Category: Lapindo di Media

  • BPLS Diskriminatif Tangani Korban Lumpur Lapindo

    BPLS Diskriminatif Tangani Korban Lumpur Lapindo

    22 Januari 2015 | JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – BPLS dianggap tebang pilih dalam memberikan ganti rugi bencana lumpur di Sidoarjo. Untuk itulah anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Sadarestuwati mendesak Kepala BPLS Suroso agar bisa adil dan pilih kasih.

    Menurutnya selama ini BPLS terlalu mendiskriminasi para pengusaha yang tokonya atau pabriknya terendam lumpur Lapindo. Estu, panggilan Sadarestuwati, mengatakan bahwa para pengusaha ini korban semburan lumpur, sehingga juga perlu diberikan ganti rugi oleh negara, dan tidak hanya rakyat kecil saja.

    “Sertifikat tanah dan bangunan mereka sejak tahun 2008 sudah diserahkan kepada BPLS, tapi sampai sekarang belum dapat ganti rugi. Gimana ini, bahkan ada kabar sertifikat mereka digadai di bank, tapi sepeser pun mereka tidak dapat juga,” kata Estu dalam rapat dengar pendapat dengan Ketua BPLS, di Gedung KK V Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (22/1/2015).

    Estu, minta BPLS memasukan nama para pengusaha ke dalam daftar penerima ganti rugi yang sesuai dengan harga yang sudah dipatokan oleh pemerintah. Jangan sampai hal ini menyesengsarakan mereka yang notabene rakyat Indonesia juga.

    “Saya minta mereka para pengusaha harus dimasukkan nama-namanya, nanti saya dan anggota Komisi V lainnya akan mengontrol masalah ini sampai benar-benar tuntas. Dan harus ada pertemuan khusus antara BPLS dengan para pengusaha dalam waktu dekat ini,” tegasnya.

    Selain Estu, ada pula wanita anggota Komisi V lainnya yang secara lantang meminta langkah nyata BPLS untuk para korban lumpur lapindo yaitu Yasti Soepredjo Mokoagow dari Fraksi PAN. Yasti menyatakan semua korban lumpur harus mendapatkan haknya tanpa dipersulit oleh BPLS maupun pemerintah.

    “Mereka para pengusaha ini di mata hukum sah mendapat rugi. Wajar pak Ketua BPLS kalau mereka menuntut haknya. Karena selama tujuh tahun tidak mendapat rugi. Kita sebagai manusia harus juga punya hati nurani, memikirkan nasib mereka,” pungkasnya. (ris)

    Mandra Pradipta

    Sumber: http://teropongsenayan.com/5357-estu-dan-yasti-tuding-bpls-diskriminatif-tangani-korban-lumpur-lapindo

  • BPLS Minta Rekening Warga Tidak Terblokir

    BPLS Minta Rekening Warga Tidak Terblokir

    Kamis, 22 Januari 2015 | Sidoarjo (Antara Jatim) Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo meminta rekening warga korban lumpur di dalam peta areal terdampak tidak terblokir menyusul adanya rencana penerimaan ganti rugi kepada warga.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Dwinanto, Kamis, mengatakan, sampai dengan saat ini pihaknya masih terus memberikan imbauan kepada warga supaya rekening mereka tidak sampai terblokir oleh pihak bank.

    “Karena kalau sampai rekening tersebut terblokir pihak bank maka proses pengurusannya akan lebih lama lagi sementara rencana pencarian ganti rugi kepada warga kurang sedikit lagi,” katanya.

    Ia mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu petunjuk teknis dari pusat terkait dengan rencana pencairan jual beli aset warga apakah melalui BPLS atau melalui teknis yang lainnya.

    “Kami masih belum memiliki petunjuk teknis dari pusat terkait dengan rencana pencairan dana tersebut. Namun demikian, kami siap jika memang dilibatkan dalam proses pembelian aset warga oleh pemerintah,” katanya.

    Menurutnya, saat ini pihaknya juga melakukan koordinasi dengan pihak Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo Brantas Inc terkait dengan jumlah berkas yang belum diselesaikan oleh mereka.

    “Kami juga melakukan koordinasi dengan mereka terkait dengan pembayaran tersebut, kami juga melakukan pendataan terhadap warga yang belum terlunasi. Kami yakin warga yang tanahnya belum terlunasi sudah memiliki kelengkapan berkas,” katanya.

    Sebelumnya, pemerintah pusat akan mengambil alih pembayaran ganti rugi kepada warga korban lumpur lapindo dari Minarak Lapindo Jaya. Jumlah dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah tersebut mencapai lebih dari Rp700 miliar. (*)

    Reporter: Indra Setiawan | Redaktur: Endang Sukarelawati

    Sumber: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/150034/bpls-minta-rekening-warga-tidak-terblokir

  • Menkeu Lapor ke DPR

    Jakarta – Pemerintah melalui Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro melaporkan rencana pemberian talangan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Anggaran yang dibutuhkan adalah Rp 781 miliar.

    Dana ini digunakan untuk membayar kompensasi kepada warga di dalam area terdampak yang semestinya menjadi tanggung jawab Lapindo. Namun sampai saat ini belum ada kepastian.

    “Warga di dalam area terdampak bergantung pada Minarak Lapindo, tapi sampai sekarang masih ada tunggakan Rp 781 miliar, sehingga warga di situ tidak mendapat kepastian. Maka itu, pemerintah susun skema yang sifatnya dana talangan,” jelas Bambang saat rapat kerja dengan Komisi XI di gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Kamis (21/1/2015).

    Dengan demikian, lanjut Bambang, korban akan segera mendapatkan dana ganti rugi. Nantinya pihak Lapindo akan berurusan langsung dengan pemerintah untuk membayar dana talangan tersebut.

    “Kalau dulu utang piutang warga dengan Minarak Lapindo, maka sekarang adalah pemerintah dengan Minarak Lapindo,” tuturnya.

    Dana talangan tersebut, menurut Bambang, tidak masuk ke pos belanja negara dalam APBN-Perubahan 2015. Sebab, nantinya harus dikembalikan oleh Lapindo.

    Pemerintah pun akan membuat perjanjian secara tertulis. “Nanti akan ada perjanjian mengenai skema tersebut sesuai dengan layaknya,” ujar Bambang. (mkl/hds)

    Sumber: http://finance.detik.com/read/2015/01/22/162930/2811107/4/ingin-beri-dana-talangan-buat-korban-lumpur-lapindo-menkeu-lapor-ke-dpr

  • Lapindo Berkubang Dana Talangan

    25 Desember 2014 | Realitas MetroTV,  Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jatim masih menghantui warga terdampak.

  • Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial-Ekologis

    Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial-Ekologis

    mongabay.co.id – Presiden Joko Widodo dalam kampanye lalu di Sidoarjo, mengungkapkan selama ini negara absen lumpur Lapindo. Jadi, negara harus hadir sebagai wujud kedaulatan rakyat. Setelah terpilih, Jokowi baru-baru ini memberikan dana talangan buat Lapindo Rp781 miliar karena perusahaan berdalih tak mampu membayar. Upaya Jokowi dinilai berbagai kalangan bukan solusi, bahkan mengkerdilkan kehadiran negara. Presiden semestinya mampu memberikan jaminan pemulihan sosial, lingkungan dan hak-hak dasar yang selama ini terenggut dari warga Sidoarjo, sekitar. Salah satu rekomendasi KontraS agar pemerintah audit lingkungan Lapindo menyeluruh.

    “Dengan dana talangan dan sita aset, Jatam melihat itu tindakan mengkerdilkan kehadiran negara. Solusi pemerintah Jokowi tidak menyeluruh,” kata Bagus Hadi Kusuma, pengkampanye Jatam, baru-baru ini.

    Dia mengatakan, temuan Jatam dan Walhi Jatim menunjukan terjadi penurunan kualitas Sungai Porong sangat drastis. Air tanah di sekitar terdampak  lumpur Lapindo, tercemar logam berat dan zat kimia lain. “Pemerintahan Jokowi tidak bisa hanya mengartikan kehadiran negara dari dana talangan.”

    Menurut dia, jika permasalahan finansial perusahaan  dan pelanggaran HAM diselesaikan dengan uang negara, ke depan kasus ini akan terulang kembali. “Hanya pertolongan dana pajak dan uang rakyat?”

    Semestinya, kata Bagus, pemerintah perlu memberikan pemulihan sosial dan ekologis. Pemerintah,  harus meluaskan horison pandangan tidak hanya fokus wilayah tergenang. “Artinya melihat sebaran dari daya rusak praktik lumpur Lapindo, tidak hanya terpusat wilayah tergenang.”

    Dia mencontohkan, sebaran korban mengungsi, mencari kerja di wilayah lain, karyawan bekerja di sana meskipun tidak berdomisili di wilayah itu. “Permasalahan utama tidak ada data korban valid. Baik korban rumah terendam, maupun yang kehilangan hak sosial ekologis.”

    Tak jauh beda dengan KontraS. Haris Azhar, Koordinator KontraS mengatakan, kebijakan Jokowi tidak otomatis menyelesaikan persoalan. Justru, hanya menguntungkan kelompok tertentu. “Hanya menggelontorkan dana kompensasi kepada korban Lapindo menurut kami itu tindakan sangat tidak tepat. Merendahkan nilai penanganan kasus juga merendahkan penderitaan korban,” katanya.

    Bahkan, langkah itu justru berujung pada pendekatan bisnis. Padahal, kasus lumpur Lapindo ada banyak aspek harus diperhatikan. “Wapres Jusuf Kalla hanya  mengatakan akan mengambil alih aset Lapindo jika tak mampu membayar dana talangan.”

    Haris menilai, respon Jokowi tidak sebanding dengan besaran dampak, kerugian warga di beberapa desa itu. “Ketika Jokowi mengatakan negara harus hadir, itu tidak bisa hanya memberikan Rp781 miliar. Seolah-olah dengan uang itu, permasalahan selesai.”

    Dalam Lapindo,  jelas ada kejahatan patut diduga itu sudab disadari sejak awal, meliputi berbagai aspek. “Harusnya ada upaya tidak sekadar menghitung kerugian materil belaka. Penting juga ada penghukuman kejahatan korporasi.”

    Syamsul Munir, Kepala Divisi Advokasi Ekosoc KontraS mengatakan,  dalam perspektif hukum dan HAM kebijakan ini tidak bisa meniadakan proses advokasi dan pertolongan kepada warga, terutama di Kecamatan Porong dan sekitar.

    Dia mengatakan, Jokowi mengundang pemerintah Sidoarjo, Gubernur Jatim ke Jakarta, hanya memberikan kompensasi. “Kita melihat pendekatan hanya nilai rupiah. Bukan pendekatan melihat sejauh mana proses normalisasi masyarakat lokal.”

    KontraS mengajukan, delapan rekomendasi kepada Presiden Jokowi,  dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Pertama, mendesak kapolri selaku orang yang bertanggung jawab terkait SP3 pidana Polda Jatim. Kedua, meminta Kementerian Keuangan, menghentikan risiko kompensasi dari uang negara yang menggunakan pendekatan bisnis membeli aset PT. Minarak Lapindo.

    Ketiga, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk audit lingkungan terhadap Lapindo secara menyeluruh.  Karena kegiatan mereka berdampak terhadap lingkungan.

    Keempat, meminta Jaksa Agung menggugat perdata karena ada indikasi wanpresrasi dan perbuatan melawan hukum oleh Lapindo. Kelima, meminta presiden tidak hanya mengeluarkan dana talangan, juga membentuk tim percepatan pemulihan non judicial terpadu. “Tim terdiri dari beberapa kementerian berbasiskan HAM. Ini penting karena ada beberapa pabrik tutup. Ribuan terdampak.”

    Keenam, meminta Kementerian Pekerjaan Umum aktif menyampaikan bukti-bukti kepada Polri terkait penyalahgunaan tata ruang oleh Lapindo.  Ketujuh, meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi  membuka data seluas mungkin karena hasil penyelidikan Komnas HAM menemukan ada banyak fakta ditutup-tutupi oleh Lapindo. “Ini yang kita sesalkan seakan-akan itu kejadian biasa.”

    Kedelapan, meminta BPK berkoordinasi dengan kementerian terkait, terutama Energi Sumber Daya Mineral.”Dalam pemeriksaan Komnas HAM, muncul bukti dari BPK yang menguatkan bahwa proses pengeboran tidak prosedur. Tahapan-tahapan ada dilewati dan tidak sistematis. Sayang, bukti-bukti tidak ditindaklanjuti pemerintah. Baik pemerintah SBY maupun Jokowi. Padahal sangat kuat,” ucap Munir.

    Puri Kencana Putri, Kepala Biro Riset KontraS mengatakan, dalam laporan Komnas HAM dua tahun lalu, ada 15 kasus pelanggaran HAM yang berdimensi serius. “Bisa dipakai mendorong langkah-langkah judicial dan non judicial. Juga bisa dihadirkan untuk pemulihan terhadap hak-hak korban,” katanya.

    Laporan pelanggaran HAM itu  antara lain, hak atas hidup,  hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, dan hak atas kesehatan. Lalu, hak atas pekerjaan, pendidikan, berkeluarga dan melanjutkan keturunan, kesejahteraan, jaminan sosial, pengungsian, kelompok rentan terutama mereka penyandang cacat, lansia dan anak-anak.

    Indra Nugraha

    Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/01/14/korban-lapindo-perlu-pemulihan-sosial-dan-ekologis/

  • DPR Akan Kaji Dana Talangan Lapindo

    DPR Akan Kaji Dana Talangan Lapindo

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU Pera), Basuki Hadimuljono menyatakan akan anggarkan Rp781 miliar untuk dana talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo. Terkait hal ini, DPR akan kaji dulu sebelum menentukan akan menyetujui atau menolak penganggaran dana tersebut.

    “Tentu nanti akan dilihat apa alasannya. Setiap dana dari APBN itu harus dipertanggungjawabkan karena dana dari masyarakat,” jelas Wakil Ketua Komisi II Abdul Hakam Naja pada ROL, Kamis (8/1).

    Dalam hal ini, pemerintah harus bisa memberikan landasan yang masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan terkait penganggaran dana talangan tersebut. Selain itu, DPR juga akan mengevaluasi sejauh mana perkembangan dan efektivitas dana yang sudah diberikan pemerintah terkait masalah lumpur Lapindo ini.

    Ini dilakukan sebagai salah satu upaya agar tetap ada akuntabilitas dan transparansi anggaran yang diberikan. Pemerintah juga harus bisa memastikan sampai kapan dana ini akan dikucurkan. Kerasionalan pemerintah dalam pengajuan dana talangan ini akan menjadi acuan bagi DPR

    “DPR bisa menerima kalau alasannya itu bisa dipertanggungjawabkan, objektif, dan masuk akal. DPR punya kewenangan untuk menerima atau menolak,” lanjut Hakam.

    Jika penganggaran dana talangan ini disetujui oleh DPR, Hakam menilai lebih baik dana talangan ini disalurkan melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan tidak langsung ke Lapindo. Pasalnya BPLS merupakan kepanjangan tangan negara.

    Menurut Hakam, Korporasi, dalam hal ini Lapindo, harus bertanggungjawab dalam konteks pertanggungjawaban korporasinya. Pemerintah dalam hal ini hanya bertanggungjawab untuk melindungi masyarakat yang terkena dampak lumpur Lapindo. (C01)

    Ichsan Emrald Alamsyah

    Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/08/nhv87e-dpr-akan-kaji-dana-talangan-lapindo

  • Pemerintahan Jokowi Belum Serius Tuntaskan Lumpur Lapindo

    JAKARTA, SACOM – Jika berhenti pada pemberian ‘dana talangan’ Rp 781 milyar saja, berarti pemerintahan Jokowi tak serius menuntaskan kasus Lumpur Lapindo.

    Demikian siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang disampaikan baru-baru ini kepada suaraagraria.com.

    Memang pemberian dana sudah menyentuh pada aspek korban, namun sayangnya soal lumpur ini juga harus menyentuh aspek-aspek lainnya.

    ‘Keputusan dana talangan baru menyentuh satu dimensi saja dari kasus Lapindo, yaitu dimensi korban. Keputusan itu hanya berlaku pada kelompok korban cash and carry yang sudah lama menanti terpenuhinya hak mereka,’ sebut siaran pers JATAM.

    Korban tentu saja merasa bersyukur dengan dana tersebut, mengingat uang adalah solusi yang mendesak buat korban yang terkena dampak langsung lumpur lapindo. Namun dengan memberikan dana talangan berarti soal ini otomatis selesai, dana itu harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo.

    Banyak dimensi-dimensi lain yang harus disentuh, ini jikalau pemerintahan Jokowi mau dianggap sebagai Presiden yang peduli dengan penyelesaian kasus ini.  Apa saja dimensi-dimensi yang dimaksud?

    Pertama, dimensi pelaku.  Sampai saat ini belum ada pihak yang dimintai pertanggungjawabannya dalam konteks pelanggaran. Jadi masyarakat satu Indonesia belum tahu persis apakah kasus ini termasuk pelanggarankah, apakah melanggar HAM, ataukah sebaliknya, ini soal masalah alam yang tak bisa diusut.

    Kedua adalah dimensi data. Sampai saat ini pemerintah belum memiliki data yang akurat soal jumlah korban. Sampai saat ini pemerintah berpegangan pada data aset korban, semisal tanah dan bangunan. Jika terhenti sampai di situ, maka sama saja pemerintah tidak memperhitungkan aspek manusia sama sekali. Pemahamannya, uang bisa mengganti korban manusia.

    Jika sebatas mengganti aset, apakah sudah dipikirkan bagaimana nasib kehidupan para korban setelah dipindahkan ke tempat yang baru. Padahal banyak dari mereka yang hidup dari tanahnya yang sudah tenggelam.  

    Pemerintah juga dinilai belum menyentuh aspek sosial-ekologis. Maksudnya, adalah soal kualitas air bawah tanah yang berada di sekeliling tanggul lumpur.

    JATAM menduga terjadi penurunan yang sangat drastis kualitas air tanah yang membuat pemukiman di sekitar tanggul lumpur menjadi tidak layak huni.

    Pembuangan lumpur ke Kanal Porong dan juga saluran air lainnya telah memperluas degradasi kualitas lingkungan bahkan sampai ke Selat Madura.

    Penurunan kualitas air ini sangat mungkin, mengingat beberapa penelitian yang dilakukan secara independen mengatakan tingginya kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo.

    Salah satu penelitian WALHI menemukan bahwa ada senyawa kimia dalam lumpur yang bisa memicu kanker. Sialnya lagi, senyawa itu tidak bisa dideteksi dalam waktu dekat.

    Ini harus menjadi warning. Bukan main-main atau sekedar omongan kosong, buktinya dari data Puskesmas setempat persoalan kesehatan di sana meningkat menjadi tahap yang sangat serius.

    Sampai era SBY pemerintah juga tak serius memandang dampak sosial yang ditimbulkan lumpur ini. Seperti, bagaimana rencana relokasi puluhan bangunan sekolah yang tenggelam, bagaimana langkah pemulihan krisis, atau bagaimana rencana normalisasi Kali Porong ke depannya.

    Kembali kepada dimensi pelaku. Sanksi hukum pun tak ada. Padahal Lapindo jelas sudah melanggar Perpres 14/2007 karena gagal membayar sisa 80 persen ‘paling lambat sebulan sebelum masa 2 (dua) tahun habis’ (Pasal 15 Ayat 2) kepada para korban.

    Okelah dananya ditalangi dulu oleh pemerintahan Jokowi. Namun seharusnya pemerintah menggeret masuk BPK dan KPK untuk mengawasi dana besar itu. Ini soal uang rakyat, ini soal bagaimana agar korban lumpur Lapindo tidak ‘jatuh ketiban tangga pula’, karena duit yang sudah menjadi hak mereka tidak mereka terima secara ‘pulen’.

    Sumber: http://suaraagraria.com/detail-21382-pemerintahan-jokowi-belum-serius-tuntaskan-lumpur-lapindo.html

  • Beranikah Jokowi Usut Aktor Penyebab Muncratnya Lumpur Lapindo?

    JAKARTA, SACOM – Kita sama-sama tahu siapa pemilik Lapindo Brantas, penyebab muncratnya lumpur di Sidoarjo itu. Beranikah Jokowi mengungkapnya?

    Jangan anggap dana 781 milyar penanganan lumpur panas Lapindo bahwa kasus itu selesai. Pemerintah juga harus berani mengusut tuntas aktor pelakunya.  

    Untuk diketahui, Rapat Kabinet Jokowi pada tanggal 19 Desember 2014 memutuskan menggelontorkan dana talangan kepada Lapindo Brantas Inc. Bagus buat sebagian korban, namun belum menjawab aspek pelaku,

    “Kita berpendapat bahwa keputusan dana talangan harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo, bukannya akhir,” tegas siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

    Soal siapakah yang paling bertanggung jawab atas kasus Lapindo ini silahkan Anda simpulkan sendiri.

    Yang jelas komunitas korban yang tergabung dalam Korban Lumpur Lapindo Menggugat (KLM), seperti dilansir merdeka.com, pernah memberikan ‘Bandit Awards’ untuk Bapak kita yang terhormat Aburizal Bakrie, atau akrab disapa Ical itu.

    Bandit Awards, menurut para korban adalah sebagai bentuk sindiran atas nasib mereka yang terkatung-katung  selama bertahun-tahun dan betapa dahsyatnya dampak sosial-ekologis akibat “muncrat selamanya” lumpur panas itu.

    Pertanyaannya sekarang, apakah Jokowi memiliki keberanian? Seharusnya iya. Soalnya dia dipilih langsung oleh rakyat. Dan lihat saja betapa dia disambut meriah lewat arak-arakan usai pelantikannya sebagai Presiden 20 Oktober 2014. Termasuk didukung dan disambut juga oleh warga korban di Sidoarjo.

    Tentu saja harus punya nyali yang besar. Masalahnya yang dihadapinya bukan main-main. Ical adalah konglomerat besar, dan politikus senior  yang punya teman politikus senior juga, seperti Amien Rais atau Akbar Tanjung.

    Dia juga Ketua Umum Golkar, partai paling senior di Indonesia, setelah PDI-P dan PPP.  Manuvernya dengan Koalisi Merah Putih di parlemen seolah juga  menunjukkan “betapa seniornya” Bapak kita yang satu itu. Bahkan dia juga punya media pers sendiri yang juga harus diperhitungkan dan tidak boleh dianggap remeh.

    Tapi bukan berarti Jokowi tidak boleh berani. Harus berani lah, lagi-lagi kan dia didukung dan dipilih oleh rakyat secara langsung. Ini berarti Jokowi di “backing” oleh rakyat Indonesia.  Lagipula pengungkapan kan juga bagus untuk menjelaskan, apakah yang dituduh selama ini sebagai pelaku benar-benar bersalah dan harus bertanggung jawab atau tidak. 

    Sumber: http://suaraagraria.com/detail-21376-beranikah-jokowi-usut-aktor-penyebab-muncratnya-lumpur-lapindo.html

  • Walhi: Lapindo Belum Layak Jadi Geopark

    KBR, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menolak rencana pemerintah untuk menjadikan kawasan banjir lumpur panas  Lapindo sebagai kawasan geopark.

    Geopark dikenal sebagai kawasan terpadu dengan warisan geologi guna mempromosikan pembangunan masyarakat setempat secara berkelanjutan.

    Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Bambang Catur, kawasan Lapindo belum layak untuk dijadikan geopark karena masih perlu kajian lebih lanjut. Lokasi itu, kata dia, berbahaya bagi manusia.

    “Penelitian terakhir menyebutkan kandungan logam berat di ikan di sekitar Lapindo cukup tinggi, misalkan kandungan timah hingga 100 kali lipat. Ini berkorelasi dengan data kesehatan 2005-2009, warga dengan gangguan kesehatan saluran pernafasan cukup tinggi dari 23 ribu jadi 52 ribu, naik dua kali lipat selama 4 tahun,” jelas Bambang Catur dalam perbincangan dalam Sarapan Pagi KBR, Selasa (30/12).

    Karenanya, ia berharap Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) membuat kajian tersendiri soal ini guna memastikan keamanan lingkungan di Sidoarjo, Jawa Timur, itu.

    “Saya tidak membaca BPLS melakukan kajian-kajian. Penetapaan apa pun yang penting landasan-landasannya. Kalau nyatanya kawasan itu berbahaya bagi manusia, bagaimana mungkin kita mengundang anak-anak dalam kandungan lumpur yang berbahaya itu,” ujar Bambang.

    Soal rencana pembuatan geopark di kawasan lapindo sebelumnya diungkap Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono. Menurut Basuki, rencana itu bagian dari edukasi bagi masyarakat. Terlebih lagi di dalam lumpur terkandung mineral yang mungkin dapat dimanfaatkan.

    Anto Sidharta

    Sumber: http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3375674_4262.html

  • Bis zum Hals im Sumpf

    Der weltweit grösste Schlammvulkan faucht und sprudelt seit acht Jahren. «Lusi» hat dreizehn Dörfer verschlungen und ist inzwischen zum Sinnbild des Polit-Sumpfs in Indonesien geworden. Anwohner halten Dämme besetzt und rufen nach Kompensation.

    Nach der Trockenperiode wartet man auf Ostjava sehnlichst auf das kühlende Nass. Die Reisfelder sind noch karg, die Vegetation halb verdorrt und die Luft staubig. Der 1650 Meter hohe Vulkan Penanggungan verschwindet im gelbtrüben Dunst und ist von der indonesischen Kleinstadt Sidoarjo aus gerade noch knapp auszumachen.

    Gestank von faulen Eiern

    Doch nicht alle Bewohner im 30 Kilometer südlich von Surabaya liegenden Sidoarjo sehnen sich nach Wasser. Mit den Regengüssen drohen nämlich die Dämme um den Schlammvulkan «Lusi» zu bersten; verdünnt und aufgeweicht, stinkt die graue Brühe dann noch penetranter. Hätte man den Schlamm nicht immer wieder abgepumpt, wären die bis fünfzehn Meter hohen Umrandungen, die den fauchenden Schlund weitläufig umgeben, längst überflutet und noch mehr Siedlungen in Mitleidenschaft gezogen worden.

    Der Kosename «Lusi» steht für Lumpur Sidoarjo. Die Anwohner nennen die stellenweise verkrustete Oberfläche, unter der dreizehn Dörfer begraben liegen, auch «Lumpur Lapindo». Lapindo Brantas heisst die Firma, die hier vor acht Jahren nach Erdgas bohrte. Mit verheerenden Folgen: Sie stiess damals in einer Tiefe von 1750 Metern, in die man nach nur 20 Tagen vorgestossen war, zwar auf ein Gasgemisch. Doch es roch verdächtig nach faulen Eiern, erwies sich als betäubend und war erst noch leicht entflammbar: eindeutig Schwefelwasserstoff. Doch es sollte noch schlimmer kommen.

    Indonesien liegt auf einer tektonischen Bruchlinie der Erdkruste, wo die eurasische auf die australische Platte stösst. Erdbeben und Vulkanausbrüche sind auf dem Archipel, der sich von Aceh bis Papua erstreckt, fast an der Tagesordnung. Allein auf der Insel Java, wo über die Hälfte der indonesischen Bevölkerung von 250 Millionen Menschen lebt, zählt man heute 35 aktive Vulkane. Wie auf einer Perlenschnur reihen sich diese speienden Berge von Bali quer durch Java bis nach Sumatra. An der Oberfläche gedeiht die Natur prächtig, doch in der «Unterwelt» ist einiges in Bewegung.

    Wenn sie auf Sumatra oder Kalimantan jeweils nach Erdgas gebohrt hätten, erklärt der 47-jährige Pitando Hariyadi, habe man die Bohrlöcher an den Wänden vorschriftsgemäss immer mit Stahlrohren abgedichtet. Mit dieser Sicherheitsmassnahme wolle man sogenannte «kick backs» aus der Tiefe verhindern, die im Bohrprozess beim Durchbrechen von Hochdruckzonen immer wieder aufträten. «Auf Java nicht nötig», hätten seine Vorgesetzten damals gesagt. Dass hier Schlamm und Gase mitunter urplötzlich aus dem Erdinnern hervorquellen, hatten schon die Niederländer in früheren Berichten festgehalten.

    Hariyadi hatte einen kurzen Arbeitsweg. Sein Haus in Reno Kenongo, einem Dorf, das es längst nicht mehr gibt, war nur 500 Meter von der Bohrstelle entfernt. Er erinnert sich genau an jenen 29. Mai im Jahr 2006: Wegen austretenden Schwefelgases hatte man das Bohrloch behelfsmässig zugestopft. Der Pfropfen wirkte, aber nur lokal: Im grösseren Umkreis der Bohrstelle schossen plötzlich graue Fontänen in die Höhe; der Druck aus der Tiefe hatte die Erdkruste an anderen Stellen durchbrochen. Innerhalb weniger Tage bildeten sich Schlünde, aus denen immer grössere Mengen Schlamm ausgeworfen wurden, bis zu 180 000 Tonnen pro Tag. Zuerst verschwanden die Baumaschinen, dann Reisfelder und Gärten, eine Hauptstrasse, einzelne Häuser und schliesslich ganze Dörfer. Heute erstreckt sich «Lusi» über eine fünf Quadratkilometer grosse «Mondlandschaft», in der einst 30 000 Menschen lebten. Die Eruptionen haben inzwischen etwas nachgelassen; doch es sprudelt, faucht, raucht und stinkt immer noch, und Geologen schliessen nicht aus, dass der mittlerweile weltweit grösste Schlammvulkan noch jahrzehntelang aktiv sein könnte.

    Auch ein politischer Sumpf

    Längst ist «Lusi» auch zum Sinnbild des politischen Sumpfs in Indonesien geworden. In sicherer Entfernung vom Ort des Auswurfs sind inzwischen zwar mit staatlicher Hilfe, die sich gesamthaft auf umgerechnet etwa 500 Millionen Dollar beläuft, neue Siedlungen entstanden; doch der penetrante Gestank bleibt, und die meisten der Vertriebenen, die zwei Jahre lang in Massenunterkünften leben mussten, warten immer noch auf eine anständige Entschädigung. Das hat seinen besonderen Grund: Weder der Staat noch die Firma Lapindo Brantas, die zum Imperium eines einflussreichen Politikers gehört, fühlen sich verantwortlich.

    Zwei Tage vor der Eruption von «Lusi» bebte im 250 Kilometer westlich von Sidoarjo gelegenen Yogyakarta die Erde. Jene Erschütterungen vom 27. Mai 2006 forderten damals gegen 4000 Tote, und der nahe Yogyakarta gelegene Vulkan Merapi rief sich prompt feuerspeiend in Erinnerung. Für Lapindo Brantas und ein Heer von Juristen war und ist damit der Fall klar: Nicht die Bohrungen, so heisst es jeweils vor den Gerichten und an Fachkonferenzen, hätten die Schlamm-Eruption provoziert, sondern das Erdbeben von Yogyakarta. Für höhere Gewalt, so die Firma, hafte man nicht.

    Die Fachwelt ist allerdings geteilter Meinung. Dass Sicherheitsvorkehrungen beim Drillen missachtet wurden, ist unbestritten. Aber ob das Anbohren der urzeitlichen Schichten und Kammern Javas das Unglück provozierte oder ob das Erdbeben über jenen labilen tektonischen Platten zum plötzlichen Druckaufbau führte, bleibt umstritten. Die Faszination der Geologen ist gross, doch das Ausmass der Verwüstung ist längerfristig noch nicht absehbar. Der frühere indonesische Präsident Susilo Bambang Yudhoyono sowie lokale Gerichte machten die Bohr- und Explorationsfirma zumindest mitverantwortlich. Doch gegen Lapindo Brantas, die zum Imperium der Bakrie- Gruppe gehört, war bisher kein Kraut gewachsen. Die Bakrie-Gruppe gehört nämlich der Familie um Aburizal Bakrie, den Parteipräsidenten der mächtigen Golkar-Partei. Es ist ein offenes Geheimnis, dass Yudhoyono nach seiner Wiederwahl 2009 im Parlament auf die Unterstützung von Golkar angewiesen war.

    Auf Transparenten, die an den Staumauern befestigt sind, schneidet das Politiker-Duo schlecht ab. Der frühere Präsident wird als Lügner und Bückling bezeichnet, der seine Wahlversprechen nicht eingehalten habe. Bakrie sei ein skrupelloser Schurke, der sich aus der Verantwortung stehle. Zwar hat die Bakrie-Gruppe seinerzeit finanzielle Nothilfe geleistet, die – damit daraus kein Schuldeingeständnis abgeleitet werden kann – als «humanitäre Geste» bezeichnet wurde. Viel mehr ist nun nicht zu erwarten, denn inzwischen hat das hauptsächlich im Energiegeschäft verankerte Firmenimperium Milliardenschulden angehäuft und ist ohnehin praktisch bankrott.

    Blockierte Zugänge

    Um Druck auf Joko Widodo, den neuen Präsidenten, und auf die Öffentlichkeit zu machen, halten Wachposten rund um «Lusi» seit geraumer Zeit die Zugänge besetzt und lassen keine Bauarbeiter durch: Bagger, Pumpen und Rohre, mit denen man die Brühe früher jeweils zur Entlastung in den nahegelegenen Fluss Porong leitete, verrosten und verleihen der Szenerie zusätzlich eine apokalyptische Note. Die Dämme, so die Überlegung der Besetzer, sollen durch den Druck des Regenwassers nur überlaufen und allenfalls gar bersten, damit alle Welt sehe, welche Zustände in Indonesien herrschten.

    Während des diesjährigen Wahlkampfes war Widodo hier zu Besuch und tauchte seine Hände demonstrativ in die stinkende Brühe. Entsprechend hoch sind nun die Erwartungen an ihn: Die Bakrie-Gruppe soll endlich für den immensen Schaden geradestehen und die Betroffenen entschädigen. Weil Bakrie aber selbst tief im Schuldensumpf steckt, ist dies unwahrscheinlich. Und weil Präsident Widodo – noch mehr als sein Amtsvorgänger – im Parlament auf die politische Unterstützung von Golkar angewiesen ist, dürfte sich so rasch nichts ändern. Eine kleine Hoffnung der Anwohner besteht darin, dass Bakrie bei der anstehenden Umbesetzung der Golkar-Spitze abgelöst wird. Geologen wie Hardi Prasetyo, der Chef der BPLS-Behörde, die sich mit allen Folgen der Eruption auseinandersetzt, beobachten und vermessen «Lusi» täglich. Die demonstrierenden Anwohner sind für ihn mittlerweile zur Nebensache geworden. Er beschäftigt sich bereits mit der Zukunft und möchte insbesondere herausfinden, welche Baum- und Pflanzenarten auf dieser langsam verkrustenden Oberfläche dereinst gedeihen. Dann könnte man die neue Landschaft vielleicht auch einer neuen Nutzung zuführen, meint er.

    Sehr ermutigend sieht es derzeit nicht aus. Wo die Brühe hinreicht, wächst bis jetzt jedenfalls kein Pflänzchen. Einsam ragt die rotweisse indonesische Flagge aus dem Sumpf, die Prasetyo weit draussen auf halbwegs festem Grund in den Boden gerammt hat. Kritischere Berufskollegen von Prasetyo warnen vor allzu kühnen Phantasien. Auf 150 Millionen Kubikmeter werden die seit 2006 ausgeworfenen Schlammmassen derzeit geschätzt. Je dicker und schwerer die Decke werde, umso grösser werde die Gefahr, dass die neuen Hohlräume im Erdreich einst einbrechen – mit oder auch ohne Erdbeben als Auslöser.

    Manfred Rist

    Sumber: http://www.nzz.ch/international/bis-zum-hals-im-sumpf-1.18452158

  • Hindari Lumpur Lapindo, KAI Bangun Rel Baru

    Hindari Lumpur Lapindo, KAI Bangun Rel Baru

    TEMPO.CO, Banyuwangi – Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Hermanto Dwi Atmoko, mengatakan pemerintah akan mulai membangun jalur kereta api baru wilayah tak jauh dari semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur tahun 2014. “Jalur baru ini untuk mengantisipasi meluapnya lumpur Lapindo ke jalur kereta di Porong, Sidoarjo,” kata Hermanto di Banyuwangi, Sabtu malam, 27 Desember 2014.

    Menurut Hermanto, jalur baru kereta api itu berada di Kecamatan Tulangan, Sidoarjo ke Stasiun Gunung Gangsir, Kabupaten Pasuruan, sepanjang 18 kilometer. “Ini jalur shortcut untuk menghindari meluapnya lumpur Lapindo,” ujar Hermanto.

    Saat ini, kata Hermanto, Kementerian Perhubungan sedang melakukan pembebasan lahan untuk jalur kereta baru itu. Namun dia enggan menyebutkan rincian anggaran yang dikucurkan Pemerintah.

    Selama jalur kereta baru belum rampung, Hermanto melanjutkan, Pemerintah telah meninggikan jalur kereta lama di Porong menjadi hampir dua meter. Peninggian ini untuk mengantisipasi apabila sewaktu-waktu tanggul Lapindo jebol. Jalur kereta lama ini berada persis di sisi barat tanggul lumpur Lapindo.

    Tanggul lumpur Lapindo masih sering jebol sehingga lumpur meluap. Seperti terjadi pada Kamis malam 25 Desember lalu. Hujan lebat menyebabkan tanggul lumpur Lapindo di Titik 73 A Desa Kedungbendo, Sidoarjo. Lumpur pun meluber ke permukiman warga di Desa Gempolsari dan Desa Kalitengah yang berada di sisi timur tanggul.

    IKA NINGTYAS

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/29/058631614/Hindari-Lumpur-Lapindo-KAI-Bangun-Rel-Baru

  • Kubangan Lumpur Lapindo

    Hampir 9 (sembilan) tahun lumpur Lapindo menyembur. Sampai saat ini, lebih dari 50.000 penduduk terusir-paksa dari hunian mereka.

    Simak liputan tim redaksi Berita Satu.

  • Walhi Kecewa Jokowi Talangi Ganti Rugi Lapindo

    KBR, Banyuwangi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, menyayangkan langkah pemerintah menalangi ganti rugi korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar.

    Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Ony Mahardika mengatakan, uang talangan yang berasal dari APBN itu sebenarnya juga uang rakyat. Berarti korban lumpur Lapindo membayar deritanya sendiri.

    Menurut Ony, seharusnya pemerintah tidak serta merta menalangi tanpa mekanisme menjadikan aset PT Minarak Lapindo sebagai jaminan. Talangan pemerintah untuk korban lumpur lapindo tersebut, mirip dengan bailout Bank Century.

    “Kasus Lapindo itu bukan hanya urusan ganti rugi, tapi kalau kami mengatakan itu sebenarnya hanya urusan jual beli tanah. Karena kalau ngomong ganti rugi artinya seluruh penduduk, seluruh masyarakat dari sekitar beberapa desa itu mendapatkan semua termasuk anak-anak,” kata Ony Mahardika, Rabu (24/12).

    Ony Mahardika menambahkan, urusan ganti-rugi yang dibahas pemerintah menjadi sekedar urusan jual-beli tanah. Padahal sejak bencana lumpur Lapindo meluap, banyak penyakit seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang menyerang warga.

    Banyak juga anak-anak yang menjadi korban juga kehilangan pendidikannya. Serta ada 130 ribu jiwa yang sebelumnya hidup dari usaha kecil menengah akhirnya kolaps. Kata Ony, Sejak pemerintahan SBY, bencana lumpur Lapindo memang digiring untuk menjadi bencana nasional agar ganti-rugi dibiayai oleh pemerintah.

    Sebelumnya, Presiden Jokowi telah memutuskan akan memberi dana talangan kepada PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 781 miliar. Talangan itu akan digunakan untuk melunasi ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo yang ada di dalam peta area terdampak. 

    Dana talangan dari pemerintah itu diberi tenggat selama empat tahun. Apabila sampai tenggat itu belum dilunasi, aset yang dijadikan sebagai jaminan akan menjadi milik pemerintah pusat.

    Hermawan

    Sumber: http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3374687_4262.html

  • Jangan Bayar Ganti Rugi via Lapindo

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Korban lumpur Lapindo menolak pencairan ganti rugi yang akan ditalangi pemerintah disalurkan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Warga sudah berpengalaman. Saat pembayaran ganti rugi oleh PT Minarak dulu, banyak calo berkeliaran.

    “Pokoknya jangan sampai lewat Minarak, banyak calonya,” kata Sulastri, korban lumpur Lapindo, di rumahnya, Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Selasa, 23 Desember 2014.

    Ia yakin calo pasti meminta beberapa persen dari hasil pencairan yang didapatkan korban. Jika terjadi, itu akan sangat menyakitkan, mengingat uang ganti rugi itu sudah ditunggu sejak delapan tahun lebih dan pas-pasan untuk membeli rumah di Sidoarjo dan sekitarnya. “Kalau bagi warga yang paham, mungkin bisa menolak. Tapi warga yang tidak paham dan sudah tua, pasti gampang tertipu.”

    Menurut Sulastri, ganti rugi paling tepat dibagikan melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan harus diurus langsung oleh warga yang bersangkutan atau keluarganya. “Yang penting jangan orang lain, karena khawatir ada hal-hal yang tidak diinginkan,” tuturnya. Sani, 70 tahun, korban lainnya yang rumahnya juga tergenang lumpur, berharap pemerintah mempercepat ganti rugi itu dan bisa segera dicairkan oleh warga.

    Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusala mengatakan masih akan menunggu keputusan Presiden Joko Widodo mengenai pencairan uang ganti rugi itu. Proses pencairan hingga aliran dananya akan diputuskan oleh pemerintah. Korban lumpur lapindo, ujar dia, tidak bisa menolak jika sudah ada keputusan Presiden Jokowi. Peraturan ini bukan hanya untuk satu kelompok, tapi untuk semua korban. “Kalau warga yang lain ada yang mau gimana? Jangan asal bicara, proses ini akan diatur oleh keppres.”

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/23/058630486/Jokowi-Jangan-Bayar-Ganti-Rugi-via-Lapindo-Kenapa

  • Korban Lapindo Harap Dana Talangan Pemerintah Segera Cair

    KBRN, Surabaya: Pemerintah akhirnya akan membayar kekurangan ganti rugi (dana talangan-red) bagi korban luapan lumpur Lapindo sebesar 781 milyard pada tahun depan. Meski dibutuhkan proses yang cukup panjang untuk merealisasikan pembayaran tunggakan, karena harus mendapatkan persetujuan dari DPR, namun bagi warga terdampak lumpur lapindo, hal tersebut merupakan angin segar, karena penantian 8 tahun segera terobati.

    “Semoga saja segera terealisasi, ya saya harap pemerintah tidak mencicilnya, kami minta hitam diatas putih, karena permasalahan Lapindo ini sudah terjadi sejak tahun 2006, saya juga ingin punya rumah sendiri,” ungkap Juwito warga terdampak lumpur Lapindo kepada Radio Republik Indonesia RRI, Senin (22/12/2014).

    Menurut Juwito, imbas kejadian luapan lumpur Lapindo, warga terdampak serba dalam ketidakpastian, kondisi tanggul lumpur yang rawan jebol, serta masih banyaknya masyarakat yang hidup dalam kesusahan membuat warga harus memutar otak agar bisa bertahan hidup.

    “Jadi selama ini hidup ya dari pengunjung yang melihat lumpur secara dekat, kita menyediakan sebuah wp-content, kalau ada yang ngasih Alhamdulillah, kalau tidak, ya tidak apa-apa, prinsipnya kita tidak meminta-minta,” urainya.

    Kepala Pusat  Studi Kebumian dan Bencana dari ITS Amin Widodo, menjelaskan, menyusul kompensasi ganti rugi yang akan diberikan bagi korban lumpur Lapindo, hal paling utama yang harus dilakukan Pemerintahan Jokowi-JK yakni bagaimana segera memetakan titik-titik rawan, karena menurut Amin permasalahan utama selain pemberian kompensasi bagi warga, pemerintah harus mempunyai cara menghentikan semburan lumpur.

    “Ini juga harus menjadi prioritas, bagaimana pemerintah mempunyai cara menghentikan semburan lumpur, kita tidak mempunyai teknologi untuk menutup itu, jadi menimbulkan patahan Watukosek, orang banyak yang tidak mikir, begitu tahun 2007 pengadilan memutuskan bencana alam, terus MA menguatkan, itu sangat bahaya imbasnya bisa terkena Bandara Juanda,” terang Amin.

    Meski saat ini belum ada solusi akan pencegahan, lumpur Lapindo kata Amin, dapat menjadi nilai manfaat yang berguna dan dapat menopang taraf hidup masyarakat, selama dikelola dengan optimal.

    “Berdasarkan penelitian yang kita lakukan, lumpur Lapindo itu, mempunyai potensi sebagai campuran beton ringan, dan untuk litium batre,” kata Amin.

    Dwinanto Kepala Humas BPLS mengakui, selama ini solusi akan penghentian semburan lumpur Lapindo masih menemui jalan buntu. Berbagai opsi yang dilakukan mulai mengebor miring, hingga solusi lainnya juga belum menunjukkan hasil, karena sempat mendapatkan penolakan warga.

    “Dengan adanya kejelasan dari pemerintah akan ganti rugi, kami berharap permasalahan Lapindo dapat terselesaikan, termasuk langka kedepan nantinya,” tambah Dwi.

    Selama ini, berbagai upaya dilakukan agar lumpur Lapindo tidak terus menyembur, mulai dari hal-hal yang berbau klenik, dengan melakukan ruwatan, cara modern melalui temuan dan kajian juga dilakukan.

    Salah satu yang siap menghentikan luberan lumpur Lapindo, yakni Djaya Laksana Alumni ITS, melalui metode konsep bendungan Bernoulli yang digagas, Dajaya Optimis, Lapindo dapat dihentikan.

    “Sebenarnya apa yang dilakukan warga dengan melakukan penolakan, tidak perlu terjadi jika pemerintah sejak beberapa tahun lalu mempunyai strategi penghentian lumpur, tidak ada kata terlambat untuk itu, semua ada kemauan,” lanjut Djaya.

    Konsep bendungan Bernoulli yang diteliti oleh tim ITS kata Djaya bisa menjadi salah satu solusi alternatif untuk menghentikan luapan lumpur Lapindo Sidoarjo.

    “Sebenarnya konsepnya mudah mengaplikasikan teori bendungan Bernouli, hanya membutuhkan waktu yang tidak lama yakni 6 bulan, dimana dapat dijamin semburan lumpur dapat berhenti selamanya,” terang Djaya.

    Djaya menerangkan teori Hukum Bernouli yang akan digunakan untuk menghentikan luapan lumpur, yakni diantaranya memasang bendungan yang terbuat dari pipa. Pipa yang dirakit tersebuk katanya, dipasang di semburan lumpur dengan ketinggian kurang lebih 50 meter. Ketika pipa-pipa yang dipasang tersebut sudah mengelilingi pusat semburan, maka lumpur yang akan meluber akan tertahan pipa. Dengan penuhnya lumpur yang terhalang bendungan buatan tersebut, maka beban lumpur akan dapat mematikan semburan.

    “Tapi sebelum memasang pipa, harus ada studi akan kontur tanah, hal itu dilakukan untuk mengetahui kelayakan tanah,” terangnya.

    Djaya menjelaskan, Konsep Bernouli yang ia kembangkan, diklaim tidak asal-asalan. Teori yang sudah di suarakanya sejak tahun 2006 ini, belum ada tanggapan positif dari pemerintah meski penerapan hukum Bernouli sudah dipresentasikannya ke pihak-pihak terkait. (BH/Yus).

    Sumber: http://www.rri.co.id/post/berita/127739/nasional/korban_lapindo_harap_dana_talangan_pemerintah_segera_cair.html

  • Pemerintah Harus Menindak PT Minarak Lapindo

    JAKARTA, (PRLM) – Pekan lalu Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi masyarakat yang rumahnya terendam lumpur. Dana talangan sebesar Rp 781 miliar akan diambil dari APBN 2015.

    Seharusnya pemerintah tidak menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi kepada warga yang rumahnya terkena dampak luapan lumpur. Demikian disampaikan pengamat ekonomi politik, Nico Harjanto.

    Sementara Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimulyono menegaskan, pemerintah tidak membantu PT Minarak Lapindo melainkan membantu masyarakat yang sudah menderita lebih dari delapan tahun.

    Pekan lalu Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo membayar ganti rugi masyarakat yang rumahnya terendam lumpur. Dana talangan sebesar Rp 781 miliar akan diambil dari APBN 2015.

    Pengamat ekonomi politik dari Populi Center, Nico Harjanto kepada VOA di Jakarta, Minggu (21/12) mengatakan seharusnya pemerintah menindak PT Minarak Lapindo terlebih dahulu sebelum menalangi kewajibannya.

    “Itu keputusan yang mengagetkan karena bagaimanapun juga itu kewajiban PT Lapindo, seharusnya pemerintah memberikan tindakan dulu baru kemudian menalangi. Tidak ada masalah dalam konteks memberikan pertolongan penalangan kepada korban, karena bagaimanapun juga korban itu harus segera dibantu, tetapi dalam perspektif keadilan mestinya Lapindo dan juga perusahaan-perusahaan yang memilikinya termasuk juga keluarga Bakrie itu harus bertanggungjawab dulu,” ujarnya.

    Nico Harjanto berpendapat, pemerintah harus transparan mengenai sumber dana talangan untuk PT Minarak Lapindo karena pemerintah justru sedang sulit menganggarkan berbagai rencana program yang akan mulai dikerjakan tahun depan.

    Terkait berbagai pendapat mengenai keputusan pemerintah menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo, Menteri Pekerjaan Umum, Basuki Hadimulyono menegaskan,“tujuan pemerintah adalah tidak akan membeli tanah tetapi untuk membantu menyelesaikan tanah itu untuk rakyat, sudah delapan tahun lebih menunggu.”

    Pemerintah memberi batas waktu empat tahun kepada PT. Minarak Lapindo mengembalikan dana talangan sebesar Rp 781 milyar. Jika batas waktu tersebut dilanggar pemerintah akan menyita beberapa aset milik PT. Minarak Lapindo atau aset lain yang masih dalam grup PT Minarak Lapindo.

    Dana talangan diberikan setelah PT Minarak Lapindo menyatakan tidak sanggup membayar kekurangan dari kewajiban sebesar Rp 3,8 triliun. PT Minarak Lapindo sanggup membayar sebesar Rp 3,02 triliun sehingga sisanya meminjam pemerintah.

    Sebelumnya sepanjang masa pemerintahan mantan Presiden Yudhoyono, tercatat sejak tahun 2006 hingga tahun 2012 dana talangan yang dikucurkan pemerintah untuk korban lumpur Lapindo sekitar Rp 6,7 triliun. Langkah pemerintah saat itu sempat diprotes mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indarawati yang menilai sebaiknya pemerintah tidak menalangi kewajiban PT. Minarak Lapindo. Sementara keluarga Aburizal Bakrie mengklaim telah mengeluarkan anggaran sekitar Rp 7,9 triliun untuk mengatasi luapan lumpur Lapindo dan memenuhi kewajiban membayar ganti rugi masyarakat terkena dampak luapan lumpur.

    Untuk itu banyak kalangan menilai diperlukan audit keseluruhan agar dapat ditelusuri sejauh mana kewajiban PT. Minarak Lapindo benar-benar dialokasikan. (voa/A-147)***

    Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/309392

  • Lapindo Diminta Serahkan Sertifikat Aset

    Keraguan korban lumpur Lapindo atas kelancaran proses ganti rugi dari pemerintah dimaklumi Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo.

    Proses pencairan dana Rp781 miliar dari pemerintah tersebut membutuhkan waktu panjang. “Proses pencairan dana hingga bisa diterima oleh korban lumpur memang membutuhkan waktu panjang. Kami meminta semua pihak terutama PT Minarak Lapindo Jaya kooperatif dengan menyerahkan semua persyaratan yang diminta oleh pemerintah,” ujar Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Mahmud, kemarin.

    Dia mengatakan salah syarat dana talangan adalah adanya jaminan aset dari PT Minarak Lapindo yang diserahkan kepada pemerintah. Aset-aset ini secara otomatis akan dikuasai oleh pemerintah jika dalam jangka waktu empat tahun kedepan perusahaan milik Keluarga Bakrie tersebut tidak mampu mengembalikan dana talangan Rp781 miliar. “Semoga Lapindo mau memberi sertifikat asetnya sebagai jaminan atas dana talangan Rp 781 miliar itu,” tegas Mahmud.

    Selain persoalan penyerahan aset dari Lapindo, proses pencairan ganti rugi ini juga membutuhkan perubahan peraturan presiden (Perpres) 14/- 2007 tentang penanganan lumpur. Perubahan ini penting karena bakal menjadi payung hukum atas pengunaan anggaran negara untuk menalangi ganti rugi yang harusnya menjadi tanggung jawab PT Minarak Lapindo.

    Termasuk mekanisme pelunasan ganti rugi korban lumpur, apakah akan dibayarkan oleh Lapindo atau langsung pemerintah. “Hal-hal itu sebelumnya diatur dalam Pepres 14/2007, maka jika ada perubahan maka harus terlebih dahulu ada revisi sehingga payung hukumnya jelas,” ujar Mahmud.

    Tak kalah pentingnya, lanjut Mahmud, dana talangan tersebut juga harus mendapat persetujuan dari Komisi V DPR RI. Sebab, jika DPR tidak sepakat terkait dana talangan bagi korban lumpur akan menjadi percuma. ”Pansus Lumpur juga akan menemui Komisi V terkait dana talangan itu,” tegasnya.

    Sudibyo, salah satu korban lumpur asal Renokenongo, Kecamatan Porong mengatakan pihaknya masih menunggu bukti tertulis dana talangan dari pemerintah. Selama ini korban lumpur sudah sering diberi janji-janji terkait pelunasan ganti rugi, namun sampai sekarang belum direalisasikan.

    Korban lumpur berharap agar dana talangan tersebut bisa segera direalisasikan dan dibayarkan dalam waktu dekat. ”Paling tidak bisa dianggarkan dalam APBN 2015 agar bisa segea dibayarkan kepada korban lumpur,” tandas Sudibyo.

    Secara umum, korban lumpur menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo yang memberikan dana talangan pembayaran ganti rugi lumpur. Namun, keputusan tersebut harus segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait terutama untuk mekanisme pembayaran.

    Berbeda dengan korban lumpur yang menyambut baik dana talangan. Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) kecewa karena belum dimasukkannya anggaran ganti rugi untuk pengusaha korban lumpur. Sebab, mereka juga sama-sama menjadi korban lumpur. ”Perusahaan kami sudah tebenam lumpur. Samasama menjadi korban lumpur tapi dianaktirikan,” keluhnya.

    GPKLL mengaku juga kecewa terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Gubernur Jatim Soekarwo. Sebab, keduanya terkesan mengesampingkan untuk memperjuangkan pembayaran ganti rugi pengusaha korban lumpur.

    Sementara itu pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto meminta pemerintah terlebih dahulu mempailitkan PT Minarak Lapindo Jaya sebelum memberikan dana talangan.

    ”Kalau disebut sebagai uang ganti rugi untuk korban lumpur seharusnya PT Minarak Lapindo Jaya dipailitkan terlebih dahulu dan baru asetnya disita untuk menyelesaikan ganti rugi. Kalau kurang barulah diselesaikan langsung oleh pemerintah sebagai bantuan sosial,” kata Suroto di Jakarta, Minggu.

    Dia menilai kebijakan pemerintah menalangi ganti rugi korban Lapindo bisa menjadi menjadi preseden buruk bagi sistem hukum dan juga bisnis di Indonesia. Menurut dia akibat kebijakan itu kini setiap orang yang melakukan spekulasi bisnis dan bangkrut pada akhirnya dapat menuntut dana talangan pada pemerintah.

    ”Seharusnya perusahaan justru dihukum akibat kelalaian dan merugikan banyak orang secara kemanusiaan. Ini janggal dan terkesan sangat kolutif,” katanya. Suroto meminta pemerintah untuk berperilaku adil pada semua pelaku bisnis dan tidak membawa ”deal” politik ke dalam ranah hukum dan bisnis.

    Ia berpendapat kebijakan pemberian dana talangan itu bisa memacu dilakukannya kegiatan ekploitatif dari korporasi lainya. ”Mereka akan lebih mudah membuat kesalahan dan menanggungkan bebannya pada pemerintah yang sumbernya adalah pajak yang dibayar rakyat,” katanya.

    Suroto justru mempertanyakan kenapa pemerintah tidak mempedulikan UKM yang bangkrut padahal secara riil UKM menjadi penopang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. ”Demi rasa keadilan dan juga kepentingan hukum dan bisnis maka pemerintah harus batalkan kebijakan tersebut,” katanya.

    Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menalangi ganti rugi pembelian lahan atas kasus lumpur Lapindo dimana total ganti rugi tanah yang harus dibayarkan di area terdampak sekitar Rp3,8 triliun dengan Rp3,03 triliun di antaranya sudah dibayar Lapindo, sehingga masih kurang Rp781 miliar. Dana Rp781 miliar tersebut akan diambil dari APBNP 2015.

    Konsekuensinya, Lapindo harus menyerahkan keseluruhan tanah yang ada di peta terdampak dan perusahaan itu diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan dan memperoleh kembali tanah tersebut.

    Abdul Rouf

    Sumber: http://www.koran-sindo.com/read/940462/151/lapindo-diminta-serahkan-sertifikat-aset-1419219863

  • Bakrie Telecom agrees restructuring

    Bakrie Telecom agrees restructuring

    Creditors of Bakrie Telecom have approved its restructuring plan, after it missed a November 2013 coupon payment on its US$380m 11.5% bonds due 2015, but some bondholders were unhappy that they were barred from voting.

    Creditors owed Rp3bn (US$240,000) or more will receive 70% of the principal in mandatory convertible bonds which convert at Rp200 per share. The remaining 30%, as well as smaller obligations, will be paid in instalments over 5.5 years at terms to be agreed later.

    The vote required a majority approval from creditors holding two-thirds of the debt, and in the end obtained approval from holders of 94.6%.

    However, there was controversy, as an investor said the company had reclassified funds received from one of its issuing vehicles as an intra-company loan, effectively giving the voting rights to the issuer rather than the bondholders. Bakrie Telecom Pte Ltd, a subsidiary registered in Singapore, issued the 2015s and a Jakarta judge agreed with the administrator that it was the only party eligible to vote on behalf of the bonds.

    The Indonesian legal process does not work on precedent, but the investor said the tactic was one that bondholders would need to be wary of in future restructurings by Indonesian companies.

    Some bondholders claimed they had not been able to vote, but another investor said everyone had been contacted and asked to fill in a disclosure.

    “[They] have been quite transparent about the process, in my view,” he said.

    Negotiations with bondholders have been ongoing for several months, and a proposal was put forward in September. The two investors said there had been broad agreement for the proposals anyway.

    A group of bondholders – Universal Investment Advisory, Vaquero Master EM Credit Fund and Trucharm – which claimed to hold more than 25% of the 2015s, had sued Bakrie Telecom and three subsidiaries in New York for alleged breach of terms after it missed two coupon payments.  

    Bakrie Telecom did not respond to a request for comment.

    Under an earlier proposal, 30% of the current paper would have become a five-year bond with a 1% cash coupon and an additional 3% payment in kind (PIK), while the other 70% was to be converted into an equity-like instrument maturing in 6.5 years, paying no coupon for the majority of its life, and making a 5% per annum payment on its sixth anniversary.

    Daniel Stanton, Lianting Tu, Eveline Danubrata

    Sumber: http://www.ifrasia.com/bakrie-telecom-agrees-restructuring/21179091.article

  • Aset Minarak Lapindo bakal Dilelang

    Aset Minarak Lapindo bakal Dilelang

    PEMERINTAH akan melelang aset tanah bekas luapan lumpur PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) senilai Rp3 triliun jika dalam waktu empat tahun Lapindo  tidak mampu mengembalikan dana talangan pemerintah Rp781 miliar.

    “Tanahnya itu kita lelang nanti. Kan suatu saat akan berhenti lumpur itu. Kalau sudah berhenti lumpur itu, tanah itu akan berharga kembali,” ujar Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil di kantornya, Jakarta, kemarin.

    Sebelumnya, pemerintah memutuskan menalangi ganti rugi sebesar Rp781 miliar kepada korban lumpur Lapindo di wilayah terdampak. Pasalnya, perusahaan milik keluarga Bakrie itu menyatakan tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar tanah yang tersisa 20% dari area terdampak tersebut.

    Pemerintah menyiapkan dananya dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) APBN Perubahan 2015 untuk segera dibayarkan ke masyarakat (Media Indonesia, 19/12).

    Sofyan menambahkan, jika memang dana talangan sudah kembali diterima pemerintah dana tersebut dapat digunakan pada postur anggaran selanjutnya. Pemerintah pun menjamin untuk memperkuat tanggul di daerah lumpur Lapindo.  “Tanggul sudah ada di anggaran PT sekarang (PT Minarak Lapindo Jaya),” pungkas Sofyan.

    Total ganti rugi kewajiban Lapindo akibat lahan yang terdampak lumpur, menurut Sofyan, sebesar Rp3,8 triliun. Sementara itu, pihak MLJ telah menuntaskan pembayaran ganti rugi sekitar Rp3,03 triliun.

    Wakil Presiden Jusuf Kalla meyakini dana talangan Lapindo  akan disetujui DPR.  “Disetujui. MK (Mahkamah Konstitusi) katakan (pembayaran ganti rugi) rakyat harus diselesaikan,” ujar JK di kantornya.

    Menurut dia, tidak ada yang dirugikan dengan langkah itu, baik pemerintah maupun Lapindo.

    Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menilai hal itu baru sebagai rencana. “Biarlah dibicarakan dengan DPR. Menurut saya, pasti tidak begitu adanya karena semua sudah berproses,” kata Agus.

    Ia menyarankan pemerintah sebaiknya melanjutkan apa yang sudah dilakukan SBY dan memperkuat yang sudah ada. “Apa yang sudah dilaksanakan SBY cukup bagus. Jangan cari masalah lagi,” ucapnya.

    Minta bukti tertulis

    Saat menanggapi hal itu, warga korban lumpur Lapindo mengaku belum sepenuhnya memercayai pemerintahan Jokowi-JK akan benar-benar membayar ganti rugi mereka.

    Warga meminta Jokowi membuat bukti tertulis terkait dengan keputusan pemerintah akan melunasi ganti rugi yang sebenarnya menjadi kewajiban PT MLJ.

    “Kami menginginkan bukti yang bisa dijadikan dasar hukum. Kalau bukti tertulis itu sudah ada, kami para korban lumpur baru percaya,” kata Juwito, 70, koordinator korban lumpur.

    Warga tetap akan berkeras melarang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo beraktivitas di tanggul titik 42 Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Warga mengklaim tanah tempat tanggul itu dibangun masih milik mereka sepanjang ganti rugi itu belum diberikan. (HS/SU/Kim/X-6)

    Irene Harty

    Sumber: http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/7019/Aset-Minarak-Lapindo-bakal-Dilelang/2014/12/20%2008:52:00

  • Lapindo Serahkan 9.900 Sertifikat Tanah

    JAKARTA – Keputusan pemerintah untuk menalangi pembayaran sisa ganti rugi korban semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, disambut positif manajemen PT Minarak Lapindo Jaya, anak usaha Lapindo Brantas Inc. Mereka siap menyerahkan sertifikat tanah sebagai jaminan kepada pemerintah atas sisa kewajiban ganti rugi yang tak kunjung dibayar.

    Direktur PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusala mengatakan, pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah untuk segera menuntaskan proses ganti rugi bagi masyarakat di peta terdampak. ”Kami akan patuh dengan pemerintah,” ujarnya kepada Jawa Pos, Jumat (19/12).

    Menurut Andi, saat ini Lapindo sudah memenuhi kewajiban ganti rugi tanah warga di peta terdampak sebesar Rp 3,03 triliun untuk 9.900 berkas. Sebagian besar berupa sertifikat tanah. Ada juga yang berupa girik. Namun, masih ada kekurangan Rp 781 miliar untuk 3.337 berkas yang belum bisa diselesaikan Lapindo. Kekurangan itulah yang akan ditalangi oleh pemerintah. ”Kami siap menyerahkan sertifikat sebagai jaminan,” katanya.

    Dalam skema yang diajukan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, pemerintah akan menalangi ganti rugi Rp 781 miliar. Lapindo diberi kesempatan untuk melunasi dana talangan tersebut selama empat tahun. Jika tidak bisa membayar, pemerintah akan mengambil seluruh tanah di peta terdampak yang saat ini sudah di tangan Lapindo.

    Andi mengakui, saat ini Lapindo memang mengalami kesulitan finansial. Namun, dia menyatakan bahwa Lapindo siap membayar Rp 781 miliar kepada pemerintah dalam jangka waktu empat tahun ke depan. ”Tentu kami akan berusaha bayar daripada aset kami hilang (diambil alih pemerintah, Red),” ucapnya. Untuk diketahui, Rp 781 miliar itu belum termasuk klaim kerugian dari pengusaha akibat semburan lumpur.

    Menurut Andi, Lapindo sebenarnya memang sudah lama mengajukan proposal kepada pemerintah untuk menalangi dulu kekurangan pembayaran ganti rugi. Pihaknya juga terus berkomunikasi dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar hak-hak warga korban lumpur bisa segera terpenuhi. ”Sekarang kami menunggu perpres (peraturan presiden yang terkait dengan keputusan menalangi Rp 781 miliar). Semoga bisa cepat,” ujarnya.

    Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menambahkan, keputusan pemerintah itu sudah tepat. ”Negara tidak sekadar keluar uang, tapi juga membantu rakyat dengan jaminan (aset) Lapindo,” katanya.

    JK memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak akan merugikan negara. Bahkan, negara bisa saja diuntungkan jika semburan lumpur berhenti dalam beberapa tahun mendatang. Meskipun, ada kemungkinan semburan lumpur baru berhenti 10 atau 20 tahun lagi. ”Kalau berhenti, negara untung. Kalau tidak, ya tunggu sampai berhenti,” ucapnya.

    Lapindo Brantas Inc merupakan operator blok Brantas. Sekadar mengingatkan, semburan lumpur panas yang meluap pada 29 Mei 2006 terjadi setelah pada 8 Maret Lapindo Brantas Inc mulai mengebor sumur Banjar Panji I.

    Sementara itu, keputusan pemerintah menalangi pembayaran ganti rugi untuk korban yang menjadi tanggung jawab Lapindo dipastikan tidak mengganggu penyelesaian ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto memastikan bahwa pemerintah tidak akan melupakan kewajiban membayar ganti rugi senilai Rp 380 miliar.

    ”Pemerintah tetap siap Rp 380 miliar yang menjadi kewajiban,” tegas Andi di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Penyelesaian nilai yang menjadi tanggung jawab pemerintah itu masuk di APBN 2015.

    Pada kesempatan tersebut, Andi menegaskan, pemerintah memberikan dana talangan bukan untuk membantu Lapindo. Namun, lebih pada pertimbangan karena masyarakat sudah menunggu penyelesaian. ”Fokus kami, bagaimana caranya supaya harapan yang tertunda ini bisa segera dipenuhi. Itu saja fokusnya. Hal-hal lain kami pikirkan kemudian,” imbuh Andi.

    Putusan MK yang mengabulkan judicial review terhadap pasal 9 ayat 1 huruf (a) UU No 19 Tahun 2012 tentang APBNP 2012 pada awal 2014 telah menjadi payung hukum langkah pengambilalihan pembayaran ganti rugi oleh pemerintah. Khususnya untuk para korban di peta area terdampak (PAT). Secara garis besar, putusan tersebut mengamanatkan kepada pemerintah untuk tidak lepas tanggung jawab terhadap penanganan korban di PAT.

    Sebelum putusan MK, pasal 9 ayat 1 tersebut menetapkan bahwa kerugian warga di PAT menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. Sedangkan kerugian di luar PAT menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembagian tanggung jawab tersebut dianggap menyebabkan dikotomi ketentuan hukum dan ketidakadilan bagi warga di PAT dan luar PAT.

    Di bagian lain, Golkar yang merupakan partai pimpinan Aburizal Bakrie, pemilik Lapindo, memberikan klarifikasi soal dana talangan dari pemerintah kepada PT Minarak Lapindo Jaya. Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, pemerintah dalam hal ini tidak mengambil alih tanggung jawab yang harus dipikul Lapindo.

    ”Bukan mengambil alih tanggung jawab. Keliru itu. Tapi, memberikan pinjaman dengan tenor empat tahun dengan jaminan senilai Rp 3,7 triliun lebih,” ujar Bambang kemarin (19/12).

    Menurut Bambang, Partai Golkar memberikan apresiasi atas keputusan pemerintah tersebut. Dia menilai, pemerintah telah mengambil langkah cepat agar kasus Lapindo bisa segera diselesaikan. Bambang secara tidak langsung mengakui bahwa saat ini PT Minarak Lapindo Jaya memang mengalami kesulitan keuangan untuk melunasi sisa pembayaran ganti rugi.

    ”Kami memberikan apresiasi kepada pemerintah yang telah mengambil keputusan itu sehingga para korban terdampak tidak terkatung-katung terlalu lama,” ujar sekretaris Fraksi Partai Golkar kubu musyawarah nasional Bali tersebut.

    Sementara itu, Agus Gumiwang Kartasasmita, ketua Fraksi Partai Golkar hasil munas Jakarta, menilai, tenggang pelunasan yang diberikan pemerintah itu berpotensi merugikan negara. Menurut dia, pemerintah terlalu berbaik hati dengan memberikan skema pelunasan tersebut. Alasannya, kewajiban bayar Lapindo tertunggak sejak lama. ”Jika kebijakan itu bertujuan agar korban tidak berlama-lama menderita, saya kira itu keputusan positif,” katanya.

    Agus berharap pemerintahan Joko Widodo bisa bersikap tegas menuntut pengembalian dana negara kepada Lapindo. ”Untuk menghindari kerugian negara, pemerintah sebaiknya mengaudit kembali nilai aset para korban,” tandasnya. (owi/dyn/bay/c11/sof/jpc)

    Sumber: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/119354-lapindo-serahkan-9.900-sertifikat-tanah.html