang kendaraan bermotor untuk melintas jalan desa Siring barat agar tidak terkena dampak semburan gas yang semakin banyak.[tang/jar]

  • Warga Desak BPLS Lakukan Evakuasi

    Warga Desak BPLS Lakukan Evakuasi

    SIDOARJO – Desakan terhadap Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) agar segera mengevakuasi warga terus berdatangan. Kemarin (12/8) desakan itu datang dari M. Mirdas yang di dalam rumahnya muncul semburan gas disertai lumpur.

    Dia menegaskan bahwa rumahnya sudah tidak layak huni. Yaitu, rumah yang berlokasi di Kelurahan Jatirejo RT 4 RW 1, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Itu terjadi setelah muncul semburan di dalam kamar dan samping rumahnya. “Ini sangat berbahaya,” katanya.

    Dia meminta BPLS melakukan evakuasi secepatnya. Sebab, kondisi rumahnya merupakan bukti bahwa kawasan tersebut berbahaya. “Bukti sudah ada. Sudah saatnya dievakuasi,” ucap pria yang juga anggota DPRD Jatim itu.

    Humas BPLS Akhmad Zulkarnain membenarkan bahwa peristiwa itu membuktikan kawasan rumah Mirdas berbahaya. Dia juga menjelaskan, semburan lumpur yang keluar disertai gas itu mudah terbakar. “Jadi, perlu kewaspadaan,” ujarnya.

    Terkait desakan evakuasi, Zulkarnain mengatakan, pihaknya akan menampung permintaan tersebut. BPLS sudah sering mengajukannya ke tingkat dewan pengarah. “Kami sudah melaporkan semuanya,” tuturnya.

    Namun, hingga saat ini belum ada keputusan menyangkut status kawasan tersebut. Dia menegaskan bahwa BPLS akan selalu berupaya membantu warga untuk mendapatkan haknya. “Kami akan selalu upayakan,” katanya.

    Seperti diberitakan, tiga kawasan di sebelah barat Jl Raya Porong belum masuk peta. Kawasan itu adalah Kelurahan Jatirejo bagian barat dan Siring bagian barat. Padahal, semburan lumpur dan gas sering muncul di kawasan tersebut. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Semburan Baru di Jatirejo

    Semburan Baru di Jatirejo

    SIDOARJO – Semburan baru yang disertai gas mudah terbakar kembali muncul. Kali ini munculnya semburan berlokasi di Kelurahan Jatirejo bagian barat RT 2 RW 1. Semburan itu berdekatan, sekitar 4 meter, dengan Jl Raya Porong.

    Selain menyemburkan air dan gas, semburan tersebut mengeluarkan partikel lumpur agak kental. Partikel lumpur itu mengalir ke arah Jl Raya Porong. Akibatnya, bahu jalan tergenang air beserta lumpur.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Zulkarnain mengatakan, semburan mulai muncul Minggu pagi (10/8). Namun, debitnya kecil seperti gelembung biasa. “Kami pikir tidak ada masalah,” ujarnya.

    Semburan itu mulai membesar Minggu pukul 23.00. Ketinggian air yang dikeluarkan mencapai 50 sentimeter. Warga sempat panik hingga kemudian melapor ke BPLS. “Kami langsung melakukan evakuasi,” jelas dia.

    Kemarin (11/8) semburan tersebut sudah tertutup drum berdiameter 50 sentimeter dengan ketinggian 1 meter. Di drum tersebut terpasang pipa vertikal dan horizontal. Pipa vertikal berfungsi untuk mengalirkan gas ke udara. Sedangkan yang horizontal berguna untuk mengalirkan air beserta lumpur ke sungai, yang terletak 10 meter dari semburan itu. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • BPLS Kesulitan Tangani Semburan Gas Mudah Terbakar

    SIDOARJO-MI: Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) hingga kini kesulitan menangani atau melakukan pipanisasi pada bubble (semburan gas) yang kandungan metana (gas mudah bakar) tinggi, karena dilarang warga.

    Staf Humas BPLS Ahmad khusairi di Sidoarjo, Jumat (1/8) mengatakan,  warga melarang BPLS untuk melakukan pipanisasi yang bertujuan untuk membuang konsentrasi gas yang keluar menyertai semburan-semburan tersebut.

    “Kalau konsentrasi gas dibiarkan menyatu tetap mengepul di area itu, akan berbahaya dan bisa terjadi kebakaran,” katanya menegaskan.

    Menurut dia, diantara semburan yang tidak boleh ditangani (pipanisasi) terutama kawasan Siring Barat Kecamatan Porong. Bahkan, warga Siring Barat yang areanya terdapat bubble, hampir semua menolak dilakukan pipanisasi.

    Ia mengatakan, warga beralasan sengaja membiarkan kawasannya seperti itu biar masyarakat luas, khususnya pemerintah pusat tahu bahwa Siring Barat banyak keluar semburan yang mudah terbakar dan sudah tidak layak huni.

    “Biar yang Jakarta melihat kalau semburan yang ada di Siring Barat tetap menyembur dan supaya dimasukkan peta atau mendapatkan ganti rugi,” katanya mengutip penolakan warga Siring Barat.

    Sementara itu, Mahmud, salah seorang warga Siring Barat mengakui warga memang menolak semburan yang ada di Siring Barat dilakukan pipanisasi.

    “Ini dilakukan warga sebagai upaya mendesak kepada pemerintah pusat untuk segera merespons tuntutan warga agar mendapatkan ganti rugi seperti korban lumpur lainnya karena mereka juga terdampak semburan lumpur Lapindo,” katanya. (Ant/OL-03)

    Sumber: Media Indonesia

  • Gas Lapindo Bisa Menjalar Hingga Cepu

    TEMPO Interaktif, Surabaya – Koordinator tim riset dari Pusat Penelitian dan Pengawasan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Subaktian Lubis, mengatakan hasil riset timnya menunjukkan jika semburan gas liar Lapindo ternyata mengikuti patahan sesar yang membujur dari pusat semburan lumpur Lapindo ke arah barat hingga kawasan Cepu.

    “Setelah kita pantau, seluruh semburan gas liar ternyata mengikuti patahan sesar lemah yang ada di bawah permukaan tanah,” kata Subaktian, Kamis (15/4).

    Di kawasan Porong sendiri setidaknya terdapat dua sesar lemah yang keduanya membujur ke arah barat hingga kawasan Cepu, Jawa Tengah. Kedua sesar ini, satu berada tepat di bawah pusat semburan lumpur Lapindo, serta satunya di bawah saluran pembuangan lumpur (spill way) atau di sekitar Desa Pejarakan yang berjarak sekitar 1 km ke arah selatan dari pusat semburan Lapindo.

    Letak dua sesar yang berbeda ini, ternyata juga membuat sifat semburan gas liar yang keluar berbeda. Sesar di bawah semburan lumpur Lapindo mengeluarkan gas yang kadang diikuti lumpur. Hal ini bisa dilihat dari semburan-semburan di Desa Siring bagian barat.

    Sementara untuk sesar yang melalui saluran pembuangan, semburan gas liar hanya mengeluarkan air jernih bercampur gas methan. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari sifat gas-gas liar yang saat ini banyak keluar di kawasan Desa Mindi.

    Subaktian menambahkan, antara gas yang keluar di semburan liar dan pusat semburan lumpur Lapindo memiliki sifat berbeda. Jika di pusat semburan yang keluar adalah gas beracun H2S dan tidak bisa terbakar, maka gas yang keluar di semburan liar merupakan gas methan yang tidak beracun, hanya saja gas ini sangat mudah terbakar.

    “Saya memperkirakan kalau di kawasan pusat semburan terus subsident (ambles), maka semburan liar akan terus keluar mengikuti arah patahan. Dan mungkin saja akan keluar hingga di Cepu karena garis sesar ini memang terhubung hingga Cepu,” tambahnya.

    Saat dihubungi, anggota Tim Independen bentukan Gubernur Jatim, Tantowi Ismail, mengatakan gas-gas methan ini akan lebih berbahaya lagi kalau diikuti keluarnya gas prophan dan buthan. “Kalau methan masih mending karena sangat ringan dan meski terbakar akan mudah melayang terbawa angin ke atas,” kata Tantowi.

    Sedangkan jika yang keluar prophan dan buthan yang memiliki sifat berat, maka tidak mudah terbang dan akan menyebar ke arah horisontal. “Bisa dibayangkan kalau mengenai orang yang merokok atau tukang bakso, maka akan langsung meledak,” kata Dosen Teknik Kimia ITS Surabaya ini.

    © TempoInteraktif

  • Semburan Liar Rambah Trotoar Jalan

    SIDOARJO — Fenomena gas liar sebagai dampak semburan lumpur Lapindo Brantas mulai merambah gorong-gorong trotoar di jalan raya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Gas liar yang mudah terbakar ini menjalar ke trotoar karena tanah di Desa Siring Barat ambles sekitar 0,1-0,5 sentimeter setiap hari sehingga kontur tanah miring ke arah timur atau pusat semburan lumpur.

    Untuk menghindari percikan api di trotoar, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) akan membuka penutup trotoar. “Percikan api bisa membakar air di bawah trotoar,” kata juru bicara BPLS Ahmad Zulkarnain di Sidoarjo kemarin. Kandungan low explosive limit (LEL), kata dia, saat ini sudah mencapai 100 persen.

    Fenomena sejak dua pekan itu baru terdeteksi kemarin setelah beberapa waktu lalu warga di sekitar jalan raya Porong mengeluh pusing dan mual. Selain dihuni warga, trotoar ini sering menjadi tempat beristirahat sopir angkutan umum rute Porong-Surabaya. Polisi sudah memasang garis polisi karena air di dalam gorong-gorong mulai mengalir ke jalan raya.

    Semburan gas liar ini membuat warga resah karena gorong-gorong ini merupakan satu-satunya tempat pembuangan air. “Air di sepanjang got jadi mudah terbakar,” kata Gandu Suyanto, warga Siring. Warga minta BPLS membuat saluran baru. Mereka juga minta direlokasi karena tanah terus ambles setiap hari.

    Menanggapi keluhan warga, Ahmad Zulkarnain mengatakan akan memasang gorong-gorong berjenis U-Gatter. Dengan gorong-gorong berbentuk huruf “U” ini, aliran air dari semburan liar bisa dialirkan ke Kali Tengah. BPLS juga berencana memasang pipa khusus untuk memisahkan air dengan gas agar tidak membahayakan warga.

    Untuk melihat dampak amblesan tanah, BPLS terus mengukur pergerakan tanah dengan Geo-Radar. Penelitian sejak tiga bulan lalu ini sampai sekarang belum bisa disimpulkan. “Masih dirumuskan,” kata Zulkarnain.

    Sementara itu, tanah yang terus ambles ini membuat jalur kereta di kilometer 32.850 hingga 32.950 tergenang air. Bahkan genangan hampir menutup seluruh badan rel. “Tapi untuk sementara masih aman karena belum tertutup total,” kata juru bicara PT Kereta Api Daerah Operasi VIII Sudarsono.

    Agar kereta tetap beroperasi, kereta yang melintas diharuskan mengurangi kecepatan dari 70 kilometer per jam menjadi 10 kilometer. Jika kondisi makin parah, rel kereta akan ditinggikan kembali. Dia berharap 40 jadwal perjalanan kereta per hari tidak terganggu oleh genangan air.

    Rohman Taufiq | Koran Tempo

  • Gas Berbahaya di Gorong-gorong

    BPLS: Gas Jenis Metana dan Sangat Mudah Terbakar

    Sidoarjo, Kompas – Semburan gas yang mudah terbakar di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (8/4), semakin meluas dan merembes masuk ke gorong-gorong di tepi Jalan Raya Porong. Kondisi ini meresahkan warga karena membahayakan warga dan pengguna jalan.

    Yayak (35), salah seorang warga RT 12 RW 2 Desa Siring Barat yang rumahnya berada persis di depan gorong-gorong, merasa khawatir dengan adanya konsentrasi gas tersebut.

    “Kalau ada pengguna jalan yang membuang puntung rokok ke gorong-gorong itu, pasti akan langsung terbakar, rumah saya bisa langsung kena,” kata Yayak.

    Ia menuturkan, keadaan tersebut telah berlangsung sebulan terakhir. Bahkan, gas juga telah masuk ke dalam rumahnya melalui retakan-retakan yang muncul sejak dua bulan terakhir. “Bau gas itu menyengat sekali. Kalau malam, saya sekeluarga pusing-pusing,” ujar Yayak.

    Hal serupa dialami Sudarti (60). Bahkan, saat ini lantai di rumahnya terasa panas, sementara retakan-retakan di lantai dan tembok rumahnya juga semakin banyak.

    Karena kondisi seperti itu, Sudarti tidak lagi berani memasak atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan api karena khawatir terbakar. “Sekarang kalau mau memasak, terpaksa menumpang di rumah tetangga atau beli makanan jadi daripada rumah terbakar,” kata Sudarti.

    Sangat mudah terbakar

    Dari hasil pengukuran tim pemantau gas Fergaco di sekitar semburan lumpur Lapindo, kandungan low explosive limit (LEL)–gas mudah terbakar jenis metana–di gorong-gorong itu sudah melebihi 100 persen dalam radius 25 meter.

    “Artinya, gorong-gorong itu sudah berbahaya dan sangat mudah terbakar jika tersulut api,” ungkap Kepala Humas Badan Pelaksana Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain.

    Metana adalah gas yang sangat mudah terbakar. Kandungan metana 5-15 persen di udara sudah cukup untuk menimbulkan ledakan jika ada api. Namun, gas itu tidak beracun jika terhirup.

    Meskipun demikian, metana bisa menyebabkan orang mati lemas karena gas itu mengurangi konsentrasi oksigen yang dihirup manusia. Dalam gas tersebut, tidak ditemukan adanya kandungan gas beracun hydrogen sulfide (H2S).

    Achmad menjelaskan, sampai saat ini belum dapat dipastikan asal gas yang ada di gorong-gorong itu. “Ada kemungkinan gas berasal dari air yang membawa partikel gas dari sekitar Desa Siring yang mengalir ke gorong-gorong atau memang ada sumber gelembung gas di gorong-gorong tersebut,” katanya.

    Saat ini BPLS sedang memikirkan rencana meminimalkan risiko terjadinya kebakaran, apalagi gorong-gorong berada di pinggir jalan utama. Salah satunya adalah dengan memasang pita pengaman di sekitar muara gorong-gorong yang terhubung dengan sebuah kali kecil.

    “Selain itu, BPLS akan membuat ventilasi di sepanjang gorong-gorong agar gas dapat keluar dan tidak terkonsentrasi dalam jumlah besar,” kata Achmad.

    Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar yang dimintai penjelasan mengatakan bahwa sampai sekarang banyak ahli yang memaparkan teori tentang fenomena keluarnya gas di sekitar luapan lumpur Lapindo.

    Namun, salah satu penjelasan yang bisa dipakai tentang munculnya gas di gorong-gorong itu, menurut Andang, adalah struktur bawah tanah yang tertekan akibat materi lumpur yang keluar sehingga mengakibatkan gas ikut keluar ke permukaan dari celah-celah lapisan tanah.

    Menurut Andang Bachtiar, satu-satunya cara untuk mengatasi keluarnya gas di gorong-gorong adalah melokalisasi gas tersebut ke lokasi yang aman untuk kemudian dibakar.

    “Jika dibiarkan terkonsentrasi begitu saja, akan membahayakan karena mudah terbakar. Apalagi letaknya dekat dengan permukiman penduduk dan jalan raya,” kata Andang.

    Saat ini di Desa Siring Barat yang terdiri dari empat RT itu (RT 1, RT 2, RT 3, dan RT 12) terdapat sekitar 50 titik gelembung gas dan 4 titik semburan air bercampur gas.

    Puluhan rumah warga juga retak-retak, yang diduga terjadi akibat subsidence (penurunan tanah). Hal ini diduga kuat berkaitan dengan semburan lumpur Lapindo yang hanya berjarak sekitar 800 meter dari desa tersebut, yang menyebabkan kekosongan dalam tanah. (A13)

    Sumber : Kompas