Tag: sembilan tahun lumpur Lapindo

  • 9 Tahun Menunggu Janji Lapindo

    9 Tahun Menunggu Janji Lapindo

    MetroRealitas – Tidak terasa genangan lumpur ini sudah menginjak tahun ke-9, tidak banyak perubahan di sana, namun genangan masih ada bahkan terus meluap. Namun setidaknya kini sebagian warga di kawasan terdampak sudah mulai lega, sebab kekurangan pembayaran untuk senilai Rp 827 miliar akan segera dilunasi. Dilunasi dan dibayarkan oleh pemerintah, ya inilah ironi yang diperdebatkan belakangan ini sebab ujung-ujungnya harus pemerintah juga yang turun tangan. Anehnya tak cuma harus nombok duluan, pemerintah pun oke-oke saja memberikan talangan meski nilai jaminan dari pihak Lapindo justru menyusut. Benarkah Lapindo tak layak ditalangi? Dan benarkah grup usaha Lapindo ini telah meraup banyak keuntungan dari putaran bisnis migasnya, Selasa (16/6/2015).

    Editor: AMS

  • [Mei 2015] Mengingat Lapindo

    Pada edisi ini Buletin Kanal menyajikan beberapa seruan komunitas korban Lapindo dan kelompok masyarakat sipil terkait sembilan tahun lumpur Lapindo. Kelompok ini menyerukan betapa kasus Lapindo tidak ditangani baik oleh pengurus negara. Mereka mengatakan negara alpa dalam melindungi warga. Warga harus berjuang sendiri untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar dan memulai upaya pemulihan kehidupan.

    Kerusakan sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi tidak mendapatkan perhatian serius. Konsep melindungi warga dengan mendorong skema ganti rugi melalui jual beli aset tanah dan bangunan senyatanya tidak juga bisa ditaati perusahaan. Meski menjadi prasyarat paling ringan dalam kasus ini, ketidakpatuhan Lapindo Brantas pada kebijakan negara tak urung memperpanjang kesengsaraan korban Lapindo.

    Pada peringatan 7 tahun Lumpur Lapindo, beberapa komunitas yang menghadapi situasi serupa di Porong, datang bersolidaritas dan menetapkan 29 Mei sebagai Hari Anti Tambang (HATAM). HATAM mengingatkan publik tentang daya rusak tambang yang bahkan sejak mulai beroperasi telah bisa diidentifikasi. Pada kasus lumpur Lapindo misalnya, ketidakjelasan peruntukan lahan sumur pengeboran migas merupakan bentuk manipulasi informasi. Ditambah lagi sejak awal aktivitas industri migas ini tidak pernah disebutkan dalam RTRW Sidoarjo.

    Warga harus berjuang sendiri untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sejumlah warga mesti menghadapi resiko lingkungan yang sangat buruk dengan mengandalkan sumber ekonomi sebagai pengelola parkir dan pengojek di area tanggul semburan lumpur Lapindo. Catatan kesehatan Puskesmas Porong bisa menunjukkan resiko kesehatan yang dialami warga.

    Gangguan pernapasan menjadi indikator paling bisa dilihat akibat pemburukan kualitas udara. Pemeriksaan kesehatan kepada korban nyaris tidak dilakukan secara khusus. Bahkan mereka mesti berjuang bertahun-tahun untuk bisa mendapatkan keringanan biaya kesehatan. Jika tidak mendapat fasilitas Jamkesmas dan Jamkesda, mereka harus berbekal SKTM-surat pernyataan sebagai orang miskin.

    Sayangnya, media cenderung tidak menggali berbagai dimensi kerusakan akibat lumpur Lapindo. Sajian persoalan ganti rugi yang tak kunjung selesai menghiasi berita kasus lumpur Lapindo. Hanya sedikit media arusutama yang mencoba mendalami dampak lumpur Lapindo dari multi perspektif.

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang setidaknya ditunjuk untuk mengurusi persoalan Lapindo juga cenderung membatasi diri. Dalam urusan keterbukaan informasi, BPLS tidak cukup serius mengelola media informasi, www.bpls.go.id, yang tidak lagi dapat diakses publik, sejak 29 Mei hingga edisi ini terbit.

    Kami memilihkan beberapa liputan media tentang situasi finansial Grup Bakrie, resiko konflik adanya pulau endapan lumpur, pemulihan infrastruktur, dan liputan mendalam membaca dampak berkelanjutan lumpur Lapindo.

    Secara khusus tiga tulisan Anton Novenanto disajikan untuk memberikan gambaran lebih terang tentang situasi pengelolaan kasus lumpur Lapindo ini. Bambang Catur Nusantara dan Lutfi Amirrudin masing-masing menyajikan satu tulisan khusus dalam membaca situasi sembilan tahun semburan Lumpur Lapindo.

    Daris Ilma dan Rita Padawangi menampilkan beberapa foto dokumentasi prosesi peringatan 9 tahun semburan lumpur Lapindo. Akhmad Novik menuliskan kesaksiannya mengikuti prosesi peringatan sejak pagi hingga siang, 29 Mei 2015.

    Redaksi berterima kasih pada Rahman Seblat yang telah beriuran sketsa tematik Sembilan Tahun Lumpur Lapindo, “Warga Berdaya, Meski Negara Alpa.”

    Redaksi juga mengundang partisipasi pembaca untuk Buletin Kanal edisi mendatang. Silakan kirimkan tulisan opini, foto, sketsa, komik, atau bentuk lainnya sebagai kontribusi pada perbaikan pengelolaan kasus lumpur Lapindo ini.

    Selamat membaca!

    — Bambang Catur Nusantara

    Daftar tulisan edisi ini:

    1. Mengingat Lapindo (Bambang Catur Nusantara) (pdf)
    2. [Siaran Pers] 9 Tahun Semburan Lumpur Lapindo (pdf)
    3. [Siaran Pers] Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela (pdf)
    4. [Suara Publik] Bola Panas “Ganti Rugi” (Anton Novenanto) (pdf)
    5. [Suara Publik] “Warga Tetap Berdaya, Meski Negara Alpa” (Anton Novenanto) (pdf)
    6. [Suara Publik] Politik Janji (Anton Novenanto) (pdf)
    7. [Suara Publik] Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun (Bambang Catur Nusantara) (pdf)
    8. [Suara Publik] Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana (Lutfi Amiruddin) (pdf)
    9. [Kanal Korban] Sembilan Tahun Lumpur Lapindo (Novik Akhmad) (pdf)
    10. [Lapindo di Media] Mei 2015 (pdf)
    11. [Bingkai] Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015) (Daris Ilma & Rita Padawangi) (pdf)

    Dapatkan bendel lengkap Buletin Kanal di sini.

  • 9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    Bencana lumpur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang dipicu oleh pengeboran PT Lapindo Brantas Inc pada 29 Mei lalu genap sembilan tahun terjadi. Persoalan masih menggantung, terutama terkait pembayaran ganti rugi kepada warga yang menjadi korban terdampak yang belum selesai.

    Pola penanganan dampak bencana industri lumpur Lapindo menciptakan masalah tersendiri. Pembagian pemberian ganti rugi antara wilayah yang masuk peta area terdampak (PAT) dan di luar PAT mengakibatkan penelantaran dan perpecahan di tingkat warga.

    Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 dan Perpres No 40/2009, pemberian ganti rugi kepada korban dikategorikan dalam dua kelompok. Wilayah yang masuk PAT akan dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan juru bayar PT Lapindo Brantas Inc. Sementara desa-desa yang berada di luar PAT diberi ganti rugi oleh negara. Dalam perkembangannya, PT Minarak Lapindo tak mampu memenuhi kesepakatan itu. Akibatnya, masih banyak korban yang tidak jelas nasibnya saat ini.

    Tetap bertahan

    “Kalau hujan deras, ndak ada yang berani di dalam rumah. Kami semua kumpul di emperan depan, takut rumahnya ambruk,” ujar Bu Sanik (65), warga RT 010 RW 002 Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.

    Bu Sanik adalah salah satu warga yang saat ini bersama 18 kepala keluarga (KK) lainnya masih bertahan di lokasi PAT lumpur Lapindo. Bukan hanya keluarga Bu Sanik, hampir sebagian besar warga RT 010 RW 002 yang masih tinggal di wilayah PAT gelisah jika hujan turun. Ancaman rumah ambruk dan banjir air bercampur lumpur menghantui mereka.

    Pertengahan Maret lalu, tanggul penahan lumpur yang berada di belakang rumah warga Desa Gempolsari itu jebol. Air bercampur lumpur setinggi hampir setengah meter masuk ke rumah warga. Sekitar 100 warga dari RT 010 RW 002 mengungsi ke Balai Desa Gempolsari. Ini merupakan kejadian yang ketiga kalinya di tahun 2015.

    Desa Gempolsari berdasarkan Perpres No 14/2007 termasuk salah satu desa yang masuk dalam PAT lumpur Lapindo. Ada 99 KK dengan 314 jiwa warga Desa Gempolsari yang terdampak lumpur. Sebagian besar sudah pindah dari Gempolsari. Yang masih tersisa adalah warga RT 010 dan sebagian kecil RT 009 dari RW 002 yang berjumlah 19 KK dengan 114 jiwa. Area itu termasuk dalam 641 hektar yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI), seperti tertuang dalam Perpres No 14/2007.

    Kini, kondisi lingkungan dan tempat tinggal seluruh warga yang masih bertahan di wilayah ini sudah tidak layak huni. Lingkungan yang lembab akibat seringnya terendam lumpur menyebabkan fisik bangunan terkikis dan rapuh. Sebagian besar rumah lantainya sudah ambles dan lebih rendah dari endapan lumpur yang ada di halaman.

    Mereka yang masih tinggal di area itu bukannya tidak ingin pindah, belum lunasnya sisa pembayaran oleh PT Minarak Lapindo Jaya menyebabkan mereka terus bertahan di situ. Selain karena belum memiliki tempat hunian lain, mereka juga khawatir jika meninggalkan lokasi, sementara tanah dan bangunan belum lunas, mereka akan kehilangan hak atas tanah dan bangunan milik mereka.

    Memberdayakan kelompok

    Di antara penelantaran oleh negara dan PT Lapindo, tetap muncul inisiatif-inisiatif dari para korban untuk menyelesaikan masalah mereka. Seperti yang dilakukan Harwati (39). Meskipun telah sembilan tahun terpaksa meninggalkan rumahnya di Desa Siring, Kecamatan Porong, Harwati belum memperoleh pelunasan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Kini, ia tinggal di rumah orangtuanya di Desa Candipari sambil menjadi tukang ojek di salah satu area tanggul lumpur Lapindo.

    Kematian suami dan ibunya karena kanker beberapa tahun setelah bencana lumpur membuat Harwati bertekad mengumpulkan kembali para tetangga dan keluarganya yang telah tercerai berai. “Kira-kira setahun saya berkeliling ke desa-desa sekitar mencari tahu keberadaan keluarga besar dan tetangga di Desa Siring dulu. Daripada stres kalau belum ada penumpang, lebih baik keliling,” cerita Harwati.

    Setelah mengetahui tempat tinggal mereka, Harwati mengajak tetangga dan keluarga yang sudah ditemukannya untuk berkumpul, membuat arisan kecil-kecilan, hanya agar bisa menyambung kembali ikatan sosial yang telah dihancurkan lumpur Lapindo. Saat ini, tak kurang dari 20 perempuan aktif berkumpul dalam Komunitas Ar-Rohmah yang didirikannya. Mereka memiliki usaha kecil-kecilan membuat produk kreatif, seperti tas kain, selimut, bed cover dari perca. Uang kas yang dikumpulkan sedikit demi sedikit digunakan untuk membantu biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit.

    “Saya tak mau kejadian seperti suami saya yang ditolak rumah sakit ketika berusaha mengobati kankernya terulang kembali. Bikin trauma sekali,” ungkapnya. Pemerintah dan (apalagi) PT Lapindo tidak memedulikan persoalan ini. Warga sendiri yang harus mengupayakan penyelesaian.

    Malu diganti negara

    Pengategorian korban bencana lumpur juga mengakibatkan perpecahan di kalangan warga, baik yang berada di PAT maupun di luar PAT. Seperti yang terjadi pada warga Desa Besuki. Abdul Rokhim (48) menuturkan bahwa tahun 2007 ia dan ratusan warga lainnya menuntut ganti rugi. Tempat tinggalnya memang tidak masuk dalam PAT berdasarkan Perpres No 14/2007.

    Namun, Rokhim menyatakan, dampak luapan lumpur itu juga dirasakan warga yang rumahnya di luar peta tersebut. “Saya tidak bisa kerja lagi karena pabrik sudah tutup, apalagi harus beli air untuk kebutuhan sehari-hari karena air di rumah tidak layak,” tutur Rokhim.

    Pemerintah akhirnya menerbitkan Prepres No 48/2008 yang memasukkan sebagian Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, untuk diberi ganti rugi dari APBN. Namun, peraturan itu menjadikan jalan tol sebagai dasar menentukan wilayah yang masuk penggantian. Akibatnya, hanya Besuki bagian Barat yang masuk. Keputusan ini mengakibatkan kelompok warga yang semula bersatu di atas kepentingan bersama Desa Besuki menjadi terpecah belah. Suasana kekeluargaan pun hancur.

    Akhirnya, Rokhim dan warga Besuki bagian Timur harus berjuang kembali menuntut ganti rugi. Keberuntungan masih dimiliki Rokhim, bagian timur Desa Besuki pun masuk dalam penggantian melalui Perpres No 37/2012. Kini, meski telah tinggal di rumah baru, kegundahan Rokhim tak hilang karena, “Saya pribadi malu karena saya merasakan diganteni (diganti) oleh negara, seluruh rakyat Indonesia. Mestinya yang bertanggung jawab Lapindo,” ungkapnya. Keadilan hukum seharusnya diberikan kepada pelaku bencana industri seperti Lapindo.

    MG Retno Setyowati/Yohan Wahyu/BI Purwantari/Litbang Kompas

    Kompas Siang, 4 Juni 2015

  • Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015)

    Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015)

    Tanggal 29 Mei 2015, semburan lumpur Lapindo genap berusia sembilan tahun. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, warga secara mandiri mengorganisasi peringatan semburan lumpur yang telah memporak-porandakan kehidupan sosial dan lingkungan mereka. Semua itu diselenggarakan demi suatu usaha mengingat tragedi industri migas paling fenomenal di republik ini.

    Pada kesempatan ini Redaksi Kanal menghadirkan sebagian rekaman kegiatan komemoratif itu.

    Foto-foto oleh Daris Ilma dan Rita Padawangi.

    Unduh versi pdf di sini.

     

  • Bola Pencairan di Tangan PT Minarak Lapindo

    Bola Pencairan di Tangan PT Minarak Lapindo

    JAKARTA – Seharusnya dalam beberapa pekan ke depan pencairan ganti rugi untuk korban lumpur Lapindo bisa segera cair. Pemerintah sudah menyiapkan dana talangan Rp 827 miliar. PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) pun menyatakan keinginan agar pencairan mulai dilakukan sebelum bulan puasa yang jatuh pada pertengahan Juni.

    ”Ya, kami ingin finalisasi perjanjian kesepakatan pemberian dana talangan bisa segera terwujud. Sehingga dana talangan untuk korban lumpur panas kalau bisa cair sebelum bulan puasa,” kata Direktur PT MLJ Andi DarussalamTabusalla saat dihubungi Jumat (29/5).

    Andi menyatakan, pihaknya tidak punya keinginan untuk memperlambat proses pencairan. Terkait belum adanya kesepakatan, kata Andi, ada beberapa poin perjanjian yang masih perlu dibahas kedua pihak.

    Seperti disebutkan Wapres Jusuf Kalla pada Kamis lalu (28/5), salah satu poin yang perlu dibahas berkaitan dengan bunga. Kabarnya, pihak PT MLJ ingin dibebaskan dari bunga. Sebaliknya, pemerintah gamang karena nilai aset yang dijadikan jaminan menurun.

    Menanggapi itu, Andi secara tegas menampik. Dia mengatakan, kesepakatan perjanjian lama hanya karena kehati-hatian pihak pemerintah dan PT MLJ. Selain itu, kerugian nilai aset, menurut dia, tidak akan terjadi. Sebab, pada akhirnya seluruh hutang tersebut akan dilunasi MLJ dalam rentang waktu empat tahun mendatang.

    ”Ini kan bukan perkara kita tidak sanggup. Tapi, dengan kondisi keuangan saat ini akan memakan waktu lebih lama untuk jual beli tanah. Makanya, dibantu pemerintah menalangi,” tandasnya.

    Di tempat terpisah, Lalu Mara Satria Wangsa, juru bicara keluarga Bakrie, meminta masyarakat tidak terus-terusan menilai negatif pihak keluarga Bakrie dalam masalah itu. Menurut dia, yang telah dilakukan keluarga Bakrie harus diapresiasi. Pendapat itu didasari tanggung jawab keluarga Bakrie meski tidak memiliki secara langsung PT Minarak Lapindo. Terlebih, putusan hukum sebelumnya menyatakan perusahaan tidak bersalah atas bencana yang terjadi.

    Lalu Mara mengatakan, kepemilikan saham PT Minarak Lapindo terdiri atas PT Energi Mega (50 persen), PT Medco (32 persen), dan PT Santos Australia (18 persen). Dalam kepemilikan PT Energi Mega, diakui, keluarga Bakrie memang mempunyai saham. Namun, menurut dia, itu tidak banyak. Sebab, 70 persen sahamnya milik publik. ”Dari struktur kepemilikannya saja sudah terlihat bagaimana tanggung jawab keluarga Bakrie. Meski tidak bersalah, tetap melakukan segalanya hingga lebih dari Rp 8 triliun,” tuturnya.

    Sementara itu, Kemenkeu mengaku belum bisa memastikan besaran bunga dan pajak yang akan dikenakan dalam pemberian dana talangan Rp 827 miliar. ”Belum dibicarakan,” kata Menkeu Bambang Brodjonegoro di gedung Kemenkeu kemarin.

    Bambang menegaskan bahwa bunga talangan tersebut tidak berkaitan dengan APBN. Bunga tersebut merupakan kewajiban Lapindo ke depan dengan peemrintah. ”Itu yang harus dibicarakan dengan ketua tim Lapindo (Menteri PU-Pera, Red),” ujarnya.

    Soal kekhawatiran penurunan nilai aset yang dijaminkan PT Minarak Lapindo berupa 9.900 berkas senilai Rp 3,03 triliun, pakar geofisika ITS Amien Widodo menyatakan, itu tidak perlu terjadi. Tanah di sekitar lumpur Lapindo masih dikatakan sehat. Asalkan, tanah tersebut benar-benar bersih dari campuran lumpur. Amien menjelaskan, air lumpur memiliki kandungan garam yang sangat tinggi. Apabila sudah terkontaminasi lumpur, kondisi tanah turun drastis.

    ”Kalau ada kadar garam tinggi, tanaman jenis apa saja ya gak bisa tumbuh,” ujarnya.

    Meski begitu, banyak manfaat yang bisa diambil dari lumpur. Dia menerangkan, saat ini sedang dilakukan penelitian terkait kandungan lumpur. Penemuannya, lumpur mengandung litium. ”Ada kandungan litium meski kosentrasinya hanya sedikit. Namun, itu berpotensi dapat digunakan untuk industri,” paparnya.

    Litium, lanjut dia, digunakan untuk bahan baterai. ”Kami sedang dalam penelitian untuk menjadikan sebuah produk baterai. Tapi, masih proses karena memang kosentrasinya hanya sedikit, tidak sampai 5 persen,” terangnya. Litium diperoleh dari hasil pemisahan saat air lumpur disaring.

    Bukan hanya bahan baterai. Lumpur juga sangat berpotensi digunakan sebagai bahan batu bata. ”Dulu pernah membuat batu bata, tapi gagal. Karena memang dulu belum tahu kalau memiliki kadar garam tinggi,” terangnya.

    Jika kadar garam dapat dipisahkan, lumpur tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan batu bata. Amien mengimbau pemerintah untuk melihat potensi yang ada dari lumpur. Dengan begitu, lumpur Lapindo dapat digunakan sebagai bahan industri yang menghasilkan keuntungan. ”Hanya saja, saat ini kondisi tanah terus turun. Buktinya, selalu ada banjir di sekitar itu,” terangnya.

    Sementara itu, sembilan tahun semburan lumpur Lapindo diperingati ribuan korban dengan menggelar festival pulang kampung. Festival tersebut diawali dengan arak-arakan ogoh-ogoh berbentuk mirip Aburizal Bakrie berbaju kuning. Dua tangannya diikat rantai hitam dan tepat di depan ogoh-ogoh beberapa warga membawa spanduk dengan berbagai tulisan. Ogoh-ogoh tersebut diarak lebih dari 200 orang dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju tanggul di titik 21, perbatasan antara Desa Siring dan Desa Jatirejo.

    Sambil mengarak ogoh-ogoh, warga yang hadir saat itu juga memainkan musik patrol. Sesampai di tanggul titik 21, ogoh-ogoh tersebut diletakkan tidak jauh dari lokasi patung-patung yang ditenggelamkan warga setahun lalu. Warga yang dari awal mengarak ogoh-ogoh tersebut langsung memutari ogoh-ogoh tersebut. Sejumlah warga lalu menaburi ogoh-ogoh dengan bunga.

    ”Bunga ini melambangkan bahwa hukum di Indoensia telah mati,” kata Koordinator Festival Pulang Kampung Harwati. Dia mengatakan, ogoh-ogoh tersebut akan terus diletakkan di posisi tersebut. Itu menunjukkan musibah yang menimpa mereka merupakan tanggung jawab Bakrie.

    Seusai kegiatan arak-arakan ogoh-ogoh, warga yang mengikuti kegiatan tersebut langsung menghampiri sembilan gubuk di lokasi tersebut. Di sembilan gubuk tersebut ada beberapa makanan desa khas Porong seperti getuk, gerondol jagung, dan nasi kuning. Makanan-makanan tersebut dahulu bisa didapat dengan mudah di desa yang sekarang tertimbun lumpur itu. Tiga jenis makanan tersebut dihadirkan untuk mengobati rasa rindu para korban lumpur Lapindo akan kampung halaman.

    Warga juga menyantap nasi aking (nasi karak) yang sudah dimasak ulang. Nasi aking tersebut, menurut Harwati, menggambarkan nasib mereka. Mereka yang berasal dari desa dihancurkan seperti tak ada harganya. ”Tapi, nasi aking kami masak lagi. Artinya, kami masih bisa bangkit dan akan terus berjuang untuk hidup kami,” tegas Harwati.

    Karena itu, mereka sangat berharap janji kali ini tidak meleset lagi seperti sebelum-sebelumnya. ”Tentu kami ingin ini menjadi kenyataan. Bagi kami, kalau ganti rugi ini benar-benar cair sebelum Lebaran, suasana Lebaran akan terasa nikmat,” ungkap Gunawan, seorang korban lumpur asal Jatirejo, Porong.

    Jika ganti rugi itu cair, Gunawan menyebut hidupnya akan terasa lebih ringan. ”Dengan uang itu, rumah bisa kami lunasi dan utang kami juga bisa dikurangi,” kata pria 53 tahun tersebut.

    Harapan agar pelunasan tersebut diwujudkan juga diapungkan Sugiono. Pria yang dahulu tinggal di Jatirejo itu berharap pelunasan ganti rugi nanti bisa menjadi hadiah Lebaran untuknya, keluarga besarnya, dan para korban lainnya. ”Biar semua beban kami bisa lebih ringan sehingga kami bisa menikmati Lebaran lebih nyaman,” ujarnya. (mia/tin/fim/bri/c10/ang)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/18108/Bola-Pencairan-di-Tangan-PT-Minarak-Lapindo

  • Sembilan Tahun Lumpur Lapindo

    Sembilan Tahun Lumpur Lapindo

    Tanggal 29 Mei 2015, tepat 9 (sembilan) tahun lumpur Lapindo menyembur di Desa Siring Kecamatan Porong, yang sudah menenggelamkan dan mengusir warga di 3 (tiga) kecamatan (Porong, Jabon, dan Tanggulangin).

    Pada hari itu ratusan korban Lapindo memperingatinya dengan mengarak ogoh-ogoh yang menyerupai Aburizal Bakrie. Ogoh-ogoh diarak dari taman, bekas Pasar Porong, menuju kolam lumpur. Tidak hanya kaum laki-laki, anak-anak dan perempuan juga ikut serta dalam aksi peringatan itu.

    Selain ogoh-ogoh, peserta aksi juga membawa poster dari kardus dengan pelbagai tulisan, antara lain, “Kampungku dulu tidak begini, Lapindo menghancurkan semua” dan “Tambangku hancurkan, duniaku.” Para perempuan memakai topeng wajah Aburizal Bakrie juga membentang spanduk bertuliskan “9 Tahun Lumpur Lapindo Muncrat, Bakrie Penjahat.”

    This slideshow requires JavaScript.

    Festival Pulang Kampung

    Abdul Rochim, salah satu koordinator aksi, mengatakan aksi dengan mengarak raksasa Bakrie dengan tangan terikat rantai itu ingin mengabarkan bahwa pemilik Lapindo Brantas ini adalah penjahat lingkungan, yang seharusnya diadili.

    “Dalam aksi kali ini, kami sengaja lakukan dengan mengarak ogoh-ogoh Bakire yang terikat rantai. Kami sengaja ingin menyampaikan pesan ke publik dan ke negara bahwa tokoh Partai Golkar ini adalah penjahat lingkungan yang seharusnya diadili,” ujarnya.

    Sesampainya di tanggul lumpur Lapindo, arak-arakan ogoh-ogoh langsung disambut ibu-ibu dari Komunitas Ar-Rohma, yang mendirikan gubuk-gubukan di atas lumpur yang sudah mengering. Komunitas Ar-Rohma sengaja membangun gubuk-gubukan di atas Desa Siring, di titik 21.

    Harwati, salah satu perempuan korban Lapindo dari Komunitas Arrohma, mengatakan bahwa warga yang berprofesi sebagai tukang ojek lumpur sudah membangun gubuk-gubukan sejak tanggal 25 Mei. “Kami membangun kampung kembali di atas lumpur yang sudah mengering.” Dalam aksi “Festival Pulang Kampung” ini mereka berpesan kepada negara bahwa dulu ada kampung dan kehidupan di dalam sini.

    Aksi peringatan 9 tahun lumpur Lapindo berjalan lancar dengan pengawalan tim dari kepolisian. Ogoh-ogoh Aburizal Bakrie diletakkan di atas lumpur yang mengering, dengan rantai yang mengikat kedua tangannya dipasung dalam lumpur. Warga mengerubungi ogoh-ogoh dan melemparinya dengan kembang sambil berteriak “Bakrie Penjahat.”

    Usai dengan ogoh-ogoh, warga berkumpul di gubuk yang sudah disiapkan. Warga melakukan beberapa aktivitas “pulang kampung” di atas lumpur yang mengering itu. Ada perwakilan anak-anak membacakan puisi yang menggambarkan penderitaan mereka kehilangan tempat tinggal, bermain.

    Menghukum Pelaku

    “Presiden Jokowi pernah mengatakan negara harus hadir untuk menyelesaikan semua persoalan yang terjadi di sini,” ungkap Harwati.

    “Seharusnya Jokowi tidak hanya mengganti rugi yang sampai sekarang belum selesai dengan dana talangan, tapi juga harus menyelesaikan persoalan yang lain seperti pemulihan ekonomi warga, jaminan kesehatan dan pemulihan sosial budaya yang saat ini sama sekali tidak diperhatikan,” lanjutnya.

    Harwati dan ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas Ar-Rohma akan terus memperjuangkan hak-hak korban Lapindo yang dihilangkan oleh Lapindo dan negara. “Selama kami diusir dari kampung kami, kami tidak pernah mendapatkan jaminan kesehatan dan pendidikan,” katanya.

    Ony Mahardika, Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, juga mengatakan senada. “Seharusnya Presiden Jokowi tidak memaknai persoalan kasus lumpur Lapindo hanya dengan persoalan ganti rugi, tapi harus melihat aspek-aspek yang lain, misalnya jaminan kesehatan, jaminan pendidikan, pemulihan ekonomi, dan jaminan pemenuhan hak-hak korban Lapindo lainnya,” ungkap Ony.

    Novik Akhmad untuk korbanlumpur.info

  • “Rakyat Berdaya, Meski Negara Alpa”

    “Rakyat Berdaya, Meski Negara Alpa”

    Rilis Media | 9 Tahun Semburan Lumpur Lapindo

    Sembilan tahun lalu, di desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan: Porong, Tanggulangin dan Jabon. Lumpur Lapindo menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 15 desa. Bencana industri ini ternyata bukan hanya cerita hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur saja. Ia menceritakan pengabaian negara terhadap kehidupan berpuluh ribu warga di Porong, Tanggulangin, dan Jabon.

    Negara Alpa di Tengah Bencana

    Ada begitu banyak kerugian yang harus ditanggung korban Lapindo selain hilangnya tanah dan bangunan. Di sektor ekonomi dan tenaga kerja misalnya, sekitar 31 ribu usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, dulu berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu ribuan sektor informal masyarakat seperti industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain juga harus kehilangan pekerjaan. Semua dikarenakan sarana dan prasarana mereka telah hilang, tenggelam atau telah rusak.

    Pada persoalan kesehatan, penelitian WALHI dan beberapa peneliti menemukan kandungan logam berat di tanah dan air pada area sekitar lumpur Lapindo. Pada tahun 2011, Jatam memeriksa kesehatan korban Lapindo yang masih tinggal di wilayah sekitar semburan, Dalam pemeriksaan haematologi lengkap, 75% dari dua puluh terperiksa ternyata dalam kondisi tidak normal. Yang terbaru pada 2013, Tarzan Purnomo, seorang peneliti dari Unesa, bahkan menemukan kandungan logam berat Timbal pada tubuh ikan ribuan kali diatas ambang batas aman.

    Di sektor pendidikan, tercatat setidaknya 33 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat, dan ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

    Hampir seluruh persoalan ini tidak pernah menjadi perhatian utama pemerintah dalam usahanya untuk memulihkan kehidupan korban Lapindo. Jangankan mau memikirkan skema pemenuhan hak korban Lapindo, data sahih tentang berapa jumlah korban Lapindo saja tidak pernah didata dengan baik. Selama ini baik Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) maupun Lapindo hanya memakai acuan berkas kepemilikan lahan. Berapa berkas yang sudah terbayar dan berapa yang belum. Persoalan ekonomi korban lumpur yang berantakan, kualitas kesehatan yang memburuk, layanan administrasi yang memadai untuk mereka, dan kualitas lingkungan  yang memburuk sama sekali tidak masuk skema BPLS dan Lapindo. Logika penanganan kasus Lapindo ini sudah sesat sejak awal. Hanya dibatasi persoalan hilangnya aset tanah dan bangunan.

    Kami Tidak Diam

    © 2015, Rahman Seblat
    © 2015, Rahman Seblat

    Telah menjadi anggapan umum bahwa warga terdampak lumpur Lapindo adalah korban tak berdaya yang selalu menunggu uluran tangan pemerintah untuk bisa keluar dari kondisinya selama ini. Berlarut-larutnya proses penanganan korban, terutama mereka yang ada dalam skema pembayaran PT Minarak Lapindo Jaya, semakin menguhkan pandangan umum akan hal ini.

    Kelompok Perempuan Korban Lapindo, Ar-Rohma merasa pemerintah sama sekali tidak memberikan mereka jaminan apapun di tengah kondisi yang semburan lumpur Lapindo yang telah merusak hidup mereka. Berawal dari meningkatnya permasalahan kesehatan warga terdampak lumpur lapindo yang tidak pernah menjadi perhatian pengurus publik negeri ini, perempuan-perempuan korban lapindo ini bergerak untuk menuntut jaminan atas kehidupan mereka. “Kami bukan sekedar memperjuangkan hak pada sektor kesehatan saja, namun kami juga memperjuangkan hak atas pendidikan anak-anak kami yang telah terpinggirkan, jaminan perlindungan sosial-ekonomi, serta persoalan administrasi kependudukan yang menjadi pangkal hilangnya hak-hak korban Lapindo,” tutur Harwati (39), koordinator Ar-Rohma.

    Selama ini warga terdampak lumpur Lapindo tetap teguh memperjuangkan hak-hak mereka meskipun tanpa bantuan negara di antara isu “mainstream” ganti rugi yang nampak di permukaan. Pemenuhan ganti rugi yang tak kunjung selesai memang telah memperburuk korban Lapindo untuk mulai memulihkan hidup mereka. Namun korban Lapindo tetap berusaha untuk selamat dengan memperjuangkan pemulihan hidup dengan cara mereka.

    Komunitas Alfaz menerbitkan kumpulan cerita dan puisi berjudul “Lumpur Masih Menggila, Dengarkan Anak-Anak Bercerita” pada 2012. Buku ini merupakan media yang memberi kesempatan anak-anak bertutur tentang apa yang mereka lihat dan rasakan pada dunianya yang tengah terancam oleh semburan lumpur Lapindo. Alfaz yang didirikan sebagai usaha untuk menciptakan ruang bermain dan belajar anak untuk membantu menjawab kebutuhan psikologis anak-anak terdampak lumpur Lapindo yang harus menghadapi kondisi penuh kecemasan dan ketidakpastian akibat lumpur lapindo. “Ruang bermain dan belajar anak di sekitar semburan Lapindo telah hilang terkubur lumpur, kenyamanan dan keriangan yang harusnya bisa didapat anak-anak pun turut terkubur di dalamnya. Karena itulah, usaha untuk mencoba membangkitkan kembali dunia bermain anak yang hilang tersebut perlu untuk dimunculkan, Sanggar anak Alfaz adalah ruang dimana anak-anak korban lumpur Lapindo terutama di desa Besuki, sebelumnya, sebelum pindah ke Desa pangreh, Kecamatan Jabon dapat mempunyai ruang bermain dan belajar bersam,” tutur Abdul Rokhim (48), pengasuh Alfaz.

    Beberapa puisi yang ditulis dibacakan dalam prosesi “Pulang Kampung” di tanggul Lumpur Lapindo titik 21 pada 29 Mei 2015.

    Rakyat Berdaya Meminta Negara Ada

    Peran pengurus negara sampai sejauh ini dalam menentukan skema penyelesaian lumpur Lapindo hanya sebatas pada persoalan ganti rugi dan melupakan tanggung jawab pemulihan hilangnya hak dasar warga. Rusaknya sarana pendidikan dan akses mendapatkan pendidikan layak yang sulit didapat anak-anak korban Lapindo tidak pernah coba diatasi secara khusus. Kualitas kesehatan yang menurun tidak diimbangi dengan melakukan monitoring kesehatan warga dan pertanggungan khusus. Lebih-lebih soal lingkungan yang memburuk, tidak ada upaya mengatasi melalui monitoring ataupun pengelolaan khusus.

    Pengurus Negara justru berperan memperburuk terpenuhinya hak dasar warga. Sebelumnya di masa pemerintahan SBY, model penanganan kasus lapindo oleh pemerintah lebih mengedepankan pemulihan ekonomi regional dan lebih melihat melihat dampak lumpur Lapindo terhadap infrastruktur. Ini bisa dilihat dari struktur personel BPLS dan juga anggarannya yang lebih fokus pada pemulihan infrastruktur, tidak ada upaya untuk memulihan hak dasar korban Lapindo.

    Penyelesaian dampak lumpur pada warga di luar Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 juga menggunakan skema ganti rugi tanah dan bangunan.

    Presiden Jokowi seharusnya tidak memandang persoalan lumpur Lapindo sebagai persoalan sederhana dan bisa diselesaikan tuntas dengan menalangi pembayaran ganti rugi. Sejumlah pekerjaan pemulihan dan upaya mitigasi perlu dilakukan. Memantau persebaran lumpur dan dampaknya perlu dilakukan terus menerus dan diimbangi upaya pemulihan lingkungan dan monitoring kesehatan warga. Jaminan khusus untuk pendidikan anak-anak korban Lapindo wajib dilakukan. Demikian juga peran untuk memfasilitasi inisiasi aktivitas ekonomi baru untuk percepatan pemulihan ekonomi keluarga.

    Kelompok perempuan korban Lapindo, ArRohma bersama Paguyuban Ojek dan Portal Titik 21, dan Komunitas AlFaz  melakukan Festival Pulang Kampung. Patung raksasa (ogoh-ogoh) Bakrie setinggi lima meter diarak dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju tanggul di titik 21 Jalan Desa Reno. Tangan sosok Bakrie ini diikat rantai, diarak, lalu dipasak di kawasan lumpur Lapindo. Ratusan korban Lapindo berjalan pelan menuju tanggul titik 21 diiring patrol yang dimainkan anggota AlFaz.

    Kegiatan ini dimaksudkan untuk menggambarkan betapa ada ikatan kuat antara korban Lapindo dengan kawasan yang kini telah terendam lumpur. Tanah kubur orang tua moyang mereka terkubur di wilayah ini. “Kami tak mungkin melupakan desa-desa di sini, sampai kapanpun kami akan ingat,” ujar Harwati(39). Ia mengkoordinir ratusan korban Lapindo dalam peringatan 9 tahun Lumpur Lapindo.

    Harwati berharap masyarakat Indonesia mengingat kejadian lumpur Lapindo dan mendorong pemerintah untuk menyelesaikan krisis yang diakibatkan lumpur Lapindo. Pemulihan ekonomi merupakan agenda penting dilakukan dengan memprioritaskan pemenuhan hak dasar.

    Ia berharap desa-desa yang terendam lumpur Lapindo tidak dihapuskan secara administrasi. Sebagai bagian kenangan dan sejarah korban Lapindo, agaknya sulit bagi mereka untuk menerima rencana-rencana penghapusan desa seperti yang diusulkan DPRD Sidoarjo. Apalagi sampai saat ini mereka tercatat sebagai warga desa-desa yang terendam ini, meski secara fisik, tidak bisa lagi dikatakan ada permukiman yang terlihat.

    Harwati juga berharap dilakukan pemeriksaan kualitas kawasan dan orang-orang yang selama ini masih sering ada di tanggul lumpur. Misalnya ia dan kawan-kawannya sebagai ojek tanggul mestinya mendapatkan fasilitas pemeriksaan berkala dan dijamin untuk bisa melakukan pengobatan secara gratis jika sakit.

    “Dampak lumpur Lapindo ini multi dimensi, persoalan pemburukan lingkungan berdampak pada persoalan yang lain. Kesehatan terganggu, area produksi menjadi buruk, pekerjaan hilang, konflik sosial, dan hak-hak dasar warga tak terpenuhi,” ujar Bambang Catur, penggiat lingkungan JATAM. Ia berharap pengurus negara melakukan assesmen mendalam untuk memetakan dampak semburan lumpur Lapindo. “Libatkan semua sektor di pemerintahan dalam upaya pemulihan ke depan. Pemerintah harus membaca ulang skema penyelesaian kasus Lapindo dengan memasukkan pemulihan hak-hak korban Lapindo menjadi isu arus utama yang wajib dituntaskan,” pungkas Catur.

    “Peringatan sembilan tahun Lumpur Lapindo ini untuk mengingatkan pemerintah akan perannya untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak-haknya,” terang Harwati lebih lanjut. Ketidakmampuan negara memastikan terpenuhinya hak-hak korban Lapindo yang hilang akan semakin menegaskan aroma kolusi negara dan korporasi dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Selama persoalan itu belum terpecahkan, bencana industri serupa akan berpeluang besar kembali terulang di masa mendatang dan menyerang ruang-ruang hidup lebih luas.

    Kontak:

    Harwati (0856-4556-6229)

    Rere (0838-5764-2883)

    Unduh versi pdf di sini.

  • [April 2015] Korban Lapindo “Pulang Kampung”

    Jelang sembilan tahun semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2015, kondisi pemulihan warga sepertinya masih belum jelas. Sampai kini urusan penggantian hilangnya aset tanah dan bangunan masih belum terlaksana. Pemerintah masih dalam proses menyiapkan legalitas pelaksanaan penalangan sebagai akibat wanprestasi Lapindo melaksanakan kewajiban sesuai Perpres 14/2007.

    Demonstrasi mempertanyakan realisasi pencairan dana itu dilakukan beberapa kelompok warga pada bulan ini. Pemerintah yang sebelumnya menjanjikan pencairan pada Maret, menundanya hingga Mei. Janji inipun sepertinya tidak segera terealisasi karena tambahan biaya hingga lebih dari 800 miliar. Beberapa media mengabarkan rencana pencairan diundur lagi, menjadi sebelum lebaran (Juli).

    Di media sosial dikabarkan beberapa kelompok korban akan melakukan aksi memperingati 9 tahun lumpur Lapindo. Pada 24 Mei akan dilakukan semacam ziarah lumpur di area dekat ratusan patung yang dipasang pada peringatan tahun lalu. Pada 28 Mei ada warga yang akan melakukan istighosah di dekat tanggul lumpur Lapindo titik 21 dan 25. Kegiatan ini masih rutin dilakukan warga pada waktu-waktu khusus seperti jelang Ramadhan

    Kelompok perempuan Ar-Rohma, Paguyuban Ojek dan Portal Titik 21 dan Komunitas Alfaz merencanakan melakukan “Festival Pulang Kampung.” Mereka akan mengarak ogoh-ogoh Aburizal Bakrie setinggi lima meter dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju titik 21.

    Kegiatan ini dimaksudkan untuk menggambarkan betapa kuatnya ikatan warga dengan kawasan yang kini telah terendam lumpur. Tanah kubur orangtua, moyang mereka berada di sana. “Kami tak mungkin melupakan desa-desa ini. Sampai kapanpun kami akan ingat,” ujar Harwati yang mengkoordinir tiga kelompok warga itu dalam peringatan tahun ini.

    Harwati berharap rakyat Indonesia mengingat kejadian lumpur Lapindo dan mendorong pemerintah menyelesaikan krisis yang diakibatkan olehnya. Pemulihan ekonomi merupakan agenda penting dengan memprioritaskan pemenuhan hak dasar. Ia juga berharap desa-desa yang terendam lumpur itu dianggap sebagai bagian dari kenangan dan sejarah warga dan tidak dihapus dari administrasi pemerintahan seperti yang diusulkan oleh DPRD Sidoarjo. Sekalipun kampung halaman itu sudah terendam lumpur, warga masih terikat dengannya.

    Harwati berharap adanya pemeriksaan kualitas ekologis dan kesehatan masyarakat di sekitar tanggul lumpur. Misalnya, ia dan kawan-kawannya sebagai ojek tanggul mestinya mendapatkan fasilitas pemeriksaan berkala dan dijamin untuk bisa melakukan pengobatan secara gratis jika sakit.

    Janji Jokowi tentang kehadiran negara yang diterjemahkan menjadi kebijakan ‘dana talangan’ yang tak kunjung direalisasikan kami rasa penting guna untuk melihat persoalan ganti rugi untuk memulai proses pemulihan.

    Buletin Kanal edisi ini menyajikan amatan Anton Novenanto terhadap relasi Partai Golkar dan kasus Lapindo. Beberapa berita media terkait hak angket yang sedang didorong di DPR-RI juga kami sajikan, demikian juga dinamika grup Bakrie sebagai informasi yang penting diketahui masyarakat.

    Kami juga menyajikan foto-foto Lutfi Amiruddin dan Henri Ismail. Lutfi yang selama beberapa waktu melakukan penelitian di desa-desa sekitar lumpur Lapindo merekam proses pengubahan kawasan pasca ganti rugi. Sementara itu, Henri merekam bagaimana lumpur Lapindo telah menjadi monumen bencana industri bagi rakyat Indonesia.

    Bambang Catur Nusantara

    Unduh Buletin Kanal, Vol. XI (April) 2015 di sini.

  • 9 Tahun Lumpur Lapindo, Warga Bakal Arak Ogoh-ogoh Bakrie

    9 Tahun Lumpur Lapindo, Warga Bakal Arak Ogoh-ogoh Bakrie

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Beberapa warga korban lumpur panas Lapindo mulai mempersiapkan diri memperingati sembilan tahun bencana nasional itu. Selasa, 26 Mei 2015, mereka berkumpul di titik 21 tanggul dan membuat atap jerami.

    Atap-atap jerami tersebut akan dibuat sebagai atap gubuk dari jerami yang diletakkan di tengah area lumpur panas yang telah mengering. “Ini untuk acara hari Kamis, 28 Mei, dengan tema ‘Pulang Kampung’,” kata Hartono, seorang warga yang memasang atap jerami tersebut.

    Pada 28 Mei 2006, terjadi semburan lumpur panas di persawahan Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lokasi semburan sekitar 150 meter barat daya sumur Banjar Panji 1, yang dikerjakan Lapindo Brantas Inc. Ini merupakan anak perusahaan PT Energi Mega Persada yang saham terbesarnya dikuasai Grup Bakrie. 

    Pada tiga bulan pertama, lumpur yang keluar rata-rata 50 ribu meter kubik sehari. Lumpur ini diduga berasal dari formasi geologi yang disebut Kalibeng pada kedalaman 6.100-8.500 kaki.

    Hingga saat ini, lumpur masih menyembur dengan volume yang makin berkurang. Lumpur itu telah menggenangi puluhan desa dan pabrik serta fasilitas publik lainnya. Ribuan warga telah mengungsi dan mendapat ganti rugi. Namun masih banyak warga yang terkena dampak lumpur itu belum menerima ganti rugi. 

    Pada 29 Mei 2015, mereka akan memperingati sembilan tahun lumpur Lapindo dengan mengadakan Festival Pulang Kampung dengan mengarak ogoh-ogoh wajah Aburizal Bakrie. Selain itu, ada teatrikal. “Semuanya dilaksanakan di sini,” ujar Hartono.

    Mahmudah, seorang koordinator warga korban lumpur Lapindo, menambahkan, pada Jumat, warga  akan menggelar istigasah bersama di tanggul lumpur. Istigasah tersebut dilakukan agar pembayaran ganti rugi lumpur Lapindo dapat segera diterima warga. “Kami semua akan berdoa agar ganti rugi dapat segera dibayarkan oleh pemerintah,” tuturnya.

    Dalam peringatan sembilan tahun lumpur Lapindo tersebut, semua tokoh masyarakat diundang, termasuk Bupati Sidoarjo Syaiful Ilah. Mahmudah meminta para anggota DPRD Sidoarjo hadir. “Mereka harus menunjukkan rasa empati kepada para warga korban lumpur,” ucap mantan lurah tersebut.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/26/173669533/9-tahun-lumpur-lapindo-warga-bakal-arak-ogoh-ogoh-bakrie

  • Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Pada tahun 2007 BPK menghasilkan sebuah dokumen penting dalam kasus lumpur Lapindo. Lembaga ini melakukan audit kinerja atas kejadian semburan lumpur Lapindo. Temuan-temuan dan rekomendasinya sangat penting, namun tidak pernah dijadikan pijakan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan lumpur Lapindo.

    BPK menemukan fakta-fakta bahwa Lapindo Brantas Inc. (LBI) tidak mampu menangani masalah di Sumur Banjarpanji 1 berupa rekahan pada formasi yang menyebabkan lumpur menyembur ke permukaan. Bahkan, pada bahan presentasi untuk Pertemuan Intosai-WGEA di Tanzania pada Juni 2007, Anwar Nasution menyampaikan bahwa kejadian lumpur Lapindo merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia.

    BPK juga menemukan bahwa regulasi dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam di Indonesia saat ini tidak melindungi warga dan lingkungan. Utamanya pada kawasan-kawasan padat huni, tidak ada kekhususan pengelolaan sektor ini. Ditambah pula lemahnya pengawasan yang dilakukan lembaga negara dalam proses eksplorasi dan eksploitasi.

    Resiko semburan lumpur Lapindo semakin tinggi karena: LBI tidak menggunakan perusahaan kontraktor yang telah memiliki reputasi dalam pengeboran; penggunaan alat yang tidak sesuai standar; serta, kualifikasi tenaga teknis yang kurang atau tidak bisa dikontrol dengan baik oleh pemerintah.

    Setahun setelah kejadian semburan lumpur Lapindo itu, BPK juga menyimpulkan bahwa pemerintah sangat kurang dalam merespon kejadian semburan dan cenderung lambat. Akibatnya warga semakin kesulitan dalam menemukan lokasi yang lebih aman dan juga percepatan pemulihan ekonomi mereka. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan perlindungan atas properti warga dan juga tidak pernah dilakukannya assesmen resiko dalam desain penanganan lumpur Lapindo. Pengelolaan dilakukan seadanya, tanpa pemahaman mendasar bagaimana lumpur Lapindo telah berdampak dalam berbagai dimensi kehidupan warga dan butuh penanganan yang khusus.

    Ketiadaan laporan yang konsisten para periset maupun pengurus negara terkait kandungan berbahaya lumpur dan air yang dikeluarkan lumpur Lapindo menambah ketidakjelasan bagaimana penanganan keluhan warga atas tercemarnya air sumur, kawasan pertanian, tambak, kawasan laut, dan juga permukiman.

    Rekomendasi BPK agar pemerintah segera melakukan riset mendalam dampak kandungan bahan berbahaya lumpur sepertinya tidak pernah dilakukan serius. Ini terlihat laporan penanganan lingkungan yang ditampilkan BPLS dalam situsnya (www.bpls.go.id) hanya berisi sebaran gelembung gas dan penurunan muka tanah. Padahal, Tarzan Purnomo (2014) menunjukkan logam berat telah menyebar di kawasan pertambakan dan sungai di wilayah timur area semburan lumpur Lapindo. Lumpur tidak saja mencemari air namun sudah mengkontaminasi tubuh ikan. Penelitian-penelitian serupa yang telah dihasilkan sejak 2007 menunjukkan kandungan logam berat mencemari kawasan di sekitar semburan Lapindo.

    Purnomo memeriksa kawasan tertentu secara periodik selama tiga kali. Di Renokenongo memeriksa kolam ikan, di Gempolsari memeriksa sungai, di Tegalsari memeriksa kolam tandon, dan kolam biasa di Permisan. Penelitian ini menunjukkan jumlah kandungan logam berat yang jauh melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur No. 45/2002 dan Kepmen LH No. 51/2004. Pemeriksaan kandungan Cadmium (Cd) pada air menunjukkan jumlah 0.018 – 0.080 part per million (ppm). Padahal, ambang batas keamanan hanya pada level 0.01 ppm. Hal yang sama juga ditemukan pada kandungan Timbal (Pb) yang ditemukan sejumlah 0.013-0.074 ppm. Padahal, ambang bakunya hanya pada level 0.03 ppm.

    Yang mengejutkan adalah temuan kandungan logam berat Cd dan Pb pada tubuh ikan. Jumlah Cd ditemukan 0.037-1.542 ppm, padahal ia tak boleh lebih dari 0.001 ppm sebagai ambang batas keamanan. Demikian halnya Pb ditemukan ribuan kali lipat melebihi ambang batas 0.008 ppm dengan temuan sejumlah 0.179-1.367 ppm. Logam berat dalam dosis tinggi bersifat karsinogenik pemicu kanker dalam waktu panjang. Hasil penelitian ini sepertinya juga konsisten dengan temuan sebelumnya pada tahun 2009.

    Riset Walhi yang memeriksa kandungan logam berat dalam air dan lumpur Lapindo di puluhan titik area semburan lumpur Lapindo dan sungai Porong pada 2008 juga menemukan hal serupa. Jumlah Cd dan Pb juga ribuan kali diatas ambang baku.

    tabel kandungan logam berat

    Diduga kuat ada korelasi erat antara pemburukkan kualitas lingkungan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Misal, peningkatan jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong tercatat sejumlah 24.719 (pada 2005) menjadi 52.543 (2009). Kenaikan lebih dari dua kali lipat juga terjadi pada penyakit Gastrytis yang berjumlah 22.189 (tahun 2009) dari jumlah semula 7.416 warga (tahun 2005).

    Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bekerjasama dengan Walhi Jatim pernah memeriksa 20 warga korban Lapindo yang tinggal di wilayah semburan lumpur Lapindo pada 2010. Dari seluruh warga yang diperiksa itu, 75% mengalami kelainan pada pemeriksaan lengkap Haematologi.

    grafik kesehatan

    Rekomendasi agar dilakukan revisi atas kebijakan monitoring eksplorasi dan eksploitasi migas juga tidak dilakukan oleh pemerintah. Di kawasan di sekitar semburan lumpur Lapindo, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM masih mengijinkan LBI untuk mendalamkan sumur pengeboran mereka di Desa Kalidawir yang jaraknya kurang dari tiga kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo ke arah Timur.

    Menyusun kebijakan pengelolaan bencana yang tidak hanya berbasis bencana alam juga lambat dikerjakan. BPK menyarankan adanya pembangunan kebijakan komperehensif atas bencana dan perlu dilakukan penguatan kapasitas institusi pengelola bencana berdasar pengalaman bencana alam dan bencana buatan manusia, seperti lumpur Lapindo. Sayang, wacana penanganan bencana industri sepertinya baru akan dibahas beberapa tahun lagi.

    Pemerintah pimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sepertinya berniat untuk memperbaiki karut marut persoalan lumpur Lapindo. Jokowi menjanjikan akan menalangi kompensasi untuk korban Lapindo yang mestinya menjadi beban LBI, melalui Minarak Lapindo Jaya (MLJ) juru bayar LBI untuk jual beli aset dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang tak kunjung selesai. Sayang, hingga menjelang 9 (sembilan) tahun usia semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2015 nanti, janji itu belum ada realisasinya.

    Niat Jokowi itu pun sepertinya hanya solusi parsial atas dampak semburan lumpur Lapindo. Kerusakan yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo sepertinya akan menapaki waktu yang panjang untuk bisa dipulihkan. Jika pemerintah tidak melakukan kajian mendalam yang bisa menghasilkan gambaran krisis sosial-ekologis yang terjadi akibat semburan itu, maka penyelesaiannya juga hanya menyentuh permukaan saja. Kerusakan lingkungan, relasi sosial yang hancur, pendidikan anak-anak yang terancam, kesehatan yang tidak terjamin, dan sumber ekonomi yang hilang, bila tidak ditelusuri mendalam niscaya akan semakin memperpanjang umur krisis di wilayah bagian selatan Sidoarjo ini.

    Berbagai dokumen temuan atas dampak semburan mestinya menjadi bahan untuk dibaca ulang agar memahami situasi. Pemerintahan Jokowi harus melakukan kajian kebutuhan yang mendalam dan melibatkan warga untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi tindakan dan upaya pemulihan sosial-ekologis di sekitar lumpur Lapindo.

    Semua institusi negara mesti terlibat dalam upaya pemulihan korban Lapindo. Tidak bisa lagi krisis multi dimensi yang dihasilkan lumpur Lapindo ditangani badan khusus BPLS yang hanya menangani “wilayah terdampak” dan tindakan-tindakan terbatas seperti saat ini.

    Bambang Catur Nusantara, Badan Pengurus Jatam dan editor korbanlumpur.info

    Pustaka Acuan

    Purnomo, Tarzan (2014) Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackishwater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud, Proceeding of International Conference on Research Implementation and Education of Mathematichs and Sciences 2014, Yogyakarta State University, 18-20 May.

  • Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela

    Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela

    Presiden Harus Berpihak Pada Keselamatan Rakyat

    Jakarta, 8 Mei 2015 – Tepat pada 29 Mei 2014, dalam agenda Kampanye Pilpres, Jokowi mengatakan dengan lantang di depan warga korban semburan lumpur Lapindo, “Dalam kasus seperti ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi kedaulatan rakyat.” Jelas dalam komitmen yang diucapkan Jokowi dalam kampanye tersebut, Pemerintahan yang dia pimpin akan hadir berpihak pada rakyat dalam kasus kejahatan korporasi, khususnya korporasi pertambangan.

    Namun kenyataannya, dalam tujuh bulan kepemimpinan Jokowi–JK, berbagai harapan publik seolah berputar balik. Baru sebulan dilantik, Presiden Jokowi dalam pidatonya di KTT APEC (10/11/2014) malah secara vulgar mengobral berbagai proyek demi mengundang investasi besar-besaran di sektor ekstraktif dan infrastruktur. Tentu saja penggenjotan dua sektor ini akan semakin meningkatkan pengerukan sumber daya alam dan perusakan ruang hidup masyarakat. Bagaimana tidak, pengerukan sumber daya secara massif tersebut semakin diakselerasi dengan pengadaan infrastruktur yang semakin memuluskan rantai pasokan komoditas dari wilayah ekstraksi ke kawasan industri.

    Relasi kuasa politik dan modal makin kentara, tak ubah dengan rezim pemerintahan sebelumnya. Lingkaran kuasa modal terbungkus dalam struktur partai, utamanya di pemerintahan, menggerogoti kebijakan makin menjauhkan kedaulatan negara terhadap sumber daya alam tambang dan energi. Penetapan harga BBM dilepaskan ke mekanisme pasar, walaupun pemerintah masih malu-malu mengakuinya. Tentu saja ketidak-pastian harga BBM ini akan segera diikuti oleh kenaikan tarif dasar listrik dan LPG.

    Kuasa modal ini terang benderang dalam target elektrifikasi Jokowi–JK. Hitungan bisnis dikedepankan untuk memprioritaskan energi fosil yang berbahaya terhadap keselamatan rakyat ketimbang mengutamakan energi terbarukan dan ramah lingkungan. Target 35 gigawat yang akan dibangun hingga 2019 nanti, 94% bersumber dari energi fosil; Batubara: 20.000 MW, Gas: 13.000 MW. Menjauhkan harapan Indonesia akan lepas dari ketergantungan energi fosil.

    © 2015, Rahman Seblat
    © 2015, Rahman Seblat

    Apalagi dalam upaya penegakan hukum lingkungan, masih jauh dari kata, “negara hadir sebagai representasi kedaulatan rakyat.” Dalam kasus Lapindo yang hampir genap berusia Sembilan tahun, bukannya menghukum para pelakunya, pemerintah Jokowi–JK malah memberikan bantuan dana talangan bagi Lapindo sebesar Rp 781 milyar. Ada faktor kemendesakan yang memang harus dipenuhi atas nasib korban, namun tidak cukup menyelesaikan persoalan sesungguhnya yang dihadirkan PT Lapindo Brantas Inc. Dalam kasus-kasus pertambangan dan migas lain, belum ada tanda-tanda pemerintahan Jokowi–JK akan menyelesaikan, seperti kasus Freeport, Sape, Mandailing, dan anak-anak yang menjadi korban lobang tambang.

    Akankah Rezim Jokowi–JK menjadi “Rezim Neo-Ekstraktivisme” dan melanjutkan tradisi “keruk habis, jual cepat-cepat”? Sejauh manakah Jokowi–JK mampu membawa negara ini lepas dari ketergantungan energi fosil? Mampukah Jokowi–JK memenuhi komitmennya untuk menghadirkan negara sebagai representasi kedaulatan rakyat ketika kejahatan korporasi tambang semakin merajalela?

    Karena itu Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan seluruh jaringannya di daerah, menjelang Hari Anti Tambang 29 Mei 2015, mengajak seluruh elemen bangsa yang peduli pada keselamatan dan ruang hidup rakyat, untuk mendedikasikan waktu, pikiran dan dukungannya untuk melakukan aksi dan bentuk kegiatan lainnya pada Hari Anti Tambang 29 Mei 2015 sebagai bentuk perlawanan terhadap daya rusak industri pertambangan dan solidaritas perjuangan warga yang selama ini menjadi korban serta dibungkam.

    “Negara absen ketika kejahatan tambang merajalela, Presiden harus berpihak pada keselamatan rakyat.” Inilah tema yang diusung pada HATAM 2015. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari kondisi bahwa hingga saat ini negara masih absen ketika kejahatan tambang semakin merajalela. Untuk itu, presiden harus menunjukkan komitmen dan keberpihakannya pada keselamatan rakyat.

    Apa itu HATAM?

    Hari Anti Tambang, atau disingkat HATAM, adalah mandat dari Pertemuan Nasional JATAM 2010. Tercatat sejak 2011, tanggal 29 Mei diapresiasi sebagai Hari Anti Tambang, bertepatan dengan semburan pertama lumpur Lapindo pada 29 Mei sembilan tahun yang lalu, sebuah tragedi kemanusiaan akibat daya rusak pertambangan.

    Pencanangan HATAM didasari atas kenyataan bahwa sudah saatnya pertambangan dijadikan sebagai sejarah dalam perjalanan bangsa ini ke depan. Terbukti, pertambangan di Indonesia yang sudah berlangsung ratusan tahun ini malah semakin menjerumuskan bangsa ini sebagai bangsa yang miskin dan terjajah. Tidak hanya itu saja, industri pertambangan telah berhasil menghapus mimpi dan cita-cita Anak Bangsa, bahkan telah merenggut ratusan nyawa.

    Siapa dan di mana saja yang melakukan HATAM?

    JATAM dan segenap simpul jaringannya pada bulan Mei 2015 ini akan melakukan rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan perlawanan terhadap daya rusak pertambangan. Puncaknya pada HATAM, 29 Mei 2015 nanti, puluhan simpul jaringan JATAM akan melakukan aksi sebagai bentuk upaya penyelamatan ruang hidup dan keselamatan Rakyat, khususnya solidaritas kepada korban Lapindo.

    Dukungan dan solidaritas dari masyarakat luas juga bisa dilakukan dengan melakukan berbagai aksi, dialog publik maupun bentuk kegiatan lainnya sebagai dukungan terhadap HATAM dan desakan kepada negara untuk memihak kepada keselamatan dan ruang hidup rakyat.

    Sumber: http://www.jatam.org/seruan-aksi-hatam-2015-negara-absen-ketika-kejahatan-tambang-merajalela-presiden-harus-berpihak-pada-keselamatan-rakyat/

    Unduh versi pdf di sini.

  • Bola Panas “Ganti Rugi”

    Bola Panas “Ganti Rugi”

    Oleh: Anton Novenanto

    Memasuki bulan Mei 2015, persoalan “ganti rugi” korban Lapindo masih sekeruh warna lumpur panas yang tak kunjung berhenti menyembur di Porong, Sidoarjo.

    Pada Minggu (29 Maret 2015), Tempo memuat pernyataan Menteri PU Basuki Hadimuljono tentang janji pemerintah untuk menyelesaikan kekurangan pembayaran “ganti rugi” pada Mei 2015. Sekaligus, Basuki menyatakan bahwa BPKP sudah selesai melakukan tugasnya mengaudit aset Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Hasil audit menunjukkan bahwa aset MLJ sejumlah Rp 2,7 triliun, dari dugaan awal Rp 3,03 triliun.

    Persis sebulan setelah itu, Tempo memuat pernyataan humas BPLS Dwinanto Hesty Prasetyo bahwa proses pencairan dana tersebut masih menunggu peraturan presiden yang “draf hukumnya sudah diproses.” Dari Dwinanto juga kita mengetahui tentang adanya dua tahap yang harus dilalui sebelum pemerintah akhirnya menalangi hutang MLJ pada korban. Pertama, verifikasi oleh BPKP; kedua, penerbitan peraturan presiden berdasarkan hasil verifikasi tersebut.

    “Ganti rugi” adalah salah satu dari pelbagai persoalan kasus Lapindo lainnya, namun persoalan ini selalu menjadi tolok ukur bagi publik untuk menilai keseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini. Kisah warga menuntut kerugian, MLJ yang tidak dapat memenuhi kewajibannya, ataupun pemerintah yang berusaha menjadi perantara selalu menarik media massa dan perhatian publik. Namun, bingkai yang ditawarkan media nyaris seragam: “kasus Lapindo akan selesai begitu ‘ganti rugi’ korban lunas seluruhnya.” Bagi saya, bingkai ini sangat problematis.

    Ketidak(pernah)jelasan jaminan hak-hak korban Lapindo, warganegara republik ini, adalah tema yang terus terulang, bahkan sampai menjelang 9 (sembilan) tahun semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei nanti. Hak-hak warganegara telah diabaikan sejak pemerintah memberikan izin pengeboran sumur eksplorasi di kawasan padat huni. Pemerintah pun selalu permisif dan melindungi perusahaan yang mengakibatkan jatuhnya lebih banyak korban dari warganegara. Dalam taraf tertentu pemerintah berusaha meringankan beban perusahaan dengan pelbagai dalihnya.

    Hal prinsipil pertama yang kerap luput adalah persoalan “ganti rugi” telah direduksi menjadi “jual beli” aset (tanah dan bangunan) warga. Sesuai Perpres 14/2007, aset di dalam PAT 22 Maret 2007 dibeli oleh Lapindo dan di luar PAT oleh pemerintah.

    Prinsip kedua yang juga luput adalah ketidak(pernah)jelasan pemerintah mengusut tuntas kasus Lapindo. Pemerintah, misalnya, tidak pernah tegas untuk menindak Lapindo yang jelas-jelas melanggar ketentuan Perpres 14/2007, yang mewajibkan perusahaan untuk melunasi pembelian sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan (Pasal 14 Ayat 2). Alih-alih menghukum, pemerintah justru berencana menalangi kekurangan pembayaran itu dengan jaminan aset “milik negara” (!).

    Prinsip ketiga, yang terutama, adalah pemerintah belum punya nyali untuk mengubah kembali perspektifnya untuk melihat lumpur Lapindo sebagai “bencana industri” dan cenderung melihatnya sebagai bencana alam biasa.

    Pada masa awal semburan pemerintah yakin bahwa semburan itu disebabkan oleh pengeboran yang non-prosedural. Sayang, dalam perjalanannya, pemerintah justru mengabaikan bukti-bukti yang mendukung hal itu dan beralih pada dugaan-dugaan yang diusulkan oleh perusahaan. Perubahan sikap secara drastis semacam ini mengindikasikan betapa kuatnya pergulatan internal dalam tubuh dan tekanan eksternal terhadap pemerintah.

    Sebagai pihak yang mengeluarkan izin pengeboran, pemerintah berada dalam posisi terjepit. Dan jalan keluar yang dipilih untuk menyelamatkan diri adalah membantah bahwa segala kelalaian itu pernah terjadi dan mengambinghitamkan alam yang memang tidak dapat membela diri dalam dunia politik manusia.

    Pelunasan “ganti rugi” hanyalah satu persoalan yang belum menyentuh akar dari kasus Lapindo, karut-marut pengelolaan industri migas di republik ini. Kasus Lapindo bukanlah sekadar “peristiwa” bencana lumpur panas di Porong, melainkan buah simalakama politik migas di republik ini.

    Pada 29 Mei 2015 nanti, lumpur Lapindo akan genap sembilan tahun menyembur. Saat itu, kita akan mengenang bagaimana politik manusia atas alam telah berujung pada penghancuran ekologi dan masyarakat dan bagaimana pelunasan “ganti rugi” pada korban tidak akan pernah bisa memulihkan segala macam kehancuran yang terjadi.

    Heidelberg, Tag der Arbeit 2015