Category: Suara Publik

  • Lapindo, Ecocide, dan Culture Genocide

    Oleh: M. Ridha Saleh

    Sejak 29 Mei 2006 hingga detik ini, semburan lumpur Lapindo membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar ataupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lumpur telah menggenangi 12 desa di tiga kecamatan, merendam tak kurang dari 10.426 unit rumah, merusak area pertanian dan peternakan, serta menggenangi sarana dan prasarana publik. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini serta lebih dari 8.200 jiwa dipindahpaksakan dan 25 ribu jiwa diungsikan.

    Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah. Lalu pipa gas milik Pertamina meledak akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur. Dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam bahkan sampai merenggut nyawa manusia. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-jalan tol-Porong. Sebuah saluran udara tegangan ekstratinggi milik PT PLN serta seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.

    Semburan lumpur yang diakibatkan oleh aktivitas pengeboran PT Lapindo Brantas menuai berbagai kritik ataupun gugatan formal dari pihak-pihak yang peduli. Namun, sebaliknya, tidak sedikit wacana bermunculan yang memposisikan PT Lapindo Brantas tidak bersalah dalam kasus ini.

    Dalam konteks ekologi manusia, benarkah PT Lapindo telah melakukan praktek ecocide dan apakah di sana–dalam konteks hak asasi manusia–terdapat dan/atau ditemukan culture genocide?

    Wacana ecocide

    Franz J. Broswimmer-lah yang mengartikan bahwa ecocide is the killing of an ecosystem. Pemusnahan ekosistem dalam hal ini tidak boleh dilepaskan dari kenyataan bahwa ekosistem merupakan tata dan rangkaian kehidupan manusia. Dari pengertian Broswimmer, kita bisa mengerti bahwa apa yang terjadi di sekitar luapan lumpur Lapindo merupakan suatu tindakan yang mengakibatkan terjadinya pemusnahan ekologi dan hilangnya hak-hak dasar kehidupan masyarakat di Sidoarjo.

    Lebih lanjut Broswimmer menjelaskan bahwa pemusnahan ekosistem dilakukan melalui tindakan sistematis. Sistematis dalam konteks ecocide tentu berbeda dengan unsur sistematis yang dimaksudkan dalam konteks genocide. Sistematis dalam ecocide adalah suatu tindakan yang dilakukan baik sengaja maupun tidak disengaja oleh pelaku dan menyebabkan musnahnya satuan-satuan penting fungsi ekologi, sosial, dan budaya sebagai bagian dari kehidupan manusia.

    Ada tiga unsur dampak yang dimaksudkan dalam wacana ecocide, yaitu pertama, dampaknya sangat panjang terhadap suatu satuan dan fungsi kehidupan serta tidak dapat dipulihkan kembali. Kedua, terdapatnya satuan dan fungsi yang musnah pada suatu rangkaian kehidupan dari kondisi semula. Ketiga, terdapatnya penyimpangan-penyimpangan fisik dan psikis manusia.

    Satu hal yang juga penting dalam wacana ecocide, tidak terlalu mempersoalkan penyebab kejadian, tapi lebih menekankan konteks, akibat, dan dampak kejadian serta sejauh mana bahaya kehidupan itu akan terancam dari kejadian tersebut.

    Jika kita mengacu pada wacana ecocide dalam konteks semburan lumpur Lapindo, kita dapat melihat indikasi-indikasi secara gamblang bahwa di sana terdapat praktek ecocide, karena yang paling nyata dari dampak yang diakibatkan oleh semburan lumpur Lapindo adalah dampaknya yang sangat panjang dan musnahnya satuan-satuan penting fungsi ekologi, sosial, dan budaya terhadap kehidupan manusia.

    Culture genocide

    Culture genocide dapat diartikan sebagai tindakan kejahatan luar biasa terhadap satuan fungsi dan tatanan kehidupan secara massal, dengan mengubah atau menghancurkan sejarah dan simbol-simbol peradaban suatu kelompok atau komunitas. Culture genocide, menurut pakar hukum internasional dan kebiasaan hukum pidana internasional, bukan bagian dari tindakan dan tidak dapat disebut sebagai unsur praktek genocide, karena genocide hanya mengakui unsur-unsur perlakuan yang bersifat fisik, seperti yang terurai dalam Statute Roma dan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.

    Adakah praktek culture genocide dalam kasus lumpur Lapindo? Sejauh ini kasus lumpur Lapindo luput dari wacana-wacana hak asasi manusia. Justru kasus tersebut lebih didominasi oleh masalah teknis saintis dan hukum positif. Padahal kasus ini, dalam konteks hak asasi manusia, dapat dikategorikan sebagai kasus yang memiliki dimensi yang sangat serius terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan, jika kita mencermati secara mendalam, dalam kasus tersebut terdapat unsur-unsur tindakan yang menyebabkan hilangnya tatanan kehidupan, yaitu hilangnya sejarah, termasuk simbol-simbol masyarakat setempat.

    Mengungkapkan berbagai wacana dan dimensi yang terjadi pada kasus semburan lumpur Lapindo, sesungguhnya saya tidak ingin memojokkan PT Lapindo Brantas. Saya bermaksud agar hukum dapat ditegakkan, keadilan dapat dipenuhi, dan kebenaran dapat diungkapkan. (***)

    Sumber: Koran Tempo, 21 Februari 2008

  • Lumpur Lapindo, Lumpurnya “Tuhan”?

    Oleh: Jonatan Lassa PhD

    Without correct words, there will be no correct practice. (Dombrowsky)

    Rabi Greenberg menuturkan kisah lucunya tahun 1950-an di New York City yang dilanda musim kering dan pemerintah membuat awan buatan sebagai awal teknologi hujan buatan.

    Hal ini menyebabkan agamawan bertanya, apakah manusia mengambil alih peran Tuhan? ”Saya ingat sebuah kartun di the New Yorker yang melukiskan sekelompok pendeta yang kelihatan amat cemas sedang duduk mengelilingi meja dan melihat keluar melalui jendela, menyaksikan turunnya hujan. Seorang pendeta berkata, ’Ini hujan kita, atau hujan mereka?’” (John Naisbit, 2001:49)

    Kita membayangkan suasana batin yang mungkin melingkupi Senayan dan Istana terkait peristiwa di Sidoarjo. Karikatur imajiner yang bisa menggambarkan batin penguasa dan rohaniwan Indonesia dengan pertanyaan, ”Ini lumpur Lapindo atau lumpurnya Tuhan?” Kini, dalam realitas, DPR dan pemerintah memerlukan jawaban ”bencana alam atau bencana teknologi”?

    Dalam tradisi mendefinisikan/ pendefinisian atas sesuatu, sebuah definisi terdiri dua bagian, yakni kata yang didefinisikan (definiendum) dan kelompok kata atau konsep yang digunakan untuk mendefinisikan (definien). Sebuah definiendum harus bermakna sama dengan definien.

    Neil Britton mengatakan, ”Sebagaimana seorang/pihak menafsirkan sesuatu bergantung pada apa yang disyaratkan untuk dilakukan terhadap sesuatu dimaksud.” Namun, Britton mengingatkan definisi bukan sekadar alat bantu berpikir, tetapi juga soal orientasi mental dan emosi, model pemaknaan dan cara pandang pemberi definisi.

    Definisi

    Salinan UU No 24/2007 mendefinisikan, ”bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”

    Karena itu, peristiwa Sidoarjo memenuhi kecirian definisi bencana UU No 24/2007. Jika ditanyakan kepada rakyat yang mengalami, jawabannya, ”rumah terkubur, pekerjaan hilang, aset penghidupan hancur, kerugian nasional mencapai paling sedikit Rp 7 triliun. Orang dari kaya menjadi miskin. Yang miskin makin melarat. Secara psikis tidak ada kata yang bisa menyamai pengalaman mengalami bencana itu.” Definisi ini dikenal dengan definisi situatif.

    Pada titik ini, kata ’bencana’ tidak merepresentasikan diri sendiri. Bencana juga tidak sekadar merepresentasikan lingkungan yang rusak. Bencana dan lingkungan yang rusak merepresentasikan manusia dan kepentingan manusia di baliknya.

    Istilah ”bencana alam” bermakna kausalitas. Salinan UU No 24/2007 mengatakan, ”Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam, antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”

    Kelemahan paling mendasar UU No 24/2007 adalah tidak memberi ruang atau definisi kausalitas bencana untuk interaksi atau keterkaitan antara yang alami dan buatan manusia. Secara empiris, ini bertentangan karena ada yang dikenal sebagai ”bencana antara”. Peristiwa yang satu men-triger yang lain. Bisa saja kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya yang tidak menjalankan prinsip kehati-hatian men-trigger kejadian alam yang ekstrem. Misal, eksploitasi hutan memicu mudahnya banjir. Sebaliknya, peristiwa alam seperti gempa bisa memicu kecelakaan kebakaran seperti gempa Kobe 1995 atau kecelakaan nuklir di Jepang setahun silam.

    Wapres Jusuf Kalla mengatakan, ”Perlu penelitian mendalam. Saya kira tidak bisa dinyatakan secara politik (oleh DPR). Bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis.” (Kompas, 19/2/2008)

    Perlu diketahui, sains tidak menawarkan kepastian 100 persen. Sains datang dengan skenario, probabilitas, kemungkinan, dan solusi trial and error. Ini yang terjadi dengan sains dalam konteks lumpur di Sidoarjo. Dalam tradisi epistemik di universitas-universitas dunia, sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan akan mendapat banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Inilah alasannya mengapa seolah IAGI saling ”berseteru” tepatnya setahun silam dalam sebuah workshop internasional. (Tempo Interaktif, 6/3/2007)

    Istilah bencana alam

    Karena itu, istilah hitam-putih ”bencana alam” sebenarnya problematik dan masalah utama adalah pada paradigma dan kuasa tafsir atas bencana. Maka, tafsir bencana tidak bisa hanya diserahkan kepada ahli teknis geologis/geofisik saja. Dalam epistemologi bencana, alam adalah alam. Bencana adalah bencana. Bukan alam yang mengeksplorasi migas di Sidoarjo.

    Tafsir bencana adalah sebuah konsensus yang seharusnya trans-disiplin (baca: antara pengambil kebijakan dan ahli lintas disiplin, termasuk ilmuwan sosial dan pihak yang dianggap korban/pelaku).

    Rakyat yang dipersepsikan ”bodoh” tidak bisa menerima begitu saja bahwa ini adalah lumpurnya Tuhan. Ketiadaan konsensus atas bencana di Sidoarjo ternyata mengakibatkan biaya transaksi tinggi. Namun, keputusan tentang penanggung jawab bencana Sidoarjo adalah bukan semata-mata putusan hukum. Diperlukan keputusan politik karena lepas dari faktor kausalitas yang tidak pasti karena keterbatasan sains dan ketidakpastian pengetahuan, ada situasi obyektif menunjukkan, jumlah rakyat miskin di Sidoarjo yang terjadi dalam dua tahun terakhir membutuhkan keberpihakan politik dari penguasa di DPR maupun eksekutif.

    Melemparkan tanggung jawab kepada sains yang tidak pasti adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan rakyat. Dan sains hendaknya dimandatkan untuk tidak merampas mandat pengambilan keputusan yang bersifat politik. Kepastian keberpihakan dari negara diperlukan dalam menyelesaikan ketidakpastian hidup dan penghidupan rakyat di Sidoarjo yang semakin tak menentu. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 28 Februari 2008

  • Tanah untuk Korban Lumpur Lapindo

    Oleh: Mohammad Na’iem

    Sampai hari ini nasib korban lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, masih belum menentu. Penyelesaian tuntas dan bermartabat–tidak hanya bagi korban, tapi juga bagi pemerintah dan pengusaha–belum ditemukan. Korban lumpur masih bertahan dalam derita di tengah sisa kesabaran. Sementara itu, pemerintah dan Kelompok Bakri sebagai pengusaha tetap tersandera oleh janji menyelesaikan masalah.

    Bagi pemerintah, tidaklah mudah menyelesaikan persoalan ganti rugi, karena constraint anggaran dalam skema tight money policy, sesuai dengan arahan IMF-World Bank, tak mudah dilanggar. Dalam praktek anggaran, semua dana sudah ada posnya masing-masing dan dijaga, dengan peraturan untuk mencegah korupsi, tapi ini berimplikasi pada tiadanya dana untuk keperluan mendadak, khususnya jika ada bencana.

    Sementara itu, di pihak pengusaha, Bakri Group sebagai pemilik Lapindo tidaklah bisa diharapkan berpikir sebagai pihak penyelesai tunggal. Bagaimanapun, namanya pengusaha, pemilik Lapindo tetaplah sebuah badan usaha yang menghitung untung-rugi. Jika pengeluaran untuk biaya sosial mencapai batas yang bisa mereka terima, hitung-hitungan yang kemudian dilakukan adalah kembali ke soal menang-kalah, untung atau buntung, sedangkan ukuran moralitas dalam kaitan dengan korban Lapindo akan diabaikan.

    Adapun bagi rakyat yang menjadi korban, tanpa turunnya keputusan pemerintah yang tepat dan bantuan dari Lapindo tidak ada jalan keluar dari nasib buruk yang tiba-tiba terjadi. Jika tuntutan tidak dipenuhi, radikalisme yang terjadi mungkin akan menghasilkan kerusakan yang lebih parah lagi. Pada tiga kepentingan itu tarik-menarik terjadi dan dengan perhitungan itu pula skema penyelesaian ini disusun.

    Hal penting yang juga harus diperhatikan adalah bagaimana perkembangan paling mutakhir di lapangan. Kini, akibat tidak adanya penyelesaian yang relatif tuntas atas masalah, konflik terjadi antar dan inter-tiga pihak (pemerintah, pengusaha, dan warga masyarakat yang didampingi NGO atau dipimpin para tokohnya) ibarat benang kusut yang sulit diurai.

    Apakah memang tidak ada penyelesaian rasional dan bermartabat untuk kasus lumpur ini? Tentu saja ada. Rasional yang dimaksud adalah penyelesaian yang masuk akal bagi tiga pihak (pemerintah, pengusaha, dan rakyat sekaligus) praktis karena bisa dilaksanakan dengan ketersediaan sumber daya dan dana yang ada.

    Penyelesaian juga harus bermartabat, maksudnya adalah bermartabat tidak hanya bagi pemerintah, tapi juga bagi pengusaha, terlebih bagi korban lumpur Lapindo. Pemerintah dianggap bermartabat jika ia tetap bertanggung jawab kepada rakyat. Pengusaha dianggap bermartabat jika memiliki kepedulian terhadap masyarakat. Jalan itu ada dan dapat dilakukan segera. Pihak-pihak di atas rakyat (pengusaha dan pemerintah) tidak perlu mencari cara menghindar, apalagi lari, dari tuntutan menyelesaikan masalah lumpur Lapindo.

    Lahan bagi korban

    Problem pokok yang harus dipecahkan bagi korban lumpur Lapindo adalah tiadanya lahan untuk tempat tinggal dan tempat usaha. Tiadanya lahan kemudian merembet ke tiadanya kepastian usaha, bahkan tiadanya kepastian hidup dalam waktu yang tidak terprediksi sampai berapa lama akan berlangsung.

    Namun, penyelesaian menyeluruh bisa dimulai jika pemerintah segera menyediakan lahan untuk tempat tinggal dan tempat usaha. Caranya, dengan pengalihfungsian, sebagian kecil saja, lahan hutan jati yang ada di Jawa, yang pengelolaannya dilakukan oleh Perhutani, untuk dijadikan kawasan permukiman korban Lapindo. Luas hutan di Jawa, total jika dihitung, kurang-lebih mencapai 2 juta hektare. Kalau Presiden memanggil Direktur Utama Perum Perhutani dan meminta persetujuannya untuk alih fungsi lahan itu tentu Direktur Utama Perum Perhutani tidak akan dapat menolak karena sifatnya sangat emergency. Lahan yang akan digunakan dapat dipilih lahan-lahan hutan yang kondisinya marginal atau kurang produktif untuk kepentingan produktivitas hutan. Jumlah lahan bisa dihitung sesuai dengan kebutuhan, misalnya 2.000-5.000 hektare. Sejak awal data statistik menyangkut siapa saja korban, berapa jumlah kerugian menjadi amat penting, dan dari statistik itu dibangun satu pola baku bagaimana lahan eks Perhutani tersebut bisa dibagi.

    Lalu lahan manakah yang akan diberikan kepada para korban lumpur Lapindo itu? Memenuhi permintaan para korban yang ingin tetap tinggal dekat tanah warisan leluhur, maka lahan Perhutani yang dipilih adalah yang terletak di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pasuruan, KPH Probolinggo, atau KPH Malang, Jawa Timur. Jumlah 2.000-5.000 hektare lahan marginal Perhutani di tiga tempat itu kami kira sudah dapat mencukupi kebutuhan tempat tinggal dan tempat usaha para korban.

    Ketika keputusan mengalihfungsikan lahan Perum Perhutani menjadi lahan permukiman dan usaha itu dibuat, langkah yang harus dilakukan kemudian adalah langkah teknis berikutnya. Tapi paling tidak sudah ada keputusan paling pokok bahwa korban lumpur sudah akan mendapatkan tanah untuk tempat tinggal dan usaha. Langkah berikutnya melibatkan Kelompok Bakri sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab dan sejauh ini tidak ingin disebut tidak bertanggung jawab sebagai pemicu atas seluruh masalah yang muncul, yakni dengan memberikan dana untuk pembangunan perumahan dan tempat usaha bagi para korban. Pada saat bersamaan dibuka pula peluang pihak lain, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk membangun sarana lain, seperti masjid dan taman. Untuk mencegah terjadinya konflik yang tidak perlu, soal-soal SARA harus diperhatikan. Bantuan kepada warga beragama hendaknya yang sifatnya substantif agama, dan bukan bangunan formal agama.

    Langkah lebih lanjut sudah barang tentu memulihkan kehidupan mereka agar normal kembali, dengan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan kembali. Dana yang mungkin dianggarkan oleh pemerintah adalah dana subsidi untuk hidup, misalnya selama setahun, sampai masyarakat bisa dilepas ke pekerjaan semula. Akan lebih baik lagi kalau kemudian pemerintah memberikan fasilitas penunjang yang memungkinkan terbukanya kembali peluang kerja bagi mereka, misalnya menanam dengan pola penanaman secara tumpang sari, seperti dimungkinkan menanam tanaman jambu mete di antara tanaman kayu jati (seperti contoh di Vietnam). Alternatif lain dari jambu mete adalah mangga Probolinggo, jambu Madura, atau kelengkeng dataran rendah. Pihak perusahaan makanan juga bisa ikut membantu memulihkan kehidupan ekonomi warga dengan menampung hasil produk kedelai dan kacang tanah untuk industri kecap atau makanan ringan. Demikian juga produk yang lain, sehingga selain ekonomi segera pulih, ada nilai tambah dari hasil produk pertanian warga.

    Tentu di lahan eks Perhutani tersebut dimungkinkan pula tersedia lahan pengganti untuk industri-industri yang ikut tenggelam oleh lumpur. Dengan begitu, penyerapan tenaga kerja terjadi dan secara umum ekonomi Jawa Timur bisa segera dipulihkan.

    Menyangkut pengelolaan lahan seluas 2.000-5.000 hektare lahan eks Perum Perhutani tersebut, tentulah harus dilakukan dengan cara yang benar. Cara pengelolaan yang bisa dipilih di antaranya dengan pendekatan sistem pengelolaan hutan bersama masyarakat. Lahan tersebut sejak awal tetap harus diarahkan sebagai hutan dengan tempat tinggal, dengan fokus produk lahan tidak hanya kayu, tapi juga tanaman musiman komersial.

    Warga masyarakat harus dipandu sehingga dapat melakukan penanaman yang sejak dalam rencana sudah menggunakan bibit tanaman, pola tanam, dan jenis tanaman terpilih terseleksi dalam satu sistem silvikultur (budi daya) secara intensif. Bibit tanaman diupayakan dari bibit yang unggul, terseleksi, ditanam di lingkungan yang optimal, dan dijaga keberadaannya dalam kondisi sehat hingga akhir daur. Para aktivis kehutanan bisa masuk dalam kerja besar ini. Terkait dengan apa yang dihasilkan dari hutan rakyat dengan sistem pengelolaan yang intensif ini, akan muncul pula industri kecil rakyat, berbagai produk buah-buahan, home industry, dan banyak pula peluang usaha memanfaatkan produk hasil hutan. Dengan demikian, mereka tidak hanya diberi ikan, tapi diberi pancing untuk berkembang lebih optimal dalam kehidupan mereka.

    Bagaimana dengan lahan eks lumpur Lapindo jika di masa depan bisa digunakan lagi. Sejak awal harus ada keputusan bahwa lahan tersebut adalah lahan negara, yang peruntukannya, jika kondisi sudah memungkinkan, akan dihutankan kembali. Pengelolaan diserahkan kepada Perhutani. Maka Perhutani pun tidak begitu dirugikan. Potensi konflik jangka pendek (penjarahan dan sejenisnya) ataupun potensi konflik jangka panjang pun bisa diminimalisasi.

    Bagaimana dengan Kelompok Bakri yang sudah menderita kerugian secara ekonomi, dan dalam kacamata bisnis, tentu tidak dianggap tidak ada? Pemerintah bisa memutuskan satu langkah khusus, misalnya memberi Kelompok Bakri lahan tambang senilai Lapindo di tempat yang lain, sebagai ganti kerugian atas eksplorasi Lapindo, tapi dengan catatan bahwa pihak Lapindo memang melaksanakan tugas sebagaimana yang dibebankan kepadanya. Namun, apabila pemilik Lapindo tidak menuntut ganti rugi di kemudian hari, itu tentu akan lebih baik.

    Hal yang mesti diatur dan harus terselesaikan juga adalah bagaimana agar berbagai pihak yang kini berkonflik akibat lumpur Lapindo (rakyat, pengusaha, dan pemerintah) bisa menyepakati penyelesaian ini dengan kepala dingin. Penyelesaian yang diusulkan itu tentulah bukan penyelesaian yang sempurna bagi semua pihak (first best solution), melainkan pilihan cara yang paling mungkin (second best solution) dilakukan, hingga semua pihak (rakyat, pemerintah, dan penguasa) tetap duduk sebagai pihak-pihak yang bermartabat. Rakyat korban tidak menjadi pengemis. Pemerintah tetap dapat disebut sebagai yang bertanggung jawab. Sementara itu, Bakri Group sebagai pemilik Lapindo akan tercatat sebagai kelompok usaha yang bertanggung jawab kepada masyarakat korban eksplorasi. Dalam hal ini, peran NGO yang terlibat dalam pendampingan warga masyarakat amatlah penting. (***)

    Sumber: Koran Tempo, 15 Agustus 2007

  • Ronde-ronde Lumpur Lapindo

    Oleh: Emha Ainun Nadjib

    Kapan-kapan kampung kita juga tidak dijamin tak akan tertimpa gempa, banjir, tanah longsor, atau segala jenis keisengan geologi bumi dan alam lainnya. Juga rumah saya. Kapan saja, mungkin semenit mendatang, kita bisa mengalami sesuatu yang mengerikan: bangkrut, kehilangan, kecewa, kaget, syok, stres, depresi, atau apa pun, pada diri kita, keluarga, kantor, komunitas, klub, golongan. Kemungkinan itu ada pada semua dan setiap kita. Karena itu, saya tidak berani tak bersungguh-sungguh melakukan apa pun, apalagi terkait dengan penderitaan sesama manusia. Itulah keberangkatan tulisan ini.

    Bertele-telenya, sangat seret dan macetnya, penanganan hak sekitar 50 ribu korban lumpur di Sidoarjo, yang kampungnya tenggelam, kira-kira kronologinya begini. Sampai setahun lebih setelah 29 Mei 2006 adalah ronde 1: korban vs Lapindo. Ronde 2: korban vs Minarak Lapindo. Kemudian setelah Presiden turun gunung adalah ronde 3: Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) vs Minarak Lapindo.

    Pada 10 Juli 2007, Presiden marah besar mendengar laporan (tidak melalui jalur birokrasi) kemacetan itu, kemudian Nirwan Bakrie dipanggil Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Maka, ini adalah ronde 4: Presiden vs Bakrie. Dan kalau ini gagal, ronde 5 adalah rakyat vs Lapindo.

    Wallahualam. Di tengah-tengah menulis ini, saya ditelepon oleh Direktur Operasional PT Minarak Lapindo yang melaporkan bahwa besok akan dilaksanakan pembayaran untuk korban yang verifikasinya menggunakan Letter C dan Petok D–kriteria yang sebelumnya ditolak untuk mendapatkan hak bayar, meskipun masih ada kontroversi tentang luas bangunan.

    Batas psikologis

    Sejak beberapa hari yang lalu, saya menghitung bahwa Senin, 16 Juli, lusa mungkin merupakan batas psikologis akhir bagi para korban lumpur Sidoarjo ketika Presiden dan aparat pemerintahnya harus memastikan validitas kebijakan dan kinerja untuk memastikan pembayaran ganti rugi bagi penduduk korban lumpur.

    Beberapa hari ini, terutama kemarin, agak repot saya meredam kemarahan para korban, menunda amukan mereka sampai akhirnya kemarin Presiden marah besar kepada Minarak. Sudah pasti itu sangat mengurangi tensi emosi korban untuk sejenak waktu. Tapi, kalau ini gagal lagi, kesempatan berikutnya bukan naik tensi lagi, tapi pasti menjadi ledakan atau minimal letusan.

    Sejak Presiden pulang dari turun gunung di Sidoarjo, sebenarnya hal itu melahirkan langkah maju secara kebijakan dibanding tahap sikap sebelumnya, tapi belum diaplikasikan secara signifikan di lapangan. Pada 26 Juni 2007 pagi, Presiden Yudhoyono menyaksikan pembayaran simbolis Minarak Lapindo kepada 163 korban, dan sampai kini tahap yang itu saja pun belum tuntas. Padahal angka 163, yang dengan pembayaran sebelumnya berjumlah 522, adalah produk verifikasi Tim Nasional yang kini sudah dibubarkan. Hasil verifikasi BPLS, yang jadwalnya diaplikasikan dalam pembayaran sejak 1 Juli 2007, sampai menjelang habis dua minggu tidak memberikan optimisme kepada psikologi korban. Dari 400 berkas hasil BPLS, oleh Minarak Lapindo hanya diterima 38.

    Masalah utama yang mengganjal proses ini adalah tidak adanya kalimat kebijakan eksplisit dari Presiden bahwa hak verifikasi atas tanah dan bangunan korban ada di tangan BPLS, sementara Minarak Lapindo adalah kasir. Pihak Minarak ikut berada dalam proses verifikasi BPLS dan berlaku sebagai pengambil keputusan akhir diterima atau tidaknya berkas verifikasi. Ribuan tanda tangan Bupati Sidoarjo tetap tidak berlaku bagi Minarak, meskipun hal itu yang membuat Presiden marah dan kemudian mengambil keputusan untuk ngantor di Sidoarjo selama 3 hari.

    Situasi ketidakpercayaan muncul lagi seperti sebelumnya, dan hari demi hari emosi ketidakpercayaan itu akan meningkat curam dan akan sangat mudah melahirkan anarkisme jika sampai Senin 16 Juli lusa Presiden tidak segera mengambil langkah yang tegas.

    Tuhan, ayam, dan pemerintah

    Tuhan menciptakan janin dengan perlindungan maintenance, sistem, dan fasilitas yang menjamin tercapainya goal menjadi bayi. Bahkan sampai bayi itu kelak dewasa dan mati, jaminan sistem dan fasilitas Tuhan itu tetap berlangsung, termasuk mekanisme kontrolnya.

    Induk ayam pun bertelur dan mengeraminya untuk menciptakan suhu dan kehangatan demi pematangan telur itu, menjamin perlindungan dan panduan rezeki sampai kelak telur itu menjadi anak ayam, kemudian dewasa dan didemokratisasi, diindependenkan.

    Negara dan pemerintah tinggal meniru ayam. Kalau membuat keputusan, ya, disertai maintenance, sistem, fasilitas, dan mekanisme kontrol seketat mungkin. Harus diakui hal itu tak tersiapkan secara memadai dalam kasus lumpur sehingga bertele-tele sampai setahun lebih. Dalam pertemuan Cikeas 24 Juni 2007, Presiden bertanya: Minarak ini apa? Ternyata beliau tak pernah mendapat laporan yang mencukupi tentang anak perusahaan Lapindo yang khusus menangani korban itu. Bahkan tatkala kemudian Presiden turun gunung, kesadaran dan peningkatan kinerja “induk ayam” itu pun tidak cukup progresif. Keputusan hasil Presiden berkantor tiga hari di Sidoarjo kurang dikawal secara ketat oleh mesin birokrasi.

    Air mata seember

    Mohon izin saya kemukakan sedikit background berikut ini, untuk menghindari bias dan salah sangka di seputar masalah ini. Saya tercampak ke lubang pekerjaan yang sama sekali jauh melampaui batas kemampuan saya. Sebanyak 10.476 keluarga (sekitar 45 ribu orang, sekitar 94 persen dari seluruh korban) menyampaikan surat mandat untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam menyampaikan jumlah korban lumpur Lapindo sesuai dengan data yang mereka miliki kepada Presiden, termasuk tuntutan dan harapan agar Presiden mengambil langkah taktis untuk mengatasi permasalahan mereka.

    Surat itu disampaikan pada 22 Juni 2007, kemudian 16 perwakilan penduduk yang menandatangani surat itu bertemu dengan Presiden di Cikeas pada 24 Juni 2007 sore. Berlangsunglah pertemuan satu setengah jam. Presiden sangat capek oleh berbagai urusan dan beban sehingga meminta saya memimpin rapat yang dihadiri 16 perwakilan korban lumpur, wakil Institut Teknologi Surabaya (ITS), 4 menteri, serta Kepala BPLS. Presiden menangis tiga kali dengan aktualisasi ekspresi yang berbeda-beda. Dan saya yakin di muka bumi ini, sejak zaman Nabi Adam, tak ada presiden yang sedemikian bodohnya sehingga tidak tahu bahwa, biarpun menangis seember, tidaklah bisa menyelesaikan masalah.

    Karena itu, dalam rapat itu tidak saya katakan kepada beliau: “Pak, meskipun sampean nangis sampai seember, itu tidaklah menyelesaikan masalah.” Bahkan di tengah rapat, ketika Bambang Sakri, salah seorang perwakilan korban, menangis terus-menerus selama mengemukakan keluhannya, saya berdiri dan berjalan mendatanginya, saya elus pundaknya, saya peluk dan saya bisiki: “Ancene arek Sidoarjo gembeng-gembeng (Memang orang Sidoarjo dikit-dikit nangis).”

    Dalam rapat itu Presiden mengalami 4 kali eskalasi keputusan. Pertama, kata Presiden: “Dalam waktu dekat saya akan ke Sidoarjo.” Setelah omong-omong lagi, menjadi, “Besok saya ke Sidoarjo.” Kemudian meningkat lagi, “Besok saya akan ngantor tiga hari di Sidoarjo.” Terakhir, “Besok jam 2 siang saya akan berangkat ke Sidoarjo bersama Cak Nun dan Saudara-saudara semua perwakilan korban.”

    Maka lahirlah keputusan Sidoarjo yang lumayan mengubah keadaan. Pertama, semula proses ganti rugi tanpa time schedule, kini jelas batas akhirnya: 14 September. Kedua, kriteria verifikasi tanah dan bangunan korban sangat diperlonggar: kalau tak ada IMB Letter C, Petok D, ya, data ITS. Kalau tak ada, ya, cukup kesaksian warga yang ditandatangani dari birokrasi terbawah sampai bupati. Ketiga, hak verifikasi ada pada BPLS, Minarak Lapindo tinggal membayar.

    Sampai anak-cucu

    Ini telur yang lumayan, tapi yang angrem siapa agar menetas? Kita yang di bawah harus lebih proaktif. Secara moral, kita semua bertanggung jawab atas semua korban, baik yang menerima ganti rugi (DP) 20 persen, yang menuntut 50 persen, 100 persen, maupun bahkan yang punya ide-ide 300 persen dan 500 persen. Hak amanat hanya dari yang 20 persen dan 50 persen serta 16 pengusaha Gabungan Pengusaha Korban Lumpur (GPKL). Tapi ketika kita merekayasa agar Menteri tertentu datang ke Surabaya untuk dipertemukan dengan mereka, diskusi sangat memikirkan korban secara keseluruhan.

    Terakhir beberapa hari yang lalu saya dari Jakarta bersama Direktur Operasional Minarak, anak perusahaan Lapindo yang bertugas menangani korban lumpur, mengadakan pertemuan dengan perwakilan penduduk. Kemudian terjadi kesepakatan, bersalaman, dan baca Al-Fatihah bareng. Ada kesepakatan bahwa sekitar 442 luasan tanah hasil verifikasi BPLS, besok segera dibayar oleh Minarak Lapindo. Tapi kemudian gagal lagi.

    Sekarang rondenya adalah Presiden vs Bakrie. Tidak ada kaitan formal hukum antara Grup Bakrie dan Lapindo atau perusahaan induknya. Tapi, sebagaimana Lapindo sendiri menyebut apa yang dilakukannya kepada korban lumpur adalah solidaritas kemanusiaan dan tolong menolong, penyebutan Bakrie di atas adalah karena ada keterkaitan kultural, kemanusiaan, dan kebangsaan antara Lapindo dan Bakrie. Apalagi Presiden pernah menceritakan kepada saya bahwa ia sudah berkata keras kepada Bakrie: “Anda harus bayar itu. Kalau tidak, nanti akan sangat panjang sampai ke anak-cucu.”

    Kita saksikan bersama bagaimana ronde ini berlangsung. Lapindo punya banyak kekuatan dan kelemahan dari berbagai sisi, demikian juga pemerintah. Pihak-pihak lain yang terkait juga dipaksa melakukan latihan-latihan. Jab, swing, hook, straight, dan uppercut tersimpan dan diasah. Namun, yang saya dambakan bukanlah itu semua, melainkan kemaslahatan bersama, dan itulah sebabnya hari demi hari saya terus berupaya menyambung semua pihak yang terlibat dan mencoba merangkul mereka ke semesta nilai-nilai manusia yang lebih tinggi dari transaksi ekonomi, formalisme hukum, apalagi dendam dan kebencian.

    Tapi pada 12 Juli 2007 pagi, Direktur Operasi Minarak Lapindo melaporkan: pengajuan hasil verifikasi BPLS sebanyak 344 berkas, sudah dibayar 52, yang 292 akan dilaksanakan pembayarannya hari ini. Apakah itu secercah harapan? Meskipun janji Presiden ketika turun gunung setiap seminggu dibayar 1.000 sampai 14 September 2007?(***)

    Sumber: Koran Tempo, 13 Juli 2007

  • Interpelasi Kasus Lapindo

    Oleh: Toto Sugiarto

    Berita baik terkirim dari Senayan. Sebanyak 129 anggota DPR mengajukan hak interpelasi lumpur Lapindo. Mereka mempertanyakan keseriusan pemerintah menangani kasus ini.

    Namun, apakah berita baik ini akan berakhir menyenangkan? Seriuskan DPR menggulirkan interpelasi ini?

    Urgensi interpelasi

    Mengapa interpelasi Lapindo penting? Ada tiga hal yang mendasari interpelasi ini penting bagi rakyat dan negara.

    Pertama, pemerintah tidak serius membela rakyat dan terkesan membiarkan rakyat tenggelam dalam penderitaan. Dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, pemerintah melegitimasi ketidakadilan dari kuasa kapital. Rakyat korban Lapindo dipaksa menerima 20 persen pembayaran transaksi jual-beli harta. Sisanya dibayarkan dua tahun kemudian tanpa bunga. Yang paling menyedihkan, transaksi yang merugikan ini dipayungi produk hukum buatan pemerintah. Ini pemihakan nyata pemerintahan kepada kuasa kapital.

    Kedua, kerugian negara. Luapan lumpur telah merusak dan menenggelamkan infrastruktur dan mengganggu perekonomian Jawa Timur dan nasional.

    Kerugian juga ditimbulkan oleh isi Perpres 14/2007 yang membebankan sebagian besar biaya penanggulangan kepada negara. Negara, antara lain, dibebani keharusan membiayai pengalihan infrastruktur, kanalisasi lumpur dari kali porong sampai ke laut, dan biaya sosial kemasyarakatan di luar peta 22 Maret 2007.

    Ketiga, kasus Lapindo menegaskan pemerintah tidak serius menegakkan hukum. Amat mengherankan jika pemerintah tidak menyeret pihak-pihak yang jelas merugikan rakyat dan negara ke pengadilan.

    Berdasar tiga hal itu, pemerintah terlihat mengesampingkan kepentingan rakyat dan negara serta lebih mengutamakan kepentingan kuasa kapital. Karena itu, pengajuan hak interpelasi menjadi urgen, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No 22/2003, yaitu hak untuk meminta keterangan pemerintah tentang kebijakan penting dan strategis serta berdampak (negatif yang) luas pada kehidupan masyarakat dan bernegara.

    Hak dan kewajiban

    Dengan pertimbangan bahwa penderitaan rakyat akan kian berat dan panjang serta kerugian negara kian besar jika kasus Lapindo dibiarkan, maka hak interpelasi DPR menjadi kewajiban. DPR wajib mempertanyakan sikap pemerintah yang terasa lebih mengutamakan kepentingan kuasa kapital dan mengorbankan rakyat dan negara.

    DPR juga wajib menyuarakan nurani rakyat, saat mereka berteriak menuntut keadilan.

    Selain mempertanyakan, DPR perlu melakukan tekanan agar pemerintah mengakhiri konflik kepentingan dalam dirinya sekarang ini. DPR perlu menekan pemerintah agar membuang faktor-faktor yang menyumbat penyelesaian dampak sosial lumpur Lapindo. Setelah konflik kepentingan teratasi, diharapkan pemerintah akan berhenti berlaku tidak adil terhadap rakyat.

    Tujuannya, rakyat harus diselamatkan. Hak milik rakyat yang terenggut dan harus dikembalikan. Adalah tugas pemerintah yang merupakan pemegang otoritas negara untuk menjamin hak-hak dasar warga negara.

    Catatan akhir

    Dalam kasus lumpur Lapindo ini, pemerintah tampak telah terkooptasi oleh kekuatan kapital. Adalah tidak mungkin mengharap langkah radikal pemerintah dalam menolong para korban tanpa tekanan dari DPR.

    Karena itu, DPR perlu serius menggulirkan interpelasi ini. Langkah ini harus diselesaikan hingga korban lumpur Lapindo terselamatkan dan perekonomian Jawa Timur dan nasional kembali berjalan normal.

    Jika perlu, berakhir dengan pemakzulan (impeachment). Pemerintah yang tidak lagi bisa menjamin hak-hak dasar warga negara, pemerintah yang “menggadaikan” atau bahkan “menjual” nasib rakyatnya kepada suatu kuasa karena merasa berutang budi atau demi mendapat keuntungan, harus diberhentikan.

    Meski prinsip demokrasi amat mengagungkan keteraturan rotasi kepemimpinan melalui pemilu ke pemilu, namun prinsip demokrasi jugalah yang menempatkan kepentingan rakyat dan negara di atas segala-galanya.

    Pemerintahan yang tidak lagi memikirkan kepentingan rakyat dan negara di atas segalanya, perlu dipertanyakan kelanjutan legitimasi kekuasaannya. Di titik ini, DPR perlu mempertanyakan kepada otoritas hukum, apakah legitimasi rakyat masih layak dipegang pemerintahan sekarang.

    Di sisi lain, DPR perlu membuktikan, dirinya tidak melupakan “ibu yang mengandungnya”. Dengan serius memperjuangkan nasib rakyat yang teraniaya, seperti korban lumpur Lapindo, DPR membuktikan dirinya bukan “anak durhaka”. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 18 Juni 2007

  • Lapindo dan Hak untuk Tahu

    Oleh: Agus Sudibyo

    Kehancuran infrastruktur di sekitar lokasi lumpur Lapindo kian memprihatinkan.

    Jika sebelumnya jumlah penduduk yang harus dipindahkan “hanya” 6.000 kepala keluarga (KK), kini menjadi 13.000 KK. Jika semula putusnya jalan tol Surabaya-Gempol adalah dampak terburuk lumpur Lapindo atas jalur transportasi umum, kini yang terjadi lebih buruk lagi. Jalan arteri Porong sebagai satu-satunya jalur transportasi yang tersisa juga sulit diselamatkan, juga jalur kereta api Surabaya-Malang/Banyuwangi.

    Ratusan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera 1 Sidoarjo, Jawa Timur, sempat berdemo di depan Istana Merdeka, menuntut pemerintah serius memperjuangkan nasib mereka.

    Sungguh mencengangkan. Semakin lama kita tidak paham atas apa yang terjadi dengan Lapindo. Bukan hanya masyarakat, pemerintah pun ternyata tidak tahu persis skala bencana yang terjadi. Prediksi skala bencana, skala kerusakan, serta eskalasi kerugian dan korban, banyak yang tidak akurat. Berbagai cara untuk mengurangi luapan lumpur juga tidak efektif. Teknologi yang memungkinkan eksplorasi kekayaan alam bernilai ekonomi tinggi tidak dibarengi ketersediaan informasi dan pengetahuan tentang dampak buruk di kemudian hari.

    Peran iptek

    Eskalasi dampak semburan lumpur menunjukkan paradoks ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) modern. Kemajuan iptek telah memberi manfaat dan kemudahan bagi manusia. Tetapi, kemajuan iptek juga dapat membuat kehidupan manusia terkepung risiko-risiko yang tak terbayangkan sebelumnya. Iptek untuk memperluas cakrawala pengetahuan, tetapi tidak otomatis membangun kapasitas guna memprediksi aneka kemungkinan negatif yang menyertainya.

    Persoalannya, penggunaan teknologi tinggi dalam eksplorasi alam di Indonesia hampir selalu dipaksakan. Berbagai keputusan untuk melakukan eksplorasi yang tidak ramah lingkungan, atau yang terlalu dekat permukiman penduduk dan infrastruktur publik, selalu diputuskan sepihak oleh pemerintah dan pengusaha.

    Keberadaan masyarakat dengan aneka beban bukan faktor signifikan dalam menentukan apakah sebuah proyek eksplorasi bisa dilakukan atau tidak. Masyarakat adalah penonton pasif proses pengerukan sumber-sumber alam dan potensi daerah. Mereka bukan hanya tidak tahu bagaimana dan untuk apa hasil eksplorasi kekayaan alam dialokasikan, tetapi juga tidak mendapat penjelasan tentang risiko eksplorasi bagi keselamatan dan kelangsungan hidup mereka.

    Namun, jika tiba-tiba terjadi kecelakaan dan masyarakat sekitar menjadi korban, pihak-pihak itu cenderung lamban membuat antisipasi. Yang lebih menggelikan, ada upaya penyebaran persepsi, yang terjadi bukan kesalahan teknis-prosedur eksplorasi, tetapi gejala alam yang lazim terjadi di tempat lain, seperti diwacanakan majalah LUSI (singkatan Lumpur Sidoarjo). “Karena gejala alam biasa, tidak semestinya pihak perusahaan memikul tanggung jawab sepenuhnya,” begitu kira-kira maksudnya.

    Daulat publik

    “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.” Sulit membayangkan bagaimana perintah konstitusi ini dilaksanakan di tengah kesemrawutan manajemen eksplorasi kekayaan alam, yang bukannya semakin menyejahterakan, tetapi justru kian menyengsarakan masyarakat.

    Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus Lapindo? Kita harus terus mengingatkan semua pihak bahwa publik berdaulat atas pengelolaan kekayaan alam. Jika pelibatan publik dalam kegiatan eksploitasi kekayaan alam merupakan pilihan yang tidak realistis, setidaknya ada mekanisme yang memfasilitasi publik untuk mengetahui seluk-beluk proyek eksploitasi kekayaan alam itu.

    Secara minimal, daulat publik diwujudkan dalam bentuk “hak publik untuk tahu” (right to know). Publik berhak atas informasi yang komprehensif tentang kelayakan aneka fasilitas pertambangan, terutama yang berperangkat teknologi tinggi, dan langkah-langkah antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan fatal. Tak kalah penting, hak publik untuk mengetahui bagaimana dan sejauh mana proyek eksplorasi itu relevan bagi kesejahteraan masyarakat.

    Kasus Lapindo menunjukkan keterbukaan informasi bukan hanya penting dalam kerangka pemberantasan korupsi. Keterbukaan informasi adalah prinsip universal bagi semua aspek kehidupan publik, termasuk untuk menghindarkan publik dari dampak buruk proyek-proyek pertambangan yang selalu diputuskan dan dilaksanakan secara eksklusif dan penuh kerahasiaan.

    Andai sejak awal keterbukaan informasi diwujudkan dalam proyek PT Lapindo Brantas, kecelakaan fatal mungkin bisa dihindari dan ratusan ribu orang tidak harus kehilangan rumah, kampung, makam leluhur, sekolah, dan mata pencarian untuk sebuah proyek yang belum tentu mereka pahami apa manfaatnya. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 20 April 2007

  • Lapindo dan Absennya Pemerintah

    Oleh: Tata Mustasya

    Jika tak ada perubahan kebijakan mendasar, sejarah bakal mencatat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mangkir dari salah satu kewajiban pentingnya. Akan tertulis, pemerintah absen, dengan tidak melindungi sepenuhnya hak-hak masyarakat Sidoarjo dari semburan lumpur panas.

    Padahal, buku-buku teks kebijakan publik—misalnya Economics of the Public Sector oleh Joseph E Stiglitz—menegaskan perlunya peran pemerintah (government role) mengoreksi eksternalitas negatif akibat aktivitas ekonomi, misalnya ada pajak terhadap pencemaran oleh pabrik. Dengan demikian, biaya sosial polusi tidak ditanggung masyarakat yang “tidak bersalah”, juga pengusaha mempunyai insentif untuk meminimalisasi polusi.

    Jika keberadaan eksternalitas negatif menuntut intervensi pengambil kebijakan, amat ganjil jika perampasan aneka hak masyarakat di Sidoarjo tak mampu menghadirkan pemerintah secara penuh. Yang paling nyata, timbulnya ketidakjelasan ganti rugi. Ada apa dengan Lapindo dan absennya pemerintah?

    Bukan perilaku pasar

    Perlu dicatat, sikap Lapindo—dengan tidak bertanggung jawab terhadap kerugian masyarakat—bukan perilaku “ekonomi pasar”. Sebaliknya, ekonomi pasar menuntut pertanggungjawaban dan penghormatan hak milik (property rights).

    Kasus bangkrutnya perusahaan energi raksasa, Enron, di Amerika Serikat (AS) tahun 2001 merupakan contoh. Terbukti melakukan penipuan keuangan, Chief Executive Officer (CEO) Enron Jeffrey Skilling—salah satu lulusan terbaik Harvard Business School—divonis hukuman penjara 24 tahun 4 bulan. Skilling dan beberapa petinggi Enron lain telah menyembunyikan prospek buruk Enron untuk mendongkrak harga saham dan nilai pasar perusahaan itu. Dengan manipulasi mereka, Enron berkembang menjadi perusahaan ketujuh terbesar di AS dan mendapat predikat America’s Most Innovative Company dari majalah Fortune pada tahun 1996-2001.

    Hukuman berat itu menunjukkan pentingnya sebuah perekonomian pasar yang melindungi hak- hak pelakunya dan publik. Dalam kasus Enron, yang dilindungi adalah investor dan 21.000 pegawai. Para petinggi Enron bahkan harus menyerahkan aset-aset pribadi untuk ganti rugi.

    Yang menarik, penegak hukum di AS melakukan yurisprudensi dalam vonis petinggi Enron dan kantor akuntan Arthur Andersen sebagai auditor. Kejahatan Enron dan Arthur Andersen sebagai perusahaan harus dibebankan kepada individu para eksekutif puncak meski kesalahan mereka sekadar “tidak mau tahu” terhadap praktik bisnis kotor.

    Dalam satu aspek, perilaku Lapindo lebih destruktif dibandingkan dengan Enron. Lapindo merugikan orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai akad ekonomi dengan perusahaan itu. Mereka bukan investor atau pegawai.

    Lapindo juga terindikasi mencari celah untuk “efisiensi” ganti rugi. Relokasi—bukan penggantian uang— menghilangkan pilihan warga terhadap tempat tinggal baru. Lebih jauh, kerugian warga disimplifikasi menjadi hilangnya hak milik (properties) dan menafikan kerugian karena hilangnya pekerjaan dan tekanan psikologis.

    Peran pemerintah

    Presiden Yudhoyono—atas nama warga—harus memaksa Lapindo membayar ganti rugi dalam bentuk uang, bukan cuma komitmen. Urgensi peran pemerintah mutlak. Hal ini disebabkan pertama, kerugian dan hilangnya hak milik telanjur terjadi dan begitu nyata; kedua, kekuatan tawar Lapindo dan warga yang amat asimetris. Dalam kondisi ini, “negosiasi” bipartit antara Lapindo mustahil berlangsung adil. Langkah konkretnya, bentuk sebuah auditor independen untuk menghitung kerugian. Valuasi kerugian jangan dikendalikan Lapindo.

    Ketiga, kerugian warga bukan disebabkan wanprestasi dari sebuah perjanjian ekonomi privat, seperti dalam penipuan multilevel marketing. Kasus ini lebih merupakan hilangnya hak milik warga negara akibat kegiatan ekonomi pihak tertentu.

    Selanjutnya, Presiden harus melakukan terobosan sehingga kesalahan Lapindo dapat ditarik dan dibebankan ke pundak petinggi perusahaan ini, bukan melulu operator lapangan. Langkah ini mencegah skenario—yang mulai dilontarkan beberapa politisi—untuk membebankan biaya kerugian kepada negara dengan dalih bencana nasional. Di sinilah ada hambatan ekonomi-politik yang kuat.

    Pemilik saham terbesar PT Energi Mega Persada—sebagai pemegang terbesar saham Lapindo saat lumpur panas pertama kali terjadi—merupakan pemain penting di pasar politik. Konsekuensi, ketegasan Yudhoyono mungkin bisa mengubah keseimbangan politik yang merepotkan.

    Persoalannya, di sisi lain, publik mulai curiga pemerintah juga melibatkan diri dalam “skandal” ini. Teori strukturalis menemukan faktanya di mana elite politik bermain mata dengan pebisnis besar bukan melulu soal kepentingan, tetapi juga kedekatan alami dari banyak aktivitas, seperti golf dan makan malam. Tidak heran baik Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla maupun Bupati Sidoarjo kerap terlihat berbicara atas nama Lapindo, bukan masyarakat yang dirugikan.

    Menyikapi mangkirnya pemerintah, ada pihak-pihak yang memiliki kewajiban moral untuk bertindak. Pertama, aktivis (misalnya di bidang lingkungan dan hak asasi manusia), tokoh agama, dan cendekiawan; Kedua, partai politik, terutama partai yang memiliki basis kuat di Jawa Timur, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 22 Maret 2007