Tag: sisa 781 milyar

  • Lapindo Ditalangi Rp 781M Masih Belum Cukup

    Lapindo Ditalangi Rp 781M Masih Belum Cukup

    JAKARTA – Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 sudah disahkan Jumat malam (13/2). Di dalamnya, terdapat alokasi dana talangan untuk korban lumpur Lapindo senilai Rp 781,7 miliar. Namun, dana tersebut dinilai pihak Lapindo belum cukup.

    Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya yang dilakukan pemerintah dan disetujui DPR untuk memberikan dana talangan atas musibah lumpur Sidoarjo itu. ”Tapi, dana itu mungkin belum cukup,” ujarnya kepada Jawa Pos Sabtu (14/2).

    Sebagaimana diketahui, dana tersebut akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di peta area terdampak. Ganti rugi itu sebenarnya kewajiban Lapindo. Namun, karena keuangan perusahaan sedang seret, pemerintah bersedia memberikan dana talangan agar proses ganti rugi bisa segera tuntas.

    Andi menyebutkan, dana yang dibutuhkan berpotensi melebihi Rp 781,7 miliar seperti yang diperhitungkan sebelumnya. ”Mungkin bertambah ya. Karena belum menghitung (kebutuhan) dana untuk warga (korban lumpur) yang sudah ambil rumah di KNV (Kahuripan Nirwana Village),” katanya.

    Meski begitu, Andi belum bisa memastikan potensi kebutuhan tambahan dana untuk pelunasan ganti rugi, termasuk solusi untuk menutupi kekurangan itu. ”Kami belum berpikir ke situ dulu. Ayo, kita coba selesaikan dulu lah (dari dana talangan yang disediakan pemerintah),” kelitnya.

    Sementara itu, saat ditemui seusai pengesahan APBNP 2015 Jumat malam, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan bahwa pemberian dana talangan kepada Lapindo bukanlah bailout yang bisa diterima tanpa kewajiban pengembalian. ”Ini sifatnya talangan, pinjaman, jadi nanti harus diganti (oleh Lapindo),” tegas dia.

    Pemerintah juga sudah meminta jaminan berupa aset tanah di peta area terdampak yang dibeli Lapindo. Jumlahnya sekitar 9.900 sertifikat tanah atau girik seluas 640 hektare senilai total Rp 3,03 triliun. Karena itu, sebelum dana talangan dicairkan, pemerintah akan membuat perjanjian secara legal dengan Lapindo. ”Intinya, mereka harus mengembalikan (dana Rp 781 miliar) dalam jangka tertentu. Kalau tidak, aset mereka (senilai Rp 3,03 triliun) kami ambil,” jelasnya.

    Mekanisme pencairan dana talangan dan perjanjian legal itulah yang segera dirumuskan oleh tim pemerintah di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Dihubungi secara terpisah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menjelaskan, total ganti rugi korban yang lahannya terkena lumpur Rp 3,8 triliun. Dari jumlah itu, Minarak Lapindo hanya bisa membayar Rp 3,03 triliun. Sisanya terpaksa ditalangi pemerintah, yaitu Rp 781 miliar. ”Pemerintah dan negara harus hadir membantu korban Lapindo, bagaimanapun caranya, tanpa menyalahi aturan dan menghilangkan tanggung jawab Lapindo,” ujarnya.

    Basuki juga menyebutkan skema pembayaran. Yakni, pemerintah membayar Rp 781 miiar. Lalu, aset Rp 3,03 triliun yang sudah diganti Lapindo diberikan kepada pemerintah sebagai jaminan.

    Lapindo diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan Rp 781 miliar tersebut. ”Nanti kalau tidak dilunasi, maka aset tersebut jadi milik pemerintah dan akan dijual. Menurut presiden, nantinya akan ada kuasa jual untuk aset itu,” tegas Basuki.

    Sementara itu, Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan, saat ini BPLS serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan validasi atas semua data yang dilaporkan, terutama dari pihak Lapindo. ”Sekarang kami menunggu pemerintah pusat terkait penyaluran dana talangannya. Teknisnya seperti apa, nanti tunggu jelang pelaksanaan,” ujarnya. (gen/owi/c11/kim)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/12962/lapindo-ditalangi-rp-781-m-masih-belum-cukup
  • Dana Talangan: Uang dari Pajak

    Dana Talangan: Uang dari Pajak

    Harian KOMPAS | Jumat, 06-02-2015 | Halaman: 17

    Belum pernah terjadi anggaran negara dialokasikan untuk menalangi ganti rugi korporasi. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015, dialokasikan dana Rp 781,7 miliar untuk digelontorkan ke PT Minarak Lapindo Jaya, anak perusahaan Grup Bakrie.

    Anggaran tersebut ditujukan untuk menalangi jual beli tanah dan aset antara PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan warga korban lumpur Lapindo. Jual beli adalah status yang diinginkan Lapindo sebagai pihak yang bertanggung jawab, bukan ganti rugi sebagaimana diserukan warga.

    Sampai saat ini, sekitar 20 persen dari total areal terdampak lumpur belum dibayar oleh PT MLJ. Perusahaan mengklaim tak mampu bayar sehingga meminta dana talangan dari pemerintah pada 2014.

    Presiden Joko Widodo berketetapan mengalokasikan dana talangan itu. Berbagai spekulasi pun bermunculan dengan keputusan tersebut. Namun, dalam perspektif positif, kebijakan itu mungkin merupakan bentuk pemenuhan janji Joko Widodo. Selain itu, pilihan ini adalah langkah yang paling diharapkan korban lumpur Lapindo. Mereka telah menunggu delapan tahun atas hak-haknya tanpa kejelasan dari PT MLJ.

    Alokasi dana talangan ini disetujui Badan Anggaran DPR, Selasa (3/2) malam. Pembahasan biasanya bertele-tele, tetapi dana talangan ini diselipkan dalam rapat kerja tentang penyertaan modal negara (PMN). Pembahasannya singkat.

    Pemerintah dan DPR hanya butuh waktu satu jam membahas dana talangan ini. Sementara untuk membahas PMN ke badan usaha milik negara (BUMN) yang nilainya jauh di bawah dana talangan, butuh waktu berhari-hari.

    Misalnya untuk PT Pelni dan PT Garam yang masing-masing dianggarkan Rp 500 miliar dan Rp 300 miliar. DPR mensyaratkan kehadiran direktur utama untuk menjawab beragam pertanyaan.

    Sementara itu, dana talangan Lapindo, pada saat disetujui pun skema utang piutangnya belum tuntas, misalnya menyangkut tenor dan bunga. Nilai agunannya pun belum valid karena masih dihitung BPKP. Direktur Utama PT MLJ pun juga tidak perlu repot-repot hadir menjawab pertanyaan.

    Publik berhak mengetahui soal ini karena dana talangan merupakan uang rakyat yang dikumpulkan melalui pajak. Jika pemerintah dan DPR sepakat tanpa kejelasan skema utang piutangnya, pembayar pajak berhak menggugat.

    Dana talangan ke PT MLJ pada dasarnya adalah uang rakyat. Dan niat baik untuk tujuan baik saja kerap tidak cukup. Perlu tata kelola yang benar untuk menjamin semuanya berjalan baik. (FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

  • Skema Pengembalian Dana Cadangan Lapindo Urusan Pemerintah

    Metrotvnews.com, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang telah menyetujui dana talangan sebesar Rp781,7 miliar untuk membantu PT Minarak Lapindo Jaya dalam menyelesaikan kewajibannya. Serta menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah mengenai skema pengembalian pinjaman tersebut.

    “Skema pengembaliannya jelas diatur dalam perjanjian, saya kan bukan menterinya,” kata Anggota Komisi XI dan Badan Anggaran DPR Fraksi PKS, Ecky Awal Muharam, pada Metrotvnews.com, Jakarta, Jumat (6/2/2015).

    Menurut Ecky, pemerintah memiliki hak-hak untuk mengatur diktum-diktum apa saja isi perjanjian tersebut. “Term of payment-nya, periodenya, jaminannya, yang penting DPR sudah memberikan sebuah batasan, talangan harus didukung dengan jaminan dan syarat yang memadai,” tuturnya.

    Senada, Wakil Ketua Badan Anggaran III DPR RI, Jamaluddin Jafar, mengaku semuanya akan dikembalikan pada Pemerintah, di mana DPR hanya diminta untuk memantau. “Sudah urusannya pemerintah, itu sudah teknis. Kita (DPR) mengawasi saja,” ucap Jamal.

    Sebelumnya, Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan pemerintah tidak secara cuma-cuma memberikan talangan atau bantuan ini. Jika Minarak Lapindo Jaya pada saat pengembalian tak bisa melunasi maka ada jaminan berupa aset koorporasi tersebut yang akan menjadi hak milik negara.

    “Jadi seperti meminjam uang, Tapi jaminannya seluruh aset mereka. Jadi nantinya dia (Lapindo) harus bayar ganti rugi/pengembalian empat tahun, kalau enggak bisa tanah yang jadi jaminan akan kita lelang,” jelas Sofyan. (AHL)

    Sumber: http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/02/06/354861/skema-pengembalian-dana-cadangan-lapindo-urusan-pemerintah

  • BPLS Minta Rekening Warga Tidak Terblokir

    BPLS Minta Rekening Warga Tidak Terblokir

    Kamis, 22 Januari 2015 | Sidoarjo (Antara Jatim) Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo meminta rekening warga korban lumpur di dalam peta areal terdampak tidak terblokir menyusul adanya rencana penerimaan ganti rugi kepada warga.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Dwinanto, Kamis, mengatakan, sampai dengan saat ini pihaknya masih terus memberikan imbauan kepada warga supaya rekening mereka tidak sampai terblokir oleh pihak bank.

    “Karena kalau sampai rekening tersebut terblokir pihak bank maka proses pengurusannya akan lebih lama lagi sementara rencana pencarian ganti rugi kepada warga kurang sedikit lagi,” katanya.

    Ia mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu petunjuk teknis dari pusat terkait dengan rencana pencairan jual beli aset warga apakah melalui BPLS atau melalui teknis yang lainnya.

    “Kami masih belum memiliki petunjuk teknis dari pusat terkait dengan rencana pencairan dana tersebut. Namun demikian, kami siap jika memang dilibatkan dalam proses pembelian aset warga oleh pemerintah,” katanya.

    Menurutnya, saat ini pihaknya juga melakukan koordinasi dengan pihak Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo Brantas Inc terkait dengan jumlah berkas yang belum diselesaikan oleh mereka.

    “Kami juga melakukan koordinasi dengan mereka terkait dengan pembayaran tersebut, kami juga melakukan pendataan terhadap warga yang belum terlunasi. Kami yakin warga yang tanahnya belum terlunasi sudah memiliki kelengkapan berkas,” katanya.

    Sebelumnya, pemerintah pusat akan mengambil alih pembayaran ganti rugi kepada warga korban lumpur lapindo dari Minarak Lapindo Jaya. Jumlah dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah tersebut mencapai lebih dari Rp700 miliar. (*)

    Reporter: Indra Setiawan | Redaktur: Endang Sukarelawati

    Sumber: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/150034/bpls-minta-rekening-warga-tidak-terblokir

  • Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    [Siaran Pers] Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    • Rapat Kabinet, Jumat (19/12) lalu, memutus pemberian “dana talangan” sebesar Rp 781 milyar pada Lapindo Brantas Inc. (Lapindo). Dana talangan bisa jadi adalah langkah solutif bagi sebagian korban, namun kita melihat keputusan itu bukan satu-satunya langkah penyelesaian kasus Lapindo yang multidimensi ini. Untuk itu, kita menuntut elegansi negara hadir dan memahami kompleksitas kasus Lapindo.
    • Keputusan dana talangan baru menyentuh satu dimensi saja dari kasus Lapindo, yaitu “dimensi korban”. Keputusan itu hanya berlaku pada kelompok korban cash and carry yang sudah lama menanti terpenuhinya hak mereka. Bagi korban tersebut, dana itu adalah solusi mendesak yang tak bisa ditolak untuk segera dilakukan Pemerintah. Akan tetapi, solusi itu tidak menyentuh “dimensi pelaku”. Oleh karena itu, kita berpendapat bahwa dana talangan harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo, bukannya akhir.
    • Persoalan terutama dalam bencana lumpur panas Lapindo adalah ketiadaan data akurat tentang korban. Selama ini, data korban hanya merujuk pada jumlah aset (tanah dan bangunan) dan tidak pernah memperhitungkan aspek manusia. Manusia (korban bencana) telah direduksi menjadi materi (uang “ganti-rugi”). Sampai saat ini, tidak ada yang pernah tahu berapakah jumlah riil korban Lapindo? Siapa sajakah mereka? Pindah kemana sajakah orang-orang itu? Bagaimana pula mereka mengatasi ketegangan antara terputus dari hunian lama dan beradaptasi di hunian baru?
    • Pemerintah juga perlu menyentuh aspek sosial-ekologis. Kini, kualitas air bawah tanah di sekeliling tanggul lumpur menurun drastis membuat wilayah di sekitar semburan tidak lagi bisa masuk dalam kategori layak huni. Pembuangan lumpur ke Kali/Kanal Porong dan juga saluran air lainnya telah memperluas degradasi lingkungan sampai ke Selat Madura. Padahal, pelbagai riset ilmiah independen menemukan tingginya kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo. Penelitian WALHI, misalnya, menemukan kandungan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang berbahaya karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) yang tidak bisa dideteksi dalam waktu dekat. Bukannya menindaklanjuti secara lebih serius, pemerintah justru meragukan dan mengabaikan temuan-temuan tersebut. Pemerintah mengingkari fakta tersebut dengan menyatakan lumpur tidak mengandung zat berbahaya. Hal ini tentunya ironi mengingat degradasi ekologi berdampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Data puskesmas setempat menunjukkan persoalan kesehatan di sekitar semburan meningkat serius.
    • Sampai kini belum terlihat keseriusan pemerintah memulihkan kehidupan sosial-ekologis para korban Lapindo. Tidak ada kabar tentang rencana relokasi puluhan bangunan sekolah yang tenggelam dalam lumpur. Tidak ada perhatian khusus bagi pemulihan krisis sosial-psikologis bagi korban Lapindo, khususnya anak-anak dan perempuan, dua kelompok paling rentan dalam setiap bencana. Tidak ada kabar tentang rencana normalisasi Kali Porong. Pemerintah tidak bisa mengandaikan bahwa begitu korban mendapatkan uang “ganti-rugi” kehidupan ekonomi korban akan pulih secara sendirinya. Yang dibutuhkan warga-korban bukan hanya ikan, melainkan juga kail. Mereka memang butuhkan uang segar untuk bertahan hidup sementara, akan tetapi mereka lebih membutuhkan jaminan atas kehidupan yang layak, pekerjaan yang layak, hunian yang layak.
    • “Dalam kasus [Lapindo] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat,” begitu pernyataan yang dilontarkan Joko Widodo di hadapan korban Lapindo pada 29 Mei 2014 lalu. Makna “negara hadir” jangan dikerdilkan sebatas memberikan dana talangan sebagai solusi akhir bagi kasus Lapindo. Negara juga harus hadir menjatuhkan sanksi yang setimpal bagi para pelaku kasus Lapindo.
    • Kita sangat menyayangkan bahwa sampai kini tidak ada sanksi hukum pada Lapindo yang telah secara jelas-jelas melanggar Perpres 14/2007 karena kegagalannya membayar sisa 80 persen “paling lambat sebulan sebelum masa 2 (dua) tahun habis” (Pasal 15 Ayat 2) pada para korban. Belajar dari pengalaman pemberian dana talangan pada korporasi, pemerintah harus mengoptimalkan instrumen negara, seperti BPK dan KPK, untuk melakukan audit keuangan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan uang rakyat untuk menalangi Lapindo. Pemerintah harus memaksa Lapindo untuk mengembalikan seluruh dana yang diambilkan dari uang rakyat, karena termasuk dalam rakyat adalah para korban Lapindo!
    • Apabila penyelesaian kasus Lapindo oleh pemerintah mandeg pada urusan ganti-rugi semata (dengan mekanisme dana talangan), kita dapat menilai betapa amatir dan naifnya pemerintah kita. Hal semacam ini tentunya hanya akan menambah deretan praktik busuk korporasi dalam menyelesaikan masalah finansial internal mereka dengan menggunakan uang rakyat. Kedaulatan rakyat akan kembali disalahgunakan bila penegakkan hukum atas kasus Lapindo diabaikan, apalagi sampai para pelakunya dibebaskan dari segala tanggung jawab.
    • Kita menuntut elegansi negara hadir dalam kasus Lapindo. Untuk itu, kita mengajak pemerintah untuk memperluas horizon dalam melihat multidimensionalitas kasus Lapindo, bahwa lansekap-bencana lumpur Lapindo telah melampaui sebidang tanah yang sudah menjadi lautan lumpur di sekeliling semburan utama di Porong, Sidoarjo. Hanya dengan demikian, kita dapat menyaksikan penyelesaian kasus Lapindo secara runut dan menyeluruh.

    Porong, 29 Desember 2014

    Kanal (korbanlumpur.info) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

    Kontak: Catur (+62 81 336 607 872); Beggy (+62 85 269 133 520)

    Versi PDF [unduh]

  • Kubangan Lumpur Lapindo

    Hampir 9 (sembilan) tahun lumpur Lapindo menyembur. Sampai saat ini, lebih dari 50.000 penduduk terusir-paksa dari hunian mereka.

    Simak liputan tim redaksi Berita Satu.

  • Walhi Kecewa Jokowi Talangi Ganti Rugi Lapindo

    KBR, Banyuwangi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, menyayangkan langkah pemerintah menalangi ganti rugi korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar.

    Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Ony Mahardika mengatakan, uang talangan yang berasal dari APBN itu sebenarnya juga uang rakyat. Berarti korban lumpur Lapindo membayar deritanya sendiri.

    Menurut Ony, seharusnya pemerintah tidak serta merta menalangi tanpa mekanisme menjadikan aset PT Minarak Lapindo sebagai jaminan. Talangan pemerintah untuk korban lumpur lapindo tersebut, mirip dengan bailout Bank Century.

    “Kasus Lapindo itu bukan hanya urusan ganti rugi, tapi kalau kami mengatakan itu sebenarnya hanya urusan jual beli tanah. Karena kalau ngomong ganti rugi artinya seluruh penduduk, seluruh masyarakat dari sekitar beberapa desa itu mendapatkan semua termasuk anak-anak,” kata Ony Mahardika, Rabu (24/12).

    Ony Mahardika menambahkan, urusan ganti-rugi yang dibahas pemerintah menjadi sekedar urusan jual-beli tanah. Padahal sejak bencana lumpur Lapindo meluap, banyak penyakit seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang menyerang warga.

    Banyak juga anak-anak yang menjadi korban juga kehilangan pendidikannya. Serta ada 130 ribu jiwa yang sebelumnya hidup dari usaha kecil menengah akhirnya kolaps. Kata Ony, Sejak pemerintahan SBY, bencana lumpur Lapindo memang digiring untuk menjadi bencana nasional agar ganti-rugi dibiayai oleh pemerintah.

    Sebelumnya, Presiden Jokowi telah memutuskan akan memberi dana talangan kepada PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 781 miliar. Talangan itu akan digunakan untuk melunasi ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo yang ada di dalam peta area terdampak. 

    Dana talangan dari pemerintah itu diberi tenggat selama empat tahun. Apabila sampai tenggat itu belum dilunasi, aset yang dijadikan sebagai jaminan akan menjadi milik pemerintah pusat.

    Hermawan

    Sumber: http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3374687_4262.html

  • Jangan Bayar Ganti Rugi via Lapindo

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Korban lumpur Lapindo menolak pencairan ganti rugi yang akan ditalangi pemerintah disalurkan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Warga sudah berpengalaman. Saat pembayaran ganti rugi oleh PT Minarak dulu, banyak calo berkeliaran.

    “Pokoknya jangan sampai lewat Minarak, banyak calonya,” kata Sulastri, korban lumpur Lapindo, di rumahnya, Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Selasa, 23 Desember 2014.

    Ia yakin calo pasti meminta beberapa persen dari hasil pencairan yang didapatkan korban. Jika terjadi, itu akan sangat menyakitkan, mengingat uang ganti rugi itu sudah ditunggu sejak delapan tahun lebih dan pas-pasan untuk membeli rumah di Sidoarjo dan sekitarnya. “Kalau bagi warga yang paham, mungkin bisa menolak. Tapi warga yang tidak paham dan sudah tua, pasti gampang tertipu.”

    Menurut Sulastri, ganti rugi paling tepat dibagikan melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan harus diurus langsung oleh warga yang bersangkutan atau keluarganya. “Yang penting jangan orang lain, karena khawatir ada hal-hal yang tidak diinginkan,” tuturnya. Sani, 70 tahun, korban lainnya yang rumahnya juga tergenang lumpur, berharap pemerintah mempercepat ganti rugi itu dan bisa segera dicairkan oleh warga.

    Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusala mengatakan masih akan menunggu keputusan Presiden Joko Widodo mengenai pencairan uang ganti rugi itu. Proses pencairan hingga aliran dananya akan diputuskan oleh pemerintah. Korban lumpur lapindo, ujar dia, tidak bisa menolak jika sudah ada keputusan Presiden Jokowi. Peraturan ini bukan hanya untuk satu kelompok, tapi untuk semua korban. “Kalau warga yang lain ada yang mau gimana? Jangan asal bicara, proses ini akan diatur oleh keppres.”

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/23/058630486/Jokowi-Jangan-Bayar-Ganti-Rugi-via-Lapindo-Kenapa

  • Pemerintah Harus Menindak PT Minarak Lapindo

    JAKARTA, (PRLM) – Pekan lalu Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi masyarakat yang rumahnya terendam lumpur. Dana talangan sebesar Rp 781 miliar akan diambil dari APBN 2015.

    Seharusnya pemerintah tidak menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi kepada warga yang rumahnya terkena dampak luapan lumpur. Demikian disampaikan pengamat ekonomi politik, Nico Harjanto.

    Sementara Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimulyono menegaskan, pemerintah tidak membantu PT Minarak Lapindo melainkan membantu masyarakat yang sudah menderita lebih dari delapan tahun.

    Pekan lalu Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi masyarakat yang rumahnya terendam lumpur. Dana talangan sebesar Rp 781 miliar akan diambil dari APBN 2015.

    Pengamat ekonomi politik dari Populi Center, Nico Harjanto kepada VOA di Jakarta, Minggu (21/12) mengatakan seharusnya pemerintah menindak PT Minarak Lapindo terlebih dahulu sebelum menalangi kewajibannya.

    “Itu keputusan yang mengagetkan karena bagaimanapun juga itu kewajiban PT Lapindo, seharusnya pemerintah memberikan tindakan dulu baru kemudian menalangi. Tidak ada masalah dalam konteks memberikan pertolongan penalangan kepada korban, karena bagaimanapun juga korban itu harus segera dibantu, tetapi dalam perspektif keadilan mestinya Lapindo dan juga perusahaan-perusahaan yang memilikinya termasuk juga keluarga Bakrie itu harus bertanggungjawab dulu,” ujarnya.

    Nico Harjanto berpendapat, pemerintah harus transparan mengenai sumber dana talangan untuk PT Minarak Lapindo karena pemerintah justru sedang sulit menganggarkan berbagai rencana program yang akan mulai dikerjakan tahun depan.

    Terkait berbagai pendapat mengenai keputusan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo, Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimulyono menegaskan,“tujuan pemerintah adalah tidak akan membeli tanah tetapi untuk membantu menyelesaikan tanah itu untuk rakyat, sudah delapan tahun lebih menunggu.”

    Pemerintah memberi batas waktu empat tahun kepada PT. Minarak Lapindo mengembalikan dana talangan sebesar Rp 781 milyar. Jika batas waktu tersebut dilanggar pemerintah akan menyita beberapa aset milik PT. Minarak Lapindo atau aset lain yang masih dalam grup PT Minarak Lapindo.

    Dana talangan diberikan setelah PT Minarak Lapindo menyatakan tidak sanggup membayar kekurangan dari kewajiban sebesar Rp 3,8 triliun. PT Minarak Lapindo sanggup membayar sebesar Rp 3,02 triliun sehingga sisanya meminjam pemerintah.

    Sebelumnya sepanjang masa pemerintahan mantan Presiden Yudhoyono, tercatat sejak tahun 2006 hingga tahun 2012 dana talangan yang dikucurkan pemerintah untuk korban lumpur Lapindo sekitar Rp 6,7 triliun. Langkah pemerintah saat itu sempat diprotes mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarawati yang menilai sebaiknya pemerintah tidak menalangi kewajiban PT. Minarak Lapindo. Sementara keluarga Aburizal Bakrie mengklaim telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp 7,9 triliun untuk mengatasi luapan lumpur Lapindo dan memenuhi kewajiban membayar ganti rugi masyarakat terkena dampak luapan lumpur.

    Untuk itu banyak kalangan menilai diperlukan audit keseluruhan agar dapat ditelusuri sejauh mana kewajiban PT. Minarak Lapindo benar-benar dialokasikan. (voa/A-147)***

    Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/309392

  • Lapindo Diminta Serahkan Sertifikat Aset

    Keraguan korban lumpur Lapindo atas kelancaran proses ganti rugi dari pemerintah dimaklumi Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo.

    Proses pencairan dana Rp781 miliar dari pemerintah tersebut membutuhkan waktu panjang. “Proses pencairan dana hingga bisa diterima oleh korban lumpur memang membutuhkan waktu panjang. Kami meminta semua pihak terutama PT Minarak Lapindo Jaya kooperatif dengan menyerahkan semua persyaratan yang diminta oleh pemerintah,” ujar Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Mahmud, kemarin.

    Dia mengatakan salah syarat dana talangan adalah adanya jaminan aset dari PT Minarak Lapindo yang diserahkan kepada pemerintah. Aset-aset ini secara otomatis akan dikuasai oleh pemerintah jika dalam jangka waktu empat tahun kedepan perusahaan milik Keluarga Bakrie tersebut tidak mampu mengembalikan dana talangan Rp781 miliar. “Semoga Lapindo mau memberi sertifikat asetnya sebagai jaminan atas dana talangan Rp 781 miliar itu,” tegas Mahmud.

    Selain persoalan penyerahan aset dari Lapindo, proses pencairan ganti rugi ini juga membutuhkan perubahan peraturan presiden (Perpres) 14/- 2007 tentang penanganan lumpur. Perubahan ini penting karena bakal menjadi payung hukum atas pengunaan anggaran negara untuk menalangi ganti rugi yang harusnya menjadi tanggung jawab PT Minarak Lapindo.

    Termasuk mekanisme pelunasan ganti rugi korban lumpur, apakah akan dibayarkan oleh Lapindo atau langsung pemerintah. “Hal-hal itu sebelumnya diatur dalam Pepres 14/2007, maka jika ada perubahan maka harus terlebih dahulu ada revisi sehingga payung hukumnya jelas,” ujar Mahmud.

    Tak kalah pentingnya, lanjut Mahmud, dana talangan tersebut juga harus mendapat persetujuan dari Komisi V DPR RI. Sebab, jika DPR tidak sepakat terkait dana talangan bagi korban lumpur akan menjadi percuma. ”Pansus Lumpur juga akan menemui Komisi V terkait dana talangan itu,” tegasnya.

    Sudibyo, salah satu korban lumpur asal Renokenongo, Kecamatan Porong mengatakan pihaknya masih menunggu bukti tertulis dana talangan dari pemerintah. Selama ini korban lumpur sudah sering diberi janji-janji terkait pelunasan ganti rugi, namun sampai sekarang belum direalisasikan.

    Korban lumpur berharap agar dana talangan tersebut bisa segera direalisasikan dan dibayarkan dalam waktu dekat. ”Paling tidak bisa dianggarkan dalam APBN 2015 agar bisa segea dibayarkan kepada korban lumpur,” tandas Sudibyo.

    Secara umum, korban lumpur menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo yang memberikan dana talangan pembayaran ganti rugi lumpur. Namun, keputusan tersebut harus segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait terutama untuk mekanisme pembayaran.

    Berbeda dengan korban lumpur yang menyambut baik dana talangan. Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) kecewa karena belum dimasukkannya anggaran ganti rugi untuk pengusaha korban lumpur. Sebab, mereka juga sama-sama menjadi korban lumpur. ”Perusahaan kami sudah tebenam lumpur. Samasama menjadi korban lumpur tapi dianaktirikan,” keluhnya.

    GPKLL mengaku juga kecewa terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Gubernur Jatim Soekarwo. Sebab, keduanya terkesan mengesampingkan untuk memperjuangkan pembayaran ganti rugi pengusaha korban lumpur.

    Sementara itu pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto meminta pemerintah terlebih dahulu mempailitkan PT Minarak Lapindo Jaya sebelum memberikan dana talangan.

    ”Kalau disebut sebagai uang ganti rugi untuk korban lumpur seharusnya PT Minarak Lapindo Jaya dipailitkan terlebih dahulu dan baru asetnya disita untuk menyelesaikan ganti rugi. Kalau kurang barulah diselesaikan langsung oleh pemerintah sebagai bantuan sosial,” kata Suroto di Jakarta, Minggu.

    Dia menilai kebijakan pemerintah menalangi ganti rugi korban Lapindo bisa menjadi menjadi preseden buruk bagi sistem hukum dan juga bisnis di Indonesia. Menurut dia akibat kebijakan itu kini setiap orang yang melakukan spekulasi bisnis dan bangkrut pada akhirnya dapat menuntut dana talangan pada pemerintah.

    ”Seharusnya perusahaan justru dihukum akibat kelalaian dan merugikan banyak orang secara kemanusiaan. Ini janggal dan terkesan sangat kolutif,” katanya. Suroto meminta pemerintah untuk berperilaku adil pada semua pelaku bisnis dan tidak membawa ”deal” politik ke dalam ranah hukum dan bisnis.

    Ia berpendapat kebijakan pemberian dana talangan itu bisa memacu dilakukannya kegiatan ekploitatif dari korporasi lainya. ”Mereka akan lebih mudah membuat kesalahan dan menanggungkan bebannya pada pemerintah yang sumbernya adalah pajak yang dibayar rakyat,” katanya.

    Suroto justru mempertanyakan kenapa pemerintah tidak mempedulikan UKM yang bangkrut padahal secara riil UKM menjadi penopang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. ”Demi rasa keadilan dan juga kepentingan hukum dan bisnis maka pemerintah harus batalkan kebijakan tersebut,” katanya.

    Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menalangi ganti rugi pembelian lahan atas kasus lumpur Lapindo dimana total ganti rugi tanah yang harus dibayarkan di area terdampak sekitar Rp3,8 triliun dengan Rp3,03 triliun di antaranya sudah dibayar Lapindo, sehingga masih kurang Rp781 miliar. Dana Rp781 miliar tersebut akan diambil dari APBNP 2015.

    Konsekuensinya, Lapindo harus menyerahkan keseluruhan tanah yang ada di peta terdampak dan perusahaan itu diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan dan memperoleh kembali tanah tersebut.

    Abdul Rouf

    Sumber: http://www.koran-sindo.com/read/940462/151/lapindo-diminta-serahkan-sertifikat-aset-1419219863

  • Lapindo Serahkan 9.900 Sertifikat Tanah

    JAKARTA – Keputusan pemerintah untuk menalangi pembayaran sisa ganti rugi korban semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, disambut positif manajemen PT Minarak Lapindo Jaya, anak usaha Lapindo Brantas Inc. Mereka siap menyerahkan sertifikat tanah sebagai jaminan kepada pemerintah atas sisa kewajiban ganti rugi yang tak kunjung dibayar.

    Direktur PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusala mengatakan, pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah untuk segera menuntaskan proses ganti rugi bagi masyarakat di peta terdampak. ”Kami akan patuh dengan pemerintah,” ujarnya kepada Jawa Pos, Jumat (19/12).

    Menurut Andi, saat ini Lapindo sudah memenuhi kewajiban ganti rugi tanah warga di peta terdampak sebesar Rp 3,03 triliun untuk 9.900 berkas. Sebagian besar berupa sertifikat tanah. Ada juga yang berupa girik. Namun, masih ada kekurangan Rp 781 miliar untuk 3.337 berkas yang belum bisa diselesaikan Lapindo. Kekurangan itulah yang akan ditalangi oleh pemerintah. ”Kami siap menyerahkan sertifikat sebagai jaminan,” katanya.

    Dalam skema yang diajukan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, pemerintah akan menalangi ganti rugi Rp 781 miliar. Lapindo diberi kesempatan untuk melunasi dana talangan tersebut selama empat tahun. Jika tidak bisa membayar, pemerintah akan mengambil seluruh tanah di peta terdampak yang saat ini sudah di tangan Lapindo.

    Andi mengakui, saat ini Lapindo memang mengalami kesulitan finansial. Namun, dia menyatakan bahwa Lapindo siap membayar Rp 781 miliar kepada pemerintah dalam jangka waktu empat tahun ke depan. ”Tentu kami akan berusaha bayar daripada aset kami hilang (diambil alih pemerintah, Red),” ucapnya. Untuk diketahui, Rp 781 miliar itu belum termasuk klaim kerugian dari pengusaha akibat semburan lumpur.

    Menurut Andi, Lapindo sebenarnya memang sudah lama mengajukan proposal kepada pemerintah untuk menalangi dulu kekurangan pembayaran ganti rugi. Pihaknya juga terus berkomunikasi dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar hak-hak warga korban lumpur bisa segera terpenuhi. ”Sekarang kami menunggu perpres (peraturan presiden yang terkait dengan keputusan menalangi Rp 781 miliar). Semoga bisa cepat,” ujarnya.

    Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menambahkan, keputusan pemerintah itu sudah tepat. ”Negara tidak sekadar keluar uang, tapi juga membantu rakyat dengan jaminan (aset) Lapindo,” katanya.

    JK memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak akan merugikan negara. Bahkan, negara bisa saja diuntungkan jika semburan lumpur berhenti dalam beberapa tahun mendatang. Meskipun, ada kemungkinan semburan lumpur baru berhenti 10 atau 20 tahun lagi. ”Kalau berhenti, negara untung. Kalau tidak, ya tunggu sampai berhenti,” ucapnya.

    Lapindo Brantas Inc merupakan operator blok Brantas. Sekadar mengingatkan, semburan lumpur panas yang meluap pada 29 Mei 2006 terjadi setelah pada 8 Maret Lapindo Brantas Inc mulai mengebor sumur Banjar Panji I.

    Sementara itu, keputusan pemerintah menalangi pembayaran ganti rugi untuk korban yang menjadi tanggung jawab Lapindo dipastikan tidak mengganggu penyelesaian ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto memastikan bahwa pemerintah tidak akan melupakan kewajiban membayar ganti rugi senilai Rp 380 miliar.

    ”Pemerintah tetap siap Rp 380 miliar yang menjadi kewajiban,” tegas Andi di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Penyelesaian nilai yang menjadi tanggung jawab pemerintah itu masuk di APBN 2015.

    Pada kesempatan tersebut, Andi menegaskan, pemerintah memberikan dana talangan bukan untuk membantu Lapindo. Namun, lebih pada pertimbangan karena masyarakat sudah menunggu penyelesaian. ”Fokus kami, bagaimana caranya supaya harapan yang tertunda ini bisa segera dipenuhi. Itu saja fokusnya. Hal-hal lain kami pikirkan kemudian,” imbuh Andi.

    Putusan MK yang mengabulkan judicial review terhadap pasal 9 ayat 1 huruf (a) UU No 19 Tahun 2012 tentang APBNP 2012 pada awal 2014 telah menjadi payung hukum langkah pengambilalihan pembayaran ganti rugi oleh pemerintah. Khususnya untuk para korban di peta area terdampak (PAT). Secara garis besar, putusan tersebut mengamanatkan kepada pemerintah untuk tidak lepas tanggung jawab terhadap penanganan korban di PAT.

    Sebelum putusan MK, pasal 9 ayat 1 tersebut menetapkan bahwa kerugian warga di PAT menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. Sedangkan kerugian di luar PAT menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembagian tanggung jawab tersebut dianggap menyebabkan dikotomi ketentuan hukum dan ketidakadilan bagi warga di PAT dan luar PAT.

    Di bagian lain, Golkar yang merupakan partai pimpinan Aburizal Bakrie, pemilik Lapindo, memberikan klarifikasi soal dana talangan dari pemerintah kepada PT Minarak Lapindo Jaya. Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, pemerintah dalam hal ini tidak mengambil alih tanggung jawab yang harus dipikul Lapindo.

    ”Bukan mengambil alih tanggung jawab. Keliru itu. Tapi, memberikan pinjaman dengan tenor empat tahun dengan jaminan senilai Rp 3,7 triliun lebih,” ujar Bambang kemarin (19/12).

    Menurut Bambang, Partai Golkar memberikan apresiasi atas keputusan pemerintah tersebut. Dia menilai, pemerintah telah mengambil langkah cepat agar kasus Lapindo bisa segera diselesaikan. Bambang secara tidak langsung mengakui bahwa saat ini PT Minarak Lapindo Jaya memang mengalami kesulitan keuangan untuk melunasi sisa pembayaran ganti rugi.

    ”Kami memberikan apresiasi kepada pemerintah yang telah mengambil keputusan itu sehingga para korban terdampak tidak terkatung-katung terlalu lama,” ujar sekretaris Fraksi Partai Golkar kubu musyawarah nasional Bali tersebut.

    Sementara itu, Agus Gumiwang Kartasasmita, ketua Fraksi Partai Golkar hasil munas Jakarta, menilai, tenggang pelunasan yang diberikan pemerintah itu berpotensi merugikan negara. Menurut dia, pemerintah terlalu berbaik hati dengan memberikan skema pelunasan tersebut. Alasannya, kewajiban bayar Lapindo tertunggak sejak lama. ”Jika kebijakan itu bertujuan agar korban tidak berlama-lama menderita, saya kira itu keputusan positif,” katanya.

    Agus berharap pemerintahan Joko Widodo bisa bersikap tegas menuntut pengembalian dana negara kepada Lapindo. ”Untuk menghindari kerugian negara, pemerintah sebaiknya mengaudit kembali nilai aset para korban,” tandasnya. (owi/dyn/bay/c11/sof/jpc)

    Sumber: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/119354-lapindo-serahkan-9.900-sertifikat-tanah.html

  • Kalla claims controversial Lapindo bailout a win-win solution

    Kalla claims controversial Lapindo bailout a win-win solution

    After an allegation that the government’s decision to take over the Bakrie family’s liabilities in the Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo, East Java, was the result of a back room political deal, the government defended its decision on Friday saying that it would ultimately benefit all parties involved in the disaster.

    “Here’s why, the people [mudflow victims] are facing hardship. PT Minarak Lapindo Jaya could not pay [the compensation anymore], but it still has assets. Therefore, the government decided to give the loan first to calm the people down,” Vice President Jusuf Kalla said on Friday, referring to a firm controlled by the Aburizal Bakrie family, which had been deemed responsible for the disaster.

    Kalla, who served as Golkar Party chairman prior to the leadership of Aburizal Bakrie, said that the public should not debate on whether the government was losing money for the misbehavior of a greedy tycoon and should see the loan as part of a trade deal.

    “So the company has purchased 1,000 hectares of land [from the disaster victims]. That land is used as collateral for the government. The company is given four years [to settle the loan]. If it can’t payback the loan, the assets will be taken over by the state. So the state doesn’t give money for free,” Kalla said.

    On Thursday, President Joko “Jokowi” Widodo decided to bail out the family to settle the remaining compensation for the mudflow victims by providing a Rp 781 billion (US$62 million) loan to Minarak.

    The loan will enable the company to pay compensation that has not yet been received by thousands of victims of the mudflow.

    The decision has sparked debates over whether the government should spend more money to help ease the burden for the Bakrie family, after spending more than Rp 6 trillion of taxpayer money to handle the aftermath of the disaster.

    Kalla further defended the decision saying that the loan would ultimately benefit the state should the company fail to return the money.

    “If the mudflow stops, then the price of land will increase. And I can assure you that it will stop at one point,” he said. “If it doesn’t stop [in near future], then just wait for it. Maybe in the next five years or 10 years, [the mudflow will stop].”

    Even at its current price, the total price of the land is already much higher than the loan given, Kalla added.

    “The land is 1,000 hectares, or 10 million m2. If the current price is Rp 1 million per m2, then the price of the land is actually Rp 10 trillion,” he said.

    Besides benefiting the state and the victims, even the company itself would benefit from the scheme, the senior Golkar politician said.

    “The company will not lose money if five times the market price.” It pays back the loans now. They will get their money back. The victims are also happy because they are getting paid for their lands, Kalla said.

    Kalla also justified the government’s decision by pointing out that the Constitutional Court had ordered the state to force Lapindo to complete the compensation payments.

    Golkar deputy secretary-general Lalu Mara Satriawangsa, who is also an Aburizal’s confidant, applauded the government’s decision given that the Lapindo mudflow had been declared a national disaster.

    “The Bakrie family has helped local communities by buying their asset with a price higher than that of the market price. If there is some [financial] shortage, that is the fact,” he told The Jakarta Post.

    He said that the family has spent so much in the wake of the disaster, which begun in 2006 after a blowout of a natural gas well drilled by PT Lapindo Brantas.

    “The family has spent more Rp 8 trillion [for compensation], just compare this with the remaining Rp 750 billion that we have not paid,” Lalu Mara said.

    Political analyst Agung Baskoro of Jakarta-based Poltracking Institute, meanwhile, suggested that the government’s decision to bailout Lapindo was motivated by its increasing need of political support from Golkar, the leader of the opposition Red-and-White Coalition.

    “The government has currently been dealing with complicated issues, like fuel-price hikes and the weakening rupiah. They are in dire need to gain support from lawmakers,” he said.

    Hans Nicholas Jong and Hasyim Widhiarto

    Sumber: http://thejakartapost.com/news/2014/12/20/kalla-claims-controversial-lapindo-bailout-a-win-win-solution.html

  • Pengamat: Dana Talangan Kasus Lapindo Inkostitusonal

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto menilai keputusan pemerintah untuk menalangi sisa ganti rugi pembelian lahan warga yang terdampak lumpur Lapindo adalah tindakan yang inkonstitusional.

    “Kebijakan Pemerintah untuk memberikan dana talangan atas kasus lumpur Lapindo sebesar Rp781 miliar adalah kebijakan yang inkonstitusional. Kebijakan ini bisa menjadi blunder bagi Pemerintah Jokowi-JK,” katanya, Jumat (19/12).

    Suroto mengatakan jika memang perusahaan migas itu bangkrut dan tidak lagi memiliki kemampuan membayar semestinya tidak perlu mendapat dana talangan apa pun. Menurutnya praktik bailout atau dana talangan yang juga sering dilakukan pemerintah sebelumnya tidak memiliki payung hukum di Indonesia.

    “Kita tidak ingin kerusakan alam yang terjadi akibat ulah korporat kapitalis diselesaikan oleh negara dengan beban yang harus ditanggung bersama rakyat,” ujarnya.

    “Kita tidak ingin kemiskinan yang diakibatkan oleh pembagian hasil yang tidak adil dari perangai korporat kapitalis diselesaikan oleh negara. Kita juga tidak menginginkan negara yang harus tangani kondisi krisis ekonomi yang datang tiba-tiba akibat ulah spekulatif kaum kapitalis,” jelasnya.

    Ia menekankan konsepsi konstitusi Indonesia sudah jelas bahwa dalam rangka mendorong terwujudnya kesejahteraan rakyat itu, demokrasi ekonomi adalah sistemnya.

    “Setiap orang harus diberikan peluang yang sama secara partisipatorik dalam proses produksi, distribusi maupun konsumsi,” katanya.

    Ia mengatakan kebijakan konkret yang harus dilakukan dan relevan untuk itu adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat agar mereka dapat mengakses sumber daya dan turut berpartisipasi dan diberikan peluang untuk mengkreasi kekayaan dan pendapatan.

    Program konkretnya adalah demokratisasi ekonomi yang di dalamnya mencakup reforma agraria, reforma korporasi, pengembangan koperasi yang otonom dan mandiri, dan lain sebagainya.

    Konsep demokrasi ekonomi itu adalah konsep yang anti terhadap kapitalisme dan juga varian barunya seperti Negara Kesejahteraan (welfare state). “Konstitusi kita dan juga para pendiri republik ini menginginkan adanya pembebasan terhadap sistem kapitalisme yang menindas dan ekploitatif,” jelasnya.

    Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menalangi ganti rugi pembelian lahan atas kasus lumpur Lapindo dimana total ganti rugi tanah yang harus dibayarkan di area terdampak sekitar Rp3,8 triliun dengan Rp3,03 triliun di antaranya sudah dibayar Lapindo, sehingga masih kurang Rp781 miliar.

    Dana Rp781 miliar tersebut akan diambil dari APBNP 2015. Konsekuensinya, Lapindo harus menyerahkan keseluruhan tanah yang ada di peta terdampak dan perusahaan itu diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan dan memperoleh kembali tanah tersebut.

    Dengan selesainya permasalahan ganti rugi itu, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dapat segera bekerja untuk mencegah meluasnya dampak di luar peta terdampak.

    Bayu Hermawan

    Sumber: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/12/19/ngu8ob-pengamat-dana-talangan-kasus-lapindo-inkostitusonal

  • Pemerintah Belum Pikirkan Sanksi untuk Lapindo

    JAKARTA – PT Minarak Lapindo Jaya akhirnya mengakui pada pemerintah tidak sanggup membayar utang ganti rugi pada warga korban luapan lumpur sebesar Rp 781 miliar.  Meski demikian, perusahaan tersebut tidak mendapat sanksi dari pemerintah. Hal ini disampaikan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto di kompleks Istana Negara, Jakarta, Jumat (19/12).

    “Presiden tidak berpikir ke situ dulu. Masyarakat sudah menunggu. Fokus bagaimana caranya supaya harapan yang tertunda ini bisa dipenuhi. Itu saja fokusnya. Hal-hal lain terkait fairness dari Minarak Lapindo, kita pikirkan kemudian,” ujar Andi.

    Selain melakukan pembelian aset Lapindo, kata Andi, pemerintah juga tidak melupakan kewajiban untuk membayar Rp 380 miliar. Jumlah ini adalah kewajiban pemerintah sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penanganan Lapindo.

    “Pemerintah siap yang Rp 380 miliar yang jadi kewajiban pemerintah,” sambung Andi.

    Seperti diberitakan sebelumnya Pemerintah akan menalangi utang lapindo dengan membeli aset perusahaan tersebut sebesar Rp 781 miliar. Pembayaran utang Lapindo itu akan menggunakan pos BA99 (dana taktis) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun 2015. Meski ditalangi pemerintah Lapindo tetap harus melunasi kewajibannya itu. Sebab, pemerintah juga turut menyita seluruh aset Lapindo sebagai jaminan.

    Lapindo diberi waktu 4 tahun. Apabila perusahaan itu bisa lunasi hutangnya pada pemerintah, maka asetnya dikembalikan. Jika sudah melewati tenggat waktu tidak dibayar, aset-aset perusahaan itu akan disita. (flo/jpnn)

    Sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/12/19/276518/Pemerintah-Belum-Pikirkan-Sanksi-untuk-Lapindo-

  • Jokowi Talangi Lapindo, dari Mana Dananya?

    TEMPO.CO, Surabaya – Presiden Joko Widodo menyetujui pembayaran sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo di 20 persen lahan yang masuk area peta terdampak. “Pak Presiden membicarakan solusi soal penanganan itu, dan pemerintah membelinya. Itu artinya pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk pembelian lahan dari peta terdampak ini,” ujar Gubernur Jawa Timur Soekarwo dalam rilis yang dikeluarkan Biro Protokol dan Humas Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Jumat, 19 Desember 2014.

    Pemerintah akan menalangi dengan cara memberikan ganti rugi kepada para korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015. Selain itu, pemerintah akan memberikan tenggang waktu empat tahun kepada PT Minarak Lapindo Brantas untuk melunasi dana talangan yang dikeluarkan pemerintah.

    Pemerintah akan mengambil aset milik PT Minarak berupa tanah dalam area peta terdampak jika tidak bisa mengembalikan talangan itu. “Dengan demikian, diharapkan masyarakat di area peta terdampak Porong memberikan keleluasaan kepada BPLS untuk melakukan pembenahan terhadap tanggul, karena itu menyangkut hal yang sangat penting,” ujar Soekarwo.

    Soekarwo menyatakan, pada musim hujan, lumpur Lapindo dikhawatirkan akan meluber dan membuat tanggul penahan jebol, sehingga membahayakan masyarakat. “Pemerintah Provinsi Jatim dan Kabupaten Sidoarjo menyampaikan terima kasih kepada Presiden karena telah mengambil keputusan penting demi kepentingan masyarakat Porong.”

    Pertemuan itu dihadiri Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Sosial Khofifah, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Soelarso, dan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.

    Lapindo berkewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp 781 miliar kepada warga dan Rp 500 miliar kepada pengusaha. Namun perusahaan itu menyatakan tak sanggup membayar.

    Kementerian PU bersama BPLS, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta Pemerintah Kabupaten Sidoarjo akan membicarakan masalah ganti rugi itu. Rapat itu merekomendasikan pemerintah akan menalangi sisa pembayaran ganti rugi Lapindo sebesar Rp 781 miliar dengan menggunakan APBN. Keputusan itu dilakukan saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/19/078629689/Jokowi-Talangi-Lapindo-Dari-Mana-Dananya?

  • In surprise move, govt bankrolls Bakries in Lapindo disaster

    The government has finally agreed to go another extra mile to bail out the powerful Bakrie family to settle the remaining compensation for victims of the Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo, East Java.

    Public Works and Housing Minister Basuki Hadimuljono confirmed on Thursday that the government would provide a Rp 781 billion (US$62 million)-loan to PT Minarak Lapindo Jaya, a firm controlled by the family that is handling the disaster.

    “Lapindo said that it could not pay the compensation by buying the land [owned by the disaster victims]. So it was decided that the government would lend them to buy it,” said Basuki at the State Palace.

    “The company will be given four years to settle the loan, or we will seize their assets [land in the affected area].”

    Basuki, a career bureaucrat, explained that the loan would be taken from the strategic fund allocated in next year’s state budget.

    He said that he had already called Nirwan Bakrie, who represented the family in dealing with the disaster, and that the family had agreed to the loan settlement plan.

    The family’s scion, Aburizal Bakrie, who is also Golkar Party chairman, has enjoyed government assistance between 2007 and 2014 related to the Lapindo disaster, which many believe was caused by drilling conducted by Lapindo, the family’s firm, in 2006.

    Former president Susilo Bambang Yudhoyono’s administration allocated more than Rp 6 trillion to compensate villagers living in the vicinity of the so-called “affected area map”, which was legalized via a presidential decree in 2007.

    Yudhoyono established the Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency (BPLS) to handle and control the mud eruption, relocate people, recover infrastructure and supervise Lapindo in handling compensation for villagers in the affected area.

    Such generous financial protection for the Bakries was among the reasons Golkar helped the Yudhoyono government remain stable in the face of nationwide protests at the president’s generosity to the conglomerate.

    Golkar is now the second biggest party, after the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), which supports President Joko “Jokowi” Widodo. Jokowi and the PDI-P have been trying to lure Golkar to join their coalition and form a majority in the House of Representatives, but to no avail.

    Cabinet Secretary Andi Widjajanto said that the decision to award the loan was entirely based on the government’s commitment to help the victims, who had been left in limbo for eight years.

    He also said that the government had yet to mull any sanctions against Lapindo for its inability to pay the compensation.

    “The President has yet to consider [the sanctions] as the people have already been waiting for the compensation,” said Andi.

    A Constitutional Court ruling issued earlier this year ordered the government to force Lapindo to complete the compensation payments.

    Ina Parlina

    Sumber: http://thejakartapost.com/news/2014/12/19/in-surprise-move-govt-bankrolls-bakries-lapindo-disaster.html

  • Pemerintah Akhirnya Talangi Utang Lapindo Rp 781 Miliar

    Pemerintah Akhirnya Talangi Utang Lapindo Rp 781 Miliar

    kompas basuki konpers

    JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah akhirnya menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 781 miliar dalam proses ganti rugi tanah korban semburan lumpur di dalam area terdampak. Hal ini diputuskan setelah Lapindo menyatakan tak lagi mampu membayar.

    “Sisanya Rp 781 miliar, Lapindo menyatakan tidak ada kemampuan untuk beli tanah itu. Akhirnya diputuskan pemerintah akan beli tanah itu,” ujar Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimoeljono di Istana Kepresidenan, Kamis (18/12/2014).

    Pembayaran utang Lapindo itu akan menggunakan pos BA99 (dana taktis) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun 2015. Meski ditalangi pemerintah, Basuki menuturkan, Lapindo tetap harus melunasi kewajibannya itu. Sebab, pemerintah juga turut menyita seluruh aset Lapindo sebagai jaminan.

    “Lapindo diberi waktu 4 tahun, kalau mereka bisa lunasi Rp 781 miliar kepada pemerintah, maka itu dikembalikan ke Lapindo. Kalau lewat, maka disita,” ungkapnya.

    Menurut dia, keputusan ini juga telah disepakati oleh CEO Lapindo Brantas Nirwan Bakrie. Basuki hari ini sudah mengontak langsung Nirwan melalui sambungan telepon. Skenario pelunasan utang ini pun akhirnya disepakati kedua belah pihak. “Tinggal di-follow up ke jaksa agung,” ucap Basuki.

    Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengungkapkan alasan pemerintah yang akhirnya turun tangan membayarkan utang Lapindo. Menurut Andi, ini tak lain karena ketidakjelasan yang dialami masyarakat selama 8 tahun. Menurut Andi, warga butuh kepastian dan negara harus hadir pada saat seperti itu.

    Andi mengatakan, pemerintah juga belum berpikir untuk menjatuhkan sanksi terhadap Lapindo akibat ketidakmampuannya membayar utang tersebut.

    “Presiden tidak berpikir, rakyat sudah menunggu. Fokus bagaimana caranya supaya harapan yang tertunda ini bisa dipenuhi. Itu saja fokusnya. Hal-hal lain terkait fairness dari Minarak Lapindo, kita pikirkan kemudian,” kata dia.

    Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang turut ikut dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo menyambut keputusan pemerintah itu. Menurut dia, dengan adanya pelunasan utang Lapindo oleh pemerintah, maka tindakan pembenahan tanggung oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) bisa dilakukan.

    “Ini keputusan bagus kementerian, peta terdampak berikan satu keleluasaan untuk pembenahan tanggul. Ini penting karena kalau luber akan jebol,” ujar pria yang akrab disapa Pakde Karwo itu.

    Sabrina Asril

    Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2014/12/18/1912022/Pemerintah.Akhirnya.Talangi.Utang.Lapindo.Rp.781.Miliar

  • Jokowi Bahas Ganti Rugi Korban Lapindo Hari Ini

    Jokowi Bahas Ganti Rugi Korban Lapindo Hari Ini

    TEMPO.CO, Surabaya – Presiden Joko Widodo hari ini, Kamis, 18 Desember 2014, rencananya menerima Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Bupati Sidoarjo Saiful Illah. Pertemuan tersebut membahas mekanisme pelunasan ganti rugi warga korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar.

    Agenda pertemuan itu telah diungkap Soekarwo sehari sebelumnya di kantornya di Grahadi, Surabaya. Saiful Illah juga mengungkap agenda yang sama ketika berbicara dengan warganya pada Rabu, 17 Desember 2014. Adapun hari ini, Kamis siang, seorang staf di Grahadi mengatakan Pakde Karwo–sapaan Soekarwo–sudah berada di Jakarta.

    Soekarwo sempat menuturkan Presiden Jokowi juga memanggil Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk pertemuan yang sama.

    Sebelumnya, Soekarwo menyatakan, pada masa kepemimpinan Presiden Sudilo Bambang Yudhoyono, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo merekomendasikan agar sisa ganti rugi warga diambil alih pemerintah pusat. Caranya, pemerintah–menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara–membeli aset warga secara langsung.

    Belakangan, muncul kabar bahwa mekanisme pembayaran sisa ganti rugi senilai Rp 781 miliar itu yakni pemerintah membeli aset milik Lapindo Brantas ataupun juru bayarnya, PT Minarak Lapindo Jaya. Begitu Lapindo pegang uang, sisa ganti rugi warga diharapkan bisa langsung dibayarkan.

    Warga korban selama ini menuntut pembayaran tersebut. Mereka bahkan menghadang akses BPLS ke kolam lumpur demi memperjuangkan ganti rugi itu.

    Sebagian blokade tersebut akhirnya berhasil ditembus dengan pengawalam aparat keamanan. BPLS kini bekerja memperbaiki dan memperkuat tanggul, berlomba dengan datangnya puncak musim hujan. Beberapa titik tanggul yang jebol di sisi selatan telah menyebabkan Kali Ketapang kelebihan kapasitas hingga mudah meluap dan beberapa desa menyusul tenggelam.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/18/173629400/Jokowi-Bahas-Ganti-Rugi-Korban-Lapindo-Hari-Ini