Tag: dampak fisik

  • 9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    Bencana lumpur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang dipicu oleh pengeboran PT Lapindo Brantas Inc pada 29 Mei lalu genap sembilan tahun terjadi. Persoalan masih menggantung, terutama terkait pembayaran ganti rugi kepada warga yang menjadi korban terdampak yang belum selesai.

    Pola penanganan dampak bencana industri lumpur Lapindo menciptakan masalah tersendiri. Pembagian pemberian ganti rugi antara wilayah yang masuk peta area terdampak (PAT) dan di luar PAT mengakibatkan penelantaran dan perpecahan di tingkat warga.

    Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 dan Perpres No 40/2009, pemberian ganti rugi kepada korban dikategorikan dalam dua kelompok. Wilayah yang masuk PAT akan dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan juru bayar PT Lapindo Brantas Inc. Sementara desa-desa yang berada di luar PAT diberi ganti rugi oleh negara. Dalam perkembangannya, PT Minarak Lapindo tak mampu memenuhi kesepakatan itu. Akibatnya, masih banyak korban yang tidak jelas nasibnya saat ini.

    Tetap bertahan

    “Kalau hujan deras, ndak ada yang berani di dalam rumah. Kami semua kumpul di emperan depan, takut rumahnya ambruk,” ujar Bu Sanik (65), warga RT 010 RW 002 Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.

    Bu Sanik adalah salah satu warga yang saat ini bersama 18 kepala keluarga (KK) lainnya masih bertahan di lokasi PAT lumpur Lapindo. Bukan hanya keluarga Bu Sanik, hampir sebagian besar warga RT 010 RW 002 yang masih tinggal di wilayah PAT gelisah jika hujan turun. Ancaman rumah ambruk dan banjir air bercampur lumpur menghantui mereka.

    Pertengahan Maret lalu, tanggul penahan lumpur yang berada di belakang rumah warga Desa Gempolsari itu jebol. Air bercampur lumpur setinggi hampir setengah meter masuk ke rumah warga. Sekitar 100 warga dari RT 010 RW 002 mengungsi ke Balai Desa Gempolsari. Ini merupakan kejadian yang ketiga kalinya di tahun 2015.

    Desa Gempolsari berdasarkan Perpres No 14/2007 termasuk salah satu desa yang masuk dalam PAT lumpur Lapindo. Ada 99 KK dengan 314 jiwa warga Desa Gempolsari yang terdampak lumpur. Sebagian besar sudah pindah dari Gempolsari. Yang masih tersisa adalah warga RT 010 dan sebagian kecil RT 009 dari RW 002 yang berjumlah 19 KK dengan 114 jiwa. Area itu termasuk dalam 641 hektar yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI), seperti tertuang dalam Perpres No 14/2007.

    Kini, kondisi lingkungan dan tempat tinggal seluruh warga yang masih bertahan di wilayah ini sudah tidak layak huni. Lingkungan yang lembab akibat seringnya terendam lumpur menyebabkan fisik bangunan terkikis dan rapuh. Sebagian besar rumah lantainya sudah ambles dan lebih rendah dari endapan lumpur yang ada di halaman.

    Mereka yang masih tinggal di area itu bukannya tidak ingin pindah, belum lunasnya sisa pembayaran oleh PT Minarak Lapindo Jaya menyebabkan mereka terus bertahan di situ. Selain karena belum memiliki tempat hunian lain, mereka juga khawatir jika meninggalkan lokasi, sementara tanah dan bangunan belum lunas, mereka akan kehilangan hak atas tanah dan bangunan milik mereka.

    Memberdayakan kelompok

    Di antara penelantaran oleh negara dan PT Lapindo, tetap muncul inisiatif-inisiatif dari para korban untuk menyelesaikan masalah mereka. Seperti yang dilakukan Harwati (39). Meskipun telah sembilan tahun terpaksa meninggalkan rumahnya di Desa Siring, Kecamatan Porong, Harwati belum memperoleh pelunasan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Kini, ia tinggal di rumah orangtuanya di Desa Candipari sambil menjadi tukang ojek di salah satu area tanggul lumpur Lapindo.

    Kematian suami dan ibunya karena kanker beberapa tahun setelah bencana lumpur membuat Harwati bertekad mengumpulkan kembali para tetangga dan keluarganya yang telah tercerai berai. “Kira-kira setahun saya berkeliling ke desa-desa sekitar mencari tahu keberadaan keluarga besar dan tetangga di Desa Siring dulu. Daripada stres kalau belum ada penumpang, lebih baik keliling,” cerita Harwati.

    Setelah mengetahui tempat tinggal mereka, Harwati mengajak tetangga dan keluarga yang sudah ditemukannya untuk berkumpul, membuat arisan kecil-kecilan, hanya agar bisa menyambung kembali ikatan sosial yang telah dihancurkan lumpur Lapindo. Saat ini, tak kurang dari 20 perempuan aktif berkumpul dalam Komunitas Ar-Rohmah yang didirikannya. Mereka memiliki usaha kecil-kecilan membuat produk kreatif, seperti tas kain, selimut, bed cover dari perca. Uang kas yang dikumpulkan sedikit demi sedikit digunakan untuk membantu biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit.

    “Saya tak mau kejadian seperti suami saya yang ditolak rumah sakit ketika berusaha mengobati kankernya terulang kembali. Bikin trauma sekali,” ungkapnya. Pemerintah dan (apalagi) PT Lapindo tidak memedulikan persoalan ini. Warga sendiri yang harus mengupayakan penyelesaian.

    Malu diganti negara

    Pengategorian korban bencana lumpur juga mengakibatkan perpecahan di kalangan warga, baik yang berada di PAT maupun di luar PAT. Seperti yang terjadi pada warga Desa Besuki. Abdul Rokhim (48) menuturkan bahwa tahun 2007 ia dan ratusan warga lainnya menuntut ganti rugi. Tempat tinggalnya memang tidak masuk dalam PAT berdasarkan Perpres No 14/2007.

    Namun, Rokhim menyatakan, dampak luapan lumpur itu juga dirasakan warga yang rumahnya di luar peta tersebut. “Saya tidak bisa kerja lagi karena pabrik sudah tutup, apalagi harus beli air untuk kebutuhan sehari-hari karena air di rumah tidak layak,” tutur Rokhim.

    Pemerintah akhirnya menerbitkan Prepres No 48/2008 yang memasukkan sebagian Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, untuk diberi ganti rugi dari APBN. Namun, peraturan itu menjadikan jalan tol sebagai dasar menentukan wilayah yang masuk penggantian. Akibatnya, hanya Besuki bagian Barat yang masuk. Keputusan ini mengakibatkan kelompok warga yang semula bersatu di atas kepentingan bersama Desa Besuki menjadi terpecah belah. Suasana kekeluargaan pun hancur.

    Akhirnya, Rokhim dan warga Besuki bagian Timur harus berjuang kembali menuntut ganti rugi. Keberuntungan masih dimiliki Rokhim, bagian timur Desa Besuki pun masuk dalam penggantian melalui Perpres No 37/2012. Kini, meski telah tinggal di rumah baru, kegundahan Rokhim tak hilang karena, “Saya pribadi malu karena saya merasakan diganteni (diganti) oleh negara, seluruh rakyat Indonesia. Mestinya yang bertanggung jawab Lapindo,” ungkapnya. Keadilan hukum seharusnya diberikan kepada pelaku bencana industri seperti Lapindo.

    MG Retno Setyowati/Yohan Wahyu/BI Purwantari/Litbang Kompas

    Kompas Siang, 4 Juni 2015

  • Luberan Lumpur Lapindo Mencapai Luas 650 Hektare

    Metrotvnews.com, Sidoarjo: Lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, masih keluar dari pusat semburan dengan kekuatan yang fluktuatif. Lumpur pertama kali menyembur dari area eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc itu pada Mei 2006.

    Semula lumpur muncul di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. Kemudian luberan lumpur menyebar hingga luasnya mencapai 650 Hektare.

    Dari pantauan udara, Kamis (18/12/2014), lumpur panas terus keluar dari pusat semburan. Setiap hari, lumpur keluar dengan volume mencapai 50 ribu meter kubik.

    Endapan lumpur memenuhi kolam penampungan. Celakanya, semua kolam sudah penuh. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pun berupaya keras membuang lumpur ke Kali Porong.

    Luberan lumpur cenderung mengalir ke kolam penampungan di sisi selatan. Kemudian lumpur disedot dan dialirkan ke Kali Porong.

    Sebenarnya, masih ada kolam penampungan cukup luas di Kecamatan Jabon. Namun lumpur sulit diarahkan ke sana. Sebab, lokasinya lebih tinggi dari kolam penampungan lainnya.

    Untuk menanganinya, BPLS pun membuat tanggul baru di Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin. Lokasinya berada di sisi utara dari pusat semburan.

    Heri Susetyo

    Sumber: http://news.metrotvnews.com/read/2014/12/18/333650/luberan-lumpur-lapindo-mencapai-luas-650-hektare

  • Rel Dekat Lumpur Lapindo Putus

    Rel Dekat Lumpur Lapindo Putus

    SIDOARJO – Rel kereta api (KA) di dekat semburan lumpur Lapindo kembali bermasalah. Setelah bulan lalu dua kali terendam banjir, kemarin (4/7) rel di Ketapang, Tanggulangin, putus. Kondisi tersebut memengaruhi perjalanan kereta api.

    (more…)

  • Mereka yang Dihapus dari Peta

    Siring adalah desa kecil di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang dibelah oleh Jalan Raya Pos. Siring Timur sudah terhapus dari peta sejak lumpur Lapindo Brantas menyembur 29 Mei 2006. Siring Barat tinggal menunggu waktu terhapus dari peta. Perlahan namun pasti, tanah di Siring Barat ambles ke dalam bumi.

    Sebelum Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dibangun, Sidoarjo hanyalah pasar kecil pada sebuah persimpangan menuju Mojokerto, Malang, atau Surabaya. Ahli tata kota dari Universitas Gadjah Mada, Sudaryono, menyebutkan, Sidoarjo adalah satu dari kota-kota modern di Jawa yang tumbuh karena Jalan Raya Pos. Titik kebangkitan kota ini terutama terjadi tahun 1867 ketika jalur rel kereta api lintas Jawa dibangun.

    Namun, Sidoarjo (khususnya Porong) kini memudar. Bermula dari lumpur yang keluar di Desa Reno Kenongo, Kecamatan Porong, desa-desa lainnya mulai terhapus dari peta bumi. Sedikitnya 12.000 warga kehilangan rumah, jumlah yang mungkin terus bertambah karena belum ada tanda semburan berhenti.

    Penyebab semburan lumpur masih memicu kontroversi. Banyak yang menyalahkan Lapindo Brantas Inc yang melakukan pengeboran minyak bumi sekitar 150 meter dari pusat semburan. Lapindo Brantas Inc menyalahkan gempa bumi Yogyakarta, yang berjarak 300 kilometer dari pusat semburan, sebagai pemicunya.

    Sirna

    Apa pun penyebabnya, bencana itu membawa penderitaan luar biasa bagi rakyat.

    Siring Barat, Agustus 2008. Seorang gadis kecil tidur di kursi tamu, di dalam rumah yang nyaris ambruk. Tiga batang kelapa menyangga kuda-kuda rumah yang melengkung ke bawah. Lantai ambles. Dinding rengkah memanjang. Bau gas yang menyengat menguar dari rengkahan itu. ”Kami tak punya tempat tinggal lain,” kata Ikhwan (44), ayah gadis kecil, Nurul Aini (11), yang tengah tidur siang itu.

    Setengah jam di rumah itu, perut terasa mual dan kepala berdenyut akibat menghirup gas yang menyengat. Penelitian Tim Kajian Kelayakan Permukiman (TKKP) menunjukkan, gas di Siring Barat mengandung nitrogen dioksida (NO>sub<2>res<>res<) berkadar 0,116 ppm dan hidrokarbon (HC) hingga 55.000 ppm. Gas-gas ini karsinogenik, dan memicu kanker. Padahal, ambang baku mutu yang diizinkan—sesuai dengan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Jatim Nomor 129 Tahun 1996—untuk HC hanya 0,24 ppm dan NO>sub<2>res<>res< 0,05 ppm. Padahal, keluarga Ikhwan tinggal di sana dua tahun terakhir ini.

    Keluarga Sutiman (72) juga senasib. Mereka terpaksa tinggal di rumah yang nyaris roboh. ”Kasihan cucu-cucu, terpaksa tinggal di rumah seperti ini. Tapi, mau apa lagi? Kami tak punya uang untuk pindah,” ujar Sutiman.

    Perlahan tapi pasti, desa demi desa di Porong terhapus dari peta. Rumah-rumah hilang. Sekolah hilang. Tempat kerja hilang. Masjid juga hilang.

    Hilangnya Porong seakan mengingatkan pada sirnanya Majapahit seperti tercatat dalam Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi, yaitu ketika sirna ilang kertaning bhumi, yang menunjuk tahun 1400 Saka/1478 M. Secara leksikal, penyebutan angka juga dapat didefinisikan bahwa sirnanya

    Majapahit adalah ketika ”musnah hilang sudah selesai pekerjaan bumi”. Porong— sebagai bagian dari Delta Sungai Brantas —pernah menjadi pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Jenggala, sekitar tahun 950 M-1500 M.

    Zona tak bertuan

    Sutiman dan ratusan warga Siring Barat lainnya seperti hidup di zona tak bertuan. Penderitaan mereka tak dianggap. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 tak memasukkan desa mereka dalam zona terdampak yang berhak mendapatkan ganti rugi dari Lapindo Brantas Inc.

    Perpres Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Perpres Nomor 14 Tahun 2007 juga tak memasukkan Siring Barat yang nyata terkena dampak itu ke wilayah yang mendapat prioritas penanganan.

    Padahal, menurut Ketua Forum Komunikasi 9 Desa di Porong dan Tanggulangin Bambang Kuswanto, ada sembilan desa lain di luar desa terdampak yang jelas kena dampak. Yang terparah adalah Siring Barat, Jati Rejo Barat, dan Mindi.

    Pakar manajemen bencana dari Institut Teknologi Sepuluh November Amien Widodo mengaku tak habis pikir dengan kondisi ini. ”Nyawa orang tidak ada harganya di Siring Barat. Tiap detik adalah maut, tapi tak ada tindakan,” kata Amien, yang juga anggota tim peneliti TKKP.

    Tim TKKP yang dibentuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur ini sejak Mei 2008 telah merekomendasikan agar warga Siring Barat, Jati Rejo Barat, dan Mindi segera dievakuasi. Menindaklanjuti rekomendasi itu, Gubernur Jatim Imam Oetomo mengirimkan surat kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pada 5 Mei 2008. Imam meminta agar 628 keluarga di tiga desa itu direlokasi. Namun, hingga sekarang belum ada respons dari Jakarta.

    ”Masalah ini sudah dibahas bersama DPR. Masalahnya, anggaran kita terbatas,” kata Sekretaris BPLS Adi Sarwoko.

    Data terakhir dari BPLS menyebutkan, titik semburan mencapai 98 buah. ”Apa lagi yang ditunggu? Jangan sampai ada korban lebih banyak,” sebut Amien.

    Sutiman dan ribuan warga di Sidoarjo tak hanya kehilangan ruang aman untuk tinggal, tetapi juga sejarah hidup. Akankah mereka juga dibiarkan kehilangan masa depan? (RYO)

    © Kompas

  • Two Years On, a Mud Volcano Still Rages and Bewilders

    As a disastrous mud eruption on Indonesia’s Java Island marks its second anniversary, the unprecedented event continues to stir debate about whether it resulted from an exploratory gas well drilling accident or a distant earthquake and how long it will last. The mud volcano, nicknamed Lusi, has been disgorging mud at a rate of up to 150,000 cubic meters per day. Officials are struggling to contain the effluent within dikes that are regularly breached and built anew farther out.

    In November 2006, ground deformation near the volcano ruptured a natural gas pipeline, killing 13 people. Lusi’s mud has engulfed 750 hectares, destroying the homes of more than 30,000 people as well as factories and farms. “Sadly, it’s not about simple technical problems anymore. It’s more [about] economic and social and political problems,” says Satria Bijaksana, a geophysicist at Institut Teknologi Bandung.

    Lapindo Brantas, the oil and gas exploration company that operated the ill-starred gas well, and the government have promised compensation to landowners, but it has been slow in coming. Hundreds of families are still living in temporary shelters. In two separate cases, Indonesian courts have ruled the eruption a natural disaster, absolving Lapindo Brantas of liability.

    Ivan Valentina Agung, a lawyer for Walhi, an Indonesian environmental group that filed one of the suits, says the group is appealing to a higher court in hopes of getting Lapindo Brantas to take responsibility for environmental rehabilitation.

    For scientists, Lusi is an intriguing specimen. A flurry of papers refines previous work on the eruption’s dynamics and offers insights into the evolution of mud volcanoes. “This is a great opportunity. Nobody knows how other mud volcanoes looked when they were first appearing,” says Adriano Mazzini, a geologist at the University of Oslo.

    There is general agreement on the sequence of events. On 27 May 2006 at 5:54 a.m. local time, a magnitude-6.3 earthquake struck near Yogyakarta, in central Java. Between 5 and 8 a.m. the following day, Lapindo Brantas’s gas well, which was being drilled 250 kilometers to the east near the town of Sidoarjo, began to flood. Workers shut the well’s blowout preventer to keep the fluid from gushing out the top. They noted that pressure inside the well rose rapidly before gradually subsiding. Early in the morning of 29 May, mud began burbling out of the ground about 150 meters away.

    In a February 2007 article in GSA Today, Richard Davies, a geologist at the University of Durham, U.K., and colleagues claimed that the drillers penetrated a porous limestone formation about 2800 meters below the surface, inadvertently tapping into a highly pressurized aquifer. The borehole’s casing didn’t extend deep enough to protect rock from cracking under the pressure when the blowout preventer was shut, he concluded. Water then channeled its way to the surface, bringing mud with it (Science, 2 February 2007, p. 586).

    That’s not how Mazzini and his colleagues see it. In the 30 September 2007 issue of Earth and Planetary Science Letters, they argued that the region’s geological structures, pressurized hydrocarbon deposits, common in the region, and a seismic fault created conditions “perfect for a mud volcano.” The only thing missing was a trigger, Mazzini says. The drilling might have contributed, he says, but he believes a more important factor was that the Yogyakarta earthquake reactivated the fault. At roughly the same time Lusi broke, mud also erupted from eight fissures along a 100-kilometer stretch of the fault line. “I don’t think this is a coincidence,” he says.

    Global Positioning System (GPS) data and an obvious kink in a rail line show that ground along the fault has shifted up to half a meter since the Yogyakarta earthquake. But Michael Manga, a geologist at the University of California, Berkeley, who has studied how earthquakes trigger distant volcanic eruptions, contends that the quake was too small and too far away from the fault to influence it. In recent decades, he says, “there were many earthquakes that were both closer and bigger and by any measure more likely to have triggered an eruption.”

    In a paper published online on 5 June in Earth and Planetary Science Letters, Manga, Davies, and colleagues suggest that the fault is likely to be shifting in response to the movement of vast amounts of material to the surface. The mechanism is not clear. Co-author Rudi Rubiandini, a petroleum engineer at the Institut Teknologi Bandung, says the analysis “makes every other reason [for the eruption] impossible.” Most earth scientists agree that the well must have had some effect, says James Mori, a seismologist at Kyoto University in Japan. But he says researchers can’t determine whether the volcano would have formed without the drilling.

    While sympathizing with Lusi’s victims, geologists say they relish the rare opportunity to study a mud volcano’s birth and evolution. GPS and satellite-based interferometric synthetic aperture radar data indicate that the surface near the volcano’s vent is collapsing into a funnel shape, characteristic of sand draining from the top bulb of an hourglass. Davies and colleagues concluded in a paper published online on 21 May in Environmental Geology that between June 2006 and September 2007, the funnel’s center sank at about 4 centimeters per day, which in 3 years would produce a sag of 44 meters. They also report that areas outside the funnel are rising, probably due to movement of the fault.

    Scientists are puzzling over other phenomena as well. Since March 2007, the flow has periodically stopped for hours or days only to resume with its previous vigor. The likely explanation, Davies says, is that the weight of mud at the surface is collapsing the vent deep underground. Pressure backs up until it breaks through the blockage. In addition, there have been 88 minieruptions of water and methane where the ground is subsiding. Rubiandini believes the subsidence is cracking open pressurized gas pockets. And along the fault, geysers of water have suddenly shot up in the middle of yards, rice paddies, and even within factories, probably due to the rearrangement of subsurface plumbing.

    “The volcano is taking on a life of its own,” Davies says. How long this will go on, he says, is anybody’s guess.

    Unstoppable

    The mud volcano Lusi is unique in its longevity and the volume of material ejected. It may also be setting records for the number or failed attempts to plug it. Immediately after the 29 May 2006 eruption, Lapindo Brantas., the company whose exploratory drilling, some claim, triggered the eruption, pumped concrete into the well to try to stop the gush of hot, salty water from a subsurface aquifer. When that failed, the company brought in a consultant from Houston, Texas, who directed the drilling of two relief wells intended to intercept the original borehole and pump in high density drilling mud to plug the leak. This effort was abandoned when the wells were short of their target, also, reportedly, because Lapindo ran out of money.

    In February 2007, following a proposal from geophysicist Satria Bijaksana and two colleagues from Institut Teknologi Bandung, Lapindo Brantas started dropping into the vent clusters of concrete balls, 20 centimeters and 40 centimeters in diameter, roped together with steel cables. The objective, Bijaksana says, was “to reduce the sheer volume of mud coming out of the vent to a manageable level.” This effort was abandoned after 398 of a planned 1000 clusters had been dropped; a government agency that took over management of the disaster concluded that the balls were having little effect.

    The only hope of plugging Lusi is to drill another relief well to plug the original well at a point below where it was breached, says Rudi Rubiandini, a petroleum engineer at Institut Teknologi Bandung. He estimates that the well would cost $70 t0 $100 million. But that is unlikely to happen, he says: “Our government now thinks this is a natural disaster and impossible to kill.”

    Dennis Normile

  • PT Lapindo Brantas Makes Things Clear as Mud in Indonesia

    On May 29, 2006, PT Lapindo Brantas, an Indonesian energy company, was drilling a wildcat well, the Banjar-Panji-1.

    The driller had struggled through 2,500 feet of clays, underlain by gritty sands and volcaniclastics, and decided to drill ahead into porous limestone below 9,000 feet without stopping to set casing. That was a mistake. At about 5 a.m., a fissure opened about 600 feet from the wellhead, and steam, water, hydrogen sulphide, and methane began to escape. Shortly afterwards, hot viscous mud began to flow rapidly from the fissure. It has been flowing ever since, taking with it homes, factories, livelihoods, crops, roads, railways, and reputations, and creating a huge industrial scandal that will have serious repercussions.

    The Banjar well is one of the most environmentally destructive oil and gas wells ever drilled. The toxic mud has been flowing for 18 months now – and could flow for decades to come – at rates of up to 150,000 cubic meters per day. To date it covers at least 2.5 square miles with a billion cubic feet of mud that is quickly turning into mudstone.

    Lapindo Brantas was operating the well on behalf of its two partners: Santos, Australia’s third-largest oil and gas company, and Medco Energi of Indonesia. The well’s target was natural gas deposits in the Sidoarjo area of eastern Java, an area characterized by mud volcanoes. And the fact that Java is the most densely populated island on earth is what makes the Banjar well’s toxic mud volcano so destructive.

    The already horrific catalogue of damage continues to grow. The mud has displaced 13,000 people from their homes. It has inundated 11 towns, 30 schools, 25 factories, a national toll road, and the state-owned Sidoarjo-Pasuruan railway line. It has buried rice paddies and shrimp farms. (Sidoarjo was the second largest shrimp-producing town in the country.) It has also shut down one of east Java’s key industrial hubs with a slow-moving tsunami of hot, sticky, smelly mud that hardens to rock as it dehydrates and cools. It caused a Pertamina-owned gas pipeline to rupture and explode, killing 11. Environmental damage is estimated at between $5 billion and $10 billion.

    If this had happened on the edges of a city, the political response would have been immediate. But these are rural Indonesians, and since they have no money, and therefore no political voice or leverage in post-Suharto Indonesia, they stay displaced, uncompensated, and, until recently, ignored.

    A network of levees and dams has been erected to contain the mud, but have not been successful. Some sludge is pumped into the Porong River, but this has not been successful either; much of the sludge is insoluble and sits in the river in blocks. The rest is rapidly silting up the river and its delta and affecting its flow, causing flooding.

    The mud, containing a dangerous cocktail of benzene, toluene, xylene, heavy metals, ammonia, and sulphur dioxide, is rendering the river lifeless and its estuary barren. The government has proposed channelling the mud to the sea by canal, but this has some obvious drawbacks and has not been tried (yet).

    Other methods to contain the flow have been tried. The national government’s response team air-dropped 1,500 large concrete balls connected by steel chains into the fissure. But that only made the mud flow faster. Japanese contractors proposed building a high-pressure pipeline to divert the mud to the coast for land reclamation. Local authorities brought together 50 mystics to use their supernatural powers to stop the mudflow, for an $11,000 prize. In another bizarre twist, Lapindo Brantas funded production costs for a 13-episode television soap opera called “Digging a Hole, Filling a Hole” to highlight and dramatize stories of the company’s heroism. Needless to say it was not a big hit.

    More recently, the Japan Bank for International Cooperation offered loans of $110 million to build a 130-foot high containment dam around the mudflow, on the theory that the weight of dammed mud would eventually cut off the flow.

    The technical post mortem appears straightforward: Lapindo Brantas’s drill bit penetrated an overpressured reservoir, causing hydrofractures to propagate outwards from the uncased hole and upwards into the overlying seal, rapidly entraining mud, gas, and water to the surface under high pressure. Unfortunately for the victims, the technical explanation is the only thing about this disaster that is straightforward. The rest would give Kafka nightmares.

    Perhaps the drama’s most surreal aspects concern Lapindo Brantas and its owner Aburizal Bakrie, one of Asia’s richest men who also happens to be a senior executive of Golkar (the ruling party) and the former minister for economics. He’s also currently the ironically titled Minister for the People’s Welfare, a financial backer of President Susilo Bambang Yudhoyono’s 2004 election campaign, and one of the vice president’s closest friends. (Bakrie was closely tied to the former Indonesian dictator, Suharto. In the 1990s, those ties helped him to obtain a substantial ownership stake in Freeport-McMoRan Copper & Gold, the U.S. mining outfit that operates the massive Grasberg mine in West Papua. Bakrie sold the Freeport stake in 1997.) Rather than resign his portfolio, Bakrie has tried to convince the government that Lapindo Brantas was just in the wrong place at the wrong time, an innocent witness to a natural disaster. On two occasions he has tried to sell Lapindo Brantas to escape liability, but has been blocked by the financial regulator. The first proposed sale was for $2 to an unnamed offshore company. The second, for $1 million, was to a U.S.-based outfit run by American friends of the family.

    Recently, partner Medco Energi accused Lapindo Brantas of gross negligence in the operation of the Banjar-Panji-1 well. Shortly after that bombshell, the police opened a criminal investigation into the actions of 13 senior managers and engineers at Lapindo Brantas.

    Until recently, Lapindo Brantas was allowed to choose, on a purely voluntary basis, how, why, and whether to compensate those people and businesses affected by the mudflow. It offered some families payments of up to $540 to cover two years’ displacement rental, $60 in moving costs, and $35 per month for food, if they agreed to free Lapindo Brantas from any further liability.

    Most residents rejected the offer, preferring to keep their options open. The company also claimed it was spending $2.4 million per day on efforts to stop or divert the mud, but this was subsequently found to actually be just under $300 per day. Recently, Indonesia’s President Yudhoyono issued a decree ordering the company “to bear all costs and repercussions” of the disaster, and pay compensation to those displaced. But since the decree has no legal consequence, it became apparent that this was another Kafka-esque way to avoid paying anything to anyone. The government has tried to minimize the political damage by setting aside $127 million from the state budget for compensation payments. But the applications are to be screened by a 50-person committee!

    Politicians are outraged because it appears that the government is bankrolling Lapindo Brantas and the Bakries. Citizens are skeptical that they will ever see any of the money.

    Many analysts predict that the Bakrie Group will simply resort to bankruptcy rather than foot any of the multi-billion dollar clean-up and compensation costs. They are money men, not oil men, and won’t lose any sleep if this forces them out of the oil and gas business for good. It is the prudent operators in Indonesia, trying to conduct their activities safely and with a commitment to the country, who will have to live with the aftermath.

    All of which is music to the ears of law firms that specialize in class-action suits. There are legal precedents for hearing offshore class actions in Australia when Australian companies are involved. So look out, Santos. Although it is only an 18 percent non-operating partner in the project, Santos is the only solid target in this whole sorry saga. The company has set aside about $60 million in its current budget to cover liability arising from the mudflow. But litigation experts in Australia believe that amount could underestimate Santos’s liability by as much as two orders of magnitude.

    Bret Mattes

    Sumber: http://www.energytribune.com/articles.cfm?aid=651

  • Mud volcano ‘on brink of collapse’

    The world’s largest mud volcano that has been erupting continuously since 2006 is beginning to show signs of “catastrophic collapse”, according to geologists who have been monitoring it and the surrounding area.

    The volcano – named Lusi – has already devastated homes and businesses in Sidoarjo, East Java, Indonesia, displacing around 10,000 people and killing 14.

    Now scientists say that the land near the central vent could sag by up to 146 metres in the next decade. In March, the scientists observed drops of up to 3 metres in one night. Most of the subsidence in the area around the volcano is more gradual, at around 0.1cm per day.

    “It is starting to show signs that the central part is undergoing a more catastrophic collapse,” said Prof Richard Davies, a geologist at Durham University.

    “The fact that the whole area is collapsing means there are probably new faults forming. These faults are new pathways for fluids to seep up to the surface. We’ve never really seen a mud volcano develop so quickly.”

    The team have monitored the subsidence using fixed GPS stations which are able to record very accurate ground movements by communicating with satellites. They reported their results in the journal Environmental Geology.

    Last year, the Indonesian authorities began a desperate plan to drop 2,000 concrete balls into Lusi’s central vent in an effort to stem the flow. Davies watched the operation, which went on for 2 months.

    “What happened was they dropped them and never saw them again,” he said. “It just gobbled them up.”

    Since it began spewing noxious mud and gasses on May 29 2006, Lusi has blanketed an area of around 7 cubic kilometres, covering 10,426 houses, 35 schools, 65 mosques and one orphanage. The advancing mud is now contained behind human-engineered dykes.

    The central collapse may be good news because it will make room for more mud at the surface and so take the pressure off the dykes. But subsidence around the submerged zone will have more impact on the local community.

    A bridge that developed cracks has already had to be dismantled, railway tracks have been moved out of line and in November 2006, 13 people were killed in a gas blast caused by an underground pipe rupturing.

    Davies does not believe there is any way to stop Lusi now. “I think now the system has become so big … the plumbing system is so complex you couldn’t hope to stop it.”

    James Randerson

    Sumber: The Guardian

  • Volcano of mud makes 50,000 homeless

    Campaigners say drilling by energy firm caused huge eruption, which has already killed 13 in Indonesia.

    The people of Sidoarjo gathered to say prayers this week. Beside a noxious sea of shifting grey mud they asked for help to rebuild their lives and for deliverance from further encroachment by the methane-spitting sludge.

    Already 13 people from this district in the east of the Indonesian island of Java have lost their lives to the world’s largest mud volcano, and a further 50,000 have been made homeless. Every day as the volcano continues to spew forth hot mud, more people and their villages are threatened. Schools and factories have had to be moved.

    An Indonesian court says this is a natural disaster. Yet human rights campaigners, as well as a team of scientists from Durham University, say the mud volcano that has been named Lusi was triggered by a gas-drilling operation two years ago. What gives this story an added twist is that the company is owned by the family of the country’s richest man, who also happens to be Indonesia’s Welfare Minister.

    The images of Lusi are nothing short of remarkable. The area at the very centre of the volcano has been surrounded by 20m-high concrete walls erected by the authorities to try to stem the flow. But already, the area now covered by the splurging mess totals more than 1,500 acres.

    Worse still, there are signs that the entire area is sinking and forming a huge crater. “The centre is falling by 4cm a day, which amounts to around 14m a year,” said Professor Richard Davies, head of a team from Durham University which has studied the volcano. “Sidoarjo is a populated region and is collapsing as a result of the birth and growth of Lusi. This could continue to have a significant environmental impact on the surrounding area for years to come.” He said the plunging volcano could cause other fractures and faults within the landscape and even begin to start shifting the course of rivers.

    Professor Davies said his team was 99 per cent certain that the volcano had been triggered by gas drilling in the region two years ago. He said it appeared workers from the Lapindo Brantas company had drilled to more than 3,000 metres and tapped into a water-bearing aquifer that was located beneath a seam of mudstone. The effect had been to release the pressure in the aquifer, causing the water to push out through the mudstone, creating a volcano of mud.

    That initial eruption two years ago this week killed 13 people and inundated 12 villages with a flood of mud. Every day since the volcano has continued to produce between 50,000 and 150,000 cubic metres of mud – enough to fill 60 Olympic-sized swimming pools.

    Yet the people of Sidoarjo say they have received barely any help or compensation from the government or Lapindo Brantas, which is owned by the family of the billionaire government minister Aburizal Bakrie. While thousands live in makeshift shanties waiting for help and refusing to move, the company this week took out advertisements in newspapers proclaiming its “social commitment” to the area but insisting experts believe the volcano was a natural phenomenon.

    Last month, the company stopped giving out food rations to displaced villages and said they should accept the compensation that had been offered. The homeless insist instead that they be given a lump sum to build new homes. “They can’t live there for ever. They should immediately submit documents and accept the compensation,” said a company spokeswoman, Yuniwati Teryana.

    Last year the authorities ordered the company to pay more than £220m in compensation and for work to halt the spread of the mud. But campaigners say only residents in four of the villages affected by the mud were eligible for compensation and that, of those people, only 20 per cent have so far received any money from the oil and gas giant.

    Campaigners say the government is unwilling to challenge the company to do more. No one has been charged with any crime in relation to the volcano. Chalid Muhammad, who heads a campaign group, the Movement to Promote Justice for the Lapindo Victims, said: “The government only needs to have the political will and the political courage to push the company to pay compensation.”

    All the while, as the people of Sidoarjo pray for help and as Lapindo Brantas continues to deny responsibility for what happened, the world’s largest mud volcano continues to spew mud and grow. Every single day.

    Andrew Buncombe, Asia Correspondent

    Sumber: The Independent

  • Ke Mana Lumpur Dibuang

    SUDAH berhari-hari warga Desa Kedungbendo bergotong-royong membangun tanggul penahan lumpur. Penduduk setempat tak ingin kampung mereka terendam lumpur dari sumur PT Lapindo Brantas seperti tiga desa di sekitar Lapindo-Desa Siring, Jatirejo, dan Renokenongo. Tapi, akhirnya, pekan lalu jebol juga tanggul di Kedungbendo.

    Sudah hampir sebulan kebocoran di Lapindo terjadi, tapi amuk lumpur itu belum bisa dihentikan, juga belum bisa dibuang. Lapindo sejatinya telah menyiapkan tiga kolam penampung lumpur. Satu ada di sebelah utara jalan tol Porong-Gempol atau hanya 200 meter dari sumur Lapindo. Dan dua kolam lainnya berada di sebelah selatan jalan tol Porong-Gempol. “Itu bisa menampung lumpur sampai tiga pekan,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo Brantas.

    Ternyata perhitungan Imam meleset, jangkauan lumpur meluas ke Kedungbendo yang letaknya berdekatan dengan kolam pertama. Belakangan, para pejabat setempat baru sadar bahwa volume lumpur yang menyembur dari ladang Lapindo itu lebih besar dari yang diperkirakan semula, 5.000 meter kubik per hari. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur memperkirakan volume lumpur yang mengalir dari dasar bumi itu sebesar 50 ribu meter kubik per hari.

    Taksiran tersebut sama dengan hitungan tim dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) yang telah meneliti di 16 titik di kawasan yang digenangi lumpur. “Itu angka paling ekstrem,” kata Anggraeni, salah satu anggota tim ITS.

    Untuk mencegah perluasan lumpur, ITS mengusulkan agar areal kolam penampung lumpur yang semula 24 hektare diperluas jadi 225 hektare. “Lokasinya di kecamatan Porong, Tanggulangin, dan kecamatan Jabon,” kata Hasan Basri.

    Saat ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo baru menyiapkan lahan 85 hektare dan 24 hektare di antaranya di Desa Renokenongo. Jika semua kolam telah siap, diperkirakan bisa menampung lumpur selama dua bulan. Rencananya, setelah lumpur diendapkan di kolam, air di bagian permukaan akan dialirkan ke kali Porong.

    Teori ini bisa jalan jika kolam-kolam itu saling berdekatan. Masalahnya, letak kolam pertama dengan kolam kedua dan ketiga berjauhan. Saat ini kolam kedua dan ketiga masih melompong alias belum teraliri lumpur.

    Semula Lapindo berharap lumpur secara otomatis mengalir ke kolam tersebut karena bantuan gaya gravitasi. Namun, lumpur ternyata tidak bergerak arah ke kolam. Lumpur itu malah menerjang belasan pabrik dan rumah warga Jatirejo dan Renokenongo.

    Lapindo sebenarnya berusaha mengalirkan lumpur itu ke kolam kedua dan ketiga dengan sedotan mesin. “Tapi hanya jalan sebentar dan akhirnya macet,” ujar Subakri, Sekretaris Desa Renokenongo. Alhasil, kini lumpur bergerak semaunya sendiri. Duh.

    ZA, Sunudyantoro dan Rohman Taufiq (Surabaya)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Berjibaku Melawan Lumpur

    Area semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, terancam menjadi kawah atau ambles. Di Texas pernah terjadi, tanah seluas 16 hektare ambles 25 meter.

    LELAKI-LELAKI itu menuang lumpur ke dalam botol dengan ketelitian ilmuwan. Di bawah siraman matahari yang menyengat, empat pria itu setengah membungkuk di tepi jalan tol Surabaya-Gempol Km 38. Warna seragam mereka oranye, menyilaukan mata, memang. Itu adalah seragam khusus untuk bekerja di zona bahaya seperti di kawasan lumpur panas di Sidoarjo.

    Tak jauh dari keempat orang itu, mesin pengeruk menderum-derum. ”Tangan-tangan” mesin pengeruk itu beradu dengan tanah sawah. Mereka sedang beradu cepat dengan waktu, mengubah sawah menjadi waduk yang bisa menampung 240 ribu meter kubik lumpur. Dan itu tak bisa dilakukan dalam semalam seperti kisah Bandung Bondowoso membangun 1.000 candi. Kalau rencana itu terhambat, petaka lumpur panas di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, akan makin melebar ke mana-mana.

    Petaka itu bermula 29 Mei lalu, ketika tiba-tiba di tengah sawah menyembur lumpur panas dengan semburan gas setinggi delapan meter. Semburan itu terjadi hanya beberapa puluh meter dari ladang pengeboran gas PT Lapindo Brantas. Lumpur pun meluber ke mana-mana.

    Petaka itulah yang membuat sejumlah ilmuwan berseragam oranye datang ke Porong. Mereka adalah para ahli dari Institut Teknologi Surabaya, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Alert Disaster Control (Asia) Pte. Ltd. Kanada, dan Abel Engineering/Well Control, Texas. Mereka berjibaku meredam teror lumpur yang panasnya sekitar 50 derajat Celsius.

    ”Mereka akan menggunakan snubbing unit dan membuat sumur baru,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo. Snubbing unit adalah alat untuk mendeteksi adanya kebocoran di luar pipa selubung pengeboran (casing). Jika lokasi kebocoran diketahui, mereka akan menutup lubang itu.

    Untuk menutup kebocoran itu, pakar pengeboran minyak dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rudi Rubiandini R.S., mengusulkan dua cara. Pertama dengan cara menyuntikkan lumpur berat ke dalam sumur pengeboran yang diduga bocor. Lumpur itu, tutur doktor ITB itu, akan menutup rembesan sehingga semburan lumpur di permukiman penduduk akan mati dengan sendirinya. ”Baru setelah itu disemen semuanya,” ujarnya. Cara ini hanya butuh waktu sebulan.

    Alternatif lainnya, menurut Rudi, membuat sumur bor seperti yang diusulkan tim ahli Lapindo. Sumur itu digali bersebelahan dan menembus lubang pengeboran yang diduga bocor. Dari sumur itu lalu disuntikkan lumpur dan semen. Cara kedua ini diperkirakan memakan waktu lebih lama, sampai tiga bulan.

    Selain urusan menyumbat lumpur, perkara gawat yang juga harus dirampungkan adalah menangani lumpur yang sudah tersembur. ”Ini soal yang paling mendesak,” kata Rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS), Mohammad Nuh. Ihwal racun lumpur, tim ITS sudah melakukan penelitian. Hasilnya, cukup gawat: kadar merkurinya 2,5 ppm (satu bagian per sejuta). Lumpur itu juga memiliki nilai BOD, COD—dua indikator pencemaran air—serta minyak yang cukup tinggi. Jika langsung dibuang ke sungai akan mengganggu ekologi. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah setempat dan ITS sepakat akan mengendapkan lumpur ke waduk-waduk buatan. Setelah air terpisah dari lumpur, racun-racunnya akan dinetralkan. Hasilnya baru dibuang ke Kali Porong.

    Lumpur panas bukan satu-satunya ancaman di kawasan Porong. Warga di sana kini khawatir daerah mereka akan ambles karena lumpur yang terkuras akan menghasilkan rongga di bawah tanah. Kondisi itu bisa menyebabkan tanah ambles seperti yang terjadi di Texas pada 1991. Saat itu akibat luapan lumpur tanah seluas 16 hektare ambles hingga kedalaman 25 meter.

    Kemungkinan lain, Porong bisa menjadi ladang kawah seperti di Desa Kuwu, wilayah timur Kabupaten Purwodadi. Di desa ini muncul letupan-letupan lumpur yang airnya mengandung garam, padahal lokasinya jauh dari laut. Tanahnya yang sangat labil mengisap siapa saja yang berada di atas Bleduk Kuwu. Pernah seekor sapi terisap.

    Saat para peneliti sibuk menutup sumber semburan lumpur, polisi juga melakukan penyelidikan. Kepala Polri Jenderal Sutanto mengakui anak buahnya sudah mengundang ahli yang mengetahui soal pengeboran. Mereka juga memeriksa pekerja dan manajemen anak perusahaan Grup Bakrie itu. ”Kami selidiki, ternyata tidak ada casing (baja penutup) dalam kedalaman sekian meter. Kalau tidak dibangun, itu salah,” katanya di Jakarta, Jumat lalu.

    Persoalan casing atau pipa selubung lubang pengeboran memang mencuat ke permukaan setelah beredar dokumen dari salah satu rekanan proyek Lapindo. Dalam surat itu disebutkan, Lapindo, operator proyek pengeboran, tidak memasang casing berdiameter 9-5/8 inci pada sumur di kedalaman 8.500 kaki (2,5 kilometer). Padahal, pemasangan pipa ini merupakan salah satu rambu keselamatan pengeboran yang harus dipatuhi.

    Pada rapat teknis 18 Mei, rekanan Lapindo mengingatkan bahwa pipa selubung harus dipasang sebelum pengeboran mencapai sasaran, yaitu formasi Kujung di kedalaman sekitar 9.200 kaki (2,7 kilometer). Rupanya peringatan itu tidak diindahkan sehingga 11 hari kemudian muncratlah lumpur panas.

    Manajemen PT Energi Mega Persada Tbk (perusahaan induk dari PT Lapindo) mengakui bahwa casing itu memang belum dipasang. ”Casing itu sebenarnya akan kami pasang. Sebelum itu dipasang, kondisi sumur masih stabil. Kami sudah melakukan sesuai prosedur,” ujar Faiz Shahab, salah seorang bos Lapindo.

    Biang semburan lumpur ini memang sempat menjadi perdebatan di kalangan ahli geologi dan pengeboran. Lapindo sebelumnya menyatakan semburan itu terjadi akibat gempa. Mulyo Guntoro, peneliti yang pernah terlibat dalam survei beberapa sumur Lapindo menilai, petaka akibat itu pengeboran dilakukan tegak lurus dan bukan miring. Saat bor patah, lumpur bertekanan tinggi menyembur. Kesalahan lain, menurut Mulyo, karena tidak adanya pemadatan tanah.

    Rudi Rubiandini menilai kesalahan yang dilakukan Lapindo Brantas bukan dari cara pengeborannya. Tapi, perusahaan itu salah memilih titik pengeboran. Soal pengeboran yang tegak lurus, dia menduga perusahaan itu berniat mengurangi biaya. ”Ditambah lagi ketika lumpur keluar, tindakannya lambat,” katanya. Kini, dampak negatif dirasakan ribuan warga Jawa Timur.

    Untung Widyanto, Sunudyantoro, Adi Mawardi, Rohman Taufik, Rana Akbari Fitriawan, Ahmad Fikri

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Lebur dalam Genangan Lumpur

    Kubangan lumpur panas di Sidoarjo meluas. Kerugian diperkirakan miliaran rupiah

    DWI Cahyani tak habis-habisnya merenungi nasibnya. Tiba-tiba saja usahanya yang beromzet sekitar US$ 250 ribu (Rp 2,45 miliar) per bulan ludes dalam sekejap. Penyebabnya pun tak pernah terpikir olehnya. Senin tiga pekan lalu, lumpur panas tiba-tiba menggenangi pabriknya sampai setinggi lutut.

    Tak ada lagi yang tersisa di perusahaan yang terletak di Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur itu. Mesin-mesin pabriknya lumpuh tak bisa digunakan. Bahan baku rotan senilai Rp 1 miliar amblas. Pabrik mebel rotan miliknya, PT Victory Rottanindo, pun terpaksa merumahkan 250 karyawannya. Kebangkrutan sudah membayang di pelupuk mata Dwi.

    Padahal, sebelum bencana ini terjadi, setiap bulannya Victory biasa mengirim sampai 25 kontainer mebel rotan ke berbagai negara. Setiap kontainer nilainya sekitar US$ 10 ribu. Pas kejadian, Victory sebetulnya sudah siap mengapalkan empat kontainer ke Inggris. ”Tapi truk kontainer tak bisa masuk,” kata Dwi.

    Victory Rottanindo tak sendirian. Delapan pabrik lainnya di Jatirejo juga terpaksa berhenti operasi sejak dua pekan lalu. ”Setidaknya 683 tenaga kerja yang dirumahkan,” kata Cipto Budiono, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur.

    Jumlah itu masih bisa membengkak karena luapan lumpur yang mengandung hidrogen sulfida (H2S) itu sudah merendam 18 pabrik lain. Masalah kerusakan mesin, distribusi barang, dan pembatalan pesanan menguras pikiran pemilik pabrik. Persoalan ini kian pelik karena hingga akhir pekan lalu banjir lumpur belum juga bisa diatasi.

    Petaka lumpur ini bermula ketika pada 29 Mei lalu sebidang sawah di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, menyemburkan lumpur panas setinggi delapan meter. Hanya berselang empat hari, warga Renokenongo kembali dikejutkan oleh suara berdebum. Tanah merekah, lumpur panas pun terus mengalir.

    Karena lokasi semburan tak jauh dari sumur Banjar Panji 1, tudingan pun mengarah ke Lapindo Brantas Incorporated. Perusahaan yang selama ini melakukan pengeboran di sumur Banjar Panji itu dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Lapindo langsung membangun kolam penampungan dan tanggul untuk mencegah lumpur panas meluas. Tapi upaya itu tak membuahkan hasil.

    Ibarat kubangan raksasa, lumpur panas itu kini sudah menggenangi tiga desa: Renokenongo, Siring, dan Jatirejo. Ini membuat 2.700 warga diungsikan ke pasar Porong, Sidoarjo. Derasnya aliran lumpur yang mencapai 5.000 meter kubik—setara dengan 1.250 truk ukuran sedang—per hari juga merendam 64,8 hektare sawah yang belum sebulan ditanami.

    Akibatnya, nilai padi yang puso diperkirakan mencapai Rp 389 juta. Kerugian itu, kata Faqih, warga Renokenongo, belum termasuk biaya menanam padi yang berkisar Rp 500 ribu per petak. Bila satu hektare sawah dibagi menjadi tujuh petak, kerugian biaya tanam akibat lumpur panas mencapai Rp 226 juta.

    Lumpur panas juga luber sampai ke jalan tol Gempol-Surabaya. Semula Jasa Marga hanya menutup separuh badan jalan tol dari arah Gempol menuju Porong. Aliran lumpur juga sudah tidak merangsek sampai jal tol setelah Lapindo membuat tanggul. Tapi tanggul itu justru membuat lumpur mengarah ke perkampungan.

    Penduduk pun marah dan menjebol tanggul. Akibatnya, lumpur kembali membanjiri tol. Sejak Jumat lalu, perusahaan penyelenggara jalan tol itu terpaksa menutup jal tol itu di kilometer 38, karena tinggi lumpur sudah 20 sentimeter. Gara-gara penutupan ini, Jasa Marga diperkirakan merugi Rp 180 juta sampai 380 juta per hari.

    Kepala cabang tol Surabaya-Gempol Bachriansyah menjelaskan, selain pemasukan berkurang, sarana pelengkapan jalan tol yang ada di sana juga rusak. Kerusakan ini diperkirakan merugikan Jasa Marga Rp 200 juta. Beban tersebut masih harus ditambah dengan retaknya jalan akibat tergerus lumpur panas. Tapi besar kerugian konstruksi masih dihitung.

    Yang pasti, kata Bachriansyah, seluruh kerugian akan dibebankan kepada Lapindo. Kerugian dihitung per hari sejak 6 Juni lalu. ”Besarnya berapa, masih diperinci,” katanya.

    Bak terkena efek domino, lumpur panas ini juga menyebabkan kerugian di tempat lain. Kemacetan yang terjadi di jalan tol Gempol-Surabaya membuat para eksportir harus merogoh kocek tambahan.

    Direktur PT Lintas Utama Sejahtera, Isdarmawan Asrikan, mengungkapkan akibat kopi dan cengkeh miliknya terlambat tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, dia mesti menambah Rp 1 juta per kontainer. Biaya tambahan itu antara lain untuk transportasi, relokasi, transportasi bahan baku ekspor-impor, dan keterlambatan (closing time).

    Padahal, setiap hari ada seribu peti kemas dari Pasuruan, Probolinggo, Malang, Jember, dan Banyuwangi yang melintasi jalan tol Gempol-Surabaya. ”Kemacetan itu membuat ekspotir rugi Rp 1 miliar per hari,” kata Isdarmawan, yang juga Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Jawa Timur.

    Rangkaian peristiwa itu pun akhirnya menyedot perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia meminta Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral segera menginvestigasi kasus tersebut. ”Lapindo juga harus memberikan ganti rugi kepada masyarakat di sekitar lokasi pengeboran,” katanya.

    Tapi, menurut Faiz Shahab, Direktur Operasional PT Energi Mega Persada, perusahaan induk Lapindo Brantas, besarnya dana kompensasi akan dipastikan setelah penyebab semburan diketahui. Soalnya, sumber semburan bukan berasal titik pengeboran, tapi dari tiga titik yang berjarak 150-500 meter dari lokasi pengeboran.

    Selain itu, Energi Mega masih menunggu hasil pendataan yang dilakuan tim terpadu yang dipimpin Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Tim ini, kata Faiz, tengah mendata jenis kerusakan dan luas dampak kerusakan. ”Jadi kami tak bisa menyebut berapa angka ganti ruginya,” katanya seusai rapat umum pemegang saham Energi Mega, Rabu lalu.

    Repotnya, penyelesaian masalah lumpur panas ini memakan waktu lama. Faiz memperkirakan, soal ini baru beres pada akhir Oktober nanti. Bila ini benar terjadi, sudah bisa dibayangkan berapa kerugian yang bakal diderita oleh masyarakat setempat, juga para pengusaha dan eksportir.

    Karena itu, Gubernur Jawa Timur Imam Utomo meminta Lapindo pada tahap awal ini segera memberikan uang muka ganti rugi kepada semua perusahaan yang terkena dampak luapan lumpur. ”Ini tidak bisa dibiarkan,” katanya. Paling tidak, pengusaha-pengusaha yang pabriknya tutup seperti Dwi bisa menggaji karyawannya.

    Yandhrie Arvian, Zed Abidien, Kukuh S. Wibowo, Rohman Taufiq, Sunudyantoro

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Memburu Gas, Memanen Lumpur

    Kampung-kampung di Porong, Sidoarjo, diterjang lumpur panas. Ada dugaan, semburan lumpur itu akibat salah prosedur pengeboran.

    TEROR itu datang pada awal pagi. Ketika itu Renokenongo, desa tak terkenal di Sidoarjo, Jawa Timur, baru saja menggeliat. Orang-orang kampung menyeruput kopi, menghisap rokok sisa kemarin, menyapu halaman. Haji Soleh juga sedang menikmati hawa pagi saat tiba-tiba terdengar, “Bum…!” Lantai rumahnya meledak. Dari balik retakannya, mengalirlah lumpur panas. Baunya menyengat, bikin mual.

    Lelaki itu kaget. Juga puluhan penduduk di Renokenongo. Hari itu ada sepuluh rumah yang meleduk di Renokenongo. Semuanya di dekat kediaman Soleh. “Keluarga langsung saya ungsikan,” ujarnya.

    Ledakan pada Jumat pagi dua pekan lalu itu membuat warga ketar-ketir. Maklum, empat hari sebelumnya, ledakan serupa terjadi di sawah milik Probosutejo. Di tengah persawahan yang adem ayem itu tiba-tiba menyembur lumpur panas setinggi delapan meter. Hawa panas–suhunya sekitar 50 derajat Celsius, cukup untuk merebus telur–ikut menyebar cepat. Lumpur dan udara panas ini merendam 15 rumah di Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo.

    Warga Renokenongo terkesiap. Mereka tak menduga lumpur panas bisa seluas itu. Bahkan kini sudah 12 hektare sawah yang tenggelam dalam lumpur. Sekitar seribu orang mengungsi ke gedung olahraga dan markas kepolisian sektor setempat. Pabrik-pabrik di desa itu terpaksa juga tutup. “Kami terpaksa membatalkan produksi kursi rotan senilai US$ 10 ribu yang akan diekspor ke Belanda,” kata Dwi Cahyani, Direktur PT Victory Rotanindo.

    Jalan tol Gempol-Surabaya pun ikut kena getahnya, karena aliran tanah cair itu sampai ke sana. Pengelola jalan tol pun kelabakan membangun tanggul darurat dengan bertruk-truk tanah. Sampai Sabtu lalu, muncratan lumpur dan gas itu belum ada tanda-tanda berhenti.

    Lumpur petaka itu bermula dari sawah Probosutejo. Ledakan itu terjadi setelah PT Lapindo Brantas mengebor sumur minyak Banjar Panji di Porong. Entah mengapa, seperti adegan di film horor, tanah di sawah itu tiba-tiba merekah. Bum! Gas putih membubung. Lumpur mengalir kencang, bergumpal-gumpal seperti air yang muncrat dari pipa air minum. Hujan tuduhan pun jatuh ke Lapindo. Perusahaan ini dituding biang lahirnya “mata lumpur”.

    General Manager PT Lapindo Brantas, Imam Agustino, menolak tuduhan itu. Imam yakin, luapan lumpur bukan berasal dari pipa pengeboran yang saat ini mencapai kedalaman hampir 3 kilometer. “Itu dari retakan tanah akibat gempa Yogyakarta yang terjadi beberapa waktu lalu,” katanya. “Pengeboran Lapindo sudah dilakukan sesuai dengan standar baku industri migas.”

    Lumpur menyembur akibat gempa? Mulyo Guntoro tak sepakat dengan dalih itu. Lelaki ini justru percaya, petaka di Renokenongo itu akibat kesembronoan Lapindo. “Pengeboran di kedalaman lebih dari 2 kilometer seharusnya dilakukan miring, bukan lurus seperti yang dilakukan Lapindo saat ini,” kata ahli geologi dari Pusat Studi Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Surabaya.

    Guntoro mengaku pernah diajak Lapindo melakukan pemetaan gas di Sidoarjo. Dia menduga perusahaan ini melakukan kesalahan prosedur saat mata bor mencapai lapisan gas. Karena terlambat menyumbat, lumpur yang berada di lapisan atas ikut tersedot keluar bersama dengan gas. “Akibatnya, mereka tidak lagi bisa menyuntikkan lumpur untuk menyumbat, karena tekanan di dalam lubang pengeboran pasti sudah sangat besar,” kata dosen UPN itu.

    Lapindo dalam catatan Guntoro telah melakukan beberapa kesalahan dalam pengeboran di Renokenongo. Menurut dia, salah satu keteledoran Lapindo adalah tidak pernah melakukan pemadatan tanah di lokasi yang bakal dieksplorasi. Akibatnya, saat ada kebocoran, lumpur segera menyembur keluar. Selain itu, perusahaan itu tidak pernah berusaha menyumbat aliran-aliran kecil patahan tanah yang berada di sekitar lokasi pengeboran. “Tekanan gas dari dalam tanah pasti akan tinggi naik jika terjadi pengeboran di sekitarnya,” tutur Guntoro.

    Faktor gempa yang dijadikan dalih Lapindo juga dibantah Guntoro. Menurut dia, retakan tanah baru bisa terjadi jika ada gempa dengan kekuatan lebih dari 5 pada skala Richter. Padahal gempa yang terjadi di Yogyakarta dan dirasakan di Sidoarjo hanya berkekuatan 2 pada skala Richter. “Jadi, lucu jika mereka beralasan ada gempa,” ujarnya.

    Apa pun alasan Lapindo, kawasan Renokenongo kini merana. Pohon-pohon meranggas seperti terbakar. Saban hari sekitar 5.000 meter kubik lumpur menyembur. Dalam dua pekan, berarti volume lumpur yang mengubur desa itu setara dengan 14 ribu truk kecil. Kendati begitu, Imam menjamin lumpur dan gas yang keluar masih aman bagi kesehatan manusia. “Dari hasil penelitian, lumpur ini tidak mengandung racun seperti yang ditakutkan,” katanya.

    Namun klaim itu ditolak Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur. Dari hasil investigasi, organisasi pencinta lingkungan itu menemukan sumur-sumur warga yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari lokasi pengeboran dalam kondisi tercemar.

    Menurut Direktur Eksekutif Walhi Ridho Syaiful, selama tiga bulan beroperasi, anak perusahaan PT Energi Mega Persada itu tidak pernah melakukan sosialisasi atau pengumuman terhadap warga terdekat. Padahal, dalam surat edaran Menteri Pertambangan dan Energi, disebutkan kegiatan eksplorasi atau eksploitasi harus diumumkan untuk melindungi kepentingan sosial rakyat.

    “Kami tak pernah diajak rembukan, tahu-tahu terkena getahnya,” ujar Imam Sudarti, yang tinggal tak jauh dari lokasi Lapindo.

    Walhi mendesak pemerintah daerah dan Polri melakukan tindakan hukum kepada Lapindo Brantas untuk menyelamatkan lingkungan dan menghindari kerugian masyarakat. Menurut Ridho, pemerintah harus segera mencabut kontrak Lapindo Brantas sebagai bentuk pertanggungjawaban dan menjamin kesehatan serta perbaikan lingkungan.

    Soal kerusakan lingkungan, Made Sutarsa, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur, menjelaskan bahwa pengeboran yang dilakukan Lapindo sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang ada. “Kebocoran itu murni karena gejala alam, gempa,” katanya yakin. Amdal perusahaan itu dikeluarkan Kantor Menteri Lingkungan Hidup pada 1990.

    Menurut Manajer Umum Lapindo, Rewindra, dengan analisis dampak lingkungan itu, pihaknya tidak perlu lagi meminta izin warga ketika mau melakukan eksplorasi. “Yang penting kan sudah sesuai dengan amdal,” katanya. Perusahaan ini diizinkan melakukan eksploitasi dan eksplorasi di Sidoarjo hingga tahun 2020.

    Untuk mengatasi banjir lumpur, sejak awal musibah, Lapindo sebenarnya telah menginjeksikan lumpur padat ke retakan tanah. Namun upaya itu gagal sehingga genangan lumpur terus meluas, bahkan sampai ke jalan tol Surabaya-Gempol kilometer 38. Mereka kini hanya membuat tanggul agar laju lumpur tidak semakin luas.

    Lapindo juga berencana membawa lumpur untuk dibuang ke kali mati, bekas aliran Sungai Brantas di daerah perbatasan Sidoarjo-Pasuruan yang saat ini tidak lagi dialiri air. Upaya ini tinggal menunggu negosiasi antara Lapindo dan pemerintah Sidoarjo dan Pasuruan.

    “Kami angkat tangan, tidak bisa menghentikan semburan lumpur,” kata Bupati Sidoarjo Win Hendarso. Menurut dia, pemerintah daerah dan Lapindo telah mengirim surat permohonan bantuan kepada Wakil Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

    Sucahyono, Kepala Divisi Operasional Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) menjelaskan bahwa diperlukan waktu minimal 30 hari untuk menghentikan muncratan lumpur. Kasus di Porong ini, ujarnya, pernah terjadi di Riau, dan aliran lumpur baru bisa dihentikan setelah dibuat pengeboran sumur terarah secara miring dari tempat lain. “Tujuannya mencari titik pusat aliran lumpur dan memompakan bahan penyumbat,” katanya.

    Untung Widyanto, Rohman Taufiq, Kukuh S Wibowo

    Sumber: Majalah Tempo No. 16/XXXV/12-18 Juni 2006

  • Lumpur Panas Semakin Meluas

    Sawah Rusak, Lantai Retak, dan Pohon Mengering
    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Warga Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, semakin resah akibat semburan lumpur panas yang semakin meluas. Lumpur berwarna abu-abu itu kini telah menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar dan pohon-pohon di sekitarnya mengering.

    Sawah yang terendam lumpur panas tersebut tanamannya mati, sedangkan tanahnya butuh waktu lama untuk bisa ditanami kembali. Adapun tanaman pisang dan pohon kayu keras yang terkena lumpur panas daunnya berguguran dan batangnya mengering.

    Keresahan warga Desa Siring semakin menjadi akibat munculnya semburan gas dari areal persawahan pada Minggu (4/6) dan Senin (5/6) kemarin. Titik semburan baru ini jaraknya hanya sekitar 15 meter dari rumah paling pinggir.

    Menurut Darti (37), pemilik rumah paling pinggir tersebut, gas menyembur Minggu malam sekitar pukul 23.00. Volume semburan tidak sebesar semburan di tengah areal sawah.

    “Senin pagi, semburan gas yang tidak disertai lumpur itu telah berhenti,” ucap Darti. Namun, warga sangat cemas sewaktu-waktu semburan muncul di areal permukiman warga.

    Sebuah rumah di RT 07 RW 02 Desa Siring lantainya ditemukan terangkat sekitar 10 sentimeter. Menurut Sulaikah (50), pemilik rumah, dari retakan lantai keramiknya t selalu keluar air bening bercampur pasir setiap semburan di tengah areal sawah aktif.

    Mendekati jalan tol

    Sementara itu, ketinggian lumpur semakin bertambah. Bahkan di sisi utara ketinggiannya sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38.

    Tanggul dari pasir dan batu yang dibangun memanjang di bahu jalan tol menjadi satu-satunya penahan laju lumpur. Lumpur yang tertahan tanggul darurat tersebut terus meninggi hingga lebih tinggi dari permukaan jalan tol. Persoalannya, ketika hujan turun akan mengakibatkan tanggul jebol dan lumpur menutupi jalan tol.

    General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan, semburan lumpur mencapai sekitar 5.000 meter kubik per hari. Untuk menanganinya, pihaknya telah membuat tanggul untuk melokalisasi pergerakan lumpur.

    “Kami juga sudah membentuk tim untuk mengkaji penanganan lumpur serta dampaknya. Hal ini dilakukan sebagai usaha menangani persoalan secara komprehensif,” tutur Imam.

    Pada kesempatan yang sama Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Herman Suryadi Sumawiredja menyatakan tidak menjumpai adanya indikasi kelalaian oleh PT Lapidno Brantas. “Semburan lumpur ini lebih karena faktor alam,” katanya.

    Sementara itu, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan telah membuat tim terpadu untuk penanganan lumpur. Konkretnya, Satlak Kabupaten Sidoarjo bekerja bersama dengan PT Lapindo. “Leading sectornya PT Lapindo Brantas,” ujarnya.

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.

  • Lumpur Panas Dekati Tol Surabaya-Gempol

    Semburan Gas di Areal Persawahan Desa Siring Kembali Naik

    Sidoarjo, Kompas – Lumpur panas dari perut Bumi selama tujuh hari berturut-turut di areal persawahan Desa Siring, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jatim, hingga Minggu (4/6), bertambah. Semburan lumpur pekat mirip lahar berwarna abu-abu itu bahkan sudah mendekati badan Jalan Tol Surabaya-Gempol.

    Berdasarkan pemantauan, jalan tol yang terancam terputus akibat lumpur itu adalah kilometer 38 dari arah Kota Surabaya. Di beberapa bagian lumpur bahkan sudah menjangkau tepi bahu jalan.

    Dalam kaitan itu, PT Lapindo Brantas selaku perusahaan eksploitasi dan eksplorasi minyak dan gas di lokasi tersebut membuat tanggul dengan menggunakan sejumlah alat berat. Ratusan kubik tanah didatangkan dengan dump truck ke lokasi itu untuk dijadikan tanggul darurat.

    Akibat kesibukan membuat tanggul tersebut, lalu lintas dari arah Gempol ke Surabaya menjadi lambat. Kecepatan mobil saat melalui lokasi rata-rata 5-10 kilometer per jam. Antrean kendaraan pun akhirnya tak terhindarkan.

    Kepala Cabang Jalan Tol Surabaya-Gempol Bachriansyah menyatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak PT Lapindo Brantas. “Prinsipnya, kami meminta PT Lapindo Brantas mengupayakan lumpur tidak sampai mengalir ke jalan tol,” ujarnya.

    Skenario terburuk, apabila lumpur akhirnya masuk ke badan jalan tol, pintu gerbang tol masuk Gempol akan ditutup. Selanjutnya, lalu lintas ke arah Surabaya dialihkan ke Porong.

    Lumpur panas itu terus keluar ketika PT Lapindo Brantas membuat sumur untuk penambangan gas. Lumpur cair itu suhunya di atas 57 derajat Celcius. Jika lumpur itu diinjak dengan kaki telanjang, kaki akan berwarna kemerah-merahan kepanasan.

    Selain membuat tanggul darurat dengan menggunakan pasir, PT Lapindo Brantas juga sudah mengantisipasi meluasnya lumpur ke jalan tol dengan memasang gedek (anyaman bambu) di antara areal persawahan yang telah tergenang lumpur dengan badan jalan tol.

    Akan tetapi, kemarin permukaan lumpur semakin tinggi. Akibatnya, gedek tak sanggup menahan laju lumpur yang akhirnya semakin merangsek ke badan jalan tol.

    Kembali naik

    Hari Minggu kemarin, sekitar pukul 11.00 hingga 15.00, volume semburan lumpur panas dan gas di areal persawahan Desa Siring kembali naik. Tinggi semburan mencapai sekitar enam meter.

    Sementara itu, gas putih berbau menyengat semacam amoniak pun kembali tercium. Gas yang mengandung hidrogen sulfida tersebut baunya tercium hingga radius 500 meter, mengikuti arah angin. Padahal kawasan permukiman warga Desa Siring jaraknya hanya sekitar 200 meter dari titik semburan.

    Relations and Security Manager PT Lapindo Brantas Budi Susanto mengatakan, telah meminta bantuan Alert Disaster Control untuk menganalisis penyebab semburan sekaligus memberikan kajian teknis penanggulangannya. Alert Disaster Control adalah sebuah perusahaan di Amerika Serikat dengan spesifikasi penanganan sumur penambangan.

    Sejauh ini PT Lapino Brantas menyatakan, keluarnya gas tersebut diperkirakan akibat gempa bumi yang membentuk retakan dalam lapisan tanah. Dampaknya, gas bertekanan tinggi mencari celah-celah itu untuk keluar ke permukaan tanah.

    Syahdun, mekanik pengeboran subkontrak PT Lapindo Brantas, menyatakan, semburan gas dan lumpur disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran hari Senin pekan lalu sekitar pukul 04.30. “Akibatnya, gas menekan ke samping dan mencari retakan dalam lapisan tanah untuk keluar ke permukaan,” ujarnya. (las)

    Sumber: Harian Kompas, 5 Juni 2006.

  • Lumpur Panas Timbulkan Ketakutan Warga

    Khawatir Rumah Mereka Ambles
    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Semburan lumpur panas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, membuat sejumlah warga ketakutan. Mereka tidak berani kembali ke rumah karena khawatir sewaktu-waktu rumah mereka ambles.

    “Kalau lumpur yang keluar dari dalam tanah sebanyak itu, pastilah tanah di bawah rumah saya berongga besar. Jadi saya takut kalau sewaktu-waktu rumah ambles ke dalam tanah,” tutur Muchtar, salah seorang warga Dusun Balongkenongo, Minggu (4/6), yang menolak kembali ke rumahnya. Empat warga lainnya juga menolak menempati rumah mereka yang sudah rusak terkena lumpur. Mereka adalah Anwar, Soleh, Husein, dan Madekur.

    Oleh sebab itu, Mochtar dan keempat warga lainnya meminta PT Lapindo Brantas untuk membeli tanah dan rumah mereka. Selanjutnya mereka lebih memilih pindah dari rumah lama. “Walau bagaimanapun, saya lebih memilih untuk pindah rumah,” ucap Madekur.

    Adapun warga lainnya menyatakan bersedia kembali. Akan tetapi, mereka meminta kompensasi yang wajar atas kerusakan dan gangguan yang dialami.

    Di tenda pengungsian

    Sekitar 20 pekarangan warga dibanjiri lumpur. Tingginya antara 5 sentimeter hingga 20 sentimeter. Selain itu, sekitar 100 warga masih tinggal di tenda pengungsian di halaman Kepolisian Sektor Porong. Sebagian lagi tinggal di rumah sanak saudara mereka. Rata-rata pengungsi adalah anak-anak dan perempuan.

    Relations and Security Manager PT Lapindo Brantas Budi Susanto menyatakan, belum bisa memberikan jawaban atas tuntutan warga. Pasalnya, saat ini PT Lapindo Brantas masih berkonsentrasi menghentikan semburan gas dan lumpur panas.

    Sekadar catatan, sejak Senin (29/5), semburan lumpur dan gas di areal persawahan Desa Siring tidak kunjung berhenti.

    Budi melanjutkan, segala sesuatu yang berkaitan dengan kompensasi sebaiknya disalurkan melalui tim dari Desa Renokenongo. Selanjutnya, tim tersebut akan berdialog dengan tim dari PT Lapindo Brantas untuk mencapai sebuah kesepakatan. “Ada baiknya tim beranggotakan salah satu di antara kelima warga tersebut,” kata Budi.

    Sementara itu, hingga kemarin sore, lumpur telah membanjiri areal persawahan seluas sekitar 10 hektar. Sawah yang terendam lumpur tersebut sebagian besar milik warga Desa Siring, sedangkan sisanya milik warga Desa Renokenongo.

    Darto (57), salah seorang anggota tim musyawarah Desa Siring menyatakan, belum ada kesepakatan soal kompensasi sawah. Adapun soal polusi yang ditimbulkan gas, disepakati kompensasi sebesar Rp 200.000 per keluarga.

    Kemarin, tim Health Safety and Environment PT Lapindo Brantas dijumpai tengah mengambil sampel lumpur. Tepatnya di sekitar semburan di kamar mandi rumah Soleh.

    Koordinator tim Health Safety and Environment PT Lapindo Brantas Munajad Cholil mengatakan, akan mengirim sampel tersebut ke empat laboratorium. Laboratorium tersebut adalah laboratorium milik Institut Teknologi Surabaya, Institut Perkebunan Bogor, Universitas Brawijaya, dan Sucofindo. Adapun yang dites adalah kandungan racun dan kesuburan dalam lumpur, serta baku mutu air.

    Sumber: Harian Kompas, 5 Juni 2006.

  • Sudah Sepekan Gas Ganggu Warga

    Pemerintah Janji Akan Tangani Segera

    Sidoarjo, Kompas – Gas dan lumpur panas dari perut bumi menyembur di kawasan permukiman warga Dusun Balongkenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (2/6). Karena itu, sekitar 300 warga terpaksa diungsikan. Peristiwa ini merupakan puncak dari semburan gas yang sudah berlangsung sepekan terakhir.

    Sehari sebelumnya, Kamis sekitar pukul 19.00, warga dikejutkan semburan gas dan lumpur yang muncul di areal persawahan Desa Renokenongo. Senin lalu pun, dari tengah rawa Desa Siring, Kecamatan Porong, terjadi hal serupa.

    Hingga kemarin lumpur panas dengan suhu lebih dari 57 derajat Celsius dan gas masih keluar dari sejumlah titik semburan, baik di areal persawahan maupun rawa.

    Berdasarkan pantauan kemarin, gas berbau menyengat dan lumpur panas menyembur tepat pada bagian lantai kamar mandi rumah Soleh (40), warga Dusun Balongkenongo RT 19 RW 05. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.

    Hingga Jumat pukul 17.00 lumpur pekat berwarna abu-abu terus mengalir keluar berikut gas. Akibatnya, sekitar 10 rumah warga kemasukan lumpur, sekitar satu hektar sawah diterjang lumpur, dan kamar mandi serta dapur milik Soleh rusak juga akibat lumpur.

    Ditemukan pula lantai keramik di rumah seorang warga terangkat ke atas. Menurut keterangan pemilik rumah, hal itu terjadi tidak lama setelah gas dan lumpur menyembur di rumah Soleh.

    Akibat peristiwa tersebut, sekitar 300 warga Desa Renokenongo diungsikan ke Balai Desa dan Kantor Poliklinik Pedesaan Kedungbendo, serta Kantor Kecamatan Porong. Meski demikian, sebagian besar warga lebih memilih mengungsi ke rumah sanak saudara mereka.

    Untuk sementara, gas dan lumpur berbau menyengat tersebut diduga kuat berasal dari sumur pengeboran gas PT Lapindo Brantas yang berada di sebelah selatannya. Jarak sumur dengan titik semburan di Dusun Balongkenongo sekitar 450 meter.

    Syahdun, mekanik pengeboran subkontrak PT Lapindo Brantas, menyatakan, semburan gas dan lumpur disebabkan pecahnya formasi sumur hasil pengeboran, Senin lalu sekitar pukul 04.30.

    “Akibatnya, gas menekan ke samping dan mencari retakan dalam lapisan tanah untuk keluar ke permukaan,” ujarnya.

    Sebelum formasi pecah, lanjut Syahdun, bor macet (stuck) dan oil bismart hilang.

    Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan akan mengerahkan seluruh potensi bersama PT Lapindo Brantas untuk mengatasi persoalan tersebut. Konkretnya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo akan mendatangkan empat backhoe—ditambah dua unit milik PT Lapindo Brantas—untuk melokalisasi lumpur di areal persawahan.

    “Satu-satunya solusi agar lumpur tidak meluas, sawah seluas 8-10 hektar terpaksa dikorbankan untuk dijadikan dam penampungan,” kata Win.

    Secara terpisah, General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan, peristiwa tersebut tidak ada kaitannya dengan sumur hasil pengeboran perusahaan penambang gas hidrokarbon itu. “Tidak ada yang salah dengan sumur pengeboran kami,” ujarnya. Meski demikian, pihaknya siap membantu penanganan persoalan itu. (LAS)

    Sumber: Harian Kompas, 3 Juni 2006.

  • Lumpur Merusak Areal Sawah

    Pipa Bocor Cemari Irigasi
    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Lumpur yang terus keluar dari dalam perut bumi melalui rekahan tanah di tengah rawa Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, meluber ke saluran irigasi. Padahal, areal sawah yang dilaluinya rata-rata sudah mulai musim tanam.

    Berdasarkan pantauan pada Rabu (31/5), lumpur tersebut berwarna hitam keabu-abuan dan mengandung semacam minyak. Tanaman yang terkena lumpur tersebut diperkirakan tidak akan bisa tumbuh dengan subur.

    Lumpur yang mencemari sawah tersebut sebagai kelanjutan dari gas bocor yang terjadi Senin (29/5) lalu sekitar pukul 04.30. Saat itu dari tengah rawa Desa Siring, Kecamatan Porong, menyembur gas berwarna putih yang mengandung hidrogen sulfida berikut lumpur bersuhu tinggi.

    Gas tersebut berasal dari dalam sumur pengeboran gas PT Lapindo Brantas yang jaraknya sekitar 40 meter dari lokasi semburan. Hingga kemarin, gas dan lumpur masih menyembur keluar, meski volumenya naik turun.

    Akibat luberan lumpur, sampai dengan Rabu kemarin pukul 16.00, air dalam saluran irigasi hingga radius sekitar 400 meter arah barat rawa sudah tercemar. Padahal dalam radius tersebut sudah ada beberapa petak sawah yang memanfaatkan air dari saluran irigasi itu.

    Dua desa

    Saluran irigasi yang memanjang di tepi jalan kabupaten tersebut menghubungkan Desa Siring dan Desa Permisan, Kecamatan Jabon. Saluran irigasi itu untuk mengairi puluhan hektar sawah di dua desa tersebut.

    Kepala Seksi Produksi Palawija dan Hortikultura Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Sidoarjo Heksa Widagdo mengatakan, padi pada usia tersebut membutuhkan cukup air.

    “Meski tidak butuh air melimpah, padi usia muda butuh lahan basah,” ujarnya. Oleh sebab itu, ia mengimbau agar air yang telah tercemar dengan lumpur tidak dialirkan ke dalam sawah.

    Saat ditemui di lapangan, Koordinator Tim Health Safety and Environment PT Lapindo Brantas Munajad Cholil mengatakan akan menyedot lumpur agar tidak terus meluber ke sawah dan saluran irigasi. Caranya dengan menyedot lumpur yang akan ditampung ke dalam kolam. Kolam berukuran 20 m x 10 m dengan kedalaman 4 m ini tengah dibuat di dalam area pertambangan.

    Selain itu, pada Kamis ini akan dipasang instalasi pengolahan air limbah (IPAL) portabel di tepi rawa. “Lumpur akan disedot ke dalam IPAL, lalu airnya yang telah bebas polutan akan dialirkan saluran irigasi,” katanya.

    Sumber: Harian Kompas, 1 Juni 2006.

  • PT Lapindo dan Warga Belum Capai Titik Temu

    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Semburan lumpur dari rekahan tanah rawa di samping sumur pengeboran gas PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, semakin meluas. Hingga Selasa (30/5) sore, lumpur berbau belerang itu menggenangi sawah warga dan rawa seluas sekitar 2 hektar.

    Berdasarkan pantauan, meski volumenya menurun, lumpur berwarna hitam keabu-abuan itu masih keluar dari rekahan tanah di tengah rawa. Bila pada dua hari sebelumnya semburan lumpur kadang-kadang bisa mencapai sekitar 3 meter, kemarin semburannya hanya setinggi 0,5 meter.

    Akibat lumpur yang terus menyembur sejak Senin (29/5) pagi, seluruh permukaan rawa dan sebagian sawah warga Desa Siring tertutup lumpur. Bahkan, ikan dan bekicot di lokasi rawa mati mengambang. Baunya yang seperti amoniak masih tercium hingga radius 500 meter.

    Pencemaran ini sangat meresahkan warga sekitar, khususnya Desa Siring. Walaupun sejauh ini belum ada penelitian mengenai dampak pencemaran tersebut, warga khawatir hal tersebut akan berdampak buruk terhadap kesehatan mereka. Adapun lumpur yang mencemari sawah diprediksi akan merusak tanaman dan struktur tanah.

    External Relations Coordinator PT Lapindo Brantas Arief Setyo Widodo mengatakan, pihaknya akan membuat tanggul di sekitar rawa. Tujuannya untuk mencegah lumpur meluas ke areal sawah warga.

    Menurut Syahdun, mekanik pengeboran PT Tiga Musim Mas Jaya, semburan gas itu disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Hal itu terjadi sekitar pukul 04.30 setelah bor macet saat akan diangkat ke atas untuk mengganti rangkaian.

    Akibat gas tidak bisa keluar ke atas melalui saluran fire pit dalam rangkain pipa bor, lanjut Syahdun, gas menekan ke samping dan akhirnya keluar ke permukaan melalui rawa.

    Sementara itu, pada Senin malam, PT Lapindo Brantas dan warga Desa Siring mengadakan pertemuan. Salah satu agenda yang dibicarakan adalah soal kompensasi untuk warga Desa Siring. Desa tersebut merupakan desa terdekat dari lokasi semburan. Jaraknya sekitar 150 meter.

    Akan tetapi, belum ada titik temu pada pertemuan tersebut. Menurut Arief Setyo Widodo, warga menghendaki uang kompensasi Rp 500.000 per keluarga. Namun, PT Lapindo menawarkan paket sembako senilai Rp 50.000.

    “Pembicaraan tentang kompensasi akan diteruskan setelah semburan gas dan lumpur tertangani. Saat ini kami fokus menghentikan gas dan lumpur dulu,” ujar Arief.

    Kepala Sub Dinas Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sidoarjo Yohanes Siswojo menyatakan, ada kemungkinan air, udara, dan tanah tercemar. Namun, kepastiannya harus menunggu uji laboratorium.

    Kemarin, sekitar pukul 11.00, tim Health Safety dan Environment PT Lapindo Brantas mengambil sampel lumpur. Sampel itu dimasukkan dalam jeriken dengan kapasitas sekitar 5 liter. Setelah itu Laboratoium Forensik Kepolisian Daerah Jatim juga mengambil sampel.

    Sumber: Harian Kompas, 31 Mei 2006.