Tag: jokowi

  • Korban Lumpur Lapindo Tagih Janji Jokowi

    Korban Lumpur Lapindo Tagih Janji Jokowi

    WARGA korban lumpur Lapindo, Jawa Timur, di dalam peta area terdampak menagih janji Presiden Jokowi yang pernah berkampanye akan menyelesaikan proses ganti rugi warga secepatnya. Kenyataannya, hingga hampir sembilan tahun peristiwa lumpur terjadi, pembayaran ganti rugi tetap tak kunjung dilunasi.

    Kekesalan warga korban Lapindo terkait dengan lambatnya pembayaran ganti rugi itu disampaikan saat mereka mendatangi Panitia Khusus Lumpur DPRD Sidoarjo, kemarin. Di hadapan para anggota Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, warga mendesak dewan menyampaikan aspirasinya itu ke pemerintah pusat.

    Warga mengaku kesal sebab mereka berkali-kali dibohongi terkait dengan pembayaran ganti rugi yang tak kunjung selesai. Pada saat masih ditangani PT Minarak Lapindo Jaya, warga sudah kenyang dengan janji-janji yang tak kunjung ditepati.

    Kini saat pembayaran ganti rugi diambil alih pemerintah dengan dana talangan, warga juga tetap harus bersabar dengan janji. Sebelumnya warga mendapat informasi ganti rugi dari pemerintah dicairkan Februari 2015, tetapi tak terealisasi. Warga kembali mendengar ganti rugi dicairkan Maret, tapi lagi-lagi hingga saat ini ternyata tetap belum direalisasikan.

    “Mana janji Presiden Jokowi yang pernah berkampanye di tanggul akan menyelesaikan ganti rugi secepatnya?” kata Irvan, 50, korban lumpur Lapindo asal Desa Jatirejo.

    Dalam pertemuan dengan Pansus Lumpur Lapindo itu warga juga menyatakan menolak apabila pencairan uang ganti rugi harus melalui PT Minarak Lapindo Jaya ataupun Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Mereka berharap uang ganti rugi langsung ditransfer pada rekening warga.

    “Kalau melalui PT Minarak, hingga kiamat pun tak akan dibayar. Kalau melalui BPLS, akan menjadi rumit,” kata Juwari, 54, warga korban Lapindo asal Desa Renokenongo.

    Warga memberi batas waktu pada pemerintah hingga akhir April ini untuk mencairkan dana ganti rugi. Apabila pemerintah tak kunjung mencairkan dana ganti rugi tersebut, mereka mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa ke jalan. (HS/N-1)

    Sumber: http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/10785/Korban-Lumpur-Lapindo-Tagih-Janji-Jokowi/2015/04/22

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Pra Semburan)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Pra Semburan)

    (Bagian 1, dari 3 tulisan)

    Oleh: Anton Novenanto

    PADA TANGGAL 29 Mei 2014, pada masa kampanye pemilihan presiden lalu, di atas tanggul lumpur Lapindo, Joko ‘Jokowi’ Widodo melantangkan pentingnya kehadiran negara dalam kasus Lapindo. Kutipan langsung ucapan Jokowi yang tercatat di pelbagai media massa adalah demikian: ‘Dalam kasus [Lapindo, AN] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat’.

    Sebagai seseorang yang baru mengikuti kasus Lapindo sejak 2008, saya merasa sangat terganggu dengan pernyataan semacam itu, yang muncul dan seketika diterima sebagai ‘kebenaran bersama’ karena berangkat dari pengandaian bahwa negara absen dalam kasus Lapindo. Wacana ‘negara absen’ telah bergulir lama di ruang publik, khususnya di kalangan korban. Hal ini berangkat dari rangkaian peristiwa yang menunjukkan bahwa negara seolah-olah tidak pernah hadir sebagai lembaga politik yang berdaulat untuk mengatasi segala persoalan yang muncul, khususnya yang terjadi antara korban dan korporasi. Alih-alih membantu, korban merasa negara telah membiarkan mereka bertarung sendirian dalam relasi kuasa yang timpang ketika berhadap-hadapan dengan korporasi dan jejaring pendukungnya.

    Argumen yang diangkat melalui tulisan mungkin sangat bertolak belakang dengan apa yang dinyatakan oleh Jokowi tersebut dan dengan apa yang diyakini publik umum bahwa negara absen dalam kasus Lapindo. Justru sebaliknya, saya berargumen bahwa negara –melalui representasi aparatus birokrasi dan lembaga pemerintah– justru selalu terlibat aktif dalam merancang desain politik bencana lumpur Lapindo. Keterlibatan itu dapat dilacak dalam pernyataan-pernyataan yang terarsipkan dalam dokumen-dokumen publik tentang kasus Lapindo yang sudah menjadi rahasia umum dan beredar luas. Temuan-temuan tersebut saya hadirkan berdasarkan kronologis waktu dengan harapan agar pembaca yang awam dengan kasus Lapindo dapat teringat kembali pada apa saja peran negara dalam kasus Lapindo.

    ***

    SAYA MUNGKIN TERMASUK satu dari segelintir orang yang meyakini bahwa ‘kasus Lapindo’ sudah dimulai jauh sebelum lumpur panas menyembur pada bulan Mei 2006. Keyakinan semacam itu lahir dari sebuah pertanyaan kritis, bagaimana Lapindo bisa memperoleh izin pengeboran sumur eksplorasi migas di kawasan padat huni?

    Yang perlu kita ingat, industri migas, sepertinya halnya industri tambang yang lain, tergolong dalam ‘industri berbahaya’ (Benson & Kirsch 2010) yang beresiko tinggi dan oleh karenanya tidak boleh diselenggarakan dengan main-main. Pelaksanaan kegiatan industri migas harus direncanakan dan dilakukan mengikuti serangkaian prosedur yang rinci, hati-hati, dan teliti agar tidak justru berdampak fatal tidak hanya bagi manusia dan lingkungan yang berada di sekitarnya tapi juga rerantai sosial-ekologis yang lebih luas, dan khususnya bagi industri itu sendiri. Selain sudah menjadi kewajiban dari industri migas sendiri untuk menjaga keamanan dari kegiatannya yang penuh resiko tersebut, adalah tugas pemerintah untuk menjamin agar segala kegiatan industri berbahaya yang dilakukan di wilayah kedaulatannya dilakukan secara prosedural sehingga tidak mengancam warga negaranya.

    Pengawasan Pemerintah atas kegiatan industri migas tertuang dalam UU Migas No. 22/2001. Ada dua lembaga negara yang berkewajiban mengawasi kegiatan industri migas. Pertama, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM (Ditjen Migas) yang memfokuskan pengawasan pada ketaatan kegiatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 41 Ayat 1). Kedua, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang mengawasi pelaksanaan kegiatan berdasarkan kontrak kerjasama yang berlaku (Pasal 41 Ayat 2).

    Ditjen Migas – Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/075/M.PE/1992 menyebutkan bahwa setiap kontraktor migas ‘wajib menyampaikan laporan harian secara tertulis mengenai kegiatan pengeboran kepada Direktorat Jenderal [Migas, AN]’ (Pasal 9 Ayat 1). Lebih lanjut, menurut Surat Keputusan Menteri ESDM No. 1088K/20/MEM/2003, Ditjen Migas memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi kecelakaan kegiatan eksplorasi dan menentukan apakah kecelakaan tersebut masuk dalam kategori pidana ataukah kecelakaan operasional.

    Dalam laporan lengkap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (2007a)[1] disebutkan bahwa Ditjen Migas tidak pernah menerima laporan harian pengeboran Lapindo dan tidak pernah menegur apalagi memberi sanksi pada Lapindo. Ini berarti seluruh kegiatan pengeboran Lapindo, termasuk eksplorasi Sumur Banjar Panji 1, tidak pernah berada dalam pengawasan Ditjen Migas sebagai representasi dari pemerintah. Dalam kondisi demikian, antara 30 Mei dan 2 Juni 2006, Ditjen Migas melakukan investigasi terhadap kejadian semburan gas atau uap air di sekitar Sumur Banjar Panji 1 dan wajar bila Ditjen Migas tidak berhasil menemukan penyebab kejadian tersebut. Ditjen Migas justru melimpahkan tanggung jawab mencari penyebab itu pada hasil penyidikan Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim).

    BP Migas – PP 42/2002 tentang BP Migas dan PP 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas mengatur kewenangan BP Migas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan Kontraktor berdasarkan ketentuan kontrak kerjasama yang berlaku. Seperti halnya yang seharusnya terjadi pada Ditjen Migas, setiap Kontraktor berkewajiban untuk mengirimkan laporan tertulis secara periodik pada BP Migas terkait pelaksanaan kontrak kerjasama (Pasal 93 Ayat 2).

    Dalam proses penyelidikan BPK (2007a), BP Migas tidak berhasil menunjukkan dokumen yang membuktikan bahwa lembaga tersebut telah 1) melakukan kajian terhadap program pengeboran Lapindo dan 2) memberikan persetujuan terhadap program tersebut untuk memastikan kelayakannya dan kesesuaian dengan kaidah teknik perminyakan yang baik (pemilihan tempat, kedalaman pengeboran, kekuatan rig, ukuran dan rencana pemasangan selubung pengaman). Program pengeboran hanya ditandatangani oleh Lapindo dan subkontraktor pengeboran (PT Medici Citra Nusa). BP Migas hanya terbukti melakukan pengawasan dan pengendalian sebatas biaya operasional saja.

    ***

    MASA KRITIS MENJELANG 29 Mei 2006 – Dari laporan BPK, kita dapat mengetahui bahwa Lapindo tidak secara rutin mengirimkan laporan harian pengeboran pada BP Migas. Terkait laporan pengeboran pada masa kritis menjelang semburan lumpur (20-30 Mei 2006), BP Migas hanya mendapatkan laporan harian untuk tanggal 22 dan 30 Mei saja, sementara untuk hari yang lain tidak ada laporan masuk ke BP Migas (BPK 2007a). Ketiadaan laporan harian tentunya mempersulit BP Migas untuk melakukan pengawasan atas pengeboran dan memberikan saran-saran teknis yang mungkin dapat membantu penanggulangan awal permasalahan pengeboran Sumur Banjar Panji 1.

    Laporan Neal Adams Services (Adams 2006) menyebutkan bahwa pengeboran Sumur Banjar Panji 1 dimulai sejak 9 Maret 2005 (sekitar pukul 13:30 WIB) dan berhenti pada 3 Juni 2006. Tentu, yang menarik adalah apa yang terjadi pada masa-masa kritis menjelang semburan. Laporan Adams (2006) menyebutkan bahwa saat pengeboran mencapai kedalaman 2.630m,[2] pada tanggal 22 Mei, operator mencatat terjadinya peningkatan jumlah lumpur yang keluar dari dalam sumur. Hal ini koheren dengan keterangan warga pada KomnasHAM yang menyebutkan bahwa pada 23 Mei air bercampur lumpur sudah terdeteksi keluar ke permukaan tanah dan volume semakin membesar setelah gempabumi di Jogjakarta/Jawa Tengah pada 27 Mei (KomnasHAM 2012).

    Menurut Adams (2006), keluarnya lumpur pada 22 Mei dapat terjadi akibat ketiadaan selubung pengaman (safety casing). Selubung pengaman terakhir dipasang pada kedalaman 1.096m, yang berarti dinding sumur sepanjang 1.534m tidak pada posisi terlindungi dan rawan runtuh. Dengan kondisi demikian, Lapindo tetap saja meneruskan pengeboran. Pada 27 Mei, ketika operator mengebor dari kedalaman 2.771m sampai 2.813m, sensor mendeteksi kadar H2S di dalam sumur mencapai 25ppm. Pengeboran dilanjutkan, sementara sebagian besar kru dievakuasi. Pada 28 Mei, saat pengeboran mencapai kedalaman 2.834m keluar lumpur dari lapisan berpori, retak atau berongga yang berhasil ditembus oleh mata bor yang tidak muncul ke permukaan (lost circulation). Menyikapi hal itu, operator memutuskan untuk menarik mata bor sampai kedalaman 2.591m, yang dinilai Adams (2006) sebagai keliru karena mata bor seharusnya ditinggal di dalam lubang.

    Dini hari 29 Mei, ketika mata bor mencapai kedalaman 1.294m, operator mendeteksi adanya cairan masuk ke dalam sumur (well kick) dan usaha untuk mengatasinya adalah dengan menutup sumur. Operator berhasil menutup sumur, tapi tidak berhasil menarik keluar mata bor yang macet di dalam sumur. Beberapa jam kemudian, gas H2S terdeteksi di permukaan bumi di sekitar sumur dan kru mulai dievakuasi (Adams 2006). Keesokan harinya (30 Mei), intensitas dan frekuensi gas berkurang dan pada malam harinya operator memasukkan semen ke dalam sumur dan gas semakin berkurang. Hari berikutnya (31 Mei), operator melanjutkan penyemenan dan gas terus berkurang. Namun pada 1 Juni, air bercampur lumpur terdeteksi mengalir keluar dari titik-titik di sekitar bibir sumur. Operator mulai menyelamatkan peralatan dari lokasi pengeboran. Pada 2 Juni, operator mengebor kembali sumur sampai kedalaman 1.078m dan mendeteksi lontaran-lontaran material ke bibir sumur (firing guns) dan keretakan tanah di sekitar bibir sumur. Pada hari berikutnya (3 Juni), operator mulai membongkar tiang pengeboran, dan laporan harian berakhir di sini (Adams 2006).

    Adams (2006) menilai bahwa gelembung gas yang terdeteksi pada 29 Mei adalah indikator yang jelas dari terjadinya blowout bawah tanah. Alih-alih menanganinya, Operator justru fokus pada mempertahankan sumur eksplorasi, padahal jika fokus dialihkan pada blowout, mungkin kejadian itu bisa diatasi. Sementara itu, pengeboran ulang sumur pada 2 Juni dinilai sebagai ‘berbatas tipis dengan pelanggaran kriminal karena mengancam personil, peralatan, dan lingkungan sekitar’ (Adams 2006).

    Dari rangkaian kronologis semacam ini, kita dapat menilai bahwa pernyataan perwakilan Lapindo memang betul adanya, lumpur tidak keluar langsung dari sumur karena sumur berhasil ditutup rapat. Lapindo bahkan mengklaim keberhasilan menutup sumur membuktikan bahwa lumpur ‘tidak keluar dari sumur’ (Suradi 2009), yang tentu saja adalah pernyataan yang layak dipersoalkan.

    Berita tentang semburan air dan gas di sekitar Sumur Banjar Panji 1 mulai muncul di media massa nasional sejak 30 Mei. Pada hari yang sama itu, perwakilan Lapindo menyampaikan siaran pers untuk menjelaskan kejadian tersebut (EMP 2006). Seperti disampaikan di atas, sejak 1 Juni Lapindo telah berupaya menutup sumur untuk sementara dan memindahkan rig ke tempat yang aman dan pada 4 Juni rig sudah berhasil diturunkan seluruhnya. BP Migas baru mengirimkan tim ke lokasi Sumur Banjar Panji 1 pada 5 Juni, beberapa setelah sumur berhasil ditutup (BPK 2007a). Ini berarti, tanpa sempat BP Migas memberikan bantuan teknis pada krisis yang dialami, Lapindo sudah melakukan tindakan yang dianggapnya cukup preventif untuk mengatasi krisis tersebut.

    Pada 5 Juni, salah satu pemegang andil Kontrak Kerjasama Blok Brantas Medco melayangkan surat kepada Lapindo, sang operator blok, yang membuka secara publik intensi Lapindo untuk tidak memasang selubung seperti rencana. Dalam rapat Sidoarbeberapa minggu sebelum insiden (18 Mei), Medco sudah memperingatkan Lapindo tentang hal tersebut, tapi peringatan itu diabaikan. Medco pun mengklaim, dalam suratnya itu, bahwa insiden Banjar Panji 1 terjadi akibat ‘kelalaian berat’ (gross negligence) Lapindo yang tidak mematuhi program pengeboran yang telah disepakati bersama.

    Berdasarkan pendapat beberapa analis pengeboran, keberhasilan operator menutup sumur berdampak pada meningkatnya tekanan di bagian dalam sumur dan menyebabkan keretakan lapisan tanah di sekitarnya, yang diperparah dengan usaha operator untuk melakukan pengeboran ulang pada 2 Juni (bdk.: Adams 2006, Davies et al. 2008, 2010; Rubiandini dalam Tim Walhi 2008, Wilson 2006). Bahkan diakui oleh mandor pengeboran Sumur Banjar Panji 1, Syahdun, kebocoran gas yang terjadi pada 29 Mei 2006 disebabkan oleh runtuhnya dinding sumur bagian dalam (Saputra 2006). Proses semacam itulah yang mengakibatkan menyemburnya gas, air dan lumpur dari titik-titik di sekitar bibir Sumur Banjar Panji 1 yang waktu itu sudah tertutup rapat. Keretakan dan runtuhnya lapisan tanah di sekitar dinding sumur dapat terjadi akibat tidak dipasangnya selubung pengaman yang memang berfungsi untuk menahan tekanan dalam sumur.

    Dua versi asal semburan lumpur Lapindo. Baik keduanya menunjukkan bagaimana semburan awal tidak keluar bibir Sumur Banjar Panji 1. Gambar kiri, yang mengacu pada teori gempa bumi, menunjukkan lumpur keluar langsung dari bawah tanah melalui rekahan yang tidak terhubung dengan sumur. Gambar kanan, yang berpendapat tentang kesalahan pengeboran, menunjukkan lumpur berasal dari dalam sumur tapi tidak keluar dari bibir sumur karena tersumbat oleh mata bor yang macet. (Sumber gambar Sawolo et al. 2010, 1673)
    Dua versi asal semburan lumpur Lapindo. Baik keduanya menunjukkan bagaimana semburan awal tidak keluar bibir Sumur Banjar Panji 1. Gambar kiri, yang mengacu pada teori gempa bumi, menunjukkan lumpur keluar langsung dari bawah tanah melalui rekahan yang tidak terhubung dengan sumur. Gambar kanan, yang berpendapat tentang kesalahan pengeboran, menunjukkan lumpur berasal dari dalam sumur tapi tidak keluar dari bibir sumur karena tersumbat oleh mata bor yang macet. (Sumber gambar Sawolo et al. 2010, 1673)

    ***

    DARI URAIAN TERSEBUT dapat kita lihat bahwa negara (c.q., Ditjen Migas dan BP Migas) berperan penting dalam memberikan izin kegiatan industri migas tanpa pengawasan yang ketat padahal kegiatan semacam itu termasuk dalam kategori berbahaya dan penuh resiko. Lebih lanjut, dalam ringkasan eksekutifnya, BPK (2007b) menyebutkan tentang peran BP Migas dalam pemberian izin lokasi pengeboran oleh Pemkab Sidoarjo. Ada dua hal patut kita catat terkait izin lokasi itu. Pertama, lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 (dan juga sumur-sumur Lapindo lainnya) tidak sesuai dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No 16/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sidoarjo. Perda tersebut mengatur bahwa lokasi tempat sumur-sumur itu untuk kawasan pertanian, permukiman, dan perindustrian. Tidak disebutkan sama sekali tentang pertambangan, apalagi migas.

    Kedua, mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku (Instruksi Presiden No 1/1976 dan UU Pertambangan No 11/1967), lokasi pengeboran sumur migas harus berada sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, permukiman, atau objek yang mudah terbakar. Faktanya, Sumur Banjar Panji 1 berada 5 (lima) meter dari permukiman terdekat, 37 meter dari jalan tol (Surabaya-Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Sekalipun mengaku melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, Pemkab Sidoarjo berdalih pemberian izin lokasi didasarkan atas pertimbangan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas (BPK 2007b).

    Peran aktif aparatur negara juga sampai ke level kepala desa (lurah) terutama untuk mendapatkan lahan lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 di Desa Renokenongo, Lapindo. Sebelum mendapatkan lokasi pengeboran itu, di akhir 2005 kehadiran Lapindo ditolak warga di dua desa, Siring dan Jatirejo, di Kecamatan Porong. Untuk memudahkan mendapatkan lokasi, Lapindo pun dibantu oleh Lurah Renokenongo, Mahmudatul Fatchiah, yang menyampaikan pada warganya tentang kebutuhan lahan untuk usaha peternakan, bukan untuk pengeboran sumur gas alam (Batubara & Utomo 2012). Pada Maret 2006, Lapindo berhasil mendapatkan tanah di wilayah Desa Renokenongo dengan harga berkisar antara Rp 60.000 sampai Rp 125.000 per meter persegi. Berdasarkan pengakuan beberapa warga, uang pembebasan lahan diperoleh dari Lurah Renokenongo, bukan dari Lapindo (KomnasHAM 2012). Saat itu, tidak satupun direksi Lapindo yang berhadapan langsung dengan warga dalam proses pembebasan lahan tersebut. Bahkan si pemilik tanah, saat itu, tidak memperoleh informasi yang jelas tentang siapa yang akan mengelola tanah mereka dan untuk apa.

    Dengan demikian, kehadiran negara di masa awal kasus Lapindo adalah sebagai otorita politik yang memberikan izin berlangsungnya kegiatan industri berbahaya tanpa kontrol ketat yang potensial memicu lahirnya krisis sosial-ekologis yang lebih luas. (bersambung)

    [1] Untuk memudahkan pengutipan, saya memisahkan ‘laporan lengkap’ dengan ‘ringkasan eksekutif’ dari laporan BPK tersebut.

    [2] Laporan Neal Adams menggunakan skala ‘kaki’ (feet), untuk memudahkan pembaca Indonesia saya menggunakan padanan dalam skala ‘meter’ dengan pembulatan ke atas/bawah menghindari koma.

  • Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial-Ekologis

    Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial-Ekologis

    mongabay.co.id – Presiden Joko Widodo dalam kampanye lalu di Sidoarjo, mengungkapkan selama ini negara absen lumpur Lapindo. Jadi, negara harus hadir sebagai wujud kedaulatan rakyat. Setelah terpilih, Jokowi baru-baru ini memberikan dana talangan buat Lapindo Rp781 miliar karena perusahaan berdalih tak mampu membayar. Upaya Jokowi dinilai berbagai kalangan bukan solusi, bahkan mengkerdilkan kehadiran negara. Presiden semestinya mampu memberikan jaminan pemulihan sosial, lingkungan dan hak-hak dasar yang selama ini terenggut dari warga Sidoarjo, sekitar. Salah satu rekomendasi KontraS agar pemerintah audit lingkungan Lapindo menyeluruh.

    “Dengan dana talangan dan sita aset, Jatam melihat itu tindakan mengkerdilkan kehadiran negara. Solusi pemerintah Jokowi tidak menyeluruh,” kata Bagus Hadi Kusuma, pengkampanye Jatam, baru-baru ini.

    Dia mengatakan, temuan Jatam dan Walhi Jatim menunjukan terjadi penurunan kualitas Sungai Porong sangat drastis. Air tanah di sekitar terdampak  lumpur Lapindo, tercemar logam berat dan zat kimia lain. “Pemerintahan Jokowi tidak bisa hanya mengartikan kehadiran negara dari dana talangan.”

    Menurut dia, jika permasalahan finansial perusahaan  dan pelanggaran HAM diselesaikan dengan uang negara, ke depan kasus ini akan terulang kembali. “Hanya pertolongan dana pajak dan uang rakyat?”

    Semestinya, kata Bagus, pemerintah perlu memberikan pemulihan sosial dan ekologis. Pemerintah,  harus meluaskan horison pandangan tidak hanya fokus wilayah tergenang. “Artinya melihat sebaran dari daya rusak praktik lumpur Lapindo, tidak hanya terpusat wilayah tergenang.”

    Dia mencontohkan, sebaran korban mengungsi, mencari kerja di wilayah lain, karyawan bekerja di sana meskipun tidak berdomisili di wilayah itu. “Permasalahan utama tidak ada data korban valid. Baik korban rumah terendam, maupun yang kehilangan hak sosial ekologis.”

    Tak jauh beda dengan KontraS. Haris Azhar, Koordinator KontraS mengatakan, kebijakan Jokowi tidak otomatis menyelesaikan persoalan. Justru, hanya menguntungkan kelompok tertentu. “Hanya menggelontorkan dana kompensasi kepada korban Lapindo menurut kami itu tindakan sangat tidak tepat. Merendahkan nilai penanganan kasus juga merendahkan penderitaan korban,” katanya.

    Bahkan, langkah itu justru berujung pada pendekatan bisnis. Padahal, kasus lumpur Lapindo ada banyak aspek harus diperhatikan. “Wapres Jusuf Kalla hanya  mengatakan akan mengambil alih aset Lapindo jika tak mampu membayar dana talangan.”

    Haris menilai, respon Jokowi tidak sebanding dengan besaran dampak, kerugian warga di beberapa desa itu. “Ketika Jokowi mengatakan negara harus hadir, itu tidak bisa hanya memberikan Rp781 miliar. Seolah-olah dengan uang itu, permasalahan selesai.”

    Dalam Lapindo,  jelas ada kejahatan patut diduga itu sudab disadari sejak awal, meliputi berbagai aspek. “Harusnya ada upaya tidak sekadar menghitung kerugian materil belaka. Penting juga ada penghukuman kejahatan korporasi.”

    Syamsul Munir, Kepala Divisi Advokasi Ekosoc KontraS mengatakan,  dalam perspektif hukum dan HAM kebijakan ini tidak bisa meniadakan proses advokasi dan pertolongan kepada warga, terutama di Kecamatan Porong dan sekitar.

    Dia mengatakan, Jokowi mengundang pemerintah Sidoarjo, Gubernur Jatim ke Jakarta, hanya memberikan kompensasi. “Kita melihat pendekatan hanya nilai rupiah. Bukan pendekatan melihat sejauh mana proses normalisasi masyarakat lokal.”

    KontraS mengajukan, delapan rekomendasi kepada Presiden Jokowi,  dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Pertama, mendesak kapolri selaku orang yang bertanggung jawab terkait SP3 pidana Polda Jatim. Kedua, meminta Kementerian Keuangan, menghentikan risiko kompensasi dari uang negara yang menggunakan pendekatan bisnis membeli aset PT. Minarak Lapindo.

    Ketiga, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk audit lingkungan terhadap Lapindo secara menyeluruh.  Karena kegiatan mereka berdampak terhadap lingkungan.

    Keempat, meminta Jaksa Agung menggugat perdata karena ada indikasi wanpresrasi dan perbuatan melawan hukum oleh Lapindo. Kelima, meminta presiden tidak hanya mengeluarkan dana talangan, juga membentuk tim percepatan pemulihan non judicial terpadu. “Tim terdiri dari beberapa kementerian berbasiskan HAM. Ini penting karena ada beberapa pabrik tutup. Ribuan terdampak.”

    Keenam, meminta Kementerian Pekerjaan Umum aktif menyampaikan bukti-bukti kepada Polri terkait penyalahgunaan tata ruang oleh Lapindo.  Ketujuh, meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi  membuka data seluas mungkin karena hasil penyelidikan Komnas HAM menemukan ada banyak fakta ditutup-tutupi oleh Lapindo. “Ini yang kita sesalkan seakan-akan itu kejadian biasa.”

    Kedelapan, meminta BPK berkoordinasi dengan kementerian terkait, terutama Energi Sumber Daya Mineral.”Dalam pemeriksaan Komnas HAM, muncul bukti dari BPK yang menguatkan bahwa proses pengeboran tidak prosedur. Tahapan-tahapan ada dilewati dan tidak sistematis. Sayang, bukti-bukti tidak ditindaklanjuti pemerintah. Baik pemerintah SBY maupun Jokowi. Padahal sangat kuat,” ucap Munir.

    Puri Kencana Putri, Kepala Biro Riset KontraS mengatakan, dalam laporan Komnas HAM dua tahun lalu, ada 15 kasus pelanggaran HAM yang berdimensi serius. “Bisa dipakai mendorong langkah-langkah judicial dan non judicial. Juga bisa dihadirkan untuk pemulihan terhadap hak-hak korban,” katanya.

    Laporan pelanggaran HAM itu  antara lain, hak atas hidup,  hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, dan hak atas kesehatan. Lalu, hak atas pekerjaan, pendidikan, berkeluarga dan melanjutkan keturunan, kesejahteraan, jaminan sosial, pengungsian, kelompok rentan terutama mereka penyandang cacat, lansia dan anak-anak.

    Indra Nugraha

    Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/01/14/korban-lapindo-perlu-pemulihan-sosial-dan-ekologis/

  • Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika

    Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika

    Versi PDF [unduh]

    Oleh Anton Novenanto

    (Artikel sebelumnya: Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo)

    MENJELANG BERAKHIRNYA TAHUN 2014, Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mengambil sebuah keputusan penuh resiko. Rapat kabinet telah memutuskan untuk memberikan dana talangan bagi Lapindo yang gagal memenuhi kewajiban untuk melunasi sisa pembayaran jual-beli tanah dan bangunan yang berada di wilayah terdampak lumpur Lapindo.

    Rencana dana talangan untuk Lapindo merupakan salah satu butir kontrak politik Jokowi dengan korban Lapindo, pemilik tanah dan bangunan yang telah menunggu bertahun-tahun dalam ketidakpastian tentang kapan Lapindo akan melunasi sisa kewajibannya pada mereka. Kontrak politik itu disepakati dalam kampanye Jokowi di atas tanggul lumpur. Kebetulan kampanye mengambil waktu yang bersamaan dengan hari peringatan delapan tahun semburan lumpur Lapindo, 29 Mei 2014.

    Dalam Pemilihan Presiden 2014 Jokowi menang dengan mengalahkan satu-satunya kandidat lawannya, Prabowo. Berada di belakang Prabowo adalah Partai Golkar yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie. Aburizal adalah figur utama dalam Bakrie & Brothers, perusahaan induk Lapindo Brantas yang dituduh sebagai penyebab semburan karena melakukan malpraktik pemboran. Kekhawatiran publik kala itu adalah bila Prabowo naik menjadi presiden, kasus Lapindo tidak akan pernah tuntas, atau lebih tepatnya, ‘dituntaskan’. Oleh karenanya, terpilihnya Jokowi sebagai presiden telah meningkatkan harapan publik, khususnya korban lumpur, tentang penyelesaian tuntas kasus Lapindo.

    Desakan publik terus meningkat seiring meningkatnya imaji kehancuran akibat luapan lumpur memasuki musim penghujan. Curah hujan yang deras mendorong kebocoran tanggul sehingga lumpur masuk ke beberapa rumah warga yang belum pindah dari wilayah yang memang rawan terkena luberan. Para warga ini tidak hendak pindah karena Lapindo tidak mau membayar tanah dan bangunan mereka sekalipun wilayah mereka sudah dicantumkan dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007.

    Bersamaan dengan itu, sebagian korban lain dari kelompok cash and carry diberitakan menghalangi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) melakukan perbaikan tanggul yang bocor. Mereka berdalih bahwa BPLS bekerja di atas tanah yang masih milik mereka karena Lapindo belum melunasi kewajibannya. Bupati Sidoarjo dan Gubernur Jatim pun harus turun tangan berhadapan dengan para korban ini. Aparat kepolisian pun diturunkan untuk menjamin perbaikan dan perawatan tanggul oleh BPLS.

    ***

    WACANA AGAR PEMERINTAH perlu segera mengeluarkan dana talangan demi membantu Lapindo membayar para korban itu terus menguat. Melalui Sekretaris Kabinet Andi Wijadjanto, Jokowi menyatakan akan mendesak Lapindo untuk membayar kewajibannya pada korban lumpur. Pernyataan itu segera digantikan oleh pernyataan lain dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono tentang rencana pemerintah membeli aset Lapindo dan dengan uang hasil pembelian itu perusahaan bisa melunasi kewajiban mereka pada warga. Wacana ini mendapat reaksi langsung dari Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan rencana pembelian aset hanya akan menguntungkan Lapindo. Menurut Jusuf Kalla, pemerintah seharusnya melakukan sita aset Lapindo, bukan justru membelinya.

    Wacana tentang rencana dana talangan untuk Lapindo semakin konkret dalam rapat kabinet. Dalam rapat itu diputuskan bahwa pemerintah akan menganggarkan di APBN dana talangan sebesar Rp781 milyar untuk diberikan pada Lapindo sebelum Lapindo mendistribusikannya pada para korban yang berhak. Sebagai jaminannya, Lapindo berkewajiban untuk menyerahkan asetnya pada pemerintah. Selain itu, Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan uang negara dan bila Lapindo gagal pemerintah akan melakukan sita aset perusahaan.

    Bola panas rencana dana talangan untuk Lapindo sekarang berada di tangan DPR. Tentunya tidak sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan persetujuan dari DPR karena berada di kubu oposisi adalah Partai Golkar. Kali ini, para aparatus pemerintahan sepertinya sudah satu suara. Akan tetapi, publik melihat rencana pemerintah untuk memberi tenggat empat tahun pada Lapindo tidak lebih dari sekadar akal-akalan belaka. Apalagi, Lapindo sebenarnya sejak masa Presiden Yudhoyono telah mengajukan dana talangan untuk melunasi kewajibannya pada korban lumpur di Porong.

    ***

    DALAM BENAK MAYORITAS publik, Lapindo tidak akan mengembalikan uang tersebut. Imaji semacam ini muncul dari pengalaman publik melihat tindak-tanduk Lapindo yang tidak pernah mengutamakan etika dalam berhadapan dengan warga maupun pemerintah. Persoalan etika yang melekat dalam kasus Lapindo sudah dimulai sebelum lumpur menyembur pada 29 Mei 2006, bahkan sebelum pemboran Sumur Banjar Panji 1 dilakukan.

    Lapindo masuk dalam kategori tidak beretika karena telah melakukan kebohongan publik tentang bagaimana perusahaan itu mendapatkan sebidang tanah di Desa Renokenongo. Dengan bantuan Lurah Renokenongo, Lapindo berbohong pada si pemilik lahan dengan mengatakan bahwa di lokasi itu akan digunakan sebagai peternakan, bukan sebagai sumur eksplorasi gas alam. Tentunya, publik juga bertanya-tanya bagaimana Lapindo bisa mendapatkan izin pemboran sumur eksplorasi gas alam di kawasan padat huni dan berdekatan dengan infrastruktur vital lainnya, antara lain: jalan tol dan rel kereta api.

    Persoalan etika Lapindo juga kembali menyeruak dalam keputusan mereka untuk tidak lagi memasang selubung pengaman pada kedalaman tertentu dalam pemboran sumur Banjar Panji 1. Hal ini dilakukan untuk penghematan biaya operasional kegiatan eksplorasi. Akan tetapi, ketiadaan selubung pengaman itu berujung fatal pada runtuhnya dinding sumur di bawah tanah yang menyebabkan mata bor macet di dalam. Runtuhnya dinding sumur meningkatkan tekanan di bawah tanah dan memicu keretakan pada lapisan tanah di sekeliling sumur. Keretakan lapisan tanah merambat sampai pada sumber lumpur panas. Untuk mengatasi krisis tersebut, Lapindo melakukan penyemenan bagian atas sumur eksplorasi yang mengakibatkan semakin meningkatnya tekanan dari bawah tanah. Keretakan lapisan bawah tanah pun sampai ke permukaan, beberapa puluh meter dari mulut sumur Banjar Panji 1. Lumpur panas pun mulai menyembur mengikuti lontaran gas alam.

    Kita juga patut mempertanyakan etika Lapindo yang bersikeras mengkambinghitamkan gempa bumi 26 Mei 2006 di Yogyakarta sebagai penyebab semburan. Klaim semacam ini akan menguntungkan perusahaan karena klaim itu bertujuan mengubah citra perusahaan sebagai pelaku (yang menyebabkan semburan lumpur) menjadi salah satu korban lumpur. Sebagai korban dari sesuatu yang disebabkan oleh gejala alamiah, Lapindo pun berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti halnya para korban lumpur yang lain.

    Dalam dimensi pencitraan yang lain, Lapindo juga kerap menyatakan diri sebagai ‘penyelamat’ bagi para warga-korban. Kali ini, dengan mengatasnamakan ‘Ibunda Bakrie’ sebagai figur yang mendesak Keluarga Bakrie untuk membantu para korban yang menghadapi kesusahan, Lapindo membingkai tindakan mereka membayar ‘ganti-rugi’ pada korban sebagai bantuan, bahkan sedekah, bukannya sebagai kewajiban hukum mengikuti Perpres 14/2007. Karena bantuan atau sedekah, Lapindo pun secara suka-suka memberi para korban dan praktik itu dilakukan bukan dalam bingkai bahwa Lapindo sedang membayar hutang pada korban namun justru kinilah para korban itu yang sedang berhutang pada Lapindo. Ini jelas adalah sebuah strategi tidak etis yang diterapkan Lapindo terkait dengan kewajibannya pada korban.

    ***

    BERAGAM PRAKTIK TIDAK etis yang selama ini dilakukan Lapindo rupanya masih belum cukup untuk membuka cakrawala pemerintah dalam melihat kasus Lapindo. Sikap pemerintah yang selalu permisif terhadap Lapindo, bahkan setelah pergantian tampuk kepemimpinan, patut terus dipersoalkan secara kritis. Pertanyaan saya pun masih sama: aset apa yang akan dijaminkan Lapindo untuk mendapatkan dana talangan dari pemerintah?

    Dalam tulisan sebelumnya (‘Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo’), saya mempersoalkan tentang logika rencana pemerintah untuk menyita aset yang status sudah pasti bakal menjadi ‘milik negara’. Pemikiran semacam itu muncul atas dasar wacana bahwa aset Lapindo yang akan disita pemerintah adalah tanah dalam peta area terdampak. Mengacu pada pasal 26 & 27 UU Agraria No 5/1960, tanah yang dibeli Lapindo akan batal secara hukum dan statusnya akan menjadi ‘tanah negara’. Tidak hanya itu, Lapindo juga tidak berhak untuk meminta kembali uang yang sudah dikeluarkan untuk membeli tanah dari warga.

    Jika Lapindo menjaminkan asetnya sebagai perusahaan pertambangan, maka lagi-lagi publik harus mempertanyakannya. Mengacu pada Pasal 4 PP No. 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, disebutkan bahwa ‘Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan menjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana’ (ayat 1).

    Oleh karena itu, menjaminkan sesuatu yang tidak pernah menjadi miliknya — apakah itu tanah yang dibeli dari warga ataupun barang dan peralatan lain sebagai kontraktor eksplorasi gas alam— tidak hanya sebuah tindakan yang tidak masuk akal secara hukum, tapi juga tidak etis!

    (bersambung: Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi)

    Heidelberg, 13 Januari 2014
    Penulis adalah dosen pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya yang menggeluti kasus Lapindo sejak 2008. Penulis berterima kasih secara khusus pada Prasojo Bayu yang mengangkat kembali persoalan etika dalam kasus Lapindo.

    Versi PDF [unduh]

  • Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo

    Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    Oleh Anton Novenanto 

    RENCANA PEMERINTAH MENALANGI hutang Lapindo pada korban lumpur di Sidoarjo senilai Rp 781 milyar menggunakan dana taktis APBN 2015 patut didiskusikan secara kritis.

    Berangkat dari perspektif ‘korban’, mayoritas publik menilai pelunasan hutang Lapindo tersebut merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan mengingat korban sudah terlalu menunggu dalam ketidakpastian. Dana talangan adalah solusi darurat yang harus diambil oleh pemerintah untuk memberi kepastian pada para korban.

    Hanya sedikit dari publik yang tahu bahwa dana talangan hanya menyentuh satu kelompok korban Lapindo, kelompok cash and carry. Padahal, masih banyak kelompok korban lain yang tidak tersentuh oleh dana talangan dari pemerintah tersebut dan setiap kelompok itu menghadapi beragam masalah yang bisa jadi berbeda satu sama lain.

    Pada saat yang bersamaan, terdapat sekelompok orang yang berangkat dari perspektif ‘korporasi’ mempertanyakan secara kritis rencana pemerintah tersebut. Pemberian dana talangan merupakan strategi ekonomi-politik yang hanya menguntungkan konglomerasi besar yang sedang terlilit masalah finansial. Dalam kasus Lapindo, korporasi itu adalah Grup Bakrie. Logikanya sederhana: bukannya menghukum, negara justru membantu si pelaku kejahatan.

    Belajar dari pengalaman sebelumnya, dana talangan berujung pada praktik koruptif para penyedia dan penerima dana talangan, seperti kasus BLBI dan kasus Bank Century. Dana talangan itu tidak pernah kembali ke kas negara. Kritik dari kelompok ini dapat dirangkum dalam sebuah pertanyaan kritis: apakah pemerintah juga akan menyediakan dana talangan bagi korban Lapindo yang terlilit hutang akibat tertundanya pembayaran hak mereka selama bertahun-tahun?

    Terlepas dari pro-kontra terhadap rencana dana talangan untuk kasus Lapindo, yang tak kalah menarik perhatian adalah rencana pemerintah untuk menyita aset perusahaan bila dana tersebut tidak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu. Rencana ini mendorong penulis untuk meninjau kembali kasus Lapindo menggunakan perspektif ‘objek’ – tanah yang menjadi medium relasi kuasa antara para agen yang terlibat di dalamnya.

    ***

    KOMPLEKSITAS PENANGANAN KASUS Lapindo bermula sejak penandatanganan Perpres 14/2007 tentang BPLS pada 8 April 2007. Salah satu hal prinsipil dalam Perpres itu adalah tentang bagaimana pemerintah menyederhanakan konsep ‘ganti-rugi’ menjadi praktik ‘jual-beli’.

    Secara sosiologis, terdapat perbedaan hakiki dalam relasi sosial yang disebabkan oleh masing-masing konsep itu. Dalam logika ‘ganti-rugi’ relasi sosial yang terjadi adalah antara korban dan pelaku dengan mengandaikan otoritas superior (penegak hukum, negara, juri) yang mengawasi proses tersebut. Sementara itu, dalam proses ‘jual-beli’ relasi sosial yang terjadi adalah antara penjual dan pembeli, dalam hal ini warga sebagai penjual dan Lapindo sebagai pembeli. Objek yang diperjualbelikan adalah tanah dan bangunan dalam peta area terdampak (PAT) tertanggal 22 Maret 2007.

    Sekalipun nilai tukar dari objek yang sedang dipertukarkan sama besarnya, hakikat pertukarannya tidak pernah sama. Dalam proses ‘ganti-rugi’, pelaku mengganti kerugian yang diderita oleh korban tanpa ada peralihan kepemilikan apapun. Sementara itu, ‘jual-beli’ mengutamakan peralihan kepemilikan dari pembeli ke penjual. Dan justru di sinilah letak masalahnya ketika objek yang sedang diperjualbelikan, salah satunya, adalah tanah.

    Mengacu pada peraturan yang ada, hanya ada dua subjek hukum yang boleh memperoleh ‘hak milik’ atas tanah, yaitu warga negara Indonesia (pribadi) dan badan hukum tertentu (UU Agraria No. 5/1960, Pasal 26 Ayat 2). Termasuk dalam badan hukum adalah bank negara, koperasi pertanian, organisasi keagamaan dan badan sosial (PP No. 38/1963, Pasal 1). Mengikuti UU Agraria 5/1960, transaksi tanah pada badan hukum selain itu, seperti Lapindo atau Minarak, akan batal secara hukum dan segala pembayaran yang telah dilakukan tak dapat dituntut kembali dan status tanah berubah menjadi ‘tanah negara’ (Pasal 27a).

    Mekanisme jual-beli antara warga-korban dan Lapindo telah diatur dalam Surat Kepala BPN tanggal 24 Maret 2008. Dan, menurut Perpres 48/2008, tanah dalam peta area terdampak statusnya beralih menjadi ‘barang milik negara’. Jika betul demikian, maka pertanyaan kritis kita adalah: bagaimana mungkin negara menyita aset yang statusnya sudah pasti bakal menjadi ‘tanah negara’?

    Berdasarkan penelusuran singkat tersebut, penulis berpendapat bahwa rencana ‘dana talangan’ dan ‘sita aset’ Lapindo merupakan bukti dari kedangkalan pemerintah memahami lansekap-bencana lumpur Lapindo. Pemerintah, dan publik umum (termasuk media massa) telah secara sempit memahami kasus Lapindo sebatas ‘ganti-rugi’ (itupun sebenarnya sudah direduksi menjadi ‘jual-beli’) apalagi untuk sampai pada persoalan pemulihan sosial-ekologis.

    ***

    BILA KITA MAU secara jeli memahami kasus Lapindo, kita akan menjumpai pelbagai fakta yang menunjukkan bahwa sisa hutang Lapindo melampaui Rp781 milyar. Lapindo juga masih berhutang pada para pengusaha melalui mekanisme B-to-B yang jumlahnya mencapai senilai Rp514 milyar. Selain itu, masih banyak korban dari kelompok cash and resettlement, misalnya, yang belum mendapatkan kepastian kapan mereka akan mendapatkan sertifikat atas tanah dan rumah baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Bagi kelompok ini, selama Lapindo belum menyerahkan sertifikat tersebut proses transaksi belumlah selesai dan Lapindo masih berhutang pada mereka.

    Selain persoalan ekonomi, dampak dan resiko sosial-ekologis juga kerap luput dari amatan publik. Pembuangan lumpur ke Selat Madura menyebabkan pendangkalan dan pencemaran di sepanjang DAS Porong yang berujung pada menurunnya produksi perikanan pantai timur Sidoarjo. Sampai kini belum terdengar program jangka panjang untuk melakukan normalisasi DAS Porong. Alih fungsi lahan akibat proyek relokasi jalan raya, jalan tol, dan juga permukiman kembali korban Lapindo merupakan sumber bagi meluasnya persoalan pada jaring sosial-ekologis yang lain.

    Dana talangan memang penting dan mendesak bagi para korban, namun rencana itu baru menyentuh sebagian dari kasus Lapindo. Dana itu hanyalah solusi darurat dan parsial karena diperuntukkan bagi sebagian korban dari kelompok cash and carry. Tentunya, masih banyak persoalan lain yang memunculkan dan dimunculkan oleh lumpur Lapindo yang membutuhkan perhatian dan tindakan konkret dari pemerintah.

    Pemerintah tidak pernah tegas, misalnya, untuk mengusut pemberian izin pada Lapindo untuk melakukan pemboran Sumur Banjar Panji 1, dan juga sumur-sumur yang lain, di kawasan padat huni. Pemerintah juga tidak pernah tegas untuk menindak Lapindo yang jelas-jelas melanggar Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk melunasi pembayaran pada korban sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan (Pasal 14 Ayat 2). Alih-alih menghukum, pemerintah justru mereduksi tanggung jawab Lapindo secara bertahap.

    ***

    SEBAGAI BAGIAN DARI publik kritis, kita seharusnya terus mempertanyakan ‘kemauan politik’ pemerintah untuk secara serius memahami kompleksitas kasus Lapindo dan mengusutnya sampai tuntas. Karena bila bukan pemerintah, lalu otorita  politik apa lagi yang bisa?

    Kasus Lapindo akan selalu menjadi uji kasus bagi siapapun yang duduk di kursi kekuasaan, termasuk Presiden Joko Widodo. Tentunya, publik sangat berharap agar dalam masa pemerintahan saat ini keadilan betul-betul ditegakkan. Kini saatnya menenggelamkan sang raksasa jahat dalam lumpur Lapindo, bukannya justru melindungi dan ikut tenggelam bersamanya.

    (bersambung: Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika)

    Heidelberg, 11 Januari 2015

    Penulis adalah dosen pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya. Mendalami kasus Lapindo sejak 2008 hingga kini.

    Catatan penulis: beberapa pendapat dalam artikel ini pernah disampaikan ke beberapa media cetak tanpa ada kejelasan.

    Versi PDF [unduh]

  • Govt to ‘Help’ Lapindo With Mudflow Compensation, Offers to Buy Assets

    Jakarta. Victims of the Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo, East Java, are one step closer to being compensated for losses — eight years after dozens of villages and hundreds of hectares of farmland were swamped.

    The government announced on Monday that it would buy assets from the company accused of triggering the disaster, Lapindo Brantas, which could then use the proceeds to pay out Rp 781 billion ($62 million) due to victims this year.

    Minister of Public Works Basuki Hadimuljono said the government would buy about 20 percent of the company’s assets, which was mostly land, in affected areas.

    The announcement comes just days after President Joko Widodo — through cabinet secretary Andi Widjajanto — ordered Lapindo Brantas to wrap up payments to victims of the mud volcano. On top of the Rp 781 billion owed to residents, the company, which is affiliated with the family of Golkar Party chairman Aburizal Bakrie, must pay Rp 500 billion to affected businesses in 2015.

    “They still have around Rp 1.4 trillion to pay,” Andi said. “We’re waiting for it.”

    The government’s decision to buy assets from Lapindo Brantas is bound to raise questions about why money from the state budget was essentially being used to compensate a mistake made by the company.

    The government is already required to pay Rp 300 billion compensation to victims whose land is located outside the map of affected areas. A 2012 judicial review which sought to have the company cover all compensation costs in areas affected by the mudflow was rejected by the Constitutional Court.

    Andi said buying the company’s assets was part of the government’s effort to “help” Lapindo Brantas fulfill its responsibilities.

    Lapindo Brantas was conducting gas exploration in the Sidoarjo area in 2006 when one of its natural gas wells blew out, causing a mud flow which destroyed hundreds of homes, swamped 720 hectares of land and displaced thousands of people.

    Scientists blame drilling activities by the company for triggering the eruption, but the government at the time decreed it a natural disaster.

    Ezra Sihite

  • Jokowi Ingatkan Lapindo Tuntaskan Hutang Tahun Depan

    JAKARTA – Presiden Joko Widodo mengingatkan perusahaan Lapindo untuk tidak mengulur waktu terlalu lama dalam membayar ganti rugi terhadap warga korban luapan lumpur.

    Ganti rugi itu diminta diselesaikan tahun depan sebesar Rp 781 miliar. Ini disampaikan melalui Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto di kompleks Istana Negara, Jakarta, Kamis, (4/12).

    “Tadi saya sudah melaporkan masalahnya ke presiden. Instruksi presiden, jangan lagi menunggu terlalu lama. 8 tahun itu cukup. Tahun anggaran 2015 ini harus tuntas,” tegas Andi.

    Andi juga mengatakan, pemerintah juga memiliki kewajiban membayar kurang lebih Rp 300 miliar untuk warga. Dana itu telah disiapkan dari APBN tahun anggaran 2015. Namun, masih harus menunggu Lapindo terlebih dahulu melunasi kewajiban ganti ruginya.

    Pemerintah, ujarnya, tidak membantu Lapindo dalam bentuk uang. Tetapi akan dicarikan solusi agar Lapindo bisa segera melunasinya. “Kami mencari cara untuk membantu Lapindo supaya bisa melaksanakan kewajiban. Dari keputusan MK, tidak memungkinkan pemerintah untuk mengambil alih kewajiban Lapindo itu. Yang bisa kami lakukan adalah membantu Lapindo, apakah lewat penjualan aset atau langkah lain,” sambungnya.

    Jika pemerintah dan Lapindo sudah memenuhi kewajiban, kata dia, akan mempermudah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk memperbaiki tanggul-tanggul yang rusak di wilayah terdampak. (flo/jpnn)

    Sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/12/04/273681/Jokowi-Ingatkan-Lapindo-Tuntaskan-Hutang-Tahun-Depan-

  • Jokowi Diharapkan Selesaikan Soal Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    SIDOARJO, KOMPAS — Pemerintahan baru diharapkan melanjutkan upaya penyelesaian pembayaran ganti rugi terhadap korban lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang terkatung-katung selama hampir sembilan tahun. Supaya lebih efektif, pemerintah sebaiknya melanjutkan proses sebelumnya.

    Harapan itu disampaikan Bupati Sidoarjo Syaiful Illah kepada pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebelumnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gagal menyelesaikan permasalahan sehingga mengakibatkan ribuan korban lumpur menderita.

    ”Pemerintah harus bertanggung jawab menyelesaikannya. Dan, sesuai dengan hasil rapat kerja Dewan Pengarah BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) sudah disepakati pembayaran tunggakan akan dilakukan oleh pemerintah,” ujar Syaiful, Rabu (22/10/2014).

    Dia mengatakan, pembayaran sisa ganti rugi harus dilakukan oleh pemerintah karena PT Lapindo Brantas Inc yang seharusnya bertanggung jawab sudah tidak mampu bayar. Perusahaan yang bergerak di bidang migas itu mengalami kesulitan keuangan.

    Alasan lain adalah kemanusiaan. Korban lumpur sudah menderita selama bertahun-tahun karena luberan lumpur panas menenggelamkan rumah dan permukiman warga. Lumpur juga mengubur sejumlah pabrik sehingga mengakibatkan masyarakat kehilangan pekerjaan.

    Lumpur yang menyembur sejak 29 Mei 2006 sudah menenggelamkan 621 hektar kawasan di Kecamatan Tanggulangin, Jabon, dan Porong. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2007 tentang BPLS menyatakan, PT Lapindo harus bertanggung jawab membayar ganti rugi warga di area terdampak, yakni 621 hektar.

    Sebelumnya, hasil rapat Dewan Pengarah BPLS di Jakarta memutuskan mengusulkan pemerintah membayar sisa ganti rugi. Ada dua pilihan, pertama pemerintah memberikan dana talangan dan menagihnya kepada Lapindo. Kedua, pemerintah membayar sisa ganti rugi yang belum dibayar dan tanah yang dibayar tersebut menjadi aset negara.

    Sisa ganti rugi yang belum dibayar Rp 1,25 triliun dengan rincian Rp 781 miliar untuk warga dan sisanya, sekitar Rp 500 miliar, hak pelaku usaha yang tempat usahanya tenggelam oleh lumpur. Namun, saat rapat, sisa ganti rugi yang diusulkan dibayar hanya Rp 781 miliar.

    Warga korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Sulastro, berharap penyelesaian masalah ganti rugi itu masuk dalam program prioritas pemerintahan Joko Widodo yang akan direalisasikan pada 100 hari pertama kerja. ”Kami menagih janji Pak Jokowi sebagaimana tertuang dalam kontrak politik saat berkampanye sebagai calon presiden di atas tanggul di Desa Siring. Beliau telah berjanji menyelesaikan pembayaran ganti rugi,” kata Sulastro. (NIK)

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/10/23/16024531/Jokowi.Diharapkan.Selesaikan.Soal.Ganti.Rugi.Lumpur.Lapindo

  • Korban Lumpur Lapindo Tagih Kontrak Politik Jokowi

    TEMPO.CO Sidoarjo: Korban lumpur Lapindo di dalam peta area terdampak menagih janji Presiden Joko Widodo dalam kontrak politik yang telah ditandatangani Jokowi. Kontrak tersebut diteken Jokowi pada 29 Mei lalu.

    “Jadi, hari ini tepat dilantiknya Pak Jokowi, kami menagih kontrak politiknya,” kata korban lumpur Lapindo, Sulastro, kepada Tempo usai acara doa bersama dan tumpengan perayaan pelantikan Jokowi di atas tanggul lumpur Lapindo, Senin, 20 Oktober 2014.

    Menurut Sulastro, permasalahan lumpur Lapindo beserta seabrek permasalahannya merupakan warisan Susilo Bambang Yudhoyono yang harus segera di selesaikan supaya rakyat tidak terus sengsara akibat perusahaan yang kurang bertanggung jawab.

    Harwati, korban lumpur Lapindo yang lain, berharap Jokowi tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan pemerintahan sebelumnya yang hanya bermodal janji-janji semata, namun tidak ada aplikasinya hingga akhir jabatannya. “Semoga didengar oleh Pak Jokowi,” kata dia.

    Pada 29 Mei lalu, Jokowi meneken kontrak politik di hadapan ribuan orang di Desa Siring, Porong, Sidoarjo. Ada lima poin dalam kontrak politik itu. Pertama, program Indonesia sehat. Kedua, program Indonesia pintar. Ketiga, permukiman miskin (geser, bukan gusur dan penataan). Keempat, dana talangan untuk korban lumpur Lapindo. Kelima, keamanan kerja.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/10/21/058615938/Korban-Lumpur-Lapindo-Tagih-Kontrak-Politik-Jokowi

  • Jokowi-JK Dilantik, Korban Lumpur Lapindo Syukuran Tumpeng Raksasa

    Jokowi-JK Dilantik, Korban Lumpur Lapindo Syukuran Tumpeng Raksasa

    surya - tumpeng-raksasa

    SURABAYA, KOMPAS.com — Menyambut pelantikan presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, ratusan korban lumpur Lapindo menggelar syukuran di atas tanggul lumpur, Senin (20/10/2014). Mereka membawa tumpeng raksasa untuk dimakan bersama-sama di atas tanggul lumpur.

    Tumpeng raksasa setinggi hampir dua meter itu diarak dengan kendaraan pikap menuju tanggul lumpur titik 21 Desa Siring Kecamatan Porong, Sidoarjo. Setelah menggelar doa bersama, mereka menyantap ramai-ramai tumpeng nasi kuning itu berikut lauk pauknya.

    Koordinator acara syukuran korban lumpur, Muhammad Nurul Hidayat, mengatakan, selain sebagai bentuk ucapan syukur, persembahan makanan yang dibuat secara gotong royong oleh warga korban lumpur itu juga disertai harapan agar selama memimpin negara lima tahun ke depan, Jokowi-Jusuf Kalla bisa menyelesaikan ganti rugi korban lumpur Sidoarjo.

    “Jujur, kami sebenarnya kecewa dengan Pak SBY karena tidak berhasil menyelesaikan masalah korban lumpur Lapindo. Kali ini, dipimpin Pak Jokowi, kami yakin masalah korban lumpur dapat selesai dengan cepat,” ungkapnya.

    Akhir Mei lalu, bertepatan dengan peringatan delapan tahun semburan lumpur Lapindo, Jokowi sempat berkampanye di atas tanggul dan menemui korban lumpur. Saat itu, dia menandatangani kontrak politik dengan korban lumpur yang berisi lima poin, yakni program Indonesia Sehat, program Indonesia Pintar, permukiman miskin (geser, bukan gusur dan penataan), dana talangan untuk korban lumpur Lapindo, serta keamanan kerja.

    © Achmad Faizal, Caroline Damanik

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/10/20/15333381/Jokowi-JK.Dilantik.Korban.Lumpur.Lapindo.Syukuran.Tumpeng.Raksasa

  • WALHI Minta Jokowi-JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    WALHI Minta Jokowi-JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    WALHI Minta Jokowi JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    RANAHBERITA- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta pemerintahan baru yang dipimpin Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla menuntaskan kasus lumpur lapindo di Jawa Timur secara lebih komprehensif.

    “Jangan hanya dipandang sebagai kewajiban mengganti lahan yang tertimbun lumpur, lebih kompleks dari itu, sehingga perlu penuntasan menyeluruh,” kata Direktur Walhi Jawa Timur Ony Mahardika di Jakarta, Jumat (3/10/2014).

    Ia mengatakan penyelesaian persoalan yang dihadapi korban Lapindo harus tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

    Dalam hal ini, korban lumpur Lapindo adalah pengungsi internal yang membutuhkan jaminan atas terselenggaranya kebutuhan sesuai dengan kondisi mereka.

    Jaminan tersebut antara lain hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, kebebasan memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, kebebasan bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah Indonesia dan lainnya.

    “Kami merekomendasikan pemerintahan yang baru untuk secara komprehensif, memperhatikan usaha pemulihan hak-hak korban Lapindo,” ujarnya.

    Upaya pertama yang paling mendesak adalah mengambil alih sisa pembayaran kepada korban, kemudian ditagihkan kembali kepada Lapindo.

    Proses pemenuhan ganti rugi tersebut menurutnya bukan sekedar membayar berkas-berkas surat tanah warga, namun perlu pemetaan kelompok-kelompok korban Lapindo.

    Artinya korban-korban yang ada dalam skema “cash and carry” dengan cicilan, “cash and resettlement”, yang menolak cicilan maupun yang menuntut skema lain selain jual beli harus segera dituntaskan demi keadilan bagi semua korban Lapindo.

    Selain ganti rugi, pemulihan lingkungan dan jaminan kesehatan juga harus direalisasikan sebab usaha menutup semburan lumpur bukanlah prioritas dalam mitigasi bencana lumpur Lapindo tapi pengendalian luapan lumpur di permukaan.

    Pembuangan lumpur melalui kali atau kalan porong dan juga saluran air lainnya membuat pencemaran sistem air bawah tanah di sekitar semburan sampai Selat Madura akan terus meningkat.

    Jaminan pendidikan menurut Ony juga harus diperhatikan sebab sekitar 63 institusi pendidikan yang tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo, belum satupun yang ditangani pemerintah.

    Berikutnya pemulihan sosial dan budaya warga korban lumpur Lapindo terkait pemindahan paksa korban dari kampung halaman mereka yang terendam lumpur ke hunian baru.

    “Masalah ini kerap luput dari perhatian publik dan media massa. Melekatkan diri ke lingkungan baru, apalagi dilakukan dengan paksaan akan menambah beban bagi pemulihan krisis sosial, ekonomi, psikologis,” katanya menjelaskan.

    Termasuk pemulihan ekonomi juga mendesak dilakukan sebab sebanyak 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja terpaksa tutup karena bencana lumpur Lapindo.

    Tidak kalah penting menurut Ony adalah administrasi kependudukan. Sebab tidak adanya daftar pemilih tetap saat Pemilu 2014 bagi korban Lapindo menjadi salah satu masalah yang memperlambat pemenuhan hak-hak korban Lapindo. (Ant/Ed1)

    Sumber: http://ranahberita.com/30885/walhi-minta-jokowi-jk-tuntaskan-penyelesaian-kasus-lumpur-lapindo