SBY, Selamatkan Bakrie Ya!


patung-SBYTidak lama lagi masa jabatan Susilo Bambang Yudhoyono berakhir. SBY punya banyak janji, di antaranya penyelesaian kasus lumpur Lapindo. Kasus Lapindo muncul pada 2006, setelah dua tahun masa jabatan SBY jilid pertama. Pada 2009, ketika belangsung pemilihan presiden, SBY mencalonkan diri lagi dan membuat janji akan menuntaskan kasus Lapindo apabila terpilih kembali.

Jika masih ingat, ketika itu SBY tampil dalam Debat Calon Presiden. SBY menanggapi pertanyaan moderator Anies Baswedan soal kasus Lapindo secara meyakinkan. SBY mengatakan akan menangani masalah ini sampai tuntas. Ia akan menempuh langkah-langkah strategis, dengan terlebih dahulu meninjau kembali keseluruhan kebijakan yang ada untuk memastikan penanganan ke depan lebih efektif. Keselamatan warga menjadi prioritas. “Semua ditangani, tidak ada yang ditelantarkan,” kata SBY waktu itu.

Kini, setelah masa jabatannya yang kedua hampir habis, dan lumpur Lapindo terus menyembur tanpa henti selama hampir delapan tahun, kita layak bertanya, kebijakan dan langkah apa yang sudah ditempuh SBY dan pihak mana yang diselamatkan: warga korban ataukah perusahaan?

Mari kita segarkan ingatan. Segera setelah terpilih menjadi presiden untuk kedua kalinya pada 2009, SBY mengeluarkan satu kebijakan baru terkait kasus lumpur Lapindo, yakni Peraturan Presiden No 40/2009. Isi kebijakan ini sama sekali tidak baru, melainkan hanya revisi atas kebijakan yang ada sebelumnya. Menariknya, setiap kebijakan baru senantiasa ditandai satu hal: lepasnya tanggung jawab PT Lapindo Brantas secara bertahap.

Jika kita runut ke belakang, dalam Keputusan Presiden No 13/2006—kebijakan pertama mengenai penanganan kasus Lapindo—tanggung jawab PT Lapindo Brantas nyaris mencakup keseluruhan. Diktum Kelima Keppres ini menyebutkan eksplisit bahwa tanggung jawab Lapindo untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial tidak terkurangi sedikit pun meski telah dibentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Lapindo (Timnas PSLS). Di samping itu, Diktum Keenam menegaskan bahwa Lapindo menanggung biaya penanggulangan yang dilakukan Timnas.

Pada 2007, SBY mengeluarkan kebijakan baru, yakni Peraturan Presiden No 14/2007. Dalam Perpres ini, terutama Pasal 14 dan Pasal 15, tanggung jawab Lapindo mulai jauh berkurang. Pertama, Lapindo tidak harus menangani seluruh kerusakan lingkungan, melainkan cukup sebagian. Ia hanya melakukan penanganan di tanggul utama (tanggul cincin) dan pengaliran lumpur ke Sungai Porong. Sisanya dibebankan pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), termasuk pemulihan semua infrastruktur, dan semua biaya diambil dari APBN.

Kedua, Lapindo juga tidak perlu menanggung semua masalah sosial. Dalam Perpres tersebut, Lapindo cukup menangani masalah sosial pada kelompok masyarakat “dalam peta area terdampak”. Adapun di luar peta yang sudah sedemikian rupa dibuat batas-batasnya, semua biaya penanganan sosial dibebankan pada APBN. Lapindo juga mendapat keringanan luar biasa lainnya. Lapindo tidak harus memberi kompensasi kepada warga korban dalam bentuk ganti rugi, melainkan hanya perlu membeli aset tanah dan bangunan warga korban. Selain itu, Lapindo tidak diharuskan melunasi sekaligus, melainkan cukup membayar angsuran: 20 persen dahulu, sisanya kemudian.

Peraturan Presiden 48/2008 semakin menguatkan peringanan beban Lapindo tersebut. Perpres ini menyisipkan tiga pasal di antara Pasal 15 dan Pasal 16 Perpres 14/2007. Isinya memperjelas dan merinci kawasan “luar peta terdampak” yang bukan lagi tanggung jawab Lapindo. Ketiga pasal itu menetapkan batas-batas desa yang tercakup, pola kompensasi warga korban, dan tahapan pembayaran. Kesemuanya di bawah penanganan BPLS. Artinya, sejak ditetapkan Perpres ini, untuk urusan penanganan masalah sosial, Lapindo sudah terbebaskan!

Sisa tanggung jawab Lapindo hanyalah pada penuntasan masalah jual-beli aset warga korban “dalam peta terdampak” seturut Perpres 14/2007 dan penanganan tanggul utama serta pengalirannya ke Sungai Porong. Nah, pasca terpilihnya kembali SBY menjadi presiden, sisa tanggung jawab Lapindo itu total dilepaskan. Melalui Perpres 40/2009, SBY membebaskan Lapindo dari seluruh beban penanganan. Pada Pasal 15 ayat 6 Perpres ini dinyatakan bahwa penanganan tanggul lumpur dan pengalirannya ke Sungai Porong dilakukan oleh BPLS dan biaya dibebankan pada APBN, bukan lagi Lapindo. Produk-produk perpres berikutnya, yakni Perpres 68/2011 dan Perpres 37/2012, hanya memperluas cakupan wilayah terdampak yang harus ditanggung APBN, sedangkan Lapindo tetap tak terbebani lagi tanggung jawab sedikit pun.

Mulus dalam Gelap

Tampak jelas bahwa kebijakan-kebijakan SBY cenderung menguntungkan perusahaan milik Grup Bakrie tersebut. Mulusnya pengambilan kebijakan-kebijakan janggal tersebut tak lepas dari prosesnya yang tertutup. Warga terdampak bahkan tak diperkenankan mengakses pertemuan-pertemuan yang menentukan langkah-langkah penanganan yang berdampak pada korban. Menurut kesaksian sejumlah perwakilan warga korban yang diundang pada pertemuan dengan Dewan Pengarah BPLS, warga hanya diberitahu bahwa sebuah kebijakan baru akan diambil, namun tidak diberitahu poin-poin kebijakannya seperti apa. Padahal, kebijakan tersebut sangat menentukan nasib hidup mereka ke depan.

Proses tertutup semacam itu agaknya memang telah menjadi modus operandi yang dipraktikkan pemerintah berulang-ulang demi melindungi perusahaan dan menghindari penolakan warga dan kritik publik. Penggelapan informasi telah menjadi pola dasar sejak awal operasi Lapindo. Izin lokasi pengeboran Lapindo, misalnya, penuh kejanggalan. Laporan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyusul semburan lumpur panas menemukan bahwa dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) yang menjadi syarat izin eksplorasi Lapindo tidak memenuhi standar. Dokumen tersebut tidak menyinggung sama sekali jarak lahan eksplorasi dengan pemukiman dan infrastuktur vital seperti jalan tol, listrik tegangan tinggi, pipa gas dan lain-lain. Ia juga tidak dilengkapi dengan peta-peta yang memenuhi kaidah kartografi, sehingga posisi lokasionalnya tidak diketahui secara persis.

Padahal, informasi tersebut sangat krusial. Penambangan gas memiliki risiko yang jelas tidak kecil. Untuk memastikan keselamatan umum, Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No. 13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai menyebutkan, di antaranya, bahwa sumur-sumur harus dilokasikan minimal 100 meter dari pemukiman, jalan umum, rel kereta api, dan objek vital lainnya. Sementara, penelusuran BPK menemukan bahwa ketentuan ini tidak dipenuhi Lapindo. Jarak lahan eksplorasi Sumur Banjarpanji-1 hanya 5 meter dari pemukiman warga, hanya 37 meter dari jalan tol Surabaya-Gempol, dan kurang 100 meter dari pipa gas Pertamina.

Lebih dari itu, surat-surat perizinan yang dikeluarkan pihak Kabupaten Sidoarjo juga tidak mencantumkan Peraturan Daerah No. 16/2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) sebagai dasar rujukan. Mengapa informasi tersebut digelapkan? Alasannya jelas. Jika informasi tersebut ditampilkan, izin yang diberikan Bupati Sidoarjo melalui Surat Keputusan No. 188/227/404.1.13/2005 akan tampak jelas melanggar Perda RTRW. Perda tersebut menyatakan bahwa lokasi operasional Lapindo sesungguhnya hanya diperuntukkan bagi pemukiman, pertanian dan industri non kawasan.

Penggelapan informasi, dari pemerintah pusat hingga pemerintah lokal, rupanya telah menjadi karakter dasar bencana industri yang telah menelantarkan puluhan ribu korban dan menyedot triliunan dana ABPN ini. Pemerintahan SBY tak tampak bersungguh-sungguh melahirkan kebijakan yang transparan dan adil. Jauh dari janji-janjinya saat kampanye pada 2009 untuk menuntaskan kasus Lapindo seadil-adilnya, SBY hanya melahirkan kebijakan yang menyelamatkan pihak perusahaan. *

–Mujtaba Hamdi, pegiat kebebasan informasi pada Perkumpulan MediaLink, Jakarta.

Translate »