Author: Redaksi Kanal

  • Ternyata Ganti Rugi Lapindo Cair setelah Lebaran

    SIDOARJO – Perjanjian pinjaman dana talangan untuk pelunasan sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo memang telah diteken pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Tapi, itu tidak berarti mimpi korban lumpur untuk segera terlunasi sisa ganti ruginya sebelum Lebaran bisa terwujud. Sebaliknya, jalan mereka untuk mendapatkan pelunasan masih panjang dan berliku.

    Betapa tidak, proses validasi belum juga separo jalan. Hingga Senin (13/7) proses validasi baru mencapai 1.175 berkas. Padahal, berkas korban lumpur yang belum lunas ada 3.337. Di sisi lain, Lebaran sudah berada di depan mata.

    Memang hari ini (14/7) ada secuil kabar gembira. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat M. Basoeki Hadimoeljono direncanakan hadir di Pendapa Delta Wibawa Pemkab Sidoarjo. Hanya, mereka hadir bukan untuk mencairkan dana sisa ganti rugi ke korban lumpur.

    ”Besok (hari ini, Red) memang ada agenda di pendapa. Tapi, itu bukan untuk pencairan, melainkan penyerahan berkas perjanjian yang ditandatangani pemerintah dan PT MLJ kepada BPLS,” kata Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo kemarin.

    Jumat malam (10/7) pemerintah memang telah menekan perjanjian dengan PT MLJ. Pemerintah diwakili menteri keuangan, sedangkan Lapindo diwakili Presiden Lapindo Brantas Setia Sutrisna dan Direktur Utama PT MLJ Andi Darussalam Tabusalla.

    Dengan penandatanganan itu, pemerintah secara resmi memberikan pinjaman Rp 781,6 miliar kepada Lapindo. Dana itulah yang bakal dikucurkan kepada korban lumpur yang sudah menanti pelunasan sembilan tahun. Tapi, dana tersebut belum bisa dicairkan dalam waktu dua hari ke depan sebelum Idul Fitri tiba.

    Menurut Dwinanto, seusai penyerahan berkas perjanjian antara pemerintah dan MLJ, BPLS tidak langsung bekerja mengucurkan dananya. Mereka akan melakukan pengumpulan berkas yang telah divalidasi untuk dikirim ke Jakarta. ”Rencananya, pada 22 Juli kami mengumumkan nama-nama yang validasinya sudah tuntas dan dananya bisa segera dicairkan,” terangnya.

    Seusai pengumuman tersebut, BPLS memberikan waktu hingga tujuh hari untuk proses klarifikasi jika ada data yang tidak tepat. Baru setelah itu dana bisa dicairkan. ”Mengacu proses pembayaran korban di luar peta area terdampak, pencairan akan dilakukan dalam waktu 14 hari kerja setelah pengumuman. Paling cepat akhir Juli sudah cair,” jelas Dwinanto.

    Jika dihitung dari tanggal pengumuman nominasi nama-nama yang validasinya sudah komplet pada 22 Juli nanti, pencairan paling cepat dilakukan pada 31 Juli. Waktu yang tentu tidak pendek bagi korban lumpur yang sudah bertahun-tahun menunggu. Sebab, mereka harus bersabar dan bersabar lagi. Padahal, sebelumnya mereka sangat berharap pelunasan sudah terealisasi sebelum Lebaran (17 Juli).

    ”Kenapa masih susah seperti ini? Terus terang kami ingin masalah ini segera selesai. Sebab, jika semakin berlarut, kami tidak bisa segera melunasi utang,” ungkap Maria Ulfa, korban lumpur asal Kedungbendo, Tanggulangin.

    Harapan untuk segera tuntas juga diungkapkan Kusumawati. Perempuan 45 tahun asal Jatirejo, Porong, tersebut berharap waktu pelunasan tidak diulur-ulur. ”Keinginan kami sederhana, kami ingin segala urusan kami dipermudah dan segera cair pelunasannya,” harap perempuan yang kini tinggal di Gempol, Pasuruan, itu.

    Keinginan korban lumpur tersebut mendapat dukungan Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo. Mereka memberikan penegasan agar pemerintah dan BPLS bisa mempercepat proses pencairan. Termasuk menyangkut validasi.

    Pansus lumpur menilai proses validasi berjalan sangat lambat. Padahal, proses tersebut bisa dijalankan lebih cepat kalau BPLS dan MLJ bersinergi lebih baik. Tidak saling menunggu. ”Proses ini seharusnya dipercepat lagi. Jangan lagi ada komunikasi yang tersumbat antara BPLS dan MLJ. Jika tidak dipercepat, bisa-bisa pelunasan semakin molor lagi,” desak Ketua Pansus Lumpur Lapindo DPDR Sidoarjo Jauhari.

    Legislator asal Partai Amanat Nasional tersebut memang tidak memungkiri bahwa pencairan sulit dilakukan sebelum Lebaran. Sebab, waktunya sudah sangat mepet. Tapi, menurut dia, pencairan bisa dilakukan sesaat setelah libur Lebaran. ”Perjanjian sudah ditandatangani. Uang juga sudah ada. Jadi, pencairan seharusnya sudah bisa dilakukan secepatnya. Paling cepat sepekan setelah Lebaran lah,” tegasnya. (fim/c9/end)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/20300/Ternyata-Ganti-Rugi-Lapindo-Cair-setelah-Lebaran

  • Ganti Rugi Warga, Perjanjian Sudah Diteken Menkeu-Presdir Lapindo

    JAKARTA – Pemerintah bersama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan PT Lapindo Brantas akhirnya menandatangani perjanjian peminjaman dana talangan untuk warga terdampak kemarin (10/7). Dengan proses final tersebut, pembayaran ganti rugi segera dilakukan. Namun, belum ada keterangan tentang tanggal pasti pembayaran kepada warga.

    Pembubuhan tinta perjanjian peminjaman dana talangan dilakukan kemarin di kantor Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera). Penandatanganan dilakukan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro sebagai wakil pemerintah dan Presiden PT Lapindo Brantas Inc Tri Setia Sutisna bersama Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam. Hadir pula Menteri PU-Pera Basuki Hadimuldjono, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, serta Nirwan Bakrie yang mewakili Grup Bakrie.

    Basuki menyatakan, penandatanganan perjanjian tersebut merupakan tindak lanjut peraturan presiden soal dana antisipasi yang ditandatangani 26 Juni 2015. Hal itu sekaligus menjadi pelengkap persyaratan pencairan dana talangan Lapindo selain perpres dan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) yang telah disiapkan.

    Sayang, proses itu tidak sesuai dengan janji pemerintah. Sebab, seharusnya dana Rp 781 miliar tersebut sudah cair untuk tahap awal pada tanggal ditekennya perpres. ’’Ini memang perjalanan cukup panjang. Mulai verifikasi oleh BPKP soal tanah yang dibeli Lapindo hingga perjanjian antara pemerintah dan Lapindo,’’ jelasnya.

    Basuki melanjutkan, ada empat poin penting dalam surat perjanjian tersebut. Yakni, pertama, pembayaran ganti rugi yang akan langsung dilakukan kepada warga. Maksudnya, dana pinjaman tidak akan masuk ke rekening dari PT MLJ sebelum dibayarkan kepada masyarakat.

    Kedua, besaran bunga yang harus ditanggung PT MLJ selama pinjaman bergulir. Sebagaimana diketahui, bunga yang telah disepakati adalah 4,8 persen per tahun dari besaran yang dipinjamkan. ’’Ketiga, jaminan aset Lapindo senilai Rp 2,7 triliun. Kalau mereka tidak dapat mengembalikan dana pinjaman selama empat tahun, aset akan disita,’’ tegasnya.

    Dia melanjutkan, dalam pengembalian dana pinjaman, Lapindo diizinkan untuk mengangsur. ’’Yang penting batas waktunya empat tahun itu,’’ ujarnya.

    Sementara itu, Menkeu Bambang Brodjonegoro menyatakan, berdasar pertimbangan jaksa agung, pihak yang berhak meneken surat perjanjian tersebut adalah Menkeu selaku bendahara negara. ’’Jadi, akhirnya saya yang teken perjanjian itu,’’ katanya saat ditemui di gedung Kementerian PU-Pera kemarin.

    Sebagai informasi, pencairan dana talangan Lapindo molor dari jadwal 26 Juni lalu. Salah satu penyebabnya, surat perjanjian kontrak tidak kunjung diteken. Menurut Bambang, saat itu Kementrian PU-Pera merasa perlu meminta pertimbangan jaksa agung soal pihak yang berhak meneken surat tersebut. Proses di kejaksaan ternyata tidak singkat hingga akhirnya surat perjanjian tersebut baru diteken kemarin.

    Bambang melanjutkan, sebenarnya sejak 26 Juni lalu syarat-syarat pencairan dana ganti rugi tersebut hampir lengkap, yakni perpres dan DIPA. Tinggal surat kontrak yang belum diteken karena menunggu hasil pertimbangan presiden. Karena itu, kata dia, setelah semua persyaratan lengkap, dana bisa segera dicairkan.

    Dia menguraikan, Selasa pekan depan (14/7) pihaknya bersama Menteri PU-Pera Basuki Hadimuljono menyerahkan surat perjanjian kontrak tersebut kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). ’’Selasa kami ke BPLS untuk menyerahkan surat perjanjian. Sebab, ini menjadi dasar bagi BPLS untuk mencairkan anggaran,’’ ujarnya.

    Mengenai pembayaran dana talangan oleh Lapindo, Bambang menekankan bahwa pemerintah telah menetapkan bunga 4,8 persen dan waktu pelunasan selama empat tahun. Pemerintah juga siap mengambil aset berupa tanah 641 hektare senilai Rp 2,7 triliun jika Lapindo gagal melunasi utang saat jatuh tempo.

    ’’Pembayaran talangan Lapindo itu bisa dicicil. Bisa juga pembayaran di ujung. Yang penting, ada batas waktu empat tahun. Batas waktu pembayarannya mulai hari ini. Jika tidak (tidak bisa membayar), kan ada jaminan (tanah),’’ tegasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam menuturkan, saat ini verifikasi terus berjalan. Di antara 3.300 berkas warga, yang rampung sudah 1.200 berkas. ’’Sebanyak 3.300 berkas itu adalah milik sekitar 2.000 kepala keluarga (KK),’’ ujarnya.

    Andi melanjutkan, untuk skema pembayaran tahap awal, semua telah diserahkan kepada BPLS. Pihaknya akan menyerahkan hasil verifikasi kepada BPLS. Kemudian, BPLS memvalidasi untuk diserahkan kepada bendahara negara, dalam hal ini Kemenkeu. ’’Jadi, uang akan langsung dari pusat ke masyarakat,’’ tegasnya.

    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Hardi Prasetyo menyatakan sudah membuat skema tersebut. Namun, dia enggan memaparkan detail. Dia akan menjelaskan secara terperinci saat pemerintah pusat menyerahkan berkas perjanjian kepada pihaknya di Sidoarjo, Selasa pekan depan.

    ’’Yang jelas, nanti sistemnya ditransfer melalui rekening BRI yang telah dibuka untuk masing-masing KK. Besarannya pun sesuai dengan aset mereka,’’ ungkapnya. (mia/ken/c5/kim)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/20193/Ganti-Rugi-Warga-Perjanjian-Sudah-Diteken-Menkeu-Presdir-Lapindo

  • Ada Kendala di Lapindo

    Perjanjian Dana Pinjaman Harus Segera Ditandatangani

    SIDOARJO, KOMPAS — Perjanjian dana pinjaman untuk menalangi pembayaran ganti rugi bagi warga korban semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, harus segera ditandatangani oleh pemerintah dan perusahaan. Akta perjanjian itu menjadi dasar untuk mencairkan anggaran Rp 781 miliar dan pijakan melakukan validasi berkas sebagai syarat pembayaran kepada korban.

    “Hingga saat ini, perjanjian dana pinjaman belum ditandatangani, walau peraturan presiden (perpres) tentang pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo dengan dana pinjaman pemerintah, sudah disahkan. Masih ada sejumlah hal yang menjadi kendala,” ujar Dwinanto Hesti Prasetyo, Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Rabu (1/7), di Sidoarjo.

    Dwinanto tidak menyebutkan kendala itu. Namun, BPLS akan mematangkan persiapan kapan pun perjanjian itu ditandatangani. Oleh karena itu, BPLS melakukan pencocokkan data warga korban lumpur sebagai langkah persiapan menuju validasi berkas pemberian ganti rugi.

    Pengamatan di Pendopo Delta Wibawa, Sidoarjo, tim verifikasi BPLS memanggil sekitar 300 masyarakat korban semburan lumpur di tiga kecamatan, yakni Jabon, Tanggulangin, dan Porong. Mereka diminta membawa kartu identitas, buku rekening, dan kuitansi pembayaran ganti rugi yang sudah diterima.

    Data bermasalah

    Sebelumnya, Jumat pekan lalu, BPLS memanggil 44 pemilik berkas untuk mengikuti verifikasi. Namun, karena banyak ditemukan data bermasalah, dan pasokan data masyarakat korban lumpur dari Lapindo kurang lancar, verifikasi dihentikan dan baru dibuka lagi Rabu.

    Dari 300 berkas itu, sebanyak 193 berkas dinyatakan cocok secara administrasi. Sisanya, 107 berkas, belum bisa diproses karena berbagai sebab. Sebanyak 90 berkas, pemiliknya tidak hadir.

    Adapun 17 berkas tidak bisa diproses, sebab bermasalah. Permasalahannya beragam, tetapi kebanyakan karena ketidaksesuaian data. Misalnya, nama pemilik berkas dan pemilik rekening berbeda. Selain itu, nama sama, tetapi alamat yang tertera pada berkas tidak sama dengan yang tertera di buku rekening.

    “Kami berharap Kamis besok bisa membereskan yang 107 berkas. Pemilik yang belum hadir diharapkan segera hadir. Data yang tidak sama akan diperbaiki. Termasuk tadi ada persoalan ahli waris yang belum bisa menunjukkan surat keterangannya,” kata Dwinanto.

    Saat ini BPLS baru melakukan pendataan administrasi. Adapun verifikasi terkait dengan nilai pembayaran ganti rugi akan dilakukan pada tahap berikutnya, setelah perjanjian pinjaman antara pemerintah dan PT Lapindo Brantas atau Minarak Lapindo Jaya, ditandatangani.

    Informasi lain yang diperoleh Kompas, salah satu faktor penghambat karena adanya perubahan pihak yang harusnya melakukan penandatanganan dana pinjaman. Bila sebelumnya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, diubah menjadi Menteri Keuangan. Hal itu sesuai arahan dari Jaksa Agung.

    Seorang warga korban lumpur Lapindo dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Hartini, mengatakan, ia mendapat panggilan mengikuti pencocokan data di Pendopo Delta Wibawa secara mendadak. Ia bingung, karena tidak disebutkan secara rinci berkas mana yang dimaksud.

    Selain itu, korban lumpur mengeluhkan tak ada pengumuman nilai nominal sisa ganti rugi yang akan mereka terima. Jika nilai ganti rugi ditentukan perusahaan, hal itu bisa merugikan warga korban lumpur. (nik)

    Harian Kompas, 2 Juli 2015, h. 24.

  • Korban Lumpur Lapindo Belum Terima Sertifikat Tanah

    Korban Lumpur Lapindo Belum Terima Sertifikat Tanah

    Sidoarjo, Tempo.co – Sejumlah korban lumpur Lapindo yang mendapatkan ganti rugi sebuah rumah di perumahan yang dibuat Lapindo di Kahuripan Nirwana Village (KNV), Sidoarjo, mengaku hingga kini belum mendapatkan sertifikat tanah. “Dipanggil untuk menandatangani akta jual-beli pun belum. Padahal tetangga dan saudara-saudara saya sudah menerima,” kata Bakrie, 40 tahun, warga Desa Kedengbendo, Porong, Rabu, 24 Juni 2015.

    Hal senada diungkapkan Wartik. Sejak mendapatkan rumah pada 2010, dia juga belum mendapatkan sertifikat. “Sertifikat untuk mendapatkan kunci rumah pun baru dikasih setahun kemudian.”

    Suaidi, 59 tahun, warga korban lumpur lainnya, juga bernasib sama. Namun Suaidi lebih beruntung. Ia sudah dipanggil untuk menandatangani akta jual-beli empat bulan lalu. “Tinggal tunggu waktu keluar sertifikatnya.”

    Bakrie, Watik, dan Suaidi menempati rumah tipe 70 di KNV. Selain rumah tipe 70, korban lumpur Lapindo juga menempati rumah tipe 32 dan 54. Selain belum menerima sertifikat tanah, mereka juga mengaku belum mendapatkan sisa ganti rugi. Menurut Bakrie, Lapindo masih harus membayar Rp 76 juta. Sedangkan Watik dan Suaidi masing-masing kurang Rp 600 juta dan Rp 1,3 miliar.

    Mereka adalah tiga dari ribuan warga korban semburan lumpur Lapindo yang mengikuti skema ganti rugi sistem cash and resettlement. Skema itu berupa pemberian uang muka 20 persen, dan sisanya 80 persen berupa sebuah rumah di KNV.

    Sampai berita ini ditulis, pihak KNV belum bisa diminta keterangan penyebab warga korban lumpur belum menerima sertifikat serta jumlah persis warga yang belum menerima sertifikat. Perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya juga tidak tahu-menahu saat menghadiri sosialisasi pembayaran ganti rugi di Pendapa Delta Wibawa, Kabupaten Sidoarjo, Rabu, 24 Juni 2015. “Bukan bagian saya,” ujarnya.

    NUR HADI

    http://nasional.tempo.co/read/news/2015/06/24/173678019/korban-lumpur-lapindo-belum-terima-sertifikat-tanah

  • Dana Talangan bukan Pintu Keluar dari Jebakan Lumpur (Lapindo)!

    Dana Talangan bukan Pintu Keluar dari Jebakan Lumpur (Lapindo)!

    Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] bersama dengan Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] dan masyarakat sipil lainnya menilai bahwa kebijakan pemerintah untuk mengucurkan dana talangan senilai Rp 781 miliar kepada pihak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), guna pelunasan dan pembayaran ganti rugi lahan serta bangunan akibat semburan lumpur Lapindo, dengan jangka waktu 4 tahun dengan jaminan aset tanah korban yang sudah diganti rugi oleh pihak perusahaan sebesar Rp 3,03 triliun, tidak lebih dari sekadar transaksi ekonomi melalui pengambilalihan aset, tanpa upaya penyelesaian menyeluruh atas permasalahan lumpur Lapindo itu sendiri.

    Pada tanggal 29 Mei 2007, setahun setelah bencana semburan lumpur Lapindo, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI juga telah mengeluarkan hasil pemeriksaan terkait Penanganan Atas Bencana Lumpur Lapindo. Dimana berdasarkan temuan hasil pemeriksan tersebut ditemukan sejumlah pelanggaran tekait perijinan dan pengawasan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, pelaksanaan eksplorasi sumur Banjarpanji-1, hingga ketiadaan pengawasan eksplorasi migas oleh Pemerintah (BP Migas dan Departemen ESDM), yang mengindikasikan terjadi pelanggaran prosedur dan peraturan mulai dari proses tender, peralatan teknis hingga prosedur teknis pengeboran sumur-sumur minyak di Sidoarjo.

    Fakta lain yang kami temukan juga menunjukan bahwa kebijakan pemerintah melalui dana talangan tersebut juga akan membawa beberapa permasalahan mendasar lainnya, mulai dari potensi berlawanan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, hingga mengabaikan aspek perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia bagi korban lumpur Lapindo itu sendiri. Beberapa permasalahan tersebut, antara lain:

    • Memiliki potensi berlawanan dengan konstitusi. Sebagaimana yang diatur melalui pasal 33 ayat (4) UUD 1945, konstitusi Indonesia menekankan konsepsi demokrasi ekonomi, yang oleh karnanya kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, serta harus dihindari terjadinya penumpukan aset dan pemusatan ekonomi pada seseorang, kelompok atau perusahaan. Dalam hal ini, dengan pemeberian dana talangan untuk PT MLJ, patut dicurigai bahwa hanya akan menguntungkan konglomerasi besar yang sedang terlilit masalah finansial, Grup Bakrie, sehingga terjadi penumpukan aset dan pemusatan ekonomi, serta tidak memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
    • Transaksi jual-beli yang batal demi hukum. Mengacu pada peraturan yang ada, hanya ada dua subjek hukum yang boleh memperoleh ‘hak milik’ atas tanah, yaitu warga negara Indonesia (pribadi) dan badan hukum tertentu (UU Agraria No. 5/1960, Pasal 26 Ayat 2). Termasuk dalam badan hukum adalah bank negara, koperasi pertanian, organisasi keagamaan dan badan sosial (PP No. 38/1963, Pasal 1). Mengikuti UU Agraria 5/1960 tersebut, transaksi tanah pada badan hukum selain itu, akan batal secara hukum dan segala pembayaran yang telah dilakukan tak dapat dituntut kembali sementara status tanah berubah menjadi ‘tanah negara’ (Pasal 27a).
    • Pinjaman dengan jaminan aset tanah negara. MLJ sendiri hanya bisa memiliki hak tanah dalam bentuk: Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, yang diatur berdasarkan undang-undang, serta memiliki jangka waktu yang terbatas, dan akan kembali menjadi tanah negara setelah batas waktu tersebut habis. Maka patut dipertanyakan bagaimana mungkin negara akan memberikan dana talangan kepada PT. MLJ dengan jaminan aset yang statusnya sudah pasti akan berubah menjadi ‘tanah negara’ dikemudian hari.
    • Ketidakjelasan mekanisme pemberian dana talangan kepada PT MLJ. Apabila merujuk pada UU No. 37/2004 dan UU No. 17/2003, PT. MLJ seharusnya berstatus pailit terlebih dahulu sebelum mendapat kucuran pinjaman atau dana talangan dari pemerintah yang dapat digunakan guna melakukan pelunasan pembayaran ganti rugi tanah yang terendam lumpur akibat aktivitas penambangan, yang juga mengingatkan bahwa jika kebijakan itu tak diberlakukan akan menjadi preseden kekacauan sistem hukum dan juga bisnis di Indonesia.
    • Hanya menyentuh satu kelompok korban Lapindo, kelompok cash and carry. Sementara di sisi lain, masih ada kelompok korban yang tidak tersentuh oleh dana talangan dari pemerintah tersebut dan menghadapi beragam masalah yang bisa jadi berbeda satu sama lain. Hal ini mengingat pihak PT MLJ, akibat ketidakmampuannya untuk menepati jangka waktu ganti rugi sebagaimana yang diperintahkan oleh Perpres 14/2007, kemudian menawarkan berbagai model penyelesaian proses ganti rugi, yang dalam kenyataannya juga tidak kunjung dituntaskan hingga hari ini.
    • Pengabaian praktik pelanggaran HAM. Dalam laporan penyelidikannya Komnas HAM, pada 25 Oktober 2012, menyebutkan bahwa adanya praktik pelanggaran HAM yang terjadi secara sistematis dan meluas. Dimana sekurang-kurangnya 15 (lima belas) pelanggaran HAM yang terjadi akibat semburan lumpur Lapindo: hak atas hidup, hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak atas pengungsi, serta hak kelompok rentan (penyandang cacat, orang berusia lanjut, anak dan perempuan).
    • Mengabaikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam UU No. 32/2009, PT MLJ seharusnya diwajibkan untuk menanggung segala kerugian yang ditimbulkan semburan lumpur Lapindo, berdasarkan konsep tanggung jawab mutlak (strict liability), akibat pencemaran yang dilakukan oleh kegiatan usahanya (polluter pay principles), yang mengakibatkan kerugian bagi warga, secara mutlak, dan tanpa perlu ada pembuktian terhadap unsur kesalahan yang dilakukan oleh PT MLJ tersebut.

    Sudah seharusnya pemerintah menafsirkan upaya penyelesaian dampak dari semburan lumpur Lapindo secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan berbagai aspek permasalahan yang ada, agar tidak terjebak lebih jauh dalam semburan lumpur Lapindo itu sendiri. Terlebih, tidak ada upaya penegakkan hukum bagi PT MLJ sebagai pihak yang semestinya bertanggung jawab atas semburan lumpur Lapindo hingga hari ini juga semakin mempersulit posisi korban untuk menuntut pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang terjadi terhadap mereka.

    Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak sejumlah pihak untuk:

    Pertama, Polri untuk menginstruksikan kepada seluruh jajaran aparatnya guna melakukan penyelidikan berdasarkan hasil laporan Komnas HAM dan BPK serta membuka perkara pidana yang telah di-SP3 oleh Polda Jatim.

    Kedua, BPK segera melakukan koordinasi kepada kementerian terkait, utamanya Kementerian ESDM atas temuan adanya penyalahgunaan tindakan non-procedural pengeboran di Sidoarjo yang berakibat pada timbulnya korban dan kerugian, serta memastikan upaya tindak lanjut dari laporan BPK pada tahun 2007.

    Ketiga, BPN beserta Kementerian Agraria untuk memastikan status hukum yang timbul akibat kegiatan jual-beli lahan antara korban luapan lumpur Lapindo, serta memberikan masukan kepada Pemerintah terkait penyelesaian permasalah dana talangan dan upaya ganti rugi lahan dan bangunan akibat semburan lumpur Lapindo.

    Keempat, Kementerian Keuangan untuk memastikan bahwa penggunaan uang negara, melalui rencana pemberian dana talangan, kemudian tidak bertentangan dengan Konstitusi Indonesia, serta memastikan status hukum PT MLJ sebelum menerima dana bantuan dalam bentuk talangan dan kebijakan penundaan kewajiban pembayara utang, dan meberikan masukan kepada pemerintah terkait penyelesaian permasalahan dana talangan.

    Kelima, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Sosial, dan sejumlah kementerian terkait untuk menagih kerugian yang ditimbulkan akibat semburan lumpur Lapindo, guna mencegah potensi kerugian negara akibat peristiwa tersebut.

    Keenam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan audit lingkungan hidup atas peristiwa semburan Lapindo di Sidoarjo yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, serta memastikan pertanggungjawaban PT MLJ atas kerugian yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut berdasarkan prinsip polluter pay principles dan konsep strict liability.

    Ketujuh, Komnas HAM untuk memastikan dan menjamin tersedianya akses terhadap upaya pemulihan yang efektif bagi korban perlanggaran HAM akibat semburan lumpur Lapindo, serta mendorong pemeritah dan instansi-instansi terkait untuk menindak-lanjuti laporan Komnas HAM atas sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi akibat terjadinya semburan lumpur Lapindo.

    Kedelapan, Ombudsman RI untuk melakukan penyelidikan terkait temuan adanya dugaan praktik mal-administrasi yang terjadi dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo, sebagaimana yang disebutkan laporan BPK pada 29 Mei 2007 lalu.

    Kesembilan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan Polri untuk mengusut kejahatan pidana pada penyalahgunaan tata ruang yang mencederai UU No. 26/2007 dan RTRW Sidoarjo 2003-2013.

    Kesepuluh, Menkoinfo dan Komisi Informasi Publik membuka akses informasi atas kejahatan yang sesungguhnya terjadi pada kasus lumpur Lapindo melalui mekanisme yang tersedia dengan melibatkan pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel.

    Jakarta, 24 Juni 2015

    Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
    Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

    DANA TALANGAN BUKAN PINTU KELUAR DARI JEBAKAN LUMPUR (LAPINDO)!

  • Pemerintah Paksa Minarak Lapindo Bayar Bunga Dana Talangan

    Pemerintah Paksa Minarak Lapindo Bayar Bunga Dana Talangan

    JAKARTA – Pemerintah mewajibkan PT Minarak Lapindo membayar bunga dana talangan untuk membayar ganti rugi warga korban luapan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur. PT Minarak Lapindo sebagai pelaksana pembayaran ganti rugi pun sepakat membayar bunga 4,8 persen untuk dana talangan sebesar Rp 827,1 miliar yang statusnya pinjaman dari pemerintah itu.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimulyono mengaku sudah memanggil pemilik PT Minarak Lapindo, Nirwan Bakrie terkait pengenaan bunga untuk dana pinjaman dari pemerintah itu. “Saya sudah undang Pak Nirwan bahwa dari sidang kabinet ini dana antisipasi ini dikenai bunga 4,8 persen, dan beliau (Nirwan, red) menerima,” kata Basuki  di kantor kepresidenan, Jakarta, Senin (22/6).

    Karenanya Basuki juga mengharapkan peraturan presiden (perpres) tentang dana talangan untuk Minarak Lapindo itu segera ditandangtangani Presiden Joko Widodo. Nantinya, perpres itu akan ditindaklanjuti dengan perjanjian antara Kementerian PUPR dengan Minarak Lapindo.

    Basuki menambahkan, draf perjanjian kerja sama saat itu sudah diedarkan kepada seluruh tim percepatan untuk dikoreksi. “Mudah-mudahan Rabu (24/6) saya bisa menandatangani perjanjiannya dengan Minarak Lapindo Jaya,” imbuhnya.

    Basuki menegaskan, jumlah dana talangan dari pemerintah untuk Minarak Lapindo itu sudah sesuai hasil verifikasi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dari Rp 827 miliar yang disediakan, Rp 781 miliar di antaranya akan dibagikan kepada warga.

    Basuki menjelaskan, pembayaran ganti rugi akan dilakukan melalui transfer ke rekening warga di bank. “Mereka sudah siap dengan rekening-rekening BNI,” kata Basuki.

    Warga penerima ganti rugi tidak akan dikenai bunga. Sedangkan Minarak Lapindo harus melunasi dana pinjaman itu ke pemerintah itu dalam kurun waktu 4 tahun.

    FLO

    http://www.jpnn.com/read/2015/06/22/311078/Pemerintah-Paksa-Minarak-Lapindo-Bayar-Bunga-Dana-Talangan

  • BNBR Suntik USD150 Juta untuk Bangun Coating Plant

    BNBR Suntik USD150 Juta untuk Bangun Coating Plant

    Jakarta, Metrotvnews.com — PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) mengalokasikan dana investasi sebesar USD150 juta melalui anak usahanya, PT Bakrie Pipe Industries (BPI). Dana tersebut akan disalurkan secara bertahap untuk membangun pelapisan pipa baja (coating plant).

    “Ekspansi kami guna menjaga pertumbuhan di tengah lesunya perekonomian saat ini yang diperkirakan masih akan diliputi ketidakpastian atau krisis belum akan selesai,” ujar Direktur Utama Bakrie & Brothers Bobby Gafur Umar, ketika ditemui usai RUPST, di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Kamis (18/6/2015).

    Dampak pelemahan rupiah terhadap dolar AS (USD) juga membuat perseroan lebih fokus untuk menjalankan usaha dengan efisiensi di segala bidang. Sehingga perseroan dapat meraih kinerja positif yang telah berhasil diraih pada tahun lalu.

    Sejumlah inisiatif strategis telah dilakukan perseroan dalam mengembangkan usaha, salah satunya mendorong pengembangan bisnis anak-anak usaha nonpublik yang bergerak di sektor manufaktur.

    “Peresmian coating plant menjadi momentum penting bagi industri baja nasional dan industri pipa baja khususnya. Ini merupakan tahap pertama, dari rencana investasi kami senilai USD150 juta, untuk mengembangkan industri pipa dan produk pendukung milik Bakrie,” ungkapnya.

    Pengerjaan coating plant, menurut Bobby, diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pipa bagi pengguna di daratan (on shore) dan bawah laut. Fungsi lainnya bisa mendukung rencana pemerintah membangun jaringan pipa dalam program konversi bahan bakar minyak (BBM) ke Gas.

    “Anak usaha lain yang bergerak di bidang industri metal, dan bahan bangunan juga prospektif, seiring gencarnya pemerintah mendorong percepatan pembangunan infrastruktur,” tutur Bobby.

    Sementara di sektor manufaktur, tambah dia, diklaim memiliki kemampuan kuat untuk menjadi motor utama. karena masih memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan bagi perusahaan.

    “Tiga anak usaha dibidang manufaktur yang menjadi motor utama itu meliputi PT Bakrie Metal Industries, PT Bakrie Autoparts dan PT Bakrie Building Industries,” tukasnya.

    Dian Ihsan Siregar

    http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/06/18/138045/bnbr-suntik-usd150-juta-untuk-bangun-coating-plant

  • Perusahaan Migas Grup Bakrie Cari Utang US$ 200 Juta

    Perusahaan Migas Grup Bakrie Cari Utang US$ 200 Juta

    Jakarta, CNN Indonesia — Manajemen PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) melansir tengah mencari pinjaman senilai US$ 200 juta yang rencananya bakal digunakan untuk merestrukturisasi utang jangka pendek perseroan (refinancing) sebesar US$ 134 juta.

    Presiden Direktur Energi Mega Persada, Imam P Agustino mengatakan selain untuk menutupi utang jangka pendek, sisa pinjaman sindikasi atau berkisar US$ 64 juta juga akan dipakai untuk menggenapi angka belanja modal (capital expenditure/capex) perseroan tahun ini yang mencapai US$ 218 juta.

    Sementara sisa capex sebesar US$ 154 juta akan ditutupi dari kas perseroan. “Kami pastikan kalau bunga pinjaman tersebut tidak akan lebih besar daripada yang (pinjaman) sebelumnya. Karena pada dasarnya pinjaman ini untuk refinancing,” ujar Imam di Jakarta, Rabu (17/6).

    Sebagaimana diketahui, dalam laporan keuangan perseroan 2014 Energi Mega Persada memiliki total liabilitas sebesar US$ 1,29 miliar yang terdiri dari kewajiban jangka panjang senilai US$ 581 juta, dan kewajiban jangka pendek mencapai US$ 715 juta.

    Dari liabilitas jangka pendeknya, Imam bilang tercatat utang yang memasuki jatuh tempo tahun ini mencapai US$ 102 juta.

    Lebih lanjut, untuk memperoleh pinjaman, manajemen perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Bakrie itu telah mengantongi restu dari mayoritas pemegang saham guna menjaminkan aset perseroan dan anak usahanya.

    “Ini hal yang biasa kami lakukan. Sedangkan sindikasi kredit tadi dari beberapa bank asing tapi kita tidak bisa sebut namanya,” tuturnya.

    Dari catatan CNN Indonesia, selain dari perbankan sumber pinjaman Energi Mega Persada juga akan berasal dari satu lembaga pendanaan yakni Farallon Capital dengan besaran bunga London Inter-bank Offer Rate (LIBOR) mencapai 18 persen per tahun. Dimana angka ini diketahui lebih rendah dari pinjaman sindikasi sebelumnya yang memiliki bunga mencapai 20 persen.

    Serapan Belanja Modal

    Sementara untuk pemanfaatan belanja modal tahun ini, tambah Imam, hingga akhir Mei 2015 kemarin serapan belanja modal perseroan telah menyentuh angka 40 persen. Adapun penggunaan capex tersebut digunakan untuk perawatan production facilities, hingga kegiatan pemboran sumur-sumur migas yang dikelola perseroan dan anak usahanya.

    “Tahun ini kami hanya akan berfokus pada pengembangan blok-blok migas yang sudah perseroan miliki. Jadi capex hanya akan dipakai untuk kegiatan perawatan sumur dan tidak ada rencana akuisisi working interest di blok lain,” katanya.

    Diemas Kresna Duta

    http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150618074758-85-60747/perusahaan-migas-grup-bakrie-cari-utang-us–200-juta/

  • 9 Tahun Menunggu Janji Lapindo

    9 Tahun Menunggu Janji Lapindo

    MetroRealitas – Tidak terasa genangan lumpur ini sudah menginjak tahun ke-9, tidak banyak perubahan di sana, namun genangan masih ada bahkan terus meluap. Namun setidaknya kini sebagian warga di kawasan terdampak sudah mulai lega, sebab kekurangan pembayaran untuk senilai Rp 827 miliar akan segera dilunasi. Dilunasi dan dibayarkan oleh pemerintah, ya inilah ironi yang diperdebatkan belakangan ini sebab ujung-ujungnya harus pemerintah juga yang turun tangan. Anehnya tak cuma harus nombok duluan, pemerintah pun oke-oke saja memberikan talangan meski nilai jaminan dari pihak Lapindo justru menyusut. Benarkah Lapindo tak layak ditalangi? Dan benarkah grup usaha Lapindo ini telah meraup banyak keuntungan dari putaran bisnis migasnya, Selasa (16/6/2015).

    Editor: AMS

  • Kerjasama Lapindo dan BUMD Tingkatkan PAD Sidoarjo

    Kerjasama Lapindo dan BUMD Tingkatkan PAD Sidoarjo

    Sidoarjo, Sidoarjoterkini.com – Kerjasama di bidang gas antara Lapindo Brantas Inc dengan PD Aneka Usaha murni bisnis. Namun, salah satu tujuan kerjasama itu agar ada tambahan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemkab Sidoarjo.

    Pasalnya, PD Aneka Usaha merupakan BUMD milik Pemkab Sidoarjo. “Kerjasama gas Lapindo dengan PD AU (Aneka Usaha), melalui Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) dan sama dengan perusahaan swasta lainnya yang mengambil gas dari Lapindo,” ujar Comersial Manager Lapindo Brantas Inc, Anthoni Roy.

    Kerjasama antara Lapindo dengan PD AU, lanjut pria yang akrab disapa Roy ini, merujuk pada Pedoman Tata Kerja Nomor (PTKN) 029/PTJ/VII/2009 tentang penunjukan penjual dan penjualan gas bumi/LNG/LPG bagian negara. BUMD berpeluang mengelola distribusi gas kerjasama dengan K3S (Kontraktor Kontrak Kerja Sama).

    Meski demikian, PJBG tidak bisa dilakukan antara Lapindo dan BUMD saja. Melainkan harus seizin SKK Migas. “Semua PJBG baik dengan PD AU maupun perusahaan gas lainnya harus ada rekomendasi atau ijin dari SKK Migas,” jelas Roy.

    Sedangkan kerjasama dengan PD AU dimulai sekitar tahun 2011 lalu. Untuk berapa banyak suplai gas yang dibeli PD AU, Roy mengaku tidak bisa menyebutkan karena menyangkut kerjasama.

    Roy mengaku kewenangan Lapindo hanya memberikan gas sesuai PJBG pada PD AU. Selanjutnya, apakah gas itu akan dijual ke perusahaan atau siapapun, menjadi kewenangan perusahaan yang bersangkutan.

    Selain bekerjasama dengan PD AU, Lapindo juga bekerjasama dengan perusahaan gas lainnya. Dalam hal distribusi gas, Lapindo berpegang teguh pada PJBG.

    Terpisah, Direktur PD Aneka Usaha, Amral Soegianto mengatakan untuk usaha gas yang dijalankannya sesuai dengan PJBG dengan Lapindo dan pihak terkait lainnya. “Selama ini kita sudah bisa menyumbang PAD untuk Pemkab Sidoarjo,” tandasnya.

    ST-12

    http://sidoarjoterkini.com/2015/06/12/kerjasama-gas-lapindo-dan-bumd-untuk-tingkatkan-pad-sidoarjo/

  • [Mei 2015] Mengingat Lapindo

    Pada edisi ini Buletin Kanal menyajikan beberapa seruan komunitas korban Lapindo dan kelompok masyarakat sipil terkait sembilan tahun lumpur Lapindo. Kelompok ini menyerukan betapa kasus Lapindo tidak ditangani baik oleh pengurus negara. Mereka mengatakan negara alpa dalam melindungi warga. Warga harus berjuang sendiri untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar dan memulai upaya pemulihan kehidupan.

    Kerusakan sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi tidak mendapatkan perhatian serius. Konsep melindungi warga dengan mendorong skema ganti rugi melalui jual beli aset tanah dan bangunan senyatanya tidak juga bisa ditaati perusahaan. Meski menjadi prasyarat paling ringan dalam kasus ini, ketidakpatuhan Lapindo Brantas pada kebijakan negara tak urung memperpanjang kesengsaraan korban Lapindo.

    Pada peringatan 7 tahun Lumpur Lapindo, beberapa komunitas yang menghadapi situasi serupa di Porong, datang bersolidaritas dan menetapkan 29 Mei sebagai Hari Anti Tambang (HATAM). HATAM mengingatkan publik tentang daya rusak tambang yang bahkan sejak mulai beroperasi telah bisa diidentifikasi. Pada kasus lumpur Lapindo misalnya, ketidakjelasan peruntukan lahan sumur pengeboran migas merupakan bentuk manipulasi informasi. Ditambah lagi sejak awal aktivitas industri migas ini tidak pernah disebutkan dalam RTRW Sidoarjo.

    Warga harus berjuang sendiri untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sejumlah warga mesti menghadapi resiko lingkungan yang sangat buruk dengan mengandalkan sumber ekonomi sebagai pengelola parkir dan pengojek di area tanggul semburan lumpur Lapindo. Catatan kesehatan Puskesmas Porong bisa menunjukkan resiko kesehatan yang dialami warga.

    Gangguan pernapasan menjadi indikator paling bisa dilihat akibat pemburukan kualitas udara. Pemeriksaan kesehatan kepada korban nyaris tidak dilakukan secara khusus. Bahkan mereka mesti berjuang bertahun-tahun untuk bisa mendapatkan keringanan biaya kesehatan. Jika tidak mendapat fasilitas Jamkesmas dan Jamkesda, mereka harus berbekal SKTM-surat pernyataan sebagai orang miskin.

    Sayangnya, media cenderung tidak menggali berbagai dimensi kerusakan akibat lumpur Lapindo. Sajian persoalan ganti rugi yang tak kunjung selesai menghiasi berita kasus lumpur Lapindo. Hanya sedikit media arusutama yang mencoba mendalami dampak lumpur Lapindo dari multi perspektif.

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang setidaknya ditunjuk untuk mengurusi persoalan Lapindo juga cenderung membatasi diri. Dalam urusan keterbukaan informasi, BPLS tidak cukup serius mengelola media informasi, www.bpls.go.id, yang tidak lagi dapat diakses publik, sejak 29 Mei hingga edisi ini terbit.

    Kami memilihkan beberapa liputan media tentang situasi finansial Grup Bakrie, resiko konflik adanya pulau endapan lumpur, pemulihan infrastruktur, dan liputan mendalam membaca dampak berkelanjutan lumpur Lapindo.

    Secara khusus tiga tulisan Anton Novenanto disajikan untuk memberikan gambaran lebih terang tentang situasi pengelolaan kasus lumpur Lapindo ini. Bambang Catur Nusantara dan Lutfi Amirrudin masing-masing menyajikan satu tulisan khusus dalam membaca situasi sembilan tahun semburan Lumpur Lapindo.

    Daris Ilma dan Rita Padawangi menampilkan beberapa foto dokumentasi prosesi peringatan 9 tahun semburan lumpur Lapindo. Akhmad Novik menuliskan kesaksiannya mengikuti prosesi peringatan sejak pagi hingga siang, 29 Mei 2015.

    Redaksi berterima kasih pada Rahman Seblat yang telah beriuran sketsa tematik Sembilan Tahun Lumpur Lapindo, “Warga Berdaya, Meski Negara Alpa.”

    Redaksi juga mengundang partisipasi pembaca untuk Buletin Kanal edisi mendatang. Silakan kirimkan tulisan opini, foto, sketsa, komik, atau bentuk lainnya sebagai kontribusi pada perbaikan pengelolaan kasus lumpur Lapindo ini.

    Selamat membaca!

    — Bambang Catur Nusantara

    Daftar tulisan edisi ini:

    1. Mengingat Lapindo (Bambang Catur Nusantara) (pdf)
    2. [Siaran Pers] 9 Tahun Semburan Lumpur Lapindo (pdf)
    3. [Siaran Pers] Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela (pdf)
    4. [Suara Publik] Bola Panas “Ganti Rugi” (Anton Novenanto) (pdf)
    5. [Suara Publik] “Warga Tetap Berdaya, Meski Negara Alpa” (Anton Novenanto) (pdf)
    6. [Suara Publik] Politik Janji (Anton Novenanto) (pdf)
    7. [Suara Publik] Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun (Bambang Catur Nusantara) (pdf)
    8. [Suara Publik] Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana (Lutfi Amiruddin) (pdf)
    9. [Kanal Korban] Sembilan Tahun Lumpur Lapindo (Novik Akhmad) (pdf)
    10. [Lapindo di Media] Mei 2015 (pdf)
    11. [Bingkai] Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015) (Daris Ilma & Rita Padawangi) (pdf)

    Dapatkan bendel lengkap Buletin Kanal di sini.

  • Perpres Ganti Rugi Korban Lumpur Sidoarjo Segera Terbit

    Perpres Ganti Rugi Korban Lumpur Sidoarjo Segera Terbit

    Jakarta, Kabar24.com – Pemerintah tengah mematangkan Peraturan Presiden terkait penyaluran ganti rugi bagi masyarakat korban luapan lumpur Sidoarjo di peta area terdampak (PAT) untuk memastikan penyaluran anggaran dapat dilakukan segera.

    Rildo Ananda Anwar, Inspektur Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sekaligus Ketua Tim Teknis Percepatan Penyelesaian Pembayaran Ganti Rugi Korban Luapan Lumpur Sidoarjo mengatakan draft perpres sudah diajukan, ditargetkan awal pekan depan sudah disahkan.

    “Sejauh ini sudah kami bahas secara intensif dan masih akan ada beberapa pertemuan lanjutan lagi. Karena kalau Perpresnya sudah lebih detail, perjanjiannya akan menjadi lebih mudah,” katanya, Kamis (11/6/2015).

    Perpres tersebut dibutuhkan sebagai aturan pelaksana penyaluran dana ganti rugi seturut amanat UU No. 3/2015 tentang perubahan atas UU No. 27/2014 tentang APBN 2015. Proses perjanjian antara pemerintah dan Lapindo akan didasarkan pada ketentuan perpres tersebut.

    Menurutnya, bila semua berjalan lancar, proses pembayaran dapat segera dilakukan mulai 26 Juni 2015 mendatang.

    Penyaluran akan dilakukan langsung ke rekening korban untuk menghindari terjadinya manipulasi di lapangan oleh oknum tertentu.

    Sesuai dengan UU No. 3/2015 pasal 23B , untuk pelunasan pembayaran kepada masyarakat yang memiliki tanah dan bangunan di dalam PAT lumpur dialokasikan dana sebesar Rp 781,688 miliar.

    Dana tersebut merupakan dana talangan untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan korban lumpur di PAT yang tidak sanggup dibayar oleh Lapindo.

    Untuk itu, Lapindo menjaminkan tanah di PAT yang telah dibayarkan Lapindo dengan nilai Rp2,7 triliun berdasarkan hasil audit BPKP.

    Rildo mengatakan, sejauh ini masih dilakukan pembicaraan mendetail terkait perjanjian kontrak di Sekretariat Negara tentang kemungkinan menyesuaikan jaminan aset dan jangka waktu pengembalian dana pemerintah oleh Lapindo.

    “Bisa saja kita sesuaikan lagi waktunya yang ditetapkan empat tahun, bisa lebih singkat. Selain itu juga masalah aset, apakah bisa ada aset lain yang dijaminkan, itu lagi dibicarakan. Kalau itu selesai, kita akan segera ajukan kontraknya ke Pak Menteri untuk ditandatangani,” katanya.

    Rildo mengatakan tahun ini pemerintah akan menyalurkan anggaran Rp 781,688 miliar seturut ketentuan undang-undang, meskipun hasil audit BPKP menunjukkan kenaikan nilai hingga Rp 46 miliar.

    Rildo mengatakan, kelebihan nilai tersebut akan disalurkan di tahun depan, bersama dengan delapan warga yang baru mengajukan gugatan dan sekarang tengah diverifikasi. Menurutnya, ganti rugi terhadap dunia usaha yang terkena risiko pun akan dibahas lagi oleh pemerintah.

    “Untuk masalah pajak dan bunga terhadap Lapindo, biar nanti Menteri Keuangan dan Menteri PU-Pera yang ambil keputusan,” katanya.

    Emanuel Berkah

    http://kabar24.bisnis.com/read/20150611/15/442614/lumpur-lapindo-perpres-ganti-rugi-korban-lumpur-sidoarjo-segera-terbit

  • Warga Resah Muncul Puluhan Titik Semburan Lumpur dan Gas

    Warga Resah Muncul Puluhan Titik Semburan Lumpur dan Gas

    Indramayu, Repulika.co.id — Warga Desa Sukaperna, Kecamatan Tukdana, Kabupaten Indramayu digegerkan dengan munculnya semburan lumpur berbau gas di sekitar pemukiman mereka. Mereka khawatir peristiwa itu akan meluas seperti semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jatim.

    Berdasarkan pantauan, ketinggian semburan material lumpur dan pasir yang mengeluarkan bau gas itu bervariasi antara 50-150 cm. Bahkan, ada pula semburan yang memiliki ketinggian sekitar tiga sampai lima meter.

    Lurah Desa Sukaperna Kecamatan Tukdana, Daski (33 tahun) menjelaskan jumlah titik semburan saat ini berjumlah 24 titik. Lokasinya terletak di pemukiman warga blok Cilumbu Desa Sukaperna, yakni di RT 12 dan RT 11.

    “Warga jelas takut kejadian ini akan sama seperti lumpur Lapindo,” tutur Daski, Rabu (10/6).

    Selain mengancam warga, lanjut Daski, semburan itu juga dikhawatirkan akan berdampak buruk pada areal pertanian milik warga. Dari total areal seluas 275 hektare sawah, ada 50 hektare di antaranya yang lokasinya dekat dengan titik semburan.

    Salah satu titik semburan itu terjadi di bekas sumur bor di rumah milik seorang warga, Abdul Rojak. Di tempat tersebut, semburan lumpur terjadi sejak dua hari terakhir.

    ”Warga khawatir semburan akan meluas seperti bencana lumpur Lapindo,” tutur seorang warga setempat, Yeyet. Dia merupakan tetangga Abdul Rojak.

    Lilis Sri Handayani

    Sumber: http://republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/06/10/npq45m-warga-resah-muncul-puluhan-titik-semburan-lumpur-dan-gas

  • 9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    9 Tahun Lumpur Lapindo, Antara Kecemasan dan Harapan

    Bencana lumpur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang dipicu oleh pengeboran PT Lapindo Brantas Inc pada 29 Mei lalu genap sembilan tahun terjadi. Persoalan masih menggantung, terutama terkait pembayaran ganti rugi kepada warga yang menjadi korban terdampak yang belum selesai.

    Pola penanganan dampak bencana industri lumpur Lapindo menciptakan masalah tersendiri. Pembagian pemberian ganti rugi antara wilayah yang masuk peta area terdampak (PAT) dan di luar PAT mengakibatkan penelantaran dan perpecahan di tingkat warga.

    Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 dan Perpres No 40/2009, pemberian ganti rugi kepada korban dikategorikan dalam dua kelompok. Wilayah yang masuk PAT akan dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan juru bayar PT Lapindo Brantas Inc. Sementara desa-desa yang berada di luar PAT diberi ganti rugi oleh negara. Dalam perkembangannya, PT Minarak Lapindo tak mampu memenuhi kesepakatan itu. Akibatnya, masih banyak korban yang tidak jelas nasibnya saat ini.

    Tetap bertahan

    “Kalau hujan deras, ndak ada yang berani di dalam rumah. Kami semua kumpul di emperan depan, takut rumahnya ambruk,” ujar Bu Sanik (65), warga RT 010 RW 002 Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur.

    Bu Sanik adalah salah satu warga yang saat ini bersama 18 kepala keluarga (KK) lainnya masih bertahan di lokasi PAT lumpur Lapindo. Bukan hanya keluarga Bu Sanik, hampir sebagian besar warga RT 010 RW 002 yang masih tinggal di wilayah PAT gelisah jika hujan turun. Ancaman rumah ambruk dan banjir air bercampur lumpur menghantui mereka.

    Pertengahan Maret lalu, tanggul penahan lumpur yang berada di belakang rumah warga Desa Gempolsari itu jebol. Air bercampur lumpur setinggi hampir setengah meter masuk ke rumah warga. Sekitar 100 warga dari RT 010 RW 002 mengungsi ke Balai Desa Gempolsari. Ini merupakan kejadian yang ketiga kalinya di tahun 2015.

    Desa Gempolsari berdasarkan Perpres No 14/2007 termasuk salah satu desa yang masuk dalam PAT lumpur Lapindo. Ada 99 KK dengan 314 jiwa warga Desa Gempolsari yang terdampak lumpur. Sebagian besar sudah pindah dari Gempolsari. Yang masih tersisa adalah warga RT 010 dan sebagian kecil RT 009 dari RW 002 yang berjumlah 19 KK dengan 114 jiwa. Area itu termasuk dalam 641 hektar yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI), seperti tertuang dalam Perpres No 14/2007.

    Kini, kondisi lingkungan dan tempat tinggal seluruh warga yang masih bertahan di wilayah ini sudah tidak layak huni. Lingkungan yang lembab akibat seringnya terendam lumpur menyebabkan fisik bangunan terkikis dan rapuh. Sebagian besar rumah lantainya sudah ambles dan lebih rendah dari endapan lumpur yang ada di halaman.

    Mereka yang masih tinggal di area itu bukannya tidak ingin pindah, belum lunasnya sisa pembayaran oleh PT Minarak Lapindo Jaya menyebabkan mereka terus bertahan di situ. Selain karena belum memiliki tempat hunian lain, mereka juga khawatir jika meninggalkan lokasi, sementara tanah dan bangunan belum lunas, mereka akan kehilangan hak atas tanah dan bangunan milik mereka.

    Memberdayakan kelompok

    Di antara penelantaran oleh negara dan PT Lapindo, tetap muncul inisiatif-inisiatif dari para korban untuk menyelesaikan masalah mereka. Seperti yang dilakukan Harwati (39). Meskipun telah sembilan tahun terpaksa meninggalkan rumahnya di Desa Siring, Kecamatan Porong, Harwati belum memperoleh pelunasan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Kini, ia tinggal di rumah orangtuanya di Desa Candipari sambil menjadi tukang ojek di salah satu area tanggul lumpur Lapindo.

    Kematian suami dan ibunya karena kanker beberapa tahun setelah bencana lumpur membuat Harwati bertekad mengumpulkan kembali para tetangga dan keluarganya yang telah tercerai berai. “Kira-kira setahun saya berkeliling ke desa-desa sekitar mencari tahu keberadaan keluarga besar dan tetangga di Desa Siring dulu. Daripada stres kalau belum ada penumpang, lebih baik keliling,” cerita Harwati.

    Setelah mengetahui tempat tinggal mereka, Harwati mengajak tetangga dan keluarga yang sudah ditemukannya untuk berkumpul, membuat arisan kecil-kecilan, hanya agar bisa menyambung kembali ikatan sosial yang telah dihancurkan lumpur Lapindo. Saat ini, tak kurang dari 20 perempuan aktif berkumpul dalam Komunitas Ar-Rohmah yang didirikannya. Mereka memiliki usaha kecil-kecilan membuat produk kreatif, seperti tas kain, selimut, bed cover dari perca. Uang kas yang dikumpulkan sedikit demi sedikit digunakan untuk membantu biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit.

    “Saya tak mau kejadian seperti suami saya yang ditolak rumah sakit ketika berusaha mengobati kankernya terulang kembali. Bikin trauma sekali,” ungkapnya. Pemerintah dan (apalagi) PT Lapindo tidak memedulikan persoalan ini. Warga sendiri yang harus mengupayakan penyelesaian.

    Malu diganti negara

    Pengategorian korban bencana lumpur juga mengakibatkan perpecahan di kalangan warga, baik yang berada di PAT maupun di luar PAT. Seperti yang terjadi pada warga Desa Besuki. Abdul Rokhim (48) menuturkan bahwa tahun 2007 ia dan ratusan warga lainnya menuntut ganti rugi. Tempat tinggalnya memang tidak masuk dalam PAT berdasarkan Perpres No 14/2007.

    Namun, Rokhim menyatakan, dampak luapan lumpur itu juga dirasakan warga yang rumahnya di luar peta tersebut. “Saya tidak bisa kerja lagi karena pabrik sudah tutup, apalagi harus beli air untuk kebutuhan sehari-hari karena air di rumah tidak layak,” tutur Rokhim.

    Pemerintah akhirnya menerbitkan Prepres No 48/2008 yang memasukkan sebagian Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, untuk diberi ganti rugi dari APBN. Namun, peraturan itu menjadikan jalan tol sebagai dasar menentukan wilayah yang masuk penggantian. Akibatnya, hanya Besuki bagian Barat yang masuk. Keputusan ini mengakibatkan kelompok warga yang semula bersatu di atas kepentingan bersama Desa Besuki menjadi terpecah belah. Suasana kekeluargaan pun hancur.

    Akhirnya, Rokhim dan warga Besuki bagian Timur harus berjuang kembali menuntut ganti rugi. Keberuntungan masih dimiliki Rokhim, bagian timur Desa Besuki pun masuk dalam penggantian melalui Perpres No 37/2012. Kini, meski telah tinggal di rumah baru, kegundahan Rokhim tak hilang karena, “Saya pribadi malu karena saya merasakan diganteni (diganti) oleh negara, seluruh rakyat Indonesia. Mestinya yang bertanggung jawab Lapindo,” ungkapnya. Keadilan hukum seharusnya diberikan kepada pelaku bencana industri seperti Lapindo.

    MG Retno Setyowati/Yohan Wahyu/BI Purwantari/Litbang Kompas

    Kompas Siang, 4 Juni 2015

  • Menteri PU-Pera: Dana Lapindo Paling Lambat Cair 26 Juni

    Menteri PU-Pera: Dana Lapindo Paling Lambat Cair 26 Juni

    JAKARTA – Korban lumpur Lapindo yang belum mendapatkan ganti rugi bisa menyambut datangnya bulan puasa dan Lebaran dengan lebih tenang. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Basuki Hadimuljono menyatakan, dana talangan kepada PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk membayar ganti rugi paling lambat cair pada 26 Juni mendatang.

    Saat ini negosiasi PT MLJ dengan pemerintah soal kesepakatan pemberian talangan masih berlangsung. Basuki selaku ketua tim percepatan pembayaran ganti rugi tanah korban lumpur Lapindo terus memantau perkembangan negosiasi tersebut

    ”Saya optimistis paling lambat 26 Juni (2015) sudah cair,” tegasnya saat dihubungi Jawa Pos Sabtu (30/5).

    Basuki mengungkapkan, saat ini memang masih ada beberapa detail perjanjian yang belum disepakati oleh PT MLJ. Misalnya besaran bunga maupun pajak yang harus dibayar atas dana talangan Rp 827,1 miliar tersebut. ”Soal itu masih sebatas pembicaraan informal, pasti nanti ketemu (sepakat, Red) juga,” katanya.

    Untuk memastikan, Basuki sudah mengonfirmasi Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian PU-Pera Taufik Widjoyono selaku ketua tim teknis yang memimpin negosiasi dengan pihak Lapindo. ”Kata Pak Irjen masih on schedule (tetap sesuai jadwal cair 26 Juni),” ucapnya.

    Basuki menuturkan, saat ini yang bekerja adalah tim teknis yang terdiri atas pejabat eselon I di Kementerian PU-Pera, Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). ”Kalau tim teknis selesai, nanti baru dilaporkan ke saya untuk dibawa ke sidang kabinet,” jelasnya.

    Karena itu, ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tersebut menyatakan belum mengetahui detail poin-poin negosiasi yang saat ini sedang berjalan. Termasuk informasi seputar keinginan pemerintah untuk menetapkan bunga 4 persen serta pajak. ”Prinsip kami kan bagaimana agar pemberian pinjaman ini tidak merugikan pemerintah,” ujarnya.

    Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan bahwa skema dana talangan untuk Lapindo yang berasal dari APBN merupakan pinjaman. Karena itu, berlaku pula ketentuan sebagaimana layaknya pemberian pinjaman, yakni ada bunga dan pajak. ”Namanya juga pinjaman, bukan diberikan (gratis, Red),” katanya.

    Terkait dengan keinginan pihak Lapindo agar dana talangan bisa dicairkan sebelum bulan puasa, Basuki mengaku tidak bisa menjamin. Sebagai gambaran, Muhammadiyah sudah menetapkan awal bulan puasa tahun ini pada 18 Juni, sedangkan pemerintah belum memutuskan, namun mungkin mundur satu hari atau mulai 19 Juni.

    Menurut Basuki, berdasar tahapan-tahapan yang sudah dibuat dan disampaikan tim teknis, pencairan dana itu memang masih mengacu pada 26 Juni 2015. Karena itu, dia meminta masyarakat sedikit bersabar. ”Kan nggak beda jauh juga, syukur-syukur negosiasinya lancar. Jadi, bisa cair lebih cepat,” ucapnya. (owi/c11/ang)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/18139/menteri-pu-pera-dana-lapindo-paling-lambat-cair-26-juni

  • Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015)

    Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015)

    Tanggal 29 Mei 2015, semburan lumpur Lapindo genap berusia sembilan tahun. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, warga secara mandiri mengorganisasi peringatan semburan lumpur yang telah memporak-porandakan kehidupan sosial dan lingkungan mereka. Semua itu diselenggarakan demi suatu usaha mengingat tragedi industri migas paling fenomenal di republik ini.

    Pada kesempatan ini Redaksi Kanal menghadirkan sebagian rekaman kegiatan komemoratif itu.

    Foto-foto oleh Daris Ilma dan Rita Padawangi.

    Unduh versi pdf di sini.

     

  • Bola Pencairan di Tangan PT Minarak Lapindo

    Bola Pencairan di Tangan PT Minarak Lapindo

    JAKARTA – Seharusnya dalam beberapa pekan ke depan pencairan ganti rugi untuk korban lumpur Lapindo bisa segera cair. Pemerintah sudah menyiapkan dana talangan Rp 827 miliar. PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) pun menyatakan keinginan agar pencairan mulai dilakukan sebelum bulan puasa yang jatuh pada pertengahan Juni.

    ”Ya, kami ingin finalisasi perjanjian kesepakatan pemberian dana talangan bisa segera terwujud. Sehingga dana talangan untuk korban lumpur panas kalau bisa cair sebelum bulan puasa,” kata Direktur PT MLJ Andi DarussalamTabusalla saat dihubungi Jumat (29/5).

    Andi menyatakan, pihaknya tidak punya keinginan untuk memperlambat proses pencairan. Terkait belum adanya kesepakatan, kata Andi, ada beberapa poin perjanjian yang masih perlu dibahas kedua pihak.

    Seperti disebutkan Wapres Jusuf Kalla pada Kamis lalu (28/5), salah satu poin yang perlu dibahas berkaitan dengan bunga. Kabarnya, pihak PT MLJ ingin dibebaskan dari bunga. Sebaliknya, pemerintah gamang karena nilai aset yang dijadikan jaminan menurun.

    Menanggapi itu, Andi secara tegas menampik. Dia mengatakan, kesepakatan perjanjian lama hanya karena kehati-hatian pihak pemerintah dan PT MLJ. Selain itu, kerugian nilai aset, menurut dia, tidak akan terjadi. Sebab, pada akhirnya seluruh hutang tersebut akan dilunasi MLJ dalam rentang waktu empat tahun mendatang.

    ”Ini kan bukan perkara kita tidak sanggup. Tapi, dengan kondisi keuangan saat ini akan memakan waktu lebih lama untuk jual beli tanah. Makanya, dibantu pemerintah menalangi,” tandasnya.

    Di tempat terpisah, Lalu Mara Satria Wangsa, juru bicara keluarga Bakrie, meminta masyarakat tidak terus-terusan menilai negatif pihak keluarga Bakrie dalam masalah itu. Menurut dia, yang telah dilakukan keluarga Bakrie harus diapresiasi. Pendapat itu didasari tanggung jawab keluarga Bakrie meski tidak memiliki secara langsung PT Minarak Lapindo. Terlebih, putusan hukum sebelumnya menyatakan perusahaan tidak bersalah atas bencana yang terjadi.

    Lalu Mara mengatakan, kepemilikan saham PT Minarak Lapindo terdiri atas PT Energi Mega (50 persen), PT Medco (32 persen), dan PT Santos Australia (18 persen). Dalam kepemilikan PT Energi Mega, diakui, keluarga Bakrie memang mempunyai saham. Namun, menurut dia, itu tidak banyak. Sebab, 70 persen sahamnya milik publik. ”Dari struktur kepemilikannya saja sudah terlihat bagaimana tanggung jawab keluarga Bakrie. Meski tidak bersalah, tetap melakukan segalanya hingga lebih dari Rp 8 triliun,” tuturnya.

    Sementara itu, Kemenkeu mengaku belum bisa memastikan besaran bunga dan pajak yang akan dikenakan dalam pemberian dana talangan Rp 827 miliar. ”Belum dibicarakan,” kata Menkeu Bambang Brodjonegoro di gedung Kemenkeu kemarin.

    Bambang menegaskan bahwa bunga talangan tersebut tidak berkaitan dengan APBN. Bunga tersebut merupakan kewajiban Lapindo ke depan dengan peemrintah. ”Itu yang harus dibicarakan dengan ketua tim Lapindo (Menteri PU-Pera, Red),” ujarnya.

    Soal kekhawatiran penurunan nilai aset yang dijaminkan PT Minarak Lapindo berupa 9.900 berkas senilai Rp 3,03 triliun, pakar geofisika ITS Amien Widodo menyatakan, itu tidak perlu terjadi. Tanah di sekitar lumpur Lapindo masih dikatakan sehat. Asalkan, tanah tersebut benar-benar bersih dari campuran lumpur. Amien menjelaskan, air lumpur memiliki kandungan garam yang sangat tinggi. Apabila sudah terkontaminasi lumpur, kondisi tanah turun drastis.

    ”Kalau ada kadar garam tinggi, tanaman jenis apa saja ya gak bisa tumbuh,” ujarnya.

    Meski begitu, banyak manfaat yang bisa diambil dari lumpur. Dia menerangkan, saat ini sedang dilakukan penelitian terkait kandungan lumpur. Penemuannya, lumpur mengandung litium. ”Ada kandungan litium meski kosentrasinya hanya sedikit. Namun, itu berpotensi dapat digunakan untuk industri,” paparnya.

    Litium, lanjut dia, digunakan untuk bahan baterai. ”Kami sedang dalam penelitian untuk menjadikan sebuah produk baterai. Tapi, masih proses karena memang kosentrasinya hanya sedikit, tidak sampai 5 persen,” terangnya. Litium diperoleh dari hasil pemisahan saat air lumpur disaring.

    Bukan hanya bahan baterai. Lumpur juga sangat berpotensi digunakan sebagai bahan batu bata. ”Dulu pernah membuat batu bata, tapi gagal. Karena memang dulu belum tahu kalau memiliki kadar garam tinggi,” terangnya.

    Jika kadar garam dapat dipisahkan, lumpur tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan batu bata. Amien mengimbau pemerintah untuk melihat potensi yang ada dari lumpur. Dengan begitu, lumpur Lapindo dapat digunakan sebagai bahan industri yang menghasilkan keuntungan. ”Hanya saja, saat ini kondisi tanah terus turun. Buktinya, selalu ada banjir di sekitar itu,” terangnya.

    Sementara itu, sembilan tahun semburan lumpur Lapindo diperingati ribuan korban dengan menggelar festival pulang kampung. Festival tersebut diawali dengan arak-arakan ogoh-ogoh berbentuk mirip Aburizal Bakrie berbaju kuning. Dua tangannya diikat rantai hitam dan tepat di depan ogoh-ogoh beberapa warga membawa spanduk dengan berbagai tulisan. Ogoh-ogoh tersebut diarak lebih dari 200 orang dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju tanggul di titik 21, perbatasan antara Desa Siring dan Desa Jatirejo.

    Sambil mengarak ogoh-ogoh, warga yang hadir saat itu juga memainkan musik patrol. Sesampai di tanggul titik 21, ogoh-ogoh tersebut diletakkan tidak jauh dari lokasi patung-patung yang ditenggelamkan warga setahun lalu. Warga yang dari awal mengarak ogoh-ogoh tersebut langsung memutari ogoh-ogoh tersebut. Sejumlah warga lalu menaburi ogoh-ogoh dengan bunga.

    ”Bunga ini melambangkan bahwa hukum di Indoensia telah mati,” kata Koordinator Festival Pulang Kampung Harwati. Dia mengatakan, ogoh-ogoh tersebut akan terus diletakkan di posisi tersebut. Itu menunjukkan musibah yang menimpa mereka merupakan tanggung jawab Bakrie.

    Seusai kegiatan arak-arakan ogoh-ogoh, warga yang mengikuti kegiatan tersebut langsung menghampiri sembilan gubuk di lokasi tersebut. Di sembilan gubuk tersebut ada beberapa makanan desa khas Porong seperti getuk, gerondol jagung, dan nasi kuning. Makanan-makanan tersebut dahulu bisa didapat dengan mudah di desa yang sekarang tertimbun lumpur itu. Tiga jenis makanan tersebut dihadirkan untuk mengobati rasa rindu para korban lumpur Lapindo akan kampung halaman.

    Warga juga menyantap nasi aking (nasi karak) yang sudah dimasak ulang. Nasi aking tersebut, menurut Harwati, menggambarkan nasib mereka. Mereka yang berasal dari desa dihancurkan seperti tak ada harganya. ”Tapi, nasi aking kami masak lagi. Artinya, kami masih bisa bangkit dan akan terus berjuang untuk hidup kami,” tegas Harwati.

    Karena itu, mereka sangat berharap janji kali ini tidak meleset lagi seperti sebelum-sebelumnya. ”Tentu kami ingin ini menjadi kenyataan. Bagi kami, kalau ganti rugi ini benar-benar cair sebelum Lebaran, suasana Lebaran akan terasa nikmat,” ungkap Gunawan, seorang korban lumpur asal Jatirejo, Porong.

    Jika ganti rugi itu cair, Gunawan menyebut hidupnya akan terasa lebih ringan. ”Dengan uang itu, rumah bisa kami lunasi dan utang kami juga bisa dikurangi,” kata pria 53 tahun tersebut.

    Harapan agar pelunasan tersebut diwujudkan juga diapungkan Sugiono. Pria yang dahulu tinggal di Jatirejo itu berharap pelunasan ganti rugi nanti bisa menjadi hadiah Lebaran untuknya, keluarga besarnya, dan para korban lainnya. ”Biar semua beban kami bisa lebih ringan sehingga kami bisa menikmati Lebaran lebih nyaman,” ujarnya. (mia/tin/fim/bri/c10/ang)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/18108/Bola-Pencairan-di-Tangan-PT-Minarak-Lapindo

  • Bertahan dengan Berjualan Bakso dan Ijazah Sarjana IAIN

    Bertahan dengan Berjualan Bakso dan Ijazah Sarjana IAIN

    Meski peristiwa sembilan tahun silam tidak bisa dihilangkan dalam memori, para korban lumpur Lapindo di Sidoarjo tidak lantas putus asa untuk bangkit. Berikut ini kisah tiga korban yang mau bekerja keras menapak mulai nol hingga mampu hidup normal kembali. (more…)

  • Bencana Itu Belum Berakhir

    Bencana Itu Belum Berakhir

    Sembilan tahun setelah erupsi pertama lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006, bencana multidimensi itu belum berakhir. Bencana ini tak hanya menenggelamkan ratusan hektar tanah dan bangunan, tetapi juga merusak pranata sosial dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi, herannya pertanggungjawaban negara dan pelaku industri atas bencana ini terbatas pada kerangka jual beli tanah.

    Bencana industri ini dilatari oleh pengeboran PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI) di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang dimulai pada 8 Maret 2006. Pada 27 Mei 2006, pengeboran itu mencapai kedalaman 9.297 kaki (2.789 meter). Dua hari setelah itu, erupsi pertama terjadi di sumur Banjar Panji 1. Erupsi ini mendesakkan 5.000 meter kubik lumpur panas menyembur dan menggenangi wilayah sekitarnya. Desakan lumpur panas ini terus membesar dan mencapai sekitar 170.000 meter kubik per hari pada Maret 2007.

    Kini, sembilan tahun sesudahnya, tak kurang dari 100.000 meter kubik lumpur panas masih keluar setiap hari dari wilayah bekas pengeboran PT LBI. Bencana lumpur menenggelamkan 12 desa di tiga kecamatan: Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Ikut tenggelam di dalamnya 11.241 bangunan dan 362 hektar sawah. Sebanyak 10.641 kepala keluarga (KK) meliputi 39.700 jiwa kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan.

    Lumpur juga menggenangi puluhan pabrik yang menyebabkan ribuan buruh kehilangan pekerjaan. Pemilik pabrik merugi dan harus merelokasi pabriknya. Banyak usaha kecil juga mati. Industri kecil dan menengah di Sentra Industri Kulit Tanggulangin, Sidoarjo, mengalami penurunan omzet penjualan hingga 80 persen dan membuat sekitar 270 pengusaha dan perajin tas dan koper gulung tikar. Hingga kini, sentra industri kulit Tanggulangin belum pulih.

    Di luar itu, dampak bencana lumpur merusak banyak infrastruktur vital skala nasional: jalan KA Surabaya-Malang/Banyuwangi, jalan arteri Porong, pipa PDAM dari Pandaan/Umbulan ke Surabaya, jaringan SUTT 150 dan 70 KV Waru-Porong Bangil, pipa gas Pertamina, kali Porong (kanal DAS Kali Brantas), dan Kali Ketapang (penyedia air irigasi dan tambak), serta memutus Jalan Tol Porong-Gempol sepanjang 6 kilometer.

    Jasa Marga harus memindahkan ruas jalan tol, bergeser sekitar 3 kilometer ke arah barat. Kebutuhan lahan untuk membangun jalur Jalan Tol Porong-Gempol baru seluas 50 hektar dengan total biaya mencapai Rp 800 miliar. Saat ini baru Seksi Kejapanan-Gempol (3,55 km) yang rampung.

    Tak ditangani

    Dampak bencana ini tak sebatas kehancuran fisik bangunan, tanah, fasilitas umum dan sosial, tetapi juga sumber penghidupan serta kondisi lingkungan. Menurut data Greenomics, pada tahun pertama semburan lumpur Lapindo, kerugian ekonomi akibat semburan sekitar Rp 33,2 triliun. Sedangkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsung ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung Rp 16,5 triliun.

    Di samping itu, kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan masyarakat belum ditangani. Kerusakan paling mengkhawatirkan adalah kualitas tanah, air, dan udara. Kualitas udara dipengaruhi oleh gas berbahaya yang dikeluarkan dari perut bumi. Air tanah di sumur-sumur penduduk yang bermukim di sekitar lokasi semburan banyak yang tidak bisa digunakan lagi. Air sumur berwarna kuning, keruh, dan berbau yang bisa berdampak bahkan sudah terjadi pada kesehatan masyarakat sekitar lumpur.

    Aroma gas dengan kandungan hidrokarbon yang tinggi mengakibatkan banyak warga terdampak menderita sesak napas. Pantauan Walhi di Puskesmas Porong menunjukkan jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) terus meningkat pasca semburan lumpur. Tahun 2007 terdapat 28.640 kasus. Dua tahun kemudian angkanya melonjak hingga 52.543 kasus.

    Aroma gas masih terus menebar di sekitar kawasan terdampak. Hasil penelitian Walhi pada 2006-2008 menemukan zat polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH), senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik (penyebab kanker), terkandung di dalam air Kali Porong dan lumpur yang menggenangi wilayah tersebut.

    Selain itu, pranata sosial masyarakat ikut hancur. Ikatan sosial yang semula cukup erat berubah bahkan hilang sama sekali. Hal itu tampak kasatmata ketika berlangsung pemberian ganti rugi dari negara ataupun pihak Lapindo. Pola pemberian ganti rugi yang memisahkan korban di Peta Area Terdampak (PAT) dan di luar PAT mengakibatkan perpecahan warga dan kecemburuan satu sama lain. Sebagian warga menilai telah terjadi praktik diskriminasi terhadap mereka yang notabene sama-sama menjadi korban.

    Di antara warga sendiri muncul kelompok yang kemudian berperan sebagai calo atau makelar untuk mengurus percepatan pemberian ganti rugi. Pola yang umum terjadi adalah para calo dadakan ini mengutip imbalan untuk “jasa” yang mereka berikan. Sejumlah warga menilai hal itu sangat tidak etis karena mengomodifikasikan bencana yang menimpa warga. Hal ini rentan memunculkan konflik antarwarga.

    Jual beli

    Selama sembilan tahun, penanganan dampak bencana industri lumpur Lapindo masih sebatas kerangka jual beli. Melalui peraturan presiden, negara dan Lapindo membeli tanah dan bangunan yang dimiliki para korban. Sayangnya hingga kini, persoalan ganti rugi korban di Peta Area Terdampak (PAT) masih terus muncul.

    Hingga Desember 2014, PT Minarak Lapindo, perusahaan juru bayar PT LBI, hanya mampu mengganti Rp 3,03 triliun dari total ganti rugi PAT sebesar Rp 3,8 triliun. Artinya, masih ada sisa kewajiban Rp 781,7 miliar. Pada Februari 2015, pemerintah memutuskan mengalokasikan dana untuk menalangi yang belum dibayarkan PT Minarak Lapindo. Ada 114 berkas yang hanya menerima 20 persen ganti rugi. Mereka itu yang selama 9 tahun terakhir hidupnya terkatung-katung.

    Mereka yang telah menerima ganti rugi pun tak lepas dirundung masalah. Yang telah mendapatkan ganti rugi dan tinggal di rumah baru pun sangat sulit memperoleh lahan garapan baru. Kehancuran sendi-sendi kehidupan warga Porong merupakan bencana yang tak berkesudahan.

    (MG RETNO SETYOWATI/DWI ERIANTO/LITBANG KOMPAS)

    Sumber: Harian Kompas (30 Mei 2015)