Tag: Grup Bakrie

  • BNBR Suntik USD150 Juta untuk Bangun Coating Plant

    BNBR Suntik USD150 Juta untuk Bangun Coating Plant

    Jakarta, Metrotvnews.com — PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) mengalokasikan dana investasi sebesar USD150 juta melalui anak usahanya, PT Bakrie Pipe Industries (BPI). Dana tersebut akan disalurkan secara bertahap untuk membangun pelapisan pipa baja (coating plant).

    “Ekspansi kami guna menjaga pertumbuhan di tengah lesunya perekonomian saat ini yang diperkirakan masih akan diliputi ketidakpastian atau krisis belum akan selesai,” ujar Direktur Utama Bakrie & Brothers Bobby Gafur Umar, ketika ditemui usai RUPST, di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Kamis (18/6/2015).

    Dampak pelemahan rupiah terhadap dolar AS (USD) juga membuat perseroan lebih fokus untuk menjalankan usaha dengan efisiensi di segala bidang. Sehingga perseroan dapat meraih kinerja positif yang telah berhasil diraih pada tahun lalu.

    Sejumlah inisiatif strategis telah dilakukan perseroan dalam mengembangkan usaha, salah satunya mendorong pengembangan bisnis anak-anak usaha nonpublik yang bergerak di sektor manufaktur.

    “Peresmian coating plant menjadi momentum penting bagi industri baja nasional dan industri pipa baja khususnya. Ini merupakan tahap pertama, dari rencana investasi kami senilai USD150 juta, untuk mengembangkan industri pipa dan produk pendukung milik Bakrie,” ungkapnya.

    Pengerjaan coating plant, menurut Bobby, diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pipa bagi pengguna di daratan (on shore) dan bawah laut. Fungsi lainnya bisa mendukung rencana pemerintah membangun jaringan pipa dalam program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke Gas.

    “Anak usaha lain yang bergerak di bidang industri metal, dan bahan bangunan juga prospektif, seiring gencarnya pemerintah mendorong percepatan pembangunan infrastruktur,” tutur Bobby.

    Sementara di sektor manufaktur, tambah dia, diklaim memiliki kemampuan kuat untuk menjadi motor utama. karena masih memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan bagi perusahaan.

    “Tiga anak usaha dibidang manufaktur yang menjadi motor utama itu meliputi PT Bakrie Metal Industries, PT Bakrie Autoparts dan PT Bakrie Building Industries,” tukasnya.

    Dian Ihsan Siregar

    http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/06/18/138045/bnbr-suntik-usd150-juta-untuk-bangun-coating-plant

  • Perusahaan Migas Grup Bakrie Cari Utang US$ 200 Juta

    Perusahaan Migas Grup Bakrie Cari Utang US$ 200 Juta

    Jakarta, CNN Indonesia — Manajemen PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) melansir tengah mencari pinjaman senilai US$ 200 juta yang rencananya bakal digunakan untuk merestrukturisasi utang jangka pendek perseroan (refinancing) sebesar US$ 134 juta.

    Presiden Direktur Energi Mega Persada, Imam P Agustino mengatakan selain untuk menutupi utang jangka pendek, sisa pinjaman sindikasi atau berkisar US$ 64 juta juga akan dipakai untuk menggenapi angka belanja modal (capital expenditure/capex) perseroan tahun ini yang mencapai US$ 218 juta.

    Sementara sisa capex sebesar US$ 154 juta akan ditutupi dari kas perseroan. “Kami pastikan kalau bunga pinjaman tersebut tidak akan lebih besar daripada yang (pinjaman) sebelumnya. Karena pada dasarnya pinjaman ini untuk refinancing,” ujar Imam di Jakarta, Rabu (17/6).

    Sebagaimana diketahui, dalam laporan keuangan perseroan 2014 Energi Mega Persada memiliki total liabilitas sebesar US$ 1,29 miliar yang terdiri dari kewajiban jangka panjang senilai US$ 581 juta, dan kewajiban jangka pendek mencapai US$ 715 juta.

    Dari liabilitas jangka pendeknya, Imam bilang tercatat utang yang memasuki jatuh tempo tahun ini mencapai US$ 102 juta.

    Lebih lanjut, untuk memperoleh pinjaman, manajemen perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Bakrie itu telah mengantongi restu dari mayoritas pemegang saham guna menjaminkan aset perseroan dan anak usahanya.

    “Ini hal yang biasa kami lakukan. Sedangkan sindikasi kredit tadi dari beberapa bank asing tapi kita tidak bisa sebut namanya,” tuturnya.

    Dari catatan CNN Indonesia, selain dari perbankan sumber pinjaman Energi Mega Persada juga akan berasal dari satu lembaga pendanaan yakni Farallon Capital dengan besaran bunga London Inter-bank Offer Rate (LIBOR) mencapai 18 persen per tahun. Dimana angka ini diketahui lebih rendah dari pinjaman sindikasi sebelumnya yang memiliki bunga mencapai 20 persen.

    Serapan Belanja Modal

    Sementara untuk pemanfaatan belanja modal tahun ini, tambah Imam, hingga akhir Mei 2015 kemarin serapan belanja modal perseroan telah menyentuh angka 40 persen. Adapun penggunaan capex tersebut digunakan untuk perawatan production facilities, hingga kegiatan pemboran sumur-sumur migas yang dikelola perseroan dan anak usahanya.

    “Tahun ini kami hanya akan berfokus pada pengembangan blok-blok migas yang sudah perseroan miliki. Jadi capex hanya akan dipakai untuk kegiatan perawatan sumur dan tidak ada rencana akuisisi working interest di blok lain,” katanya.

    Diemas Kresna Duta

    http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150618074758-85-60747/perusahaan-migas-grup-bakrie-cari-utang-us–200-juta/

  • Lumpur Lapindo: Menakar Kemampuan Grup Bakrie

    Lumpur Lapindo: Menakar Kemampuan Grup Bakrie

    Jakarta, CNN Indonesia — Sembilan tahun sudah lumpur dan gas terus menyembur di Sidoarjo. PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan tunjukan Lapindo Brantas Inc. milik Grup Bakrie menjadi penanggung jawab ganti rugi kepada masyarakat. Lantas bagaimana sebenarnya kinerja konglomerasi Bakrie?

    Lapindo Brantas Inc. awalnya merupakan perusahaan eksplorasi minyak dan gas hasil patungan antara PT Energi Mega Persada Tbk milik Grup Bakrie dengan PT Medco Energi Tbk dan Santos Australia. Bakrie mengontrol Lapindo Brantas dengan kepemilikan saham mencapai 50 persen. Sementara Medco dan Santos masing-masing menggenggam 32 dan 18 persen.

    Grup Bakrie yang mengendalikan aspek hulu unit Migas Energi Mega Persada membentuk PT Lapindo Brantas pada tahun 1996 dengan membeli saham Huffington Corporations yang dimiliki Amerika Serikat serta perusahaan pengapalan Blok Brantas di Jawa Timur, Indonesia.

    Blok Brantas seluas 15.000 kilometer persegi diberikan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas pada tahun 1990. Setelah dua kali penyerahan wajib, wilayah kontrak karya milik Lapindo Brantas menjadi seluas 3.050 kilometer persegi.

    Kontrak pembagian produksi Brantas telah mengebor delapan sumur eksplorasi dari tahun 1993 hingga 2001 yang berujung pada ditemukannya ladang gas Wunut 30 kilometer di selatan Surabaya. Ladang Wunut mulai dieksplorasi pada Januari 1999.

    Dari sisi kinerja terakhir, PT Energi Mega Persada Tbk selaku pengendali PT Lapindo Brantas mencatatkan performa yang buruk sepanjang 2014. Perseroan tercatat hanya mencetak laba bersih US$ 37,03 juta, anjlok 78,24 persen dari perolehan 2013 sebesar US$ 170,27 juta.

    Perseroan menyatakan jebloknya laba bersih tersebut akibat dari penjualan Blok Masela yang hasilnya hanya dibukukan sekali saja pada 2013. Penjualan Blok Masela tercatat menambah laba sebesar US$ 163,68 juta.

    “Tanpa laba tersebut, laba bersih perusahaan sebenarnya meningkat hampir enam kali dari tahun sebelumnya,” ujar Imam Agustino, Direktur Utama Energi Mega Persada dalam keterangan resmi (29/4).

    Terkait Lapindo Brantas, dalam laporan keuangan Energi Mega Persada tercantum bahwa terdapat transaksi dengan pihak berelasi tersebut. Energi Mega Persada tercatat memiliki piutang kepada Lapindo Brantas senilai US$ 73,59 juta.

    Untuk diketahui, piutang kepada Lapindo Brantas tersebut merupakan pemberian pinjaman, tanpa bunga dan tanpa jangka waktu pengembalian.

    Kinerja Grup Bakrie

    Hingga saat ini, belum semua perusahaan Grup Bakrie yang melantai di bursa menyampaikan laporan keuangan kuartal I 2015. Parahnya lagi, dua perusahaan Bakrie, yaitu PT Bakrie & Brothers Tbk dan PT Bumi Resources Tbk, bahkan belum menyampaikan laporan keuangan tahun 2014.

    Bumi Resources menyatakan belum bisa mengeluarkan laporan keuangan tahunan 2014 karena perseroan masih berjibaku dengan perhitungan utang. “Kami belum dapat menyampaikan Laporan Keuangan Konsolidasian Tahunan perseroan untuk periode satu tahun yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2014 (audited) karena saat ini Perseroan masih menunggu konfirmasi utang dari beberapa kreditor,” tulis perseroan dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia (8/4).

    Oleh karena itu penghitungan kinerja Grup Bakrie hingga saat ini maksimal bisa dicatat hingga kuartal III 2014. Tercatat, ada 11 perusahaan Bakrie yang melantai di pasar modal Indonesia, antara lain PT Bakrie & Brothers Tbk, PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Bakrieland Development Tbk, PT Visi Media Asia Tbk, dan PT Intermedia Capital Tbk yang laporan keuangannya menggunakan denominasi Rupiah.

    Selain itu terdapat PT Berau Coal Energy Tbk, PT Bumi Resources Minerals Tbk, PT Bumi Resources Tbk, PT Darma Henwa Tbk, dan PT Energi Mega Persada Tbk yang laporan keuangannya menggunakan mata uang Dolar AS.

    Berdasarkan perhitungan, secara total Grup Bakrie masih mengalami rugi bersih pada kuartal III 2014. Enam perusahaanya yang laporan keuangannya menggunakan denominasi rupiah tercatat mencetak rugi bersih Rp 1,76 triliun, turun dari rugi bersih kuartal III 2013 senilai Rp 2,18 triliun.

    Sementara untuk perusahaannya yang menggunakan mata uang Dolar AS dalam laporan keuangannya, tercatat mencetak rugi bersih US$ 113,9 juta. Jumlah itu turun dari rugi bersih triwulan III 2013 senilai US$ 289,21 juta.

    Jika ditotal, maka sepanjang kuartal III 2014, Grup Bakrie masih menelan rugi bersih senilai Rp 1,76 triliun dan US$ 289,21 juta.

    Aset dan Kewajiban

    Lebih lanjut, jika dihitung, maka total aset dari enam perusahaan Bakrie yang laporan keuangannya menggunakan denominasi rupiah tercatat mencapai Rp 57,53 triliun hingga triwulan III 2014. Sementara jumlah liabilitas atau kewajiban enam perusahaan tersebut mencapai Rp 46,75 triliun. Adapun Rp 34,41 triliun di antaranya merupakan kewajiban jangka pendek.

    Untuk perusahaan Grup Bakrie yang laporan keuangannya menggunakan mata uang Dolar AS, hingga triwulan III 2014 aset totalnya mencapai senilai US$ 12,95 miliar. Sementara jumlah kewajiban atau liabilitas tercatat mencapai US$ 11,01 miliar. Sebanyak US$ 7,89 miliar merupakan kewajiban jangka pendek, namun tak termasuk milik PT Berau Coal Energy Tbk.

    Kepala Riset PT Universal Broker Indonesia, Satrio Utomo, mengatakan sebenarnya Grup Bakrie sudah mengeluarkan banyak uang untuk masalah Lapindo tersebut. Namun waktu jatuh tempo utang tidak ada yang tahu, meski pemerintah akhirnya turun tangan.

    “Langkah pemerintah sudah cukup cerdas. Kalau pun bencana itu bisa diselesaikan, itu merupakan lahan yang luas dan bagus, apalagi di Sidoarjo yang dekat Surabaya. Pemerintah mendapat aset yang murah. Namun kalau tidak selesai, bergantung kebijakan pemerintah nantinya,” kata Satrio kepada CNN Indonesia, Jumat (29/5).

    Dari sisi kinerja Grup Bakrie, Satrio menilai problem terbesar konglomerasi tersebut selain Lapindo adalah terkait cara mengelola utang. Menurutnya Grup Bakrie suka membeli aset, namun terlalu agresif dalam berutang. Meski aset masih mampu menyelesaikan kewajiban, adanya pembayaran utang disertai bunga bertahap menjadi masalah yang pelik.

    “Apalagi beberapa utang di antaranya berbunga tinggi. Jadi terlihat kurang prudent. Harusnya ada roadmap baru dalam memperbaiki kebijakan berutang, juga kualitas utang. Apalagi perseroan sempat berutang dengan jaminan komoditas batubara yang harganya sedang melorot,” ujar Satrio. 

    Giras Pasopati

    Sumber: http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150529171044-92-56584/lumpur-lapindo-menakar-kemampuan-grup-bakrie/

  • BUMI-Bakrie Bangkit dari Mati Suri, Setelah Sinarmas Selamatkan BRAU

    BUMI-Bakrie Bangkit dari Mati Suri, Setelah Sinarmas Selamatkan BRAU

    Bareksa.com – Banyak investor kini bertanya-tanya ihwal kebangkitan harga saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) milik keluarga Bakrie. Bagaimana sebenarnya proses restrukturisasi utang perusahaan tambang batubara raksasa yang nilainya mencapai Rp45 triliun per akhir September 2014 itu? Apakah dalam proses restrukturisasi ini, Grup Sinarmas akan turut masuk? Analis Bareksa mencoba menelusurinya.

    Pada penutupan perdagangan Senin 11 Mei 2015, harga saham BUMI tercatat naik 2 persen, serta mencatat rekor volume dan nilai transaksi terbesar sejak 14 Januari 2015. Bahkan, per jam 13.30 WIB, harga BUMI sempat melonjak 7,92 persen. Padahal, pada akhir pekan lalu, 8 Mei, harga saham BUMI sudah tiba-tiba melesat 27,85 persen ke harga Rp101 per saham.

    Ada apa gerangan?

    Sehari sebelumnya, 7 Mei, di bursa saham London, Asia Resources Mineral Plc (ARMS) – induk PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) – mengumumkan sedang menelaah lebih lanjut penawaran pembelian saham oleh Asia Coal Energy Ventures Ltd (ACE) dan Argyle Street Management Limited, perusahaan investasi yang terafiliasi dengan Grup Sinarmas.

    ARMS, yang dulunya bernama Bumi Plc, merupakan wadah investasi Nathaniel Rothschild saat menggandeng Grup Bakrie pada akhir Juni 2011 lalu.

    Lalu kemudian terjadi konflik hebat antara dua kelompok taikun ini, yang mengakibatkan Grup Bakrie menarik saham BUMI dari ARMS melalui bantuan Samin Tan, pemilik tambang batubara PT Borneo Lumbung Energy & Metal Tbk (BORN). Semenjak itu, aset tambang batubara milik ARMS hanya tersisa BRAU.

    Samin Tan menggantikan posisi Bakrie dengan menguasai 47,6 persen saham ARMS.

    BRAU sendiri sedang dililit utang obligasi senilai $450 juta yang akan jatuh tempo pada tahun 2015 dan $500 juta lainnya pada 2017. Untuk itu, ARMS selaku pemegang saham berencana menerbitkan saham baru guna menyelamatkan BRAU dari potensi ancaman gagal bayar (default).

    Dalam kondisi terdesak ini, Rothschild berusaha mengambil alih ARMS dengan mengajukan penawaran untuk membeli saham baru yang akan dikeluarkan. Samin Tan sendiri dalam keadaan tidak berdaya karena sudah dijepit tumpukan utang akibat aksinya membeli ARMS dari Bakrie.

    Nah, tiba-tiba muncullah “sang juru selamat,” Grup Sinarmas, yang melalui ACE dan Argyle menyorongkan penawaran tandingan dengan harga yang lebih tinggi dari yang diajukan Rothschild, untuk menyerap saham baru ARMS.

    Bagaimana BUMI?

    Setali tiga uang dengan BRAU, BUMI juga sedang dicekik utang raksasa. Berdasarkan laporan keuangan BUMI per September 2014, saldo pinjaman jangka panjang mencapai $3,5 miliar dolar atau Rp45 triliun (asumsi kurs Rp13.000 per dolar AS).

    Lebih parah lagi, di bagian penjelasan disebutkan bahwa mayoritas utang tersebut sudah masuk dalam kategori macet (default). Bahkan, posisi ekuitas BUMI juga sudah negatif $320 juta atau Rp4,1 triliun.

    Seluruh utang dalam kategori default sesuai ketentuan cross default dalam perjanjian akibat BUMI gagal bayar dengan kelompok usaha atas pembayaran pokok dan atau bunga pinjaman lainnya saat jatuh tempo.

    Tabel Daftar Utang Default BUMI Per Akhir September 2014

    Daftar hutang BUMI per September 2014

    Sebelumnya diberitakan bahwa BUMI akan melakukan private placement untuk merestrukturisasi utang tersebut.

    Tetapi jika aksi tersebut hanya mengkonversi utang ke saham, maka BUMI sama sekali tidak memperoleh uang tunai. Artinya, tidak ada tambahan nilai bagi pemegang saham lama. Ini seperti yang terjadi pada bulan Juli tahun lalu, di mana pemegang saham minoritas justru terdilusi 60,7 persen akibat penerbitan 32,19 miliar saham baru BUMI.

    Dalam proses tersebut BUMI mengkonversi utang milik China Investment Corporation (CIC). Pada September 2009, CIC memberikan pinjaman kepada BUMI melalui anak usaha yakni Country Forest Ltd (CFL) senilai $1,9 miliar dengan bunga 12 persen per tahun. Lalu pada November 2011, BUMI melakukan pelunasan awal $600 juta atas utang ini, sehingga utang terhadap CFL berkurang menjadi hanya $1,3 miliar.

    Baru pada Oktober 2013, BUMI dan CFL sama-sama membuat kesepakatan untuk membayar sisa hutang dan bunga yang jatuh tempo. Salah satu dari isi perjanjian menyebut ketika BUMI melakukan penerbitan saham baru (right issue), maka utang CFL $150 juta akan ditukar dengan 6,2 miliar saham baru atau setara dengan 18,9 persen kepemilikan.

    Namun saat aksi right issue ini dilakukan pada Juni 2014, bukan CFL yang menyerap saham baru BUMI melainkan pemegang saham utama BUMI, Long Haul Ltd melalui agen fasilitas PT Karsa Daya Rekatama. Dalam penjelasan di materi persentasi November 2014 hanya disebutkan BUMI telah melunasi utang CIC senilai $150 juta. Dengan pelunasan tersebut dan pemenuhan syarat lain sesuai perjanjian, utang BUMI terhadap CFL pun berkurang menjadi hanya sekitar $1 miliar.

    Selain CIC, dalam aksi right issue BUMI juga melakukan konversi utang Castleford Investment Holdings yang seluruhnya bernilai $150 juta dengan 6,2 miliar saham baru atau setara dengan 18,9 persen kepemilikan. Castleford menunjuk PT Damar Reka Energi sebagai agen fasilitas penyerapan saham baru tersebut.

    Yang menarik kepemilikan saham atas nama dua agen fasilitas ini terus berkurang. Berdasarkan laporan pemegang saham per April 2015, kepemilikan atas nama Karsa Daya Rekatama turun menjadi di bawah 5 persen sedangkan atas nama Damar Reka Energi hanya bersisa 6,28 persen.

    Ini menunjukkan konversi hutang hanya mengubah peta kepemilikan BUMI. Berbeda halnya jika ada investor baru yang memberikan dana segar sehingga bisa memperbaiki struktur modal BUMI.

    Head of Research Syailendra Capital Lanang Trihardian mengungkapkan bahwa kenaikan harga saham BUMI saat ini lebih didorong oleh unsur spekulasi pelaku pasar atas restrukturisasi utang-utang BUMI.

    “Karena restrukturisasi utang BUMI kan masih berlangsung dan rencananya seluruh utangnya akan dikonversi ke saham melalui debt-to-equity swap. Market melihat proses ini berjalan lancar, sehingga banyak yang mulai masuk ke saham BUMI. Sentimen serupa juga tampak pada kenaikan harga obligasi BUMI.”

    Pandangan serupa diutarakan Head of Research NH Korindo Securities Reza Priambada. Menurutnya, kenaikan harga saham BUMI lebih didorong oleh sentimen dari proses restrukturisasi utang BUMI.

    “Dari isu yang beredar di market, ada yang bilang bahwa rencana restrukturisasi utang BUMI akan selesai di kuartal II-2015. Dan banyak yang berasumsi bahwa prosesnya berjalan lancar karena hingga saat ini tidak ada berita negatif mengenai proses ini.”

    Reza menambahkan kenaikan harga saham BUMI tidak ada hubungannya dengan tawaran Sinarmas atas ARMS. “Karena ARMS sekarang kan punya Rothschild dan Samin Tan. Selain itu, Sinarmas sudah punya Dian Swastatika Sentosa (DSSA).”

    Untuk dicatat, Grup Sinarmas – yang luas dikenal memiliki sejarah panjang hubungan baik dengan keluarga Bakrie – sebelumnya pernah membeli 3 hektar lahan di Superblok Rasuna Epicentrum Jakarta milik PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) pada tahun 2013 melalui PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE).

    Apakah Grup Sinarmas bakal kembali turun tangan “menolong” Bakrie dalam private placement BUMI

    Ni Putu Kurniasari & Suhendra, tambahan laporan dari Adam Rizky Nugroho

    Sumber: http://www.bareksa.com/id/text/2015/05/12/bumibakrie-bangkit-dari-mati-suri-setelah-sinarmas-selamatkan-brau/10481/analysis

  • Rugi Bersih Bumi Resources Minerals Kian Bengkak

    Rugi Bersih Bumi Resources Minerals Kian Bengkak

    Bisnis.com, JAKARTA – Emiten Group Bakrie, PT Bumi Resources Minerals Tbk. (BRMS) masih membukukan rugi bersih US$ 17,8 juta setara dengan Rp 231,4 miliar pada kuartal I/2015, membengkak 35% dari rugi periode yang sama tahun sebelumnya US$ 13,17 juta.

    Berdasarkan laporan keuangan perseroan, Kamis (30/4/2015), disebutkan pendapatan merosot 35% menjadi US$ 3,15 juta dibandingkan dengan tiga bulan pertama tahun lalu US$ 4,89 juta.

    Emiten berkode saham BRMS tersebut berhasil menekan beban usaha menjadi US$ 1,3 juta dari US$ 1,99 juta. Namun, laba usaha perseroan merosot menjadi US$ 1,84 juta dari US$ 2,9 juta.

    Rugi sebelum pajak mengecil menjadi US$ 27,46 juta dari US$ 28,91 juta. Rugi netto tercatat melorot menjadi US$ 19,2 juta dari US$ 28,18 juta.

    Hingga akhir kuartal I/2015, total aset Bumi Resources Minerals mencapai US $1,87 miliar dari akhir tahun lalu US $1,86 miliar. Liabilitas mencapai US$ 732,89 juta dari US$ 703,75 juta dan ekuitas US$ 1,13 miliar dari US$ 1,15 miliar.

    Per 31 Maret 2015, saham Bumi Resources Minerals dikuasai oleh PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) sebesar 87,09%, PT Prudential Life Assurance 8,54%, dan publik 4,37%.

    Sukirno

  • Aksi Sinarmas Menadah Aset Bakrie

    Aksi Sinarmas Menadah Aset Bakrie

    JAKARTA, KOMPAS.com – Gencarnya aksi Grup Sinar Mas mengincar aset Grup Bakrie mencuatkan banyak tanya. Salah satunya adalah dugaan adanya motif tersembunyi atas aksi Grup Sinarmas yang terus menadah aset-aset Grup Bakrie.

    Kabar yang beredar di kalangan pebisnis menyebut, kedekatan Franky Oesman Widjaja, salah satu putra mahkota  taipan Eka Tjipta Widjaja dengan Nirwan Bakrie disebut-sebut menjadi alasan. Sinarmas  mencoba  membangunkan bisnis Bakrie Grup yang tengah surut.

    Sayang, Nirwan yang selama ini disebut-sebut sebagai otak bisnis dalam Grup Bakrie tak bisa dikonfirmasi. Tapi, jawaban datang dari Managing Director Grup Sinar Mas Soeherman Gandi Sulistiyanto. Dia menyangkal kabar tersebut. “Tidak ada hubungannya, kecuali pertimbangan bisnis,” tandas Gandi, panggilan karibnya kepada Kontan, Jumat (24/4/2015).

    Biro Riset Kontan mencatat, aksi Sinarmas mengoleksi aset Bakrie sudah dimulai sejak tahun 2013. Kala itu, Sinar Mas melalui PT Bumi Serpong Damai Tbk membeli 3 hektare (ha) lahan di superblok Rasuna Epicentrum Jakarta milik PT Bakrieland Development Tbk. Sinarmas mengeluarkan dana investasi  sebesar Rp 868,93 miliar untuk mendanai aksi korporasi itu. Rencananya, Sinarmas akan mendirikan apartemen di lahan tersebut.

    Tak puas sampai disitu. Pada tahun 2014, Sinarmas kembali mengambil alih mal Epicentrum Walk yang berada di Rasuna Epicentrum. Nilai investasi atas aksi korporasi itu Rp 297 miliar. Melalui anak usaha lain yang bergerak di bisnis perkebunan, yakni Golden Agri Resources Ltd, perusahaan ini menadah dua aset lahan sawit seluas 16.000 hektare milik PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk senilai 178 juta dollar AS.

    Pada akhir tahun 2014 lalu, PT Smarfren Telecom, perusahaan telekomunikasi yang dimiliki Sinarmas juga telah merangsek masuk ke Bakrie Telecom, dengan kerjasama pemakaian jaringan.

    Sinarmas juga agresif memborong saham Grup MNC yang mengempit aset eks Bakrie. Belum lama ini, lewat Argyle Street Management Limited (ASML) Sinarmas membeli 5 persen saham PT MNC Land Tbk (KPIG). Dan, portofolio MNC Land adalah lahan eks Bakrie antara Lido Resort, jalan ton dan Bali Nirwana Resort.

    Yang terakhir, konglomerasi yang dibangun taipan Eka Tjipta itu ingin menguasai PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU), salah satu tentakel bisnis Bakrie di pertambangan batubara. Lewat ASML, Sinarmas menawar 100 persen saham Asia Resource Minerals Plc (ARMS), induk usaha BRAU. Saat ini, ASML mengempit 11,1 juta, setara 4,65 persen saham ARMS yang tercatat di Bursa Efek London.

    Adapun, pengendali saham ARMS adalah Samin Tan yang menguasai 47,6 persen saham ARMS, yaitu 23,8 persen melalui PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN) dan 23,8 persen melalui Ravenwood.

    ASML menawar saham ARMS seharga 41 pence per saham. Perusahaan ini juga berjanji menyuntikkan dana segar 150 juta dollar AS ke ARMS sebagai salah satu alternatif restrukturisasi utangnya. Asal tahu saja, BRAU memiliki utang senilai 950 juta dollar AS yang jatuh tempo tahun ini dan tahun 2017.

    Namun, niat ASML tersebut bisa jadi tak mulus karena Nathaniel Rothschild juga berambisi menguasai saham mayoritas ARMS. Saat ini Rothschild menggenggam 17,5 persen saham ARMS.

    Adisti Dini Indreswari

    Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/04/25/224800826/Aksi.Sinarmas.Menadah.Aset.Bakrie

  • Bumi Plc Memanas Lagi

    Bumi Plc Memanas Lagi

    Bekas penasihat Rothschild mengajukan proposal penawaran atas Asia Resource Minerals Plc

    Bareksa – Pertarungan memperebutkan Bumi Plc memasuki babak baru. Ian Hannam, sang pemicu peperangan itu. Bankir komoditas veteran itu menyiapkan penawaran terhadap Asia Resource Minerals Plc (ARMS). Perusahaan batu bara yang beroperasi di Kalimantan Timur, Indonesia itu dulu bernama Bumi Plc, tapi berganti nama menjadi Asia Resource Minerals Plc pada 2013.

    Penawaran potensial terhadap oleh Asia Coal Energy Ventures (ACE) seperti dilansir Bloomberg Business, memanaskan tensi antara Hannam dan Nathaniel Rothschild, pendiri Bumi Plc. Hannam sendiri dulu sebenarnya ikut membantu Rothschild menuntaskan transaksi terhadap Bumi Plc. dengan keluarga Bakrie, selaku pengendali PT Bumi Resources Tbk. Rothschild menyatakan kekeliruannya adalah terlalu bergantung pada nasihat dari Hannam. Hannam sebelumnya merupakan bankir senior di JPMorgan Chase & Co. Belakangan, Hannam mundur dari JPMorgan dan mendirikan Hannam & Partners, dan menjadi penasihat ACE.

    Pada 2010, Hannam bersama Rothschild mengajukan penawaran senilai US$ 3 miliar untuk transaksi Bumi Resources yang dikendalikan keluarga Bakrie. “Kesalahan kami adalah terlalu bergantung pada kedekatan hubungan antara Hannam dan JPMorgan dengan keluarga Bakrie,” ujar Rothschild dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg tahun lalu. Hubungan Rothschild dengan keluarga Bakrie pun akhirnya retak dan mereka akhirnya berpisah pada 2013. Rothschild memberi ganti rugi US$ 501 juta dan mengganti nama Bumi Plc menjadi Asia Resource Minerals Plc.

    ACE mempertimbangkan penawaran harga 41 pence per lembar untuk mengakuisisi ARMS. Harga itu setara 173 persen premium di atas harga penutupan saham ARMS pada 13 April. Selain harga penawaran itu, ACE berjanji akan menyuntik dana segar US$150 juta kepada perusahaan yang memiliki tiga konsesi batu baru di Lati, Binungan, dan Samabara seluas 118.400 hektare di Kalimantan Timur itu. Sontak saja, penawaran dari Hannam itu mengancam rencana paket penyelamatan yang diajukan oleh Rothschild.

    Pada Februari, Rothschild setuju menanggung ekuitas senilai $100 juta untuk membantu ARMS menegosiasikan utang obligasi senilai $950 juta, sekaligus menghindar dari default. Sebelumnya, dalam sebuah voting, ia berhasil mengalahkan Samin Tan–bekas chairman Bumi Plc—yang yang mencoba mendapatkan kontrol dari dewan direksi.

    Pada 22 April, para pemegang saham ARMS akan memberi suara atas rencana usulan pendanaan oleh Rothschild NR Holdings. “Kami mendesak investor untuk menolak upaya oportunistik oleh NR Holdings menguasai ARMS tanpa membuat tawaran penuh dan adil kepada pemegang saham lainnya,” kata ACE dalam pernyataannya. “Kami menyambut baik keterlibatan kelompok figur Sinar Mas sebagai ‘kesatria’ untuk aset ini kunci Indonesia.”

    Manajemen ARMS dalam pernyataan resmi menyebutkan belum ada komunikasi langsung dengan ACE dan akan member pernyataan resmi pada waktunya. ACE didukung oleh Argyle Street Management Ltd., yang menguasai 4,7 persen saham ARMS. Di sisi lain, Sinar Mas Grup, perusahaan milik taipan Eka Tjipta Widjaja mendesak ARMS untuk segera membicarakan proposal penawaran tersebut. Sebaliknya, ACE tetap akan mengajukan proposal meski dewan direksi menolak penawaran tersebut.

    Selain ACE, Raiffeisen Bank International AG Austria menguasai 23,8 persen hak suara (voting rights) saham ARMS, Samin Tan dan Rothschild sama-sama memiliki hak suara 17.5 persen. Di Indonesia, ARMS mengendalikan PT Berau Coal Tbk. (BRAU). Harga saham BRAU diperdagangkan pada Rp 83 per lembar pada Rabu, 15 April 2015 di Bursa Efek Indonesia.

    Padjar Iswara

    Sumber: http://www.bareksa.com/id/text/2015/04/15/bumi-plc-memanas-lagi/10159/analysis

  • Perusahaan Minyak Bakrie Klaim Dapat Tambahan Produksi

    Perusahaan Minyak Bakrie Klaim Dapat Tambahan Produksi

    Jakarta, CNN Indonesia — Manajemen PT Energi Mega Persada Tbk (EMP), anak usaha Bakrie Group di bidang minyak dan gas bumi (migas) melansir berhasil mendapatkan tambahan produksi minyak sebanyak 300 barel per hari (BPH) dari blok Malacca Strait PSC.

    Imam P. Agustino, Presiden Direktur EMP mengatakan adanya tambahan produksi tersebut diyakini akan menjaga performa keuangan perseroan di tengah rendahnya harga minyak dunia. “Tambahan produksi tersebut akan berdampak positif terhadap kinerja keuangan perusahaan,” ujar Imam di Jakarta, Selasa (24/2).

    Blok Malacca Strait sendiri merupakan satu dari beberapa blok migas yang berada di Riau. Akan tetapi, kata Agustino, pihaknya mengklaim telah berhasil mengembangkan lapangan minyak baru terlepas dari usia blok tersebut yang sudah cukup tua.

    Dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) blok tersebut, EMP memiliki participating interest (PI) sebesar 60,49 persen di Malacca Strait. Sementara sisanya sekitar 32,58 persen dikantongi OOGC Malacca Ltd dan 6,93 persen dimiliki Malacca Petroleum Ltd.

    “Dari Januari hingga Desember 2014, blok Malacca Strait PSC berhasil memproduksi minyak 3.201 BPH dan gas sebanyak 6,2 juta kaki kubik gas per hari (MMSCFD),” kata Imam.

    Berdasarkan catatan, EMP memiliki PI di 12 blok migas yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Tahun lalu, angka produksi minyak EMP mencapai 12.800 BPH dan gas sebanyak 226 MMSCFD. (gen)

    Diemas Kresna Duta

    Sumber: http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150224120518-85-34396/perusahaan-minyak-bakrie-klaim-dapat-tambahan-produksi/

  • Grup Bakrie Restrukturisasi Utang Hingga Rp 69 T

    Jakarta – Sebanyak enam emiten Grup Bakrie akan merestrukturisasi utangnya hingga senilai US$ 5,4 miliar atau sekitar Rp 69,2 triliun pada 2015. Beberapa opsi restrukturisasi yang ditawarkan kepada kreditor antara lain konversi utang menjadi saham (debt to equity swap), perpanjangan jatuh tempo, dan penurunan bunga.

    Enam emiten tersebut adalah PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL), PT Bakrieland Development Tbk (ELTY), PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP), PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR), dan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS). Per Juni 2014, total utang jangka pendek dan jangka panjang emiten-emiten tersebut sekitar Rp 84,5 triliun.

    Perusahaan batubara milik Grup Bakrie, yaitu Bumi Resources, memiliki nilai restrukturisasi utang terbesar mencapai US$ 3,7 miliar atau setara Rp 47,3 triliun. Selanjutnya, perusahaan perkebunan kelapa sawit, Bakrie Plantations, yang akan merestrukturisasi utang sebesar US$ 680 juta atau sekitar Rp 8,5 triliun.

    Adapun nilai restrukturisasi utang Bakrie Telecom, operator telekomunikasi dengan merek dagang Esia, mencapai US$ 380 juta (Rp 4,7 triliun). Perseroan siap mengamortisasi dan menukar utang wesel senior tersebut dengan saham.

    Selain Bakrie Telecom, Bakrie & Brothers juga berencana menukar utang dengan saham perseroan. Nilai share swap perusahaan investasi milik Grup Bakrie tersebut sekitar Rp 4,5- Rp 5,3 triliun.

    Sementara itu, Bakrieland yang merupakan perusahaan properti sedang memproses restrukturisasi obligasi sebesar US$ 155 juta (Rp 1,9 triliun). Sedangkan perusahaan emas dan mineral, Bumi Minerals, siap merestrukturisasi utang senilai US$ 100 juta (Rp 1,2 triliun) dengan cara memperpanjang jatuh tempo.

    Manajemen Bumi Resources menyatakan, pihaknya tengah berdiskusi dengan para kreditor soal skema restrukturisasi. Beberapa opsi yang bisa ditempuh antara lain penjualan aset, tukar saham, pemangkasan kupon obligasi, dan perpanjangan jatuh tempo.

    “Dalam enam bulan, proposal sudah harus dipresentasikan di hadapan pengadilan. Kami optimistis rencana ini dapat direalisasikan dalam waktu yang singkat,” kata Direktur Bumi Resources Andrew Beckham.

    Sementara itu, Bakrie Plantations mengharapkan kesepakatan dengan kreditor tercapai pada awal 2015. Sesuai rencana, perseroan akan merestrukturisasi utang sebesar US$ 200 juta kepada Credit Suisse, surat utang berbasis saham (equity linked notes) senilai US$ 80 juta, dan pinjaman konsorsium bank sebesar US$ 400 juta.

    Direktur Keuangan Bakrie Plantations Balakhrisnan Chandrasekaran mengatakan, perseroan mengajukan perpanjangan jatuh tempo menjadi 8-10 tahun. Sedangkan tingkat suku bunga diharapkan turun menjadi sekitar London Inter-Bank Offered Rate (LIBOR) plus 5 persen dari sebelumnya LIBOR plus 9 persen pada pinjaman onshore. “Namun, semua ini belum final,” kata dia.

    Sementara itu, Bakrie & Brothers siap menukar saham perseroan minimal 30 persen untuk melunasi utang sebesar Rp 4,5-5,2 triliun. Nilai share swap itu setara 60-70 persen dari total restrukturisasi utang senilai US$ 600 juta atau sekitar Rp 7,4 triliun.

    Direktur Keuangan Bakrie & Brothers Eddy Soeparno mengatakan, program debt to equity swap akan dilakukan melalui mekanisme penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (non-HMETD) atau non-preemptive rights issue.

    “Porsi saham dan utang yang akan ditukar masih dalam tahap finalisasi. Namun, melihat nilai utang yang cukup tinggi, kemungkinan jumlah saham yang akan ditukar juga bisa lebih besar dari 30 persen,” ujar Eddy.

    Sementara itu, sisa utang sebesar Rp 2,2-2,9 triliun atau 30-40 persen dari total utang akan dilunasi dengan pembayaran tunai. Pelunasan ini dilakukan dengan cara memonetisasi sejumlah aset perseroan.

    Lebih lanjut, Bakrie Telecom siap menukar sebanyak 53 persen saham perseroan dengan utang wesel senior senilai US$ 266 juta. Nilai share swap tersebut setara 70 persen dari total utang wesel yang mencapai US$ 380 juta.

    “Dengan harga pelaksanaan sebesar Rp 200 per saham, perseroan siap mengkonversi sekitar 50 persen saham,” kata Direktur Utama Bakrie Telecom Jastiro Abi.

    Pelunasan

    Di sisi lain, emiten Grup Bakrie lainnya, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) berniat melunasi pinjaman senilai US$ 200 juta kepada Farallon Capital. Sesuai rencana, perusahaan migas tersebut akan menggunakan pinjaman bank untuk refinancing utang tersebut.

    Saat ini, perseroan tengah bernegosiasi dengan Credit Suisse dan Deutsche Bank untuk mendapatkan pinjaman baru. Perseroan berharap dapat memperoleh bunga sebesar 11 persen atau lebih rendah dibandingkan bunga pinjaman yang lama sebesar 18 persen per tahun.

    Sementara itu, perusahaan media milik Grup Bakrie, PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), akan mempercepat pelunasan utang senilai total US$ 220 juta (Rp 2,6 triliun) kepada Credit Suisse. Perseroan akan membayar US$ 110 juta atau sekitar 50 persen dari jumlah utang, dengan dana hasil emisi obligasi. Sisanya akan dibiayai oleh dana hasil penjualan saham anak usahanya, PT Intermedia Capital Tbk (MDIA).

    Antonia Timmerman/FMB

    Sumber: http://www.beritasatu.com/pasar-modal/233361-grup-bakrie-restrukturisasi-utang-hingga-rp-69-t.html

  • Bakrie banking on Energi Mega

    PT Energi Mega Persada is hoping for a healthy performance next year with a plan to boost its annual output by 20 percent and outline a refinancing strategy to push up its bottom line.

    The oil and gas company is one of the few business entities under Aburizal Bakrie that is performing well.

    Energi president director Imam Agustino told reporters on Friday that the company hoped to see its production hit 68,000 barrels of oil equivalent per day (boepd), increasing by around 33 percent from this year’s estimate of around 51,000 boepd.

    Imam said the increase was attributed to additional output from one of its blocks that had been running at full capacity starting this year.

    In the first nine months of this year, the company has produced up to 50,300 boepd, 44 percent of which comes from the company’s Kangean Block in East Java.

    Responding to plunging oil prices, Imam said the company had nothing to worry about as it relied more on gas as its main sales generator.

    In fact, his company hoped to see its revenue grow by around 20 percent from US$807 million last year to $965 billion this year from increasing gas output.

    “About 70 percent of our revenue comes from gas, of which prices are relatively stable because of fixed contracts. Next year we hope the gas contribution will rise to around 75 percent of our total revenue with additional production,” he said.

    In the long run, he said that Energi hoped to see production hitting 200,000 boepd in 2020, be it from maximizing its current assets or through acquisitions.

    Energi, one of four of Bakrie’s firms in the bourse, the shares of which are still traded above Rp 100 (less than 1 cent) apiece, runs 10 blocks, including one in Mozambique, with total proven and potential reserves of 165.5 million barrels of oil equivalent (mboe) that will last around nine years.

    As of the third quarter of this year, the company saw its net sales up from $576.96 million to $603.07 million because of increasing gas prices, while its net profits plunged by 80.2 percent year-on-year to $40.08 million.

    That included gains from selling its Masela Block recorded in the first nine months of last year to pay its outstanding debt.

    To maintain its bottom line, Imam said the company was seeking to replace $170-million loans from Farallon Capital with new loans from Credit Suisse and Deutsche Bank early next year, which is expected to help the firm save $15 million from its interest cost to its net profit next year.

    MNC Securities’ Reza Nugraha said Energi Mega Persada was considered one of the best performers among the seven other Bakrie firms listed in the bourse.

    “Unfortunately, its shares are traded at a very low rate in the stock market simply because it is part of the Bakrie group, which investors have lost trust in,” he explained

    Shares of Energi, listed in the Indonesian Stock Exchange (IDX) under the code ENRG, traded at Rp 108 each on Friday, unchanged from the previous day’s trading.

    The Bakrie group’s eight listed companies, mostly struggling with debt issues and some facing legal disputes concerning their loans, recorded more than Rp 130 trillion of total debts in their January and June financial sheets.

    “Even compared with other energy firms, the company showed a relative healthy performance with its DER [debt-to-equity ratio] standing at around 1.3, while other firms might record between 1.7 and 2.3,” Reza explained.

    Energi’s liabilities stood at Rp 1.4 trillion while its equity was Rp 933.7 billion as of September.

    Reza’s words, however, came with a warning.

    “The Bakrie companies’ ‘tradition’ of selling their assets and sourcing new loans to refinance their debts must be avoided. The good thing [about Energi] is it has pledged to keep boosting its production,” he added.

    Anggi M. Lubis

    Sumber: http://thejakartapost.com/news/2014/12/08/bakrie-banking-energi-mega.html

  • Kejayaan Grup Bakrie di Pasar Modal Sudah Habis

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Masa keemasan saham Grup Bakrie di pasar modal Indonesia tinggal kenangan. Kapitalisasi pasar emiten Grup Bakrie kian menciut, seiring kejatuhan harga saham kelompok usaha tersebut. Kepercayaan investor luntur lantaran beragam restrukturisasi utang Bakrie tak kunjung rampung.

    Kapitalisasi Grup Bakrie tahun ini merosot tajam ketimbang masa kejayaannya pada tahun 2010-2011. Di 2010, kapitalisasi 9 emiten Grup Bakrie Rp 113,27 triliun atau 3,5 persen dari kapitalisasi Bursa Efek Indonesia (BEI). Dan di 2011, total kapitalisasi 10 emiten Grup Bakrie Rp 108,18 triliun (3 persen kapitalisasi BEI). Ini menjadikan saham Bakrie terus menempati daftar emiten terlikuid, LQ 45. Kini, tak satupun saham Bakrie masuk indeks terencer itu.

    Kini, kapitalisasi Bakrie Rp 39,89 triliun, cuma 0,77 persen total kapitalisasi BEI senilai Rp 5.179 triliun. Kejatuhan harga saham itu bersamaan terkoyaknya finansial emiten Bakrie.

    Tengok saja, PT Bumi Resources Tbk (BUMI), mengajukan proteksi dari kemungkinan tuntutan pailit para kreditur. Permohonan diajukan ke Pengadilan Kepailitan di Manhattan, AS, oleh anak usaha BUMI, Bumi Investment Pte Ltd. Permohonan itu sebulan setelah Bumi Investment gagal membayar bunga obligasi Oktober 2014.

    Pada 2008, harga BUMI sempat ke puncak tertinggi di Rp 8.550 per saham. Tapi Jumat (5/12), harga BUMI longsor 99 persen ke Rp 78 per saham. Beberapa harga saham Grup Bakrie seperti UNSP, BNBR, BTEL dan ELTY anteng di angka gocap per saham.

    Kondisi terkini Grup Bakrie masuk radar Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK siap memantau koreksi nilai saham maupun penyebabnya. “Kalau ada indikasi pelanggaran tentu perlu pengawasan khusus,” papar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida, Sabtu (7/12).

    Pengamat Pasar Modal Teguh Hidayat menilai, proteksi kepailitan hanya memberi nafas tambahan ke BUMI, tapi tak memperbaiki fundamental keuangan. Hingga tadi malam, manajemen BUMI belum bisa dimintai konfirmasinya. Direktur Utama BUMI Saptari Hudaya dan Direktur BUMI Dilleep Srivastava tak merespons panggilan telepon dan pesan singkat KONTAN.

    Narita Indrastiti, Yudho Winarto

    Sumber: http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/12/08/kejayaan-grup-bakrie-di-pasar-modal-sudah-habis

  • Utang Bakrie Telekom Sentuh Rp19 Triliun?

    Utang Bakrie Telekom Sentuh Rp19 Triliun?

    Bisnis.com, JAKARTA — Tagihan sementara PT Bakrie Telekom Tbk. yang sudah mendaftar pada pengurus PKPU dilaporkan mencapai Rp19 triliun kendati jumlah tersebut masih bisa berkurang karena belum diverifikasi oleh debitur.

    Pengurus PKPU PT Bakrie Telekom Tbk. (BTEL) William Eduard Daniel mengatakan nominal tagihan sementara tersebut belum merupakan angka final. Berdasarkan pengamatan sementara banyak kreditur yang mengajukan tagihannya berkali-kali.

    “Tagihan yang masuk sampai Rp19 triliun, tetapi jumlah pastinya belum final. Permasalahannya beberapa kreditur ada yang melakukan dua sampai tiga kali klaim, sehingga nilai tersebut belum akurat,” kata William kepada Bisnis, Minggu (7/12/2014).

    Dia menambahkan jumlah tagihan tersebut kemungkinan besar masih bisa berkurang. Biasanya kreditur memasukkan bunga, denda, dan total kerugian selama perjanjian, selain utang pokok saat mengklaim tagihan.

    William menuturkan tagihan tersebut diajukan oleh lebih dari 300 kreditur, tetapi belum bisa diketahui pasti jumlah masing-masing kreditur preferen, separatis, maupun konkuren. Dalam proses PKPU, pembayaran kepada kreditur preferen dan separatis lebih diutamakan.

    Pihaknya akan menyebutkan nominal tagihan yang sudah terverifikasi pada Senin (8/12/2014). Banyaknya kreditur yang mengajukan tagihan menyebabkan proses pencocokan utang dengan debitur membutuhkan waktu lebih lama.

    Secara terpisah, kuasa hukum BTEL GP Aji Wijaya mengklaim utang yang dimiliki sesuai laporan keuangan perusahaan hanya Rp6 triliun. Namun, data yang dimiliki BTEL dan pengurus memang berbeda.

    “Nanti tagihan yang sudah masuk ke pengurus akan kami verifikasi bedasarkan dokumen bukti yang dimiliki perusahaan,” kata Aji.

    Dia menambahkan dari seluruh tagihan tersebut yang sudah terverifikasi baru mencapai kurang dari 100 kreditur. Pihaknya membenarkan adanya kreditur yang mengajukan tagihan melebihi ketentuannya.

    Terdapat salah satu vendor yang mengklaim tagihannya Rp1 triliun, tetapi setelah melalui proses verifikasi ternyata piutangnya hanya Rp430 miliar. Tagihan jatuh waktu yang dihitung hanya sampai dengan tanggal pembacaan putusan PKPU.

    Vendor tersebut adalah PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) yang menjadi penyedia tower bagi BTEL. Nominal tagihan tersebut sudah termasuk bunga sampai tanggal putusan yakni 10 November 2014.

    Menurutnya, proses verifikasi utang berjalan lancar, karena BTEL berupaya untuk tetap terbuka kepada kreditur. Debitur menjelaskan kondisi perusahaan, dari sisi industrinya, dan menggelar beberapa pertemuan informal.

    “Kami terbuka kepada kreditur, makanya mereka apresiasi. Dalam proposal perdamaian yang telah disampaikan, kami juga sudah menjelaskan secara detil,” ujarnya.

    BTEL mengelompokkan kreditur menjadi utang biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan universal service obligation (USO), utang dengan jaminan, dan utang proceeds bonds. Selain itu, utang usaha afiliasi, utang akibat derivatif, utang usaha, utang penyedia tower, dan utang pembiayaan kendaraan.

    Pada utang BHP dan USO, BTEL akan menyelesaikan pembayaran secara tunai yang didahulukan bertahap setelah tanggal homologasi hingga tahun ke-10. Utang dengan jaminan akan dibayar bertahap yang dimulai pada bulan ke-18 setelah homologasi dengan tenor 66 bulan dan bunga 4% per tahun.

    Adapun, pada utang proceeds bonds sebesar 70% dibayar melalui konversi saham dengan harga Rp250 per saham hingga tahun ke-10, sedangkan 30% dibayar bertahap pada bulan ke-18 selama 66 bulan dengan bunga 4%.

    Utang usaha afiliasi akan dibayar seperti utang proceeds bonds, tetapi dengan bunga 5% per tahun. Pembayaran utang akibat derivatif sama seperti utang proceeds bonds, tetapi menggunakan mata uang asing.

    Utang usaha sebanyak 70% melalui konversi saham, sedangkan 30% akan dibayar menggunakan mata uang asing atau Rupiah. Sementara itu, 30% utang penyedia tower akan dibayar dengan tenor 66 bulan, sisanya melalui saham.

    Pembayaran utang pembiayaan kendaraan akan dilakukan sesuai jadwal perjanjian awal yang disepakati.

    Rio Sandy Pradana

    Sumber: http://bandung.bisnis.com/m/read/20141207/34231/522512/utang-bakrie-telekom-sentuh-rp19-triliun

  • Indonesia’s Government Saves the Bakrie Empire

    Thursday, 16 October 2008 – Government companies step up to buy shares in a flailing family group.

    bakrie kartun

    As it has in the past, the Indonesia government stepped in Wednesday to stop the unravelling of the empire of the politically powerful Chief Welfare Minister Aburizal Bakrie with a deal to allow government-owned companies to buy shares in Bakrie concerns – and apparently let the Bakries stay in control.

    Shares in Bakrie & Brothers and its five subsidiaries, PT Bumi Resources, Energi Mega, Bakrieland, Bakrie Telecom and Bakrie Sumatera Plantation were suspended from trading on October 6 amid wild gyrations in their share price that wiped out 30 percent of their value, with a devastating effect on the rest of the local market. The Indonesian Stock Exchange was closed for three days amid the carnage after falling by 21 percent, the biggest fall in 20 years.

    The market reopened Monday but without the Bakrie companies, which remained suspended while the group said it was working on a deal to sell a raft of assets — including a stake in coal miner Bumi, at one time the biggest company on the exchange – to pay off $1.2 billion in debt. Shares in Bumi are down 74 per cent since their peak in June.

    However, the Minister for State Enterprises, Sofyan Djalil said Wednesday that state-owned PT Aneka Tambang and PT Tambang Batubara Bukit Asam would be allowed to buy shares in Bumi if they want, which almost certainly means they will. That way the Bakrie family may still be able to maintain control over the company despite a reduction in their 35 percent stake.

    That decision is likely to be greeted by less than enthusiasm on the part of the electorate, and could spell trouble for President Susilo Bambang Yudhoyono, who has made erasing corruption and cronyism a major goal of his administration, so far with less than notable success. Although he has moved up recently in the polls, Yudhoyono is locked in a close race with former President Megawati Sukarnoputri in the runup to the presidential election next April.

    While the Bakrie enterprises are hardly as important to Indonesia’s economy as Fannie Mae or AIG are to the US, the alternative to saving Bakrie is not saving him, something that could be politically unappetizing for Yudhoyono, who so far doesn’t appear to consider himself independently powerful enough to let the Bakrie group go.

    Despite the fact that he was a general himself, Yudhoyono got considerable backing for his 2004 election came from Kadin Indonesia, the Indonesia Chamber of Commerce, which has long-standing links to Sofyan’s State-Owned Enterprises Ministry.

    Kadin is a national network that reaches across Indonesia and although it isn’t a political party it is comparable in reach to Golkar, Megawati’s Indonesian Democratic Party of Struggle (PDIP) or Tentara Nasional Indonesia, the armed forces. Golkar, the biggest electoral party and once the vehicle of the late strongman Suharto, backed the former armed forces commanding general Wiranto, leaving Yudhoyono to look elsewhere for support. The chamber was important to his election plans and allowed him to cast himself as a friend of business.

    Bakrie is also close to Vice President Jusuf Kalla, a man in an uneasy relationship with Yudhoyono and who could easily turn into a presidential rival. Bakrie and Kalla represent an Indonesia of an earlier era that Yudyono can’t quite shake despite his best efforts, nor can Indonesia with its culture of corruption.

    Earlier this year, although scientists insisted the disaster was caused by dodgy work, the government took responsibility for the multi-billion dollar cleanup of Indonesia’s worst-ever environmental disaster, which occurred in 2006 when a gas well being drilled by PT Lapindo Brantas, a Bakrie-controlled company, blew out into a catastrophic mudflow that so far has displaced 75,000 villagers and wrecked a vast swath of territory in East Java. Bakrie has so far paid out Rp4 trillion to the displaced villagers.

    Whatever the rescue package looks like this time around, the power of the Bakrie Group will almost certainly be diminished, in the short term at least, as it struggles under a mountain of debt. There has been much speculation over the past year about Bakrie’s plans to rival Qatar Telecom for a stake in the country’s second biggest mobile phone player Indosat and do a deal with three local governments to eventually takeover the profitable Batu Hijau copper and gold mine, now operated by US mining giant Newmont.

    But the Bakrie family will instead be focused on disentangling itself from debt arrangements, where shares in its subsidiaries have been used as collateral. Those pledged shares, initially valued at US$$6 billion, slumped to US$1.35 billion on October 6, creating the current mess.

    While the focus has been on the Bakrie family, the impact of the global financial crisis on Indonesia is much broader. Investors around the world are now officially risk-averse, and that means pulling money out of emerging markets like Indonesia, despite its strong economic fundamentals and 6.5 percent annual gross domestic product growth.

    Earlier this week, the government boosted deposit insurance to cover accounts up to Rp2 billion (US$203,000) from Rp100 million previously, in a bid to avoid a run on the banks. Bank Indonesia has also eased the rules for banks raising short-term funds in an effort to increase liquidity.

    The government also reduced its forecast 2009 budget deficit to 1.3 per cent of GDP from 1.7 per cent. That means it will require less funds to finance the deficit as selling bonds is harder to do in the current environment with investors demanding significantly higher yields.

    Despite these measures, the market is expected to be volatile in the short-term, buffeted by other world markets and as it awaits a resolution on the Bakrie companies.

    Anton Gunawan, chief economist, Bank Danamon says the stock market regulator needs to crack down on speculative trading.

    “I think the stock market authorities need to go faster in trying to punish speculators who really disrupt the market,” he said. “That is the key thing that will bring back confidence.”

    “The jitters are still there. Domestic investors are also panicking. It’s not just the foreign investors who want to pull out.”

    (c) Asia Sentinel

  • State Firms Teaming Up to Help Out The Bakries

    A number of state and private companies are exploring the possibility of forming a consortium to purchase a stake in the Bakrie family’s most valuable company and the world’s largest exporter of thermal coal, PT
    Bumi Resources.

    State miners PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA), PT Aneka Tambang (Antam) and PT Timah are in serious talks to seek a way of acquiring some 35 percent of the family’s Bumi stake, estimated at Rp 14 trillion (US$1.42 billion).

    Antam corporate secretary Bimo Budi Satriyo told The Jakarta Post Thursday some of the state firms involved were still studying the plan, and no progress had been reached thus far.

    “This is not going to be an easy decision. We want to make sure the purchase will benefit the companies. We also need to seek sources of funding,” he said.

    When asked about the exact time for the arrangement, Bimo said it depended on PTBA, which was the most active in trying to secure the stake as it bids to add its coal reserves into the firm’s portfolio.

    PTBA executives could not be reached for comment.

    State enterprises minister Soyfan Djalil said the deal would be based on a business-to-business agreement, and the government would not interfere, other than by approving the deal.

    “The state firms need to team up with the private sector to acquire the stake because the cost will be huge. This is a strategic decision for the companies to take. We will not interfere,” he said.

    The powerful Bakrie family, headed by none other than Coordinating Minister for the People’s Welfare Aburizal Bakrie, is being forced to sell assets to help settle financial obligations to a number of creditors.

    The family’s flagship PT Bakrie & Brothers, the nation’s largest publicly listed investment company, borrowed $1.43 billion in short-term loans between April and September from, among others, Oddickson Finance, JPMorgan, and India’s ICICI Bank for refinancing, funding investment and working capital.

    Shares in Bakrie units were put up as collateral, including in Bumi, plantation firm PT Bakrie Sumatra Plantation and energy firm PT Energy Mega Persada, whose subsidiary Lapindo Brantas sparked the massive mudflow disaster in Sidoarjo, East Java, in 2006.

    But the plunge in the value of the shares following the global financial downturn has sharply slashed the collateral value, forcing Bakrie to either pump in fresh capital or face the risk of losing control of the pledged shares.

    On Oct. 12, Bakrie & Brothers offered investors shares in its units to help raise some $1.2 billion to repay its debts.

    Bakrie announced late Thursday it had completed the first phase of the offering.

    Avenue Luxembourg SARL has taken an additional 15 percent stake worth $46 million in PT Bakrieland Development, and Longines Offshore Co. Ltd., through the Royal Bank of Scotland, has purchased a 5.6 percent stake worth $10 million in PT Bakrie Sumatra Plantation.

    Bakrie also announced that negotiations with a domestic consortium interested in buying PT Bakrie Telecom were still underway, as well as a discussion with a number of local and foreign strategic buyers for Bumi.

    Indonesia Stock Exchange (IDX) president director Erry Firmansyah said three Bakrie companies would be allowed to resume trading on Friday, as they were expected to submit a complete disclosure of the ongoing stake offerings.

    “We need to know how the restructuring process is being settled and who the buyers are. We will not lift the suspension until there is a clear disclosure,” he said, refusing to name the firms set to resume trading.

    Besides its prominent role at the helm of the country’s biggest business empire, the Bakrie family is also politically powerful, having helped finance President Susilo Bambang’s campaign in the 2004 presidential campaign. (iwp)

    Ika Krismantari, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/17/state-firms-teaming-help-out-bakries.html

  • Govt Mulls Helping Out Bakrie to Repay Favor

    The Bakrie family, headed by welfare minister Aburizal Bakrie, is unlikely to go bust any time soon, as the government ponders allowing state firms to buy stakes in the clan’s companies to help avoid a possible debt default.

    A failure by the family to secure immediate funding means it could risk losing the ownership of its crown jewel companies.

    State enterprises minister Sofyan Djalil said the government could allow state miners PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) and PT Aneka Tambang (Antam) to acquire stakes in Bakrie unit PT Bumi Resources, the nation’s biggest coal producer.

    “If they (PTBA and Antam) have the money to buy the shares and the price is good, we will let them,” Sofyan said after a meeting at the Presidential Palace on Wednesday.

    However, Sofyan, who served as President Susilo Bambang Yudhoyono’s campaign manager during the 2004 presidential election, denied reports the go-ahead to buy Bakrie shares was aimed at helping the group’s companies from being taken over entirely by other investors.

    On Oct. 12, Bakrie’s flagship PT Bakrie & Brothers, the country’s largest publicly listed company, announced the offering of shares in its units, including a 10 percent stake in publicly listed Bumi.

    The company claims the offering is aimed at helping raise some US$1.2 billion to pay all outstanding debts, some of which are not due for the next two years.

    While Bakrie remains deliberately vague about the reason for the early payment, there are widespread reports the company is in dire need of cash to help prevent shares of its firms pledged as collateral to creditors from losing their value as a result of the global financial meltdown led by the credit crisis in the United States.

    Bakrie & Brothers borrowed $1.43 billion in short-term loans between April and September from, among others, Oddickson Finance, JPMorgan, and India’s ICICI Bank for refinancing, funding investment and working capital.

    Shares in Bakrie units were put up as collateral, including in Bumi, plantation firm PT Bakrie Sumatra Plantation and energy firm PT Energy Mega Persada, whose subsidiary Lapindo Brantas sparked the massive mudflow disaster in Sidoarjo, East Java, in 2006.

    The value of the shares pledged was initially estimated at $6 billion, before plunging to $1.35 billion on Oct. 6, with creditors demanding Bakrie top up the covenant to assure the stake value remained intact, or risk being seized.

    With Bakrie refusing to disclose its debt arrangements, the Indonesia Stock Exchange is still suspending trading in the shares of six Bakrie companies, blamed by Finance Minister Sri Mulyani for exacerbating the recent havoc in the stock market.

    Help from the government will mean a lot for the Bakrie family, noting Aburizal’s role as a key financier of the Yudhoyono presidential campaign in 2004.

    Aburizal also played a major role in putting Vice President Jusuf Kalla, also chairman of the Golkar Party, on the national radar back in the 1990s when Kalla was a relatively unknown businessman from eastern Indonesia.

    While Kalla worked his way up the ladder, Aburizal was already an iconic native tycoon, locally termed pengusaha pribumi.

    If Sofyan Djalil does finally move to save the Bakrie business empire, it will be the third time the family has been rescued by the government; the first was a financial bailout during the late-1997 Asian financial crisis, and the second was over the Lapindo debacle.

    In response to questions over the troubles plaguing the empire, Aburizal merely said everything was actually in order.

    “Everything is secure,” he said before a meeting with Yudhoyono.

    Desy Nurhayati,  The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/10/16/govt-mulls-helping-out-bakrie-repay-favor.html

  • Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Korban Lapindo Menagih Janji

    Yang terhormat Presiden Republik Indonesia selaku pelayan rakyat Indonesia. Saya bertindak untuk dan atas nama korban lumpur Lapindo dengan kuasa kemanusiaan, bermateraikan lembaran kristal air mata korban Lapindo yang telah kering, yang sebentar lagi dapat berubah mencair mendidih, melebihi panas lumpur Lapindo.

    Bapak Presiden, korban Lapindo selama ini bernasib tidak sebaik yang diiklankan di media massa. Saya hanya mengingatkan bahwa Lapindo Brantas Inc telah membuat kesepakatan penyelesaian dengan pemerintah sehingga terbit Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 / 2007).

    Pasal 15 Perpres itu menentukan:

    Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1).

    Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).

    Dahulu, untuk memperoleh pembayaran 20 persen jual-beli tanah dan rumah korban Lapindo tersebut harus melalui aksi massa. Sekarang, ketika dua tahun kontrak rumah korban Lapindo berlalu, PT. Minarak Lapindo Jaya (yang ditunjuk Lapindo Brantas Inc) tidak bersedia membayar 80 persen terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat (petok D, leter C, gogol dan yasan). Perlu saya tekankan lagi, cara penyelesaian sosial korban Lapindo adalah “jual-beli” tanah dan rumah korban yang kini telah berubah menjadi kekayaan danau lumpur itu.

    Bapak Presiden, mengapa PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar untuk melunasi sisa pembayaran 80 persen kepada korban Lapindo yang tanahnya belum bersertifikat? Padahal diantara mereka telah menandatangani Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB)? Hal itu disebabkan PT. Minarak Lapindo Jaya menuruti pendapat notaris/pejabat pembuat akte tanah (PPAT) yang digunakannya.

    Saya mengingatkan kilas balik perjalanan kesepakatan segitiga antara pemerintah, Lapindo Brantas Inc dengan korban Lapindo. Pada 24 April 2007 korban Lapindo dari Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas) I Sidoarjo menghadap Wakil Presiden RI yang mewakili Bapak Presiden. Dalam pertemuan itu hadir Menkokesra, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta dan Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN).

    Risalah Rapat 24 April 2004 yang dipimpin Bapak M. Jusuf Kalla itu menyepakati sisa pembayaran sebesar 80 persen dilakukan bersama dengan pembayaran kepada masyarakat di empat desa (menurut Peta Wilayah Terdampak 22 Maret 2007) pada bulan April 2008. Pak Presiden, sekarang ini sudah bulan Agustus 2008, bulan kemerdekaan, tapi korban Lapindo masih jauh dari merdeka.

    Soal tanah-tanah yang belum bersertifikat, pada tanggal 2 Mei 2007 telah disepakati oleh perwakilan korban Lapindo, Menteri Sosial, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo dan PT. Minarak Lapindo Jaya, yang intinya menentukan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, SK gogol diperlakukan sama dengan tanah-tanah bersertifikat. Pak Presiden, mayoritas tanah korban Lapindo belum bersertifikat.

    Selepas dari penandatanganan Risalah Kesepakatan pertemuan tersebut, PT. Minarak Lapindo Jaya kembali ingkar. Setelah mulai jatuh tempo pembayaran 80 persen (bertahap, mulai April 2008), lagu lamanya dinyanyikan lagi: PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar. PT. Minarak Lapindo hanya mau membayar rumah yang telah tenggelam, sedangkan tanahnya akan diganti dengan tanah kaplingan (bekas sawah) yang disediakan oleh perusahaan lain di bawah Grup Bakrie. Sedangkan uang muka 20 persen tadi dianggap hibah kepada warga korban Lapindo.

    Kelihatannya menguntungkan korban Lapindo, tapi kenyatannya tidak sebab tanah kaplingan penggantinya itu masih belum jelas, penyerahannya 8 bulan hingga setahun, dan harga asalnya hanya sekitar Rp. 200 ribu/m2, sedangkan tanah pemukiman/pekarangan korban Lapindo telah disepakati Rp. 1 juta/m2. Meskipun ada janji bahwa nantinya korban Lapindo boleh menjual tanah pengganti itu seharga Rp. 1 juta/m2 tetapi itu sudah menyimpang dari pasal 15 Perpres No. 14/2007.

    Tak ada kepastian bahwa PT. Minarak Lapindo Jaya akan patuh dengan perjanjian yang baru itu, sebab PT. Minarak Lapindo Jaya sudah ingkar dengan beberapa kesepakatan yang telah dibuat dan tidak patuh dengan pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu. Dengan pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 / 2007 (yang sudah dikuatkan putusan MA No. 24 P/HUM/2007) saja ingkar, apalagi dengan kesepakatan yang tak ada dasar hukumnya?

    Pak Presiden, dalam pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS dan BPN Kabupaten Sidoarjo pada 5 Agustus 2008 yang lalu PT. Minarak Lapindo Jaya tidak hadir. BPN sendiri menyatakan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, gogol dan yasan bisa dibuatkan akte jual beli (AJB). BPN sudah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan tanggal 24 Maret 2008. Jadi, secara hukum administrasi negara sudah tidak ada kendala. Jika PT. Minarak Lapindo tidak patuh kepada Perpres No. 14/2007 itu, apakah Bapak Presiden hanya akan diam saja menonton penderitaan korban Lapindo?

    Apakah pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu masih berlaku?

    Kalau ada yang mengatakan bahwa dengan dibayarkannya 20 persen tanah pertama dua tahun lalu itu warga korban Lapindo sudah makmur, itu kebohongan besar. Mayoritas mereka kehilangan pekerjaan dan mulai mencari pekerjaan baru dan banyak yang menanggung utang.

    Dalam pertemuan dengan Komnas HAM tanggal 1 Mei 2008 di Pendopo Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo, wakil korban lumpur lapindo dari Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang telah memberikan mandat kepada Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa apabila PT. Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa 80 persen itu maka di Sidoarjo akan terjadi banyak gelandangan sebab rata-rata korban Lapindo terlanjur menanggung utang sebab berharap dari pembayaran 80 persen itu.

    Perlu Bapak Presiden ketahui, akibat PT. Minarak Lapindo Jaya yang membangkang jatuh tempo pembayaran sesuai pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14/2007, kini masyarakat korban Lapindo terpecah-belah, saling bermusuhan akibat munculnya cara-cara baru di luar cara menurut pasal 15 Perpres No. 14 / 2007. GKLL itu pecah, muncul organisasi baru bernama Gerakan Pendukung Perpres No. 14/2007 (GEPPRES).

    Munculnya cara-cara penyelesaian di luar pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 itu akibat pemerintah yang tidak tegas kepada PT. Minarak Lapindo Jaya yang mempersulit penyelesaian sosial itu padahal dasar hukumnya sudah jelas. Sekali lagi, pemerintah tidak tegas untuk memaksa pihak Lapindo. Tetapi bagaimana nasib korban Lapindo yang membuat kesepakatan di luar pasal 15 Perpres No. 14/2007 jika kelak PT. Minarak Lapindo Jaya atau perusahaan pengembang yang menyediakan tanah pengganti itu ingkar? Padahal cara penyelesaian masalah sosial yang sudah ditentukan itu tidak murni bersifat perdata, tetapi terkandung kewajiban pemerintah memenuhi hak asasi manusia berdasarkan pasal 28 I ayat (4).

    Pak Presiden. Bahkan ada ratusan kepala keluarga korban Lapindo yang belum menerima pembayaran 20 persen dengan berbagai alasan, tanpa penyelesaian. PT. Minarak Lapindo juga mengingkari kesepakatannya dengan ratusan kepala keluarga korban Lapindo pengontrak rumah (yang tak punya tanah dan rumah sendiri).

    Jika diurai, masih ada banyak masalah lainnya, termasuk masalah kesehatan masyarakat sebab menurut temuan Tim Kajian Pemerintah Provinsi Jawa Timur, konsentrasi gas hidrokarbon di daerah sekitar semburan lumpur Lapindo mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batas toleransinya adalah 0,24 ppm. Kasihan para penduduk korban, terutama anak-anak mereka yang masih mempunyai masa depan, jangan sampai masa depan mereka rusak gara-gara pemerintah tidak cepat dan tepat untuk menyelesaian persoalan korban Lapindo itu.

    Masyarakat korban Lapindo telah begitu sabar. Meski menderita kerugian materiil dan imateriil yang tak terkira besarnya, mereka cukup patuh dengan Perpres No. 14/2007 yang hanya mengharuskan jual-beli tanah dan rumah korban lumpur yang tenggelam. Bahkan mereka telah diikat oleh PT. Minarak Lapindo Jaya dalam perjanjian dan pernyataan agar mengakui bahwa semburan lumpur itu bencana alam dan mereka tidak boleh menuntut Lapindo secara perdata dan pidana. Meski tidak tahu arti semua itu, mereka mau menandatangani pernyataan dan perjanjian seperti itu.

    Surat ini saya sampaikan secara terbuka, agar dapat sampai dan dibaca Pak Presiden dan banyak orang, bahwa itulah yang terjadi, tidak seindah yang diiklankan di media massa.

    Demikian surat ini, mohon agar negara ini tetap berdiri dalam kemerdekaan, tidak tenggelam menjadi Republik Lumpur Lapindo.

    Hormat saya, pesuruh sebagian korban Lapindo.

    Subagyo, 081615461567

  • PT Lapindo Brantas Makes Things Clear as Mud in Indonesia

    On May 29, 2006, PT Lapindo Brantas, an Indonesian energy company, was drilling a wildcat well, the Banjar-Panji-1.

    The driller had struggled through 2,500 feet of clays, underlain by gritty sands and volcaniclastics, and decided to drill ahead into porous limestone below 9,000 feet without stopping to set casing. That was a mistake. At about 5 a.m., a fissure opened about 600 feet from the wellhead, and steam, water, hydrogen sulphide, and methane began to escape. Shortly afterwards, hot viscous mud began to flow rapidly from the fissure. It has been flowing ever since, taking with it homes, factories, livelihoods, crops, roads, railways, and reputations, and creating a huge industrial scandal that will have serious repercussions.

    The Banjar well is one of the most environmentally destructive oil and gas wells ever drilled. The toxic mud has been flowing for 18 months now – and could flow for decades to come – at rates of up to 150,000 cubic meters per day. To date it covers at least 2.5 square miles with a billion cubic feet of mud that is quickly turning into mudstone.

    Lapindo Brantas was operating the well on behalf of its two partners: Santos, Australia’s third-largest oil and gas company, and Medco Energi of Indonesia. The well’s target was natural gas deposits in the Sidoarjo area of eastern Java, an area characterized by mud volcanoes. And the fact that Java is the most densely populated island on earth is what makes the Banjar well’s toxic mud volcano so destructive.

    The already horrific catalogue of damage continues to grow. The mud has displaced 13,000 people from their homes. It has inundated 11 towns, 30 schools, 25 factories, a national toll road, and the state-owned Sidoarjo-Pasuruan railway line. It has buried rice paddies and shrimp farms. (Sidoarjo was the second largest shrimp-producing town in the country.) It has also shut down one of east Java’s key industrial hubs with a slow-moving tsunami of hot, sticky, smelly mud that hardens to rock as it dehydrates and cools. It caused a Pertamina-owned gas pipeline to rupture and explode, killing 11. Environmental damage is estimated at between $5 billion and $10 billion.

    If this had happened on the edges of a city, the political response would have been immediate. But these are rural Indonesians, and since they have no money, and therefore no political voice or leverage in post-Suharto Indonesia, they stay displaced, uncompensated, and, until recently, ignored.

    A network of levees and dams has been erected to contain the mud, but have not been successful. Some sludge is pumped into the Porong River, but this has not been successful either; much of the sludge is insoluble and sits in the river in blocks. The rest is rapidly silting up the river and its delta and affecting its flow, causing flooding.

    The mud, containing a dangerous cocktail of benzene, toluene, xylene, heavy metals, ammonia, and sulphur dioxide, is rendering the river lifeless and its estuary barren. The government has proposed channelling the mud to the sea by canal, but this has some obvious drawbacks and has not been tried (yet).

    Other methods to contain the flow have been tried. The national government’s response team air-dropped 1,500 large concrete balls connected by steel chains into the fissure. But that only made the mud flow faster. Japanese contractors proposed building a high-pressure pipeline to divert the mud to the coast for land reclamation. Local authorities brought together 50 mystics to use their supernatural powers to stop the mudflow, for an $11,000 prize. In another bizarre twist, Lapindo Brantas funded production costs for a 13-episode television soap opera called “Digging a Hole, Filling a Hole” to highlight and dramatize stories of the company’s heroism. Needless to say it was not a big hit.

    More recently, the Japan Bank for International Cooperation offered loans of $110 million to build a 130-foot high containment dam around the mudflow, on the theory that the weight of dammed mud would eventually cut off the flow.

    The technical post mortem appears straightforward: Lapindo Brantas’s drill bit penetrated an overpressured reservoir, causing hydrofractures to propagate outwards from the uncased hole and upwards into the overlying seal, rapidly entraining mud, gas, and water to the surface under high pressure. Unfortunately for the victims, the technical explanation is the only thing about this disaster that is straightforward. The rest would give Kafka nightmares.

    Perhaps the drama’s most surreal aspects concern Lapindo Brantas and its owner Aburizal Bakrie, one of Asia’s richest men who also happens to be a senior executive of Golkar (the ruling party) and the former minister for economics. He’s also currently the ironically titled Minister for the People’s Welfare, a financial backer of President Susilo Bambang Yudhoyono’s 2004 election campaign, and one of the vice president’s closest friends. (Bakrie was closely tied to the former Indonesian dictator, Suharto. In the 1990s, those ties helped him to obtain a substantial ownership stake in Freeport-McMoRan Copper & Gold, the U.S. mining outfit that operates the massive Grasberg mine in West Papua. Bakrie sold the Freeport stake in 1997.) Rather than resign his portfolio, Bakrie has tried to convince the government that Lapindo Brantas was just in the wrong place at the wrong time, an innocent witness to a natural disaster. On two occasions he has tried to sell Lapindo Brantas to escape liability, but has been blocked by the financial regulator. The first proposed sale was for $2 to an unnamed offshore company. The second, for $1 million, was to a U.S.-based outfit run by American friends of the family.

    Recently, partner Medco Energi accused Lapindo Brantas of gross negligence in the operation of the Banjar-Panji-1 well. Shortly after that bombshell, the police opened a criminal investigation into the actions of 13 senior managers and engineers at Lapindo Brantas.

    Until recently, Lapindo Brantas was allowed to choose, on a purely voluntary basis, how, why, and whether to compensate those people and businesses affected by the mudflow. It offered some families payments of up to $540 to cover two years’ displacement rental, $60 in moving costs, and $35 per month for food, if they agreed to free Lapindo Brantas from any further liability.

    Most residents rejected the offer, preferring to keep their options open. The company also claimed it was spending $2.4 million per day on efforts to stop or divert the mud, but this was subsequently found to actually be just under $300 per day. Recently, Indonesia’s President Yudhoyono issued a decree ordering the company “to bear all costs and repercussions” of the disaster, and pay compensation to those displaced. But since the decree has no legal consequence, it became apparent that this was another Kafka-esque way to avoid paying anything to anyone. The government has tried to minimize the political damage by setting aside $127 million from the state budget for compensation payments. But the applications are to be screened by a 50-person committee!

    Politicians are outraged because it appears that the government is bankrolling Lapindo Brantas and the Bakries. Citizens are skeptical that they will ever see any of the money.

    Many analysts predict that the Bakrie Group will simply resort to bankruptcy rather than foot any of the multi-billion dollar clean-up and compensation costs. They are money men, not oil men, and won’t lose any sleep if this forces them out of the oil and gas business for good. It is the prudent operators in Indonesia, trying to conduct their activities safely and with a commitment to the country, who will have to live with the aftermath.

    All of which is music to the ears of law firms that specialize in class-action suits. There are legal precedents for hearing offshore class actions in Australia when Australian companies are involved. So look out, Santos. Although it is only an 18 percent non-operating partner in the project, Santos is the only solid target in this whole sorry saga. The company has set aside about $60 million in its current budget to cover liability arising from the mudflow. But litigation experts in Australia believe that amount could underestimate Santos’s liability by as much as two orders of magnitude.

    Bret Mattes

    Sumber: http://www.energytribune.com/articles.cfm?aid=651