Tag: tanah non sertifikat

  • Pemerintah Jangan Pasrah Soal Lumpur Lapindo

    Sidoarjo, (ANTARA News) – Pemerintah tidak boleh menyerah dan bersikap pasrah tanpa mengambil tindakan untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo yang terjadi sejak tahun 2005.

    Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Syafruddin Ngulma Simeulue kepada ANTARA, usai mengikuti salat Idulfitri bersama ratusan warga korban semburan lumpur di atas tanggul di Desa Ketapang, Porong, Sidoarjo, Rabu (1/10).

    Dia mengusulkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang para ahli pengeboran ntuk membahas langkah-langkah yang bisa diambil guna menghentikan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

    “Presiden bisa memanggil ahli-ahli “drilling” terbaik untuk membahas segala kemungkinan yang bisa diambil guna menutup semburan lumpur. Saya yakin para ahli pengeboran itu mengetahui langkah apa yang harus dilakukan,” katanya.

    Syafruddin menegaskan, Presiden memiliki kewenangan tertinggi untuk mengambil langkah-langkah terbaik untuk mengatasi semburan lumpur akibat pengeboran Migas Lapindo Brantas Inc.

    Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur itu meminta pemerintah berada di garis depan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi para korban.

    “Jangan membiarkan warga berhadap-hadapan langsung dengan Lapindo Brantas atau PT Minarak Lapindo Jaya dalam penyelesaian ganti rugi. Pemerintah yang harus berhadapan dengan kedua perusahaan itu untuk membantu warga korban semburan lumpur,” katanya menandaskan.

    Terkait kehadirannya mengikuti shalat Ied bersama warga korban semburan lumpur, Syafruddin mengaku sudah merencanakan datang menemui korban lumpur bersamaan dengan kegiatan mudik lebaran ke Pandaan, Pasuruan.

    “Sekalian saya ingin memantau hasil kesepakatan pemerintah dengan warga korban lumpur yang sudah dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2008. Sejauh ini, belum ada tindak lanjut dari kesepakatan itu,” katanya.

    Kesepakatan itu di antaranya menyebutkan bahwa akan dilakukan pengikatan jual-beli yang di dalamnya terkandung pelepasan atas hak kepemilikan tanah bagi warga yang hanya memegang bukti berupa Petok D, Letter C dan SK Gogol.

    Tanah warga yang dilepaskan itu selanjutnya menjadi milik negara dan segera dilakukan pembayaran ganti rugi 20 persen bagi korban yang berkasnya sudah lengkap.

    Bagi warga korban lumpur yang berada di luar peta terdampak, pemerintah akan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan warga, seperti sarana air bersih, saluran pengairan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.

    Hanya saja, kesepakatan itu tidak menyebutkan batas waktu yang harus dipatuhi PT Minarak Lapindo Jaya dan Lapindo Brantas untuk memenuhi tuntutan warga korban Lapindo.

    “Karena itu kami secara intensif terus memantau di lapangan, untuk mengetahui tindak lanjut yang dilakukan pemerintah,” ujar Syafruddin.(*)

    © Antara

  • Komnas HAM Siapkan Rekomendasi

    Jakarta, Kompas – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedang menyiapkan rekomendasi terkait korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Kini, hasil investigasi itu dalam analisa tim.

    ”Pengumuman resmi setelah pembahasan di rapat paripurna Komnas HAM,” kata anggota Komnas HAM Bidang Submediasi, Kabul Supriyadhie, seusai jumpa pers bersama perwakilan warga korban lumpur yang telah lima hari menginap di Kantor Komnas HAM, Selasa (2/9).

    Menurut Kabul, rekomendasi Komnas HAM tak jauh dari persoalan kemanusiaan akibat semburan lumpur dan penanganannya. Namun, ia enggan merinci lebih jauh.

    Lima hari lalu, atas permintaan warga, Komnas HAM juga memediasi pertemuan warga dengan pemerintah (Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Sosial, dan Badan Pertanahan Nasional).

    Beberapa kesepakatan, di antaranya, mendukung penyelesaian pembayaran 20 persen dan 80 persen, serta adanya pengikatan jual beli bagi warga pemegang bukti kepemilikan tanah berupa petok D, letter C, dan SK Gogol. Tak hanya bagi warga pemegang sertifikat hak atas tanah (SHM).

    “”Dalam kondisi seperti di Porong, saya kira hukum-hukum teknis jual beli pertanahan tidak dapat diberlakukan seperti keadaan normal,”” kata Kabul. Hal itu pula yang diserukan warga.

    Kesepakatan pemerintah dengan warga juga menyangkut nasib warga di luar peta terdampak, yakni menyediakan fasilitas air bersih, perhatian kesehatan, dan pendidikan.

    Kepada wartawan, perwakilan korban, M Ilyas, menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap penanganan pascasemburan lumpur.

    Sesuai Perpres No 14/2007, pembayaran uang muka 20 persen bagi korban lumpur mestinya sudah tuntas. Demikian pula sisa 80 persen yang dijadwalkan tuntas satu bulan sebelum dua tahun masa kontrak habis. Namun, masalah ini belum selesai. (GSA)

    © Kompas

  • Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Korban Lapindo Menagih Janji

    Yang terhormat Presiden Republik Indonesia selaku pelayan rakyat Indonesia. Saya bertindak untuk dan atas nama korban lumpur Lapindo dengan kuasa kemanusiaan, bermateraikan lembaran kristal air mata korban Lapindo yang telah kering, yang sebentar lagi dapat berubah mencair mendidih, melebihi panas lumpur Lapindo.

    Bapak Presiden, korban Lapindo selama ini bernasib tidak sebaik yang diiklankan di media massa. Saya hanya mengingatkan bahwa Lapindo Brantas Inc telah membuat kesepakatan penyelesaian dengan pemerintah sehingga terbit Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 / 2007).

    Pasal 15 Perpres itu menentukan:

    Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1).

    Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).

    Dahulu, untuk memperoleh pembayaran 20 persen jual-beli tanah dan rumah korban Lapindo tersebut harus melalui aksi massa. Sekarang, ketika dua tahun kontrak rumah korban Lapindo berlalu, PT. Minarak Lapindo Jaya (yang ditunjuk Lapindo Brantas Inc) tidak bersedia membayar 80 persen terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat (petok D, leter C, gogol dan yasan). Perlu saya tekankan lagi, cara penyelesaian sosial korban Lapindo adalah “jual-beli” tanah dan rumah korban yang kini telah berubah menjadi kekayaan danau lumpur itu.

    Bapak Presiden, mengapa PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar untuk melunasi sisa pembayaran 80 persen kepada korban Lapindo yang tanahnya belum bersertifikat? Padahal diantara mereka telah menandatangani Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB)? Hal itu disebabkan PT. Minarak Lapindo Jaya menuruti pendapat notaris/pejabat pembuat akte tanah (PPAT) yang digunakannya.

    Saya mengingatkan kilas balik perjalanan kesepakatan segitiga antara pemerintah, Lapindo Brantas Inc dengan korban Lapindo. Pada 24 April 2007 korban Lapindo dari Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas) I Sidoarjo menghadap Wakil Presiden RI yang mewakili Bapak Presiden. Dalam pertemuan itu hadir Menkokesra, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta dan Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN).

    Risalah Rapat 24 April 2004 yang dipimpin Bapak M. Jusuf Kalla itu menyepakati sisa pembayaran sebesar 80 persen dilakukan bersama dengan pembayaran kepada masyarakat di empat desa (menurut Peta Wilayah Terdampak 22 Maret 2007) pada bulan April 2008. Pak Presiden, sekarang ini sudah bulan Agustus 2008, bulan kemerdekaan, tapi korban Lapindo masih jauh dari merdeka.

    Soal tanah-tanah yang belum bersertifikat, pada tanggal 2 Mei 2007 telah disepakati oleh perwakilan korban Lapindo, Menteri Sosial, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo dan PT. Minarak Lapindo Jaya, yang intinya menentukan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, SK gogol diperlakukan sama dengan tanah-tanah bersertifikat. Pak Presiden, mayoritas tanah korban Lapindo belum bersertifikat.

    Selepas dari penandatanganan Risalah Kesepakatan pertemuan tersebut, PT. Minarak Lapindo Jaya kembali ingkar. Setelah mulai jatuh tempo pembayaran 80 persen (bertahap, mulai April 2008), lagu lamanya dinyanyikan lagi: PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar. PT. Minarak Lapindo hanya mau membayar rumah yang telah tenggelam, sedangkan tanahnya akan diganti dengan tanah kaplingan (bekas sawah) yang disediakan oleh perusahaan lain di bawah Grup Bakrie. Sedangkan uang muka 20 persen tadi dianggap hibah kepada warga korban Lapindo.

    Kelihatannya menguntungkan korban Lapindo, tapi kenyatannya tidak sebab tanah kaplingan penggantinya itu masih belum jelas, penyerahannya 8 bulan hingga setahun, dan harga asalnya hanya sekitar Rp. 200 ribu/m2, sedangkan tanah pemukiman/pekarangan korban Lapindo telah disepakati Rp. 1 juta/m2. Meskipun ada janji bahwa nantinya korban Lapindo boleh menjual tanah pengganti itu seharga Rp. 1 juta/m2 tetapi itu sudah menyimpang dari pasal 15 Perpres No. 14/2007.

    Tak ada kepastian bahwa PT. Minarak Lapindo Jaya akan patuh dengan perjanjian yang baru itu, sebab PT. Minarak Lapindo Jaya sudah ingkar dengan beberapa kesepakatan yang telah dibuat dan tidak patuh dengan pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu. Dengan pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 / 2007 (yang sudah dikuatkan putusan MA No. 24 P/HUM/2007) saja ingkar, apalagi dengan kesepakatan yang tak ada dasar hukumnya?

    Pak Presiden, dalam pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS dan BPN Kabupaten Sidoarjo pada 5 Agustus 2008 yang lalu PT. Minarak Lapindo Jaya tidak hadir. BPN sendiri menyatakan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, gogol dan yasan bisa dibuatkan akte jual beli (AJB). BPN sudah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan tanggal 24 Maret 2008. Jadi, secara hukum administrasi negara sudah tidak ada kendala. Jika PT. Minarak Lapindo tidak patuh kepada Perpres No. 14/2007 itu, apakah Bapak Presiden hanya akan diam saja menonton penderitaan korban Lapindo?

    Apakah pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu masih berlaku?

    Kalau ada yang mengatakan bahwa dengan dibayarkannya 20 persen tanah pertama dua tahun lalu itu warga korban Lapindo sudah makmur, itu kebohongan besar. Mayoritas mereka kehilangan pekerjaan dan mulai mencari pekerjaan baru dan banyak yang menanggung utang.

    Dalam pertemuan dengan Komnas HAM tanggal 1 Mei 2008 di Pendopo Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo, wakil korban lumpur lapindo dari Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang telah memberikan mandat kepada Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa apabila PT. Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa 80 persen itu maka di Sidoarjo akan terjadi banyak gelandangan sebab rata-rata korban Lapindo terlanjur menanggung utang sebab berharap dari pembayaran 80 persen itu.

    Perlu Bapak Presiden ketahui, akibat PT. Minarak Lapindo Jaya yang membangkang jatuh tempo pembayaran sesuai pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14/2007, kini masyarakat korban Lapindo terpecah-belah, saling bermusuhan akibat munculnya cara-cara baru di luar cara menurut pasal 15 Perpres No. 14 / 2007. GKLL itu pecah, muncul organisasi baru bernama Gerakan Pendukung Perpres No. 14/2007 (GEPPRES).

    Munculnya cara-cara penyelesaian di luar pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 itu akibat pemerintah yang tidak tegas kepada PT. Minarak Lapindo Jaya yang mempersulit penyelesaian sosial itu padahal dasar hukumnya sudah jelas. Sekali lagi, pemerintah tidak tegas untuk memaksa pihak Lapindo. Tetapi bagaimana nasib korban Lapindo yang membuat kesepakatan di luar pasal 15 Perpres No. 14/2007 jika kelak PT. Minarak Lapindo Jaya atau perusahaan pengembang yang menyediakan tanah pengganti itu ingkar? Padahal cara penyelesaian masalah sosial yang sudah ditentukan itu tidak murni bersifat perdata, tetapi terkandung kewajiban pemerintah memenuhi hak asasi manusia berdasarkan pasal 28 I ayat (4).

    Pak Presiden. Bahkan ada ratusan kepala keluarga korban Lapindo yang belum menerima pembayaran 20 persen dengan berbagai alasan, tanpa penyelesaian. PT. Minarak Lapindo juga mengingkari kesepakatannya dengan ratusan kepala keluarga korban Lapindo pengontrak rumah (yang tak punya tanah dan rumah sendiri).

    Jika diurai, masih ada banyak masalah lainnya, termasuk masalah kesehatan masyarakat sebab menurut temuan Tim Kajian Pemerintah Provinsi Jawa Timur, konsentrasi gas hidrokarbon di daerah sekitar semburan lumpur Lapindo mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batas toleransinya adalah 0,24 ppm. Kasihan para penduduk korban, terutama anak-anak mereka yang masih mempunyai masa depan, jangan sampai masa depan mereka rusak gara-gara pemerintah tidak cepat dan tepat untuk menyelesaian persoalan korban Lapindo itu.

    Masyarakat korban Lapindo telah begitu sabar. Meski menderita kerugian materiil dan imateriil yang tak terkira besarnya, mereka cukup patuh dengan Perpres No. 14/2007 yang hanya mengharuskan jual-beli tanah dan rumah korban lumpur yang tenggelam. Bahkan mereka telah diikat oleh PT. Minarak Lapindo Jaya dalam perjanjian dan pernyataan agar mengakui bahwa semburan lumpur itu bencana alam dan mereka tidak boleh menuntut Lapindo secara perdata dan pidana. Meski tidak tahu arti semua itu, mereka mau menandatangani pernyataan dan perjanjian seperti itu.

    Surat ini saya sampaikan secara terbuka, agar dapat sampai dan dibaca Pak Presiden dan banyak orang, bahwa itulah yang terjadi, tidak seindah yang diiklankan di media massa.

    Demikian surat ini, mohon agar negara ini tetap berdiri dalam kemerdekaan, tidak tenggelam menjadi Republik Lumpur Lapindo.

    Hormat saya, pesuruh sebagian korban Lapindo.

    Subagyo, 081615461567

  • GEPPRES Temui Bupati, Minta Ganti Rugi Sesuai Perpres 14/2007

    SIDOARJO, Jawa Pos – Ribuan warga yang tergabung dalam gerakan pendukung Perpres (Geppres) No 14 Tahun 2007 menemui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso kemarin. Mereka meminta dukungan atas terhambatnya proses pelunasan ganti rugi untuk korban lumpur. Selain itu, warga menyatakan mendukung pelaksanaan perpres yang murni tanpa ada manipulasi.

    Ribuan warga itu tiba di alun-alun Sidoarjo pukul 12.30. Dengan menggunakan sepeda motor dan mobil, mereka beriringan dari posko masing-masing. Mereka yang tergabung dalam Geppres adalah warga Desa Renokenongo dan Kelurahan Jatirejo, Kecamatan Porong. Juga warga Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin.

    Selain warga tiga desa itu, tergabung juga warga yang mendukung pembayaran ganti rugi dengan skema 20:80 persen.

    Pukul 13.00 warga diterima bupati di ruang rapat Pendapa Delta Wibawa. Turut menyambut, wakil dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Pada pertemuan tersebut warga menceritakan kronologi awal munculnya Perpres No 14 Tahun 2007 sampai munculnya istilah cash and resettlement. Dalam perpres dijelaskan pembayaran dengan skema 20:80 secara tunai. Status bukti tanah yang berbentuk letter C dan pethok tidak dipermasalahkan.

    “Sebab, sudah ada izin dari BPN yang memberi pengecualian pada korban lumpur,” ujar Mahmudatul Faqiah, salah seorang warga. Karena itu, lanjut dia, sikap PT Minarak yang mempermasalahkan status tanah dianggap tidak benar.

    Mahmudatul menyayangkan adanya kesepakatan yang dibuat PT Minarak dengan warga yang mengatasnamakan korban lumpur. Kesepakatan yang dimaksud adalah ganti rugi cash and resettlement. Yakni, sistem ganti rugi dengan tanah direlokasi dan bangunan dibayar tunai.

    Kesepakatan itu terjadi antara korban lumpur yang tegabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dan PT Minarak. “Kesepakatan ini antara dua pihak tanpa persetujuan BPLS dan pemerintah. Jadi, kami menyayangkan hal tersebut,” jelas Mahmudah.

    Sekdakab Vinno Rudy Muntiawan membenarkan Mahmudah. Menurut dia, berdasar penjelasan dan informasi dari BPN, status tanah letter C dan Pethok D untuk korban lumpur memang tidak dipermasalahkan. Karena itu, bisa diaktajualbelikan. “Tapi, mengapa PT Minarak mempermasalahkan, kami juga tidak tahu,” katanya.

    Bupati Win menambahkan, dirinya tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan kesepakatan antara GKLL dan PT Minarak. Dia baru tahu adanya kesepakatan itu setelah GKLL dan PT Minarak mengumumkan pembayaran dengan skema cash and resettlement. “Jadi, jalan ceritanya, saya kurang begitu tahu,” jelasnya.

    Mendapat tanggapan seperti itu, Mahmudatul berharap Pemkab Sidoarjo mengambil sikap terkait nasib warga yang tidak jelas. Dia mengatakan, sekitar 2.000 warga yang tanahnya hanya punya bukti surat letter C atau pethok D.

    Karena itu, menurut versi PT Minarak, lahan tersebut tidak bisa diaktajualbelikan. Padahal, kontrak rumah mereka hampir habis. “Kami harap ada kebijakan dari pemerintah yang berpihak pada masyarakat,” katanya. (riq/ib)

  • Ganti Rugi Lapindo Tanah Nonsertifikat Bisa Dibuatkan Akta

    Sidoarjo, Kompas – Surat-surat bukti kepemilikan tanah selain sertifikat hak milik dan sertifikat hak guna bangunan milik korban lumpur Lapindo, seperti Letter C dan Petok D, bisa dibuatkan akta jual beli atau AJB tanah sehingga sah sebagai bukti untuk mendapatkan ganti rugi.

    Hal itu terungkap dalam dialog antara perwakilan warga korban lumpur Lapindo dari Desa Kedungbendo, Renokenongo, Jatirejo, serta Siring dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso di Pendapa Kabupaten Sidoarjo, Selasa (5/8). Pada pertemuan itu dibahas status bukti kepemilikan tanah nonsertifikat serta mekanisme ganti rugi resettlement (pemukiman kembali).

    Menurut Sekretaris Daerah Sidoarjo Vinno Rudi Muntiawan, Badan Pertanahan Nasional menyepakati bahwa tanah milik korban lumpur, yang hanya memiliki Letter C atau Petok D, tidak dipermasalahkan untuk memperoleh ganti rugi. “Hal yang justru dipersoalkan adalah mekanisme ganti rugi dengan cara resettlement. Itu dasarnya dari mana?” tutur Vino.

    Hasil dialog tersebut disambut gembira ratusan warga empat desa yang menunggu di luar pendapa. Menurut Suwito, salah satu perwakilan warga Desa Jatirejo, dengan sahnya bukti kepemilikan nonsertifikat milik warga korban lumpur Lapindo, ia mendesak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) segera merealisasikan pemberian ganti rugi.

    “Kami juga meminta Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) ikut memberi ganti rugi rumah warga yang termasuk dalam peta terdampak lumpur dengan bukti kepemilikan tanah berupa Letter C atau Petok D,” kata Suwito. Berpegang perpres Wakil Presiden PT MLJ Andi Darussalam Tabussala menyatakan, pihaknya tetap bersikukuh membayar sisa 80 persen ganti rugi kepada warga yang memiliki sertifikat tanah.

    “Kami tetap berpegang pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007, yang bisa kami bayar adalah yang bisa diukur, yaitu pemilik sertifikat hak milik. Selain itu tidak bisa kami bayar,” ujar Andi yang dihubungi melalui telepon.

    Wakil Ketua DPRD Sidoarjo Jalaludin Alham mengatakan, kedudukan PT MLJ dan warga korban lumpur sama-sama kuat berdasarkan Perpres No 14/2007. Menurut dia, dalam perpres tersebut memang tidak diatur bukti kepemilikan nonsertifikat bisa dibuat AJB.

    “Namun, pada perpres itu juga tidak diatur tentang resettlement. Warga bisa menolak itu,” katanya.

    Seusai pertemuan di Pendapa Kabupaten Sidoarjo, Bupati Sidoarjo menolak memberikan penjelasan lebih jauh. “Kita lihat saja praktik di lapangan nanti,” ujarnya singkat. (APO)

  • Harapan Baru untuk “Cash and Carry”

    korbanlumpur.info – Sorak sorai langsung terdengar ketika Suwito, perwakilan warga yang masuk dan ditemui bupati keluar dan menyampaikan hasil pertemuan di pendopo Kabupaten Sidoarjo. Korban lapindo sudah beberapa kali harus berdemo ke Bupati untuk mempertanyakan nasibnya, juga beberapa kali sudah sujud syukur ketika tuntutan mereka seolah terpenuhi, dan mereka sudah lelah ditipu, lalu, apalagi yang baru sekarang?

    Siang itu (05/08/2008), matahari sudah bergeser dan warga yang menunggu di luar pendopo kabupaten masih bertanya-tanya dalam hati, apakah betul asset tanah warga yang Petok D dan Letter C bisa di-AJB-kan, yang artinya bisa mendapatkan ganti rugi secara cash and carry? Sementara di dalam, Perwakilan warga yang ditemui Bupati menyampaikan segala harapan dan tuntutannya.

    Dengan membawa sebendel bukti berisi peraturan-peraturan dan risalah rapat serta komitmen pihak-pihak terkait, warga mengadu dan meminta Bupati merespon tuntutan warga untuk segera dibayar ganti rugi asset mereka secara cash and carry. Sudah lama mereka diombang-ambingkan dan digoyang isu-isu dan informasi yang tidak jelas. Pihak Minarak lapindo Jaya setelah melaukan pertemuan dengan GKLL menyatakan tidak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapun (tempointeraktif, 26 Juni 2008).

    Pasca pernyataan itu, tentu saja korban lumpur yang mayoritas memiliki bukti asset berupa Petok D dan Letter C resah, tidak ada angin tidak ada hujan mereka yang sudah berharap segera menerima sisa ganti rugi 80% karena masa kontrakannya habis kembali menelan pil pahit. Jika sebelumnya mereka melalui GKLL giat menuntut cash and carry, namun akhirnya cash and resettlement yang didapat.

    Pihak Minarak lapindo Jaya berkilah bahwa pemilik asset dengan bukti kepemilikan Petok D dan Letter C tidak bisa di-AJB-kan. Padahal Badan Pertanahan Nasional sudah mengeluarkan surat pada tanggal 24 Maret 2008 mengenai mekanisme AJB untuk semua bukti kepemilikan (Sertifikat, Petok D, Letter C, SK Gogol, Yasan serta tanah asset Pemda dan yang berstatus HGB). Belum lagi jika merujuk pada banyak risalah rapat dan komitmen yang bukan hanya ditanda tangani Andi Darusalam selaku Vice President PT Minarak lapindo jaya tetapi juga pejabat negara baik daerah maupun pusat, yang jelas menyatakan bahwa Petok D, Letter C dsb diperlakukan sama dengan sertifikat dan berhak mendapat ganti rugi yang sama.

    Namun semua itu seolah menguap, dan komitmen yang ditanda tangani seolah tidak ada. Lalu, pada tanggal 25 Juni 2008, keluarlah pernyataan itu: ʽPT MLJ tak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapunʼ Perih dan menyakitkan!’

    Namun, sorak-sorai pada 5 Agustus 2008 di depan Pendopo Kabupaten kemarin seolah memberikan titik cahaya kepada mereka yang memilih untuk tetap menuntut hak mereka secara cash and carry. Bupati Sidoarjo, Badan Pertanahan Nasional, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyatakan bahwa semua asset warga dengan bukti kepemilikan Petok D, Letter C, SK Gogol bisa di-AJB-kan dan Pihak lapindo harus menunaikan kewajibannya membayar sisa ganti rugi 80% secara cash and carry.

    Bukan akhir dari segalanya memang, masih butuh perjuangan untuk tetap menuntut tanggung jawab Lapindo dalam mengganti rugi asset warga yang telah tenggelam. Mereka mengepalkan tangan dan berteriak mengungkapkan kegembiraannya. Bapak-bapak dan kaum muda meloncat-loncat mengekspresikan kelegaannya, beberapa ibu terlihat menangis terharu mendengar berita itu. Harapan itu masih ada dan terjaga, harapan untuk mendapatkan lagi kehidupan mereka yang telah ditenggelamkan oleh Lapindo baik dengan lumpur maupun dengan tindakan-tindakan mereka yang mengingkari hak-hak warga.

    Sorak sorai itu terdengar optimis, kelegaan yang menyeruak setelah kegundahan akan terbayarnya aset mereka terjawab. Tapi perjuangan tidak boleh hanya berhenti pada kelegaan.

  • Non Sertifikat Bisa Akta Jual Beli

    korbanlumpur.info – Keraguan warga terkait apakah tanah Pethok D, Letter C, SK Gogol maupun yasan (non sertifikat) bisa di-Akta-Jual-Beli-kan atau tidak, terjawab di Pendopo Kabupaten Sidoarjo kemarin. Pihak Badan Pertanahan Nasional yang dimintai konfirmasi Bupati Sidoarjo tentang masalah ini menjelaskan bahwa telah ada surat petunjuk pelaksanaan dari BPN Pusat, yang menyatakan bahwa semua tanah warga baik yang bersertifikat, Petok D, Letter C, SK Gogol dan Yasan, bisa di-AJB-kan.

    Dalam pertemuan antara perwakilan korban lumpur dengan Bupati, BPLS dan BPN Sidoarjo tersebut, Bupati memfasilitasi permintaan kelompok Gerakan Pendukung Perpres 14/2007 (GEPPRES) akan kejelasan dari pihak BPN dan BPLS terkait dengan status tanah non sertifikat tersebut. Sebab, di luar beredar kabar yang menyebutkan bahwa tanah non sertifikat tidak bisa di AJB-kan, sehingga warga terpaksa mengikuti skema cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya.

    Suwito, Wakil Ketua GEPPRES dari Desa Jatirejo mengungkapkan semua dasar hukum dan komitmen telah dilanggar selama ini. Dia mengatakan bahwa apa yang diperjuangkan Geppres bukan untuk menentang pemerintah, namun untuk menegakkan peraturan yang telah ada. Ibu Mahmudah dari Desa Renokenongo juga menambahkan bahwa warga mayoritas menginginkan dibayar cash and carry, dan dia juga mempertanyakan pernyataan di media yang mengatakan bahwa dengan 20% saja warga sudah makmur.

    Senada dengan itu, Bapak Hasan. SH, Mhum, Kepala Desa Kedung Bendo juga mempertanyakan kepada Bupati tentang kelanjutan nasib Petok D dan Letter C yang terkatung-katung, dan meminta kejelasan statusnya

    Bupati yang menemui perwakilan-perwakilan masing-masing desa, menyambut baik kedatangan mereka, dan mengatakan bahwa adalah komitmennya untuk tetap bersama warga yang menderita. Dalam kesempatan itu, Bupati juga memfasilitasi untuk mendatangkan pihak Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sidoarjo, dan juga dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sayangnya pihak Lapindo tidak datang pada pertemuan tersebut.

    Bupati Sidoarjo, Win Hendarso mengatakan bahwa dirinya tidak ikut terlibat dalam pembahasan adanya program cash and resettlement yang sekarang sedang gencar-gencarnya disosialisasikan (baca: dipaksakan) untuk diberikan terutama bagi korban Lapindo yang status tanahnya Petok D atau Letter C. Bahkan Bupati juga menyatakan jajarannya tidak pernah dilibatkan dalam pembicaraan tentang program yang menyimpang dari Perpres 14/2007 itu.

    Pihak BPLS yang diwakili deputi bisang sosial, menyatakan bahwa pihaknya sudah menanyakan kepada BPN tentang perbedaan pendapat tersebut, dan mengatakan bahwa pada dasarnya BPLS akan mengikuti dasar hukum yang dikeluarkan BPN sebagai pihak tertinggi dalam urusan pertanahan di Indonesia.

    Bupati juga mengatakan, “Mari kita sama-sama menghormati peraturan. Orang nomor satu itu adalah Presiden.” Dengan demikian, pihak Lapindo harus membayar ganti rugi seperti apa yang dituntut oleh warga dan disahkan oleh Presiden dalam Perpres 14/2007: cash and carry. Di dalam Perpres, risalah dari Menteri Sosial dan surat dari BPN, menyebutkan bahwa tidak ada sistem pembayaran lain selain cash and carry.

    Dari pertemuan tersebut ternyata Bupati, BPN, maupun BPLS menyatakan bahwa mereka sepakat Peraturan Presiden 14/2007 harus ditegakkan, dan pembayaran kepada warga secara cash and carry harus bisa diselesaikan. Karena itu, Bupati sebagai anggota Dewan Pengarah BPLS meminta kepada BPLS yang dirasa tidak mampu melawan Lapindo untuk segera menyurati Dewan Pengarah BPLS, dalam hal ini Menteri Sosial yang ikut menandatangani nota kesepahaman dengan warga, bahwa ada butir-butir nota kesepahaman yang mengatakan bahwa Petok D, Letter C dan sebagainya punya hak yang sama tidak berjalan di lapangan.

    Diharapkan Pemerintah Pusat proaktif dalam menanggapi hal ini dan segera melakukan tindakan tegas kepada pihak Lapindo yang tidak mau membayar sisa 80% ganti rugi warga secara cash and carry.