Author: Redaksi Kanal

  • WALHI Minta Jokowi-JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    WALHI Minta Jokowi-JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    WALHI Minta Jokowi JK Tuntaskan Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo

    RANAHBERITA- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta pemerintahan baru yang dipimpin Presiden terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla menuntaskan kasus lumpur lapindo di Jawa Timur secara lebih komprehensif.

    “Jangan hanya dipandang sebagai kewajiban mengganti lahan yang tertimbun lumpur, lebih kompleks dari itu, sehingga perlu penuntasan menyeluruh,” kata Direktur Walhi Jawa Timur Ony Mahardika di Jakarta, Jumat (3/10/2014).

    Ia mengatakan penyelesaian persoalan yang dihadapi korban Lapindo harus tetap berpedoman pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

    Dalam hal ini, korban lumpur Lapindo adalah pengungsi internal yang membutuhkan jaminan atas terselenggaranya kebutuhan sesuai dengan kondisi mereka.

    Jaminan tersebut antara lain hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, kebebasan memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing, kebebasan bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah Indonesia dan lainnya.

    “Kami merekomendasikan pemerintahan yang baru untuk secara komprehensif, memperhatikan usaha pemulihan hak-hak korban Lapindo,” ujarnya.

    Upaya pertama yang paling mendesak adalah mengambil alih sisa pembayaran kepada korban, kemudian ditagihkan kembali kepada Lapindo.

    Proses pemenuhan ganti rugi tersebut menurutnya bukan sekedar membayar berkas-berkas surat tanah warga, namun perlu pemetaan kelompok-kelompok korban Lapindo.

    Artinya korban-korban yang ada dalam skema “cash and carry” dengan cicilan, “cash and resettlement”, yang menolak cicilan maupun yang menuntut skema lain selain jual beli harus segera dituntaskan demi keadilan bagi semua korban Lapindo.

    Selain ganti rugi, pemulihan lingkungan dan jaminan kesehatan juga harus direalisasikan sebab usaha menutup semburan lumpur bukanlah prioritas dalam mitigasi bencana lumpur Lapindo tapi pengendalian luapan lumpur di permukaan.

    Pembuangan lumpur melalui kali atau kalan porong dan juga saluran air lainnya membuat pencemaran sistem air bawah tanah di sekitar semburan sampai Selat Madura akan terus meningkat.

    Jaminan pendidikan menurut Ony juga harus diperhatikan sebab sekitar 63 institusi pendidikan yang tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo, belum satupun yang ditangani pemerintah.

    Berikutnya pemulihan sosial dan budaya warga korban lumpur Lapindo terkait pemindahan paksa korban dari kampung halaman mereka yang terendam lumpur ke hunian baru.

    “Masalah ini kerap luput dari perhatian publik dan media massa. Melekatkan diri ke lingkungan baru, apalagi dilakukan dengan paksaan akan menambah beban bagi pemulihan krisis sosial, ekonomi, psikologis,” katanya menjelaskan.

    Termasuk pemulihan ekonomi juga mendesak dilakukan sebab sebanyak 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja terpaksa tutup karena bencana lumpur Lapindo.

    Tidak kalah penting menurut Ony adalah administrasi kependudukan. Sebab tidak adanya daftar pemilih tetap saat Pemilu 2014 bagi korban Lapindo menjadi salah satu masalah yang memperlambat pemenuhan hak-hak korban Lapindo. (Ant/Ed1)

    Sumber: http://ranahberita.com/30885/walhi-minta-jokowi-jk-tuntaskan-penyelesaian-kasus-lumpur-lapindo

  • Istri Mantan Wapres Tri Sutrisno Kunjungi Lumpur Lapindo

    SURYA Online, SIDOARJO –  Luapan lumpur Porong yang telah berlangsung delapan tahun membuat beberapa pihak terperangah. Yayasan Krida Nusantara yang dipimpin mantan istri Wakil Presiden (Wapres) Tri Sutrisno, Ny Tuty Sutiawaty, melihat dari dekat lumpur panas itu.

    Rombongan Ny Tri Sutrisno datang menumpang satu bus dan mobil pribadi. Dalam kunjungan itu, istri mantan Waprea era Soeharto itu didampingi Ir Raharjo Megeng selaku Wakil Yayasan Krida Nusantara dan NyHandoko selaku Sekertaris Yayasan.

    Kedatangan mereka pun langsung disambut para korban lumpur yang biasa berjualan kaset CD tentang tragedi lumpur Lapindo dan beberapa warga yang biasanya menjadi guide di kolam lumpur. Rombongan Ny Tri Sutrisno  sempat naik ke tanggul titik 21.

    Dari atas tanggul tersebut, istri mantan Wapres itu sempat berbincang-bincang dengan warga korban lumpur. Saat itu juga warga korban lumpur menjelaskan bahwa mereka dulu tinggal di sini (Desa Siring, Red) sekarang yang ada hanya hamparan lumpur.

    “Dulu kita tinggal di sini Bu “ ujar Ulfa seorang warga korban lumpur dengan menunjuk ke arah lumpur.

    Ulfa menceritakan bahwa hingga kini belum mendapat pelunasan ganti rugi. “Oleh karena itu saya bekerja sebagai tukang ojek dan penjual CD cerita Tragedi Lumpur Lapindo yang sudah 8 tahun,” ungkapnya.

    Mendengar cerita Ulfa, Ny Tri Sutrisno berpesan kepada korban lumpur harap bersabar dan selalu berdoa.

    “Kerja apapun tidak masalah yang penting halal. Jangan putus asa, pasti ada saja rezeki itu, “ ucapnya.

    Usai berbincang-bincang dengan korban lumpur, Ny Tri Sutrisno beserta rombongan meninggalkan lokasi tanggul dan sempat membeli beberapa CD dokumentasi yang dijual warga.

    Anas Miftakhudin

    Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2014/10/10/istri-mantan-wapres-tri-sutrisno-kunjungi-lumpur-lapindo

  • Dan Kau Dekatkan Kematian yang Belum Ditakdirkan Tuhan

    Mutiara Andalas, SJ 

    Membaca kisah-kisah mengenai tragedi lumpur, saya menemukan narasi dominan dengan pengisah korporasi Lapindo. Sumber kisahnya bencana alam lumpur panas di Sidoarjo. Untuk memberi bobot pada kisahnya, korporasi Lapindo meminjam tutur akademisi, bahkan ilmuwan geologi untuk menjelaskan sebab tragedi. Pengeboran gas korporasi Lapindo bukan penyebab tragedi lumpur panas di Sidoarjo. Pengisah menjauhkan tragedi ini dari korporasi Lapindo. Ia mengoreksi kabar miring di tengah masyarakat bahwa kecerobohan korporasi Lapindo dalam mengebor gas alam menyebabkan tragedi lumpur panas. Kalaupun terdapat hubungan antara korporasi Lapindo dan tragedi lumpur panas, menurut pengisah, pemilik korporasi Lapindo tergerak hatinya kepada korban lumpur dengan membeli lahan mati mereka setelah tragedi. Dengan menampilkan pemilik korporasi sebagai sosok yang peduli dengan korban bencana alam lumpur panas, pengisah mendorong pendengar untuk melihat keserupaannya dengan sosok historis raja Airlangga. Membangun kembali kerajaan dari puing-puing reruntuhan, Airlangga menghadirkan ‘kahuripan nirwana’ di bumi Sidoarjo. Jauh dari berlebihan, menurut pengisah, khalayak publik memandang pemilik korporasi Lapindo yang menghadirkan kehidupan surgawi di bumi Sidoarjo pasca tragedi lumpur panas sebagai Airlangga baru.

    Di tengah dominannya narasi tragedi versi korporasi Lapindo, manusia lumpur mencari ruang bicara dan menciptakan ruang perlawanan. Anak-anak manusia lumpur menyeruak sebagai subyek baru yang mengisahkan tragedi. Mereka sejatinya telah bersuara, tetapi kita mengabaikan ratapan mereka sebelumnya. Ketika korporasi Lapindo membela diri dengan suara parau sebagai bersih dalam tragedi lumpur panas, anak-anak manusia lumpur memperlihatkan tangan Lapindo yang berlumur kejahatan. Meskipun penguasaan bahasa mereka masih terbatas, mereka artikulatif mengisahkan tragedi lumpur Lapindo. Tanpa ketakutan, apalagi keraguan, telunjuk dakwaan mereka mengarah pada korporasi Lapindo sebagai pengrusak kehidupan mereka. Bahkan, Daniati dalam puisi Lapindo, memandang Lapindo berperilaku seolah-olah dirinya Tuhan yang menggariskan takdir kehidupan, termasuk merenggut kehidupan mereka secara dini.

    Dan kau dekatkan kematian
    Yang belum ditakdirkan Tuhan
    Wahai semburan Lumpur Lapindo
    Mengapa kau telah tiba
    Dan muncul di kehidupan kami
    Kau telah merusak kebahagiaan kami

    Materi utama pengisahan tragedi perspektif manusia lumpur adalah kumpulan puisi anak-anak berjudul Lumpur Masih Menggila Dengarkan Anak-anak Bercerita! (2012). Tanpa mengabaikan kajian sastra yang lebih sistematik untuk membedah puisi-puisi mereka, saya memilih menerapkan pendekatan afektif, yaitu membaca puisi-puisi itu secara empatik dan memperhatikan bagian-bagian dari puisi yang menyentuh hati. Kisah-kisah mereka potensial menghantar khalayak pembaca pada kisah yang mendalam mengenai tragedi lumpur panas Lapindo. Mereka mengisahkan putusnya hubungan warga dengan kampung halaman dan antarwarga. Berhadapan dengan korporasi Lapindo yang secara sistematik menenggelamkan kisah tragedi perspektif manusia lumpur dan cuci tangan dari tanggung jawab terhadap mereka, puisi anak-anak lumpur Lapindo memiliki kandungan subversif, lebih lanjut liberatif. Puisi-puisi mereka merupakan perlawanan terbuka terhadap narasi Korporasi yang memungkiri kebenaran. Puisi-puisinya memiliki nada kemendesakan dan tuntutan kepada korporasi Lapindo untuk segera ambil tanggung jawabnya. Menjelang Pilpres 2014 yang sudah di pelupuk mata, narasi anak-anak lumpur Lapindo dapat mencelikkan penglihatan publik akan paras sesungguhnya dari seorang kandidat presiden yang mangkir dari tanggung jawab terhadap korban lumpur Lapindo.

    Berteologi dari Lumpur

    Rumah menjadi awalan bagi anak-anak untuk mengisahkan tragedi lumpur Lapindo. Ia bukan sekedar ruang meneduhkan badan. Karena memberikan keberakaran, kehilangan rumah bagi anak-anak manusia lumpur berarti dicerabut paksa keberakaran mereka. Menyimbolkan kebahagiaan, bahkan kahuripan nirwana meminjam kosakata pujangga pada era Airlangga, kehilangan rumah berarti meraibkan secara paksa kebahagiaan mereka. Halaman terhubung dekat sekali dengan rumah adalah halaman. Beragam tanaman dan satwa piaraan hidup terkait dengan pemeliharanya. Melampaui sebagai ruang bermain, anak-anak menjadikan halaman sebagai ruang kehidupan sebagaimana rumah. Mereka juga melihat halaman sebagai ruang kehidupan bagi beragam tanaman dan satwa piaraan. Di halaman semua ciptaan Allah hidup bersama secara harmonis sebagai komunitas ciptaan. Bahkan, ciptaan manusia mengakui ketergantungannya pada ciptaan-ciptaan lain. Penulis kitab Kejadian melukiskan harmoni antarciptaan itu sebagai Firdaus. Dalam puisi Lumpur Lapindo, Nurul Huda memandang halaman rumahnya sebagai surga.

    Rumah yang dulu indah yang kini tenggelam
    Sekolah, masjid, balai desa juga rata
    Jalan pun tak lagi bisa digunakan
    Halamanku yang dulu bagai surga
    Kini telah menjadi lautan yang tak bernafas

    Semburan lumpur Lapindo menenggelamkan rumah orang tua anak-anak disekitar lokasi pengeboran gas. Halaman rumah yang anak-anak seringkali memakainya untuk ruang menjalin persahabatan juga tenggelam. Anak-anak melihat perubahan air yang semula jernih menjadi keruh. Mereka mengenang kembali saat-saat mandi dengan air segar sebelum semburan lumpur Lapindo mengeruhkan, bahkan mencemarkan air di rumah. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan dasar akan minum, keluarga-keluar sekarang harus membeli air bersih. Semburan lumpur Lapindo juga merenggut kehidupan tanaman dan satwa di sekitar rumah mereka. Selain kehilangan fasilitas ruang belajar, tenggelamnya sekolah memisahkan ikatan persahabatan antaranak. Kumpulan puisi anak-anak itu menyingkap dampak lanjutan kerugian fisik, yaitu beban psikis manusia lumpur. Hubungan beberapa orang tua merenggang akibat beban berat pascatragedi. Menganggur, apalagi dalam periode yang relatif lama, karena kehilangan sawah, tambak atau penghentian hubungan kerja, dekat dengan kematian dini. Penyangga hidup bersama juga porak-poranda pascatragedi. Anak-anak hidup sekali melukiskan kerusakan fatal akibat tragedi. “Kedatangan lumpur panas Lapindo,” tutur Mauliah Rizka dalam puisi Sebuah Lautan Lumpur yang Penuh dengan Derita,” membawa kematian.” Penderitaan mereka bahkan sudah menyentuh batas saat kata-kata “duka”, “susah”, “hampa” dan “bencana” terlalu miskin untuk mengaksarakannya.

    Semburan lumpur panas menenggelamkan ruang-ruang kehidupan warga. Dari rumah, halaman, sawah, sekolah, dan desa yang tenggelam, anak-anak manusia lumpur menelisik sebab semburannya. Alih-alih menyembur secara alami, sesuatu, lebih tepatnya sebuah korporasi menyebabkannya menyembur dari perut bumi. Mereka kemudian mengeja hubungan antara semburan lumpur dan korporasi Lapindo yang mengebor gas alam di lokasi semburan. “Kini semua telah hilang,” tutur M. Yusuf Afreza dalam puisi Lumpur Lapindo, “Yang nampak hanya dirimu, lautan lumpur Lapindo.” Dalam perbendhaharaan kosa kata anak-anak, semburan lumpur panas terjadi akibat ulah ‘nakal’ korporasi Lapindo, bahkan sosok Bakrie. Mereka kemudian menamai semburan itu sebagai lumpur Bakrie. Sebagaimana tuturan Putri Dwi Novita,

    Enam tahun yang lalu saya masih kelas O kecil. Ada lumpur Bakrie yang nakal saya tahu itu. Karena dia sudah merusak pernafasanku. Terus dia sudah merusak jalan raya. Sekarang saya sudah tidak punya teman lagi. Semua pindah entah dimana. Harapan saya adalah lumpur Bakrie nakal harus pergi sejauh-jauhnya.

    Kenakalan Bakrie mendapatkan penilaian moral dalam beberapa puisi anak-anak manusia lumpur. Mereka menanyakan hati nurani Bakrie dengan mangkirnya dari tanggung jawab terhadap warga korban. Puisi-puisi lain melintasi ranah moral dan memasuki teologi. Ketika mengambil rujukan dari perikop Kitab Suci untuk memaknai penderitaan mereka, alih-alih jelas, kabur. Ketika menemukan rumusan-rumusan teologis dalam puisi mereka yang menimbulkan kerancuan kepada kita, saya mengundang pembaca untuk kembali pada pengalaman manusiawi mereka. Cara sederhana ini membantu kita melacak pengalaman manusiawi yang kemudian mengkristal menjadi rumusan teologis mengenai tragedi lumpur Lapindo. Manusia lumpur kemungkinan besar menggunakan pengetahuan, sekurang-kurangnya kenangan atas perikop Kitab Suci yang pernah mereka dengar. Barangkali anak-anak manusia lumpur mengalami keterbatasan perbendhaharaan kata-kata dari Kitab Suci untuk mengisahkan penderitaannya. Meskipun pilihan kosa kata mereka barangkali masih jauh dari tepat, tetapi kita hendaknya mengurungkan hasrat untuk mengeja arah kata-kata mereka. Dalam puisi Lumpur Lapindo, Yolanda Olivia meraba-raba makna atas tragedi dengan kata-kata berikut. Mengerucut pertanyaan teologis yang menjadi hati tulisan.

    Aku pun sejenak berpikir
    Apa yang dicari bencana ini?
    Apakah ini sebuah karma?
    Atau sebuah bencana yang maha dahsyat?

    Berlawanan tujuan penggunaan kata bagi manusia lumpur dalam perbandingan dengan penyalahgunaannya oleh korporasi Lapindo. “Kini kenangan berubah menjadi air mata,” tutur Rochiza Arddiansyah dalam puisi Tatapku, “Seuntaian kata menjadi janji-janji manis.” Selain narasi versi korporasi Lapindo, kita menyadari beredarnya semacam teologi penderitaan diantara manusia lumpur. Singkatnya, teologi ini menempatkan manusia sebagai pendosa dan memahami tragedi yang dialaminya sebagai azab illahi. Korporasi dapat menyalahgunakan teologi semacam ini untuk menutupi kejahatan, lebih lanjut membersihkan tangan kotornya. Atau, ia meminjam tangan para pemuka agama yang nota bene dekat dengan manusia lumpur untuk mengkampanyekan teologi ini. Pemuka agama menjejalkan nasehat saleh kepada mereka untuk memaknai tragedi sebagai cobaan Tuhan. Ia bungkam terhadap kejahatan korporasi Lapindo sebagai dosa berat di ruang ekonomi. Entah dengan melemparkan tanggung jawab atas tragedi kepada Tuhan atau kepada manusia lumpur, korporasi Lapindo hendak melepaskan diri dari dakwaan baik hukum maupun agama. Melawan teologi penderitaan di atas, abjad demi abjad manusia lumpur mengeja sebuah teologi penderitaan alternatif dari air matanya. “Disana orang tak berdosa atas ulahmu,” tutur Rochiza Arddiansyah lebih lanjut, “menjadi korban lumpur Lapindo.” Tragedi lumpur Lapindo merupakah ulah manusia, bukan bencana alam, apalagi malapetaka dari Tuhan. Mereka memohon Tuhan keadilan karunia untuk melalui saat-saat sulit kehidupan sebagai manusia lumpur yang seringkali sudah di ambang daya tahan mereka.
    Manusia lumpur mengajukan pertanyaan teologi bukan dalam waktu senggang, melainkan dalam waktu genting. Mereka mengajukan pertanyaan kepada Tuhan dari tengah-tengah darurat kemanusiaan, bahkan sebagai umat beriman. Pertanyaan mereka mengandung kegentingan dan kemendesakan. Rentetan penderitaan yang nampak tanpa akhir menciptakan krisis kemanusiaan, bahkan iman. Namun, kita jangan tergesa-gesa menarik simpulan bahwa mereka orang-orang yang telah kehilangan harapan, lebih lanjut iman kepada Tuhan. Sebaliknya, mereka mengajukan pertanyaan sebagai pribadi-pribadi beriman. Pertanyaan, bahkan gugatan kepada Tuhan jauh dari berlawanan dengan sikap berserah mereka kepada-Nya. Kita belajar merengkuh baik berserah dan menggugat sebagai ragam bahasa yang manusia lumpur belajar memberdayakannya untuk komunikasi dengan Tuhan. Bahasa-bahasa demikian juga menemukan ruang bernafas dalam puisi anak-anak manusia lumpu. Puisi-puisi itu mengandung perlawanan terhadap pribadi, korporasi atau rezim yang menggagahi martabat suci mereka manusia dan ciptaan Alllah. Sebagaimana Salma Nabila melaraskannya secara liris dalam puisi Kesedihan di Desaku,

    Ya Allah
    Apakah semua ini akan terus begini?

    Ya Allah bantulah kami
    Agar dapat melewati semua ini.

    Saya melihat kebutuhan untuk membicarakan bahasa ratapan, bahkan gugatan dalam puisi anak-anak manusia lumpur. Bahasa-bahasa ini perlu garis bawah di tengah godaan besar manusia lumpur mengarahkan telunjuk kesalah pada diri sendiri. Ketika penderitaan akibat tragedi seolah tanpa akhir dan tanpa kemungkinan jalan keluar, mereka dapat meragu mengenai penyebab tragedi semburan lumpur. Godaan membersit untuk menudingkan telunjuk kedosaan pada diri sendiri. Jangan kita menyepelekan godaan dalam diri manusia lumpur untuk menyalahkan diri dalam tragedi ini. Karena memandangnya sebagai kemustahilan bahkan untuk mengajukan pertanyaan kepada Tuhan, sebagian dari mereka mungkin sekali mendakwa diri. Logikanya, Tuhan memberikan cobaan dalam bentuk semburan lumpur Lapindo karena mereka bersalah kepada-Nya entah menyadarinya atau tidak. Korporasi Lapindo kemudian bebas dari dakwaan. Di tengah godaan untuk melarikan diri dari persoalan yang membelitnya entah kepada Tuhan atau diri sendiri, gugatan anak-anak manusia lumpur memiliki arti penting. Alamat gugatan yang awalnya Tuhan akhirnya sampai pada subyek alamat yang seharusnya, yaitu korporasi Lapindo. Puisi Lumpur Lapindo karya Giri Pratama melukiskan indah sekali pergumulan manusia lumpur melepaskan diri dari perangkap menyalahkan diri dalam tragedi.

    Ya Tuhan
    Mengapa engkau berikan cobaan ini kepada kami
    Apa salah kami Tuhan?
    Sehingga lumpur Lapindo menenggelamkan desa kami

    Tragedi lumpur Lapindo menyadarkan kita akan keterbatasan, bahkan bahaya menerapkan sebuah teologi penderitaan yang lahir pada sebuah konteks tertentu pada konteks lain. Teologi ini seringkali menyederhanakan kompleksitas persoalan dengan mengalamatkannya entah sebagai kesalahan manusia atau cobaan Tuhan. Pemeluk teologi penderitaan ini abai dengan anak-anak manusia lumpur sebagai subyek yang berteologi atas penderitaan mereka. Padahal, sebagaimana saya memperlihatkannya kepada khalayak pembaca dalam tulisan ini, anak-anak manusia lumpur menemukan korporasi Lapindo sebagai pelaku tragedi. Tragedi lumpur panas Lapindo mengundang saya untuk mengeja teologi penderitaan manusia lumpur berangkat dari konteks setempat. Dalam membangun teologi penderitaan alternatif, saya menyertakan suara anak-anak manusia lumpur. Mustahil saya menyusun sebuah teologi penderitaan tanpa berpijak pada sebuah konteks tertentu. Kalau mengabaikan konteks setempat, bahayanya teologi penderitaan tersebut terlibat dalam menyembunyikan identitas pelaku tragedi. Sebaliknya, teologi penderitaan yang saya mengejanya dari puisi anak-anak membongkar penyamaran pelaku. Sebagaimana puisi Lumpur Lapindo yang Kejam karya Zulfika Rohmah,

    Pada tanggal 29 Mei 2006
    Datanglah lumpur Lapindo yang kejam
    Pada hari itu dimulailah penderitaan
    Dan aku sangat sedih

    Lumpur Lapindo ulah manusia
    Namanya Pak Bakrie

    Selain menggugat hati nurani pemilik korporasi Lapindo, anak-anak manusia lumpur dalam puisi-puisinya mengalamatkan keserakahan pada korporasi tersebut. Pengeboran gas alam, sebagaimana mata pencaharian-mata pencaharian lain, jauh dari serta merta karakternya negatif. Korporasi Lapindo menyamarkan peruntukan pengeboran gas dengan peternakan unggas ketika mencari izin usaha. Cara korporasi Lapindo mengebor gas alam yang sangat ceroboh menyebabkan semburan lumpur panas yang merenggut kehidupan warga dan alam di sekitarnya. Logika mengeruk keuntungan ekonomis menghalalkan pelanggaran standar keselamatan kerja terutama bagi masyarakat dan lingkungan sekitar lokasi. Selain korban manusia, semburan lumpur Lapindo juga merenggut kehidupan flora dan fauna, dan menanduskan lahan yang sebelumnya produktif untuk pertanian dan perikanan. Anak-anak manusia lumpur menggunakan metafor babi untuk berbicara mengenai karakter pemilik korporasi Lapindo. Aburizal Bakrie, di mata mereka, identik dengan babi yang kotor, ceroboh dan serakah. Bahkan, dalam agama Islam, hewan ini termasuk kategori najis. Melawankan kenajisan dengan kekudusan, Yesus bersabda,”Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu” (Matius 7, 6). Puisi anak-anak manusia lumpur mendorong komunitas agama untuk memaknai keserakahan sebagai kenajisan, bahkan dosa kontemporer dalam ranah ekonomi.

    Permohonan anak-anak manusia lumpur kepada Tuhan untuk berkenan menghentikan semburan lumpur Lapindo merupakan kritik tajam terhadap korporasi Lapindo. Tanpa maksud berprasangka buruk terhadap korporasi Lapindo, hingga tujuh tahun pascatragedi korporasi Lapindo masih jauh dari itikad baik untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Manusia lumpur lebih dari sabar menunggu korporasi Lapindo memenuhi tanggungjawabnya. Alih-alih menyelesaikannya, pemilik korporasi mangkir. Pemerintah ompong ketika harus menjalankan fungsinya menagih tanggung jawab pemilik korporasi Lapindo di ruang hukum. Peninggian tanggul pembatas di sekitar lokasi semburan lumpur memiliki arti simbolis. Pemerintah hanya menghambat semburan lumpur dari menyebar ke lokasi-lokasi lain, tetapi kehilangan kuasa menekan korporasi Lapindo untuk menangani sumber semburan lumpur. Korporasi Lapindo dan pemerintah mengabaikan penderitaan manusia lumpur. sebagaimana Ach. Syahrul dalam puisi Lumpur Lapindo, harapan manusia lumpur tinggal pada satu sosok. Kehilangan kepercayaan pada korporasi Lapindo, manusia lumpur mengimani Tuhan yang berkuasa menghentikan semburan lumpur.

    Lapindo

    Karena kau
    Desa itu terendam lumpur

    Lapindo

    Karena kau warga menjadi kesusahan

    Kata ganti ‘dia’ yang menunjuk pada semburan lumpur panas berubah menjadi ‘kau’ dalam puisi Lapindo karya Imroh Atus. Perubahan kata ganti ini menyingkapkan pengenalan lebih lanjut manusia lumpur terhadap sosok pelaku tragedi. Sketsa paras pelaku semakin jelas arsirannya. Mustahil orang menerka lukisan sosok itu dengan yang lain. Pengucapan kata ‘kau’ mendapatkan penekanan dalam puisi-puisi mereka karena mengarah pada pelaku tragedi. Jika dalam puisi Lumpur Lapindo Nur Af’idatul dan Algita Puspita memberikan tekanan pada ‘lumpur’ sebagai sumber tragedi, dengan judul puisi sama, Dwi Mahdiana dan Anna Mardiyana menyebut ‘Lapindo’ sebagai pelaku tragedi. Jika sebutan Lapindo masih menunjuk pada korporasi, dalam puisi Hancurlah Kotaku, Tyas Setyaning mengarahkan telunjuk pada pemilik korporasi tersebut. Dengan menyebut nama ‘Bakrie’, manusia lumpur membongkar penyamaran pelaku tragedi, yang bahkan sampai menggiring masyarakat untuk menyetarakannya dengan sosok historis masa lalu bernama raja Airlangga yang menghadirkan kahuripan nirwana selama pemerintahannya.

    Ratapan Sekaligus Perlawanan

    Setelah mengeja teologi ekofeminis pembebasan dari Porong, saya menyampaikan beberapa catatan pinggir untuk memperkaya lukisan tentangnya. Teologi secara tradisional merupakan ilmu iman (intellectus fidei). Kajian kritis teolog akan pewahyuan Tuhan menggunakan metode yang terukur keterpelajarannya. Definisi ini, menurut teolog pembebasan Jon Sobrino, rentan menjerumuskannya pada syahwat sterilitas. Teolog menyaring Tuhan dalam konsep-konsep yang tersedia dan melucuti kuasa sabda-Nya dari potensi liberatifnya. Jauh dari maksud mengebawahkan teologi sebagai kajian akademik, teolog perlu beraskese secara akademik. Karena obsesi akademik terhadap Tuhan sebagai obyek teologi tradisional, penglihatannya seringkali kabur terhadap Tuhan yang berkenan dalam ciptaan manusia dan ciptaan-ciptaan ekologis lain pada zaman ini. Kajian akademiknya tanpa daya (a feeling of professional impotence) dihadapan persoalan rakyat yang disalib rezim kekerasan pada masa kini (Sobrino, Jesus the Liberator, 1-6).

    Dalam konteks tragedi lumpur Lapindo, teolog sekedar ahli retorika akademik ketika tutup mata terhadap keserakahan korporasi Lapindo yang mengakibatkan penderitaan, bahkan merenggut kehidupan manusia lumpur. Ia memuaskan diri setelah menemukan sosok Tuhan keadilan dalam warta Kitab Suci, tetapi gagal melihat paras kontrasnya dalam sosok pemilik korporasi Lapindo yang mengeruk keuntungan ekonomi, bahkan jika resikonya mengancam kehidupan warga disekitar lokasi pengeboran. Paling jauh teolog macam ini menyodorkan sebuah teologi penderitaan yang entah mendakwa secara gegabah manusia lumpur sebagai kaum pendosa atau sok tahu terhadap tragedi semburan lumpur panas sebagai cobaan Tuhan. Hatinya menuli terhadap ratapan manusia lumpur yang korporasi Lapindo menyalib paksa kehidupan mereka di Porong, Golgotha zaman ini. Sebaliknya, teolog ekofeminis pembebasan dari Porong ini berikhtiar untuk mengisahkan Tuhan, meminjam kosakata Jon Sobrino, “dari tengah-tengah lokasi penyaliban dan memiliki harapan akan pembebasan.”

    Anak-anak manusia lumpur melaras puisi secara liris dari reruntuhan lokasi-lokasi kehidupan yang dekat dengan hati mereka. Menarik mengkaji pilihan mereka menggunakan bahasa puisi untuk mengisahkan penderitaan dan perlawanannya terhadap korporasi Lapindo. Untuk menilai puisi-puisi mereka, kriteria utamanya bukan membedah sisi luar puisi (politics of canonicity), melainkan sisi dalamnya sebagai anthem of resistance. Bahasa puisi memiliki kuasa untuk mengisahkan kehidupan mereka, bahkan juga hubungan mereka dengan Tuhan. Barangkali puisi sepintas mengisahkan secara kurang mendetail kisah-kisah mereka, tetapi menyampaikan bagian-bagian menonjolnya. Bagian-bagian lain kita perlu membacanya diantara spasi-spasi puisi. Selain membaca abjad-abjad tersurat, lebih banyak kisah mereka tersirat dalam puisi-puisi itu. Teologi manusia lumpur tersimpan dalam ratapan yang seringkali nirkata. Kesadaran ini menghantar saya pada gagasan Kwok Pui-Lan mengenai lokasi teologi perempuan Dunia Ketiga. Menurutnya, sebagian besar teologi perempuan Dunia Ketiga masih belum tersimpan dalam bentuk tulisan. Sebagian besar bersemayam dalam hidup kaum perempuan. Selain memperhatikan dokumen tertulis, kita perlu menyendengkan telinga untuk mendengarkan penuturan mereka.

    Puisi-puisi anak-anak lumpur Lapindo mengandung kekayaan teologis. Bahkan, dalam kisah-kisah yang sangat manusiawi, mereka alamiah sekali menyertakan Tuhan sebagai Subyek kisah. Jauh dari berlebihan saya menghormati mereka sebagai teolog alamiah (natural theologian). Saya melihatnya sebagai sebuah jembatan titian untuk berbicara lebih lanjut menempatkan dalam dialog antara para teolog alamiah dan mereka yang menekuni ilmu teologi di bangku akademik (academic theologian). Teologi jangan melepaskan diri dari persoalan-persoalan kemanusiaan dan ekologi. Dalam tragedi lumpur Lapindo, tragedi kemanusiaan dan ciptaan-ciptaan lain mengajukan pertanyaan teologis. Anak-anak manusia lumpur memperhatikan baik ciptaan manusia maupun ciptaan-ciptaan yang mengalami penderitaan, bahkan kematian dini dalam tragedi Lapindo. Dari perspektif teolog akademik yang mendalami ekoteologi, tragedi lumpur Lapindo itu kisah antipenciptaan. Dwi Rizki dalam puisi Lapindo dengan menyentuh sekali melukis kisah antipenciptaan metafor perubahan warna daun.

    Keindahan alam yang hijau
    Kini berubah menjadi kuning mengering
    Sawah yang luas membentang
    Kini berubah menjadi lautan

    Pembebasan bukan kata yang tersurat besar, tebal, miring, atau bergaris bawah dalam puisi anak-anak manusia lumpur. Bahkan, dalam penglihatan telanjang, kata ini nihil dalam puisi-puisi mereka. Namun, saat membaca baris-baris puisi mereka, kata ‘pembebasan’ terasa sekali. Pembebasan sebagai lawan kata dari ‘PT Lapindo Brantas’ dalam puisi-puisi mereka. Kita dapat juga menemukan di dalamnya padanan kata dari pembebasan. Selain dalam lawan dan padanan kata, kisah-kisah mereka dalam puisi menunjuk pada pembebasan. Ketika merindukan situasi sebelum tragedi, anak-anak manusia lumpur sejatinya berkisah tentang pembebasan. Sebagaimana puisi Sekolahku karya Fira,

    Mana sekolahku yang dulu
    Mana temanku yang dulu
    Mana keceriaan yang dulu
    Yang selalu membuat hatiku senang
    Kini engkau tiada lagi
    Terkubur dalam luapan lumpur

    Di Porong teolog alamiah dan akademik berjumpa dan berdialog satu sama lain. Saya, yang meniti karir dalam teologi akademik, berguru kepada anak-anak manusia lumpur, para teolog alamiah. Mereka guru teologi saya dalam mengeja sebuah teologi ekofeminis pembebasan dari lokasi tragedi lumpur Lapindo. Selain pada ciptaan manusia, dampak tragedi lumpur Lapindo yang merenggut kehidupan ciptaan-ciptaan ekologis lain. Jika sebelum tragedi mereka berteologi dari “rumah tempatku berlindung” atau “rumah Allah tempatku memohon” sebagaimana tutur Winda Ayu Tri dalam puisi Lumpur Panas Lapindo, setelah tragedi lumpur Lapindo, mereka berteologi dari lokasi-lokasi semburan lumpur yang telah meluluhlantakkan lokasi-lokasi kehidupan itu. Memandang tragedi ini secara teologis sebagai kisah antipenciptaan, mereka menghantar saya untuk sampai korporasi Lapindo sebagai monster yang mengacau tata hidup bersama ciptaan di lokasi tragedi. Keserakahan pemilik korporasi ini dalam mengeruk kekayaan alam mengubah Porong yang semula Firdaus bagi para warganya. Setara pentingnya menyebut Tuhan sebagai harapan terakhir hidup manusia lumpur dan menyebut korporasi Lapindo sebagai illah antipenciptaan kontemporer dalam ranah ekonomi yang menghancurkan kehidupan mereka. Untuk menyamarkan paras serakahnya, ia berlindung di belakang pada sosok historis Airlangga, bahkan kurang ajar sekali dengan menyembunyikan diri di balik punggung Tuhan. Penamaan korporasi Lapindo sebagai illah antipenciptaan ini penting untuk mendaku kesucian manusia lumpur dari dakwaan keberdosaan sehingga Allah mencobai, bahkan menghukumnya. Teologi penderitaan yang anak-anak manusia lumpur mengejanya dari lokasi tragedi menamai secara lain, bahkan lebih artikulatif, pengabjadan teologi ekofeminis pembebasan saya.

    Jurnal Perempuan Edisi 80, “Tubuh Perempuan dalam Ekologi”
    Penulis adalah pengajar di Fakultas Teologi dan Prodi Kajian Bahasa Inggris
    Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
  • Pengusaha Korban Lumpur Dianaktirikan Pemerintah

    SURYA Online, SIDOARJO-Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) yang dianaktirikan pemerintah dalam proses ganti rugi korban lumpur akan menemui Menteri Pekerjaan Umum (PU), Joko Kirmanto yang juga Ketua Dewan Pengarah Badan Pengarah Lumpur Sidoarjo (BPLS ).

    Kelompok yang dipimpin Ritonga itu meminta kepada Joko Kirmanto agar merevisi keputusan pembayaran dengan dana talangan. Karena korban lumpur dari kelompok GPKLL sama sekali tak disentuh oleh pemerintah seperti korban lumpur lainnya. Dalam pengajuan ini, jumlah dana talangan yang disepakati beberapa waktu lalu nilainya Rp 786 miliar untuk korban lumpur. Sedangkan ganti rugi untuk pengusaha korban lumpur nilanya sekitar Rp 514 miliar belum dimasukkan.

    “Kami semua (GPKLL) juga korban lumpur kenapa dalam keputusan tidak disertakan. Makanya kami akan ke Jakarta (menghadap Menteri PU) untuk minta keadilan,” tutur Ritonga, Minggu (5/10/2014).

    Pengusaha dari korban lumpur melalui pengacaranya sudah mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tujuannya besaran dana talangan yang sudah ditetapkan Rp 786 miliar direvisi. Surat itu juga ditembuskan ke Menteri PU dan pihak terkait. “Dana talangan yang akan dibayarkan supaya direvisi dan pengusaha korban lumpur juga dimasukkan,” terangnya.

    GPKLL nekad menempuh jalur ini karena saat perundingan tidak diperjuangkan Bupati Sidoarjo H Saiful  Ilah saat rapat dengan Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, 24 September lalu. Bupati hanya memasukkan dana talangan bagi korban lumpur dari kalangan masyarakat.

    Pengusaha korban lumpur juga kecewa dengan pernyataan bupati yang seolah-olah tidak menganggap pengusaha yang pabriknya ikut terendam bukan sebagai korban lumpur. Dalam proses ganti rugi waktu itu, pengusaha korban lumpur penyelesaiannya secara business to business karena tidak masuk dalam Peraturan Pemerintah (Perpres).

    “Ya kami semua jelas kecewa dong. Pengusaha sudah delapan tahun menunggu ganti rugi,” ujar Ritonga.

    Ritonga optimistis tuntutannya bakal direalisasikan oleh pemerintah. Dalam gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu, yang harus diselesaikan ganti ruginya korban dan pengusaha korban lumpur. “Kami (GPKLL) minta  difasilitasi DPRD Sidoarjo untuk bertemu dengan bupati guna menanyakan dana talangan kenapa sampai tidak dimasukkan,” terangnya.

    Bupati Sidoarjo, H Saiful Ilah mengungkapkan, yang mendapat dana talangan dari pemerintah adalah korban lumpur dari kalangan masyarakat. Ganti rugi pengusaha yang tergabung dalam GPKLL menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. Karena sebelumnya, antara pengusaha dan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selaku juru bayar Lapindo sudah ada perjanjian busines to busines terkait pembayaran ganti rugi.

    “Memang waktu pembahasan tidak ada pembahasan ganti rugi pengusaha,” jelasnya.

    Abah Ipul demikian dipanggil mengungkapkan, perjanjian bisnis tersebut sudah diatur sendiri antar pengusaha dengan MLJ. Artinya, pembayaran ganti rugi itu nantinya akan dibicarakan secara berkesinambungan hingga lunas. Jika awalnya tidak ada perjanjian antara pengusaha dengan PT MLJ kemungkinan akan masuk semua dalam ganti rugi oleh pemerintah.

    “Memang pengusaha adalah bagian dari korban lumpur. Tetapi perjanjian antara PT MLJ dengan pengusaha menjadi ganjalan dalam pengambilalihan ganti rugi oleh pemerintah,” terangnya.

    Anas Miftakhudin

    Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2014/10/05/pengusaha-korban-lumpur-dianaktirikan-pemerintah

  • BPLS Siap Bantu Pembayaran Ganti Rugi Korban Lumpur

    suarasurabaya.net – Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengaku siap untuk menyelesaikan pembayaran korban Lumpur Lapindo jika memang sudah ada keputusan yang pasti terkait dengan pembayaran tersebut.

    Dwinanto Humas BPLS mengatakan, bahwa saat ini pihaknya masih menunggu keputusan dari pusat, termasuk juga terkait dengan mekanisme yang akan dilakukan untuk pelunasan pembayaran kepada warga.

    “Intinya kami siap, jika memang keputusan dari pusat terkait dengan pelunasan pembayaran tersebut dilakukan,” ucapnya.

    Menyinggung soal mekanismenya, dia mengatakan, bahwa hal itu bisa dilakukan sambil jalan, yakni dengan merekrut karyawan kontrak untuk membantu kerja BPLS dalam menyelesaikan pembayaran.

    “Semuanya bisa dilakukan asalkan ada payung hukum yang jelas yang bisa digunakan oleh Pemerintah untuk pelunasan kepada korban lumpur Lapindo,” katanya seperti dilansir Antara, Senin (6/10/2014).

    Sampai dengan saat ini, pihaknya masih belum bisa melakukan perbaikan tanggul penahan Lumpur Lapindo karena sempat ada larangan dari warga menyusul belum terselesaikannya pembayaran ganti rugi kepada warga.

    “Dalam pertemuan antara warga dan Bupati Sidoarjo beberapa waktu yang lalu warga mengaku masih belum memperbolehkan kami untuk melakukan aktivitas di tanggul jika pembayaran belum dilakukan,” tuturnya.

    Pihaknya juga masih menunggu hasil rapat lanjutan terkait dengan teknis pembayaran ganti rugi kepada warga korban lumpur yang ada di dalam peta area terdampak.

    “Intinya kami siap untuk melakukan instruksi dari pusat. Bagaimanapun bentuknya kami siap untuk melakukan penyelesaian ganti rugi sesuai yang diinstruksikan dari pusat,” pungkasnya.

    Sedangkan total luas tanah yang tenggelam sampai dengan saat ini sekitar 640 hektare dengan uang penganti yang sudah dikeluarkan PT. Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo Brantas Inc, sekitar Rp 3,9 triliun.(ant/ono/ipg)

    Triono

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2014/141854-BPLS-Siap-Bantu-Pembayaran-Ganti-Rugi-Korban-Lumpur

  • Rekomendasi Penuntasan Permasalahan Lumpur Lapindo kepada Pemerintahan Baru

    Rekomendasi Penuntasan Permasalahan Lumpur Lapindo kepada Pemerintahan Baru

    Pemilu 2014 telah berakhir, pemerintahan baru telah terpilih. Selepas gegap gempita pesta demokrasi ini, ada sebuah pertanyaan yang ikut mengembang menyertainya. Korban Lapindo dan publik Indonesia secara luas sedang menunggu jawaban akankah perubahan pemerintahan membawa hawa segar bagi penyelesaian kasus Lapindo.

    Lebih dari delapan tahun lalu, di sudut Kabupaten Sidoarjo, tepatnya di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin dan Jabon) dan menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 12 desa. Namun, ternyata, tragedi ini bukan hanya cerita hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur saja. Namun juga cerita hancurnya masa depan ratusan ribu masyarakat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, dan bahkan lebih luas dari sekedar tiga kecamatan itu. Pertanyaan besarnya: Apa yang sesungguhnya terjadi dalam kasus semburan lumpur Lapindo ini?

    Apakah Ini Semua Hanya tentang Ganti Rugi Tanah dan Bangunan Saja?

    Permasalahan yang paling rutin direpetisi media massa dan, oleh karena itu, jamak dipahami publik luas yang awam dengan kasus Lapindo adalah perihal penyelesaian ganti-rugi korban Lapindo. Yang kerap luput dari liputan media massa dan perhatian publik adalah fakta bahwa penggantian kerugian yang diderita korban telah direduksi menjadi sebatas “jual-beli” (tanah dan bangunan) antara warga-korban dengan Lapindo atau pemerintah. Penggunaan mekanisme “jual-beli” (tanah dan bangunan) sebagai model “ganti-rugi” bagi para korban justru memunculkan persoalan sosial baru karena pemerintah hanya memperhitungkan kerugian materiil dan mengabaikan hilangnya hak-hak korban yang lain pasca menyemburnya lumpur panas Lapindo.

    Terkait hilangnya hak korban Lapindo, ada begitu banyak kerugian yang harus mereka tanggung selain hilangnya tanah dan bangunan. Di sektor ekonomi dan tenaga kerja, misalnya, terdapat sekitar 31.000 usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Data Badan Pusat Statistik Jatim menyebutkan, di sektor formal, jumlah tenaga kerja turun 166.000 orang akibat kolapsnya beberapa perusahaan akibat terkena dampak luapan lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu, ribuan pekerja di sektor ekonomi in- dan non-formal, seperti: industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain, harus kehilangan pekerjaan mereka. Semua dikarenakan sarana dan prasarana telah hilang, tenggelam, atau telah rusak oleh lumpur. Menurut data Greenomics, pada tahun pertama semburan lumpur Lapindo, perkiraan kerugian ekonomi akibat semburan adalah sekitar Rp 33,2 triliun; sedangkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian langsungnya ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 triliun.

    Pada persoalan kesehatan, penelitian WALHI menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2.000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik (memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh Hydrocarbon mencapai tingkat 8.000-220.000 kali lipat di atas ambang batas.

    Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di dua puskesmas di Porong dan Jabon. Di Puskesmas Jabon, data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong, dari rata-rata 20.000 kasus ISPA pada tahun 2006 melonjak menjadi 50.000 kasus pada tahun 2007.

    Di sektor pendidikan, tercatat setidaknya 63 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat dan hal ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

    Selain itu, kehilangan tanah berdampak juga pada hilangnya keterikatan sosial-budaya antara warga-korban dengan sejarah leluhurnya di desa asal mereka. Dalam masyarakat jawa penghormatan akan leluhur mendapat tempat yang tinggi. Setidaknya setiap tahun mendekati bulan Ramadhan selalu ada ritual tabur bunga dan berdoa di makam leluhur. Namun ketika makam itu tenggelam bersama desa mereka, ritual itu kini hilang. Warga hanya bisa berdoa di tepi tanggul, yang membuat keterikatan mereka tidak sekuat ketika mereka memanjatkan doa di depan nisan. Apakah kita bisa menilai kerugian sosial-budaya dalam satuan mata uang mana pun?

    Dana Talangan: Siapa Membayar Apa?

    Dalam peringatan sewindu semburan lumpur Lapindo, 29 Mei 2014, yang juga bertepatan dengan masa kampanye presiden, Joko Widodo menyempatkan diri mampir ke pinggir tanggul di Porong untuk melakukan kontrak politik dengan korban Lapindo. Hanya saja, solusi yang ditawarkan Jokowi saat itu adalah menawarkan “dana talangan” dari pemerintah untuk melunasi pembayaran ganti-rugi bagi korban “dalam peta”. Artinya, pemerintah akan membayar (memberi talangan) sisa tanggungan yang belum dibayar Lapindo pada korban dan pemerintah akan menagih uang tersebut langsung ke Lapindo. Seperti banyak kritik yang disampaikan sebelumnya, dana talangan bukanlah solusi yang menyeluruh untuk menyelesaikan kasus Lapindo. Selain dana talangan hanyalah solusi bagi salah satu kelompok korban, solusi semacam itu berarti mengabaikan status bencana sebagai “bencana industri”, yang mewajibkan perusahaan (Lapindo Brantas) untuk menanggung segala kerugian yang ditimbulkan dari ulahnya. Apakah parsialitas semacam ini yang akan dipilih oleh pemerintahan Joko Widodo dalam menangani kasus Lapindo?

    Persoalan seberapa banyak korban Lapindo yang belum dituntaskan ganti ruginya tentu adalah hal pertama yang harus dipastikan jika pemerintahan yang baru hendak memakai opsi dana talangan dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Harus diketahui secara pasti pembayaran yang telah dilakukan dan detail kekurangannya. Selayaknya dilakukan audit untuk menjamin tidak terjadinya kekeliruan.

    Problem pertama yang harus dihadapi dari usaha membaca kompleksitas penghitungan berapa banyak korban yang belum diselesaikan ganti ruginya oleh Lapindo adalah soal adanya beragam opsi yang dimunculkan Lapindo untuk menyelesaikan ganti rugi pada korban. Kompleksitas ini sendiri berakar dari ketidaktepatan Lapindo dalam membayarkan sisa 80 persen pada korban, yang seharusnya dibayarkan paling lambat dua tahun setelah pembayaran uang muka 20 persen. Alih-alih berinisiatif membayar kekurangan itu secara tunai sekaligus, Lapindo menawarkan dua alternatif “pembayaran”: Opsi pertama, Lapindo menawarkan “barter” dengan rumah baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV), yang dikelola oleh perusahaan properti yang masih di bawah payung Bakrieland. Mekanisme ganti-rugi yang direduksi sebatas “jual-beli” (tanah dan bangunan) oleh pemerintah memudahkan Lapindo untuk mempermainkan korban yang tidak memiliki sertifikat tanah dan bangunan dan memaksa mereka untuk memilih opsi “cash and resettlement” ke KNV. Opsi kedua, bagi korban yang bersikeras untuk memilih dibayar tunai, Lapindo menerapkan sistem pembayaran dengan mekanisme cicilan bulanan tanpa bunga. Korban dalam kelompok “cash and carry” inilah yang kerap menjadi sorotan media massa dan pejabat publik, seolah-olah tuntasnya pembayaran berarti pula tuntasnya permasalahan sosial-ekonomi yang diderita korban.

    Di luar mekanisme “cash and resettlement” dan cicilan kepada kelompok “cash and carry”, masih ada kelompok lain yang menuntut penyelesaian dengan opsi berbeda. Terkait cicilan, misalnya, masih ada kelompok warga yang bersikukuh untuk menuntut pembayaran 80% untuk mereka diberikan secara tunai, bukan dalam bentuk cicilan. Selain itu, bahkan masih ada kelompok korban Lapindo yang sampai sekarang masih menolak mekanisme jual beli sebagaimana dilakukan oleh Lapindo berlandaskan Perpres 14/2007. Masih ada juga model penyelesaian “B-to-B” yang lebih tidak jelas pelaksanaannya karena mendasarkan pada kesepakatan antara perusahaan dan pemilik aset tanah dan bangunan, tanpa memperhitungkan modal usaha dan nasib tenaga kerja dari perusahaan tersebut.

    Berdasarkan pemberitaan media massa, kita mendapatkan informasi bahwa Lapindo masih memiliki tanggungan pembayaran ganti-rugi dengan total sekitar 800 milyar. Nilai itu adalah jumlah uang yang masih harus dibayarkan pada kelompok korban “cash and carry”. Desakan yang menguat saat ini adalah agar pemerintah membayar sisa tersebut dulu pada korban dan menagih uang tersebut langsung ke Lapindo, melalui mekanisme “dana talangan”. Desakan publik semacam itu sudah muncul sejak lama, khususnya ketika Lapindo mulai menunjukkan gelagat untuk menghindari tanggung jawab membayar sisa 80 persen pada korban. Desakan itu semakin riil pasca-putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan tuntutan korban Lapindo yang meminta pemerintah untuk tidak memberlakukan pembedaan antara korban “dalam peta” dan korban “luar peta” karena mereka adalah sama-sama warganegara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai korban luapan lumpur Lapindo. Dari media massa juga kita mendapatkan informasi bahwa Lapindo tidak akan sanggup melunasi sisa pembayaran 800 milyar itu sampai akhir pemerintahan SBY ini. Artinya, pelunasan ganti-rugi pada korban “dalam peta” akan menjadi beban bagi pemerintahan Jokowi untuk mendesak Lapindo membayarkannya.

    Persoalannya, apakah tanggung jawab Lapindo adalah memang tinggal 800 milyar itu? Sekalipun banyak kritik, mekanisme ganti-rugi korban Lapindo yang direduksi menjadi “jual-beli” tanah dan bangunan mempermudah kita untuk menghitung sisa tanggung jawab Lapindo pada korban. Mekanisme semacam ini berarti bahwa korban akan mendapatkan ganti-rugi senilai dengan nilai tanah dan bangunan mereka. Seperti dibahas dalam paragraf sebelumnya, Lapindo menerapkan dua opsi untuk mengganti kerugian para korban. Selain opsi pembayaran tunai (cash and carry), yang masih tersisa 800 milyar itu, Lapindo juga memberlakukan opsi barter (cash and resettlement), mengganti aset korban dengan rumah dan bangunan baru di KNV. Hingga kini, persoalan ganti-rugi hanya terfokus pada korban “cash and carry”, padahal korban “cash and resettlement” pun memiliki permasalahannya yang tak kalah rumitnya. Sampai saat ini, sebagian besar korban yang tinggal di KNV belum mendapatkan sertifikat hak milik/guna atas tanah dan bangunan baru mereka itu. Dalam laporannya, Lapindo menyatakan bahwa begitu korban sudah mendapatkan rumah baru di KNV berarti pula Lapindo sudah menyelesaikan tanggung jawab pembayaran ganti-rugi pada korban tersebut. Padahal, menurut korban “cash and resettlement”, selama sertifikat belum diterima persoalan ganti-rugi belumlah sepenuhnya tuntas dan Lapindo masih berhutang pada mereka. Artinya, tanggung jawab Lapindo saat ini jauh lebih besar daripada nilai 800 milyar yang kerap dilontarkan di media massa karena perusahaan belum menyelesaikan tanggung jawab sertifikasi tanah dan bangunan KNV bagi para korban “cash and resettlement”.

    Rekomendasi-Rekomendasi untuk Penuntasan Kasus Lapindo

    Untuk menjawab begitu kompleksnya permasalahan penyelesaian kasus lumpur Lapindo ini, kiranya memang diperlukan sebuah peta jalan yang bukan sekedar dimaksudkan untuk mengembalikan kerugian materiil yang harus ditanggung korban Lapindo, namun juga menuntaskan segenap problem kehilangan hak yang hingga kini belum dirasakan oleh korban Lapindo. Dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi korban Lapindo, pemerintah harus berpedoman pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini, korban lapindo adalah pengungsi internal (internally displaced persons atau IDPs) yang membutuhkan jaminan atas terselenggaranya kebutuhan sesuai dengan kondisi mereka meliputi hak untuk hidup (Pasal 19), hak memperoleh pendidikan (Pasal 12), kebebasan memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing (Pasal 22), kebebasan bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah RI (Pasal 27), hak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya (Pasal 29), kebebasan dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat, penghilangan paksa, dan penghilangan nyawa (Pasal 33), hak untuk tidak ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atu dibuang secara sewenang-wenang (Pasal 34), hak untuk mempunyai milik dan tidak dirampas hak miliknya (Pasal 36), dan hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya (Pasal 65).

    Kasus Lapindo telah dan akan menjadi uji kasus bagi pemerintah perihal supremasi negara. Untuk itu, permasalahan yang paling krusial bagi penyelesaian kasus Lapindo bukanlah sekadar memberikan kompensasi yang setimpal pada korban, namun bagaimana mengembalikan supremasi negara di hadapan warganegaranya. Untuk itu, kami merekomendasikan pemerintahan yang baru untuk secara komprehensif memperhatikan persoalan-persoalan berikut ini sebagai bagian dari usaha pemulihan hak-hak korban Lapindo:

    1. Mengambil Alih Sisa Pembayaran Ganti-Rugi Korban untuk Kemudian Ditagihkan Kembali pada Lapindo.

    Untuk mengembalikan supremasi negara dalam kasus Lapindo, pemerintahan Joko Widodo harus secepatnya bisa menjamin pemenuhan hak para korban Lapindo. Mekanisme tercepat yang bisa dilakukan adalah skema pengambilalihan kewajiban pembayaran yang hingga sekarang masih belum diselesaikan oleh Lapindo kepada para korban. Seperti telah dijabarkan sebelumnya, proses pemenuhan ganti rugi melalui skema ini bukan hanya sekadar membayar berkas-berkas surat tanah dan bangunan warga yang belum selesai pembayarannya oleh Lapindo, namun harus dilakukan pemetaan kelompok-kelompok korban Lapindo dan berbagai opsi yang telah diambil sebelumnya. Penuntasan pembayaran ganti-rugi harus secara menyeluruh menyentuh semua korban yang sebelumnya menjadi tanggungan Lapindo untuk diselesaikan. Artinya, korban-korban yang ada dalam skema “cash and carry” dengan cicilan, “cash and resettlement”, yang menolak cicilan, maupun yang menuntut skema lain selain jual beli harus segera dituntaskan demi keadilan bagi semua korban Lapindo.

    Persoalan lain yang harus juga dipikirkan dalam proses pemberian dana talangan untuk menyelesaikan pembayaran kepada korban Lapindo adalah mekanisme penagihan kembali seluruh dana talangan yang telah dikeluarkan tersebut. Proses penghitungan hutang Lapindo yang belum terselesaikan harus dilakukan dengan proses yang transparan dan akuntabel. Jumlah biaya yang harus ditagihkan kepada Lapindo nantinya harus benar-benar dihitung cermat agar tidak semakin membebani keuangan negara yang diambil melalui APBN. Pemerintah, melalui jalur hukum, juga harus menagih segala biaya yang dikeluarkan untuk mitigasi bencana lumpur Lapindo (termasuk relokasi infrastruktur transportasi) pada Lapindo.

    Belajar dari proses dana talangan yang pernah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya, sebagaimana kasus Bank Century, pengucuran dana talangan oleh pemerintah untuk mengambil alih pembayaran terhadap aset tanah dan bangunan warga harus diawasi secara ketat. Penggunaan instrumen negara, seperti BPK dan KPK, harus dioptimalkan untuk menjaga penggunaan dana talangan dari kemungkinan penyelewengan anggaran. Untuk memastikan bahwa dana yang telah dikeluarkan oleh pemerintah bisa ditagihkan kembali kepada Lapindo, pemerintah harus mengajukan gugatan hukum kepada Lapindo atas kegagalannya menjalankan perintah Perpres 14/2007. Gugatan ini harus mampu memaksa Lapindo menyepakati skema dana talangan yang bisa ditagihkan kembali, sebelum pemerintah benar-benar menurunkan dana talangan.

    Selain itu, peralihan hak atas tanah yang terjadi akibat luapan lumpur Lapindo, melalui mekanisme jual-beli, merupakan sesuatu yang di luar kebiasaan umum (extraordinary). Bahkan, praktik jual-beli semacam itu melampaui peraturan tentang agraria yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya, peralihan hak atas tanah harus dikontrol dengan ketat agar tidak memunculkan konflik pertanahan baru.

    2. Pemulihan Lingkungan dan Jaminan Kesehatan

    Mengingat usaha menutup semburan lumpur bukanlah prioritas dalam mitigasi bencana lumpur Lapindo saat ini, pengendalian luapan lumpur di permukaan merupakan yang utama saat ini. Pembuangan lumpur melalui Kali/Kanal Porong dan juga saluran air lainnya mencemari sistem air bawah tanah di sekitar semburan sampai Selat Madura. Selama ini, pejabat pemerintah, khususnya BPLS, menyatakan bahwa lumpur tidak mengandung zat berbahaya dan oleh karenanya pembuangan lumpur ke Selat Madura tidak berbahaya bagi keanekaragaman hayati di wilayah itu, akan tetapi berdasarkan pantauan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo semenjak lumpur dibuang ke Selat Madura, produksi udang di Sidoarjo menurun drastis. Berdasarkan beberapa riset ilmiah yang dilakukan secara independen, kita dapat mengetahui besarnya kandungan logam berat yang ada dalam lumpur Lapindo, sesuatu yang hinga kini masih diingkari oleh pemerintah. Ini berarti wilayah yang terdampak lumpur Lapindo jauh lebih luas dibandingkan “peta area” yang dirilis oleh pemerintah.

    Pembangunan tanggul lumpur dan usaha relokasi infrastruktur transportasi (jalan raya, jalan tol, kereta api) telah mempengaruhi jaring-jaring ekologi yang lebih luas. Kebutuhan lahan kosong untuk wilayah Porong dan sekitarnya meningkat tajam mengakibatkan lebih banyak lagi peralihan hak atas tanah dan bangunan di wilayah lain. Situasi semacam ini mendongkrak harga tanah di Porong dan sekitarnya. Kebutuhan material pembangunan (seperti sirtu) telah menggerus bukit-bukit di Ngoro, Mojokerto dan di Rembang, Pasuruan.

    Dampak ekologis kasus Lapindo telah merambah luas memengaruhi berbagai lanskap dan ekosistem. Karena itu dibutuhkan sebuah usaha pemulihan yang luar biasa untuk mengembalikan kualitas lingkungan yang ada. Pengelolaan air lumpur sebelum dibuang ke Kali Porong mutlak dilakukan untuk menghentikan kerusakan yang sekarang semakin membesar hingga selat Madura. Selain itu, riset yang terbuka dan adil harus dilakukan untuk melihat sejauh mana dampak kerusakan ekologis akibat semburan lumpur panas telah terjadi secara aktual hingga hari ini. Dan yang tak kalah pentingnya, sejauh masih dimungkinkan, penghentian semburan lumpur Lapindo harus kembali menjadi prioritas untuk dikerjakan oleh pemerintahan yang baru.

    Degradasi kualitas lingkungan tak urung juga menyebabkan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat yang ada. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, hasil penelitian dan rekam tren penyakit di beberapa puskesmas di sekitar semburan lumpur Lapindo menunjukkan adanya peningkatan dampak kesehatan yang serius di masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tentu membutuhkan perlindungan dan jaminan terhadap ancaman pengaruh lumpur Lapindo terhadap kesehatan mereka. Rencana “Kartu Indonesia Sehat” yang berpadu padan dengan BPJS Kesehatan dapat dipakai sebagai solusi penuntasan kebutuhan jaminan kesehatan bagi korban Lapindo. Namun, mengingat betapa susahnya korban Lapindo sekarang mengakses layanan kesehatan yang ada, pemerintahan baru harus menjamin bahwa korban Lapindo bisa mendapatkan prioritas jaminan kesehatan tersebut, mengingat kondisi lingkungannya yang semakin memburuk. Kepastian jaminan kesehatan bagi korban Lapindo adalah awal yang baik dari usaha pemenuhan hak atas korban Lapindo secara keseluruhan.

    3. Jaminan Pendidikan

    Hingga saat ini dari sekitar 63 institusi pendidikan yang tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo, belum ada satupun yang ditangani oleh pemerintah. Beberapa sekolah akhirnya harus menjalankan kegiatan belajar mengajarnya di tempat dan kondisi yang tidak ideal (ruko, rumah warga, bekas bangunan lain, dll) Sementara persoalan ekonomi akibat luapan lumpur lapindo yang mendera para orangtua murid, mau tidak mau juga berdampak kepada para murid, sementara biaya sekolah tetap tinggi, sedang beban ekonomi keluarga meningkat. Tiap bulan, pelajar SD dan SMP masih membutuhkan biaya pendidikan (buku, seragam dan uang ujian) setidaknya Rp 67.000 per bulan, sementara pelajar SMA membutuhkan sekitar Rp 166.000 per bulan. Rencana penggunaan “Kartu Indonesia Pintar” oleh pemerintahan Joko Widodo diharapkan bisa menjadi salah satu solusi penanganan masalah ini. Prioritas utama adalah memastikan semua anak-anak korban Lapindo dapat terus mengenyam pendidikan dalam kondisi lingkungan pendidikan yang nyaman dan mendukung kegiatan belajar mengajar.

    4. Pemulihan Sosial-Budaya

    Pemulihan permasalahan sosial-budaya yang lahir menyusul pemindahan paksa korban dari kampung halaman mereka yang terendam lumpur ke hunian baru, baik yang dilakukan secara kolektif maupun individual, kerap luput dari perhatian publik dan media massa. Melepaskan diri dari lingkungan lama dan melekatkan diri ke lingkungan baru, apalagi bila dilakukan dengan paksaan akan menambah beban bagi pemulihan krisis sosial, ekonomi, psikologis, dan budaya para korban. Pemerintah mengandaikan kompleksitas semacam itu akan selesai secara sendirinya begitu korban menerima uang ganti-rugi. Namun, tidak semua krisis tersebut dapat digantikan dengan uang. Sampai saat ini, kajian tentang krisis semacam ini masih sangat minim karena perhatian publik lebih terfokus pada perihal ganti-rugi dan penanganan lumpur.

    Pemerintahan yang baru harus bisa memastikan adanya perencanaan dan pendampingan (asistensi) bagi para korban Lapindo dalam menata kehidupan dan lingkungannya yang baru. Asistensi bagi korban Lapindo di tempat baru dibutuhkan untuk membantu adaptasi sosial mereka dengan lingkungan sosial yang baru. Tugas dan kewenangan BPLS (atau badan lain yang akan ditunjuk oleh pemerintah) harus juga mencakup kebutuhan pemulihan sosial-budaya ini, sehingga pemulihan seutuhnya terhadap kehidupan korban lumpur Lapindo dapat dilakukan.

    5. Pemulihan Ekonomi

    Seperti telah dicatat sebelumnya, di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, dulu berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Pasca-semburan lumpur Lapindo usaha-usaha ini memilih memindahkan lokasinya ke tempat lain atau harus gulung tikar. Akibatnya, masyarakat yang dulu hidup dan bekerja dari usaha-usaha ini harus kehilangan pekerjaan pula. Tidak banyak dari para korban yang bisa pindah ke pabrik atau tempat usaha lain karena kebanyakan sudah berumur, sementara pabrik biasanya hanya menerima pekerja baru yang masih muda. Selain itu, hilangnya mata pencaharian bagi ribuan pekerja di sektor in- dan non-formal juga perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintahan mendatang.

    Selain itu, hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat di kampung dibangun berdasarkan kohesi sosial. Ikatan sosial antar warga masyarakat yang dijalin sejak lama merupakan modal bagi pelanggan atau pengguna jasa untuk bisa saling terhubung. Ketika berpindah ke tempat barunya, tidak serta-merta warga-korban bisa membangun kegiatan ekonominya kembali karena mereka tidak punya ikatan sosial yang baik dengan masyarakat di tempat yang baru, padahal menjalin ikatan sosial tidak bisa dilakukan secara cepat dan mudah. Mereka yang dahulunya mempunyai toko, misalnya, harus berjuang untuk mendapatkan pelanggan baru, sehingga membuka usaha di tempat baru tidak otomatis dapat menggaet pelanggan baru. Hal yang sama berlaku pada mereka yang berprofesi sebagai para tukang dan buruh sawah.

    Pemulihan ekonomi yang harus dilakukan pemerintahan yang baru harus bisa mengkoneksikan antara dampak kehancuran struktur sosial ini dengan permasalahan ekonomi. Usaha pemulihan ekonomi korban Lapindo tidak cukup hanya dengan mengadakan berbagai pelatihan yang kemudian dibayangkan bahwa hasil pelatihan tersebut akan mendukung pemenuhan kebutuhan ekonomi korban Lapindo. Pemulihan ekonomi korban Lapindo harus berbasis pada keterampilan dasar yang sebelumnya telah dimiliki oleh para korban, sehingga, misalnya, mereka yang sebelumnya adalah petani tidak dipaksakan untuk belajar menjahit.

    6. Administrasi Kependudukan

    Berkaca dari tidak adanya DPT khusus bagi korban Lapindo pada Pemilu 2014, maupun tidak adanya data warga dari desa-desa dalam Peta Area Terdampak pada PPLS 2014 lalu, kita perlu mendesakkan pada pemerintah bahwa administrasi kependudukan merupakan salah satu problem utama yang menyebabkan tidak bisa tuntasnya pemenuhan hak-hak korban Lapindo. Jaminan pemenuhan-pemenuhan hak korban Lapindo sebagai warganegara dan sebagai manusia, a.l., hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas hunian yang layak, hak atas pekerjaan hanya bisa terpenuhi bila hak hak sipil-politik para korban Lapindo itu sudah terpenuhi terlebih dulu. Pendataan korban Lapindo, sekalipun sebenarnya sudah terlambat, adalah sebuah kegiatan yang sangat mendesak untuk dilakukan.

    Oleh karena itu, pemerintah, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat, perlu lebih proaktif untuk melakukan pendataan korban Lapindo dari data lama di desa asal, dan kepindahan mereka ke tempat-tempat baru. Data korban ini akan menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban Lapindo agar pulih dari krisis.

    Rekomendasi ini disusun pada Diskusi Membahas Peta Jalan Penyelesaian Lumpur Lapindo di Sekretariat WALHI Jawa Timur – Surabaya, atas kerjasama WALHI Jawa Timur dengan Seknas Jokowi Surabaya pada 11 September 2014, yang dihadiri oleh:

    Abdul Rochim, korban Lapindo asal Desa Besuki; Komunitas Jimpitan Sehat

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, UniversitasBrawijaya, Malang (Riset “Peran Media dalam Konstruksi Kasus Lapindo” dan “Dampak Sosial-Budaya Kasus Lapindo”)

    Akhmad Novik, korban Lapindo asal Desa Jatirejo (aktif di WALHI)

    Arief Juniawan, mahasiswa UPN Veteran

    Catur Nusantara, koordinator Posko Informasi Korban Lapindo, Porong; Badan Pengurus JATAM (Riset “Dampak Lingkungan dan Dampak Kesehatan Korban Lapindo”)

    Dwi, korban Lapindo asal Desa Siring (Komunitas Arrohmah)

    Dandik Katjasungkana, Kontras; Seknas Jokowi

    Dian Noeswantari, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Riset “HAM berperspektif Gender untuk Kasus Lapindo” dan Monev “Hak Ekosob untuk Korban Lapindo”)

    Eko Widodo, korban Lapindo asal Besuki (aktif di WALHI)

    Fatkhul Khoir, Kontras Surabaya

    Rengga, Kontras Surabaya

    Gusti M Khoirul Akbar, mahasiswa Universitas Brawijaya

    Harwati, korban Lapindo asal Desa Siring (Komunitas Arrohmah)

    Imam Khoiri, korban Lapindo asal Desa Jatirejo (Komunitas Arrohmah)

    Irsyad, korban Lapindo asal Desa Besuki (Sanggar Alfaz)

    Misbachul Munir, KNTI; Seknas Jokowi Surabaya

    Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jatim

    Rere Christanto, korban Lapindo asal Desa Renokenongo (aktif di WALHI)

    Petrus M Riski, jurnalis

    Saropah, korban Lapindo asal Desa Jatirejo (Komunitas Arrohmah)

    Diana AV Sasa, D’Buku; Seknas Jokowi Surabaya

    Soebagyo, pengacara, drafter gugatan WALHI dalam kasus Lapindo, dan anggota tim Komnas HAM dalam penyelidikan pelanggaran HAM berat kasus Lapindo.

  • Aburizal could be forced to settle Lapindo mudflow

    Aburizal could be forced to settle Lapindo mudflow

    The House of Representatives on Monday unanimously passed into law a bill that allows president-elect Joko “Jokowi” Widodo to force chairman of the Bakrie Group, Aburizal Bakrie, to fulfill his Rp 781 billion (US$65 million) financial obligation to the victims of the Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo, East Java, next year.

    Aburizal, who is also Golkar Party chairman, has lost the privileges he has enjoyed between 2007 and 2014 courtesy of President Susilo Bambang Yudhoyono’s administration.

    The President had allocated more than Rp 6 trillion to compensate villagers living in the vicinity of the so-called “affected area map”, which was legalized via a presidential decree in 2007.

    Such generous financial protection for the Bakrie Group was among the reasons why Golkar helped the Yudhoyono government remain stable in the face of nationwide protests at the President’s generosity toward the conglomerate.

    However, the 2014 state budget, which was passed during Monday’s plenary meeting, no longer mentions such spending. Instead, Article 16 (2) only stipulates that “the [central] government can give a grant to local governments for post-disaster rehabilitation and reconstruction.”

    Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) lawmaker Rieke Diah Pitaloka applauded the absence of an article stipulating that the government take over the financial burden caused by disaster, which was allegedly caused by PT Lapindo Brantas, an oil and gas company affiliated with Golkar chairman Aburizal, during its drilling operations in 2006.

    “Lawmakers and the government should have erased the article long ago. It doesn’t make sense if taxpayers take over responsibility [for paying] from the company that triggered the disaster in the first place,” she told The Jakarta Post.

    Lalu Mara, deputy secretary general of Golkar and Aburizal’s close aide, declined to comment on the House’s decision.

    “It’s better to contact Pak Andi Darussalam to seek a comment on the matter,” he said, referring to the vice president of Lapindo Minarak.

    There have been several efforts to stop the mud eruption, including a relief well method and the insertion of concrete. However, none have been able to stop the flow of mud, which many geologists believe could last up to 30 years.

    In 2007, the government also established the Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency (BPLS) to handle and control the mud eruption, relocate infrastructure, recover infrastructure, and supervise Lapindo in handling compensation for villagers in the affected area.

    Lapindo, via its subsidiary PT Minarak Lapindo Jaya, recently claimed it needed to pay another Rp 781 billion of the required Rp 3.8 trillion in compensation to more than 4,000 victims who used to live within the affected area.

    Public Works Minister Djoko Kirmanto, who leads the BPLS advisory board, said last week that the agency had recommended the government use the 2015 budget to help pay the remaining compensation.

    However, Finance Minister Chatib Basri reiterated over the weekend that according to a Constitutional Court ruling issued earlier this year, the government was obliged to force Lapindo to complete payment of compensation to victims of the mudflow disaster.

    Another PDI-P lawmaker, Arif Budimanta, reminded Jokowi and his incoming administration to ensure that outgoing President Yudhoyono, who proposed next year’s state budget, did not spread funds for compensation among the budgets of certain ministries or other state institutions.

    “We need to make sure that those who caused it [the mud disaster] take responsibility for what they have done,” Arif said.

    Hasyim Widhiarto

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2014/09/30/aburizal-could-be-forced-settle-lapindo-mudflow.html

  • Kemenkeu Belum Bisa Jamin Dana Talangan Lumpur Lapindo Rp 781 Miliar

    JAKARTA, KOMPAS.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum bisa menjamin apakah dana talangan lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar bisa diambilkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015.

    “Kami belum tahu, karena rapatnya enggak ikut,” ucap Askolani, Dirjen Anggaran Kemenkeu, dikonfirmasi wartawan ditemui di gedung parlemen, Senin (29/9/2014).

    Dia bilang, pemerintah dalam hal ini Kemenkeu akan menunggu diskusi selanjutnya tentang lumpur Lapindo. Ditanyakan lagi kemungkinan dana talangan tersebut diambilkan dari APBN 2015, Askolani menegaskan hal tersebut yang perlu didiskusikan.

    Dalam kesempatan sama, anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Dolfie OFP menuturkan, BPLS memang selalu mendapat anggaran dari pemerintah. “Ada dua wilayah, di dalam dan di luar terdampak. Yang di dalam menjadi tanggungjawab Minarak, yang di luar selalu masuk anggaran,” kata Dolfie ditemui di gedung DPR, Senayan, Senin.

    Namun demikian, politisi PDI-Perjuangan itu belum tahu apakah anggaran yang diusulkan untuk BPLS sebesar Rp 781 miliar tersebut akan dianggarkan dalam APBN 2015.

    Sebelumnya dikabarkan, pemerintah siap menalangi PT Minarak Lapindo Brantas yang menyatakan tidak sanggup membayar ganti rugi terhadap korban yang terkena dampak dari lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar.

    “Yang belum terbayar itu Rp 781 miliar, itu yang harus dikeluarkan dari APBN,” tutur Djoko Kirmanto, Menteri Pekerjaan Umum, Rabu pekan lalu.

    Estu Suryowati

    Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/09/29/182110926/Kemenkeu.Belum.Bisa.Jamin.Dana.Talangan.Lumpur.Lapindo.Rp.781.Miliar

  • Jasa Marga Minta Kompensasi Kerusakan Ruas Tol Porong-Gempol

    Liputan6.com, Jakarta – PT Jasa Marga Tbk meminta kompensasi kepada pemerintah untuk memperbaiki ruas tol Porong-Gempol. Pasalnya, itu akan  memberatkan karena kerusakan bukan berasal dari kesalahan perusahaan pelat merah tersebut.

    “Waktu itu pernah klaim pihak Lapindonya, tapi dinyatakan force majeur. Kita minta Menteri Pekerjaan Umum (PU) bagaimana kompensasi terhadap itu,” kata Direktur Utama Jasa Marga Adityawarman di Jakarta, Kamis (25/9/2014).

    Dia mengatakan, seharusnya luapan lumpur yang menjadi penyebab kerusakan tol menjadi juga tanggung jawab PT  Minarak Lapindo Jaya.

    Pihaknya mengaku saat ini belum melakukan komunikasi Kementerian PU terkait kerusakan ini. Meski begitu, jika Kementerian PU meminta untuk melakukan perbaikan Jasa Marga akan melaksanakan perintah tersebut.

    “Belum. Kan gini, itu ruas yang hilang, kita kan dapat kompensasi atas ruas itu. Nanti sudah Kemen PU memerintahkan akan melaksanakan,” lanjut dia.

    Dia menerangkan, apabila Jasa Marga diminta memperbaiki akan melakukan perhitungan anggaran tersebut.

    “Kalau kita suruh bangun kan ada hitung-hitungannya. Ya ke Lapindo dulu. Saya menghadap Pak Menteri dulu,” tandas dia. (Amd/Nrm)

    Sumber: http://bisnis.liputan6.com/read/2110457/jasa-marga-minta-kompensasi-kerusakan-ruas-tol-porong-gempol

  • Pemerintah Didesak Pulihkan Hak Penyintas Bencana Alam, Sosial dan Korporasi

    Pemerintah Didesak Pulihkan Hak Penyintas Bencana Alam, Sosial dan Korporasi

    SURABAYA, JAWA TIMUR — Konflik sosial berlatar belakang perbedaan keyakinan yang terjadi di Sampang, Madura, telah menimbulkan korban jiwa maupun harta benda, yang pada akhirnya mengakibatkan terusirnya warga Syiah Sampang keluar dari daerah asalnya.

    Pemerintah dinilai kurang peduli dan tanggap terhadap para penyintas yang menjadi pengungsi, karena belum memberikan semua hak warga penyintas yang hilang pasca terjadinya konflik.

    Seperti diungkapkan oleh Saifullah, pengungsi Syiah Sampang yang ada di rumah susun Puspa Agro, Sidoarjo, kehidupannya di pengungsian tidak lagi sama seperti di kampung halaman, karena kebutuhan dasar warga tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah hanya memberikan uang bantuan sosial untuk makan, rumah susun untuk tempat tinggal sementara, serta layanan kesehatan dan pendidikan yang kurang maksimal.

    “Pemerintah hanya kasi itu, tapi untuk uang makan sebesar 709.000 rupiah, itu untuk satu bulan per orang (dewasa). Tidak nutut (cukup) untuk segitu, soalnya kan masih harus membiayai adik-adik yang sekolah di luar kota, jadi untuk yang sekolah di luar itu pemerintah tidak bertanggung jawab,” kata Saifullah, Pengungsi Syiah Sampang, Penyintas Konflik Sosial.

    Demikian pula dengan bencana akibat aktivitas perusahaan atau korporasi, para warga yang menjadi penyintas seringkali diabaikan hak-hak dasarnya, yang hanya dilihat sebatas persoalan pembayaran ganti rugi.

    Novik Ahmad, warga penyintas bencana semburan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo mengungkapkan, banyak hak warga yang terabaikan oleh pemerintah maupun Lapindo Brantas, yakni kerugian di bidang kesehatan, ekonomi dan pekerjaan, pendidikan, hingga kerusakan lingkungan dan kehidupan sosial.

    “Ada persoalan lain yang lebih kompleks sebenarnya terkait soal jaminan kesehatan, pendidikan, pemulihan ekonomi, dan lingkungan sendiri, sama sekali tidak ada (dari pemerintah). Lapindo sendiri hanya selesai di urusan ganti rugi yang di dalam peta area terdampak, itu pun juga sampai sekarang masih menyisakan persoalan juga (belum dilunasi),” kata Novik Ahmad, Penyintas Bencana Semburan Lumpur Lapindo.

    Menurut Fatkhul Khoir selaku Kepala Biro Pemantauan dan Dokumentasi KontraS Surabaya, pemerintah sampai saat ini masih terbatas pada pemberian bantuan yang sifatnya darurat kepada warga penyintas.

    Pemulihan hak-hak warga yang menjadi penyintas belum menjadi dasar penentuan kebijakan pemerintah, dalam menangani warga penyintas yang menjadi pengungsi pasca terjadinya bencana maupun konflik.

    “Ya saya kira pemenuhan hak itu kan tidak hanya sekedar pemberian jatah hidup, tapi bagaimana memulihkan hak sosial mereka, memulihkan hak ekonomi mereka, mengembalikan mereka ke kampung halaman mereka, menciptakan rasa aman bagi mereka untuk beribadah dan berkeyakinan, ini kan belum juga dilakukan oleh pemerintah,” kataFatkhul Khoir, Kepala Biro Pemantauan dan Dokumentasi KontraS Surabaya.

    “Sampai saat ini, misalkan kita tahu, sudah hampir tiga tahun pengunsi Syiah ini belum ada kejelasan, kapan mereka akan dipulangkan, bagaimana upaya rekonsiliasi yang coba dibangun oleh pemerintah dan sebagainya, ini kan belum ada kejelasan sama sekali. Lapindo juga delapan tahun, tapi proses ganti rugi, proses pemulihan hak mereka, proses bagaimana pemulihan secara ekonomi mereka juga belum terjadi,” tambahnya.

    Sementara itu Rani Ayu Hapsari aktivis LSM penanganan bencana, Yakkum Emergency Unit mengutarakan, meski pemerintah telah banyak melakukan langkah nyata penanggulangan pengungsi maupun penyintas bencana alam, penanganan masih bersifat semantara atau belum berkelanjutan.

    Pada kasus penanganan penyintas bencana letusan gunung Merapi di Yogyakarta, Rani mengungkapkan bahwa pemulihan di bidang ekonomi yang dibutuhkan oleh warga penyintas, seringkali hanya sebatas pemberian pelatihan tanpa pendampingan dan tindak lanjut dari pelatihan yang diberikan.

    “Memang ada beberapa gap yang masih terjadi, seperti misalnya untuk pemulihan ekonomi. Pemulihan ekonomi ini banyak yang mengatakan, khususnya dari warga, itu pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh pemerintah itu hanya sebatas pelatihan keterampilan, tetapi belum sapai pada tahap untuk membantu mencarikan pasarnya, kemudian juga membantu permodalan, seperti itu. Sehingga ini mengakibatkan program yang digagas oleh pemerintah itu tidak menjadi berlanjut, jadi terhenti di tengah jalan,” jelas Aktivis LSM Yakkum Emergency Unit, Rani Ayu Hapsari.

    Dari hasil diskusi yang mengangkat tema “Membedah Tanggungjawab Negara Terhadap Korban Lumpur Lapindo, Pengungsi Syiah Sampang dan Korban Letusan Gunung Merapi”, Kepala Biro Pemantauan dan Dokumentasi KontraS Surabaya Fatkhul Khoir mendesak pemerintah segera membuat kebijakan terkait penanganan terhadap pengungsi dan penyintas bencana alam, konflik sosial maupun bencana korporasi, agar dapat ditangani secara tuntas.

    “Kita akan sampaikan ke pemerintah, dan pemerintah harus segera menindaklanjuti, dengan membentuk sebuah kebijakan yang harus ada oleh pemerintah, karena sampai saat ini, dari tadi diskusi, kita belum menemukan bahwa pemerintah punya skema yang jelas mengenai proses penanganan terhadap korban bencana alam, bencana korporasi maupun bencana sosial, ini kan belum ada satu kebijakan yang spesifik bagaimana pengelolaan terhadap pengungsi ini, korbannya ini,” kata Fatkhul Khoir.

    Petrus Riski

    Sumber: http://www.voaindonesia.com/content/pemerintah-didesak-pulihkan-hak-penyintas-bencana-alam-sosial-dan-korporasi/2462027.html

  • Sidoarjo victims still striving for justice

    Sidoarjo victims still striving for justice

    Temporary fix: Workers from the Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency (BPLS) dig a temporary canal for the smooth flow of mud in Gempolsari village, Porong, Sidoarjo, East Java, on Wednesday. The dam collapsed recently and affected many houses in the village.

    Despite the threat of overflowing hot mud that may engulf their house at any time, Suwandi, 75, and his wife, Saniakah, 70, insist on staying in Gempolsari village, Porong district, Sidoarjo regency, East Java.

    They even remained indifferent to news that some embankment spots had been recently damaged.

    “On Wednesday morning, a section of the embankment was damaged and the mudflow almost reached my house. I’ve lost count of the number of times damage has been caused to the embankment,” he told The Jakarta Post on Thursday.

    Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency (BPLS) spokeperson Dwinanto Hesti Prasetyo said there were dozens of vulnerable spots in the mud reservoir. They included spot No. 34, where the mudflow surface was only 50 centimeters lower than the top of the embankment, and spot No. 22, which was only 25 cm lower.

    “Spot No. 21 is the riskiest because it is located by Jl. Raya Porong and the railway track. This is worrying because according to the BMKG [the Meteorology, Climatology and Geophysics Agency], we will enter the rainy season in October,” he said.

    He explained that the embankment that surrounded the mudflow remained damaged because his agency could no longer channel the mud into the Porong River as it was prevented from doing so by the affected residents.

    “Residents who have not yet received compensation have blocked BPLS workers from channeling the mud into the Porong River to ease the burden of the mud reservoir,” Dwinanto said.

    Reno Kenongo subdistrict secretary Subakri said people had blocked the agency workers as they were dismayed by the government’s and PT Lapindo Brantas’ promises of compensation.

    “We will continue our struggle by doing whatever is necessary to fight for our rights,” Subakri said.

    On May 29, 2006, the lives of residents in Porong were changed forever following an eruption of a mudflow. The previously green area was turned into a huge, deserted expanse covered with dried mud.

    The eruption took place near a drilling site belonging to Lapindo Brantas. This triggered speculation that Lapindo may have been negligent during its drilling process.

    Lapindo, however, cited a number of scientists’ arguments that the mudflow was triggered by a 6.3 Richter scale earthquake that had hit Yogyakarta two days before the eruption took place.

    A spokesperson of the joint secretariat of Lapindo mudflow victims, Khoirul Huda, said 3,200 of 13,200 documents proposed compensation worth Rp 780 billion (US$65.7 million) that had not yet been paid by PT Minarak Lapindo Jaya as the cashier of Lapindo Brantas.

    Ahmad Khozin, another victim of the mudflow, said the victims were glad to learn that the Supreme Court had told the government to take responsibility for the payment of the compensation.

    “Yet up until now, there’s been no clarity on this,” he said.

    In frustration, he said the compensation had to be paid soon or all activities on the embankment must cease immediately.

    Suwandi said if the mudflow did not exist, he and his wife would have been spending their old age peacefully by taking care of a chicken farm, but they had to forget that dream amid the mud-strewn landscape.

    He said Lapindo Brantas had stopped supplying clean water to local residents in 2010. Since then, he had bought clean water for daily consumption.

    “We just want justice from the government and Lapindo Brantas,” he said.

    Indonesian Forum for the Environment (Walhi) East Java branch executive director Ony Mahardika warned that the government should consider giving attention to the residents’ health as the groundwater had been heavily contaminated with metal and polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) that had surpassed the normal level.

    Sumber: http://news.asiaone.com/news/asia/sidoarjo-victims-still-striving-justice

  • Lumpur Lapindo Meninggi, 110 Patung Tenggelam

    Lumpur Lapindo Meninggi, 110 Patung Tenggelam

    TEMPO.COSidoarjo – Sebanyak 110 patung manusia lumpur yang tertancap di Tanggul Siring Porong, Sidoarjo, kini sudah tenggelam oleh lumpur Lapindo. Kondisi tersebut terjadi setelah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang selalu mengeruk endapan lumpur panas Lapindo tidak diperbolehkan beroperasi oleh warga yang belum dilunasi ganti ruginya.

    “Patung itu perlahan tenggelamnya, rata-rata sampai dada sekarang,” kata Kusno, yang tiap hari bekerja sebagai tukang ojek dan penjual kaset di depan patung manusia itu, Rabu, 3 September 2014.

    Menurut Kusno, 110 patung itu memiliki nilai tersendiri bagi warga korban lumpur Lapindo. Pasalnya, patung itu juga ikut mengenang delapan tahun semburan lumpur Lapindo. Patung lumpur manusia itu juga menjadi daya tarik kawasan wisata lumpur.

    Kusno menambahkan, tenggelamnya 110 patung manusia lumpur itu sesuai dengan prediksi seniman pembuat patung, Dadang Christanto, yang mengatakan daya tahan patung hanya empat bulan terhitung sejak pembuatannya pada 29 Mei. Patung tidak tahan lama karena diletakkan di luar ruangan dan dibiarkan kepanasan serta kehujanan.

    Selain 110 patung, ribuan tangan harapan yang juga sempat memeriahkan delapan tahun semburan lumpur Lapindo juga ikut tenggelam tak tersisa. Tangan harapan itu sudah rata oleh lumpur yang kian meninggi. “Namun jangan harap semangat kami untuk menuntut ganti rugi ikut tenggelam, ganti rugi harga mati,” kata Kusno.

    Berdasarkan pantauan Tempo, kondisi 110 patung yang ikut memeriahkan delapan tahun lumpur Lapindo itu sudah parah. Banyak patung yang sudah miring tak terawat. Mayoritas patung sudah tenggelam oleh lumpur kental hingga dada. Namun ada pula yang sudah sampai leher. Jumlahnya pun dihitung dengan kasat mata sudah berkurang, sekitar 94 yang masih berdiri tegak.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/09/03/058604152/Lumpur-Lapindo-Meninggi-110-Patung-Tenggelam

  • Pansus Lumpur Kembali Somasi Lapindo

    SURYA Online, SIDOARJO – Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo di akhir jabatannya menyomasi Lapindo Brantas Inc sebanyak dua kali. Intinya, korban luapan lumpur Porong yang masuk peta area terdampak yang belum mendapat pelunasan ganti rugi segera dilunasi.

    Dalam pandangannya, jika somasi tak diindahkan, Pansus Lumpur meminta kepada pemerintah untuk menekan penyelesaian pembayaran pada korban lumpur yang masuk peta area terdampak. Dalam pembayaran ini, ada dua opsi. Mengingat korban lumpur yang ada di luar peta terdampak sudah dibayar melalui pembayaran APBN.

    Opsi yang ada yakni, pertama pemerintah diminta memberi dana talangan pada Lapindo Brantas Inc, untuk melunasi korban lumpur. “Tujuannya, agar korban lumpur segera mendapat pembayaran,” kata Sulkan Wariono, juru bicara Pansus lumpur DPRD Sidoarjo dalam sidang paripurna, Senin (18/8/2014).

    Opsi kedua, pemerintah membeli semua lahan korban lumpur yang belum dilakukan oleh Lapindo. Dengan cara seperti ini, nasib korban lumpur yang masuk peta terdampak bisa mendapat kepastian pembayaran. “Korban lumpur sudah terlalu lama menderita sehingga butuh kepastian,” tegas Sulkan.

    Hingga kini, korban yang ada di area peta terdampak masih banyak yang belum mendapat pelunasan meski asetnya sudah ditenggelamkan oleh luapan lumpur. Total pembayaran yang belum lunas sekitar Rp 700 miliar.

    “Kami hanya bisa berharap agar secepatnya dilunasi. Kami bersama korban lumpur lainnya sudah lama menunggu. Berbagai cara sudah kami tempuh agar dibayar tapi sampai saat ini masih belum ada hasil,” tutur Ny Wiwik salah satu korban lumpur yang kerap ke DPRD.

    Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2014/08/18/pansus-lumpur-kembali-somasi-lapindo

  • Pemkab Baru Bangun SD Terdampak Lumpur

    SURYA Online, SIDOARJO – Pemkab Sidoarjo baru membangun sebuah sekolah dari 13 sekolah yang ditenggelamkan lumpur Lapindo di wilayah Porong. Sekolah yang sudah dibangun yakni SDN Kali Sampurno 3, Tanggulangin.

    Kepala Bidang TK/SD Dinas Pendidikan (Dindik) Sidoarjo, Drs. Joko Supriyadi, mengatakan, SDN Kali Sampurno 3 diharapkan bisa menampung siswa yang sekolahnya tenggelam lumpur.

    “Gedungnya bagus dan dibuat dua lantai, kalau dari segi fisik SDN itu termegah se-Sidoarjo. Lokasinya di sekitar Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II,” jelasnya, Jumat (25/7/2014).

    Sekolah yang dibangun cukup  besar sehingga biaya perawatannya cukup lumayan mahal. Kapasitas maksimal bisa 12 rombongan belajar. Satu rombel bisa sekitar 36 – 40 anak. “Jadi totalnya bisa menampung sekitar 400 – 500 siswa,” jelas Joko Supriyadi.

    Fasilitas yang ada cukup lumayan seperti ruang kantor, ruang guru, ruang lab, ruang rapat, perpustakaan, ruang UKS, dan termasuk gudang. “Biaya sekolah sharing dengan pusat, yaitu 6 lokal dari BNPB dan 6 lokal yang lain dari APBD,” ujarnya.

    Lembaga sekolah dasar yang tenggelam di antaranya SDN Siring, SDN Kedungbendo 1, 2, 3, SDN Reno Kenongo 1, 2, 3. Kemudian yang terdampak  itu mulai dari SDN Jatirejo, SDN Besuki, SDN Pejarakan dan yang terakhir SDN Mindi 1, 2, 3 dan SDN Ketapang. Sekolah yang tenggelam dan terdampak diharapkan segera ada gantinya, karena jumlah SDN di Sidoarjo makin lama makin menyusut.

    “Menyusutnya karena persoalan merger atau persoalan lain. Sementara jumlah penduduk terus meningkat, tentunya jumlah siswa juga akan terus meningkat,” ungkap Joko.

    © Anas Miftakhudin | Tribunews.com | 25 Juli 2014

    Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2014/07/25/pemkab-baru-bangun-sd-terdampak-lumpur

  • Korban Lapindo Nyekar Leluhur di Tanggul Lumpur

    Korban Lapindo Nyekar Leluhur di Tanggul Lumpur

    TEMPO.CO, Sidoarjo- Menjelang lebaran Idul Fitri, puluhan warga korban lumpur lapindo mendatangi titik 42 Desa Renokenongo Porong Sidoarjo. Mereka berkumpul tepat di bawah tenda biru dan menggelar istighozah dilanjutkan tabur bunga di pinggir tanggul titik 42.

    Pada istighozah itu mereka mendoakan arwah sesepuhnya yang sudah meninggal dan makamnya terendam oleh luapan panas Lapindo. ”Kami ingin mendoakan sesepuh, semoga beliau diterima di sisi-Nya,” kata penanggung jawab sementara Desa Renokenongo, Subakrie, kepada wartawan usai acara istighozah, Kamis, 24 Juli 2014.

    Menurut Subakrie, kegiatan itu biasa dilakukan tiap tahun menjelang Idul Fitri guna mengingat dan mendoakan arwah sesepuhnya yang makamnya dulu berada di sekitar titik 42 itu. Selain itu, tradisi dalam Islam ketika menjelang lebaran biasanya nyekar ke makam-makam. “Karena di sini makamnya sudah terendam, maka kami hanya nyekar di tanggul saja,” katanya.

    Koordinator penggerak istighosah, Djuwito, mengatakan acara itu sengaja digelar menjelang lebaran, bahkan biasanya satu atau dua hari menjelang lebaran. “Namun karena sekarang hari Kamis dan nanti malam tepat malam Jumat yang terakhir dari bulan ramadan maka kami selenggarakan hari ini,” kata dia.

    Istighozah itu, kata dia, selain mendoakan arwah sesepuhnya, mereka berharap supaya menyentuh hati pemerintah segera melunasi ganti rugi yang belum terbayarkan hingga saat ini. “Sudah delapan tahun kami terlunta-lunta disiksa oleh pemerintah, mereka sudah tak peduli pada kami,” kata dia.

    Subakrie, mengatakan Presiden SBY pernah berjanji untuk menyelesaikan masalah ganti rugi ini pada masa pertengahan masa jabatannya atau pada masa akhir masa jabatannya. “Dan sekarang sudah masuk pada masa akhir masa jabatanya, kami berharap sebelum berakhir masa jabatannya untuk menyelesaikan masalah ganti rugi,” kata dia.

    Menurut Subakrie, pihak korban lumpur yang dibantu oleh beberapa pengacara dan para mahasiswa fakultas hukum Surabaya telah melayangkan permohonan kepada SBY, inti permohonan kami hanya ada dua, yaitu meminta dana talangan kepada pemerintah dan pembayaran ganti rugi dilaksanakan oleh pemerintah. “Keduanya ini sama-sama menguntungkan kami,” kata dia.

    Permohonan itu, kata Subakrie, sudah diterima kantor Sekretaris Negara dan akan segera diberikan kepada SBY untuk diminta tandatangani dan pengesahan dari presiden. Dalam waktu dekat, korban Lapindo akan pergi ke Jakarta untuk menemui SBY. “Tepatnya satu minggu setelah lebaran,” kata dia.

    Selain itu pula, para korban lumpur ini akan sowan kepada presiden yang baru untuk membantu memuluskan atau merealisasikan ganti rugi itu. “Semoga pak SBY dan presiden yang baru masih punya hati nurani untuk membantu kami,” kata dia.

    © MOHAMMAD SYARRAFAH | Kamis, 24 Juli 2014

    Sumber: http://ramadan.tempo.co/read/news/2014/07/24/155595556/Korban-Lapindo-Nyekar-Leluhur-di-Tanggul-Lumpur

     

     

  • Surat Terbuka untuk Bapak Joko Widodo Terkait Solusi Lumpur Lapindo

    Surat Terbuka untuk Bapak Joko Widodo Terkait Solusi Lumpur Lapindo

    KEPADA Bapak Joko Widodo yang saya hormati,

    Nama saya Andri Gunawan Wibisana.  Saya dosen hukum lingkungan di UI.  Beberapa tahun terakhir, salah satu isu yang saya teliti adalah penyelesaian kasus Lumpur Lapindo. Saya telah menerbitkan beberapa artikel terkait penelitian ini.  Dari penelitian ini, saya melihat bahwa kasus Lumpur Lapindo tidak hanya menunjukkan ketidakseriusan pemerintah SBY dalam menyelesaikan persoalan lingkungan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana pemerintah SBY gagal menegakkan hukum dalam pencemaran yang dilakukan oleh korporasi yang kepemilikannya terkait dengan orang kuat di Indonesia, Aburizal Bakrie.

    Selama ini, Pemerintah SBY telah memilih untuk menyelesaikan persoalan kompensasi bagi korban Lapindo dengan dua jalan. Di satu sisi, mereka yang termasuk ke dalam Peta Area Terdampak (PAT) akan diberikan kompensasi oleh PT Lapindo Brantas. Di sisi lain, mereka yang berada di luar PAT akan diberikan kompensasi oleh Negara dengan dana dari APBN. Trilyunan rupiah telah digelontorkan oleh negara baik untuk kompensasi ini maupun untuk biaya penanggulangan Lumpur Lapindo.

    Jalan yang ditempuh oleh SBY tersebut tidaklah adil, karena secara diskriminatif telah membedakan korban ke dalam dua kelompok.  Dengan adanya perbedaan kelompok ini, maka pemerintah telah membedakan perlakuan bagi para korban. Sialnya, korban yang termasuk ke dalam PAT mengalami keterlambatan pembayaran.  Nasib mereka semakin terkatung-katung dengan ketidakmampuan PT Lapindo untuk membayar kompensasi yang menjadi kewajibannya.

    Pada sisi lain, jalan yang ditempuh oleh SBY tersebut juga tidak sesuai dengan prinsip pencemar ‘membayar’ (the polluter pays principle), karena pencemar (dalam hal ini PT Lapindo) hanya dikenai beban yang sebenarnya ringan, yaitu hanya berkewajiban untuk membayar kompensasi pada korban hanya di daerah PAT.

    Tidak mungkin bagi saya untuk berharap Prabowo dapat melakukan penyelesaian kasus Lumpur Lapindo ketika dia sendiri bahkan telah menawarkan posisi “menteri utama” kepada Aburizal Bakrie.  Tetapi, saya berharap jika Bapak Jokowi menjadi Presiden yang akan datang, Bapak bisa menyelesaikan kasus Lumpur Lapindo secara tuntas dan adil. Saya lihat Bapak berani melakukan kontrak politik dengan para korban Lumpur Lapindo dan berjanji akan menyelesaikan kasus Lumpur Lapindo melalui Dana Talangan.

    Namun demikian, izinkan saya mengusulkan hal berikut kepada Bapak. Solusi Dana Talangan yang ditawarkan oleh Bapak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-X/2012.  Putusan ini diajukan oleh pemohon yang menuntut dihapuskannya pembedaan perlakuan antara korban yang berada di dalam PAT dan di luar PAT.  Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa penggunaan APBN untuk penanganan kasus Lumpur Lapindo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali penggunaan APBN ini dimaknai bahwa: ‘Negara dengan kekuasaan yang ada padanya harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah Peta Area Terdampak oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu.’

    Putusan MK tersebut dengan demikian menegaskan bahwa negara tidak boleh mengizinkan adanya perlakuan yang berbeda di antara para korban Lumpur Lapindo. Jika negara bermaksud melunasi kompensasi untuk korban di luar PAT, maka negara juga harus menjamin bahwa korban di dalam PAT juga akan dilunasi kompensasinya. Solusi Dana Talangan dari Bapak sudah menghilangkan dualisme pembayaran kompensasi yang selama ini terjadi.  Dengan Dana Talangan ini, maka seluruh korban akan diberikan kompensasi melalui dana yang disediakan oleh negara.

    Tetapi, perlu Bapak sadari bahwa Dana Talangan ini belumlah merupakan solusi yang menyeluruh untuk menyelesaikan kasus Lumpur Lapindo. Dana Talangan ini adil bagi para korban Lumpur Lapindo, namun tidaklah adil dalam kacamata warga negara lainnya. Sebaliknya, solusi Data Talangan ini justru berpotensi akan membebaskan perusahaan pencamar, yaitu Lapindo, dari kewajiban dan tanggung jawabnya. Singkatnya, solusi Dana Talangan ini berpotensi melanggar prinsip pencemar membayar.

    Karenanya, untuk menghindari persoalan dari Dana Talangan yang diusulkan Bapak, maka Dana Talangan perlu disertai dengan serangkaian langkah hukum.  Ini berarti sesuai dengan solusi yang Bapak tawarkan, Pemerintah menanggung semua kompensasi bagi para korban Lumpur Lapindo.  Namun demikian, langkah Pemerintah ini perlu disertai dengan Gugatan Pemerintah kepada PT Lapindo Brantas untuk meminta penggantian (reimbursement) atas semua pengeluaran yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk menangani kasus Lumpur Lapindo. Di samping itu, Gugatan Pemerintah di atas juga perlu disertai dengan dihidupkannya kembali penyelidikan dan penyidikan atas dugaan tindak pidana dalam kasus Lumpur Lapindo.

    Solusi di atas penting untuk menegaskan bahwa pada satu sisi negara hadir dalam melindungi para korban, dan pada sisi lain negara pun hadir untuk membuat para pencemar dan penjahat lingkungan membayar serta bertanggungjawab atas kejahatan yang telah dilakukannya. Dengan solusi ini, pemerintah berarti menegaskan bahwa Indonesia bukanlah surga bagi para penjahat lingkungan, bukanlah negara yang akan membiarkan para pencemar bertindak seolah-olah mereka tidak bersalah dan tak bisa tersentuh hukum.

    Dibandingkan dengan pasangan Prabowo-Hatta, Bapak Jokowi dan JK jelas memberikan harapan yang lebih besar dalam hal penyelesaian kasus Lumpur Lapindo secara tuntas dan adil. Bapak Jokowi dan JK tidak memiliki beban politik transaksional dengan pihak yang selama ini dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya luapan Lumpur Lapindo.  Namun demikian, harapan ini tidak akan berarti apa-apa, jika upaya yang akan ditempuh hanyalah sebatas pada pengambilalihan pembayaran kompensasi kepada korban melalui Dana Talangan. Bapak harus secara tegas menyatakan akan menyelesaikan dua cara penyelesaian Lumpur Lapindo: Pertama, mengambil alih pembayaran kompensasi bagi seluruh korban Lumpur Lapindo; dan kedua, pada saat bersamaan menggugat Lapindo untuk membayar semua biaya yang telah dikeluarkan oleh negara, serta mengusut dugaan tindak pidana dalam kasus Lumpur Lapindo. Sudah saatnya penjahat lingkungan diminta pertanggungjawabannya atas kejahatan lingkungan yang mereka lakukan.  Sudah saatnya negara bersikap tegas terhadap para penjahat lingkungan.***

    Penulis adalah pengajar di Universitas Indonesia.

    Sumber: http://indoprogress.com/2014/07/surat-terbuka-untuk-bapak-joko-widodo-terkait-solusi-lumpur-lapindo/

  • 2 Bulan Tanggul Lumpur Diblokade Warga, BPLS Angkat Tangan

    SIDOARJO – Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) selama dua bulan ini tidak bisa beraktivitas menangani lumpur. Pasalnya, warga korban lumpur masih melarang segara aktivitas penanganan lumpur sebelum ganti rugi mereka dilunasi.

    Sejauh ini tidak ada solusi untuk menyelesaikan masalah itu, karena Lapindo Brantas Inc tak kunjung melunasi ganti rugi korban lumpur.

    Akibatnya, kekuatan tanggul lumpur tinggal menghitung hari saja karena kondisi di kolam lumpur semakin penuh.

    Humas BPLS, Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan pengerjaan tanggul dihentikan warga sejak tanggal 18 Mei lalu. Pihaknya tidak bisa berbuat banyak, bahkan tak berani beraktivitas karena khawatir terjadi gesekan antara korban lumpur dan petugas dari BPLS.

    Sedangkan kondisi lumpur saat ini, lanjut Dwinanto, air di permukaan lumpur memang terlihat meninggi.

    Hal tersebut mengindikasikan bahwa semburan dari pusat semburan lumpur lebih banyak didominasi oleh air dibandingkan dengan lumpur.

    Sejak musim penghujan usai, tidak ada pengaliran lumpur ke Sungai Porong. Sehingga, pond hanya menampung volume yang dikeluarkan dari pusat semburan.

    “Praktis selama dua bulan kita tidak bisa membuang lumpur ke Sungai Porong,” jelas Dwinanto.

    Jika pembuangan lumpur ke Sungai Porong terhenti, otomastis lumpur akan menumpuk di kolam penampungan (pond).

    Jika sewaktu-waktu hujan turun, dikhawatirkan lumpur penuh dan akan meluber menggenangi Jalan Raya Porong dan rel KA jurusan Surabaya-Malang.
    Apa yang dilakukan agar warga memperbolehkan BPLS memperkuat tanggul lagi.

    Dwinanto mengaku, pihaknya sudah seringkali berdialog dengan warga korban lumpur. Namun, mereka mengaku tidak akan mengijinkan BPLS memperkuat tanggul sebelum ganti rugi aset mereka dilunasi.

    Sampai saat ini,  Lapindo Brantas Inc berkewajiban membayar sebanyak 13.237 berkas yang kini tinggal 3.348 berkas dengan nilai pembayaran sebesar Rp786 miliar.

    Dana yang dikeluarkan Lapindo untuk membayar aset warga sebesar Rp3,043 triliun. Atau dengan kata lain, sebanyak 75% berkas sudah lunas pembayarannya.

    Sedangkan total dana yang dikeluarkan oleh Lapindo untuk menangani lumpur sampai kini sudah sekitar Rp8 triliun.

    Dengan rincian, untuk penanganan semburan lumpur sekitar Rp5 triliun dan membayar aset warga sekitar Rp3 triliun.

    Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Emir Firdaus mengatakan, jika saat ini penyelesaian ganti rugi belum juga tuntas. Apalagi, belum ada kejelasan dari Lapindo kapan akan melunasi sisa pembayaran ganti rugi tersebut.

    Emir menjelaskan penyelesaian ganti rugi korban lumpur perlu ada campur tangan pemerintah.

    Sayangnya, sampai saat ini belum ada kepastian dari pemerintah kapan akan mengucurkan dana talangan untuk pelunasan ganti rugi.

    “Kita berharap secepatnya ada dana talangan dari pemerintah untuk korban lumpur,” tandasnya. (Abdul Rouf)

    Sumber: http://daerah.sindonews.com/read/882472/23/2-bulan-tanggul-lumpur-diblokade-warga-bpls-angkat-tangan

  • Relasi Kuasa antara Korban Lapindo dan Grup Bakrie

    Relasi Kuasa antara Korban Lapindo dan Grup Bakrie

    Oleh Anton Novenanto

    [sumber: http://novenanto.lecture.ub.ac.id/relasi-kuasa-antara-korban-lapindo-dan-grup-bakrie]

    Salah satu hal yang selalu menarik perhatian saya dalam mengamati perkembangan kasus Lapindo adalah mengamati strategi Grup Bakrie dalam mendayagunakan jejaring sosial, politik, dan ekonomi agar bisa bertahan dari krisis yang ditimbulkan oleh semburan lumpur tersebut. Catatan singkat ini hanyalah sebagian kecil dari usaha saya melakukan penelusuran terhadap strategi politik ekonomi Grup Bakrie dalam rangka mengamankan diri dari kasus Lapindo.

    Sepenggal informasi

    Catatan ini dipicu oleh sepenggal informasi yang hadir dalam sebuah berita pendek di harian Jakarta Post:

    Bakrieland spends Rp 3.1t on acquisition

    Publicly listed developer Bakrieland Development announced Thursday that it would take over shares of PT Mutiara Masyhur Sejahtera (MMS), formerly owned by PT Minarak Labuan Indonesia, in a Rp 3.1 trillion (US$260 million) deal.

    In a published prospectus, Bakrieland said it had signed an agreement on June 30 to acquire 750,000 MMS shares, which brings the company’s ownership in the developer to 99.21 percent.

    MMS operates 500 hectares of land in Sidoarjo, East Java, which Bakrieland says will be developed into a superblock.

    The transaction is considered big for Bakrieland, which is owned by politically wired business tycoon Aburizal Bakrie, given the company used its December book for the acquisition.

    As of December, the company had Rp 140.45 billion in cash and cash equivalents and Rp 1.08 trillion in inventory.

    The company’s liabilities stood at Rp 5.13 trillion and total assets were Rp 12.3 trillion. The company booked Rp 232.23 billion in net losses last year, an improvement from its Rp 1.1 trillion losses in 2012.

    Minarak Labuan, meanwhile, was closely associated to Bakrie’s Lapindo Brantas, which was considered responsible for the high-profile Sidoarjo mud disaster. (Courtesy of Jakarta Post, 4 Juli 2014)

    Berita itu menghadirkan sepenggal informasi yang membantu kita memahami kompleksitas relasi kuasa korban Lapindo dan Grup Bakrie. Dari berita itu kita mendapatkan informasi menarik bahwa Minarak Labuan, yang selama ini adalah ternyata pemilik saham PT Mutiara Masyhur Sejahtera (MMS), akan memindahkan kepemilikan sahamnya itu pada Bakrieland Development. Minarak Labuan, seperti ditulis dalam bagian akhir berita tersebut, merupakan salah satu aktor dalam kasus Lapindo. Sementara itu, MMS adalah perusahaan pengembang perumahan, Kahuripan Nirvana Village (KNV), yang diperuntukkan bagi korban Lapindo.

    Serpihan informasi tentang posisi Minarak Labuan, sebagai bagian dari gurita bisnis Grup Bakrie, dalam kasus Lapindo yang tersampaikan melalui berita itu tentunya hanya akan bermakna dan, oleh karenanya, menjadi penting bagi produksi pengetahuan tentang kasus Lapindo bila dia dihubungkan dengan serpihan-serpihan informasi yang lain. Untuk itu, saya merasa penting untuk mengajak pembaca menelusuri kembali keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo sebagai salah satu usaha merekonstruksi pengetahuan tentang kasus tersebut.

    Beban Lapindo

    Selama ini, dengan mengandalkan data yang berhasil terkumpul, saya hanya berhasil melacak keterlibatan Minarak Labuan sebagai pihak yang memberikan pinjaman berupa dana segar pada Energi Mega Persada (EMP), pemilik seluruh saham Lapindo Brantas, untuk membiayai pengeluaran mitigasi awal semburan lumpur Lapindo (upaya menutup semburan – yang gagal – dan membangun tanggul) (Novenanto 2013: x–xi). Pinjaman dari Minarak Labuan merupakan hal yang tidak hanya penting, tapi juga mendesak dibutuhkan oleh Lapindo Brantas mengingat, sekalipun pemerintah pusat sudah membentuk Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Panas di Sidoarjo (Timnas) sebagai badan ad hoc pemerintahan yang berfungsi untuk melakukan tiga langkah mitigasi – menutup semburan, menangani luapan lumpur, dan mengatasi permasalahan sosial –, seluruh pembiayaan usaha mitigatif tersebut dibebankan pada Lapindo, seperti tertulis dalam Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 (Keppres 13/2006), yang terbit pada September 2006.

    Pada 4 Desember 2006, setelah mendapat banyak tekanan dari korban dan juga dari pemerintah, Lapindo Brantas menyatakan kesanggupannya untuk membeli tunai tanah dan bangunan yang terendam lumpur dari para warga yang disampaikan melalui suratnya pada Timnas (dengan tembusan yang ditujukan juga pada presiden dan wakil presiden). Harga yang disanggupi adalah Rp 1 juta per meter persegi tanah pekarangan, Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan, dan Rp 120.000 per meter persegi tanah sawah. Untuk menjalankan mekanisme, yang kemudian lebih dikenal dengan “cash and carry”, itu disebutkan Lapindo akan membayar secara bertahap: uang muka 20% dan sisanya (80%) dibayar sekaligus sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan. Mekanisme pembayaran semacam ini kemudian dilegalkan dalam Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007) yang dirilis empat bulan setelah surat Lapindo pada Timnas itu.

    Jika seluruh nilai aset korban tersebut harus dibayar dengan tunai, maka mengikuti kalkulasi Lapindo harus mempunyai uang tunai sebesar Rp 3,8 triliun (+ US$ 421 juta). Hal ini merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, mengingat aset total Lapindo kala itu hanya sekitar US$ 90 juta. Artinya, sekalipun perusahaan itu dijual hasilnya masih jauh dari cukup untuk bisa membayar kewajiban pada korban lumpur “dalam peta”. Peta yang dimaksud di sini adalah peta area terdampak tertanggal 22 Maret 2007, dilampirkan pada Perpres 14/2007, sebuah wilayah yang menjadi tanggung jawab Lapindo.

    Peta 22 Maret 2007

    Yang kerap kali luput oleh publik dan media adalah salah satu butir tentang opsi relokasi yang tercantum dalam surat 4 Desember 2006. Selain menyatakan kesanggupannya untuk membeli tanah dan bangunan warga, Lapindo juga menyatakan tetap membuka kesempatan bagi warga yang menghendaki pilihan relokasi ke “Kawasan Sidoarjo Baru”. Pada waktu surat itu dirilis, belum terdapat kejelasan dimanakah lokasi “Sidoarjo Baru” itu, namun, mengandalkan visualisasi imajiner yang disampaikan Lapindo, banyak korban menolak opsi relokasi itu dengan alasan kawasan “Sidoarjo Baru” itu “terlalu modern atau terlalu kota” padahal mereka menghendaki untuk pindah ke wilayah yang “masih berbau desa”. Belakangan, setelah melalui proses yang panjang dan berliku, banyak korban akhirnya memilih opsi “cash and resettlement” ini.

    Disposisi “relasi kuasa”

    Untuk memenuhi kewajiban tersebut tanpa harus menutup anak perusahaannya itu, Grup Bakrie pun harus memutar otak bisnisnya dan salah satu strategi yang dilakukan adalah dengan menyalurkan dana segar ke Lapindo melalui anak perusahaannya yang lain, Minarak Labuan, sebuah perusahaan konstruksi berbasis di Labuan, Malaysia. Dana dari Minarak Labuan itu diberikan dalam bentuk pinjaman kepada EMP, yang sejak Juli 2008 dikonversikan menjadi saham EMP di Lapindo, dan sejak saat itu Lapindo menjadi di bawah kepemilikan Minarak Labuan – masih dalam Grup Bakrie, namun beda manajemen. Strategi Grup Bakrie dalam kasus Lapindo tidak berhenti di situ, setelah melalui proses negosiasi panjang Minarak Labuan pun berhasil mengakuisisi andil Medco Energi (pada Maret 2007) dan Santos (Desember 2008) di Blok Brantas. Alhasil, begitu masuk tahun 2009, Blok Brantas sudah berada sepenuhnya dalam kendali Grup Bakrie, melalui Minarak Labuan (Novenanto 2013: xi).

    Tidak banyak orang, termasuk saya, yang tahu secara pasti tentang posisi dan keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo. Kebanyakan korban, peneliti, jurnalis, pejabat, ataupun aktivis hanya familiar dengan “Minarak” karena nama itu merujuk pada “Minarak Lapindo Jaya” (MLJ), sebuah perusahaan yang baru dibentuk Lapindo Brantas khusus untuk melakukan pembayaran kepada korban “dalam peta”. Publik – termasuk saya, sebelumnya – memahami bahwa MLJ ini didirikan untuk merespons Perpres 14/2007, untuk memudahkan mekanisme pembayaran “ganti-rugi” pada korban. (Alasan yang paling mendasar adalah Lapindo Brantas adalah perusahaan asing, didirikan dan terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, yang menurut undang-undang tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli tanah di Indonesia, cf. Batubara & Utomo 2012). Akan tetapi, berdasarkan sebuah penelusuran dokumen, ada satu hal menarik yang jarang terungkap di media massa maupun di ruang publik lain, yaitu sebuah fakta bahwa MLJ sudah berdiri sebelum Perpres 14/2007 keluar. Bahkan, kesepakatan antara Lapindo dan MLJ tentang penyerahan penanganan pembelian tanah dan bangunan korban “dalam peta” pada MLJ sudah sebelum peta area terdampak dirilis. Disposisi tanggung jawab terhadap korban itu dituangkan dalam Surat Kesepakatan Bersama No. AGR-041/LGL/2007 tertanggal 21 Maret 2007 (Sari 2014: 4) ini berarti sehari sebelum peta area terdampak dirilis pada 22 Maret 2007.

    Sayang, saya tidak bisa melacak kapan tepatnya MLJ didirikan (informasi semacam ini perlu dicari dengan melakukan penelusuran ke lembaga pemerintahan yang mengurusi pendaftaran perusahaan baru), namun yang penting bagi catatan ini adalah sebuah fakta bahwa telah terjadi pergeseran relasi kuasa antara korban Lapindo dan Grup Bakrie: dari yang sebelumnya korban berinteraksi langsung dengan Lapindo Brantas, menjadi korban berinteraksi dengan MLJ. Dalam prosesnya transaksi dengan warga, MLJ hanya mau melakukan transaksi dengan korban yang bisa menunjukkan bukti hak atas tanah dan bangunan yang sudah terendam lumpur dan menolak korban yang tidak memiliki bukti tersebut. Bagi warga yang tidak memiliki bukti hak atas aset mereka, MLJ memaksakan opsi “cash and resettlement” ke sebuah perumahan modern, Kahuripan Nirvana Village (KNV). Rupanya, MLJ telah melakukan kesepakatan dengan Mutiara Masyhur Sejahtera (MMS), perusahaan pengembang KNV. Intinya, MMS berkewajiban untuk menyediakan rumah baru bagi korban lumpur Lapindo di KNV dan MLJ berkewajiban untuk membayar segala biayanya.

    Tidak jelas kapan kesepakatan antara MLJ dan MMS itu terjadi, namun, menjelang jatuh tempo pembayaran sisa 80%, pada tanggal 25 Juni 2008, MLJ berhasil “membujuk”, untuk tidak mengatakan “memaksa”, para korban “tanpa sertifikat” yang tergabung dalam GKLL (Gabungan Korban Lumpur Lapindo) untuk menandatangani Nota Kesepahaman tentang penyelesaian sisa pembayaran dengan mekanisme “cash and resettlement” ke KNV. Dari enam butir kesepakatan yang tercantum dalam Nota Kesepahaman itu yang paling menarik adalah pernyataan yang merupakan penegasan sikap bahwa MLJ “tidak akan melaksanakan pembayaran cash and carrykepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan Petok D/Letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapun” (Butir 5). Untuk korban dengan kondisi demikian, MLJ memberlakukan mekanisme “cash and resettlement”, barter dengan rumah baru di KNV.

    Tidak semua korban sepakat dengan Nota Kesepahaman antara MLJ dan GKLL tersebut.  Sejumlah korban yang tetap menuntut pembayaran sisa aset dengan mekanisme “cash and carry” menggabungkan diri dalam Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden). Kelompok ini melihat mekanisme “cash and resettlement” melanggar Perpres 14/2007 yang secara jelas mencantumkan kewajiban Lapindo untuk membayar dengan mekanisme tunai, “cash and carry” dan, sejak saat itu, korban “dalam peta” terbelah menjadi dua kelompok besar: “cash and carry” dan “cash and resettlement”.

    Berbarengan dengan terbelahnya korban “dalam peta” muncul relasi kuasa baru yang melibatkan aktor baru, yaitu: MMS, perusahaan pengelola KNV. Karena nilai aset yang bervariasi, MMS menawarkan beberapa tipe rumah yang berbeda agar korban dapat memilih unit rumah dengan harga yang sesuai dengan nilai sisa asetnya. Selain itu, MMS juga menerapkan suatu kondisi bahwa bila nilai sisa aset korban melebihi harga sebuah rumah baru di KNV, MMS akan mengembalikan sisanya (susuk), namun bila nilai aset tidak mencukupi harga sebuah rumah baru di KNV korban harus membayar selisihnya. Ikatan semacam ini membuat kelompok “cash and resettlement” tidak lagi terikat dalam relasi kuasa dengan MLJ, melainkan dengan MMS, pengelola KNV, dan dalam prosesnya MMS akan menagih hak mereka pada MLJ.

    Kewajiban yang belum tuntas

    Untuk korban yang bersikeras dengan mekanisme “cash and carry”, pada Desember 2008, MLJ menyatakan akan membayar mereka dengan mekanisme cicilan bulanan sebesar Rp 30 juta per berkas, yang kemudian direvisi menjadi Rp 15 juta per berkas. Namun, memasuki tahun 2013, MLJ menghentikan secara sepihak pembayaran cicilan tersebut. Menyikapi hal ini, korban pun mulai melakukan aksi demonstrasi. Para korban ini pun mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU No. 15 Tahun 2013 tentang APBN Perubahan 2013. Inti dari permohonan kelompok korban ini adalah telah tindak diskriminatif yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok korban “cash and carry”. Dalam APBN Perubahan 2013, pemerintah hanya mencantumkan pelunasan pembayaran kompensasi bagi korban “di luar peta” dan dengan demikian berarti tidak bertanggung jawab atas korban “dalam peta” dari kelompok “cash and carry”.

    Gugatan korban diajukan pada 19 September 2013 dan dikabulkan oleh MK melalui Putusan No. 83/PUU-XII/2013 yang dibacakan pada 26 Maret 2014. Sekalipun banyak korban menyambut “kemenangan” itu, putusan MK itu telah menimbulkan multitafsir dan masih belum final mengingat para korban harus menunggu regulasi baru yang memfasilitasi pelaksanaan putusan itu. Kabar terakhir, Menteri PU, sebagai Ketua Dewan Pengarah BPLS, memberi ultimatum pada MLJ untuk segera menuntaskan tanggung jawabnya sebelum 30 Juni 2014, sebagai responsnya terhadap keputusan itu (JPNN.com, 29 Mei 2014), akan tetapi sampai hari ini belum juga ada tanda bahwa MLJ akan segera melunasi kewajibannya tersebut.

    Selama ini, pemerintah, khususnya BPLS, berdalih bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk menengahi konflik antara kelompok “cash and carry” dan MLJ terkait belum tuntasnya pembayaran ganti-rugi tersebut. Alasan naif yang meluncur adalah pemerintah, dalam hal ini BPLS, hanya bertanggung jawab atas korban “di luar peta” sehingga apa yang terjadi dengan korban “dalam peta” bukanlah urusan pemerintah melainkan Lapindo (seperti diatur dalam Perpres 14/2007) dan oleh karena itu tidak ada payung hukum yang mengatur pemerintah untuk bertanggung jawab juga atas kelompok ini. Para pejabat pemerintah yang naif itu, termasuk presiden republik ini(!), hanya sekadar mengingatkan Lapindo untuk segera melunasi pembayarannya, tanpa pernah bisa (atau tidak mau[?]) menghukum Lapindo yang sudah secara kasat mata telah melanggar peraturan yang ditetapkannya. Tentunya, setelah putusan MK keluar, kita bertanya-tanya: apakah pemerintah akan benar-benar melakukan intervensi terhadap relasi kuasa antara kelompok “cash and carry” dan MLJ? Jika ya, bagaimana bentuknya intervensi itu? Jika tidak, otoritas politik macam apa lagi yang dapat menjamin nasib para korban tersebut?

    Kok baru sekarang?
    Kok baru sekarang?

    Sampai saat ini, perhatian publik terhadap perkembangan kasus Lapindo lebih terfokus pada relasi kuasa antara korban (“cash and carry”) dan MLJ seputar kapan perusahaan itu akan membayar lunas para korban ini. Belakangan, persoalan sertifikat aset korban di KNV mulai mencuat ke permukaan seiring dengan semakin banyaknya aksi massa yang mengangkat hal tersebut. Salah satu pemicunya adalah, berdasarkan kesepakatan awal dengan kelompok korban “cash and resettlement”, MMS berjanji akan memberikan sertifikat tanah dan bangunan di KNV pada korban setelah setahun mereka menandatangani kontrak dengan MMS. Namun, sampai April 2014, dari seluruh 2.151 berkas korban, baru 332 berkas yang disahkan BPN dan 75 berkas yang sudah tuntas dan diserahkan pada korban (vivanews.co.id, 4 April 2014), yang menunjukkan betapa lambatnya proses sertifikasi aset di KNV. Banyak korban berpendapat bahwa pembayaran terhadap kelompok “cash and resettlement” belumlah 100% tuntas sampai sertifikat tanah dan rumah di KNV sampai ke tangan mereka.

    Dari seluruh rangkaian fakta tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa proses pembayaran ganti-rugi pada korban Lapindo, baik dari kelompok “cash and carry” maupun kelompok “cash and resettlement”, belum semuanya tuntas. Selama ini, perhatian publik lebih terfokus pada kelompok “cash and carry” karena relasi kuasa yang terjadi antara kelompok ini dan MLJ lebih kentara dan cenderung konfliktual. Tentunya, hal ini membuat relasi kuasa antara kelompok “cash and resettlement” dan MMS menjadi sedikit terabaikan, padahal ada problem laten, terkait dengan sertifikasi aset di KNV, yang menandakan bahwa pembayaran ganti-rugi bagi kelompok ini – yang dilakukan dengan mekanisme barter – pun belumlah tuntas. Namun, sekali lagi “uang” (bagi kelompok “cash and carry”) seolah-olah lebih menarik di mata publik dibandingkan “sertifikat” (bagi kelompok “cash and resettlement”) – sekalipun keduanya sebenarnya tidak lebih dari “selembar kertas”.

     

    Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Memperluas horizon, mengurai kompleksitas

    Pada titik ini, kita perlu kembali pada penggalan informasi yang terlontar dalam berita Jakarta Post yang dikutip di awal tadi. Berita tersebut menjawab sebagian kecil dari pertanyaan yang beredar selama ini, “darimanakah modal MMS untuk mendapatkan lahan untuk KNV dan membangun seluruh rumah yang diperuntukkan bagi korban Lapindo itu?” Jawabnya, “dari Minarak Labuan!” Sebelum ini, saya masih yakin bahwa MMS yang mengelola KNV itu merupakan unit usaha Grup Bakrie namun terlepas sepenuhnya dari Minarak Labuan, akan tetapi penggalan informasi dalam berita Jakarta Post tersebut membuka satu misteri di balik kompleksitas relasi kuasa antara Grup Bakrie dan korban Lapindo, yaitu tentang keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo.

    Transaksi saham MMS tersebut memunculkan pertanyaan besar, khususnya di kalangan pelaku ekonomi. Berdasarkan laporan harian Trimegah Securities tanggal 4 Juli 2014 (unduh di sini), kita mendapat informasi bahwa untuk membiayai akuisisi saham MMS itu, Bakrieland harus menjual Epicentrum Walk (senilai Rp 297 milyar) dan tiga hektar tanah di Rasuna Episentrum (senilai Rp 869 milyar) ke Bumi Serpong Damai (BSD), satu unit usaha properti milik Grup Sinarmas. Menurut analisis Trimegah itu, langkah Bakrieland tersebut – melepas tanah tiga hektar di Rasuna Epicentrum untuk mengakuisisi MMS dan mengelola tanah seluas 500 hektar di Sidoarjo – bukanlah sebuah langkah yang menguntungkan. Akan tetapi, saya melihat bahwa pilihan pahit itu terpaksa diambil Grup Bakrie karena membutuhkan tanah di Sidoarjo itu sebagai salah satu strateginya untuk melancarkan kewajiban pada korban Lapindo. Tentunya perlu penelusuran lebih lanjut untuk melacak keputusan tersebut dalam konteks persaingan bisnis antar elite bisnis kelas kakap: Grup Bakrie vs. Grup Sinarmas.

    Jika kita jeli mencermati berita tersebut, maka kita menemukan fakta menarik bahwa nilai transaksi akuisisi saham Minarak Labuan di MMS oleh Bakrieland (Rp 3,1 triliun) kurang lebih setara dengan nilai ganti-rugi yang sudah dibayarkan MLJ pada korban “dalam peta” per 16 Desember 2013 (Rp 3,049 triliun). Kesamaan nominal ini membawa imajinasi saya kembali pada proses konversi saham Lapindo Brantas dari EMP ke Minarak Labuan pada pertengahan 2008. Saya kemudian bertanya-tanya: apakah yang terjadi dalam transaksi antara Minarak Labuan dan Bakrieland atas saham MMS adalah proses yang serupa dengan transaksi antara Minarak Labuan dan EMP atas saham Lapindo Brantas? Dalam artian begini, dalam transaksi dengan EMP, Minarak Labuan telah sebelumnya memberikan pinjaman pada EMP. Sebagai usahanya mengembalikan hutangnya itu, EMP mengkonversinya menjadi saham atas Lapindo Brantas dan, sebagai hasilnya, Lapindo Brantas beralih kepemilikan ke Minarak Labuan. Nah, dalam transaksi saham MMS, pertanyaannya kemudian: motif apa yang mendorong Bakrieland untuk pada akhirnya mengakuisisi saham perusahaan properti tersebut dari Minarak Labuan?

    Dari transaksi tersebut, kita bisa menarik konklusi sederhana bahwa keterlibatan Minarak Labuan dalam kasus Lapindo melampaui sekadar memberi pinjaman pada Lapindo Brantas terkait pembiayaan tindakan mitigatif awal semburan lumpur, namun juga menjamin pembayaran ganti-rugi pada korban Lapindo. Selama ini, mekanisme pembayaran itu berlangsung dengan dua cara: pembayaran tunai (cicilan bulanan pada kelompok korban “cash and carry”) dan barter (rumah baru di KNV pada kelompok korban “cash and resettlement”). Dengan melihat mekanisme itu, kita dapat melihat bahwa selama ini Minarak Labuan telah berperan sebagai aktor utama yang merepresentasikan Grup Bakrie dalam berhadap-hadapan dengan korban Lapindo – melalui dua anak perusahaannya, MLJ dan MMS. Jika MLJ berinterelasi dengan kelompok “cash and carry”, maka MMS berinterelasi dengan kelompok “cash and resettlement”. Yang kemudian relevan saat ini adalah sebuah fakta bahwa transaksi saham MMS, yang berarti peralihan kepemilikan MMSdari Minarak Labuan ke Bakrieland Development, menandai untuk sekian kalinya pergantian aktor yang merepresentasi Grup Bakrie untuk berhadap-hadapan dengan korban Lapindo, khususnya kelompok “cash and resettlement”.

    Bagan Relasi Kuasa antara Grup Bakrie dan Korban Lapindo
    Bagan Relasi Kuasa antara Grup Bakrie dan Korban Lapindo

     

    Merangkai mosaik kasus Lapindo

    Harus diakui, usaha mengurai kompleksitas relasi kuasa korban Lapindo dan Grup Bakrie bukanlah hal yang mudah. Selain karena banyaknya aktor yang terlibat dalam kasus Lapindo, informasi yang tentang kasus tersebut hadir, sering kali secara sporadis, dalam bentuk penggalan-penggalan di pelbagai waktu dan ruang yang berbeda. Catatan ini ditulis untuk tujuan mengurai kompleksitas kasus Lapindo dengan memusatkan perhatian pada relasi kuasa yang terbentuk antara korban Lapindo dan Grup Bakrie, yang dimulai dari penggalan informasi yang dihadirkan dalam berita Jakarta Post. Hal ini membuat saya semakin yakin bahwa historiografi (penulisan sejarah) tentang kasus Lapindo disusun berdasarkan keterputusan-keterputusan informasi yang menyebar di ruang publik.

    Menyusun historiografi tentang kasus Lapindo ibarat merangkai mosaik yang gambar utuhnya tidak pernah kita ketahui. Kesulitan itu ditambah dengan sebuah kenyataan bahwa kepingan-kepingan mosaik itu ada yang jelas terlihat, namun banyak yang tersembunyi dan sering kali tercampur dengan kepingan mosaik dari gambar yang lain. Hal semacam ini, pada satu sisi, usaha semacam itu membutuhkan keuletan, energi, kesabaran, dan ketahanan tingkat tinggi. Pada sisi lain, kita dihadapkan pada sebuah ketidakpastian tentang kapan usaha semacam itu akan purna sehingga kita akan menjumpai gambaran seutuhnya tentang kasus Lapindo yang kompleks ini? Tentunya, pertanyaan semacam ini perlu dilihat sebagai sebuah tantangan, ketimbang hambatan, untuk merangkai mosaik kasus Lapindo.

    Referensi acuan:

    Batubara, B. & P. W. Utomo 2012. Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo (ed H. Prasetia). Yogyakarta: INSISTPress.

    JPNN.com, 29 Mei 2014. Rp 781 miliar hak korban Lapindo macet. (http://www.jpnn.com/read/2014/05/29/237212/Rp-781-Miliar-Hak-Korban-Lapindo-Macet-).

    Novenanto, A. 2013. Menguak ketertutupan informasi kasus Lapindo. Dalam Membingkai Lapindo: Pendekatan Konstruksi Sosial atas Kasus Lapindo (ed) A. Novenanto, v–xviii. Jakarta & Yogyakarta: MediaLink & Kanisius.

    Sari, R. A. 2014. Problematik yuridis pendaftaran tanah bagi warga eks-korban lumpur Sidoarjo yang memilih skema “cash and resettlement” di Perumahan Kahuripan Nirvana Village, Sidoarjo. Jurnal Novum 2, 1–12.

    vivanews.co.id, 4 April 2014. Gembira, Warga Perumahan Kahuripan Nirwana Terima Sertifikat.(http://us.nasional.news.viva.co.id/news/read/494270-gembira–warga-perumahan-kahuripan-nirwana-terima-sertifikat).

  • Tanggapan Terbuka untuk Awang Harun Satyana

    Tanggapan Terbuka untuk Awang Harun Satyana

    Oleh Anton Novenanto

    Catatan ini merupakan tanggapan terbuka atas tulisan Awang Harun Satyana berjudul “Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo (?)” yang termuat dalam blog-nya (geotrekindonesia.wordpress.com). Tulisan Awang tersebut merupakan tanggapan Awang terhadap keberadaan sebuah buku yang ditulis oleh Henri Nurcahyo (2014) berjudul sama dengan judul tulisan Awang tersebut – hanya saja, judul buku itu tanpa tanda tanya (?) di belakangnya.

    Hal yang dapat dipetik dari tanggapan Awang itu, dan juga tanggapan saya ini, merupakan bukti bahwa pertarungan kuasa atas Kasus Lapindo masih belumlah tuntas. Bisa jadi, penerbitan buku Rekayasa Dongeng tidak mengakhiri pertarungan wacana itu, tapi justru mengawali pertarungan kuasa dalam ruang-ruang reproduksi budaya, yang lebih dahsyat dibandingkan perdebatan di forum ilmiah.

    Tanggapan Awang tentang buku Rekayasa Dongeng, tampaknya, tidak disusun berdasarkan pembacaannya terhadap bukunya langsung, tapi lebih mengacu pada artikel resensi saya terhadap buku tersebut, yang dimuat di korbanlumpur.info, yang merupakan reproduksi dari artikel asli yang dimuat pertama kali di Jawa Pos (Minggu, 5 Januari 2014). Dengan mengutip tiga paragraf dari resensi tersebut, Awang menyimpulkan keberadaan “dua tuduhan” yang sedang ditujukan pada dirinya. Karena Awang menggunakan artikel resensi saya tersebut sebagai acuan utamanya menulis, saya terusik untuk menuliskan tanggapan terbuka untuk beliau terkait tanggapannya tersebut.

    1. “Dua Tuduhan”

    Saya menganggap Awang tidak etis dalam melontarkan “dua tuduhan” dalam tulisannya tersebut. “Dua tuduhan” itu adalah sebagai berikut, seperti dikutip langsung dari tulisan Awang itu:

    1. Sebagai seorang geolog saya harusnya tidak menggunakan dongeng untuk pencarian kebenaran, saya harusnya menggunakan argumen berdasarkan data-data yang metodologis, yang ilmiah.

    2. Saya telah memanipulasi dongeng Timun Mas untuk memenangkan kasus Lapindo.

    Tidak jelas siapa yang sedang dimaksud Awang telah melontarkan “dua tuduhan” terhadapnya itu. Apakah Henri Nurcahyo, sang penulis buku? Ataukah saya, sang penulis resensi atas buku tersebut, yang menjadi acuan utama Awang dalam menuliskan tanggapannya tersebut?

    Dalam tradisi diskusi ilmiah, tentulah sangat tidak etis apabila seseorang memberikan tanggapan terhadap tulisan orang lain tanpa melakukan pembacaan menyeluruh dan teliti terhadap tulisan yang sedang ditanggapinya tersebut. Saya menyimpulkan bahwa Awang belum/tidak membaca buku Rekayasa Dongeng karya Henri Nurcahyo sebab tulisan itu hanya mengutip artikel resensi saya dan saya tidak menemukan adanya kutipan langsung dari buku tersebut dalam tanggapan Awang tersebut, yang memang betul-betul “menuduh”-nya. Saya lalu khawatir, karena yang diacu adalah artikel saya, Awang sebenarnya sedang menuduh saya melontarkan “dua tuduhan” itu kepadanya.

    Dalam Rekayasa Dongeng, Henri justru menunjukkan rasa “terima kasih”-nya pada Awang karena telah memberinya inspirasi menulis buku Rekayasa Dongeng. Tulis Henri (h. 3):

    Adalah Awang Harun Satyana, geolog yang mempopulerkan dan banyak mengupas dugaan semburan lumpur yang terjadi ratusan tahun yang lalu itu, ketika peristiwa semburan Lumpur Lapindo masih belum lama terjadi. Sebagai pakar geologi dia menggunakan keilmuannya menelusuri sejarah geologi terkait lumpur tersebut. Dengan segala kerendahaan hati, saya banyak mengutip pernyataan Awang dalam penulisan buku ini. Justru berangkat dari kajian yang dilakukan Awang dan kolega pakar geologi lainnya itulah yang membuat saya untuk menyeriusi lagi kaitan antara dongeng Timun Mas dan semburan lumpur, khususnya Lumpur Lapindo sebagai contoh.

    Sekalipun, masih dalam paragraf yang sama, Henri langsung secara tegas melakukan pembedaan antara peristiwa semburan lumpur Lapindo dan dongeng Timun Mas sebagai dua entitas yang pada awalnya tidak saling berhubungan dan oleh karena itu, bagi Henri,

    Membicarakan keduanya dalam satu bahasan yang sama tidak lebih dari upaya untuk memaknai dongeng Timun Mas tersebut yang kebetulan juga menyebut-nyebut mengenai danau lumpur sebagaimana yang terjadi di Porong sekarang ini.

    2. Menjawab tuduhan pertama: “data ilmiah”

    Kadar keilmiahan dongeng sebagai data ilmiah bukanlah perhatian utama Henri dalam Rekayasa Dongeng, hal itu terungkap dalam paragraf pembuka catatan pengantar Ayu Sutarto, Guru Besar Universitas Jember, untuk buku itu.

    Dalam era teknologi informasi ini bentuk-bentuk folklor lisan seperti gosip, desas-desus, kabar burung, kabar angin, ramalan dan othak-athik gathuk “menggabungkan satu gejala atau peristiwa dengan gejala atau peristiwa lain hingga terkesan memiliki keterkaitan” terkesan semakin banyak diminati. Peminatnya bukan hanya terdiri dari orang-orang yang berlatar pendidikan rendah, melainkan juga mereka yang berpendidikan tinggi. (h. 9)

    Ayu melihat bahwa peristiwa bencana, termasuk semburan lumpur Lapindo, selalu disertai dengan kemunculan desas-desus dan, menurutnya,

    Desas-desus lumpur Lapindo semakin bernuansa sejarah ketika seorang geolog, Awang Satya Laksana, menelusuri fenomena semburan lumpur tersebut dari berbagai aspek. (h. 14)

    Saya lalu melihat bahwa “tuduhan” pertama tentang “data ilmiah” disimpulkan dari satu paragraf kutipan langsung artikel resensi saya, yang disampaikan ulang dalam tanggapan Awang tersebut. Paragraf itu berbunyi demikian:

    Tentu saja, pencarian kebenaran dengan mengkaitkan dongeng Timun Mas dengan kondisi ekologis (danau lumpur) di dunia nyata, seperti yang dilakukan Awang, merupakan bukti bahwa dongeng berfungsi sebagai wacana. Usaha semacam ini merupakan ironi karena dilakukan oleh seorang geolog, yang idealnya menyusun argumen berdasarkan data-data yang metodologis, yang ilmiah, bukan dari sebuah dongeng.

    Jika pembaca membaca halaman per halaman Rekayasa Dongeng, maka pembaca tidak akan menemukan dua kalimat yang menyusun paragraf yang dikutip Awang tersebut. Yang artinya, dua kalimat tersebut adalah kalimat saya dan artinya, harus saya akui, kesimpulan tentang “ironi” itu adalah pendapat dari saya. (Dalam 206 halaman Rekayasa Dongeng, Henri menyebut kata “ironi” hanya satu kali (!) (h. 104) dan itu pun konteksnya bukan tentang metodologi atau data ilmiah.)

    Dalam tanggapannya atas “tuduhan” pertama itu, Awang kembali mengingatkan pembaca bahwa dongeng Timun Mas muncul pertama kali dalam kasus Lapindo dalam sebuah makalah yang disampaikannya di sebuah forum ilmiah di Bali (Satyana 2007) (makalah dapat diunduh di sini). Dengan sangat yakin Awang mengklaim bahwa “sumber-sumber sejarah” yang digunakannya dalam menyusun argumen (seperti Kitab Pararaton, Serat Kanda, dan Babad Tanah Jawi) untuk makalahnya itu adalah betul “data ilmiah”. Tentu saja, dalam kesempatan ini, saya tidak hendak memberi kuliah pada pembaca tentang bilamana data dikatakan ilmiah dan bilamana data itu tidak ilmiah. Yang menjadi pertanyaan saya adalah: apakah ketiga sumber yang digunakan oleh Awang tersebut bisa dikategorikan sebagai “sumber sejarah”?

    Di kalangan sejarawan, perdebatan tentang apakah ketiga “kitab” tersebut itu dapat digunakan sebagai sumber penulisan sejarah (historiografi) Jawa sudah lama terjadi. Yang mendasari perdebatan adalah, tentu saja, kitab-kitab itu anonim – tidak jelas siapa yang menulisnya. Hal ini berbeda, misalnya, dengan Nagarakertagama yang jelas-jelas mencantumkan identitas penulisnya, sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan, bukan atas dasar ilmiah, namun atas dasar kredibilitas sang penulisnya, Mpu Prapanca (Riana 2009; Slametmulyana 1979).

    Jika kita masuk ke ranah substansi dari Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi, maka kedua kitab itu lebih berfungsi sebagai narasi yang ditulis untuk melegitimasi berdirinya rejim politik (Mataram Islam). Secara singkat, terdapat sebuah kesepakatan – yang tentu saja dapat dipertanyakan kembali – di kalangan para sejarawan bahwa dua kitab itu bukan “sumber sejarah”, melainkan “tafsir terhadap peristiwa-peristiwa bersejarah tertentu” semacam “karya sastra” bahkan beberapa menyebut “ramalan” (Braker 1980; Carey 2008; Day 1978; Drewes 1966; Florida 1995; Pigeaud 1967; Rahardjo 2011; Ras 1987; Ricklefs 1972, 1979). Sementara itu, Kitab Pararaton lebih bercerita tentang proses berdirinya dua kerajaan besar Jawa, Singasari dan Majapahit, beserta silsilah para raja (itu juga sebabnya nama kitab itu adalah Para Raton, dari “para ratu”) dan peristiwa “penting” pada masa dua kerajaan tersebut (Noorduyn 1975; Phalgunadi 1996).

    Bahwa kitab-kitab tersebut adalah bukti kebesaran sejarah Jawa memang tak dapat dipungkiri, namun untuk menggunakannya sebagai “sumber penulisan sejarah” Jawa merupakan hal yang perlu dipikirkan ulang, apalagi sampai mengklaim bahwa data-data yang tersampaikan dalam kitab-kitab tersebut adalah “data ilmiah”. Fakta semacam ini tentunya terkadang menyakitkan bagi orang Jawa, termasuk saya, yang sudah mengganggap bahwa kitab-kitab tersebut adalah betul “sejarah Jawa”. Saya tidak paham apakah Awang mengikuti problematika perdebatan tentang metodologi penulisan sejarah (Jawa) dengan mengacu pada kitab-kitab tersebut dalam menulis makalahnya, dan beberapa tulisan selanjutnya.

    Dalam tulisan lain, masih di dalam blognya, yang berjudul “Gunung-gununglumpur Jawa & Madura: pendekatan geo-histori,” Awang kembali menggunakan secuil informasi dalam Serat Pararaton yang mencantumkan tentang sebuah peristiwa Pagunungan Anyar sebagai sebuah gununglumpur. Tentunya, kesimpulan ini sangat dangkal. Serat Pararaton hanya menyebutkan peristiwa dan tahun kejadiannya. Untuk itu, untuk mengklaim bahwa peristiwa Pagunungan Anyar adalah sebuah gununglumpur diperlukan sumber sejarah dan arkeologis yang lain sebagai pembanding dan tidak bisa hanya dengan mengandalkan informasi sepenggal yang muncul dalam Serat Pararaton.

    Pada titik ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa Awang perlu berhati-hati ketika menjumpai suatu sumber, karena sebagai seorang ilmuwan tentunya tidak bisa begitu saja mencomot sebuah pernyataan untuk digunakan menyusun argumen tanpa melakukan verifikasi dan menguji reliabilitasnya. Dalam kasus penggunaan tiga “kitab bersejarah” itu, perlulah diimbangi dengan dokumen/arsip sejarah ataupun bukti-bukti arkeologis sehingga tesis tentang Pagunungan Anyar adalah memang betul sebuah gununglumpur dapat dibuktikan secara ilmiah, bukan – meminjam istilah Ayu Sutarto – berdasarkan “desas-desus”.

    3. Menjawab tuduhan kedua: “manipulasi dongeng”

    Untuk menjawab tuduhan kedua tentang “manipulasi dongeng” Awang mengklaim bahwa dia tidak sedang melakukan manipulasi terhadap dongeng Timun Mas. Argumen yang dilontarkan adalah dongeng Timun Mas itu (yang menyebutkan tentang danau lumpur) diambilnya dari sebuah buku yang diterbitkan tahun 1999 oleh Elex Media Komputindo, penulisnya adalah S. Ashari. Intinya adalah dia tidak sedang mengarang dongeng itu, tapi dongeng itu ditemukan dan diambil dari sebuah buku yang sudah diterbitkan sebelum semburan lumpur Lapindo terjadi.

    Dalam bukunya, Henri menggunakan kata “rekayasa” dan sama sekali tidak menggunakan kata “manipulasi”. Kata “manipulasi” muncul dalam artikel resensi saya dan oleh karena itu saya mengajak kita membuka KBBI untuk mencari definisi kata “manipulasi”. Di situ kita dapat ditemukan definisi kedua dari kata “manipulasi” sebagai berikut:

    upaya kelompok atau perseorangan untuk memengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain.

    Dari definisi tersebut, secara gamblang kita dapat melihat bahwa sebuah usaha menulis paper dalam sebuah forum ilmiah (seperti yang dilakukan Awang) merupakan sebuah usaha melakukan manipulasi perilaku, sikap dan pendapat orang lain (audiens forum itu) terhadap sebuah fenomena (gununglumpur) dengan menggunakan data-data tertentu (dongeng Timun Mas). Buku Ashari, paper Awang, buku Henri, dan tanggapan saya ini merupakan sebuah upaya “manipulasi” – mempengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain.

    Jika pembaca membaca Rekayasa Dongeng, maka pembaca akan menemukan bahwa begitu banyak varian dongeng Timun Mas yang beredar di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Uniknya, tidak semua versi itu mencantumkan keberadaan danau lumpur tempat Buto Ijo mati tenggelam. Pertanyaan kita, mengapa Awang hanya mengangkat dongeng Timun Mas yang “berlumpur”, yang ini berarti mengabaikan keberadaan versi lain dongeng, yang “tidak berlumpur”? Artinya, sekali lagi, publik perlu mempertanyakan kredibilitas keilmiahan paper Awang tersebut, yang seolah-olah tidak melakukan verifikasi data dengan baik, seperti seharusnya proses penulisan sebuah naskah akademik.

    Sampai pada titik ini, saya merasa perlu untuk melontarkan sebuah kritik terhadap kalimat terakhir yang ditulis Awang dalam tanggapannya itu: “Pengejaran ilmu pengetahuan tak ada urusannya dengan politik.” Kalimat itu sangat kontradiktif dengan apa yang ditulis dalam paragraf sebelumnya tentang perjalanan “politik” Awang ke beberapa lembaga negara (seperti, ditulisnya, Polda Jatim, DPD, DPR, DPRD Jatim, Komnas HAM, dan Mahkamah Konstitusi) terkait dengan kasus Lapindo.

    Pengejaran ilmu pengetahuan akan selalu terkait dengan keputusan politik yang akan diambil, dalam kasus Lapindo apakah semburan itu alamiah atau industrial. Betul, Awang tidak terlibat secara langsung dalam mengambil keputusan, namun setidaknya pengetahuan “ilmiah” yang ditawarkannya itu sedikit banyak menjadi pertimbangan bagi pengambilan keputusan tersebut. Artinya, ini lagi-lagi membuktikan posisi politis para ilmuwan itu jauh berbahaya dibandingkan para politis, karena ilmuwan selalu berada di belakang layar pengambilan banyak keputusan politik yang sering kali membahayakan publik.

    4. Pernyataan terbuka

    Dalam paper untuk konferensi di Bali, khususnya dalam bagian tentang kondisi geologi, Awang sepertinya cukup paham bahwa pemboran Sumur Banjar Panji 1 berada pada wilayah kondusif bagi gununglumpur. Pertanyaannya kemudian, mengapa BP Migas (sekarang SKK Migas), tempat Awang bekerja, memberikan izin pemboran di sebuah wilayah dengan kondisi yang rentan semacam itu? Pemberian izin semacam itu sama saja dengan menjerumuskan perusahaan pada sebuah kondisi bahaya, seperti yang ditulis dalam tanggapannya “Sumur Banjarpanji 1 […] adalah korban […], bukan penyebab”.

    Dari seluruh data geologis yang disampaikan Awang – dan juga para geolog lain – wilayah Blok Brantas adalah wilayah yang rentan bagi kelahiran sebuah gununglumpur, hal ini sebenarnya semakin menegaskan bahwa di Blok Brantas (juga di kawasan lain yang berpotensi lahir sebuah gununglumpur) tidak boleh ada lagi aktivitas pemboran. Hal ini dilakukan untuk menghindari “korban-korban” selanjutnya dari gununglumpur, entah itu perusahaan pemboran, warga sekitar, ataupun publik luas.

     

    Heidelberg, 11 Juli 2014

     

    Referensi acuan:

    Braker, L. F. 1980. Dichtung und Wahrheit, some notes on the development of the study of Indonesian historiography. Archipel 20, 35–44.

    Carey, P. 2008. The power of prophecy. Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press.

    Day, A. 1978. Babad Kandha, Babad Kraton and variation in modern Javanese literature. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 134, 433–450.

    Drewes, G. 1966. The struggle between Javanism and Islam as illustrated by the Serat Dermagandul. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 122, 309–365.

    Florida, N. 1995. Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java. Durham & London: Duke University Press.

    Noorduyn, J. 1975. The eastern kings of Majapahit. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 131, 479–489.

    Nurcahyo, H. 2014. Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo. Surabaya: Asosiasi Tradisi Lisan.

    Phalgunadi, I. G. P. 1996. The Pararaton: a Study of the Southeast Asian Chronicle. New Delhi: Sundeep Prakashan.

    Pigeaud, T. G. 1967. Literature of Java: Vol I (Synopsis of Javanese Literature 900-1900 A.D.). The Hague: Martinus Nijhoff.

    Rahardjo, S. 2011. Peradaban Jawa: dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu.

    Ras, J. J. 1987. The genesis of the Babad Tanah Jawi; Origin and function of the Javanese court chronicle. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 143, 343–356.

    Riana, K. I. 2009. Kakawin Dēśa Warņnana uthawi Nāgara Kŗtāgama. Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

    Ricklefs, M. C. 1972. A consideration of three versions of the “Babad Tanah Djawi,” with exerpts on the fall of Madjapahit. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London 35, 285–315.

    ––––––– 1979. The evolution of Babad Tanah Jawi texts: In response to Day. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 135, 443–454.

    Satyana, A. H. 2007. Bencana geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit: hipotesis erupsi gununglumpur historis berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; folklor Timun Mas; analogi erupsi LUSI; dan analisis geologi depresi Kendeng, delta Brantas. In The 36th IAGI, The 32th HAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and Exhibition. Bali.

    Slametmulyana 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

     

  • Dua Desa dan Dua Kelurahan di Sidoarjo Tidak Kebagian Dana Rp 1 Miliar

    Dua Desa dan Dua Kelurahan di Sidoarjo Tidak Kebagian Dana Rp 1 Miliar

    TRIBUNNEWS.COM, SIDOARJO– Dua desa dan dua kelurahan yang sudah ditenggelamkan lumpur Porong tidak mendapat suplai anggaran Rp 1 miliar dari pemerintah yang akan diberikan pada 2015.

    Meski secara administrasi sistem pemerintahannya masih ada, tapi secara geografis daerah itu sudah tertutup lumpur sehingga tidak berpenghuni.

    Desa yang terendam lumpur yakni Desa Renokenongo, Kecamatan Porong dan Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin. Sedang dua kelurahan yang ditenggelamkan lumpur Lapindo adalah Kelurahan Jatirejo dan Kelurahan Siring, Kecamatan Porong.

    Empat wilayah ini praktis penghuninya sudah kabur sejak beberapa tahun lalu. Meski demikian, warga masih ber-KTP desa atau kelurahan yang ditinggalkan itu.

    Wakil Ketua Komisi A DPRD Sidoarjo, Warih Andono, menjelaskan empat desa yang sudah tidak ada aktivitas apa-apa (pembangunan) tidak berhak mendapat bantuan apa-apa.

    “Kalau dipaksakan untuk apa uang sebanyak itu, terus pertanggungjawabannya bagaimana. Sekarang saja tempat tinggal para penduduk terpencar,” tutur Warih, Selasa (8/7/2014).

    Politisi Partai Golkar ini mengungkapkan, tetap dipertahankannya urusan administrasi di empat daerah yang terendam lumpur itu, karena masih ada persoalan yang belum dituntaskan yakni ganti rugi korban lumpur. Karena lahan mereka (korban lumpur) ada di daerah itu sehingga butuh untuk proses jika suatu saat dibutuhkan.

    “Seperti perangkat desa dan kades masih tetap ada, tapi sebatas untuk pengurusan surat menyurat saja,” ucapnya bergurau.

    Sementara itu, Perda Pedoman Penghapusan dan Penggabungan Desa yang merupakan merupakan perda inisiatif dewan masih belum terlaksana. Komisi A waktu itu sudah mengajukan Raperda penghapusan dan penggabungan desa lumpur dalam prolegda 2015.

    Dalam luberan lumpur ini, sebenarnya masih ada  beberapa desa di Kecamatan Besuki yang daerahnya sudah dijadikan areal lumpur. Yaitu, Desa Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring serta Desa Mindi, Kecamatan Porong.

    Desa-desa ini kemungkinan besar akan digabung ke desa lain. Desa yang daerahnya juga diberi ganti rugi, seperti Desa Ketapang, Desa Kalitengah atau desa yang tergabung dalam 65 RT yang ganti ruginya dibayar pemerintah.

    “Jumlah desa yang ada di Sidoarjo nantinya bisa menyusut tidak lagi 353 desa. Di Porong dan sekitarnya saja sudah hilang berapa,” tutur Sekretaris Komisi A, H Adhy Samsetyo.

    Sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2014/07/08/dua-desa-dan-dua-kelurahan-di-sidoarjo-tidak-kebagian-dana-rp-1-miliar