Author: catur

  • Lapindo dinominasikan sebagai pelanggar hak pemukiman warga

    Lapindo dinominasikan sebagai pelanggar hak pemukiman warga

    korbanlumpur.info – Porong: Bencana Lapindo telah membawa dampak yang sedemikian besar. Terdapat paling tidak 17 ribu keluarga kehilangan tempat tinggal, serta sekitar 75 ribu warga yang terpaksa menjadi gelandangan akibat terjangan Lumpur panas. Sementar puluhan ribu lainnya terancam untuk mengalami nasib serupa.

    Karena itulah, Centre on Housing Rights and Evictions, COHRE, lembaga pemantau Hak Pemukiman yang berkedudukan di Geneva, Swiss berencana menominasikan Lapindo sebagai pelanggar hak pemukiman warga.

    Untuk mendapatkan fakta yang mendukung nominasi ini, COHRE mengirim dua orang staf-nya untuk melakukan fact and finding mission ke Sidoarjo. “Tujuan kami adalah untuk mempelajari tentang bagaimana bencana yang tampaknya disebabkan oleh kesalahan industri ini sudah melanggar hak pemukiman warga,” ujar Zoe Gray, officer dari COHRE yang bersama Malavika Vartak melakukan kunjungan selama 3 hari ke Sidoarjo dari tanggal 18-20 Agustus 2008.

    Disamping melihat lokasi semburan, COHRE juga menemui berbagai kelompok korban dan sejumlah lembaga dan individu yang selama ini terlibat mendampingi korban Lumpur Lapindo. Selain itu, delegasi COHRE juga melihat langsung ke desa-desa yang terletak di luar peta terdampak yang sudah mengalami berbagai kerusakan akibat semburan lumpur, seperti keluarnya semburan gas, amblesan tanah dan hilangnya berbagai akses terhadap fasilitas yang sebelumnya mudah didapat.

    Pelanggar hak pemukiman warga (housing rights violator) merupakan salah satu dari 3 jenis award yang diberikan COHRE setiap tahun, bersama dengan pelindung hak pemukiman (housing rights protector) bagi negara dan pejuang hak pemukiman (housing rights defender bagi individu.

    Lapindo, diusulkan untuk dinominasikan sebagai pelanggar hak pemukiman oleh beberapa lembaga dan individu yang peduli dengan masalah Hak Asasi Manusia di Indonesia. Hal ini disebabkan karena fakta bahwa Bencana Lumpur yang disebabkan oleh Lapindo telah menyebabkan puluhan ribu korban di Sidoarjo telah kehilangan rumah tinggal secara permanen. Sementara tanggungjawab perusahaan dalam menangani masalah ini masih jauh dari yang diharapkan.

    Menurut COHRE, hak akan pemukiman yang layak merupakan hak semua orang. Disamping tersedianya perumahan, situasi dimana pemukiman tersebut berada juga harus layak untuk ditinggali oleh warga. “Dan bencana lumpur ini jelas menyebabkan puluhan ribu orang telah kehilangan hak-hak pemukiman maupun terkurangi haknya akan lingkungan pemukiman yang tenang dan layak,” ujar Zoe Gray.

    COHRE juga menilai bahwa skema ganti rugi yang ditetapkan oleh pemerintah jauh dari memadai. Warga seharusnya memperoleh kembali aset dan kualitas hidup seperti yang sebelumnya mereka peroleh sebelum semburan lumpur terjadi. Disamping itu, semua hal yang terkait dengan faktor ekonomi, sosial dan budaya seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam merumuskan strategi yang tepat bagi upaya pemukiman kembali warga.

    Setelah penyelidikan lapangan ini dilakukan, COHRE akan membuat laporan terkait dengan hak akan pemukiman korban Lumpur Lapindo di Sidoarjo yang sudah terlanggar. Dan kalau Lapindo terbukti melakukan hak pemukiman warga sesuai dengan usulan pihak yang menominasikan, maka Lapindo akan mendapatkan gelar pelanggar hak perumahan warga. “Hasilnya akan diumumkan akhir tahun ini di Swiss,” pungkas Zoe Gray.

  • Lapindo Tidak Mampu Selesaikan Warga Pengontrak

    korbanlumpur.info – Harapan Warga Pengontrak untuk segera pihak Lapindo menyelesaikan permasalahan warga pengontrak dan mereka mendapatkan hak-hak-nya setara dengan korban lainnya tampaknya masih jauh panggang dari api. Dari hasil pertemuan Anton Yuwono sebagai Koordinator Warga Pengontrak Perum TAS 1 dengan Diaz Roihan dari pihak Lapindo, selasa (12/08/2008) di daerah Juanda, Waru, Sidoarjo, tidak menghasilkan apa-apa.

    Diaz menyatakan bahwa dia belum bisa menyelesaikan urusan warga pengontrak. “Sampai sekarangpun saya tidak bisa memutuskan masalah ini, jadi tunggu saja saya akan koordinasikan dengan pimpinan saya” ucap Diaz seperti disitir oleh Anton ketika pertemuan itu.

    Menurut Anton yang menemui Diaz Roihan karena diminta datang ke kantor itu, tetap bersikukuh bahwa hak-hak warga pengontrak harus diperlakukan sama, karena itu semua hasil kesepakatan dengan beberapa pihak. “Waktu itu Pak Diaz sendiri juga menghadiri pertemuan, Pak Rawendra mengatakan di sidang DPRD Sidoarjo tidak ada masalah untuk warga Pengontrak akan diperlakukan yang sama, baik yang ber-KTP Sidoarjo maupun yang ber-KIPEM, dan diberikan hak yang sama” Kata Anton menirukan pernyataannya ketika menemui Diaz.

    “Di kantor Dinas Sosial sidoarjo warga bersama Lapindo dan Pemkab, Yusuf Marta mengatakan tidak ada bedanya warga yang ber-KTP atau ber-KIPEM akan diperlakukan sama” imbuhnya.

    Tapi rupanya pihak Lapindo masih juga mengulur waktu dan tidak berupaya serius menyelesaikan persoalan dengan warga pengontrak tersebut. Diaz seperti dikutip anton menyatakan lapindo sudah menyatakan tidak bisa diberikan jadup bagi warga pengontrak kecuali mereka yang ber-KTP Sidoarjo, karena warga sudah tanda tangan waktu kompensasi. “Disitu letak diskriminasi Lapindo terhadap warga pengontrak, karena waktu itu pengontrak diberitahu oleh RT RW nya tidak masalah” ungkap Anton menanggapi pernyataan Diaz tersebut.

    Rupanya memang dibutuhkan perjuangan tidak kenal lelah dari warga yang terus menerus harus menelan pil pahit ketika mencoba menuntut hak-nya yang ditenggelamkan lumpur Lapindo. “Kami masih tetap akan menuntut jadup dan uang kontrak serta bantuan UKM sampai dipenuhi. Dalam waktu dekat, kami akan baerkirim surat ke Presiden bersama jaringan korban yang lain yang juga belum terselesaikan. Kami akan minta bertemu untuk mengungkapkan kenyataan yang ada. Presiden harus mengerti apa yang terjadi di masyarakat,” tekad Anton yang akan terus menuntut hak-haknya bersama warga pengontrak lainnya. [re]

  • Desa Pejarakan Kesulitan Air Bersih

    Desa Pejarakan Kesulitan Air Bersih

    korbanlumpur.info – Setelah kejadian bocornya gorong-gorong I yang ada di Desa Pejarakan, kegeraman warga Pejarakan kali ini semakin bertambah.

    Sudah sejak bulan Juli sampai sekarang, pengiriman air bersih yang seharusnya didapatkan warga secara rutin ternyata tidak sesuai dengan komitmen awal BPLS.

    Pengiriman air bersih yang sebelumnya dipegang langsung oleh Lapindo (yang bekerjasama dengan PDAM Sidoarjo), sejak 1 Juli lalu dioper ke BPLS. Pengoperan ini pun tidak disertai dengan alasan yang jelas.

    Awalnya, BPLS di depan para warga dan pihak desa berkomitmen untuk mengirimkan air bersih tujuh kali dalam seminggu. Jika hari minggu tidak bisa dikirim, maka akan ada pengiriman dua kali pada hari sabtu atau senin. Nyatanya, seperti komitmen-komitmen lain dari BPLS, hal itu berakhir menjadi janji-janji yang membuat warga geram.

    Mengalami hal ini, warga bukannya hanya berdiam diri. Beberapa kali warga mendatangi pihak BPLS untuk meminta kejelasan akan hal ini. Tapi BPLS malah menyuruh warga untuk menanyakan langsung pada supir yang biasa mengantarkan air bersih. Ketika dikonfirmasikan kepada supir, sang supir malah menyuruh warga menanyakan hal tersebut pada BPLS karena menurutnya tak ada perintah.

    Pada minggu ini saja (minggu terakhir bulan Agustus) pengiriman terlambat empat hari. Dengan berapi-api, Ibu Lis, warga Pejarakan, mengutarakan unek-uneknya, “Dalam seminggu mas, kadang kita itu dikirim air cuma empat kali seminggu. Coba bayangin kita aja pernah gak mandi dua hari. Padahal air merupakan salah satu kebutuhan utama. Masa’ kita yang terus-terusan nelpon bahkan mendatangi posko BPLS tiapga ada pengiriman air, padahal ini harusnya menjadi tanggungjawab mereka.”

    Masalah lainnya adalah waktu pengiriman yang tidak teratur. Pada hari Jumat (22/08/08), pengiriman dilakukan pada pukul 03.15 WIB. Beberapa warga yang mengetahui adanya pengiriman, langsung “menguras” profile tank berukuran 5000 liter. Sekitar satu jam kemudian, air yang tersisa hanya sekitar seperempat. Padahal masih ada warga yang belum mengambil air karena tidak tahu adanya pengiriman tersebut. Menurut kesaksian salah satu warga, Pak Sarjono, air bersih terkadang dikirim pada jam sebelas siang. “Padahal banyak warga yang menggunakan air bersih pada pagi hari sebelum pergi ke kantor atau sekolah”.

    Sumur warga sendiri sudah tidak digunakan. “Airnya berwarna kuning dan membuat kulit gatal-gatal kalo dipakai mandi” kata Bu Lis. Menurut Bu Lis juga, jika air sumur itu digunakan untuk menyiram tanaman, maka tanaman tersebut akan mati beberapa hari setelahnya.

    Ketika ditanya solusi yang diharapkan warga, tujuh orang yang sedang mengantri untuk mengambil air itu pun serentak menjawab, “Pengiriman air harus rutin tujuh kali dalam seminggu, dengan waktu yang juga rutin agar warga tidak berebutan”. Para warga mengancam akan mendemo BPLS jika pengiriman yang telat masih berlanjut.

    “Karena air bersih adalah salah satu hak warga yang air sumurnya dicemari oleh Lapindo”, kata Bu Lis sambil membawa ember berisi air menuju rumahnya.[cek/tang]

  • Lumpur Cemari Saluran Irigasi

    Lumpur Cemari Saluran Irigasi

    korbanlumpur.info – Selama ini tidak banyak yang diketahui oleh masyarakat luas, bahwa pembuangan lumpur ke Kali Porong bermasalah dan tidak sesukses seperti apa yang direncanakan oleh pihak Lapindo Brantas Inc dan BPLS.

    Permasalahan muncul saat saluran irigasi Sungai Brantas yang berasal dari Mojokerto untuk pengairan sawah warga tercemar oleh luberan lumpur dari Kali Porong.

    Luberan ini muncul karena gorong-gorong I yang ada di Desa Pejarakan mengalami kerusakan, kemungkinan kerusakan ini disebabkan oleh endapan lumpur di Kali Porong yang kondisinya sudah cukup mengkhawatirkan. Endapan lumpur di Kali Porong menyebabkan aliran sungai terganggu. Yang kemudian membuat alirannya mandeg.

    Hal ini membuat warga Pejarakan sengsara, karena selain masalah bocornya gorong-gorong, selama ini air sumur juga sudah tidak bisa dikonsumsi warga. Desa-desa lain juga mengalami hal yang serupa.

    Kebocoran ini diketahui oleh pihak Dinas Pengairan pada tanggal 19 Agustus 2008. Informasi yang didapatkan dari pihak Dinas Pengairan apabila ini tidak segera diatasi, maka sawah-sawah warga sepanjang aliran irigasi akan tercemar.

    Ketika ditanya mengenai tindakan BPLS atas kejadian ini, pihak Dinas Pengairan mengatakan, “wah mas, kalo nunggu responnya pihak BPLS, kebocoran ini malah nggak akan cepat diselesaikan. Ya lebih baik kita selesaikan sendiri dengan tindakan cepat”.

    Tiga hari setelah kejadian, usaha penutupan sumber kebocoran irigasi baru dapat diselesaikan. Namun usaha penutupan ini belum dapat menghilangkan kekhawatiran warga Pejarakan, karena tidak menutup kemungkinan kejadian serupa akan terjadi lagi. [cek/tang]

  • Anak-Anak Muhajirin

    Anak-Anak Muhajirin

    korbanlumpur.info – Mulanya anak-anak sering merengek dan minta kembali ke rumah setiap saat, lebih-lebih kalau malam. Ini bikin Lilik Kaminah, korban Lapindo asal Desa Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong, tambah senewen. Mereka sudah pusing memikirkan rumah dan tempat kerja mereka yang musnah diterjang lumpur. Akibatnya, anak-anak jadi dibiarkan main apa saja tanpa pengawasan.

    “Hidupnya nggak  normal, terlalu bebas, sing penting mburu menenge, lek gak sumpek—, hidupnya tidak normal, terlalu bebas, yang penting tidak menangis, biar tidak (makin) sumpek,” tutur ibu 30 tahun yang biasa dipanggil Mbak Kami.

    Desa Renokenongo punya lima dukuh. Sejak meluapnya lumpur Lapindo Mei 2006, secara bertahap desa-desa ini terendam lumpur. Pertama tiga dukuh: Balungnongo, Wangkal dan Renomencil. Penduduknya lalu mengungsi di balai desa Renokenongo. Sementara dua dukuh lainnya, Sengon dan Renokenongo masih bisa ditempati.

    Namun setelah meledaknya pipa gas pertamina di dekat lokasi luapan lumpur pada 22 November 2006, tanggul lumpur ambrol dan lima dukuh di Renokenongo tenggelam, termasuk balai desa yang digunakan mengungsi. Orang-orang Balungnongo, Wangkal dan Renomencil lantas terpencar mencari kontrakan. Sementara warga Sengon dan Renokenongo mengungsi ke pasar Baru Porong. Beberapa media memberitakan ledakan ini mengakibatkan 8-14 orang meninggal namun banyak penduduk yang meyakini korbannya jauh lebih banyak.

    Keadaan semacam ini berlangsung hingga satu tahun dan Lapindo belum punya kejelasan tanggungjawabnya atas musibah pada warga ini. Walau mumet dengan ketidakjelasan ini, mereka tak ingin kehilangan semuanya. Paling tidak mereka ingin anak-anak mereka lebih baik dan tak ingin mereka juga larut dalam kepiluan.

    Ide inilah yang kemudian melatarbelakangi pendirian Taman Kanak-Kanak Muhajirin di tengah-tengah pengungsian Pasar Baru Porong. Nama ‘Muhajirin’ dipilih untuk pengingat bahwa mereka hijrah (lebih tepatnya diusir) dari tempat tinggal mereka menuju pengungsian.

    Mereka hanya modal dengkul dan semangat waktu hendak mendirikan TK ini. Awalnya semua sekolah di Renokenongo tenggelam dalam lumpur Lapindo: SDN I dan II Renokenongo, SMP II Porong dan MI hingga MA milik Yayasan Khalid bin Walid. Belakangan, MI-MA Khalid bin Walid masih bisa digunakan meski bangunannya sudah rusak berat. Sementara SD dan SMP sudah tidak bisa digunakan dan murid-muridnya dipindahkan ke sekolah lain.

    SDN I Renokenongo dipindah ke SD Glagaharum (SD Glagah meminjamkan ruangan dan siswa SDN I Renokenongo masuk sore), SDN II Renokenongo pindah SDLB Juwet Kenongo (masuk pagi) dan SMP II Porong pindah ke SMP I (masuk sore).

    “Yang SD dan SMP gedungnya pindah tapi murid dan gurunya tetep,” tutur Ahmad Surotun Nizar, warga dukuh Reno pada saya.

    Setelah tahun ajaran 2007, pengungsi-pengungsi di pasar Porong punya keluhan sama. Anak-anak usia TK mereka tak bisa sekolah. Lapindo juga belum memberikan ganti rugi sepeserpun.

    “Kalau ke TK paling dekat di desa Gedang dan itu bayar empatratus ribu rupiah, kami tak punya duit,” tutur Mbak Kami.

    Para pengungsi ini mengorganisasikan diri dalam “Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak alias Pagar Rekontrak.” Mereka didampingi beberapa aktivis dari Uplink (Urban Poor Linkage Indonesia), organisasi nirlaba yang mengurusi kaum miskin perkotaan.

    Keluhan soal TK ini lalu dibahas dalam rapat pengurus Pagar Rekontrak dan didampingi beberapa pendamping dari Uplink dan karena kebutuhannya mendesak mereka lalu mendirikan TK Muhajirin ini dengan apa adanya.

    “Ruangnya hanya disekat kain, meja-mejanya dari triplek, pendaftaran pertama ada 70 anak yang masuk, semuanya digratiskan,” tutur Mbak Kami.

    Mbak Kami punya putra berusia 5 tahun yang ikut masuk TK namanya Ahmad Fiqhi. Mbak Kami yang pernah punya pengalaman mengajar lalu didaulat untuk mengajar.

    Tak ada target bisa membaca atau menghitung di TK ini. Tujuan pertama dan utama mereka supaya anak-anak tidak menangis. Mereka dibantu untuk mengungkapkan apa isi pikiran mereka dengan melukis. Mereka di kasih kertas dan pensil dan disarankan untuk melukis apa saja yang menarik menurut mereka.

    Di luar dugaan, lukisan anak-anak ini berkisar pada rumah, lumpur, bulldozer, bego (istilah yang digunakan pengungsi untuk menyebut eskavator) dan alat-alat berat di sekitar lumpur.

    Selain melukis mereka juga menceritakan rumahnya di sana, mainnya di mana, bego yang di sana warna merah atau biru.

    Kegiatan TK ini juga membantu Mbak Kami untuk melupakan sejenak persoalan berat yang dihadapinya karena Lapindo belum memberikan tanggungjawabnya setelah dua tahun.

    Pengungsi di Pasar Baru Porong belum mendapatkan uang pembelian tanahnya sepeserpun mereka hanya dapat uang jatah hidup dan dihentikan bulan Mei lalu. “Aku justru bingung kalau nggak ada kegiatan ini. Dengan anak-anak bawaannya kita bisa ketawa,” tutur Mbak Kami getir.

    FOTO-FOTO: LALA/UPLINK, IMAM S

  • Update: Kasus Lumpur Lapindo (status 20 Agustus 2008)

    Korban Lumpur Lapindo yang ditetapkan oleh Presiden ke dalam peta area terdampak sejak tanggal 22 Maret 2007 saat ini sebagian besar menunggu komitmen sisa pembayaran 80 persen. Jumlah mereka kurang lebih 14.000 ribu kepala keluarga. Namun diantara 14.000 kepala keluarga itu ada yang belum menerima uang muka 20 persen. Dengan perincian sebanyak 113 kepala keluarga dari Desa Renokenongo (minus pengungsi di Pasar Baru Porong) belum menerima uang muka 20 persen, ada pemilik 190 aset yang ada di Desa Kedung Bendo juga belum menerima uang muka 20 persen. Di Perumtas ada 45 kepala keluarga juga belum menerima uang muka 20 persen. Dan puluhan lainnya dari Desa Siring, Gempolsari, Ketapang, juga belum menerima uang muka 20 persen.

    Bagi mereka yang menutut pembayaran uang muka 20 persen belum memiliki sistem organisasi rakyat yang memadai. Sehingga pola pengurusannya menggunakan jalur para makelar. Sementara yang telah mendapatkan uang muka 20 persen mengorganisir diri ke dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL). Namun pada Bulan Mei 2008, para petinggi GKLL membuat nota kesepahaman sendiri dengan PT Minarak Lapindo Jaya. Kesepahaman itu adalah mengubah skema pembayaran 80 persen dari bentuk tunai (cash) ke bentuk cash and resettelement.

    Kesepakatan ini dilakukan oleh petinggi GKLL dengan latar belakang, PT Minarak Lapindo Jaya menyatakan bahwa tanah warga yang tidak bersertifikat tidak bisa di akte jual belikan. Alasannya, bertentangan Undang Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah tentang pendaftaran dan pencatatan tanah.

    Akibatnya, sebagian anggota GKLL memisahkan diri membentuk Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden No 14 tahun 2007). Warga yang tergabung dalam Geppres menuntut pembayaran uang muka 80 persen dalam bentuk tunai, dan menolak skema cash and resettlement. Adapun dasar hukum yang dipegang oleh mereka adalah risalah kesepakatan bersama antara Menteri Sosial (selaku Wakil Ketua Dewan Pengarah BPLS), Kepala BPLS, Ketua DPRD Sidoarjo, Badan Pertanahan Nasional, PT Minarak Lapindo Jaya, dan perwakilan warga dari empat desa (Kedung Bendo, Siring, Jatirejo, dan Renokenongo) yang menyatakan bahwa warga yang memiliki bukti kepemilikan tanahnya berupa letter c, pethok d, dan sk googol tetap dapat di akte jual belikan. Nota kesepakatan ini dibuat tanggal 2 Mei 2007.

    Lalu pada tanggal 24 Mei 2008, Badan Pertanahan Nasional membuat pedoman kepada Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sidoarjo dalam hal penyelesaian mekansime pelepasan tanah warga kepada negara dan penerbitan Sertifikat Hak Guna Usaha kepada PT Lapindo Brantas. Didalamnya diatur mekanisme akte jual beli, termasuk mekanisme proses akte jual beli terhadap tanah warga yang bukti kepemilikannya letter c, pethok d dan sk googol.

    Walaupun telah ada dua aturan di atas, BPLS tetap saja belum melakukan penegakkan hukum. Sehingga warga yang sekarang menuggu sisa pembayaran 80 persen untuk mendapatkan pembayaran secara tunai baik terhadap tanah dan rumahnya masih terkatung katung. Padahal pada Bulan Agustus  ini banyak sekali warga yang habis masa kontrak rumahnya. Sehingga menimbulkan kerentanan kehidupan warga berikut keluarganya.

    Sementara bagi kelompok korban Lumpur lainnya yang berasal dari Desa Besuki, Pajarakan, dan Kedung Cangkring, pada Bulan Juli 2008 lalu ditetapkan oleh Pemerintah sebagai kawasan peta area terdampak luapan Lumpur Lapindo. Aturan ini tertuang dalam Perpres No 48 tahun 2008. Berbeda dengan keberadaan Perpres No. 14 tahun 2007 yang telah diperbaharui itu, tiga desa ini mekanisme pembelian tanah dan rumah warga menggunakan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.

    Namun, aturan ini juga menimbulkan masalah baru. Sebab dalam kawasan peta terdampak, wilayah besuki bagian timur tidak masuk ke dalam peta area terdampak. Padahal kawasan itu hanya dipisahkan oleh bekas jalan tol Gempol- Surabaya. Selain itu, muncul masalah lain. Walau pembayarannya secara bertahap (dibayarkan dua kali) dimana 20 persen sebagai uang muka, dan sisanya 80 persen. Namun mekanisme jual beli  asset warga oleh pemerintah belum memiliki patokan harga. Warga menghendaki patokan harganya sesuai dengan peta yang dibuat oleh pemerintah pada tanggal 22 Maret 2007, yang dibayar oleh PT Lapindo Brantas. Patokan harganya adalah untuk tanah sawah di hargai 120. 000 per meter persegi,  tanah kering 1.000.000 juta per meter persegi, dan bangunan 1.500.000 per meter persegi.

    Masalah ketiga yang muncul dari aturan ini adalah, sisa pembayaran 80 persen dari wilayah ini dikaitkan dengan pembayaran 80 persen warga desa yang dibayar oleh PT Lapindo Brantas. Padahal antara warga desa (Kedung Bendo, Jatirejo, Siring, Renokenongo, Gempolsari, Ketapang, Risen) yang masuk dalam peta area 22 Maret 2007 dibayar oleh PT Lapindo Brantas, sedangkan warga Besuki, Pajarakan, dan Kedung Cangkring dibayar oleh APBN. Jadi sangat tidak logis jika Perpres No 48 tahun 2008 menyatakan bahwa sisa pembayaran 80 persen desa Besuki, Pajarakan, dan Kedung Cangkring akan dibayarkan setelah pembayaran 80 persen yang dilakukan oleh PT Minarak lapindo Jaya lunas semuanya.

    Padahal kita ketahui bersama bahwa sisa pembayaran 80 persen yang dilakukan oleh pihak Lapindo menimbulkan masalah yang begitu rumit sebagaimana yang terlihat dalam paparan diatas. Jangankan 80 persen. 20 persen saja hamper seribu berkas asset warga belum mendapatkan uang muka 20 persen (termasuk yang ada dalam pengungsi Pasar Baru Porong).

    Wilayah lain yang menghadapi problem dampak Lumpur lapindo adalah Desa Siring bagian barat, Jatirejo bagian barat, Gedang, Mindi, Glagah Arum, Plumbon, Gempolsari, Ketapang bagian barat, dan Pamotan. Sebagian besar wilayah desa desa diatas mengalami kerusakan sangat parah, terutama Desa Siring bagian barat, Jatirejo bagian barat, dan Mindi. Diketiga desa ini muncul  buble-buble gas yang mencapai 94 titik. Semburan gas ini disertai dengan air, lumpur, dan bau gas yang sangat menyengat. Semburan ini sangat rawan terbakar. Sumber mata ait telah rusak, tanah mengalami penurunan ke bawah. Sehingga dinding rumah rumah warga banyak yang retak, dan miring.

    Kesembilan desa diatas ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah luar peta area terdampak. Sehingga tidak ada bentuk penyelesaian dan tanggungjawab apapun yang diperbuat oleh pemerintah maupun warga. Berulangkali aksi telah dilakukan oleh warga untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah. Belasan kali surat telah di kirim ke BPLS, Bupati, Gubernur, Menteri, dan DPR. Namun hingga kini tidak ada solusi atas kerusakan diwilayah sembilan desa ini.

    Paguyuban warga sembilan desa menuntut kepada pemerintah agar wilayahnya dimasukkan ke dalam peta area terdampak. Lalu mendapatkan jaminan keamanan, keselamatan, dan jaminan social dari pihak pemerintah. Dan tuntutan yang ketiga adalah melakukan jual beli asset warga dengan menggunakan mekanisme Perpres No 14 tahun 2007, termasuk harga harganya.

    Hingga kini, tak ada respon apapun dari pihak pemerintah atas tuntutan ini. Padahal telah ada 2 orang warga Desa Jatirejo bagian barat yang telah meninggal akibat kandungan gas di pernafasannya. Demikian juga 2 orang warga Siring bagian barat mengalami nasib yang sama. Belasan lainnya juga di rawat dirumah sakit akibat gas di saluran ISPA-nya. Atas kejadian ini, Gubenur Jawa Timur hanya membuat surat rekomendasi kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah BPLS. Surat itu berisi; pemberian uang kontrak rumah, uang jatah hidup, biaya pindah rumah, dan rumah dengan tipe sangat sederhana. Namun rekomendasi ini ditolak oleh warga. Warga meminta sebagaimana dalam tuntutan diatas.

  • Mbak Waroh dan Usaha Yang Hilang

    Mbak Waroh dan Usaha Yang Hilang

    korbanlumpur.info – Menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri ini, kegundahan menyelimuti perasaan Mutomaroh. Korban Lumpur Lapindo dari desa Kedung Bendo ini dulunya mempunyai usaha kerajinan perhiasan emas. Sebelum terjadinya semburan lumpur yang kini menenggelamkan desanya, dia mampu memberi tunjangan hari raya (THR) kepada 6 orang anak buahnya.

    “Sekarang usaha saya sudah gulung tikar. Memikirkan dana untuk pengeluaran hari raya saja sudah sulit” tuturnya kepadatim media Kanal korban Lapindo.

    Meluncurlah kemudian kesaksian Mbak Waroh, demikian ibu muda berusia 30 tahun ini biasa dipanggil, tentang bagaimana usahanya yang harus tutup setelah terjadi semburan lumpur.

    Menurutnya, usaha emas yang dulu digelutinya merupakan usaha turun temurun selama beberapa generasi. Keluarganya membuat berbagai macam perhiasan emas, seperti gelang, cincin, anting-anting, kalung dan sebagainya. Semua pekerjaan dilakukan di rumahnya sendiri, yang salah satu ruangannya dirombak jadi tempat produksi.

    Sebagian besar pesanan berasal dari pedagang di Bali, disamping dari beberapa tempat di sekitar Sidoarjo. Usaha kecil inibahkan mampu mempekerjakan 6 orang tetangganya di desa. “Setiap bulan, rata-rata keuntungan kami bisa mencapai 15 juta” kenang perempuan yang hanya tamatan SD ini.

    Bahkan dari usahanya ini, dia sudah mampu membuat satu rumah sendiri di sebelah rumah orang tuanya. Namun apa hendakdikata, lumpur kemudian menenggelamkan desanya, termasuk tempat usaha dan rumahyang baru selesai dibangun. “Bahkan saya dan suami belum sempat meninggali rumah yang kami beli dengan kerja keras kami sendiri itu,” tuturnya.

    Usaha Yang Hilang

    Ibu dari dua orang putra ini kemudian menjelaskan, bahwa usahanya langsung berhenti begitu lumpur merendam desa Kedung Bendo pasca ledakan pipa gas pertamina pada November 2006.

    Rumahnya yang agak jauh dari tanggul membuatnya dia masih sempat menyelamatkan beberapa peralatan produksi, sepertimesin giling, pemoles dan lainnya. Peralatan tersebut kemudian dititipkan kepada temannya di Japanan, Pasuruan, dengan harapan nantinya kalau lumpur sudah surut akan bisa dipakai lagi untuk usaha.

    Tetapi harapan tersebut tinggal harapan semata, karena alih-alih surut, lumpur semakin membesar dan menenggalamkan desanya secara permanen sampai sekarang. Setelah itu, dia dan keluarga mengungsi bersama sebagian besar korban lainnya ke Pasar Baru Porong. “Kami terpaksa tinggal disana selama 3 bulan lebih, dengan kondisi yang sangat menyesakkan,” kenangnya pahit.

    Setelah itu, dia mengontrak rumah di Japanan dengan harapan untuk memulai lagi usahanya. Tetapi keinginan tersebut sekali lagi tidak dapat terwujud. Untuk menyiapkan tempat produksi yang layak dan aman, memerlukan dana yang cukup besar. “Padahal uang tabungan sudah ludes semua untuk kebutuhan sehari-hari selama di pengungsian,” lanjutnya.

    Disamping itu, para pelanggan yang biasanya memberi pesanan kepadanya juga sudah berpindah kepada pengrajin di daerah lain. “Lha wong sebelumnya selama 3 bulan di pengungsian itu kami tidak bisa bekerjasama sekali karena tempatnya tidak memungkinkan,” lanjut Mbak Waroh.

    Karena usahanya yang dulu sudah tidak mungkin dikerjakan lagi, Mbak Waroh dan suaminya harus memutar otak untuk tetap bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Tetapi saya lebih kasihan mikir anak-anak (mantan anak buahnya, red), sebab mereka kondisinya lebih berat dari kami,” katanya.

    Dan kenangan akan para mantan anak buahnya itu semakin kuat menjelang bulan ramadhan seperti sekarang ini. Sebab dulunya pada bulan ramadhan dan pada musim liburan merupakan puncak ramainya bisnis yang diageluti. Dan hari raya depan adalah untuk yang kedua kalinya dia lewati tanpa kegembiraan seperti dulu sebelum ada lumpur.

    Segera Lunasi Sisa Pembayaran

    Namun segala kesulitan ini tampaknya masih akan lebih lama lagi dialami oleh Mbak Waroh dan ribuan korban lumpur Lapindo lainnya. Setelah dua tahun lebih, ternyata Lapindo masih jauh dari komitmen untuk membayar uang jual beli tanah warga yang sudah tenggelam oleh lumpur akibat kesalahan pemboran Lapindo itu.

    “Padahal, saya itu sebenarnya sudah terima lhodengan model ganti rugi itu, meskipun tidak adil. Tetapi kenapa mereka tidak segera bayar,” ujarnya. Menurut Mbak Waroh ganti rugi yang adil seharusnya menghitung pendapatan yang hilang akibat dia tidak bisa bekerja selama dua tahun ini. Juga kerugian immaterial lainnya seperti semua kesulitan dan ketidaknyamanan hidup yang terpaksa harus mereka alami.

    Karena itu, dia meminta kepada pemerintah untuk segera mendesak Lapindo menyelesaikan pembayaran sisa 80 persennya secara tunai. “Uang itu nantinya akan kami pakai untuk beli rumah sekaligus memulai lagi usaha kami yang dulu,” pungkasnya.

    Semoga tuntutan mbak Waroh dan puluhan ribu korban Lapindo lainnya segera terpenuhi. Agar mereka segera bisa menikmati kebahagiaan dan berbagi senyum di Hari Raya seperti sebelum terjadi semburan lumpur Lapindo. (ako)

  • Pipa Pembuangan Lumpur Ditutup

    Jalan Raya Porong dan Rel KA Terancam

    SIDOARJO, KOMPAS – Sebanyak 10 dari 15 pipa pembuangan lumpur ke Sungai Porong ditutup sejak Rabu (20/8) pukul 22.00. Penutupan dilakukan Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS atas desakan warga. Namun, dalam hal ini berisiko mengurangi ketahanan tanggul dan lumpur bisa meluber.

    Rabu malam di Kantor Kecamatan Porong, BPLS menyosialisasikan normalisasi Sungai Porong di hadapan sejumlah warga dan 11 kepala desa di Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ke-11 desa itu dilalui aliran Sungai Porong.

    BPLS menyatakan, normalisasi Sungai Porong menunggu musim hujan agar di Dam Lengkong di Mojokerto tersedia cukup air untuk menggelontor endapan lumpur. Namun, warga menolak rencana itu karena khawatir jika endapan lumpur tidak segera diatasi Sungai Porong keburu meluap.

    Warga mendesak agar lumpur tidak dialirkan ke sungai dan pipa pembuangan ditutup. Beberapa warga mengancam akan memotong pipa pembuangan jika desakan mereka tidak dipenuhi.

    Akhirnya, melalui stasiun pompa, pembuangan lumpur ke Sungai Porong dihentikan. Pipa pembuangan yang ditutup terdiri dari empat pipa di Desa Besuki dan enam pipa di Desa Kedungcangkring. Lima pipa lain sudah tidak berfungsi karena terendam oleh endapan lumpur di sungai.

    Kepala Desa Kedungcangkring Abdul Rosyid, Kamis, mengatakan, endapan lumpur di Sungai Porong yang makin tinggi membuat warga cemas. Saat ini permukaan air Sungai Porong sudah di atas tanah permukiman dan sawah warga Desa Besuki serta Kedungcangkring akibat air tertahan endapan lumpur. Mereka khawatir pada musim hujan air sungai meluap dan merendam rumah.

    Wira’i (59), petani Desa Besuki, menyatakan, ia kini tidak bisa lagi mengolah sawah karena ada rembesan air dari sungai.

    Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, lumpur yang dialirkan ke sungai adalah 10 persen dari volume semburan lumpur. Padahal, total semburan sekitar 100.000 meter kubik per hari.

    ”Jika seluruhnya terus dibuang ke kolam penampungan, akan mengancam ketahanan tanggul yang berbatasan langsung dengan Jalan Raya Porong dan rel kereta api di sisi barat tanggul. Selain itu juga mengancam permukiman warga Kecamatan Tanggulangin di sisi utara tanggul,” katanya.

    Tebal endapan lumpur di Sungai Porong 3-5 meter dengan panjang endapan sekitar 500 meter. Saat ini BPLS berupaya mengeruk lumpur dengan mesin keruk. Selain dua alat keruk yang ada, BPLS berencana menambah dua alat keruk lagi. (APO)

    © Kompas

  • Resah, Warga Ancam Blokade

    Sidoarjo – Surya-Ratusan warga korban lumpur Desa Siring resah, karena sudah dua bulan ganti rugi 80 persen belum juga dibayar Lapindo. Padahal, sesuai perjanjian, pembayaran 80 persen dilunasi setelah warga menerima pembayaran yang 20 persen.

    “Padahal pembayaran uang muka 20 persen, sudah dilakukan akhir Juni, seharusnya paling lambat 14 hari pembayaran itu dilakukan setelah masa kontrak rumah habis,” kata H Mursidi, salah satu korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Rabu (13/8).

    Dengan belum dibayarnya hak mereka, ujar Mursidi, warga menilai Lapindo mengingkari komitmen kepada korban lumpur. “Kami mengikuti aturan cash and carry karena lahan kami bersertifikat, tapi sekarang mana komitmennya Lapindo kok belum juga ditransfer,” paparnya.

    Mursidi mengaku pernah tanya ke Vice President PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darusalam Tabusalla, tapi justru hanya mendapat jawaban melalui SMS yang isinya Minarak masih mengurus dan sedang konsentrasi menangani menengah.

    Mursidi mengancam, jika dalam minggu ini Minarak belum melunasi 80 persen warga akan memblokade jalur penanggulan dan jalan raya Porong. “Kami akan merebut kembali aset kami, kami akan patok kawasan kami yang terendam lumpur,” ancam Mursidi.

    Andi Darusalam Tabusalla, menjelaskan jika masalah pembayaran ganti rugi 80 persen saat ini sudah berjalan. “Kalau ada keterlambatan itu mungkin hanya masalah akunting perbankan saja,” kilahnya, di Kantor Minarak, Rabu (13/8). (iit)

     © Surya

  • Ratusan Korban Lumpur Demo Balai Desa Besuki

    Sidoarjo – Ratusan warga korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc asal Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jatim mendatangi kantor desa setempat.

    Kedatangan warga mendesak Kepala Desa Besuki, M Siroj untuk mengirim surat ke pemerintah pusat, agar nilai ganti rugi tiga desa yaitu Penjarakan, Besuki dan Kedungcangkring Utara nilainya disamakan dengan korban lumpur terdahulu.

    Ali Mursyid, salah satu koordinator keluarga Besuki menyatakan, desakan dari masyarakat warga perlu, karena dikhawatirkan pemerintah akan memberikan ganti rugi yang nilainya tidak sama dengan korban lumpur empat desa sebelumnya yakni Siring, Renokenongo, Jatirejo dan Kedungbendo.

    “Kami mendengar isu bahwa ganti rugi akan diberikan kepada tiga desa yang di bawah ganti rugi yang diberikan Lapindo Brantas. Warga minta disamakan nilainya”, katanya menegaskan.

    Ia mengatakan, indikasi akan diberi nilai ganti rugi lebih rendah bisa dilihat, dari pemerintah pusat hingga kini belum mengumumkan nilai ganti rugi tersebut. Kendati pemerintah sudah menetapkan tiga desa masuk peta terdampak yang akan mendapatkan ganti rugi.

    “Jika nilainya tidak sama dengan yang dibayar Lapindo, tidak adil, karena sama-sama menjadi korban. Bedanya kalau korban terdahulu ditanggung Lapindo, namun tiga desa diberi pemerintah melalui APBN-P”, katanya menambahkan.

    Selain itu, warga tetap meminta agar sawah mereka dibeli 120 ribu per meter, tanah pekarangan Rp1 juta dan bangunan Rp1,5 juta. 

    Setelah mendapat penjelasan dari Kades, M Siroj, warga yang datang dengan membawa poster bertuliskan tuntutan kemudian membubarkan diri. “Tuntutan warga akan kami sampaikan ke pemerintah pusat melalui surat”, kata M Siroj.

    © Antara

  • Warga Tolak Padamkan Semburan Api

    Sidoarjo – Surya-Warga Desa Siring Barat RT3/RW1 Kecamatan Porong, dikagetkan dengan munculnya semburan api di tempat semburan liar, tepatnya di Jl Flamboyan, Selasa (19/8) pagi. Namun warga melarang BPLS atau petugas lainnya, memadamkan semburan api tersebut. Sebab, agar pemerintah tahu kalau kawasan Siring Barat memang sudah tidak layak dihuni manusia.

    Bambang Kuswanto, koordinator warga Desa Siring Barat menuntut agar BPLS bertanggungjawab terhadap kejadian ini.

    Menurutnya, kondisi lingkungan dan munculnya semburan liar di kawasan Desa Siring Barat ini sudah cukup membuat warga resah. Sebab selain semburan liar, saat ini banyak rumah warga mengalami retak-retak. “Kami sudah sangat resah dengan banyaknya semburan liar, sekarang malah menyemburkan api,” tambahnya.

    Ny Asih salah satu warga Siring Barat, mengatakan ia dan keluarganya resah dengan semburan liar yang memunculkan api tersebut. Jika tidak ada penanganan dan respon dari pemerintah, warga mengancam akan menutup jalan. “Kami akan turun jalan menutup jalan sampai kapanpun,” kata Ny Asih, yang tempat tinggalnya berada paling dekat dengan lokasi semburan liar.

    Humas BPLS Akhmad Zulkarnain mengatakan, memahami keresahan warga. “Semua semburan liar yang ada di wilayah Siring, mendapat perhatian dan penanganan khusus dari kami (BPLS),” kata Zulkarnain.

    Dewan pengarah pansus lumpur DPRD Sidoarjo, Jalaludin Alham yang kemarin melihat ke lokasi mengatakan kawasan Siring Barat harus mendapat perhatian karena tidak layak huni.

    “Kondisi ini sangat membahayakan, masak harus menunggu korban lebih dulu,” urai Jalaludin. (iit)

    © Surya

  • Stop Buang Lumpur ke Kali Porong

    Warga Desa Kupang Minta Pipa Pembuangan Ditutup

    SIDOARJO – Pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong dihentikan sejak kemarin. Penghentian itu dilakukan setelah Rabu malam warga Desa Kupang, Kecamatan Jabon, meminta pipa lumpur itu ditutup.

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memenuhi permintaan warga dengan mengalihkan pembuangan dari selatan ke utara.

    Menurut Kepala Desa Kupang Sudjarwo, permintaan warga dipicu kondisi kali yang semakin parah. Aliran air Kali Porong mulai terhenti dan menyebabkan permukaan hampir rata dengan tanggul. Mereka khawatir, air meluap dan terjadi banjir. ”Rumah warga bisa habis nanti,” kata Sudjarwo.

    Warga tidak yakin langkah BPLS mengerahkan ekskaponton untuk memecah endapan lumpur di Kali Prong akan efektif. Alasannya, ekskaponton tidak berguna selama pembuangan tetap dilakukan. ”Percuma jika pembuangan lumpur tidak dihentikan,” ujarnya. Atas dasar itulah, sekitar 500 warga mendatangi rumah pompa dan memaksa untuk menutupnya.

    Mulai kemarin pembuangan tidak lagi dialirkan ke Kali Porong, tetapi ke selatan. Yaitu, ke kolam lumpur Renokenongo, Kedungbendo, dan Siring. Debit lumpur yang dialirkan sekitar 100 ribu meter kubik per hari.

    Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, sementara pembuangan ke Kali Porong dihentikan. Tujuannya, demi kepentingan bersama. Dia tidak mengetahui hingga kapan penghentian itu. ”Kemungkinan hingga Kali Porong dianggap normal,” ucapnya.

    Dia juga berupaya mengerahkan ekskaponton di kali tersebut. Alat berat itu berfungsi membuat celah 10-15 meter di tengah kali. Melalui celah itu, air bisa mengalir dan menggerus lumpur yang menggendap. ”Itu langkah awal yang akan kami lakukan,” terang dia. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Siring Tak Layak Huni

    BPLS: Sudah Lama Berbahaya

    SIDOARJO ­- Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengakui, kondisi Kelurahan Siring bagian barat, Kecamatan Porong, memang berbahaya. Hal itu disampaikan Humas BPLS Achmad Zulkarnain kemarin (20/8). Menurut dia, pihaknya selalu melaporkan kondisi Siring dan sekitarnya secara rinci. “Dan, kondisinya memang tidak aman,” kata Zulkarnain.

    Namun, lanjut dia, kewenangan yang dimiliki Badan Pelaksana (Bapel) BPLS hanya menyampaikan laporan tersebut. “Sedangkan kebijakan ada di Dewan Pengarah (DP) BPLS,” tambahnya.

    Dia juga menjelaskan, laporan yang disampaikan kepada pimpinannya menggambarkan bahwa kondisi Siring berbahaya. Hasil pantauan tim independen bentukan Pemprov Jatim juga menyatakan berbahaya. “Padahal, data itu berasal dari BPLS,” tuturnya.

    Masyarakat, imbuh Zulkarnain, sering salah paham terhadap fungsi Bapel BPLS. Dia mengatakan, badan tersebut berfungsi sebagai pelaksana kebijakan di lapangan. Sedangkan penentu kebijakan adalah DP BPLS. “Jadi, wewenang kami terbatas. Sebab, kami hanya pelaksana,” terang dia.

    Penjelasan itu muncul setelah Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo mendesak BPLS segera melakukan evakuasi. “Mumpung belum ada korban,” ujar Dewan Pengarah Pansus Lumpur DPRD Jalaluddin Alham. Bahkan, Jalaluddin menilai BPLS selalu melemparkan masalah tersebut kepada pemerintah.

    Lebih lanjut Zulkarnain menegaskan, persoalan evakuasi bergantung pada kebijakan pemerintah. Artinya, jika muncul kebijakan dari DP BPLS tentang evakuasi, Bapel BPLS segera melaksanakan evakuasi. “Nah, sampai saat ini belum ada kebijakan itu, ” jelas dia.

    Namun, terang Zulkarnain, belum adanya kebijakan bukan berarti DP BPLS tidak berfungsi. Menurut dia, untuk mengeluarkan kebijakan evakuasi, tentunya harus ada pertimbangan yang rumit. “Mungkin sedang dirumuskan kebijakan menyangkut Siring dan sekitarnya,” ucap Zulkarnain.

    Seperti diberitakan sebelumnya, gas yang keluar di kawasan Siring terbakar tanpa diketahui penyebabnya. Warga setempat khawatir dan meminta BPLS bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Mereka sempat menggembosi ban sepeda motor dan mobil milik BPLS. Warga juga melarang BPLS memadamkan api.

    Api akhirnya dipadamkan kemarin malam pukul 18.30. Pemadaman itu dilakukan setelah warga yang rumahnya berdekatan meminta BPLS memadamkan api tersebut. Demi keamanan bersama, akhirnya api dipadamkan. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Kerugian Akibat Lumpur Lapindo Mencapai Rp 45 Triliun

    SURABAYA — Kerugian akibat bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, diperkirakan mencapai Rp 45 Triliun per tahun. Pernyataan ini disampaikan Tjuk Kasturi Sukiadi, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, kemarin.

    “Kerugian ini mencakup ekonomi masyarakat, industri, serta infrastruktur,” katanya. Tjuk mengatakan, akibat lumpur, kerugian ekonomi berupa aset warga mencapai Rp 8 triliun dan kerugian hilangnya potensi pendapatan warga mencapai Rp 250 miliar.

    Angka ini didapat dari nilai 824 hektare lahan yang terendam serta aset rumah warga (milik 10.430 keluarga) yang terendam lumpur dan hilangnya lapangan pekerjaan warga.

    Lapangan pekerjaan yang hilang meliputi sektor formal, seperti pabrik yang tenggelam, dan sektor informal, seperti toko pracangan, pedagang di pasar desa, warung, tukang ojek, hingga tukang becak yang ada di Porong.

    Sektor industri, menurut Tjuk, kerugiannya mencapai Rp 700 miliar berupa aset 28 pabrik (dengan 2.935 karyawan) yang terendam serta potensi hilangnya pendapatan pabrik yang per tahunnya mencapai Rp 280 miliar.

    Akibat lumpur Lapindo, sektor infrastruktur juga ikut terpukul. Infrastruktur ini meliputi jalan tol, jalan raya, jaringan pipa gas, jaringan listrik Jawa-Bali, hingga tenggelamnya sejumlah bangunan publik yang kerugiannya mencapai Rp 20 triliun.

    Selain tiga sektor ini, menurut Tjuk, masih ada kerugian sekitar Rp triliun yang dialami warga di sejumlah desa di sekitar lokasi bencana. 

    Kondisi yang memprihatinkan ini, kata Tjuk, karena 40 persen pergerakan ekonomi di Jawa Timur melalui jalan tol Surabaya-Porong yang hancur digerus lumpur. “Sebagian besar kendaraan yang ke Surabaya lewat jalur ini,” katanya.

    Di jalan tol Porong, misalnya, sebelum terendam lumpur, per hari jalan ini dilalui 60 ribu kendaraan niaga dan 30 ribu kendaraan pribadi.

    Sedangkan jalan raya Porong, sebelum ada lumpur, per hari dilalui 30 ribu kendaraan. “Karena jalan tol Porong tertutup, jalan raya Porong saat ini harus menampung 120 ribu kendaraan,” katanya.

    Akibat lumpur ini, kerugian di sektor transportasi (termasuk kereta api) mencapai Rp 3,65 triliun.

    Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan, bencana lumpur di daerahnya merugikan Jawa Timur, khususnya daerah Sidoarjo.

    Menurut dia, saat ini sektor usaha kecil menengah dan bisnis perumahan di Sidoarjo sudah mulai bangkit. “Dulu sektor perumahan drop 80 persen, tapi, alhamdulillah, saat ini sudah bangkit,” katanya.

    “Ada teori menarik, di tengah bencana, ekonomi di sektor tertentu akan naik, dan ini terjadi di Sidoarjo,” katanya.

    ROHMAN TAUFIQ

    © Koran Tempo

  • Masa Depan Warga Porong Suram

    Semburan Lumpur Lapindo agar Segera Diatasi

    Surabaya, Kompas – Warga sekitar kawasan Porong, Kabupaten Sidoarjo, terancam tidak mempunyai masa depan apabila lumpur Lapindo tidak ditangani secara tepat. Persoalannya, dampak luapan lumpur itu berkepanjangan. Lebih dari 2 tahun semburan lumpur itu telah menimbulkan dampak negatif bagi warga dan ekonomi Jawa Timur.

    Jalur di Porong ibarat urat nadi perekonomian Jawa Timur (Jatim). Pergerakan ekonomi Jatim yang melewati jalur di Porong sekitar 40 persen. Kondisi tersebut tercermin dari berbagai industri dan usaha, mulai perhotelan sampai angkutan darat. Dampak yang sangat terasa terutama untuk kawasan di sekitar Porong maupun daerah yang melewati Porong, seperti Prigen, Tretes, Pasuruan, bahkan sampai Banyuwangi.

    Selama lumpur Lapindo tidak tertangani secara baik, kawasan Porong menjadi terganggu dan ini berpengaruh terhadap pelaku usaha serta warga di sana. “Walau banyak yang mengatakan sekarang perekonomian di sana mulai pulih, itu bukan berarti tidak ada masalah,” kata pengamat ekonomi dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, Tjuk Kasturi Sukiadi, dalam Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi, Kamis (21/8). Simposium itu juga menghadirkan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

    Bahkan, rencana relokasi infrastruktur Porong menjadi pukulan tersendiri bagi warga yang menempati peta terdampak. Di satu sisi relokasi infrastruktur menjadi solusi untuk mengatasi persoalan transportasi, tetapi di sisi lain menyebabkan kawasan Porong dan sekitarnya mati. “Bisa-bisa Porong dan sekitarnya menjadi daerah yang ditinggalkan,” tuturnya. Hanya 1 persen

    Dikatakan, berdasarkan perhitungan beberapa unsur, di antaranya pariwisata, industri, dan transportasi, potensi kerugian akibat lumpur Lapindo berkisar Rp 45 triliun per tahun. Artinya, sejak semburan lumpur pada Mei 2006 sampai sekarang, kerugian akibat lumpur di atas Rp 90 triliun. “Kerugian masih terus bertambah karena belum ada jalan keluar,” kata Tjuk.

    Menurut dia, seharusnya pusat semburan lumpur ditutup. Tidak ada jalan lain. Apalagi, sumber daya manusia baik pakar dari dalam negeri maupun luar negeri siap membantu. Dengan dana yang diperlukan sekitar Rp 1 triliun, seharusnya upaya menutup pusat semburan bisa segera direalisasikan. “Ini kecelakaan teknis kok dibiarkan saja,” ujar Tjuk.

    Namun, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menilai adanya lumpur Lapindo tidak berarti mematikan Sidoarjo. Sebagai gambaran, wilayah Sidoarjo berada di atas lahan seluas 743 kilometer persegi. Sementara daerah yang terdampak lumpur Lapindo hanya 700 hektar. “Luasnya hanya 1 persen dari seluruh wilayah. Sidoarjo akan pulih,” katanya.

    Membaiknya perekonomian di sekitar Sidoarjo terlihat dari human development index Sidoarjo yang mencapai 72,85 persen. Perolehan tersebut mengacu pada beberapa kriteria, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat. “Maka, kami mengampanyekan Sidoarjo Bangkit dan memberikan kemudahan kepada masyarakat korban lumpur. Salah satunya berupa bantuan modal kerja,” ujar Win. (BEE)

    © Kompas

  • Gas Liar di Siring Barat

    Gas Liar di Siring Barat

    korbanlumpur.info – Seumur hidup Sumargo, 38 tahun, tak pernah membayangkan ada gas bisa keluar dari dalam rumahnya. Selama ini dia hidup tenang bersama istri tercintanya Muslimah, 29 tahun, dan anaknya yang tampan Nur Mudian, 11 tahun. Mereka menempati rumah kecil sederhana di RT 01/01 Kelurahan Siring Barat, Porong, Sidoarjo.

    Di Siring Barat ada empat RT 1, 2, 3 dan 12. Sementara delapan RT lainnya berada di Siring Timur. Antara Siring Timur dan Siring Barat dipisahkan oleh rel kereta api dan jalan tol yang menghubungkan kota Surabaya dan dengan Malang. Kini, pemisah mereka ditambah lagi satu yakni tanggul lumpur Lapindo tepat di sebelah rel.

    Delapan RT di Siring Barat telah menjadi kampung mati karena terendam lumpur Lapindo. Para penduduknya telah tercecer ke mana-mana. Sedangkan empat RT ini masih bertahan hidup dengan lingkungan yang buruk. Air bersih tercemar dan bau lumpur menyengat dihirup warga empat RT ini. Delapan RT ini masuk dalam peta yang tanahnya akan dibeli Lapindo sedang empat RT tidak masuk peta.

    Orang-orang di delapan RT tersebut baru mendapatkan ganti rugi 20 persen sementara 80 persennya masih belum dibayar Lapindo. “Kami baru dibayar dua puluh persen, dan delapan puluh persennya masih gantung,” tutur Cak Rois, salah seorang warga Siring Timur yang rumahnya terendam lumpur.


    Belakangan, di empat RT ini muncul semburan-semburan gas liar yang menakutkan warga karena terkadang disertai percikan api. Gas-gas ini muncul sembarangan bahkan sampai di dalam rumah warga salah satunya di dalam rumah Sumargo. 

    Saya ketemu Sumargo sekeluarga, Rabu pagi, dia menunjukkan tempat gas itu muncul, yakni tepat di depan pintu rumahnya. Gas ini keluar dari retakan kecil di lantai rumahnya yang diplaster. Awalnya mereka hanya mencium bau gas yang menyengat dan selanjutnya mereka takut menggunakan api, tak berani memasak di lantai. Kalau gas ini di sulut mereka akan keluar api.

    Sumargo mempraktekkannya dengan menyulutkan api dari korek dan api menyala persis kayak sulap. Saya terkejut.

    Sejak gas liar itu keluar Sumargo menjadi was-was dan hidupnya dan keluarganya jadi tidak tenang. Sebelumnya semburan gas liar ini ditemukan di beberapa tempat di empat RT di Siring Barat. Salah satunya di tanah milik Amari, 200 meter dari rumah Sumargo, semburan gas di tempat ini lebih besar bahkan bisa digunakan untuk memasak.

    Warga menjadi gelisah dan menuntut supaya pemerintah memperhatikan hal ini. Mereka menuntut diperlakukan sama dengan warga Siring Timur yang masuk peta dan mendapatkan ganti rugi. Berkali-kali mereka mengajukan tuntutan ke Bupati bahkan empat kali ke presiden namun tak juga ada respon balik.


    Pada tanggal 19 Agustus 2008 kemarin semburan baru muncul Siring Barat. Tempatnya di perbatasan tanah milik Toni dan Hubyo.

    Semburan gas ini mulai muncul setahun lalu dan penduduk Siring Barat sudah mengeluhkan hal ini pada pemerintah. Selama ini mereka bersabar menunggu dan mereka sudah jengkel. Mereka mengancam kalau misalnya dua bulan ke depan tidak ada kepastian dari pemerintah mereka akan turun ke jalan. Mereka berani mati untuk memperjuangkan hak mereka.

    “Wis rak wedi mati nek koyo ngene, sudah tidak takut mati kalau begini,”” tutur Ibu Hartini 53 tahun warga Siring Timur pada saya.

    IMAM SHOFWAN

  • Lagi, Api Menyembur Di Desa Siring

    Lagi, Api Menyembur Di Desa Siring

    korbanlumpur.info – Untuk ke sekian kalinya semburan api muncul lagi di area luar peta terdampak Lumpur Lapindo. Lokasi semburan api berada di Kelurahan Siring, di RT 03, tepatnya di tanah Bapak Doli dan lokasi ini hanya berjarak beberapa meter dari tepi jalan utama Sidoarjo-Malang. Menurut keterangan warga, semburan api mulai muncul sekitar pukul 05.00 wib. Dan seperti yang terjadi sebelumnya, kejadian kali ini membuat warga resah dan semakin was-was. Di lokasi yang sama, beberapa bulan yang lalu semburan api juga memakan 3 korban luka bakar.

    Menurut warga Siring barat, selama ini sudah banyak bermunculan semburan-semburan gas dan api, namun sampai sekarang belum ada keputusan dan tindakan yang jelas dari pihak Lapindo Brantas Inc dan BPLS untuk mengambil tindakan yang serius. Padahal, berdasarkan dari fakta-fakta lapangan, kondisi desa Siring barat dan desa-desa sekitarnya sudah tidak layak untuk ditempati sebagai pemukiman warga. Selain sering muncul semburan-semburan gas dan api, di desa Siring dan sekitarnya, tingkat polusi udara, air, bau gas yang menyengat sangatlah tinggi dan berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kesehatan, keselamatan dan hak hidup warga semakin meluas.

    Sejauh ini sudah banyak warga yang menderita sakit dan banyak juga yang meninggal akibat mengalami tekanan psikis.

    Sekitar pukul 9.00 wib, Humas BPLS Achmad Zulkarnain dan staff Humas Akhmad Kushairi juga hadir di lokasi kejadian. Seketika itu juga warga mengelilingi mereka berdua dan langsung mencerca dengan berbagai pertanyaan dan menumpahkan rasa kekesalan atas ketidak seriusan BPLS. Namun seperti biasanya, jawaban-jawaban yang dilontarkan Achmad Zulkarnain atas pertanyaan yang dilontarkan wartawan dan warga Siring berkaitan dengan tindak lanjut atas kejadian ini sangat mengecewakan.

    “BPLS mencoba semaksimal mungkin, tapi yang punya wewenang, sekali lagi adalah Presiden”. Padahal berdasarkan Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang BPLS, BPLS memiliki tugas untuk menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil (Pasal 1, ayat 1). Bahkan berdasarkan SK Gubernur Jawa Timur tanggal 5 Mei 2008 yang ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah BPLS, warga harus segera dievakusi.

    Agar pemerintah dan Lapindo Brantas Inc segera mengambil tindakan untuk memasukan desa Siring barat dan sekitarnya ke dalam area peta terdampak lumpur lapindo, warga sengaja untuk membiarkan semburan api terus membara. Hal ini dilakukan karena selama ini tidak ada keseriusan tindakan dari pihak pemerintah Daerah, pemerintah Pusat maupun Lapindo Brantas Inc untuk memberikan solusi bagi warga di luar area peta terdampak.

    Bang Rois sebagai salah satu dari korban lumpur Lapindo mengatakan, “Siring barat harus masuk ke dalam area peta terdampak, karena hampir 70 % pemukiman warga, baik di dalam rumah mapun di luar rumah warga pernah mengeluarkan semburan api, sehingga area Siring barat tidak layak huni karena diapit oleh pengeboran dari Wunut, Gedang sebelah utara dan Siring sebelah timur. Jadi Siring barat diserang semburan gas dari berbagai arah, jadi wilayah Siring tidak bisa dipisah-pisahkan dengn Siring timur, karena aset Siring barat juga ada yang di wilayah Siring timur, beberapa contoh antara lain masjid, sekolahan, makam, balai desa, sanak famili dll”.

    Bang Rois juga menambahkan,”Pemerintah harus segera memasukkan Siring barat ke dalam area peta terdampak. Apa sih beratnya memasukkan wilayah terdampak, wong memang daerah Siring barat tidak layak huni dan sering keluar semburan api dan gas. Sebagai contoh, Siring barat sebelah selatan, Siring barat sebelah barat, Siring barat seelah utara dan Siring barat sebelah utara sampai selatan pernah mengeluarkan api semua. Anak-anak dan warga lanjut usia harus segera mendapatkan perhatian karena kesehatannya mulai terancam, setidaknya ada cek kesehatan rutin”.

    Selain itu warga juga mengancam, apabila pihak pemerintah dan Lapindo Brantas Inc tidak segera merespon aspirasi warga, maka warga akan melakukan demo besar-besaran, memblokade jalan, blokade tanggul dan demi keselamatan masyarakat umum akan melarang kendaraan bermotor untuk melintas jalan desa Siring barat agar tidak terkena dampak semburan gas yang semakin banyak.[tang/jar]

  • Ibu Jumik Butuh Bantuan Kemanusiaan

    Ibu Jumik Butuh Bantuan Kemanusiaan

    korbanlumpur.info – Ibu Jumik, 50 tahun, salah satu korban Lapindo yang mengungsi di Pasar Baru Porong. Menurut cerita Cak Sutari, 36 tahun, saudara lelakinya, Ibu Jumik tiba-tiba merasa sakit di perutnya pada pertengahan Juni 2008 lalu. Lalu ia dilarikan ke RSUD Sidoarjo. Setelah menginap 2-3 hari, tiba-tiba membesar. Ibu Jumik terus-terus merasa sakit di perut, macam sakit maag akut katanya.

    Setelah 2 minggu di rumah sakit, karena tak kuat membiayai dan karena kondisi Ibu Jumik tidak berubah, keluarga Ibu Jumik membawa pulang kembali ke pengungsian Pasar Baru Porong, tepatnya di Blok R2. Cak Sutari dan keluarga akhirnya cuma pasrah. Ibu Jumik ditangani dengan cara-cara tradisional, dipijat setiap 3-4 hari. Mungkin cuma untuk mengurangi rasa sakit saja. Selebihnya tidak ada perhatian yang semestinya.

    Di catatan USG itu disebut kista. Saya tidak tahu, ini jenis penyakit apa, kista yang macam apa. Yang saya tahu, ini membutuhkan bantuan sesegera mungkin. Saat saya tulis surat ini, Cak Sutari di samping saya menitip pesan untuk memohon bantuan kepada dermawan-dermawati, baik yang di rantai email ini maupun yang di luar sana (SCTV Peduli, Kompas Peduli, dan Peduli-Peduli lainnya). Mohon bantuan kesehatan dan biaya.

    Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi Posko Bersama atau Cak Sutari 031-77680925 (Flexi).

    Ini sekadar satu contoh dari puluhan ribu korban lumpur yang kesehatannya hancur akibat pencemaran udara dan air oleh Lapindo. Sangat dibutuhan langkah bersama yang konkret, betul-betul konkret, soal ini. Kita tidak tahu, ada berapa Jumik di sana. Ada berapa Luluk, ada berapa Sutrisno, yang tewas oleh cemaran gas Lapindo.

  • Korban lapindo Demo Patoki Tanah Mereka

    Korban lapindo Demo Patoki Tanah Mereka

    Korban Lapindo yang sampai sekarang belum terselesaikan pembayaran sisa ganti rugi 80%-nya menuntut penyelesaian secara cash and carry sesuai Perpres 14/2007. Mereka memasang patok-patok ditanggul sebagai peringatan bahwa tanah itu masih tanah mereka karena belum lunas dibayar. Mereka meminta BPLS tidak meneruskan pengerjaan tanggul selama tanah mereka belum dibayar lunas.

    Klik video dibawah ini untuk melihat berita

  • Korban Lapindo Demo Usai Upacara

    Korban Lapindo Demo Usai Upacara

    Seusai upacara bendera memperingati proklamasi kemerdekaan Indonesia, Korban Lapindo melakukan aksi demo dengan membentangkan spanduk dan menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80% dibayar secara cash and carry.

    Klik video dibawah ini untuk melihat berita