Author: Redaksi Kanal

  • Korban Lapindo, Apa Pantas Saya Bawa Pacul?

    Setelah menyaksikan langsung rumah yang disediakan PT Minarak Lapindo Jaya bagi korban Lapindo, Sumiran seperti kebingungan. Niatnya memang sudah bulat menerima rumah itu sebagai ganti rugi. “Tapi saya bingung memilih,” kata lelaki 47 tahun itu. Rumah 54 meter persegi di atas lahan 148 meter itu ia rasa belum cukup untuk tempat main dua anaknya.

    Selain bingung memilih, dia mesti yakin rumah itu cukup layak buat dirinya. Semula dia khawatir apakah pintu dari tripleks itu cukup kuat jika ditabrak anaknya. Begitu pula dinding rumah yang ia selisik satu per satu. Tapi, setelah mencoba pompa air, dia sejenak terdiam. “Alhamdulillah, airnya tidak asin,” katanya.

    Rumah dari Minarak itu terdiri atas tiga kamar tidur dan satu kamar mandi. Berdiri di kawasan seluas 2.000 hektare, rumah itu akan menjadi hunian baru bagi korban Lapindo yang setuju dengan ganti rugi cash and resettlement. Kusen rumah terbuat dari aluminium. Gentingnya terbuat dari beton. “Kalau bocor, kayaknya sulit cari gantinya,” kata Sumiran, yang diiyakan rekannya.

    Bagi Sumiran, rumah di Kahuripan Nirwana Village di Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, itu boleh disebut elite. Apalagi jika melongok gerbang perumahan yang berbentuk dua raksasa dari sembilan rangka baja. Nama perumahan ditulis dalam huruf kapital dengan ukuran jumbo. Jalan masuk selebar 10 meter terbagi dua dengan taman apik di bagian tengahnya.

    Menurut Vice President Minarak Andi Darussalam Tabussala, perumahan ini memang didesain dengan konsep regency. Kompleks ini dirancang agar mampu menampung 7.000 rumah bagi korban Lapindo yang tak punya sertifikat tanah dan bangunan. “Sampai sekarang perumahan ini terus dikerjakan,” kata Andi.

    Rumah yang didesain agar tampak elite ini justru membuat Sumiran takut menempati. “Apa pantas saya bawa pacul kalau hidup di sini,” katanya. Maklum, sejak lahir hingga dewasa, dia hidup dalam keluarga petani. Sawah adalah sumber kehidupannya.

    Sumiran berharap Minarak Lapindo Jaya bisa menyediakan area persawahan bagi penghuni Kahuripan Nirwana Village agar warganya bisa tetap bercocok tanam. “Bertani merupakan pekerjaan kami turun-temurun,” katanya. Kalau beralih profesi, tentu Sumiran harus belajar lagi dari nol.

    ROHMAN TAUFIQ | Koran Tempo

  • PT Minarak Paksakan Pola Uang dan Tempat Tinggal

    SURABAYA — Andi Darussalam Tabusalla, Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, juru bayar yang ditunjuk PT Lapindo Brantas Inc, menolak permintaan warga korban lumpur yang tidak memiliki sertifikat sebagai kelengkapan berkas kepemilikan aset. Mereka meminta diberi ganti rugi secara tunai (cash and carry). “Kami tetap tidak bisa membeli aset yang nonsertifikat,” katanya kemarin.

    Ia mengatakan, selain berpatokan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007, proses jual-beli harus mengikuti kaidah akta jual-beli (AJB). Kepada mereka, ditawarkan konsep uang tunai dan tempat tinggal (cash and resettlement).

    Pernyataan Andi ini sekaligus menjawab tuntutan sekitar 1.000 korban Lapindo yang pada Minggu, 6 Juli lalu, menggelar istigasah menolak konsep cash and resettlement. Warga menuntut percepatan pelunasan cash and carry bagi rumah ataupun tanah mereka yang kini telah tertutup lumpur.

    Warga juga mengatakan kesepakatan yang dibuat antara PT Minarak dan warga-pada saat pembayaran uang muka 20 persen-tidak ada keharusan tentang syarat sertifikat. Karena itu, warga menuntut pembayaran sisa 80 persen segera dilakukan. Warga yang menolak pola cash and resettlement menyebut diri sebagai Gerakan Pendukung Perpres.

    Andi Darussalam mengatakan, jika warga tetap berkeras, tidak ada solusi lain yang bisa ditempuh. “Pola cash and resettlement merupakan solusi yang elegan dan menguntungkan kedua pihak,” katanya.

    Koordinator Gerakan Pendukung Perpres Fathurozi mengatakan jika PT Minarak tetap menolak tuntutan mereka, warga mengancam akan terus melakukan unjuk rasa. “Sesuai perjanjian, September 2008 Minarak sudah harus melunasi, tapi kini tiba-tiba mereka ingkar dan menciptakan konsep cash and resettlement,”katanya sembari menambahkan, jika mereka mengambil konsep tersebut, mereka akan kembali dipersulit oleh Minarak.

    ROHMAN TAUFIK | Koran Tempo

  • Pemerintah Diminta Cabut Beleid Lapindo

    JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta pemerintah mencabut Peraturan Presiden Nomor 14 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Komnas menilai, meski beleid itu sudah direvisi, tetap tak memasukkan semua korban semburan lumpur agar mendapat ganti rugi.

    “Hanya sebagian kecil yang ter-cover. Padahal jumlah korban lebih banyak,” kata anggota Komnas, Syafruddin Ngulma Simeulue, kepada Tempo kemarin.

    Pemerintah telah merampungkan revisi peraturan presiden tersebut. Dalam peraturan itu, tiga desa, yakni Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, dimasukkan dalam peta wilayah yang terkena dampak. Sebelumnya, ketiga desa itu tidak dimasukkan dalam peta dampak sehingga korban dinilai tak berhak mendapat ganti rugi.

    Syafruddin menilai, di luar desa terkena dampak versi peraturan presiden yang baru, masih banyak korban semburan lumpur tidak mendapat ganti rugi. Meski saat ini wilayah mereka belum terkena dampak langsung, tempat tinggal mereka sudah tidak aman. Kondisi di desa-desa itu, kata Syafruddin, hampir mirip tiga desa yang dimasukkan dalam revisi peraturan presiden. “Bisa terjadi konflik antara mereka yang mendapat ganti rugi dan tidak,” kata dia.

    Menurut Syafruddin, pemerintah mestinya mencabut peraturan presiden itu dan menggantinya dengan peraturan baru yang bisa memulihkan hak semua warga di sekitar lokasi semburan. Selain tak perlu membedakan daerah terkena dampak dan tidak terkena dampak, kata dia, dalam peraturan baru itu juga diatur mekanisme ganti rugi dan biaya pemulihan bagi warga.

    ANTON SEPTIAN | Koran Tempo

  • Amerika Bidik Sumur Lapindo Jadi Pembangkit Listrik

    JAKARTA – Konsorsium asing dari Amerika Serikat menawarkan solusi untuk mengolah semburan lumpur Lapindo Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi pembangkit listrik panas bumi berkekuatan 2.000 megawatt.

    Konsorsium terdiri atas Vlociti Holding Inc dan Houston Based Coy, penyandang dana yang berkedudukan di Amerika Serikat, serta Sirex PHS, Preston US, dan Turbo Jacks sebagai pemilik teknologi yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Tak ketinggalan pula PT Jatayu Sarana Investasi sebagai pemilik proyek/koordinator untuk subkonsultan dan subkontraktor di Indonesia.

    Presiden Direktur Vlociti Holding Inc Taswin Tarib memaparkan tawaran tersebut di Kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla. Koordinator Staf Khusus Wakil Presiden Alwi Hamu mewakili Wakil Presiden mendengarkan dan menelaah tawaran ini.

    Taswin menyatakan perusahaannya bukan pemain baru di bidang panas bumi. Perusahaannya telah melakukan eksplorasi panas bumi di Amerika Serikat dan Jerman dengan masing-masing daya berkekuatan lebih dari 300 megawatt.

    Saat ini semburan lumpur Lapindo mencapai 80 ribu meter kubik per hari, sedangkan temperatur semburan mencapai 40-60 derajat Celsius.

    Taswin mengatakan listrik dari hasil panas bumi di Sidoarjo itu akan dijual ke PLN dengan harga 2-3 euro sen per kWh dan diharapkan bisa mengatasi kekurangan pasokan listrik di Indonesia.

    “Kami tidak meminta jaminan dari pemerintah dan PLN. Kami tidak menggunakan dana dari pemerintah Indonesia, kami gunakan dana dari grup kami,” ujarnya di Istana Wakil Presiden kemarin.

    Menurut Taswin, Lapindo dipilih sebagai proyek percontohan karena kandungan panas buminya sangat tinggi. Secara bersamaan, akan dibangun juga proyek 2 x 2.000 megawatt di Jawa lainnya dan 1 x 2.000 megawatt di setiap pulau, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

    “Pada 14 Agustus nanti, tim akan mempresentasikan lebih detail melalui teknis dan metode yang kami gunakan,” kata dia. Jika pemerintah sepakat, saat itu juga akan ditandatangani nota kesepakatan atau memorandum of agreement-nya.

    Menurut Taswin, pembangunan pembangkit listrik panas bumi Lapindo, mulai dari memasang vertical channel sampai menghasilkan listrik, memakan waktu 3-4 tahun dengan nilai investasi US$ 5,2 miliar untuk keseluruhan pembangkit. “Proyek ini juga akan menyerap 2.000-2.500 tenaga kerja,” kata dia.

    Alwi menyatakan konsorsium sudah mempresentasikan rencananya di hadapan Wakil Presiden dan difasilitasi oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. “Pak Wapres langsung merespons dan meminta ini dikaji lebih mendalam,” kata dia.

    Menurut Alwi, tawaran ini bisa menjadi solusi bagi kekurangan pasokan listrik Indonesia saat ini. Tawaran ini juga bisa sedikit menyelesaikan bencana lumpur Lapindo.

    Anton Aprianto | Koran Tempo

  • Lingkungan Hidup, Lumpur Lapindo, Siapa Berani?

    Dua tahun sudah semburan lumpur Lapindo Brantas Inc meluluhlantakkan harta benda, emosi, dan kehidupan sosial masyarakat Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dampak semburan lumpur bukan hanya berupa kekacauan infrastruktur, tetapi juga korban jiwa. Lumpur itu juga memberikan efek bagi Provinsi Jatim.

    Data yang dipaparkan pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Kresnayana Yahya, menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Jatim, yang biasanya selalu setengah persen di atas pertumbuhan ekonomi nasional, kini setengah persen di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Biangnya, semburan lumpur di wilayah eksplorasi Lapindo Brantas Inc.

    Seretnya pertumbuhan ekonomi itu antara lain akibat matinya sejumlah industri dan hotel, serta tingginya biaya transportasi yang harus dikeluarkan pengusaha untuk distribusi produk. Seperti Rabu (18/6) lalu, antrean panjang kendaraan berat pengangkut barang memenuhi ruas jalan raya yang menghubungkan Porong, Sidoarjo, dengan Gempol, Pasuruan. Jalan tol Surabaya-Porong, yang semestinya bisa menyedot kendaraan dari ruas jalan raya dan menghemat waktu tempuh, tak bisa diandalkan lagi karena ikut menerima dampak terjangan lumpur. Antrean di jalan raya tak terelakkan. Jarak Surabaya-Malang, yang dalam kondisi normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam, kini butuh hingga tiga jam.

    Dampak sosial juga tak kalah parah. Warga Desa Renokenongo yang rumahnya terkena semburan lumpur panas masih banyak tinggal di pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Sekitar 500 keluarga tinggal di bangunan kios pasar. Pertumbuhan kejiwaan dan sosial anak-anak yang tinggal di penampungan itu dikhawatirkan terganggu. Mereka, 900-an warga Desa Renokenongo, hanya menanti tanggung jawab Lapindo Brantas Inc.

    Tak kurang upaya dilakukan beberapa pihak untuk menggugat keadilan masyarakat atas semburan lumpur ini. Seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang mengajukan gugatan secara terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan untuk menuntut pertanggungjawaban semburan lumpur yang masih berlangsung hingga kini itu. Namun, semua upaya itu kandas.

    Bahkan, upaya hukum yang sudah dilakukan Polda Jatim, dengan menetapkan beberapa orang sebagai tersangka yang bertanggung jawab dalam semburan lumpur itu, tak juga berujung. Pasalnya, kejaksaan masih kukuh membutuhkan bukti yang menunjukkan korelasi antara pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas Inc dan semburan lumpur. Akibatnya, berkas perkara itu berkali-kali bolak-balik dari kejaksaan ke kepolisian.

    Padahal, ilmuwan Inggris, Richard Davies, awal Juni lalu, menyebutkan, semburan lumpur di Sidoarjo bukan bencana alam, melainkan dipicu pengeboran di sumur Banjar Panji I. Sedangkan Lapindo Brantas Inc menyebutkan, lumpur itu menyembur ke permukaan bumi akibat dipicu gempa di Yogyakarta, beberapa hari sebelumnya.

    Yang paling parah dari semua itu, pemerintah sepertinya bergeming. Tak mau menolehkan sejenak ke Porong untuk lebih menyalurkan empati dan bentuk tanggung jawab atas warganya yang kehilangan tanah, rumah, kehidupan sosial, dan ikatan dengan leluhur.

    Sengaja mendiamkan

    Airlangga Pribadi Kusman, pengajar ilmu politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, yakin, elite politik di Jatim dan Jakarta sengaja mendiamkan persoalan lumpur yang menyembur pertama kali pada 29 Mei 2006 ini.

    Tak ada tekanan politik dari Gubernur Jatim Imam Utomo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, maupun DPRD Jatim dan DPRD Sidoarjo. Dugaan Airlangga, semburan lumpur ini akibat kesalahan kolektif yang melibatkan banyak pihak sehingga semua pihak akan menutup persoalan ini.

    Dari sisi politik, kondisi ini akan mendorong proses delegitimasi terhadap proses politik yang berlangsung di Jatim. Juga, delegitimasi masyarakat terhadap negara dan pemerintah. ””Masyarakat merasa kepentingan mereka tidak diperjuangkan wakil rakyat maupun eksekutif yang dipilihnya,”” ujar Airlangga.

    Pemimpin daerah juga terkesan tak bergerak untuk mengantisipasi kian buruknya kondisi di sekitar Porong akibat semburan lumpur yang terus terjadi. Padahal, banyak contoh bencana ikutan yang muncul akibat semburan lumpur yang terus bertumpuk di sekitar sumbernya. Terakhir, tiga pekerja di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, luka akibat ledakan gas.

    Dengan perhitungan kerugian akibat semburan lumpur yang masih bertumpuk, tentu pemimpin Jatim akan berpikir, betapa lebih efektifnya jika menggunakan daya tawarnya terhadap pemerintah pusat untuk segera bertindak tegas menangani dampak lumpur itu. Bayangkan, kemajuan yang dicapai dalam pembangunan oleh Gubernur Jatim terpilih nanti akan ”dipotong” dengan kerugian akibat semburan lumpur yang masih terjadi sampai kini.

    Amien Widodo, geolog yang mendalami manajemen bencana dari ITS, menyarankan, Pemerintah Provinsi Jatim membuat peta risiko di sekitar semburan lumpur. “Peta itu dapat menunjukkan daerah dengan risiko rendah, sedang, dan tinggi sehingga setiap individu yang ada di daerah itu dapat mewaspadai segala kemungkinan yang terjadi. ”Buat peta yang menggambarkan, di sini daerah aman untuk tinggal dan tidak. Lalu, buat juga daerah rawan amblesan, di sini daerah rawan semburan gas, dan sebagainya. Peta ini mesti diperbarui setiap saat, selama lumpur masih menyembur,”” kata Amien.

    Jika langkah seperti itu tak dilakukan, niscaya semburan lumpur Lapindo hanya dianggap angin lalu. ”Apakah nyawa jadi tidak ada artinya?”

    Dewi indriastuti dan Nina Susilo

    © Kompas

  • Pilkada Jatim, Lumpur Lapindo dan Kemandekan Ekonomi

    Pilkada Jatim, Lumpur Lapindo dan Kemandekan Ekonomi

    Lumpur Lapindo merupakan salah satu penentu pertumbuhan ekonomi Jatim. Dampak lumpur, Jatim kehilangan potensi tumbuh sekitar 1 persen dari 20.000-30.000 kendaraan yang biasa melewati jalur antara Surabaya dan Malang serta kota-kota lain. Potensi kehilangan selama setahun sebesar Rp 170 triliun sepanjang 2007-2008.

    Dengan sikap dan motivasi yang realistis, mengatasi permasalahan itu adalah keberanian menaruh kepemimpinan yang berani, peduli, dan bisa menaklukkan arogansi pusat. Pembagian kewenangan timpang, tetapi pembagian penderitaan selalu ada di Jatim. Pajak yang ditarik seharusnya bisa dialokasikan untuk rehabilitasi akses dan infrastruktur ekonomi yang rusak dan mandek akibat lumpur Lapindo.

    Ada lima hal utama yang harus segera dipulihkan, yakni jalan akses (tol dan jalan negara) sepanjang 20-30 km antara Porong-Gempol, relokasi jalur pipa gas, jalur pipa air minum, jembatan Kali Porong, dan jalur kereta api.

    Namun, beda pandangan tentang kewenangan menjadikan ketidakjelasan siapa sebenarnya yang punya wewenang menyelesaikan problem itu. Korban dari pemimpin yang ragu dan tidak kompeten itu menyebabkan proses pengambilan keputusan selalu mengambang.

    Kalau dilakukan polling, tentu semua minta segera saja Pemerintah Provinsi Jatim menindaklanjuti masalah tersebut sebagai program emergency. Kalau perlu dengan meyakinkan pebisnis dan masyarakat mencari dana Rp 2 triliun-Rp 3 triliun untuk mengatasi persoalan itu karena dua tahun berlalu, kita telah kehilangan kesempatan ratusan kali lipat.

    Tingginya angka pengangguran dan sekaligus potensi makin banyak industri yang gagal tumbuh seharusnya menjadi pertimbangan utama. Ada penambahan biaya dan kehilangan waktu yang sangat berarti untuk jalur transportasi antara Surabaya dan wilayah selatan dan timur Jatim, membuat 30 persen ekonomi Jatim stagnan.

    Di sektor transportasi, misalnya, lebih dari 50 persen perusahaan bus berhenti operasi, lebih dari 30 persen angkutan barang tidak berjalan, dan lebih dari 25 persen angkutan kereta api berkurang. Sebab, setiap kontainer harus menambah Rp 1 juta untuk melewati Porong-Gempol karena mata rantai hambatan dan pungutan, serta akibat terlambatnya masuk ke pelabuhan.

    Untuk itu, Jatim perlu menaikkan daya negosiasinya. Posisi tawar yang win-win solution seharusnya memberikan kewenangan untuk segera mengatasi infrastruktur bisnis.

    Operasionalisasi jalur penerbangan Surabaya-Malang harus segera dibuka, begitu juga pembenahan kereta api. Harus ada jaminan aman agar transportasi barang dan penumpang lancar. Jalan tol juga harus segera dimulai, termasuk pula jalur pipa gas. Mengaktifkan kembali angkutan laut dari dan ke Pasuruan–, Probolinggo, –Surabaya akan menjadi pilihan sementara.

    Memulihkan hak ekonomi sosial budaya dari 30.000 warga korban lumpur ditambah hak ekonomi dari 500.000 orang lainnya menjadi begitu berarti untuk mengurangi tekanan ekonomi.

    KRESNAYANA YAHYA Pengamat Statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

  • Seluruh Menteri Tandatangani Revisi Perpres Lapindo

    TEMPO Interaktif, Sidoarjo: Seluruh Menteri yang ada di dalam Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), hari ini (11/7) sudah menandatangani perubahan Peraturan Presiden (Perpres) No 14 tahun 2007 tentang luapan lumpur Lapindo.

    ““Hari ini seluruh menteri sudah tandatangan, termasuk menteri keuangan juga. Diharapkan sepulang dari kunjungan luar negeri, Presiden langsung bias menandatanganinya juga,”” kata Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, ketika meresmikan penancapan tiang pancang untuk memulai pembangunan infrastruktur pengganti jalan raya porong di Sidoarjo, siang ini (11/7).

    Perubahan Perpres yang dimaksud adalah perubahan areal terdampak Lumpur didalam Perpres yang semula hanya menjangkau kawasan empat desa yaitu Siring, Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo, kini dirubah dengan menambahkan tiga Desa yaitu Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring.

    Dengan perubahan ini, tambah Joko, warga di tiga tersebut akan segera mendapatkan ganti rugi seperti yang telah didapatkan warga di empat desa lainnya. Hanya saja, ganti rugi yang didapatkan bukan berasal dari Lapindo melainkan akan diambilkan dari APBN.

    ““Kami mohon maaf jika perubahan ini agak lama. Kita sebenarnya juga ingin cepat tapi tetap harus dijaga supaya tetap akurat,” “tambah Joko.

    Selain itu, Joko juga meminta maaf atas belum berhasilnya pemerintah dalam menutup semburan lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo yang hingga saat ini setidaknya telah mengusir 12 ribu lebih keluarga.

    ““Atas nama pemerintah kami minta maaf karena belum berhasil menutup, tapi kami akan terus berusaha semaksimal mungkin,”” kata Joko.

    Menurut Joko, sejak awal pemerintah sebenarnya langsung turun kelapangan untuk bisa segera menanggulangi dampak semburan tersebut. Saat itu, Presiden juga langsung menginstruksikan untuk segera menutup dan memagari kawasan semburan dengan tanggul penahan.

    ““Setelah itu berbagai upaya juga sudah kita lakukan tapi hingga kini tetap belum berhasil,”” tambah Joko.

    Upaya penutupan yang dimaksud dimulai dengan menggunakan alat bernama snubbing unit, kemudian dilanjutkan dengan side traking (pengeboran menyamping), terus relief well (pengeboran miring) dan yang terakir dengan menggunakan bola beton yang kesemuanya tetap belum bisa menutup semburan tersebut.

    Di tempat yang sama, Ketua BPLS Sunarso menyambut baik atas selesainya revisi perpres tersebut. “”Kami juga berharap, kawasan di tiga desa lainnya (Siring barat, Jatirejo barat, dan Mindi), juga segera diputuskan,”” kata Sunarso.

    Kawasan tiga desa terakhir ini kini memang sudah tidak layak huni akibat munculnya ratusan semburan gas liar dihampir seluruh rumah yang ada. Karennya warga juga berharap untuk segera mendapatkan ganti rugi sehingga mereka bisa meninggalkan rumah mereka.

    Rohman Taufiq |Koran Tempo

  • Lapindo Kalah di Arbitrase Internasional

    JAKARTA — Lapindo Brantas Incorporated, perusahaan yang berada di pusat pusaran kasus semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, dikalahkan PT Medco Brantas dalam persidangan di Badan Arbitrase Internasional.

    Kabar itu disampaikan tim ahli pengeboran independen Robin Lubron saat mendampingi korban lumpur Lapindo berdiskusi dengan Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga. “Putusannya sudah ada beberapa bulan lalu,” ujar Lubron kemarin.

    Lubron menjelaskan, dalam gugatan itu diketahui Medco Brantas sebelumnya telah memperingatkan agar Lapindo berhati-hati dalam melakukan pengeboran. Namun, hal itu tidak diindahkan.

    Selain peringatan, Lubron melanjutkan, terdapat 14 hal yang tidak dipatuhi Lapindo saat melakukan pengeboran, di antaranya titik pengeboran yang salah karena dekat dengan permukiman, alatalat tidak diasuransikan, tidak adanya pelindung mata bor, dan penanganan penutupan luapan lumpur yang tidak menyeluruh.

    Menurut dia, secara prosedur Lapindo melanggar karena melakukan kesalahan teknis. “Dengan putusan itu, artinya semua kerugian tersebut harus ditanggung Lapindo,” ujarnya.

    Majalah Tempo edisi Juni tahun lalu menyebutkan, dalam gugatan ke arbitrase, Medco membeberkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Lapindo terhadap perjanjian kerja sama operasi. Salah satunya soal peringatan Medco agar Lapindo memasang selubung bor (casing) untuk mengantisipasi kebocoran, yang ternyata tak diindahkan.

    Dalam gugatan itu juga disinggung soal dana provisi untuk kegiatan operasional hulu migas sebesar US$ 14 juta. Medco menolak langkah Lapindo yang “membelokkan” dana operasional itu untuk menangani dampak semburan lumpur.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, saat dihubungi kemarin membantah soal adanya putusan itu. Sebab, saat ini Medco tidak lagi menjadi pemegang saham Lapindo karena telah menjualnya ke Grup Perkasa. “Memang sempat ada arbitrase, tapi tidak dilanjutkan dan ada kesepakatan,” ujar Yuniwati kemarin.

    Adapun Sekretaris Perusahaan Medco Energi Sisca Alimin mengatakan pihaknya sudah tidak berurusan dengan soal itu lagi. “Saya tidak tahu-menahu karena Medco sudah tidak pegang lagi,” ujarnya kemarin.

    Kendati masih banyak muncul tuntutan agar Lapindo menanggung seluruh kerugian, pemerintah tetap ngotot mengambil alih tanggung jawab itu. Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menjanjikan ganti rugi kepada warga sembilan desa di luar peta terdampak.

    ““Nanti akan kami samakan ganti ruginya,”” ujarnya di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kemarin. Rachmat datang ke kantor Komisi memenuhi panggilan berkaitan dengan kasus lumpur Lapindo. Di tengah pertemuan, dia menerima perwakilan korban dari sembilan desa itu.

    Dia menjelaskan, dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan setiap perusahaan yang menyebabkan kerusakan lingkungan harus menanggung ganti rugi secara mutlak dan seketika. “Untuk itu, harus ada pembuktian kesalahan lebih dulu secara hukum. “Lapindo belum diputuskan bersalah,”” katanya.

    RINI KUSTIANI | ANTON SEPTIAN | DIAN YULIASTUTI | SETRI

    © Koran Tempo

     

  • Pemerintah Akan Tinjau Hasil Arbitrase Lapindo

    TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan pemerintah akan meninjau hasil persidangan arbitrase internasional yang menyatakan Lapindo Brantas Incorporated kalah.

    Menteri Purnomo mengaku pemerintah belum menerima laporan adanya arbitrase tersebut. “Kami akan cek dulu, karena kami belum pernah dapat laporan ada arbitrase Medco dengan Lapindo,” kata Purnomo di Jakarta, Selasa (15/7).

    Pemerintah, lanjut dia, akan mencari informasi tentang arbitrase tersebut. Dia menambahkan, pemerintah tak dilibatkan Moneygram online dalam proses arbitrase tersebut. “Kami tak pernah dipanggil untuk menjadi saksi,” ujar Purnomo.

    Hasil putusan Badan Arbitrase Internasional menyatakan bahwa PT Medco Brantas memenangkan gugatan terhadap Lapindo kalah. Majalan Tempo edisi Juni tahun lalu menyatakan, dalam gugatan itu, Medco membeberkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Lapindo terhadap perjanjian kerja sama operasi.

    Salah satunya soal peringatan Medco agar Lapindo memasang selubung bor (casing) untuk mengantisipasi kebocoran yang diabaikan. Dalam gugatan itu juga disinggung soal dana provisi untuk kegiatan operasional hulu miogas sebesar US$ 14 juta.

    Medco menolak langkah Lapindo yang “membelokkan” dana operasional itu untuk menangani dampak semburan lumpur (Koran
    Tempo, Senin, 15 Juli).

    Yuniwati Teryana, Vice President Relations Lapindo Brantas mengatakan bahwa data pengeboran yang terekam di mud logging unit menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara sumur ekplorasi Banjarpanji-1 dan semburan lumpur di Sidoarjo.

    Mud logging unit adalah satu perangkat alat dalam pengeboran yang berfungsi, antara lain, untuk melakukan pengamatan dan perekaman proses pengeboran.

    Data mud logging unit tersebut menyatakan bahwa tekanan pengeboran menunjukkan tekanan lubang sumur lebih rendah daripada kekuatan batuan (dinding sumur).

    “Ini berarti bahwa casing shoe yang merupakan bagian terlemah dari sumur bahkan tidak pecah,” ujar Yuniwati.

    Yuniwati menambahkan, data survei sonan log menunjukkan tidak adanya aliran di belakang casing sumur. “Fakta ini membuktikan bahwa casing shoe tersebut tidak pecah,” kata Yuniwati.

    Data mud logging unit itu, kata Yuniwati, telah diserahkan kepada pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur.

    Nieke Indrietta | Koran Tempo

  • Kejaksaan Agung Koordinasikan Kasus Lapindo

    JAKARTA — Kejaksaan Agung menugasi Direktur Prapenuntutan Jaksa Agung Muda Pidana Umum M. Sidik Ismail untuk berkoordinasi dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menangani kasus Lumpur Lapindo. “Dalam dua-tiga hari ini dia akan ke Jawa Timur,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Nainggolan di ruang kerjanya kemarin.

    Sidik diminta berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Jawa Timur untuk mendapatkan data yang tersimpan dalam black box drilling atau rekam jejak pengeboran Lapindo Brantas Inc.

    Sebelumnya, ahli pengeboran sumur minyak dan gas bumi, Robin Lubron dan Mustika Saleh, mengatakan penyebab semburan lumpur Lapindo dapat diketahui dari data tersebut.

    SUTARTO | Koran Tempo

  • Lapindo vs Rakyat vs Negara

    Kini lumpur Lapindo memasuki babakan baru. Nasib rakyat dipertaruhkan. Juga uang negara. Jika kasus itu dikategorikan bencana alam, triliunan rupiah uang rakyat yang dikutip negara akan dikorbankan. Nuansa itu yang semakin kental dalam penanganan perkara ‘Kota Neraka’ Sidoarjo. Benarkah begitu?

    Hari-hari ini rakyat korban lumpur Lapindo keleleran di berbagai tempat di Jakarta. Mereka menderita dan terus berjuang menuntut haknya. Sisi lain, kasus pidananya masih menggantung. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus ini bolak-balik dari Polda Jatim ke Kejaksaan Tinggi dan kembali lagi ke Polda. Itu, katanya, karena kurang alat bukti.

    Dua tahun sudah kasus ini mengambang. Musibah itu terjadi semula diindikasikan karena efisiensi yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. Pengeboran yang dilakukan tanpa cassing. Lapisan bumi penutup lumpur terkuak, tekanannya merekahkan tanah, menyemburkan lumpur yang belum diketahui berapa juta atau miliar meter kubik kandungannya.

    Namun indikator itu akhir-akhir ini dimentahkan. 12 pakar yang dilibatkan pendapatnya terpecah. Tiga pakar menyebut lumpur itu akibat human error. Sedang sisanya mengatakan meluapnya lumpur itu adalah bencana alam. Alam yang salah. Mengirim lumpur mencelakakan manusia.

    Itu yang menjadi alasan pihak Kejaksaan akan mempelajari ‘Black Box’. Kesaksian warga yang terkena musibah, serta ahli pengeboran. Namun yang perlu dikritisi, pendapat warga yang mana. Dan juga para ahli pengeboran yang berafiliasi kemana. Sebab perkara ini dalam proses waktu sudah ‘terkonversikan’ dengan uang. Nuansa kasusnya menjadi sangat ekonomis dan politis. Jika pihak Kejaksaan tidak jeli, maka kasus Lapindo ini bisa kian memperburuk citra institusi ini.

    Mengapa musibah dipertalikan dengan uang? Itu tak terhindarkan dalam perkara lumpur Lapindo ini. Contoh sederhana yang sudah bisa dirasakan semuanya, lihatlah media yang memberitakan miring kasus ini selalu happy ending dengan iklan. Simak musibah bulan kemarin ketika tiga orang terbakar gara-gara merokok di daerah yang udaranya sudah dipenuhi gas itu, tidak satu pun media memberitakan. Masuklah Pilkada Jawa Timur, maka ada aroma Lapindo di sana. Serta tanyalah dinding resto Shangrilla Hotel di Jl Mayjen Soengkono, mereka akan banyak cerita nego soal-soal yang berbau lumpur. Jadi jangan kaget jika kecurigaan sejenis juga ditujukan pada polisi dan kejaksaan.

    Mengapa lumpur Lapindo dicurigai kental dengan aliran uang? Itu tidak sulit diraba. Musibah ini bagi sebuah perusahaan ibarat pembuatan water treatment. Wajib dibangun dengan dana besar, tapi kurang produktif bagi pandangan dunia usaha. Akibatnya banyak yang mensiasati dengan menyuap pejabat korup. Itu pula kenapa pencemaran akut tidak terelakkan.

    Dalam kasus lumpur Lapindo hampir sama. Di dalamnya ‘teronggok’ uang bertriliun-triliunan rupiah. Celakanya uang itu masuk kategori tidak produktif, karena untuk dibayarkan pada korban lumpur. Baik untuk ganti rugi lahan persawahan, pemukiman penduduk, serta berbagai pabrik yang terendam lumpur.

    Uang itu darimana? Bisa dari kocek Lapindo Brantas Inc atau dari pemerintah. Lapindo harus mengeluarkan uang itu jika kelak divonis salah dalam pengeboran. Atau pemerintah yang harus mengkafer itu kalau kasus lumpur ini dinyatakan sebagai bencana alam. Tidak mengherankan kalau berbagai aksi dan mungkin juga kesaksian yang mengarahkan kasus itu sebagai bencana alam selalu dituding sebagai langkah menuju ‘pengalihan’ tanggungjawab Lapindo.

    Jika kondisinya seperti itu, bisa dimaklumi jika berbagai pihak sekarang asyik ‘bermain’. Perkara yang semula terang itu jadi mentah. Itu karena skenario besar sedang menggelinding. Padahal pengeboran tanpa dicassing jelas-jelas sebuah kesalahan. Penahan lapisan lumpur itu terkuak, dan tekanannya melesak kemana-mana. Kendati semburan itu tidak persis di pengeboran yang dilakukan Lapindo.

    Namun sebelum semuanya terjadi, yakinlah, rakyat dan negara akan ‘dikorbankan’. Lumpur yang sudah menyembur dua tahun itu bakal divonis sebagai bencana alam. Dengan begitu rakyat yang terkena musibah akan ditangani negara. Uang negara yang dipungut dari rakyat itu akan dijadikan ‘pampasan perang’  untuk mengatasi itu.

    Tanda-tanda menuju ke sana sudah semakin benderang. Tiga gelintir pakar yang tidak kompromi itu naga-naganya ke depan bakal ikut mengamini suara mayoritas. Adakah Kejaksaan dan polisi bisa dijadikan pegangan untuk secara adil menangani kasus ini? Harapan rakyat dan negara memang tinggal itu.

    Djoko Su’ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

    © DetikNews

  • Kasus Lapindo Tunggu Laporan Menteri Energi

    JAKARTA — Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyatakan masih menunggu laporan dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral terkait kekalahan PT Lapindo Brantas Inc di arbitrase internasional. “Pemerintah akan melihat dulu, tapi Departemen Energi dulu, baru ke saya,” ujarnya kemarin.

    Sebelumnya, arbitrase internasional memenangkan Medco atas Lapindo dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Fakta itu diungkapkan tim ahli pengeboran independen, Robin Lubron, pada Senin, 14 Juli lalu, di Kejaksaan Agung. Akibat putusan itu, Lapindo dan perusahaan yang terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie harus menanggung semua kerugian.

    Menurut Djoko, pemerintah belum bisa mengambil keputusan terkait putusan yang mengharuskan Lapindo Brantas menanggung kerugian. “Masih tunggu putusan pengadilan,” katanya. Dia mengaku belum mendapat laporan dari Menteri Energi.

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro juga menyatakan hal yang sama dengan Djoko. Menurut Purnomo, pemerintah akan mempelajari hasil putusan arbitrase internasional. Dia mengaku belum menerima laporan putusan tersebut. “Kami akan cek dulu karena kami belum pernah dapat laporan tentang arbitrase Medco dan Lapindo,” ujarnya.

    Purnomo menjelaskan, pemerintah tidak dilibatkan dalam proses persidangan di arbitrase tersebut. “Kami tak pernah dipanggil menjadi saksi,” katanya.

    RIEKA RAHADIANA | NIEKE INDRIETTA

    © Koran Tempo

     

     

  • Lumpur Lapindo, Tiga Desa Baru Masuk Revisi Perpres

    Jakarta, Kompas – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani revisi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2008 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo di Jakarta, Kamis (17/7). Tiga desa yang terdampak semburan lumpur panas Lapindo Brantas Inc paling akhir yaitu Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring masuk dalam revisi perpres itu.

    Sudah diteken hari ini. Soal teknisnya, tentu nanti. Kan ada badan yang tinggal melaksanakan saja teknis dari perpresnya,” ujar Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa di halaman Istana Negara, Jakarta.

    Lambatnya penandatanganan revisi Pepres No 14/2008 menurut Hatta karena pembahasannya menyangkut dana yang melibatkan sejumlah menteri seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan menteri yang terkait.

    Mengenai kapan realisasi pemberian ganti rugi sebagai konsekuensi dari revisi perpres, Hatta mengemukakan, kecepatannya tergantung pelaksana teknis mulai dari Menteri Keuangan hingga BPLS.

    Secara terpisah, sebanyak 80 warga korban lumpur Lapindo dari tiga desa (Besuki, Kedungcangkring, dan Pejarakan) di luar areal peta terdampak menyambut baik penandatanganan revisi perpres itu. Warga yang sudah lima hari berada di Jakarta, di antaranya dua hari terakhir bermalam di lapangan Monumen Nasional (Monas), serentak meluapkan kegembiraan mereka.

    ”Tentu kami bersyukur, sekalipun kami belum melihat hitam di atas putih. Semoga saja benar adanya,” kata Koordinator Korban Lumpur Tiga Desa di Luar Peta Terdampak Abdul Rokhim, kemarin.

    Di Sidoarjo Jawa Timur, bergitu mendengar dilakukan revisi perpres, warga langsung melakukan sujud syukur. (INU/GSA/HEI)

    © Kompas

  • ”Mari Temukan Solusi, Jangan Ciptakan Masalah”

    Wawancara dengan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso

    Penyediaan rumah di kawasan perumahan Kahuripan Nirwana Village bagi korban lumpur Lapindo adalah salah satu solusi atas masalah yang ditimbulkan dari semburan lumpur. PT Minarak Lapindo Jaya dan warga menyepakati konsep cash and restlement.

    Tapi permasalahan tidak segera selesai. Warga yang telah menerima kunci, jangankan menghuni, melihat rumahnya pun mengalami kesulitan. Belakangan diketahui, pembangunan perumahan Kahuripan menyembunyikan banyak masalah, termasuk izin mendirikan bangunan (IMB), serta site-plan.

    Bahkan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, yang sudah dua tahun dipusingkan oleh masalah lumpur, harus menyindir perusahaan di bawah naungan Bakrie Group itu agar segera membereskan semua persoalan. Hal itu pula yang dikatakannya saat diwawancarai wartawan Tempo, Fajar WH dan Rohman Taufik. Berikut petikannya:

    Apa tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Sidoarjo berkaitan dengan pembangunan komplek perumahan Kahuripan Nirwana Village?

    Pembangunan kawasan perumahan itu saat ini sedang direalisasi. Tanggung jawab saya sebagai bupati adalah memfasilitasinya berupa perizinan yang dibutuhkan PT Minarak Lapindo Jaya yang membangun kawasan, serta warga korban lumpur yang membeli rumah di situ. Tentunya itu sesuai proporsi kewenangan saya.

    Pembangunan perumahan itu terkesan dadakan. Apakah memang sudah lama merencanakannya di daerah Jati?

    Lahan sekitar 1.200 hektare yang izinnya sudah kami keluarkan ada di daerah Sukodono. Bahkan PT Minarak sempat melaunching- nya. Sebanyak 1.031 warga juga sudah mendaftar untuk membelinya. Tapi setelah dilihat, ternyata masih berupa tanah kosong. Hal itulah yang membuat warga berdemonstrasi. Lha, saat kami mengeluarkan izin di Sukodono, ternyata PT Minarak juga mencari dan membeli tanah lain. Rencana di Sukodono tidak diteruskan.

    Pada perkembangannya, ada pemikiran baru. Kebetulan, di daerah Jati ada beberapa pengembang. Tapi, mungkin akibat persoalan lumpur, pasar perumahan menjadi turun, sehingga mereka tidak berani melakukan pembangunan. Lahan itulah yang di-take over.

    Berapa luas lahan yang diambil alih, dan bagaimana perizinannya?

    Ada beberapa lahan developer yang diambil alih. Setelah itu, barulah PT Minarak mengusulkan agar izinnya diproses. Tapi rupanya, sambil mengajukan usul perizinan, mereka diam-diam melakukan pembangunan.

    Apakah boleh membangun sebelum mengantongi izin?

    Kalau berdasarkan peraturan, memang tidak boleh melakukan pembangunan sebelum ada izin. Tapi karena perlu terobosan agar para korban bisa mendapatkan rumah, ya hal itu tidak bisa dihindari. Developer yang dulu ada di situ sebenarnya sudah punya izin, tapi izinnya sudah mati.

    Pada saat perumahan di kawasan Kahuripan mulai dibangun, berarti Pemerintah Kabupaten Sidoarjo tidak diberi tahu?

    Pada awalnya, kami terus terang saja, memang tidak diberitahu. Tapi dari berbagai pertemuan, mereka mengakui kesahannya. Mereka beralasan perlu secepatnnya membangun. Pengurusan izin dilakukan sambil jalan. Izin lokasi sudah kami keluarkan. Sekarang sedang dalam proses kelengkapan izin site-plan dan IMB. Tapi memang dalam soal ini ketentuan tidak bisa diterapkan sebagaimana mestinya, melainkan bagaimana sebaiknya. Berarti harus ada kompromi. Proses pembangunan berjalan, tapi proses perizinan juga berjalan. Karena kompromi ini pula 3.500 warga yang tergabung dalam GKLL akhirnya setuju, lalu muncullah konsep cash and resetlement.

    IMB diurus belakangan, apa tidak menyalahi prosedur?

    Kalau dari sisi regulasi, hal itu memang tidak boleh. Kalau saya berpikir pakai kacamata kuda, pasti saya hentikan. Tapi saya harus melihatnya tidak melulu soal regulasi. Kalau pembangunan perumahan di Kahuripan saya hentikan, pasti akan timbul mata rantai persoalan yang panjang. Saya tidak ingin Sidoarjo tidak kondusif. Menyelesaikan masalah sosial harus dengan arif dan bijak. Prinsip saya, mari temukan solusi, jangan bikin masalah. Warga tidak perlu khawatir. Sembari pembangunan dilakukan, kami meminta agar PT Minarak menyelesaikan proses perizinan yang belum lengkap.

    Apakah ini tidak mengorbankan masyarakat yang memiliki lahan sebelumnya?

    Lahan 1.500 hektare yang dipakai PT Minarak di Jati itu semula milik empat developer. Semua tanah sudah diganti rugi. Jadi, secara prinsip, kami tidak ingin memindahkan masalah.

    Kalau memang tidak ada masalah, mengapa Anda menyindir PT Minarak di hadapan Menteri Sosial saat peresmian perumahan Kahuripan?

    Meskipun izin lokasi sudah beres, tapi karena izin yang lainnya belum, saya menyampaikan sindiran. Ikan kakap ikan sepat, berkas lengkap izin cepat. Udang galah disambel terasi, ada masalah cari solusi.

    Apakah itu berarti PT Minarak bandel dalam soal izin sehingga harus disindir?

    Saya selalu mencoba melakukan semua pendekatan. Tidak hanya terhadap PT Minarak atau PT Lapindo. Mungkin bupati yang paling sering didemo adalah saya. Tapi banyak ilmu yang justru saya dapatkan. Saat penetapan harga ganti rugi akan dilakukan, situasinya seperti perang. Polisi, tentara, bahkan kendaraan tank memenuhi pendopo, karena ada kabar bahwa 10 ribuan orang akan membakar pendopo.

    Pintu pendopo justru saya perintahkan dibuka. Saya minta karpet merah digelar di pendopo. Saya persilakan warga masuk karena bagi saya mereka adalah tamu agung bupati. Warga malah berteriak, ”hidup bupati! Hidup bupati! Pihak Lapindo saya datangkan, dan saya mempertemukan mereka dengan utusan warga. Akhirnya harga ganti rugi berhasil disepakati.

  • Gubernur, Lapindo, dan Reformasi Birokrasi

    Di luar soal kebutuhan dasar hidup (pangan, sandang, dan papan), pengangguran, kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan, isu lain yang menonjol di Jawa Timur adalah masalah lingkungan (lumpur Lapindo) dan reformasi birokrasi.

    Tema terakhir inilah yang begitu diharapkan oleh publik saat mendengarkan program dan janji-janji yang diucapkan oleh calon gubernur/calon wakil gubernur Jatim. Sayang, tidak satu pun cagub/cawagub yang menjawab secara eksplisit terhadap dua hal itu sehingga konstituen umumnya tidak puas terhadap program yang ditawarkan.

    Memang ada satu cagub/cawagub yang relatif memiliki keberpihakan terhadap persoalan Lapindo ini, namun program itu tidak disebarkan secara ekstensif pada masa kampanye, tetapi baru diuraikan dalam debat publik terakhir (19/7/2008) yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional. Dari segi substansi, sebetulnya faktor apa yang membuat dua soal itu begitu penting di Jatim?

    Perangkap Lapindo

    Pada 2006, Bank Dunia memublikasikan kekayaan seluruh negara di dunia dengan memasukkan tiga variabel, yakni modal alam, modal tak berwujud (intangible), dan modal ciptaan. Hasilnya, umumnya negara-negara yang memiliki modal alam besar justru total kekayaannya sangat rendah.

    Indonesia, yang memiliki karakteristik seperti itu, total kekayannya (per kapita) jauh di bawah Singapura, Korea, Thailand, Malaysia, dan Filipina (Bank Dunia, 2006). Dalam hal ini, Indonesia hanya sedikit lebih baik ketimbang China. Di internal Indonesia sendiri, kasusnya juga mirip, di mana wilayah (provinsi) yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) justru terperosok menjadi provinsi miskin.

    Jawa Timur juga tidak terlepas dari kisah itu, di mana kekayaan SDA yang dipunyai justru membuat wilayah ini terbelakang dari banyak aspek. Misalnya, pendapatan/kapita Jatim di bawah pendapatan/kapita nasional dan persentase penduduk miskinnya jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional.

    Dalam bingkai seperti itulah persoalan lingkungan menjadi penting dalam konteks pembangunan ekonomi. Di Jatim, soal lingkungan yang terbesar sebetulnya bukanlah kasus Lapindo, melainkan kian habisnya hutan dan jumlah lahan kritis yang terus membesar.

    Tercatat, sekarang hutan lindung di Jatim lebih dari 50% kawasannya dalam kondisi kritis, misalnya Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Meru Betiri, Kawah Ijen, Pegunungan Hyang-Argopuro, Taman Nasional Baluran, Kawaswan Gunung Tarub, dan Bromo Tengger Semeru. Sedangkan total lahan kritis di Jatim tidak kurang dari 1 juta ha, di mana jumlah ini setara dengan luas lahan sawah di Jatim.

    Masalah inilah yang sebetulnya menjadi pemicu bencana banjir dan kekeringan di Jatim. Namun, eskalasi masalah ini berada di bawah kasus Lapindo akibat letaknya yang tidak berada di pusat kegiatan ekonomi dan “tidak terdapat” korporasi besar di balik kerusakan lingkungan itu.

    Pada titik inilah kemudian kasus Lapindo menjadi “seksi” karena mempertemukan banyak kepentingan. Tawaran program yang dibutuhkan dari soal ini sebetulnya hanya dua hal. Pertama, kejelasan dari cagub/cawagub untuk menempatkan kasus itu sebagai masalah bencana (alam) atau malpraktik korporasi. Pemilihan sikap terhadap penyebab masalah tersebut akan berimplikasi luas terhadap kepentingan yang lebih besar.

    Kedua, bagaimanakah mendudukkan posisi korban (penduduk) yang secara langsung terkena dampak lumpur Lapindo. Tentu saja ekspektasi korban bukan hanya “ganti rugi” yang diharapkan, tetapi “ganti untung” (materi dan non-materi) karena implikasi kasus itu sangat besar.

    Sayang, memang tidak mudah mengambil sikap dalam kasus ini karena sebagian kewenangan bukan di tangan provinsi, sehingga bisa dipahami bila cagub/cawagub tidak bersikap eksplisit. Namun, setidaknya untuk poin yang kedua sikap itu seharusnya dapat ditunjukkan.

    Pembelahan Birokrasi

    Hampir bisa disepakati bahwa sebagian besar kegagalan implementasi pembangunan bukan akibat kelangkaan konsep kebijakan, melainkan kegagapan birokrasi untuk mengawal kebijakan tersebut. Di luar masalah sistem rekruitmen yang kacau dan political interest yang tinggi, di tubuh birokrasi juga tersembul patologi model patron yang sangat kuat.

    Implikasinya, setiap kebijakan yang disorong oleh satu kelompok tertentu dapat dipastikan akan dijegal oleh kelompok yang lain. Tidak bisa dihindari, hal yang sama juga terjadi dalam birokrasi di Jatim, bahkan dapat disaksikan secara kasat mata.

    Pembelahan kepentingan antarkelompok birokrasi tersebut sudah sangat menyedihkan sehingga kebutuhan reformasi bukan sekadar mendesain ulang sistemnya, tetapi juga mendisiplinkan perilaku aktor-aktor yang berada di dalamnya. Tentu saja ini bukan hanya membutuhkan komitmen dari pemimpinnya, tetapi memastikan pemimpin itu bukan bagian dari kelompok kepentingan.

    Keberhasilan reformasi birokrasi, seperti di Lamongan (Provinsi Jatim), Sragen dan Kebumen (Provinsi Jateng), Jembrana (Provinsi Bali), dan Provinsi Gorontalo, merupakan contoh telanjang yang menerangkan bahwa reformasi birokrasi juga butuh jarak antara pemimpin dan masalahnya (bukan sekadar sistem), sehingga sensitivitas dan kredibilitas terus terjaga.

    Poin-poin itu yang mestinya dapat dieksplorasi secara mendalam dalam debat cagub/cawagub, sekaligus diusung dalam platform tertulis, sehingga memudahkan pemilih (khususnya pemilih terdidik) dalam menentukan sikap dukungan terhadap cagub/cawagub. Tetapi, lepas dari itu semua, ajang pilgub langsung pertama di Jatim telah memberikan banyak pembelajaran bagi khalayak, termasuk jenis kampanye yang membodohi publik.

    Selamat memilih, Jatim!

    Ahmad Erani Yustika PhD, ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, Pascasarjana Fakultas Ekonomi – Universitas Brawijaya

  • Polisi Diminta Lengkapi Keterangan Ahli Pengeboran Lapindo

    JAKARTA — Kejaksaan Agung menduga data yang dicatat petugas pengeboran Lapindo berbeda dengan data dalam alat pencatat kegiatan perkembangan pengeboran real time chart (RTC). Menurut juru bicara Kejaksaan Agung, Bonaventura Daulat Nainggolan, kejaksaan meminta agar berkas perkara kasus semburan lumpur Lapindo dilengkapi hasil pembacaan ahli atas RTC.

    “Hasil RTC hanya bisa dibaca ahli,” kata dia di Kejaksaan Agung kemarin. RTC, kata dia, selama ini belum dibaca. RTC adalah alat pencatat kegiatan pengeboran yang hasilnya digambarkan dalam grafik. Hasil rekaman ini mencatat data pengeboran dari awal sehingga bisa diketahui penyebab menyemburnya lumpur.

    Kamis pekan lalu polisi telah melakukan gelar perkara atau ekspose kasus lumpur Lapindo di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Dari hasil gelar perkara, kejaksaan mengembalikan berkas penyidikan kepada polisi. Kejaksaan menganggap berkas belum dilengkapi hasil pembacaan ahli atas RTC.

    Setelah hasil RTC di tangan penyidik dan jaksa calon penuntut, Nainggolan melanjutkan, kejaksaan akan mempertemukan sejumlah ahli dalam berkas perkara dan ahli dari korban lumpur Lapindo. Hasil pertemuan, kata dia, akan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.

    Sejauh ini terdapat perbedaan pendapat mengenai penyebab menyemburnya lumpur Lapindo. Pihak Lapindo berkukuh mengatakan semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh bencana alam. Adapun sejumlah ahli mengatakan semburan akibat aktivitas pengeboran Lapindo di sumur Banjar Panji 1.

    Juru bicara PT Lapindo Brantas, Yuniwati Teryana, menyatakan petugas drilling telah mencatat kegiatan pengeboran sesuai dengan standar operasi pengeboran. “Hasilnya pun dimonitor setiap waktu,” kata Yuniwati dalam pesan singkatnya. Prinsipnya, kata dia, tak ada perbedaan antara catatan petugas pengeboran dan data di RTC.

    ANTON SEPTIAN | PRAMONO

    © Koran Tempo

  • Adinda Bakrie Gelar Resepsi Mewah

    JAKARTA —- Pesta pernikahan Adinda Bakrie, putri pemilik PT Lapindo Brantas Indra Usmansyah Bakrie, digelar dengan segenap kemegahan di Hotel Mulia, Jakarta, kemarin malam. Tiga ruang utama lantai dasar hotel itu disatukan, lalu disulap menjadi ruang resepsi yang gemerlap. Sejumlah artis papan atas dan kelompok musik pengiring Twilight Orchestra memeriahkan pesta itu.

    Para tamu datang dari pucuk-pucuk pimpinan di negeri ini, para pengusaha papan atas, hingga para diplomat negara-negara sahabat. Tampak, antara lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution, Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardoyo, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, dan sejumlah menteri lainnya. Juga terlihat pengusaha Chairul Tanjung dan lain-lain.

    Mempelai pria dari keponakan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie itu adalah Seng-Hoo Ong. Ia seorang manajer keuangan, putra dari salah satu keluarga terkaya di Singapura.

    Megahnya pesta ini sudah terasa sejak gerbang hotel. Jajaran karangan bunga berdesakan di kiri-kanan jalan masuk menuju pintu lobi sebelah utara. Seakan tak cukup, tanda ucapan selamat itu berjajar hingga gerbang dan parkir hotel bagian belakang.

    Begitu masuk ke ruang resepsi, tamu diarahkan dengan jalur berkelok dengan pembatas kain merah marun. Alunan musik dari sebuah grand piano sudah menyambut di sana.

    Kemegahan pun lengkap di ruang pesta. Tiga ballroom Hotel Mulia dijadikan satu dengan 15 lampu kristal berukuran besar tergantung di langit-langit. Pasangan mempelai duduk di kuade mewah, di sebelah kanan pintu masuk.

    Aneka hidangan mulai dari menu lokal hingga luar negeri bertebaran di setiap sudut ruang resepsi. Gunungan buah anggur berbagai jenis disusun laiknya monumen setinggi tiga meteran.

    Musik hidup pun digarap begitu wah. Sekitar 50 meter di seberang kuade mempelai dibangun panggung yang tak kalah komplet. Vina Panduwinata, Christopher Abimanyu, Memes, dan Mike Indonesian Idol bergantian menyuguhkan penampilan di atas pentas. Semuanya diiringi puluhan musisi yang tergabung dalam Twilight Orchestra.

    AGOENG WIJAYA | Koran Tempo

  • Lumpur Lapindo, Polisi Minta Keterangan 2 Ahli Tambahan

    JAKARTA – Kepolisian akan meminta keterangan dua saksi ahli tambahan untuk membaca laporan pengeboran sumur Banjar Panji 1 oleh PT Lapindo Brantas. Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Rusli Nasution mengatakan dua ahli baru dimintai keterangan pekan depan. “Setelah itu kami mengajukan berkas ke kejaksaan lagi,” kata Rusli ketika dihubungi Tempo kemarin.

    Rusli enggan menyebutkan nama kedua ahli yang akan dimintai keterangan. Menurut dia, kepolisian telah menyertakan catatan pengeboran dalam berkas pemeriksaan dan keterangan ahli yang membaca catatan pengeboran itu. Dari awal, katanya, catatan pengeboran sudah disertakan.

    Ia membantah catatan pengeboran berbeda dengan permintaan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Menurut Rusli, catatan pengeboran yang diminta kejaksaan sama dengan catatan dalam bukti kepolisian. Rusli mengatakan berkas ke kejaksaan sebenarnya sudah lengkap. Kepolisian mengetahui alat perekam kegiatan pengeboran dari para ahli. “Alatnya sama, hanya beda persepsi saja,” katanya.

    Kejaksaan Agung beberapa kali mengembalikan berkas acara pemeriksaan kasus semburan lumpur Lapindo. Sejauh ini terdapat perbedaan pendapat mengenai penyebab semburan lumpur Lapindo. Lapindo menyatakan semburan lumpur akibat bencana alam, sedangkan sejumlah ahli mengatakan semburan itu akibat aktivitas pengeboran di sumur Banjar Panji 1.

    Pekan lalu, kejaksaan mengumumkan dugaan perbedaan data petugas pengeboran PT Lapindo dengan data Real Time Chart (RTC) atau alat pencatat pengeboran dari waktu ke waktu. Menurut juru bicara Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Nainggolan, hasil RTC belum pernah dibaca ahli.

    Dalam gelar perkara dua pekan lalu, kejaksaan mengembalikan berkas penyidikan kepada polisi. Kejaksaan meminta polisi melengkapi hasil pembacaan RTC yang kemudian akan dibahas bersama para ahli dari kedua pihak. Hasil pertemuan akan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.

    Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Herman S. Sumawiredja mengatakan kejaksaan meminta polisi menerjemahkan laporan pengeboran sumur Banjar Panji 1, Porong, Sidoarjo oleh PT Lapindo. Terjemahan sudah dibawa ke Kejaksaan Agung untuk diproses.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, belum bisa dihubungi. Pekan lalu, Ia menyatakan petugas pengeboran PT Lapindo telah mencatat kegiatannya sesuai dengan standar operasi pengeboran. Hasil catatan, kata dia, bisa dimonitor setiap waktu. Prinsipnya, tak ada perbedaan antara catatan petugas pengeboran dan data di RTC.

    Hasil kajian Tim Independen Keteknikan bentukan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan pengeboran sudah benar. “Tentunya mereka juga sudah melakukan analisis data RTC yang sudah di kepolisian,” kata dia lewat pesan singkat pekan lalu. “Perlu kesepahaman dan keahlian dari para ahli untuk menginterpretasi data tersebut.”

    PRAMONO | ANTON APRIANTO | FAMEGA | PURWANTO

    © Koran Tempo

  • Lumpur Lapindo Berpotensi Timbulkan Kanker

    SURABAYA – Lumpur Lapindo yang menyembur di kawasan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, ternyata mengandung gas berbahaya, yaitu policyclic aromatic hydrocarbons (PAH).

    Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mengatakan hasil penelitian Walhi mengungkapkan PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo melebihi 8.000 kali lipat di atas ambang batas normal.

    “Batas normal PAH hanya 0,05 miugram per kilogramnya, tapi ini mencapai 8.000 kali lipatnya,” kata Catur. Padahal, kata dia, tingginya PAH membuat siapa pun yang menghirupnya akan terkena berbagai penyakit.

    Bambang menyatakan, meskipun senyawa kimia ini tidak langsung menyebabkan tumor dan kanker, senyawa ini yang terhirup akan mengubah metabolisme tubuh menjadi senyawa tertentu yang berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru, kanker kulit, dan kanker kandung kemih.

    PAH, kata Bambang, terbentuk akibat proses pembakaran fosil di dalam tanah yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan inilah yang membuat PAH berbahaya. Selain melalui pernapasan, PAH bisa masuk ke tubuh melalui makanan.

    Hanya, efek PAH ini, menurut Bambang, baru bisa dirasakan sekitar 10 tahun setelah si korban mengkonsumsi makanan yang mengandung PAH.

    Penelitian lumpur Lapindo yang dilakukan Walhi memakan waktu hampir dua tahun, yaitu sejak November 2006 dan baru selesai pertengahan Mei lalu. “Hasilnya mengejutkan karena lumpur Lapindo mengandung unsur PAH yang cukup tinggi,” kata Bambang.

    Selain mengandung PAH, lumpur Lapindo mengandung logam berat berupa timbal yang mencapai 2.000 kali lipat dari ambang batas wajar. Karena itu, Walhi mendesak pemerintah segera mengambil langkah darurat untuk mengungsikan seluruh warga yang berada di sekitar kawasan lumpur. Pemerintah juga didesak secara berkala memeriksa kondisi kesehatan warga, apalagi akibat dari PAH ini baru dirasakan 10 tahun mendatang.

    Walhi, kata Bambang, dua pekan lalu mengirimkan hasil penelitian tersebut ke Menteri Lingkungan Hidup. “Tapi tidak ditanggapi, kami akan melapor ke Komisi Nasional HAM,” kata Bambang.

    Koordinator warga Desa Siring Barat, Bambang Kuswanto, juga meminta pemerintah segera merelokasi semua warga korban lumpur Lapindo. “Saat ini hampir (di) seluruh rumah warga keluar gas. Kalau benar mengandung PAH, berarti kami tiap hari menghirupnya, jadi pemerintah harus segera merelokasi kami,” kata Kuswanto.

    Hingga saat ini, pemerintah belum membuat keputusan merelokasi dan memberi ganti rugi kepada warga tiga Desa di Desa Siring barat, Jatirejo Barat, dan Mindi. Padahal kondisi warga di tiga desa ini sangat memprihatinkan akibat bermunculannya semburan gas liar yang disertai mulai retaknya bangunan rumah akibat terjadinya tanah ambles.

    ROHMAN TAUFIQ | Koran Tempo

  • BPLS Sangsikan Temuan Walhi

    SURABAYA — Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyangsikan temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur yang menyatakan adanya kandungan policyclic aromatic hydrocarbon (PAH) dalam lumpur Lapindo.

    “Kalau benar ada PAH, kenapa baru sekarang dirilis? Padahal ratusan peneliti sejak dua tahun lalu tidak ada yang mengungkapkan adanya PAH,” kata juru bicara BPLS, Ahmad Zulkarnain, kemarin.

    Dalam penelitian yang dilakukan Walhi selama kurang-lebih dua tahun sejak November 2006 dan baru selesai pada pertengahan Mei lalu, lembaga ini menemukan adanya kandungan zat berbahaya jika dihirup manusia.

    Menurut Direktur Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara, dalam penelitiannya, Walhi menemukan adanya kandungan PAH dalam lumpur Lapindo hingga 8.000 kali lipat dari ambang batas normal, yakni 0,05 miugram per kilogram. PAH sangat berpotensi menimbulkan berbagai penyakit, di antaranya tumor dan kanker paru serta kanker kulit.

    “Kenapa hanya Walhi yang merilis PAH ini? Padahal banyak peneliti asing yang menyatakan lumpur masih aman,” katanya. Keamanan ini, kata Zulkarnain, bisa dilihat dari adanya tumbuhan yang bisa hidup di atas lumpur. “Buktinya mangrove bisa hidup, ikan yang dilepas di kolam lumpur juga hidup,” ujarnya.

    Dokter spesialis penyakit paru Slamet Hariadi mengatakan PAH memang berpotensi menyebabkan penyakit batuk dan sesak napas. “Ambang batas aman kandungan PAH di tempat terbuka maksimal hanya 1 mikrogram per meter kubik. Jika lebih dari itu, harus mendapat perhatian,” kata Kepala Bagian Penyakit Paru Rumah Sakit Umum Dr Soetomo ini.

    Menurut Slamet, gas radon yang menyembur dari bumi juga berpotensi menyebabkan penyakit kanker paru. “Ini termasuk jenis gas berbahaya,” ujarnya.

    Meski kadar kandungannya kecil, kata Slamet, gas itu berpotensi muncul di semburan lumpur Lapindo. Sebab, semburan lumpur berasal dari lapisan dalam bumi atau gunung berapi. “Ambang batas untuk radon hanya 4 picocuries per liter,” katanya.

    Jika kandungan kedua gas itu tinggi jauh melebihi ambang batas maksimal, menurut Slamet, masyarakat sekitar semburan rentan mengalami penyakit paru, sesak napas, dan kanker paru. “Orang tua lebih rentan menderita penyakit itu, apalagi jika setiap hari menghirup dua gas itu,” katanya.

    Pada 2007, Slamet sempat melakukan penelitian kandungan gas di sekitar semburan lumpur Lapindo, tapi baru menemukan kandungan H2S dengan kadar 110 miligram per meter kubik dan gas klor (Cl) dengan kadar 20 miligram per meter kubik. Padahal ambang batas kedua gas ini hanya 15 miligram per meter kubik untuk H2S dan 1,45 miligram per meter kubik untuk Cl. “Kandungan kedua gas cukup tinggi dan berbahaya untuk kesehatan,” katanya.

    Menurut Slamet, saat itu dia tidak meneliti kandungan PAH lantaran tidak mempunyai alat yang memadai. “Sedangkan untuk mengukur radon, baru empat laboratorium di dunia yang bisa melakukan. Di Indonesia belum ada,” katanya.

    YEKTHI HM | Koran Tempo