Author: Redaksi Kanal

  • Resah, Warga Ancam Blokade

    Sidoarjo – Surya-Ratusan warga korban lumpur Desa Siring resah, karena sudah dua bulan ganti rugi 80 persen belum juga dibayar Lapindo. Padahal, sesuai perjanjian, pembayaran 80 persen dilunasi setelah warga menerima pembayaran yang 20 persen.

    “Padahal pembayaran uang muka 20 persen, sudah dilakukan akhir Juni, seharusnya paling lambat 14 hari pembayaran itu dilakukan setelah masa kontrak rumah habis,” kata H Mursidi, salah satu korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, Rabu (13/8).

    Dengan belum dibayarnya hak mereka, ujar Mursidi, warga menilai Lapindo mengingkari komitmen kepada korban lumpur. “Kami mengikuti aturan cash and carry karena lahan kami bersertifikat, tapi sekarang mana komitmennya Lapindo kok belum juga ditransfer,” paparnya.

    Mursidi mengaku pernah tanya ke Vice President PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darusalam Tabusalla, tapi justru hanya mendapat jawaban melalui SMS yang isinya Minarak masih mengurus dan sedang konsentrasi menangani menengah.

    Mursidi mengancam, jika dalam minggu ini Minarak belum melunasi 80 persen warga akan memblokade jalur penanggulan dan jalan raya Porong. “Kami akan merebut kembali aset kami, kami akan patok kawasan kami yang terendam lumpur,” ancam Mursidi.

    Andi Darusalam Tabusalla, menjelaskan jika masalah pembayaran ganti rugi 80 persen saat ini sudah berjalan. “Kalau ada keterlambatan itu mungkin hanya masalah akunting perbankan saja,” kilahnya, di Kantor Minarak, Rabu (13/8). (iit)

     © Surya

  • Ratusan Korban Lumpur Demo Balai Desa Besuki

    Sidoarjo – Ratusan warga korban luapan lumpur Lapindo Brantas Inc asal Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jatim mendatangi kantor desa setempat.

    Kedatangan warga mendesak Kepala Desa Besuki, M Siroj untuk mengirim surat ke pemerintah pusat, agar nilai ganti rugi tiga desa yaitu Penjarakan, Besuki dan Kedungcangkring Utara nilainya disamakan dengan korban lumpur terdahulu.

    Ali Mursyid, salah satu koordinator keluarga Besuki menyatakan, desakan dari masyarakat warga perlu, karena dikhawatirkan pemerintah akan memberikan ganti rugi yang nilainya tidak sama dengan korban lumpur empat desa sebelumnya yakni Siring, Renokenongo, Jatirejo dan Kedungbendo.

    “Kami mendengar isu bahwa ganti rugi akan diberikan kepada tiga desa yang di bawah ganti rugi yang diberikan Lapindo Brantas. Warga minta disamakan nilainya”, katanya menegaskan.

    Ia mengatakan, indikasi akan diberi nilai ganti rugi lebih rendah bisa dilihat, dari pemerintah pusat hingga kini belum mengumumkan nilai ganti rugi tersebut. Kendati pemerintah sudah menetapkan tiga desa masuk peta terdampak yang akan mendapatkan ganti rugi.

    “Jika nilainya tidak sama dengan yang dibayar Lapindo, tidak adil, karena sama-sama menjadi korban. Bedanya kalau korban terdahulu ditanggung Lapindo, namun tiga desa diberi pemerintah melalui APBN-P”, katanya menambahkan.

    Selain itu, warga tetap meminta agar sawah mereka dibeli 120 ribu per meter, tanah pekarangan Rp1 juta dan bangunan Rp1,5 juta. 

    Setelah mendapat penjelasan dari Kades, M Siroj, warga yang datang dengan membawa poster bertuliskan tuntutan kemudian membubarkan diri. “Tuntutan warga akan kami sampaikan ke pemerintah pusat melalui surat”, kata M Siroj.

    © Antara

  • Warga Tolak Padamkan Semburan Api

    Sidoarjo – Surya-Warga Desa Siring Barat RT3/RW1 Kecamatan Porong, dikagetkan dengan munculnya semburan api di tempat semburan liar, tepatnya di Jl Flamboyan, Selasa (19/8) pagi. Namun warga melarang BPLS atau petugas lainnya, memadamkan semburan api tersebut. Sebab, agar pemerintah tahu kalau kawasan Siring Barat memang sudah tidak layak dihuni manusia.

    Bambang Kuswanto, koordinator warga Desa Siring Barat menuntut agar BPLS bertanggungjawab terhadap kejadian ini.

    Menurutnya, kondisi lingkungan dan munculnya semburan liar di kawasan Desa Siring Barat ini sudah cukup membuat warga resah. Sebab selain semburan liar, saat ini banyak rumah warga mengalami retak-retak. “Kami sudah sangat resah dengan banyaknya semburan liar, sekarang malah menyemburkan api,” tambahnya.

    Ny Asih salah satu warga Siring Barat, mengatakan ia dan keluarganya resah dengan semburan liar yang memunculkan api tersebut. Jika tidak ada penanganan dan respon dari pemerintah, warga mengancam akan menutup jalan. “Kami akan turun jalan menutup jalan sampai kapanpun,” kata Ny Asih, yang tempat tinggalnya berada paling dekat dengan lokasi semburan liar.

    Humas BPLS Akhmad Zulkarnain mengatakan, memahami keresahan warga. “Semua semburan liar yang ada di wilayah Siring, mendapat perhatian dan penanganan khusus dari kami (BPLS),” kata Zulkarnain.

    Dewan pengarah pansus lumpur DPRD Sidoarjo, Jalaludin Alham yang kemarin melihat ke lokasi mengatakan kawasan Siring Barat harus mendapat perhatian karena tidak layak huni.

    “Kondisi ini sangat membahayakan, masak harus menunggu korban lebih dulu,” urai Jalaludin. (iit)

    © Surya

  • Stop Buang Lumpur ke Kali Porong

    Warga Desa Kupang Minta Pipa Pembuangan Ditutup

    SIDOARJO – Pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong dihentikan sejak kemarin. Penghentian itu dilakukan setelah Rabu malam warga Desa Kupang, Kecamatan Jabon, meminta pipa lumpur itu ditutup.

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memenuhi permintaan warga dengan mengalihkan pembuangan dari selatan ke utara.

    Menurut Kepala Desa Kupang Sudjarwo, permintaan warga dipicu kondisi kali yang semakin parah. Aliran air Kali Porong mulai terhenti dan menyebabkan permukaan hampir rata dengan tanggul. Mereka khawatir, air meluap dan terjadi banjir. ”Rumah warga bisa habis nanti,” kata Sudjarwo.

    Warga tidak yakin langkah BPLS mengerahkan ekskaponton untuk memecah endapan lumpur di Kali Prong akan efektif. Alasannya, ekskaponton tidak berguna selama pembuangan tetap dilakukan. ”Percuma jika pembuangan lumpur tidak dihentikan,” ujarnya. Atas dasar itulah, sekitar 500 warga mendatangi rumah pompa dan memaksa untuk menutupnya.

    Mulai kemarin pembuangan tidak lagi dialirkan ke Kali Porong, tetapi ke selatan. Yaitu, ke kolam lumpur Renokenongo, Kedungbendo, dan Siring. Debit lumpur yang dialirkan sekitar 100 ribu meter kubik per hari.

    Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, sementara pembuangan ke Kali Porong dihentikan. Tujuannya, demi kepentingan bersama. Dia tidak mengetahui hingga kapan penghentian itu. ”Kemungkinan hingga Kali Porong dianggap normal,” ucapnya.

    Dia juga berupaya mengerahkan ekskaponton di kali tersebut. Alat berat itu berfungsi membuat celah 10-15 meter di tengah kali. Melalui celah itu, air bisa mengalir dan menggerus lumpur yang menggendap. ”Itu langkah awal yang akan kami lakukan,” terang dia. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Siring Tak Layak Huni

    BPLS: Sudah Lama Berbahaya

    SIDOARJO ­- Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengakui, kondisi Kelurahan Siring bagian barat, Kecamatan Porong, memang berbahaya. Hal itu disampaikan Humas BPLS Achmad Zulkarnain kemarin (20/8). Menurut dia, pihaknya selalu melaporkan kondisi Siring dan sekitarnya secara rinci. “Dan, kondisinya memang tidak aman,” kata Zulkarnain.

    Namun, lanjut dia, kewenangan yang dimiliki Badan Pelaksana (Bapel) BPLS hanya menyampaikan laporan tersebut. “Sedangkan kebijakan ada di Dewan Pengarah (DP) BPLS,” tambahnya.

    Dia juga menjelaskan, laporan yang disampaikan kepada pimpinannya menggambarkan bahwa kondisi Siring berbahaya. Hasil pantauan tim independen bentukan Pemprov Jatim juga menyatakan berbahaya. “Padahal, data itu berasal dari BPLS,” tuturnya.

    Masyarakat, imbuh Zulkarnain, sering salah paham terhadap fungsi Bapel BPLS. Dia mengatakan, badan tersebut berfungsi sebagai pelaksana kebijakan di lapangan. Sedangkan penentu kebijakan adalah DP BPLS. “Jadi, wewenang kami terbatas. Sebab, kami hanya pelaksana,” terang dia.

    Penjelasan itu muncul setelah Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo mendesak BPLS segera melakukan evakuasi. “Mumpung belum ada korban,” ujar Dewan Pengarah Pansus Lumpur DPRD Jalaluddin Alham. Bahkan, Jalaluddin menilai BPLS selalu melemparkan masalah tersebut kepada pemerintah.

    Lebih lanjut Zulkarnain menegaskan, persoalan evakuasi bergantung pada kebijakan pemerintah. Artinya, jika muncul kebijakan dari DP BPLS tentang evakuasi, Bapel BPLS segera melaksanakan evakuasi. “Nah, sampai saat ini belum ada kebijakan itu, ” jelas dia.

    Namun, terang Zulkarnain, belum adanya kebijakan bukan berarti DP BPLS tidak berfungsi. Menurut dia, untuk mengeluarkan kebijakan evakuasi, tentunya harus ada pertimbangan yang rumit. “Mungkin sedang dirumuskan kebijakan menyangkut Siring dan sekitarnya,” ucap Zulkarnain.

    Seperti diberitakan sebelumnya, gas yang keluar di kawasan Siring terbakar tanpa diketahui penyebabnya. Warga setempat khawatir dan meminta BPLS bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Mereka sempat menggembosi ban sepeda motor dan mobil milik BPLS. Warga juga melarang BPLS memadamkan api.

    Api akhirnya dipadamkan kemarin malam pukul 18.30. Pemadaman itu dilakukan setelah warga yang rumahnya berdekatan meminta BPLS memadamkan api tersebut. Demi keamanan bersama, akhirnya api dipadamkan. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Kerugian Akibat Lumpur Lapindo Mencapai Rp 45 Triliun

    SURABAYA — Kerugian akibat bencana lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, diperkirakan mencapai Rp 45 Triliun per tahun. Pernyataan ini disampaikan Tjuk Kasturi Sukiadi, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, kemarin.

    “Kerugian ini mencakup ekonomi masyarakat, industri, serta infrastruktur,” katanya. Tjuk mengatakan, akibat lumpur, kerugian ekonomi berupa aset warga mencapai Rp 8 triliun dan kerugian hilangnya potensi pendapatan warga mencapai Rp 250 miliar.

    Angka ini didapat dari nilai 824 hektare lahan yang terendam serta aset rumah warga (milik 10.430 keluarga) yang terendam lumpur dan hilangnya lapangan pekerjaan warga.

    Lapangan pekerjaan yang hilang meliputi sektor formal, seperti pabrik yang tenggelam, dan sektor informal, seperti toko pracangan, pedagang di pasar desa, warung, tukang ojek, hingga tukang becak yang ada di Porong.

    Sektor industri, menurut Tjuk, kerugiannya mencapai Rp 700 miliar berupa aset 28 pabrik (dengan 2.935 karyawan) yang terendam serta potensi hilangnya pendapatan pabrik yang per tahunnya mencapai Rp 280 miliar.

    Akibat lumpur Lapindo, sektor infrastruktur juga ikut terpukul. Infrastruktur ini meliputi jalan tol, jalan raya, jaringan pipa gas, jaringan listrik Jawa-Bali, hingga tenggelamnya sejumlah bangunan publik yang kerugiannya mencapai Rp 20 triliun.

    Selain tiga sektor ini, menurut Tjuk, masih ada kerugian sekitar Rp triliun yang dialami warga di sejumlah desa di sekitar lokasi bencana. 

    Kondisi yang memprihatinkan ini, kata Tjuk, karena 40 persen pergerakan ekonomi di Jawa Timur melalui jalan tol Surabaya-Porong yang hancur digerus lumpur. “Sebagian besar kendaraan yang ke Surabaya lewat jalur ini,” katanya.

    Di jalan tol Porong, misalnya, sebelum terendam lumpur, per hari jalan ini dilalui 60 ribu kendaraan niaga dan 30 ribu kendaraan pribadi.

    Sedangkan jalan raya Porong, sebelum ada lumpur, per hari dilalui 30 ribu kendaraan. “Karena jalan tol Porong tertutup, jalan raya Porong saat ini harus menampung 120 ribu kendaraan,” katanya.

    Akibat lumpur ini, kerugian di sektor transportasi (termasuk kereta api) mencapai Rp 3,65 triliun.

    Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan, bencana lumpur di daerahnya merugikan Jawa Timur, khususnya daerah Sidoarjo.

    Menurut dia, saat ini sektor usaha kecil menengah dan bisnis perumahan di Sidoarjo sudah mulai bangkit. “Dulu sektor perumahan drop 80 persen, tapi, alhamdulillah, saat ini sudah bangkit,” katanya.

    “Ada teori menarik, di tengah bencana, ekonomi di sektor tertentu akan naik, dan ini terjadi di Sidoarjo,” katanya.

    ROHMAN TAUFIQ

    © Koran Tempo

  • Masa Depan Warga Porong Suram

    Semburan Lumpur Lapindo agar Segera Diatasi

    Surabaya, Kompas – Warga sekitar kawasan Porong, Kabupaten Sidoarjo, terancam tidak mempunyai masa depan apabila lumpur Lapindo tidak ditangani secara tepat. Persoalannya, dampak luapan lumpur itu berkepanjangan. Lebih dari 2 tahun semburan lumpur itu telah menimbulkan dampak negatif bagi warga dan ekonomi Jawa Timur.

    Jalur di Porong ibarat urat nadi perekonomian Jawa Timur (Jatim). Pergerakan ekonomi Jatim yang melewati jalur di Porong sekitar 40 persen. Kondisi tersebut tercermin dari berbagai industri dan usaha, mulai perhotelan sampai angkutan darat. Dampak yang sangat terasa terutama untuk kawasan di sekitar Porong maupun daerah yang melewati Porong, seperti Prigen, Tretes, Pasuruan, bahkan sampai Banyuwangi.

    Selama lumpur Lapindo tidak tertangani secara baik, kawasan Porong menjadi terganggu dan ini berpengaruh terhadap pelaku usaha serta warga di sana. “Walau banyak yang mengatakan sekarang perekonomian di sana mulai pulih, itu bukan berarti tidak ada masalah,” kata pengamat ekonomi dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, Tjuk Kasturi Sukiadi, dalam Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi, Kamis (21/8). Simposium itu juga menghadirkan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

    Bahkan, rencana relokasi infrastruktur Porong menjadi pukulan tersendiri bagi warga yang menempati peta terdampak. Di satu sisi relokasi infrastruktur menjadi solusi untuk mengatasi persoalan transportasi, tetapi di sisi lain menyebabkan kawasan Porong dan sekitarnya mati. “Bisa-bisa Porong dan sekitarnya menjadi daerah yang ditinggalkan,” tuturnya. Hanya 1 persen

    Dikatakan, berdasarkan perhitungan beberapa unsur, di antaranya pariwisata, industri, dan transportasi, potensi kerugian akibat lumpur Lapindo berkisar Rp 45 triliun per tahun. Artinya, sejak semburan lumpur pada Mei 2006 sampai sekarang, kerugian akibat lumpur di atas Rp 90 triliun. “Kerugian masih terus bertambah karena belum ada jalan keluar,” kata Tjuk.

    Menurut dia, seharusnya pusat semburan lumpur ditutup. Tidak ada jalan lain. Apalagi, sumber daya manusia baik pakar dari dalam negeri maupun luar negeri siap membantu. Dengan dana yang diperlukan sekitar Rp 1 triliun, seharusnya upaya menutup pusat semburan bisa segera direalisasikan. “Ini kecelakaan teknis kok dibiarkan saja,” ujar Tjuk.

    Namun, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menilai adanya lumpur Lapindo tidak berarti mematikan Sidoarjo. Sebagai gambaran, wilayah Sidoarjo berada di atas lahan seluas 743 kilometer persegi. Sementara daerah yang terdampak lumpur Lapindo hanya 700 hektar. “Luasnya hanya 1 persen dari seluruh wilayah. Sidoarjo akan pulih,” katanya.

    Membaiknya perekonomian di sekitar Sidoarjo terlihat dari human development index Sidoarjo yang mencapai 72,85 persen. Perolehan tersebut mengacu pada beberapa kriteria, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat. “Maka, kami mengampanyekan Sidoarjo Bangkit dan memberikan kemudahan kepada masyarakat korban lumpur. Salah satunya berupa bantuan modal kerja,” ujar Win. (BEE)

    © Kompas

  • Gas Liar di Siring Barat

    Gas Liar di Siring Barat

    korbanlumpur.info – Seumur hidup Sumargo, 38 tahun, tak pernah membayangkan ada gas bisa keluar dari dalam rumahnya. Selama ini dia hidup tenang bersama istri tercintanya Muslimah, 29 tahun, dan anaknya yang tampan Nur Mudian, 11 tahun. Mereka menempati rumah kecil sederhana di RT 01/01 Kelurahan Siring Barat, Porong, Sidoarjo.

    Di Siring Barat ada empat RT 1, 2, 3 dan 12. Sementara delapan RT lainnya berada di Siring Timur. Antara Siring Timur dan Siring Barat dipisahkan oleh rel kereta api dan jalan tol yang menghubungkan kota Surabaya dan dengan Malang. Kini, pemisah mereka ditambah lagi satu yakni tanggul lumpur Lapindo tepat di sebelah rel.

    Delapan RT di Siring Barat telah menjadi kampung mati karena terendam lumpur Lapindo. Para penduduknya telah tercecer ke mana-mana. Sedangkan empat RT ini masih bertahan hidup dengan lingkungan yang buruk. Air bersih tercemar dan bau lumpur menyengat dihirup warga empat RT ini. Delapan RT ini masuk dalam peta yang tanahnya akan dibeli Lapindo sedang empat RT tidak masuk peta.

    Orang-orang di delapan RT tersebut baru mendapatkan ganti rugi 20 persen sementara 80 persennya masih belum dibayar Lapindo. “Kami baru dibayar dua puluh persen, dan delapan puluh persennya masih gantung,” tutur Cak Rois, salah seorang warga Siring Timur yang rumahnya terendam lumpur.


    Belakangan, di empat RT ini muncul semburan-semburan gas liar yang menakutkan warga karena terkadang disertai percikan api. Gas-gas ini muncul sembarangan bahkan sampai di dalam rumah warga salah satunya di dalam rumah Sumargo. 

    Saya ketemu Sumargo sekeluarga, Rabu pagi, dia menunjukkan tempat gas itu muncul, yakni tepat di depan pintu rumahnya. Gas ini keluar dari retakan kecil di lantai rumahnya yang diplaster. Awalnya mereka hanya mencium bau gas yang menyengat dan selanjutnya mereka takut menggunakan api, tak berani memasak di lantai. Kalau gas ini di sulut mereka akan keluar api.

    Sumargo mempraktekkannya dengan menyulutkan api dari korek dan api menyala persis kayak sulap. Saya terkejut.

    Sejak gas liar itu keluar Sumargo menjadi was-was dan hidupnya dan keluarganya jadi tidak tenang. Sebelumnya semburan gas liar ini ditemukan di beberapa tempat di empat RT di Siring Barat. Salah satunya di tanah milik Amari, 200 meter dari rumah Sumargo, semburan gas di tempat ini lebih besar bahkan bisa digunakan untuk memasak.

    Warga menjadi gelisah dan menuntut supaya pemerintah memperhatikan hal ini. Mereka menuntut diperlakukan sama dengan warga Siring Timur yang masuk peta dan mendapatkan ganti rugi. Berkali-kali mereka mengajukan tuntutan ke Bupati bahkan empat kali ke presiden namun tak juga ada respon balik.


    Pada tanggal 19 Agustus 2008 kemarin semburan baru muncul Siring Barat. Tempatnya di perbatasan tanah milik Toni dan Hubyo.

    Semburan gas ini mulai muncul setahun lalu dan penduduk Siring Barat sudah mengeluhkan hal ini pada pemerintah. Selama ini mereka bersabar menunggu dan mereka sudah jengkel. Mereka mengancam kalau misalnya dua bulan ke depan tidak ada kepastian dari pemerintah mereka akan turun ke jalan. Mereka berani mati untuk memperjuangkan hak mereka.

    “Wis rak wedi mati nek koyo ngene, sudah tidak takut mati kalau begini,”” tutur Ibu Hartini 53 tahun warga Siring Timur pada saya.

    IMAM SHOFWAN

  • Lagi, Api Menyembur Di Desa Siring

    Lagi, Api Menyembur Di Desa Siring

    korbanlumpur.info – Untuk ke sekian kalinya semburan api muncul lagi di area luar peta terdampak Lumpur Lapindo. Lokasi semburan api berada di Kelurahan Siring, di RT 03, tepatnya di tanah Bapak Doli dan lokasi ini hanya berjarak beberapa meter dari tepi jalan utama Sidoarjo-Malang. Menurut keterangan warga, semburan api mulai muncul sekitar pukul 05.00 wib. Dan seperti yang terjadi sebelumnya, kejadian kali ini membuat warga resah dan semakin was-was. Di lokasi yang sama, beberapa bulan yang lalu semburan api juga memakan 3 korban luka bakar.

    Menurut warga Siring barat, selama ini sudah banyak bermunculan semburan-semburan gas dan api, namun sampai sekarang belum ada keputusan dan tindakan yang jelas dari pihak Lapindo Brantas Inc dan BPLS untuk mengambil tindakan yang serius. Padahal, berdasarkan dari fakta-fakta lapangan, kondisi desa Siring barat dan desa-desa sekitarnya sudah tidak layak untuk ditempati sebagai pemukiman warga. Selain sering muncul semburan-semburan gas dan api, di desa Siring dan sekitarnya, tingkat polusi udara, air, bau gas yang menyengat sangatlah tinggi dan berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kesehatan, keselamatan dan hak hidup warga semakin meluas.

    Sejauh ini sudah banyak warga yang menderita sakit dan banyak juga yang meninggal akibat mengalami tekanan psikis.

    Sekitar pukul 9.00 wib, Humas BPLS Achmad Zulkarnain dan staff Humas Akhmad Kushairi juga hadir di lokasi kejadian. Seketika itu juga warga mengelilingi mereka berdua dan langsung mencerca dengan berbagai pertanyaan dan menumpahkan rasa kekesalan atas ketidak seriusan BPLS. Namun seperti biasanya, jawaban-jawaban yang dilontarkan Achmad Zulkarnain atas pertanyaan yang dilontarkan wartawan dan warga Siring berkaitan dengan tindak lanjut atas kejadian ini sangat mengecewakan.

    “BPLS mencoba semaksimal mungkin, tapi yang punya wewenang, sekali lagi adalah Presiden”. Padahal berdasarkan Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang BPLS, BPLS memiliki tugas untuk menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, menangani masalah sosial dan infrastruktur akibat luapan lumpur di Sidoarjo, dengan memperhatikan risiko lingkungan yang terkecil (Pasal 1, ayat 1). Bahkan berdasarkan SK Gubernur Jawa Timur tanggal 5 Mei 2008 yang ditujukan kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah BPLS, warga harus segera dievakusi.

    Agar pemerintah dan Lapindo Brantas Inc segera mengambil tindakan untuk memasukan desa Siring barat dan sekitarnya ke dalam area peta terdampak lumpur lapindo, warga sengaja untuk membiarkan semburan api terus membara. Hal ini dilakukan karena selama ini tidak ada keseriusan tindakan dari pihak pemerintah Daerah, pemerintah Pusat maupun Lapindo Brantas Inc untuk memberikan solusi bagi warga di luar area peta terdampak.

    Bang Rois sebagai salah satu dari korban lumpur Lapindo mengatakan, “Siring barat harus masuk ke dalam area peta terdampak, karena hampir 70 % pemukiman warga, baik di dalam rumah mapun di luar rumah warga pernah mengeluarkan semburan api, sehingga area Siring barat tidak layak huni karena diapit oleh pengeboran dari Wunut, Gedang sebelah utara dan Siring sebelah timur. Jadi Siring barat diserang semburan gas dari berbagai arah, jadi wilayah Siring tidak bisa dipisah-pisahkan dengn Siring timur, karena aset Siring barat juga ada yang di wilayah Siring timur, beberapa contoh antara lain masjid, sekolahan, makam, balai desa, sanak famili dll”.

    Bang Rois juga menambahkan,”Pemerintah harus segera memasukkan Siring barat ke dalam area peta terdampak. Apa sih beratnya memasukkan wilayah terdampak, wong memang daerah Siring barat tidak layak huni dan sering keluar semburan api dan gas. Sebagai contoh, Siring barat sebelah selatan, Siring barat sebelah barat, Siring barat seelah utara dan Siring barat sebelah utara sampai selatan pernah mengeluarkan api semua. Anak-anak dan warga lanjut usia harus segera mendapatkan perhatian karena kesehatannya mulai terancam, setidaknya ada cek kesehatan rutin”.

    Selain itu warga juga mengancam, apabila pihak pemerintah dan Lapindo Brantas Inc tidak segera merespon aspirasi warga, maka warga akan melakukan demo besar-besaran, memblokade jalan, blokade tanggul dan demi keselamatan masyarakat umum akan melarang kendaraan bermotor untuk melintas jalan desa Siring barat agar tidak terkena dampak semburan gas yang semakin banyak.[tang/jar]

  • Ibu Jumik Butuh Bantuan Kemanusiaan

    Ibu Jumik Butuh Bantuan Kemanusiaan

    korbanlumpur.info – Ibu Jumik, 50 tahun, salah satu korban Lapindo yang mengungsi di Pasar Baru Porong. Menurut cerita Cak Sutari, 36 tahun, saudara lelakinya, Ibu Jumik tiba-tiba merasa sakit di perutnya pada pertengahan Juni 2008 lalu. Lalu ia dilarikan ke RSUD Sidoarjo. Setelah menginap 2-3 hari, tiba-tiba membesar. Ibu Jumik terus-terus merasa sakit di perut, macam sakit maag akut katanya.

    Setelah 2 minggu di rumah sakit, karena tak kuat membiayai dan karena kondisi Ibu Jumik tidak berubah, keluarga Ibu Jumik membawa pulang kembali ke pengungsian Pasar Baru Porong, tepatnya di Blok R2. Cak Sutari dan keluarga akhirnya cuma pasrah. Ibu Jumik ditangani dengan cara-cara tradisional, dipijat setiap 3-4 hari. Mungkin cuma untuk mengurangi rasa sakit saja. Selebihnya tidak ada perhatian yang semestinya.

    Di catatan USG itu disebut kista. Saya tidak tahu, ini jenis penyakit apa, kista yang macam apa. Yang saya tahu, ini membutuhkan bantuan sesegera mungkin. Saat saya tulis surat ini, Cak Sutari di samping saya menitip pesan untuk memohon bantuan kepada dermawan-dermawati, baik yang di rantai email ini maupun yang di luar sana (SCTV Peduli, Kompas Peduli, dan Peduli-Peduli lainnya). Mohon bantuan kesehatan dan biaya.

    Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi Posko Bersama atau Cak Sutari 031-77680925 (Flexi).

    Ini sekadar satu contoh dari puluhan ribu korban lumpur yang kesehatannya hancur akibat pencemaran udara dan air oleh Lapindo. Sangat dibutuhan langkah bersama yang konkret, betul-betul konkret, soal ini. Kita tidak tahu, ada berapa Jumik di sana. Ada berapa Luluk, ada berapa Sutrisno, yang tewas oleh cemaran gas Lapindo.

  • Korban lapindo Demo Patoki Tanah Mereka

    Korban lapindo Demo Patoki Tanah Mereka

    Korban Lapindo yang sampai sekarang belum terselesaikan pembayaran sisa ganti rugi 80%-nya menuntut penyelesaian secara cash and carry sesuai Perpres 14/2007. Mereka memasang patok-patok ditanggul sebagai peringatan bahwa tanah itu masih tanah mereka karena belum lunas dibayar. Mereka meminta BPLS tidak meneruskan pengerjaan tanggul selama tanah mereka belum dibayar lunas.

    Klik video dibawah ini untuk melihat berita

  • Korban Lapindo Demo Usai Upacara

    Korban Lapindo Demo Usai Upacara

    Seusai upacara bendera memperingati proklamasi kemerdekaan Indonesia, Korban Lapindo melakukan aksi demo dengan membentangkan spanduk dan menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80% dibayar secara cash and carry.

    Klik video dibawah ini untuk melihat berita

     

  • Korban lapindo Demo Usai Upacara

    Korban lapindo Demo Usai Upacara

    Seusai upacara bendera memperingati proklamasi kemerdekaan Indonesia, Korban Lapindo melakukan aksi demo dengan membentangkan spanduk dan menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80% dibayar secara cash and carry.

    Klik video dibawah ini untuk melihat berita

    © Liputan 6

  • Kontrak Habis, Ganti Rugi Tak Segera Dilunasi

    Mendesak, Normalisasi Sungai Porong

    SIDOARJO, KOMPAS  Sekitar 100 warga Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berunjuk rasa lagi menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80 persen. Saat ini kontrak rumah mereka sudah habis. Warga yang tidak memiliki uang terpaksa mengungsi kembali ke Pasar Baru Porong.

    Unjuk rasa dilakukan seusai upacara peringatan HUT Kemerdekaan Ke-63 RI di areal tanggul lumpur Lapindo, Minggu (17/8). Upacara itu diikuti anggota Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), karyawan PT Lapindo Brantas, anggota Batalyon Zeni Tempur V Brawijaya, dan warga korban lumpur dengan inspektur upacara Mayor (Inf) Rukun Santoso.

    Selesai upacara pada pukul 08.30, warga Jatirejo lantas mengibarkan spanduk bertuliskan tuntutan pembayaran sisa ganti rugi.

    Uswanti (31), salah satu warga, berteriak sambil menangis di hadapan anggota BPLS. Ia meminta agar BPLS memperjuangkan nasib korban lumpur Lapindo yang belum juga menerima sisa ganti rugi 80 persen.

    “”Masa kontrak kami sudah habis sejak Juli lalu. Seharusnya kami sudah menerima sisa ganti rugi pada Juni 2008. Kenyataannya, hingga kini ganti rugi belum kami terima,”” ujar Uswanti.

    Mereka juga belum menerima uang perpanjangan kontrak. Akibatnya, Uswanti, suami, dan dua anaknya kembali menempati Pasar Baru Porong. Sebelumnya ia mengontrak rumah di Kelurahan Sidokare, Kecamatan Sidoarjo. ””Kami terpaksa meninggalkan rumah kontrakan karena tidak punya uang untuk memperpanjang kontrak,”” katanya.

    Warga lain, Mohamad Amrul (48), mengancam akan menduduki tanggul dan menghentikan proyek penanggulangan lumpur jika sisa pembayaran tidak segera dilunasi.

    Kepala Humas BPLS Ahmad Zulkarnain menyatakan, pihaknya terus mengupayakan penyelesaian sisa ganti rugi 80 persen kepada PT Minarak Lapindo Jaya.

    Normalisasi Sungai Porong

    Sebanyak 11 kepala desa di Kecamatan Porong beserta Camat Porong Totok Mariyanto mendesak BPLS melakukan normalisasi Sungai Porong. Penyebabnya, kondisi sungai terus mendangkal akibat pembuangan lumpur ke sungai.

    ”Akibat pembuangan lumpur ke sungai, air menjadi susah mengalir, sedangkan permukaan air terus naik. “Kami khawatir jika musim hujan tiba permukiman warga yang terletak di sekitar sungai bisa terendam luapan air sungai,”” kata Totok.

    Menjawab desakan tersebut, Zulkarnain menyatakan, BPLS akan menambah alat keruk untuk memperdalam sungai agar air mengalir lancar. 

    Adapun upaya lain, yaitu menggelontorkan air ke sungai agar lumpur hanyut tidak bisa dilakukan. ”Air untuk menggelontor sungai berasal dari dam Lengkong, Mojokerto. Padahal, pada musim kemarau ini debit air di sana menipis,” kata Zulkarnain. (APO)

    © Kompas

  • Warga Kedung Bendo Lanjutkan Aksi Memperingati Kemerdekaan

    Warga Kedung Bendo Lanjutkan Aksi Memperingati Kemerdekaan

    korbanlumpur.info – Pada hari Minggu, 17 Agustus sekitar pukul 11.15 wib, warga Kedung Bendo yang berasal dari kelompok GEPPRES (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden), melakukan aksi pemasangan spanduk serta poster-poster tuntutan di atas dan sekitar tanggul yang dulunya merupakan wilayah desa Kedung Bendo.

    Aksi ini diikuti oleh sekitar 100-an warga  yang terdiri dari bapak, ibu, pemuda dan anak-anak. Selain itu, dalam aksi ini turut hadir juga perwakilan warga korban lumpur Lapindo dari PerumTAS. Aksi yang dilakukan oleh warga merupakan lanjutan dari aksi yang dilakukan warga korban lumpur Lapindo setelah upacara peringatan 17 Agustus yang diselenggarakan oleh BPLS di atas tanggul cincin, Jatirejo. Tepatnya diatas komplek Ponpes Ahas, yang sudah terkubur lumpur Lapindo.

    Sebelum aksi dimulai, warga berkumpul di sekitar kompleks Masjid Kedung Bendo untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan perangkat dan perlengkapan aksi, seperti spanduk, poster dan kesiapan barisan warga. Sekitar pukul 11.15 wib, ratusan warga mulai merapatkan barisan untuk menuju tanggul yang berjarak sekitar 300 meter dari masjid.

    Beberapa spanduk dan poster-poster berisi tuntutan warga Kedung Bendo yang ingin segera diselesaikannya pembayaran sistem cash and carry juga mulai dibentangkan. Setelah barisan aksi solid, iring-iringan warga yang penuh semangat mulai bergerak menuju tanggul.

    Untuk menyemangati para peserta aski, koordinator lapangan Bapak Hari Suwandi meneriakkan yel-yel, “Merdeka?” Dengan serentak warga menyahut,“Belum!”

    Selain itu para warga juga meneriakkan tuntutan-tuntutan, “Bayar dulu baru ditanggul”, “Tanah ini masih milik kami”.

    Pukul 11.30 wib, warga tiba ditanggul sebelah barat desa Kedung Bendo. Dengan serentak, sebagian peserta aksi bahu membahu naik ke atas tanggul yang tingginya sekitar 10 meter. Sesampainya di atas tanggul, warga dengan semangat meneriakkan yel-yel dan meneriakkan dengan bebas semua kegelisahan mereka selama ini yang tak kunjung mendapatkan kepastian penyelesaian pembayaran cash and carry oleh pihak Lapindo Brantas Inc., padahal masa kontrak rumah sudah habis.

    Dengan tetap meneriakkan yel-yel, beberapa warga yang berada di atas tanggul mulai menggali lubang yang akan digunakan untuk tiang penyangga spanduk. Setelah berjalan sekitar 15 menit, dua spanduk yang berjejer telah selesai dipasang.

    Setelah pemasangan selesai, warga dengan tertib mulai turun dari atas tanggul dan pulang ke rumah masing-masing. Sebelum aksi berakhir, sebagaimana informasi yang didapatkan dari koordinator lapangan Bapak Hari Suwandi.

    “Apabila Lapindo Brantas tidak dengan segera menyelesaikan pembayaran cash and carry maka warga dengan jumah kekuatan yang lebih banyak dan besar akan melakukan aksi pendudukan dan blokade tanggul sampai pihak Lapindo Brantas melaksanakan kewajibannya”. [tang]

  • Warga Peringati 17 Agustus Diatas Tanggul

    Warga Peringati 17 Agustus Diatas Tanggul

    korbanlumpur.info – Jatirejo: Sekitar 500 warga korban lumpur Lapindo dari beberapa desa, menghadiri acara upacara bendera yang diselenggarakan oleh BPLS di atas tanggul cincin, Jatirejo. Tepatnya di atas komplek Ponpes Ahas, yang sudah terkubur lumpur Lapindo.

    Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah undangan, diantaranya adalah jajaran polsek Porong, perwakilan Kodim Sidoarjo, perwakilan masyarakat Korban Lumpur lapindo, (GKLL dan Geppres), kelompok masyarakat yang berkegiatan di atas tanggul, mulai dari pengojek sampai pekerja tanggul. Tetapi, tidak terlihat warga GKLL yang hadir.

    Setelah acara upacara selesai digelar, warga Korban Lapindo yang menuntut pembayaran sistem cash and carrymelakukan aksi membentang spanduk tuntutan pembayaran sisa 80% kepada pihak BPLS.

    Para ibu-ibu dengan emosi mengadukan nasibnya kepada perwakilan BPLS, yang diwakili oleh Humas mereka, Zulkarnain. Mereka mengharapkan kepada BPLS untuk mengingatkan Lapindo supaya segera menyelesaikan sisa pembayaran 80 persen karena jatuh tempo pembayaran sudah lewat satu bulan. “Tolong pak Zul perhatikan kami, kontrakan kami sudah habis kami tidak punya uang lagi untuk mengontrak rumah. Tolong selesaikan pembayaran 80%”, tegas Uswati warga Jatirejo RT 10.

    Selain itu warga juga mengancam jika dalam akhir bulan agustus belum ada kepastian soal pembayaran 80 persen maka warga mengancam akan  menduduki tanggul dan memberhentikan semua aktifitas penanggulan. “Kalau sampai bulan ini belum ada kepastian maka kami akan menduduki tanggul ini karena kami masih punya hak atas tanah ini” tegas Pak Ikhsan, korban dari Desa Kedung Bendo dengan nada tinggi.
    BPLS sendiri menyikapinya dengan menjanjikan pertemuan dengan warga di Posko GEPPRES. Mereka berjanji kepada warga akan duduk bersama untuk membicarakan lebih lanjut soal tuntutan warga yang tergabung dalam Gabungan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES). “Monggo kalau warga menuntut penyelesaian 80% dengan di fasilitasi oleh kami. Kami akan memfasilitasi” tegas Zulkanain menenangkan warga [man/nov]

  • Bayar Dulu, Baru Ditanggul

    Bayar Dulu, Baru Ditanggul

    korbanlumpur.info – Jatuh tempo sisa pembayaran 80 persen terhadap aset warga seperti yang diamanatkan oleh Perpres 14/2007 sudah lewat lebih dari dua bulan. Tetapi sampai sekarang, Minarak Lapindo Jaya (MLJ) masih juga belum ada tanda-tanda untuk membayar aset warga tersebut. Sehingga, warga memutuskan untuk memasang pathok-pathok penanda bekas tanah milik warga di lokasi yang kini sudah tertimbun lumpur setinggi 10 meter.

    “Sepanjang kami belum dilunasi, tanah ini masih milik warga“, tegas Hari Suwandi, koordinator aksi dari Desa Kedung Bendo, Tanggulangin Sidoarjo. Aksi yang dilakukan tadi pagi, melibatkan sebanyak 300 warga dari 5 desa yang sudah tenggelam (Reno Kenongo, Siring, Jatirejo, Ketapang dan Kedung Bendo).

    Dalam aksi yang dikoordinasikan oleh korban yang tergabung dalam Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (GEPPRES), warga memasang pathok-pathok penanda bekas tanah dan rumah kami yang sekarang sudah tenggelam. Aksi ini merupakan kelanjutan aksi sebelumnya, dimana warga memasang spanduk peringatan disekeliling tanggul.

    Aksi ini merupakan peringatan kepada pemerintah dan BPLS untuk segera mendesak Minarak untuk segera membayar sisa uang jual beli sebesar 80 persen. Sesuai amanat Perpres, jatuh tempo pembayaran adalah satu bulan sebelum masa kontrak 2 tahun habis. ”Padahal sekarang masa kontrak warga sudah habis, sementara masih belum ada kejelasan dari Minarak,“ tegas Ahmad Novik, salah seorang tokoh pemuda yang ditemui tim SuaraPorong.

    Sementara aksi berlangsung, Wakapolres Sidoarjo, Kompol Denny Nasution mengunjungi Posko GEPPRES yang terletak di tepi jalan Raya Porong di Desa Jatirejo. Pada kesempatan itu Wakapolres menawarkan kepada warga untuk mengajak Bupati dan BPLS bersama-sama dengan perwakilan warga untuk bersama-sama mendatangi Minarak, dan menanyakan alasan kenapa tidak segera melakukan pembayaran. Ketika ditanyakan kapan hal itu akan dilaksanakan, Wakapolres menjawab enteng, “dalam minggu-minggu kedepan.“

    Hal ini tidak memuaskan warga yang melakukan aksi. Suharto, salah seorang warga Jatirejo menyebut bahwa hal itu hanya untuk menenangkan warga yang kini sudah berada dalam posisi yang sangat terjepit. Meski begitu, warga akan menerima tawaran pertemuan tersebut, untuk melihat kejelasan sikap Minarak. Kalaupun pertemuan itu tidak membuahkan hasil, warga sudah siap dengan rencana selanjutnya.

    Warga akan akan menutup seluruh akses menuju tanggul dan memaksa BPLS menghentikan segala aktivitas di tanah mereka. “Warga berkeyakinan bahwa sepanjang mereka masih belum dilunasi pembayaran 80 persen secara tunai, tanah dibawah timbunan lumpur itu masih tanah mereka. “Jadi, bayar dulu, baru boleh ditanggul,”“ pungkas Hari Suwandi. (win)

  • Berkali-kali Dicek, Belum Masuk Rekening

    Warga Tagih Pelunasan 80 Persen

    SIDOARJO – Janji pelunasan ganti rugi 80 persen PT Minarak dipertanyakan oleh warga. Sebab, banyak warga mengaku belum menerima uang ganti rugi tersebut saat mengecek rekening di bank.

    Padahal, pada kuitansi yang mereka terima, dijelaskan bahwa uang akan ditransfer maksimal 14 hari setelah penandatanganan.

    Mursidi, salah seorang warga Kelurahan Siring, Kecamatan Porong, mengaku menandatangani akta jual beli bertanggal 26 Juni 2008. Seharusnya, uang itu masuk pada 10 Juli 2008. “Tapi, sampai sekarang uang tersebut belum masuk,” ujarnya.

    Yang bikin dia cemas, seluruh dokumen miliknya sudah diserahkan kepada PT Minarak saat penandatanganan akta jual beli. Sehingga, kini dia tidak memiliki bukti kepemilikan. “Kami merasa dirugikan,” ucapnya.

    Mursidi tidak sendirian. Banyak warga bernasib sama. Mereka sering mengecek rekening banknya melalui ATM. Hasilnya, tentu saja mereka kecele. “Kami selalu kecewa,” tutur warga yang enggan disebut namanya.

    Vice President PT Minarak Andi Darussalam Tabusalla menegaskan berkomitmen penuh pada janji yang pernah disampaikan. Yakni, pelunasan ganti rugi sepenuhnya.

    Jika sampai saat ini uang pelunasan itu belum masuk, penyebabnya adalah persoalan bank accounting (penghitungan di bank). “Jadi, mohon sabar,” jelasnya.

    Bila warga merasa resah atau dirugikan, Andi mempersilakan melapor ke kantor PT Minarak di ruko Juanda. Dia berjanji membuka diri untuk berkomunikasi dengan warga soal pelunasan dan ganti rugi. “Kami akan terbuka,” terangnya.

    Terkait cash and resettlement, Andi mengatakan tidak akan mengubah. Sebab, kebijakan itu sudah mengacu pada perpres. Yakni, pembayaran ganti rugi tersebut merupakan akta jual beli.

    Untuk persyaratan akta jual beli, harus ada sertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB). “Kami rancang itu supaya tidak ada pihak yang dirugikan,” tegasnya. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Korban Lapindo Belum Merdeka

    Korban Lapindo Belum Merdeka

    Pada Agustus ini, setiap kali menelusuri jalan raya di Jakarta, kita akan selalu menemukan pemandangan yang membangkitkan jiwa nasionalisme. Di sepanjang jalan, para pedagang bendera Merah-Putih dengan berbagai ukuran sedang menjajakan dagangan mereka.

    Bukan hanya bendera Merah-Putih yang menjadi komoditas andalan di bulan Agustus ini, tapi juga berbagai peralatan dan aksesori yang dapat digunakan untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-63.

    Bulan ini 63 tahun yang lalu, para pahlawan kita gigih berjuang dengan mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan Indonesia, sebuah negara baru yang akan melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.

    Untuk itulah, sebuah kewajaran pula bila seluruh rakyat Indonesia merayakan hari yang bersejarah itu dengan sukacita. Terlebih ada ungkapan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.

    Sayangnya, pada tahun ini tidak semua warga memperingati hari kemerdekaan negerinya dengan sukacita. Tak jauh dari Kota Pahlawan Surabaya, tepatnya di kawasan Porong, Sidoarjo, sudah dua

    tahun ini ribuan warga kehilangan nafkah, rumah, bahkan juga kehilangan harapan mereka untuk menatap masa depan, akibat semburan lumpur Lapindo.

    Adalah Mbok Ma, seorang nenek tua warga Dusun Sengon, Renokenongo, Sidoarjo. Seperti yang ditulis di web korban Lapindo, selama ini nenek tersebut hidup sendiri di rumah yang berukuran 5 x 6 meter.

    Nenek itu hidup tanpa pekerjaan dan tanpa uang simpanan di bank. Ia bisa hidup layak dan bahagia sekalipun tanpa kerabat. Itu semua karena ia hidup di Desa Renokenongo.

    Kebahagiaan Mbok Ma ini tiba-tiba pudar seiring munculnya semburan lumpur Lapindo yang menenggelamkan kampungnya. Tak hanya rumahnya yang hancur, tapi juga kebahagiannya dalam hidup bertetangga di sebuah desa.

    Bukan hanya Mbok Ma yang mengalami nasib tragis. Ada Bapak Yakup beserta istrinya, yang meninggal pada April lalu. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, keduanya meninggal karena sesak napas
    akibat menghirup gas beracun.

    Selain sepasang suami-istri di atas, ada korban lain dari warga Siring Barat. Dia bernama Unin Qoriatul. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan, di dalam saluran pernapasannya terdapat cairan yang tampak dalam bentuk bayangan gas. Kini kondisi kesehatannya terus menurun.

    Selain warga Siring, warga Jatirejo Barat juga mengalami nasib sama. Seorang ibu bernama Luluk meninggal pada Maret 2008 lalu. Penyebab kematiannya sama, yakni mengalami sesak napas akibat
    menghirup gas beracun di sekitar rumahnya.

    Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Walhi Jawa Timur menyebutkan bahwa semburan lumpur Lapindo ternyata juga mengandung gas beracun yang berbahaya bila terhirup oleh manusia.

    Winarko, seorang warga asli Sidoarjo, bahkan khawatir akan lahir generasi cacat akibat gas beracun dari semburan lumpur Lapindo.

    Mbok Ma, Bapak Yakup dan istrinya, Unin Qoriatul, serta warga korban Lapindo lainnya adalah sebagian warga negara Indonesia yang sejak dua tahun yang lalu telah jauh dari kata merdeka. Mereka dihinakan dan dihilangkan nafkahnya, bahkan juga hidupnya, oleh lumpur Lapindo.

    Lantas, ke mana perginya negara yang dulu dicita-citakan akan melindungi dan menyejahterakan rakyat? Negara yang seharusnya berada di garda depan dalam memperjuangkan hak-hak warganya ternyata justru “bersujud” di hadapan PT Lapindo.

    Sejak awal Lapindo telah melucuti satu demi satu kekuasaan dan kewibawaan negara. Sejak dari proses perizinan, korporasi ini telah membuat negara jadi sangat tak berdaya.

    Aturan tantang tata ruang wilayah yang menempatkan kawasan Porong sebagai kawasan permukiman pun dengan mudahnya ditabrak Lapindo. Akhirnya, korporasi itu pun mendapat izin untuk mengeksploitasi kawasan yang kini telah menjadi kubangan lumpur itu.

    Untuk mengatasi semburan lumpur itu, semula pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo. Dalam keputusan tersebut secara
    jelas disebutkan tanggung jawab Lapindo untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan persoalan sosial yang muncul akibat semburan lumpur.

    Regulasi itu kemudian diganti dengan Peraturan Presiden No. 14/2007, yang justru berupaya meringankan bahkan menghilangkan tanggung jawab PT Lapindo atas dampak sosial dan lingkungan hidup dari semburan lumpur panas itu. Setidaknya ada dua hal dalam peraturan presiden tersebut yang membebaskan Lapindo dari tanggung jawab tersebut.

    Pertama, dalam peraturan presiden itu terdapat pembagian wilayah kelola yang menjadi tanggung jawab negara dan Lapindo (pembuatan peta wilayah yang terkena dampak dan di luar peta terkena dampak). Padahal sebelumnya semua menjadi tanggung jawab Lapindo akibat kelalaiannya melakukan pengeboran.

    Kedua, skema penanganan dampak sosial dan lingkungan direduksi menjadi skema jual-beli. Padahal dampak sosial dan ekologi tidak bisa hanya diselesaikan dengan skema jual-beli aset korban.

    Kini Perpres No. 14/2007 sudah direvisi lagi menjadi Perpres No. 48/2008. Namun, peraturan baru itu hanya untuk memperluas peta dampak semburan lumpur Lapindo. Roh Perpres No. 48/2008 itu tetap saja menilai bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam sehingga uang rakyat dari anggaran negara harus tetap digelontorkan untuk menyubsidi sebuah korporasi besar yang seharusnya bertanggung jawab atas malapetaka itu.

    Negara, yang seharusnya melindungi rakyatnya, kini harus bertekuk lutut pada Lapindo. Sementara dulu Indonesia tunduk pada korporasi Belanda yang bernama VOC, kini negara harus kembali tunduk pada sebuah korporasi yang kebetulan dekat dengan pusat kekuasaan. Sejatinya, tak hanya korban Lapindo belum merdeka, tapi juga negara ini.

    Negara belum mampu melepaskan diri dari penjajahan korporasi yang sepak terjangnya merugikan publik. Kasus Lapindo adalah contoh yang baik bagi kita untuk merefleksikan kembali arti kata merdeka.

    # Pemerhati Lingkungan Hidup, Bekerja di OneWorld-Indonesia

    © Koran Tempo

  • Warga Desak BPLS Lakukan Evakuasi

    Warga Desak BPLS Lakukan Evakuasi

    SIDOARJO – Desakan terhadap Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) agar segera mengevakuasi warga terus berdatangan. Kemarin (12/8) desakan itu datang dari M. Mirdas yang di dalam rumahnya muncul semburan gas disertai lumpur.

    Dia menegaskan bahwa rumahnya sudah tidak layak huni. Yaitu, rumah yang berlokasi di Kelurahan Jatirejo RT 4 RW 1, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Itu terjadi setelah muncul semburan di dalam kamar dan samping rumahnya. “Ini sangat berbahaya,” katanya.

    Dia meminta BPLS melakukan evakuasi secepatnya. Sebab, kondisi rumahnya merupakan bukti bahwa kawasan tersebut berbahaya. “Bukti sudah ada. Sudah saatnya dievakuasi,” ucap pria yang juga anggota DPRD Jatim itu.

    Humas BPLS Akhmad Zulkarnain membenarkan bahwa peristiwa itu membuktikan kawasan rumah Mirdas berbahaya. Dia juga menjelaskan, semburan lumpur yang keluar disertai gas itu mudah terbakar. “Jadi, perlu kewaspadaan,” ujarnya.

    Terkait desakan evakuasi, Zulkarnain mengatakan, pihaknya akan menampung permintaan tersebut. BPLS sudah sering mengajukannya ke tingkat dewan pengarah. “Kami sudah melaporkan semuanya,” tuturnya.

    Namun, hingga saat ini belum ada keputusan menyangkut status kawasan tersebut. Dia menegaskan bahwa BPLS akan selalu berupaya membantu warga untuk mendapatkan haknya. “Kami akan selalu upayakan,” katanya.

    Seperti diberitakan, tiga kawasan di sebelah barat Jl Raya Porong belum masuk peta. Kawasan itu adalah Kelurahan Jatirejo bagian barat dan Siring bagian barat. Padahal, semburan lumpur dan gas sering muncul di kawasan tersebut. (riq/ib)

    © Jawa Pos