Tag: jawa pos

  • Ternyata Ganti Rugi Lapindo Cair setelah Lebaran

    SIDOARJO – Perjanjian pinjaman dana talangan untuk pelunasan sisa ganti rugi korban lumpur Lapindo memang telah diteken pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Tapi, itu tidak berarti mimpi korban lumpur untuk segera terlunasi sisa ganti ruginya sebelum Lebaran bisa terwujud. Sebaliknya, jalan mereka untuk mendapatkan pelunasan masih panjang dan berliku.

    Betapa tidak, proses validasi belum juga separo jalan. Hingga Senin (13/7) proses validasi baru mencapai 1.175 berkas. Padahal, berkas korban lumpur yang belum lunas ada 3.337. Di sisi lain, Lebaran sudah berada di depan mata.

    Memang hari ini (14/7) ada secuil kabar gembira. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat M. Basoeki Hadimoeljono direncanakan hadir di Pendapa Delta Wibawa Pemkab Sidoarjo. Hanya, mereka hadir bukan untuk mencairkan dana sisa ganti rugi ke korban lumpur.

    ”Besok (hari ini, Red) memang ada agenda di pendapa. Tapi, itu bukan untuk pencairan, melainkan penyerahan berkas perjanjian yang ditandatangani pemerintah dan PT MLJ kepada BPLS,” kata Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo kemarin.

    Jumat malam (10/7) pemerintah memang telah menekan perjanjian dengan PT MLJ. Pemerintah diwakili menteri keuangan, sedangkan Lapindo diwakili Presiden Lapindo Brantas Setia Sutrisna dan Direktur Utama PT MLJ Andi Darussalam Tabusalla.

    Dengan penandatanganan itu, pemerintah secara resmi memberikan pinjaman Rp 781,6 miliar kepada Lapindo. Dana itulah yang bakal dikucurkan kepada korban lumpur yang sudah menanti pelunasan sembilan tahun. Tapi, dana tersebut belum bisa dicairkan dalam waktu dua hari ke depan sebelum Idul Fitri tiba.

    Menurut Dwinanto, seusai penyerahan berkas perjanjian antara pemerintah dan MLJ, BPLS tidak langsung bekerja mengucurkan dananya. Mereka akan melakukan pengumpulan berkas yang telah divalidasi untuk dikirim ke Jakarta. ”Rencananya, pada 22 Juli kami mengumumkan nama-nama yang validasinya sudah tuntas dan dananya bisa segera dicairkan,” terangnya.

    Seusai pengumuman tersebut, BPLS memberikan waktu hingga tujuh hari untuk proses klarifikasi jika ada data yang tidak tepat. Baru setelah itu dana bisa dicairkan. ”Mengacu proses pembayaran korban di luar peta area terdampak, pencairan akan dilakukan dalam waktu 14 hari kerja setelah pengumuman. Paling cepat akhir Juli sudah cair,” jelas Dwinanto.

    Jika dihitung dari tanggal pengumuman nominasi nama-nama yang validasinya sudah komplet pada 22 Juli nanti, pencairan paling cepat dilakukan pada 31 Juli. Waktu yang tentu tidak pendek bagi korban lumpur yang sudah bertahun-tahun menunggu. Sebab, mereka harus bersabar dan bersabar lagi. Padahal, sebelumnya mereka sangat berharap pelunasan sudah terealisasi sebelum Lebaran (17 Juli).

    ”Kenapa masih susah seperti ini? Terus terang kami ingin masalah ini segera selesai. Sebab, jika semakin berlarut, kami tidak bisa segera melunasi utang,” ungkap Maria Ulfa, korban lumpur asal Kedungbendo, Tanggulangin.

    Harapan untuk segera tuntas juga diungkapkan Kusumawati. Perempuan 45 tahun asal Jatirejo, Porong, tersebut berharap waktu pelunasan tidak diulur-ulur. ”Keinginan kami sederhana, kami ingin segala urusan kami dipermudah dan segera cair pelunasannya,” harap perempuan yang kini tinggal di Gempol, Pasuruan, itu.

    Keinginan korban lumpur tersebut mendapat dukungan Pansus Lumpur Lapindo DPRD Sidoarjo. Mereka memberikan penegasan agar pemerintah dan BPLS bisa mempercepat proses pencairan. Termasuk menyangkut validasi.

    Pansus lumpur menilai proses validasi berjalan sangat lambat. Padahal, proses tersebut bisa dijalankan lebih cepat kalau BPLS dan MLJ bersinergi lebih baik. Tidak saling menunggu. ”Proses ini seharusnya dipercepat lagi. Jangan lagi ada komunikasi yang tersumbat antara BPLS dan MLJ. Jika tidak dipercepat, bisa-bisa pelunasan semakin molor lagi,” desak Ketua Pansus Lumpur Lapindo DPDR Sidoarjo Jauhari.

    Legislator asal Partai Amanat Nasional tersebut memang tidak memungkiri bahwa pencairan sulit dilakukan sebelum Lebaran. Sebab, waktunya sudah sangat mepet. Tapi, menurut dia, pencairan bisa dilakukan sesaat setelah libur Lebaran. ”Perjanjian sudah ditandatangani. Uang juga sudah ada. Jadi, pencairan seharusnya sudah bisa dilakukan secepatnya. Paling cepat sepekan setelah Lebaran lah,” tegasnya. (fim/c9/end)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/20300/Ternyata-Ganti-Rugi-Lapindo-Cair-setelah-Lebaran

  • Ganti Rugi Warga, Perjanjian Sudah Diteken Menkeu-Presdir Lapindo

    JAKARTA – Pemerintah bersama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dan PT Lapindo Brantas akhirnya menandatangani perjanjian peminjaman dana talangan untuk warga terdampak kemarin (10/7). Dengan proses final tersebut, pembayaran ganti rugi segera dilakukan. Namun, belum ada keterangan tentang tanggal pasti pembayaran kepada warga.

    Pembubuhan tinta perjanjian peminjaman dana talangan dilakukan kemarin di kantor Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera). Penandatanganan dilakukan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro sebagai wakil pemerintah dan Presiden PT Lapindo Brantas Inc Tri Setia Sutisna bersama Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam. Hadir pula Menteri PU-Pera Basuki Hadimuldjono, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, serta Nirwan Bakrie yang mewakili Grup Bakrie.

    Basuki menyatakan, penandatanganan perjanjian tersebut merupakan tindak lanjut peraturan presiden soal dana antisipasi yang ditandatangani 26 Juni 2015. Hal itu sekaligus menjadi pelengkap persyaratan pencairan dana talangan Lapindo selain perpres dan DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) yang telah disiapkan.

    Sayang, proses itu tidak sesuai dengan janji pemerintah. Sebab, seharusnya dana Rp 781 miliar tersebut sudah cair untuk tahap awal pada tanggal ditekennya perpres. ’’Ini memang perjalanan cukup panjang. Mulai verifikasi oleh BPKP soal tanah yang dibeli Lapindo hingga perjanjian antara pemerintah dan Lapindo,’’ jelasnya.

    Basuki melanjutkan, ada empat poin penting dalam surat perjanjian tersebut. Yakni, pertama, pembayaran ganti rugi yang akan langsung dilakukan kepada warga. Maksudnya, dana pinjaman tidak akan masuk ke rekening dari PT MLJ sebelum dibayarkan kepada masyarakat.

    Kedua, besaran bunga yang harus ditanggung PT MLJ selama pinjaman bergulir. Sebagaimana diketahui, bunga yang telah disepakati adalah 4,8 persen per tahun dari besaran yang dipinjamkan. ’’Ketiga, jaminan aset Lapindo senilai Rp 2,7 triliun. Kalau mereka tidak dapat mengembalikan dana pinjaman selama empat tahun, aset akan disita,’’ tegasnya.

    Dia melanjutkan, dalam pengembalian dana pinjaman, Lapindo diizinkan untuk mengangsur. ’’Yang penting batas waktunya empat tahun itu,’’ ujarnya.

    Sementara itu, Menkeu Bambang Brodjonegoro menyatakan, berdasar pertimbangan jaksa agung, pihak yang berhak meneken surat perjanjian tersebut adalah Menkeu selaku bendahara negara. ’’Jadi, akhirnya saya yang teken perjanjian itu,’’ katanya saat ditemui di gedung Kementerian PU-Pera kemarin.

    Sebagai informasi, pencairan dana talangan Lapindo molor dari jadwal 26 Juni lalu. Salah satu penyebabnya, surat perjanjian kontrak tidak kunjung diteken. Menurut Bambang, saat itu Kementrian PU-Pera merasa perlu meminta pertimbangan jaksa agung soal pihak yang berhak meneken surat tersebut. Proses di kejaksaan ternyata tidak singkat hingga akhirnya surat perjanjian tersebut baru diteken kemarin.

    Bambang melanjutkan, sebenarnya sejak 26 Juni lalu syarat-syarat pencairan dana ganti rugi tersebut hampir lengkap, yakni perpres dan DIPA. Tinggal surat kontrak yang belum diteken karena menunggu hasil pertimbangan presiden. Karena itu, kata dia, setelah semua persyaratan lengkap, dana bisa segera dicairkan.

    Dia menguraikan, Selasa pekan depan (14/7) pihaknya bersama Menteri PU-Pera Basuki Hadimuljono menyerahkan surat perjanjian kontrak tersebut kepada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). ’’Selasa kami ke BPLS untuk menyerahkan surat perjanjian. Sebab, ini menjadi dasar bagi BPLS untuk mencairkan anggaran,’’ ujarnya.

    Mengenai pembayaran dana talangan oleh Lapindo, Bambang menekankan bahwa pemerintah telah menetapkan bunga 4,8 persen dan waktu pelunasan selama empat tahun. Pemerintah juga siap mengambil aset berupa tanah 641 hektare senilai Rp 2,7 triliun jika Lapindo gagal melunasi utang saat jatuh tempo.

    ’’Pembayaran talangan Lapindo itu bisa dicicil. Bisa juga pembayaran di ujung. Yang penting, ada batas waktu empat tahun. Batas waktu pembayarannya mulai hari ini. Jika tidak (tidak bisa membayar), kan ada jaminan (tanah),’’ tegasnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam menuturkan, saat ini verifikasi terus berjalan. Di antara 3.300 berkas warga, yang rampung sudah 1.200 berkas. ’’Sebanyak 3.300 berkas itu adalah milik sekitar 2.000 kepala keluarga (KK),’’ ujarnya.

    Andi melanjutkan, untuk skema pembayaran tahap awal, semua telah diserahkan kepada BPLS. Pihaknya akan menyerahkan hasil verifikasi kepada BPLS. Kemudian, BPLS memvalidasi untuk diserahkan kepada bendahara negara, dalam hal ini Kemenkeu. ’’Jadi, uang akan langsung dari pusat ke masyarakat,’’ tegasnya.

    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Hardi Prasetyo menyatakan sudah membuat skema tersebut. Namun, dia enggan memaparkan detail. Dia akan menjelaskan secara terperinci saat pemerintah pusat menyerahkan berkas perjanjian kepada pihaknya di Sidoarjo, Selasa pekan depan.

    ’’Yang jelas, nanti sistemnya ditransfer melalui rekening BRI yang telah dibuka untuk masing-masing KK. Besarannya pun sesuai dengan aset mereka,’’ ungkapnya. (mia/ken/c5/kim)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/20193/Ganti-Rugi-Warga-Perjanjian-Sudah-Diteken-Menkeu-Presdir-Lapindo

  • Menteri PU-Pera: Dana Lapindo Paling Lambat Cair 26 Juni

    Menteri PU-Pera: Dana Lapindo Paling Lambat Cair 26 Juni

    JAKARTA – Korban lumpur Lapindo yang belum mendapatkan ganti rugi bisa menyambut datangnya bulan puasa dan Lebaran dengan lebih tenang. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Basuki Hadimuljono menyatakan, dana talangan kepada PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk membayar ganti rugi paling lambat cair pada 26 Juni mendatang.

    Saat ini negosiasi PT MLJ dengan pemerintah soal kesepakatan pemberian talangan masih berlangsung. Basuki selaku ketua tim percepatan pembayaran ganti rugi tanah korban lumpur Lapindo terus memantau perkembangan negosiasi tersebut

    ”Saya optimistis paling lambat 26 Juni (2015) sudah cair,” tegasnya saat dihubungi Jawa Pos Sabtu (30/5).

    Basuki mengungkapkan, saat ini memang masih ada beberapa detail perjanjian yang belum disepakati oleh PT MLJ. Misalnya besaran bunga maupun pajak yang harus dibayar atas dana talangan Rp 827,1 miliar tersebut. ”Soal itu masih sebatas pembicaraan informal, pasti nanti ketemu (sepakat, Red) juga,” katanya.

    Untuk memastikan, Basuki sudah mengonfirmasi Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian PU-Pera Taufik Widjoyono selaku ketua tim teknis yang memimpin negosiasi dengan pihak Lapindo. ”Kata Pak Irjen masih on schedule (tetap sesuai jadwal cair 26 Juni),” ucapnya.

    Basuki menuturkan, saat ini yang bekerja adalah tim teknis yang terdiri atas pejabat eselon I di Kementerian PU-Pera, Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). ”Kalau tim teknis selesai, nanti baru dilaporkan ke saya untuk dibawa ke sidang kabinet,” jelasnya.

    Karena itu, ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tersebut menyatakan belum mengetahui detail poin-poin negosiasi yang saat ini sedang berjalan. Termasuk informasi seputar keinginan pemerintah untuk menetapkan bunga 4 persen serta pajak. ”Prinsip kami kan bagaimana agar pemberian pinjaman ini tidak merugikan pemerintah,” ujarnya.

    Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menegaskan bahwa skema dana talangan untuk Lapindo yang berasal dari APBN merupakan pinjaman. Karena itu, berlaku pula ketentuan sebagaimana layaknya pemberian pinjaman, yakni ada bunga dan pajak. ”Namanya juga pinjaman, bukan diberikan (gratis, Red),” katanya.

    Terkait dengan keinginan pihak Lapindo agar dana talangan bisa dicairkan sebelum bulan puasa, Basuki mengaku tidak bisa menjamin. Sebagai gambaran, Muhammadiyah sudah menetapkan awal bulan puasa tahun ini pada 18 Juni, sedangkan pemerintah belum memutuskan, namun mungkin mundur satu hari atau mulai 19 Juni.

    Menurut Basuki, berdasar tahapan-tahapan yang sudah dibuat dan disampaikan tim teknis, pencairan dana itu memang masih mengacu pada 26 Juni 2015. Karena itu, dia meminta masyarakat sedikit bersabar. ”Kan nggak beda jauh juga, syukur-syukur negosiasinya lancar. Jadi, bisa cair lebih cepat,” ucapnya. (owi/c11/ang)

    http://www.jawapos.com/baca/artikel/18139/menteri-pu-pera-dana-lapindo-paling-lambat-cair-26-juni

  • Bertahan dengan Berjualan Bakso dan Ijazah Sarjana IAIN

    Bertahan dengan Berjualan Bakso dan Ijazah Sarjana IAIN

    Meski peristiwa sembilan tahun silam tidak bisa dihilangkan dalam memori, para korban lumpur Lapindo di Sidoarjo tidak lantas putus asa untuk bangkit. Berikut ini kisah tiga korban yang mau bekerja keras menapak mulai nol hingga mampu hidup normal kembali. (more…)

  • Audit Lapindo Tuntas, Segera Bentuk Tim Negosiasi

    Audit Lapindo Tuntas, Segera Bentuk Tim Negosiasi

    Jawa Pos, Jakarta – Dana talangan untuk korban lumpur Lapindo segera cair. Setelah audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tuntas, pemerintah kini masuk tahap finalisasi tim negosiasi.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, audit BPKP akan menjadi pegangan tim negosiasi saat bertemu dengan pihak Lapindo. ”Sekarang timnya sedang difinalisasi oleh Setkab (Sekretariat Kabinet),” ujarnya kepada Jawa Pos Minggu (12/4).

    Basuki mengatakan, berdasar audit BPKP, terdapat perbedaan angka dalam nilai aset Lapindo. Versi PT Minarak Lapindo Jaya, nilai aset tanah warga di peta terdampak yang sudah diganti Lapindo mencapai Rp 3,03 triliun. Namun, hasil audit BPKP menyebut hanya Rp 2,7 triliun. ”Rupanya, hitungan Lapindo juga memasukkan bonus dan ada beberapa berkas tanah yang dihitung dua kali,” katanya.

    Menurut Basuki yang juga ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), audit BPKP juga menyebut kebutuhan dana talangan menyusut dari Rp 781 miliar menjadi Rp 767 miliar karena adanya beberapa berkas tanah yang dihitung lebih dari satu kali. Saat ini penyusunan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) pun sudah berjalan. ”Itu sudah dilaporkan menteri keuangan,” ucapnya.

    Sebagaimana diketahui, dana tersebut akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di peta area terdampak. Ganti rugi itu sebenarnya kewajiban Lapindo, namun karena perusahaan tidak memiliki kemampuan finansial, pemerintah bersedia memberi dana talangan agar proses ganti rugi tanah warga bisa segera tuntas.

    Hingga saat ini, Lapindo baru bisa memenuhi kewajiban ganti rugi tanah warga di peta terdampak sebanyak 9.900 berkas senilai Rp 3,03 triliun (versi Lapindo), sebagian besar berupa sertifikat tanah. Ada juga yang berupa girik. Namun, masih ada kekurangan 3.337 berkas yang belum bisa diselesaikan Lapindo senilai Rp 767 miliar. Kekurangan itulah yang akan ditalangi pemerintah.

    Dihubungi di tempat terpisah, Direktur PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan perbedaan perhitungan antara aset yang sudah dibeli Lapindo senilai Rp 3,03 triliun dan hasil audit BPKP yang hanya menyebut Rp 2,7 triliun. ”Kami ikut saja apa kata pemerintah,” ujarnya.

    Menurut Andi, meski hasil audit BPKP menyebut aset yang dikuasai Lapindo hanya Rp 2,7 triliun, nilainya masih jauh lebih besar daripada kebutuhan dana talangan Rp 767 miliar. Artinya, aset yang dijaminkan Lapindo jauh lebih besar daripada dana yang dipinjamkan pemerintah. ”Lain cerita kalau aset kami ternyata cuma Rp 600 miliar, itu baru jadi masalah,” jelasnya.

    Basuki menambahkan, dalam negosiasi dengan pihak Lapindo, pemerintah akan mengajukan skema pemberian dana talangan Rp 767 miliar dengan jaminan 9.900 berkas yang sudah dikuasai Lapindo senilai Rp 2,7 triliun (versi BPKP). Selanjutnya, Lapindo diberi waktu empat tahun untuk melunasi pinjaman kepada pemerintah. Jika itu tidak bisa dilakukan, pemerintah akan mengambil alih hak kepemilikan 9.900 berkas tanah yang sudah dijaminkan Lapindo. ”Dalam negosiasi, akan dibuat perjanjian tertulis dengan Lapindo,” ujarnya.

    Basuki yang pernah menjadi ketua pelaksana Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (PSLS) pada 2007 akan memimpin tim negosiasi yang, antara lain, berisi unsur BPKP, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Keuangan. ”Semoga prosesnya cepat sehingga dana talangan bisa dicairkan untuk masyarakat korban lumpur,” katanya.(owi/c10/sof)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/15665/Audit-Lapindo-Tuntas-Segera-Bentuk-Tim-Negosiasi

  • Pemerintah Siap Tambah Dana Talangan Lapindo

    Pemerintah Siap Tambah Dana Talangan Lapindo

    Jakarta, Jawa Pos – Pemerintah tengah menyiapkan tim khusus untuk bernegosiasi dengan pihak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Tim itulah yang nanti menentukan pencairan dana talangan Rp 781,7 miliar untuk Lapindo.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, pemerintah juga memperhitungkan kemungkinan jika dana Rp 781,7 M tersebut tidak cukup untuk membeli tanah warga di peta area terdampak (PAT). ”Kalau memang dibutuhkan, dananya bisa ditambah. Yang penting hak masyarakat terpenuhi,” tuturnya Sabtu (21/2).

    Sebagaimana diketahui, sebelumnya Direktur Utama PT MLJ Andi Darussalam Tabusalla menyatakan, dana Rp 781,7 M yang dialokasikan dalam APBN Perubahan 2015 itu mungkin tidak cukup. Sebab, dana tersebut belum menghitung kebutuhan warga korban lumpur yang sudah mengambil rumah di Kahuripan Nirvana Village.

    Dana itu akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di PAT. Ganti rugi tersebut sebenarnya kewajiban Lapindo. Namun, karena perusahaan itu tidak memiliki kemampuan finansial, pemerintah bersedia memberikan dana talangan agar proses ganti rugi tanah warga bisa segera tuntas.

    Sebagai jaminannya, Lapindo harus menyerahkan 9.900 sertifikat tanah seluas 640 hektare yang sudah mereka beli dari warga. Jika dalam jangka waktu empat tahun Lapindo tidak bisa mengembalikan pinjaman dana talangan, pemerintah berhak mengambil alih tanah warga dari tangan perusahaan tersebut.

    Menurut Basuki, berapa kebutuhan riil pembelian tanah warga akan diketahui berdasar hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Badan itulah yang ditugasi pemerintah untuk menentukan nilai tanah warga. ”Jadi, kita tunggu verifikasi BPKP saja,” katanya.

    Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjelaskan, dana Rp 781,7 M yang sudah dialokasikan dalam APBN Perubahan 2015 hanya akan dicairkan jika pemerintah sudah memegang komitmen serta ada perjanjian resmi dengan pihak Lapindo. ”Selama negosiasi belum selesai, dana talangan masih kami tahan,” terangnya. (owi/c9/end)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/13312/Pemerintah-Siap-Tambah-Dana-Talangan-Lapindo

  • Lapindo Ditalangi Rp 781M Masih Belum Cukup

    Lapindo Ditalangi Rp 781M Masih Belum Cukup

    JAKARTA – Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 sudah disahkan Jumat malam (13/2). Di dalamnya, terdapat alokasi dana talangan untuk korban lumpur Lapindo senilai Rp 781,7 miliar. Namun, dana tersebut dinilai pihak Lapindo belum cukup.

    Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya yang dilakukan pemerintah dan disetujui DPR untuk memberikan dana talangan atas musibah lumpur Sidoarjo itu. ”Tapi, dana itu mungkin belum cukup,” ujarnya kepada Jawa Pos Sabtu (14/2).

    Sebagaimana diketahui, dana tersebut akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di peta area terdampak. Ganti rugi itu sebenarnya kewajiban Lapindo. Namun, karena keuangan perusahaan sedang seret, pemerintah bersedia memberikan dana talangan agar proses ganti rugi bisa segera tuntas.

    Andi menyebutkan, dana yang dibutuhkan berpotensi melebihi Rp 781,7 miliar seperti yang diperhitungkan sebelumnya. ”Mungkin bertambah ya. Karena belum menghitung (kebutuhan) dana untuk warga (korban lumpur) yang sudah ambil rumah di KNV (Kahuripan Nirwana Village),” katanya.

    Meski begitu, Andi belum bisa memastikan potensi kebutuhan tambahan dana untuk pelunasan ganti rugi, termasuk solusi untuk menutupi kekurangan itu. ”Kami belum berpikir ke situ dulu. Ayo, kita coba selesaikan dulu lah (dari dana talangan yang disediakan pemerintah),” kelitnya.

    Sementara itu, saat ditemui seusai pengesahan APBNP 2015 Jumat malam, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan bahwa pemberian dana talangan kepada Lapindo bukanlah bailout yang bisa diterima tanpa kewajiban pengembalian. ”Ini sifatnya talangan, pinjaman, jadi nanti harus diganti (oleh Lapindo),” tegas dia.

    Pemerintah juga sudah meminta jaminan berupa aset tanah di peta area terdampak yang dibeli Lapindo. Jumlahnya sekitar 9.900 sertifikat tanah atau girik seluas 640 hektare senilai total Rp 3,03 triliun. Karena itu, sebelum dana talangan dicairkan, pemerintah akan membuat perjanjian secara legal dengan Lapindo. ”Intinya, mereka harus mengembalikan (dana Rp 781 miliar) dalam jangka tertentu. Kalau tidak, aset mereka (senilai Rp 3,03 triliun) kami ambil,” jelasnya.

    Mekanisme pencairan dana talangan dan perjanjian legal itulah yang segera dirumuskan oleh tim pemerintah di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Dihubungi secara terpisah, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menjelaskan, total ganti rugi korban yang lahannya terkena lumpur Rp 3,8 triliun. Dari jumlah itu, Minarak Lapindo hanya bisa membayar Rp 3,03 triliun. Sisanya terpaksa ditalangi pemerintah, yaitu Rp 781 miliar. ”Pemerintah dan negara harus hadir membantu korban Lapindo, bagaimanapun caranya, tanpa menyalahi aturan dan menghilangkan tanggung jawab Lapindo,” ujarnya.

    Basuki juga menyebutkan skema pembayaran. Yakni, pemerintah membayar Rp 781 miiar. Lalu, aset Rp 3,03 triliun yang sudah diganti Lapindo diberikan kepada pemerintah sebagai jaminan.

    Lapindo diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan Rp 781 miliar tersebut. ”Nanti kalau tidak dilunasi, maka aset tersebut jadi milik pemerintah dan akan dijual. Menurut presiden, nantinya akan ada kuasa jual untuk aset itu,” tegas Basuki.

    Sementara itu, Humas BPLS Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan, saat ini BPLS serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan validasi atas semua data yang dilaporkan, terutama dari pihak Lapindo. ”Sekarang kami menunggu pemerintah pusat terkait penyaluran dana talangannya. Teknisnya seperti apa, nanti tunggu jelang pelaksanaan,” ujarnya. (gen/owi/c11/kim)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/12962/lapindo-ditalangi-rp-781-m-masih-belum-cukup
  • Ketinggian Lumpur Mencapai 50 Cm

    Dua Lansia Menolak Dievakuasi

    SIDOARJO – Puluhan rumah di RT 10, RW 2, Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, tampak melompong Rabu (17/12). Desa di sisi selatan Sungai Ketapang itu ditinggal penghuninya mulai Selasa malam (16/12).

    Penyebabnya, tingginya curah hujan membuat tanggul lumpur di titik 73B Desa Kedungbendo jebol. Akibatnya, aliran lumpur masuk ke rumah-rumah warga hingga ketinggian 50 sentimeter.

    Jebolnya tanggul lumpur di titik 73B itu tidak hanya menenggelamkan Desa Gempolsari. Dua desa lain, yakni Kalitengah dan Kedungbendo, juga terendam.  

    Semua warga diminta mengungsi ke balai desa. Namun, tidak semua warga mau dievakuasi. Suwadi, 80, dan Suniakah, 85, menolak meninggalkan rumah mereka. Hingga kemarin, pasangan lansia itu bertahan di rumah yang terendam lumpur setinggi lutut orang dewasa.

    ’’Kulo teng mriki mawon. Tunggu omah (Saya di sini saja. Menjaga rumah, Red),’’ kata Suniakah saat diminta mengungsi oleh tim tagana kemarin sore.

    Suwadi mengatakan, dirinya dan istri sudah beberapa kali tinggal di pengungsian. Namun, selama di sana dia merasa tidak nyaman. Suwadi tidak bisa melakukan aktivitas seperti mencari rumput untuk kambing-kambingnya.

    Selain itu, Suwadi takut rumahnya benar-benar ditenggelamkan lumpur saat ditinggal. Sebab, selama ini setiap lumpur masuk ke rumah, dia dan istri mengeluarkannya dengan sapu dan alat pel.

    ’’Saya keluarkan sedikit-sedikit. Kalau didiamkan, nanti rumahnya bisa amblas,’’ ujar Suwadi.

    Saat ini rumah Suwadi dan Suniakah menjadi satu-satunya rumah di RT 5, RW 6, Desa Kalitengah, yang masih ada. Kiri-kanan hunian mereka merupakan lahan kosong bekas rumah dirobohkan yang sudah lama ditinggal pemiliknya.

    Akses masuk ke rumah Suwadi juga terbilang sulit. Jalan setapak berupa galengan menjadi satu-satunya akses menuju rumah itu.

    Karena rumah terendam lumpur, mereka sulit ke mana-mana. Sepanjang hari, Suniakah lebih banyak menghabiskan waktu di ranjang. Sesekali dia pergi ke teras untuk mengeluarkan lumpur dari dalam rumah.

    Sementara itu, Suwadi juga sulit beraktivitas seperti biasa. Selain menemani sang istri, sesekali Suwadi memberi makan kambing-kambingnya.

    Suwadi mengatakan, selama dua hari terakhir banyak orang yang berkunjung ke rumahnya. Sebagian besar datang untuk membujuk Suwadi dan Suniakah agar mau mengungsi. Namun, semua tawaran itu ditolak.

    Menurut Suwadi, dirinya dan istri mau angkat kaki setelah mendapat ganti rugi atas rumah yang terendam lumpur. Dia menyatakan selama ini baru mendapat ganti rugi sebesar 20 persen.

    ’’Kalau sudah punya rumah baru, ya mau pindah. Kalau sekarang tidak punya rumah, mau pindah ke mana?’’ katanya.

    Meski bertahan di rumah, Suwadi dan Suniakah tidak pernah luput dari perhatian. Mereka tetap mendapat fasilitas layaknya warga yang mengungsi di Balai Desa Gempolsari. Misalnya, selimut, matras, dan logistik. ’’Kalau makan, ada yang mengantar tadi,’’ kata Suwadi.

    Sementara itu, kondisi Kantor Balai Desa Gempolsari tampak ramai kemarin. Kantor pemerintah desa tersebut dipadati para pengungsi dari RT 10, RW 2, Desa Gempolsari. Total ada 99 orang dari 24 kepala keluarga yang tinggal di 21 rumah.

    Semua perlengkapan evakuasi memang sudah lama disiapkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sidoarjo. Setiap keluarga diberi satu matras. Setiap pengungsi juga mendapat selimut dan logistik.

    Meski demikian, suasana pengungsian tetap tidak senyaman rumah sendiri. Anggi Maulana mengatakan sudah tidak betah tinggal di pengungsian. Menurut siswa kelas V SDN Gempolsari itu, suasana di kantor balai desa terlalu ramai sehingga dirinya sulit belajar. ’’Berisik. Jadi tidak konsentrasi,’’ ucapnya.

    Sebagaimana diberitakan, lumpur menggenangi Desa Gempolsari dan Desa Kalitengah setelah tanggul titik 73B Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, jebol pada 31 November 2014. Tanggul tersebut jebol sepanjang empat meter.    

    BPLS berencana membangun tanggul baru yang menghubungkan tanggul titik 67 Desa Gempolsari dan titik 73 di Desa Kedungbendo.

    Tanggul baru itu nanti sepanjang 1,7 kilometer dengan ketinggian 5 meter. Sedangkan lebar tanggul 15 meter.

    Selama pengerjaan tanggul baru, BPLS telah menanggul sementara di titik 73 B. Tanggul tersebut juga dilengkapi sandbag dan sesek (anyaman bambu) untuk menghalau lumpur agar tidak mengalir ke timur (Desa Gempolsari).

    Sayangnya, hujan deras yang mengguyur Kota Delta Selasa malam (15/12) mengakibatkan tanggul sementara itu ambles. Akibatnya, aliran lumpur mengalir deras ke Desa Gempolsari. (rst/c7/c4/ib)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/10431/Ketinggian-Lumpur-Mencapai-50-Cm

  • Lumpur Lapindo Meluap, Balai Desa Dipindah

    Lumpur Lapindo Meluap, Balai Desa Dipindah

    SIDOARJO – Jebolnya tanggul di titik 73 tidak hanya membuat lumpur masuk ke rumah warga di dua desa, Kedungbendo dan Gempolsari. Air lumpur tersebut juga menenggelamkan balai desa di Kalitengah Selatan. Akibatnya, balai desa itu dipindah ke rumah Juwadi, warga setempat.

    ’’Pemindahan dilakukan untuk menyelamatkan arsip desa,’’ kata Camat Tanggulangin Sentot Kun Mardianto.

    Pemindahan balai desa di Kedungbendo dimulai pukul 08.00 hingga pukul 14.30 Selasa (9/12). Upaya itu dipimpin Sekretaris Camat Tanggulangin Yani Setiawan. Lokasi balai desa berjarak sekitar 1 kilometer dari tanggul titik 73 yang jebol.

    Kondisi balai Desa Kedungbendo cukup memprihatinkan. Bagian dalamnya sudah tergenang lumpur hingga 20 sentimeter. Demikian pula halaman depan.

    Sejak pagi, lima pekerja membantu pegawai kecamatan mengangkati perabot dari dalam. Antara lain, mebel, lemari, dan komputer inventaris desa. Saat evakuasi, tidak semua perabot bisa diangkut ke balai desa yang baru. Perabot yang tidak bisa diselamatkan ditinggal di tempat. Misalnya, meja dan arsip lainnya.

    ’’Sejauh ini, tidak ada dokumen yang rusak,’’ kata Yani.

    Namun, dia belum yakin seratus persen dengan hal tersebut. Sebab, pihaknya belum memeriksa secara mendetail dokumen-dokumen tersebut. Termasuk, database warga yang tersimpan dalam komputer.

    Selain sudah dipenuhi lumpur, balai desa tersebut dipindah karena letaknya jauh dari jalan besar. Akses menuju tempat pelayanan publik itu sangat sulit. Untuk mencapai balai desa, selama ini warga harus menyeberangi jembatan bambu. Padahal, kondisi jembatan bambu itu kini mulai rusak.

    Ini bukan kali pertama Balai Desa Kedungbendo dipindah karena genangan lumpur. Saat awal lumpur meluber, balai desa dipindahkan ke rumah mantan Kepala Desa Kedungbendo Hasan. Dua tahun lalu, Hasan meninggal. Namun, rumah tersebut masih difungsikan sebagai balai desa.

    Saat tanggul jebol pada 30 November lalu, balai desa sempat terendam aliran lumpur. Endapan lumpur semakin parah karena hujan deras yang mengguyur kawasan tanggul beberapa hari terakhir. Akhirnya, balai desa dipindahkan ke rumah lama Juwadi.

    Sementara itu, sejak Sabtu (6/12), tim siaga bencana membentuk pos evakuasi di ruang pertemuan Balai Desa Gempolsari. Tim itu merupakan gabungan tim BPLS, forpimda, dan relawan dari Puskesmas Tanggulangin. Ruangan tersebut berukuran sekitar 10 x 20 meter.

    ’’Pos evakuasi digunakan menampung warga di RT 9 dan RT 10,’’ kata Suwito, relawan Kampung Siaga Bencana (KSB). Berdasar data yang dihimpun tim siaga bencana, terdapat 96 warga yang dievakuasi di Balai Desa Gempolsari.

    Hingga kemarin, belum ada seorang pun warga yang mengungsi ke pos tersebut. Warga beranggapan rumah mereka masih bisa ditempati, meski sesekali lumpur masuk ke dalam rumah. Namun, kata Suwito, warga beberapa kali mendatangi pos untuk meminta air bersih. (laz/c5/end)

  • Ical, Golkar, dan Lapindo

    Ical, Golkar, dan Lapindo

    SETELAH melalui berbagai polemik dan intrik, Aburizal Bakrie kembali terpilih sebagai ketua umum Partai Golkar untuk periode 2014–2019. Ical, sapaan Aburizal Bakrie, terpilih secara aklamasi melalui munas yang diselenggarakan di Westin Resort, Nusa Dua, Bali (3/12). Apa lagi yang dicari Ical di Partai Golkar?

    Dulu para pengusaha punya prinsip jangan menaruh telur dalam satu keranjang. Biasanya, pengusaha ”menaruh” kakinya di beberapa partai sekaligus. Selain menyokong partai A, juga menyumbang partai B. Meski menjadi pengurus partai C, juga diam-diam membeli ”saham” di partai D. Itu dulu. Sekarang perilaku politik para saudagar berubah.

    Kini pengusaha cenderung menaruh telurnya di satu keranjang. Lihat saja Ical di Partai Golkar dan Surya Paloh di Partai Nasdem. Hary Tanoesoedibjo ikut ”basah” di politik setelah adiknya tersangkut kasus hukum di KPK. Dia sempat ngebet memimpin Nasdem meski akhirnya menyingkir, walaupun sudah keluar dana miliaran rupiah. Politikus baru itu kemudian masuk Hanura dan dijadikan bakal calon wakil presiden.

    Kalau dipikir, orang seperti Ical dengan kekayaan yang melimpah ruah lebih enak menjadikan parpol sebagai hobi. Tak perlu ngoyojadi capres atau memimpin partai dengan segala cara.

    Pakar ekonomi politik James Buchanan memunculkan teori pilihan rasional (rational choice theory) untuk menggambarkan bahwa merupakan sebuah pilihan rasional bila seseorang yang terjun ke politik memperjuangkan kepentingan pribadinya (Deliarnov, 2006). Jadi, jangan heran bila artikulasi kepemimpinan Ical di Partai Golkar tidak mungkin merugikan Grup Bakrie. Misalnya dalam kasus lumpur Lapindo.

    Ketika Ical menjadi ketua umum Partai Golkar periode 2009–2014, partai berlambang pohon beringin itu berupaya agar pemerintah mengambil alih pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo. Sebelumnya, Partai Golkar juga berupaya keras agar kasus Lapindo dianggap sebagai bencana alam. Intinya, Partai Golkar berupaya agar beban perusahaan Grup Bakrie itu bisa seringan mungkin untuk kasus lumpur Sidoarjo.

    Lapindo masih berutang Rp 781 miliar. Juga, perusahaan itu sudah angkat tangan karena sebelumnya sudah mengucurkan uang Rp 9 triliun lebih untuk ganti rugi korban Lapindo. Gara-gara itu, utang Grup Bakrie meningkat tajam. Kekuatan politik yang dimiliki Ical bisa menjadi penopang bisnis keluarga Bakrie.

    Terlepas dari semua itu, yang harus diutamakan sekarang adalah bagaimana ganti rugi bagi korban Lapindo bisa dituntaskan. Pemerintah harus merelakan APBN Rp 781 miliar untuk memberikan kepastian bagi korban Lapindo. Setelah itu, silakan pemerintah menagih ke Lapindo. Kalau bisa. (*)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/10014/Ical-Golkar-dan-Lapindo

  • Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    IMG_20140528_180212Oleh: Henri Nurcahyo

    Sudah delapan tahun lumpur Lapindo menyembur, masih juga belum ada kejelasan penyelesaian persoalan yang menyelimutinya. Semburan lumpur itu bukan hanya sebuah peristiwa geologi semata, namun juga bencana sosial, bencana intelektual dan juga bencana budaya. Lapindo telah menggunakan segala macam cara untuk menciptakan wacana pembenaran bahwa mereka tidak bersalah.

    Celakanya, kalangan ahli geologi sendiri, malah tidak satu suara untuk menegaskan penyebab terjadinya semburan. Apakah ilmu geologi tidak cukup canggih untuk menjelaskan peristiwa eksakta seperti itu? Bahkan organisasi profesi IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) sendiri hingga kini tidak pernah punya sikap resmi terkait semburan yang mencelakakan itu. Para ilmuwan berebut mengumbar serangkaian teori dan kepintarannya bersilang pendapat sehingga malah membingungkan masyarakat. Inilah yang disebut Bencana Intelektual.

    Padahal, dalam logika awam, penyebab terjadinya semburan lumpur itu karena Lapindo melakukan penyeboran di situ. Lepas apakah ada pengaruh gempa Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum semburan, lepas dari kesalahan prosedur pengeboran, lumpur tidak akan menyembur kalau Lapindo tidak mengebor di kawasan yang sebetulnya sudah diketahui punya potensi kuat menyemburkan lumpur itu. Proses awal mula penentuan lokasi pengeboran itu sendiri saja sudah sarat dengan rekayasa dan manipulasi.

    Peristiwa semburan lumpur Lapindo ini adalah bencana budaya, karena masyarakat diteror oleh perang wacana untuk menerima logika yang seolah-olah ilmiah. Para guru pasti akan bingung menjawab ketika ditanya muridnya perihal apa yang menyebabkan terjadinya semburan itu. Kebingungan ini akan terus membekas selama puluhan tahun, persis seperti wacana pembenaran pembantaian terhadap (mereka yang dituduh) PKI yang mengendap di kepala rakyat negeri ini selama puluhan tahun, sampai kemudian muncul upaya mencari kebenaran setelah Soeharto runtuh.

    Teror wacana budaya ini juga merambah wilayah dongeng, yang menyebut-nyebut dongeng Timun Mas untuk menguatkan alasan bahwa memang sudah wajar terjadi semburan lumpur di Porong. Sebab, dongeng Timun Mas adalah varian Cerita Panji, sebuah kisah legenda yang berpusat di Daha (Kediri) dan Jenggala (Sidoarjo). Dalam dongeng itu memang disebutkan sang raksasa tenggelam dalam lautan lumpur akibat lemparan terasi (belacan) oleh Timun Mas. Rekayasa ini diperkuat dengan kitab-kitab kuno yang seolah-olah sah sebagai sumber sejarah.

    Banyak orang yang dengan mudah percaya tafsir mainstream terhadap dongeng tersebut. Padahal, sesungguhnya dongeng Timun Mas seperti yang banyak dikenal orang selama ini bukan dongeng Jawa Timur, melainkan Jawa Tengah. Sementara yang berkembang di Jawa Timur sendiri adalah dongeng Timun Mas dalam versi yang lain. Saya menemukan sedikitnya ada tiga versi berbeda mengenai dongeng ini, sebagaimana yang menjadi bahan cerita ludruk dan Wayang Kancil. Dongeng Timun Mas versi Jatim ini memang tidak populer, namun yang jelas dalam versi ini justru sama sekali tidak menyebut-nyebut adanya lautan lumpur.

    Sebagaimana varian Cerita Panji lainnya, tokoh perempuan selalu identik dengan Dewi Sekartaji, sedangkan tokoh lelaki yang menjadi pahlawan penyelamat si perempuan adalah penyamaran Panji Asmorobangun. Pakem seperti itulah yang juga terdapat dalam dongeng Ande-ande Lumut yang juga merupakan varian Cerita Panji. Disebutkan bahwa Kleting kuning adalah Dewi Sekartaji, sedangkan Panji Asmorobangun menyamar sebagai Ande-ande Lumut.

    Rekayasa dongeng ini, dengan menyejajarkan dongeng Timun Mas dengan peristiwa semburan lumpur Lapindo, tanpa disadari justru membuahkan blunder tersendiri. Karena dalam dongeng itu tokoh Raksasa dikalahkan oleh gadis desa yang lemah tak berdaya bernama Timun Mas. Lantas, mengapa dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo ini yang tenggelam justru “timun mas” dan bukan raksasanya? Itulah sebabnya para pegiat pembela korban lumpur lantas menguatkan logika ini dengan menjadikannya tema peringatan 8 tahun semburan lumpur Lapindo. Pesan utama dalam dongeng itu malah semakin dipertegas dengan kalimat, “sudah saatnya menenggelamkan raksasa dalam kubangan lumpur Lapindo”.

    Paradigma seperti ini sudah dipakai untuk mendasari peringatan semburan lumpur setahun lalu, dengan membuat ogoh-ogoh berupa raksasa berbaju kuning, kemudian dilemparkan ke kubangan lumpur. Ogoh-ogoh itu masih ada hingga sekarang.

    Dan saat ini Dadang Christanto yang jauh-jauh datang dari Australia semakin mempertegas penderitaan para Timun Mas itu. Mereka divisualkan dengan patung-patung manusia dengan tangan menengadah, membawa sisa-sisa perabotan rumahtangga sebagai harta yang terakhir. Juga para seniman Taring Padi dari Yogyakarta menyajikan puluhan instalasi berupa tangan-tangan yang terbenam, hanya kelihatan bagian lengan dan lima jari tangannya seperti orang tenggelam. Ini juga tangan-tangan Timun Mas yang masih menderita hingga sekarang, masih terombang-ambing oleh perdebatan kaum elitis. Bukan pada tempatnya mereka yang tenggelam, justru si Raksasa itulah yang seharusnya terbenam dalam kubangan laknat ini. Tunggu saja waktunya. (*)

    Henri Nurcahyo, penulis buku “Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo”, penerbit Asosiasi Tradisi Lisan.

    Sumber: Jawa Pos, 1 Juni 2014

  • (Rekayasa) Dongeng sebagai Wacana

    (Rekayasa) Dongeng sebagai Wacana

    Artikel ini adalah versi asli dari yang dimuat di Jawa Pos, Minggu 5 Januari 2014 (versi PDF)

    Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur LapindoJudul Buku    : Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo

    Penulis          : Henri Nurcahyo

    Penerbit         : Asosiasi Tradisi Lisan Jawa Timur

    Tahun           : 2014

    Halaman       : vi + 210 halaman

    Peresensi       : Anton Novenanto. Dosen pada Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya, Malang

    Sejak lahirnya, 29 Mei 2006, lumpur panas di Porong, Sidoarjo telah menjadi suatu arena pertarungan kuasa yang mahadahsyat. Sampai saat ini, pertarungan kuasa mengerucut pada dua kubu utama: kubu bencana alam dan kubu bencana industri. Indikasi keberadaan dua kubu dapat dilihat dengan mudah dari nama yang digunakan. Para aktor kubu bencana alam akan menggunakan terminologi “lumpur Sidoarjo”, atau Lusi; sementara aktor pada kubu bencana industri bersikeras menggunakan istilah “lumpur Lapindo”.

    Dari sini, kita pun dapat membaca kecenderungan Henri Nurcahyo dalam buku terbarunya berjudul: Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo (selanjutnya, Rekayasa Dongeng). Henri berada pada kubu bencana industri.

    Permasalahan utama yang diangkat dalam Rekayasa Dongeng adalah bagaimana folklore, atau cerita rakyat yang diwariskan secara lisan, dipergunakan dalam pertarungan kuasa terkait kasus Lapindo ini. Rekayasa Dongeng merupakan respons dari usaha seorang geolog, Awang Harun Satyana, yang menggunakan dongeng Timun Mas untuk menunjukkan bahwa semburan lumpur di Porong itu hanyalah gejala alam belaka.

    Tentu saja, pencarian kebenaran dengan mengkaitkan dongeng Timun Mas dengan kondisi ekologis (danau lumpur) di dunia nyata, seperti yang dilakukan Awang, merupakan bukti bahwa dongeng berfungsi sebagai wacana. Usaha semacam ini merupakan ironi karena dilakukan oleh seorang geolog, yang idealnya menyusun argumen berdasarkan data-data yang metodologis, yang ilmiah, bukan dari sebuah dongeng.

    Henri berpendapat, lumpur Lapindo dan folklor Timun Mas adalah dua entitas berbeda. Satu-satunya keterhubungan antara keduanya adalah “kebetulan [dongeng Timun Mas] juga menyebut mengenai danau lumpur sebagaimana yang terjadi di Porong sekarang ini” (3),  meskipun begitu sebuah dongeng berangkat dari “fakta yang sudah ada sebelumnya” (18). Oleh karenanya, keberadaan danau lumpur dalam dongeng Timun Mas menggelitik untuk ditelusuri lebih dalam.

    Bagi Henri, setiap cerita rakyat mengandung kearifan lokal yang dapat digali dengan mencari makna dari simbol yang dimunculkan. Henri melihat bahwa dalam folklor Timun Mas tersimpan pesan moral tentang bagaimana relasi negara (raksasa) dan rakyat (Timun Mas) (43-47). Ada dua pesan yang hendak disampaikan. Pertama, pesan pada pengelola negara agar tidak semena-mena pada rakyatnya dan meremehkan kekuatan yang dimiliki oleh rakyatnya. Kedua, pesan pada rakyat agar tidak mudah menyerah dengan kondisi yang ada.

    Dalam Bab 11 (Kontroversi Dongeng Timun Mas), Henri mengungkapkan pelbagai versi dongeng Timun Mas dalam masyarakat dan tidak semuanya menyebut tentang danau lumpur. Hal ini memperjelas tesis bahwa dongeng Timun Mas, yang menyebutkan danau lumpur, telah dimanipulasi sedemikian rupa untuk memenangi pertarungan kuasa, pencarian kebenaran dalam kasus Lapindo.

    Inilah yang menarik dari Rekayasa Dongeng. Titik beratnya bukanlah pada mencari “kebenaran” di balik sebuah dongeng, melainkan bagaimana sebuah dongeng berfungsi sebagai salah satu “wacana” dalam arena pertarungan kuasa pencarian kebenaran. Di sinilah tesis utama Rekayasa Dongeng, tentang bagaimana selama ini dongeng Timun Mas telah dimanipulasi sedemikian rupa untuk mendukung pendapat salah satu kubu (kubu bencana alam) adalah sesuatu yang problematik.

    Selama ini kasus Lapindo lebih banyak dikaji dari aspek geologis, hukum, politik ekonomi, gerakan sosial, media massa, planologi, ataupun psikologis. Nyaris tidak ada penulis yang menggunakan pendekatan budaya untuk mengkaji kasus Lapindo. Jika betul demikian, maka Henri adalah pionir.

    Penulisan dan penerbitan Rekayasa Dongeng merupakan bukti nyata bahwa pertarungan kuasa, pencarian kebenaran, atas kasus Lapindo masih terus bergulir, masih belum tuntas. Rekayasa Dongeng melampaui dari apa yang ditulis Ayu Sutarto dalam pengantarnya sebagai “laporan jurnalistik yang bernuansa folkloristik dan historik” (16). Rekayasa Dongeng, menurut saya, justru menghidupkan dan menghidupi arena pertarungan kuasa seputar kasus Lapindo.

    Dengan menawarkan gagasan tentang bagaimana kubu “bencana alam” telah menggunakan fitur-fitur budaya, dongeng, sebagai “amunisi” dalam pertarungan kuasa atas Kasus Lapindo, Henri telah membuka peluang bagi siapapun untuk melakukan rekonstruksi, bahkan dekonstruksi atas segala narasi budaya tentang bencana lumpur panas tersebut.

    Dengan kata lain, Rekayasa Dongeng merupakan salah satu wacana penting bagi siapapun yang hendak, sedang, dan pernah mendalami kasus Lapindo.

  • Stop Buang Lumpur ke Kali Porong

    Warga Desa Kupang Minta Pipa Pembuangan Ditutup

    SIDOARJO – Pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong dihentikan sejak kemarin. Penghentian itu dilakukan setelah Rabu malam warga Desa Kupang, Kecamatan Jabon, meminta pipa lumpur itu ditutup.

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memenuhi permintaan warga dengan mengalihkan pembuangan dari selatan ke utara.

    Menurut Kepala Desa Kupang Sudjarwo, permintaan warga dipicu kondisi kali yang semakin parah. Aliran air Kali Porong mulai terhenti dan menyebabkan permukaan hampir rata dengan tanggul. Mereka khawatir, air meluap dan terjadi banjir. ”Rumah warga bisa habis nanti,” kata Sudjarwo.

    Warga tidak yakin langkah BPLS mengerahkan ekskaponton untuk memecah endapan lumpur di Kali Prong akan efektif. Alasannya, ekskaponton tidak berguna selama pembuangan tetap dilakukan. ”Percuma jika pembuangan lumpur tidak dihentikan,” ujarnya. Atas dasar itulah, sekitar 500 warga mendatangi rumah pompa dan memaksa untuk menutupnya.

    Mulai kemarin pembuangan tidak lagi dialirkan ke Kali Porong, tetapi ke selatan. Yaitu, ke kolam lumpur Renokenongo, Kedungbendo, dan Siring. Debit lumpur yang dialirkan sekitar 100 ribu meter kubik per hari.

    Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, sementara pembuangan ke Kali Porong dihentikan. Tujuannya, demi kepentingan bersama. Dia tidak mengetahui hingga kapan penghentian itu. ”Kemungkinan hingga Kali Porong dianggap normal,” ucapnya.

    Dia juga berupaya mengerahkan ekskaponton di kali tersebut. Alat berat itu berfungsi membuat celah 10-15 meter di tengah kali. Melalui celah itu, air bisa mengalir dan menggerus lumpur yang menggendap. ”Itu langkah awal yang akan kami lakukan,” terang dia. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Siring Tak Layak Huni

    BPLS: Sudah Lama Berbahaya

    SIDOARJO ­- Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mengakui, kondisi Kelurahan Siring bagian barat, Kecamatan Porong, memang berbahaya. Hal itu disampaikan Humas BPLS Achmad Zulkarnain kemarin (20/8). Menurut dia, pihaknya selalu melaporkan kondisi Siring dan sekitarnya secara rinci. “Dan, kondisinya memang tidak aman,” kata Zulkarnain.

    Namun, lanjut dia, kewenangan yang dimiliki Badan Pelaksana (Bapel) BPLS hanya menyampaikan laporan tersebut. “Sedangkan kebijakan ada di Dewan Pengarah (DP) BPLS,” tambahnya.

    Dia juga menjelaskan, laporan yang disampaikan kepada pimpinannya menggambarkan bahwa kondisi Siring berbahaya. Hasil pantauan tim independen bentukan Pemprov Jatim juga menyatakan berbahaya. “Padahal, data itu berasal dari BPLS,” tuturnya.

    Masyarakat, imbuh Zulkarnain, sering salah paham terhadap fungsi Bapel BPLS. Dia mengatakan, badan tersebut berfungsi sebagai pelaksana kebijakan di lapangan. Sedangkan penentu kebijakan adalah DP BPLS. “Jadi, wewenang kami terbatas. Sebab, kami hanya pelaksana,” terang dia.

    Penjelasan itu muncul setelah Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo mendesak BPLS segera melakukan evakuasi. “Mumpung belum ada korban,” ujar Dewan Pengarah Pansus Lumpur DPRD Jalaluddin Alham. Bahkan, Jalaluddin menilai BPLS selalu melemparkan masalah tersebut kepada pemerintah.

    Lebih lanjut Zulkarnain menegaskan, persoalan evakuasi bergantung pada kebijakan pemerintah. Artinya, jika muncul kebijakan dari DP BPLS tentang evakuasi, Bapel BPLS segera melaksanakan evakuasi. “Nah, sampai saat ini belum ada kebijakan itu, ” jelas dia.

    Namun, terang Zulkarnain, belum adanya kebijakan bukan berarti DP BPLS tidak berfungsi. Menurut dia, untuk mengeluarkan kebijakan evakuasi, tentunya harus ada pertimbangan yang rumit. “Mungkin sedang dirumuskan kebijakan menyangkut Siring dan sekitarnya,” ucap Zulkarnain.

    Seperti diberitakan sebelumnya, gas yang keluar di kawasan Siring terbakar tanpa diketahui penyebabnya. Warga setempat khawatir dan meminta BPLS bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Mereka sempat menggembosi ban sepeda motor dan mobil milik BPLS. Warga juga melarang BPLS memadamkan api.

    Api akhirnya dipadamkan kemarin malam pukul 18.30. Pemadaman itu dilakukan setelah warga yang rumahnya berdekatan meminta BPLS memadamkan api tersebut. Demi keamanan bersama, akhirnya api dipadamkan. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Berkali-kali Dicek, Belum Masuk Rekening

    Warga Tagih Pelunasan 80 Persen

    SIDOARJO – Janji pelunasan ganti rugi 80 persen PT Minarak dipertanyakan oleh warga. Sebab, banyak warga mengaku belum menerima uang ganti rugi tersebut saat mengecek rekening di bank.

    Padahal, pada kuitansi yang mereka terima, dijelaskan bahwa uang akan ditransfer maksimal 14 hari setelah penandatanganan.

    Mursidi, salah seorang warga Kelurahan Siring, Kecamatan Porong, mengaku menandatangani akta jual beli bertanggal 26 Juni 2008. Seharusnya, uang itu masuk pada 10 Juli 2008. “Tapi, sampai sekarang uang tersebut belum masuk,” ujarnya.

    Yang bikin dia cemas, seluruh dokumen miliknya sudah diserahkan kepada PT Minarak saat penandatanganan akta jual beli. Sehingga, kini dia tidak memiliki bukti kepemilikan. “Kami merasa dirugikan,” ucapnya.

    Mursidi tidak sendirian. Banyak warga bernasib sama. Mereka sering mengecek rekening banknya melalui ATM. Hasilnya, tentu saja mereka kecele. “Kami selalu kecewa,” tutur warga yang enggan disebut namanya.

    Vice President PT Minarak Andi Darussalam Tabusalla menegaskan berkomitmen penuh pada janji yang pernah disampaikan. Yakni, pelunasan ganti rugi sepenuhnya.

    Jika sampai saat ini uang pelunasan itu belum masuk, penyebabnya adalah persoalan bank accounting (penghitungan di bank). “Jadi, mohon sabar,” jelasnya.

    Bila warga merasa resah atau dirugikan, Andi mempersilakan melapor ke kantor PT Minarak di ruko Juanda. Dia berjanji membuka diri untuk berkomunikasi dengan warga soal pelunasan dan ganti rugi. “Kami akan terbuka,” terangnya.

    Terkait cash and resettlement, Andi mengatakan tidak akan mengubah. Sebab, kebijakan itu sudah mengacu pada perpres. Yakni, pembayaran ganti rugi tersebut merupakan akta jual beli.

    Untuk persyaratan akta jual beli, harus ada sertifikat hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB). “Kami rancang itu supaya tidak ada pihak yang dirugikan,” tegasnya. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Warga Desak BPLS Lakukan Evakuasi

    Warga Desak BPLS Lakukan Evakuasi

    SIDOARJO – Desakan terhadap Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) agar segera mengevakuasi warga terus berdatangan. Kemarin (12/8) desakan itu datang dari M. Mirdas yang di dalam rumahnya muncul semburan gas disertai lumpur.

    Dia menegaskan bahwa rumahnya sudah tidak layak huni. Yaitu, rumah yang berlokasi di Kelurahan Jatirejo RT 4 RW 1, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Itu terjadi setelah muncul semburan di dalam kamar dan samping rumahnya. “Ini sangat berbahaya,” katanya.

    Dia meminta BPLS melakukan evakuasi secepatnya. Sebab, kondisi rumahnya merupakan bukti bahwa kawasan tersebut berbahaya. “Bukti sudah ada. Sudah saatnya dievakuasi,” ucap pria yang juga anggota DPRD Jatim itu.

    Humas BPLS Akhmad Zulkarnain membenarkan bahwa peristiwa itu membuktikan kawasan rumah Mirdas berbahaya. Dia juga menjelaskan, semburan lumpur yang keluar disertai gas itu mudah terbakar. “Jadi, perlu kewaspadaan,” ujarnya.

    Terkait desakan evakuasi, Zulkarnain mengatakan, pihaknya akan menampung permintaan tersebut. BPLS sudah sering mengajukannya ke tingkat dewan pengarah. “Kami sudah melaporkan semuanya,” tuturnya.

    Namun, hingga saat ini belum ada keputusan menyangkut status kawasan tersebut. Dia menegaskan bahwa BPLS akan selalu berupaya membantu warga untuk mendapatkan haknya. “Kami akan selalu upayakan,” katanya.

    Seperti diberitakan, tiga kawasan di sebelah barat Jl Raya Porong belum masuk peta. Kawasan itu adalah Kelurahan Jatirejo bagian barat dan Siring bagian barat. Padahal, semburan lumpur dan gas sering muncul di kawasan tersebut. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Harga Sama dengan Lapindo

    SIDOARJO – Meski pengukuran sudah dimulai, warga masih belum tenang. Sebab, sampai saat ini tidak ada kejelasan masalah harga tanah yang akan dibayarkan. Karena itu, warga berharap segera ada kejelasan menyangkut harga tersebut.

    Mereka adalah warga yang tinggal di Desa Besuki sebelah barat ruas bekas jalan tol, Pejarakan, dan Kedungcangkring. Semuanya masuk Kecamatan Jabon.

    Abdul Rokhim, wakil warga, mengakui adanya keresahan itu. Saat ini warga menanyakan harga tanah dan bangunan mereka yang sudah terendam. Mereka sangat berharap harganya disamakan dengan harga tanah dan bangunan yang diganti rugi PT Lapindo. “Kami berharap sama,” ujarnya.

    Rokhim juga mengatakan, seharusnya pada sosialisasi yang lalu dijelaskan pula harga ganti ruginya. Tujuannya, agar warga tidak resah.

    Deputi Sosial Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Soetjahjono Soejitno menjelaskan, soal harga akan dibahas dalam pertemuan berikutnya.

    Dia mengatakan, penentuan harga didasarkan pada Perpres No 14 Tahun 2007, yakni atas dasar keadilan.(riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Semburan Baru di Jatirejo

    Semburan Baru di Jatirejo

    SIDOARJO – Semburan baru yang disertai gas mudah terbakar kembali muncul. Kali ini munculnya semburan berlokasi di Kelurahan Jatirejo bagian barat RT 2 RW 1. Semburan itu berdekatan, sekitar 4 meter, dengan Jl Raya Porong.

    Selain menyemburkan air dan gas, semburan tersebut mengeluarkan partikel lumpur agak kental. Partikel lumpur itu mengalir ke arah Jl Raya Porong. Akibatnya, bahu jalan tergenang air beserta lumpur.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Zulkarnain mengatakan, semburan mulai muncul Minggu pagi (10/8). Namun, debitnya kecil seperti gelembung biasa. “Kami pikir tidak ada masalah,” ujarnya.

    Semburan itu mulai membesar Minggu pukul 23.00. Ketinggian air yang dikeluarkan mencapai 50 sentimeter. Warga sempat panik hingga kemudian melapor ke BPLS. “Kami langsung melakukan evakuasi,” jelas dia.

    Kemarin (11/8) semburan tersebut sudah tertutup drum berdiameter 50 sentimeter dengan ketinggian 1 meter. Di drum tersebut terpasang pipa vertikal dan horizontal. Pipa vertikal berfungsi untuk mengalirkan gas ke udara. Sedangkan yang horizontal berguna untuk mengalirkan air beserta lumpur ke sungai, yang terletak 10 meter dari semburan itu. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Warga Pertanyakan Pengukuran

    SIDOARJO – Sosialisasi tentang rencana pengukuran lahan dan ganti rugi telah dilaksanakan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di Desa Besuki. Dalam kesempatan itu, warga mengajukan beberapa pertanyaan menarik.

    Misalnya, terkait bentuk fisik yang diukur berdasar kondisi sebelum atau sesudah terendam lumpur. Abdul Rokhim, wakil warga, mempertanyakan hal itu. Menurut dia, kondisi bangunan sebelum dan sesudah terendam berbeda. Misalnya, lantai yang sebelumnya keramik sekarang tidak bisa dilihat kembali. Selain itu, beberapa benda rumah telah dijarah orang. “Jadi, kondisinya sudah tidak sama,” katanya.

    Jika didasarkan pada kondisi terakhir, Rokhim menyatakan, banyak warga yang rugi. Sebab, bentuk fisik saat ini tidak sebaik kondisi awal. Otomatis, hasil pengukurannya berbeda. “Sebaiknya disesuaikan dengan kondisi awal,” pintanya.

    Pertanyaan itu ditanggapi Humas BPLS Akhmad Zulkarnain. Dia menjelaskan, ketika pengukuran nanti, tim pengukur wajib didampingi pemilik rumah. Mereka (pemilik rumah) akan ditanya kondisi bangunan yang sebelumnya dan dibandingkan dengan sekarang. “Untuk itu, kami mohon warga menuturkan kondisi yang sebenarnya,” tuturnya.

    Bila pemilik rumah sedang berhalangan, Zulkarnain meminta ada pihak yang sudah diberi mandat untuk mendampingi tim pengukur. Dengan begitu, tim pengukur tidak kesusahan mencari orang yang akan ditanya tentang kondisi sebelum dan sesudah terendam lumpur. “Minimal harus ada wakilnya,” ucapnya.

    Zulkarnain menambahkan, keberhasilan pengukuran bergantung pada kerja sama beberapa pihak. Yakni, tim pengukur yang terdiri atas Dinas Pekerjaan Umum (PU) Cipta Karya dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta dukungan dari masyarakat. “Semuanya harus bekerja sama,” katanya.

    Zulkarnain menegaskan, pengukuran akan berlangsung secara optimal. Supaya cepat selesai, tim pengukur bekerja dua kali dalam sehari. Yaitu, siang mereka melakukan pengukuran, sedangkan malamnya membuat rekapitulasi hasil pengukuran.

    “Semua itu dikerjakan di pos yang bertempat di salah satu rumah warga,” ujarnya. Dia juga menyatakan bahwa warga bisa melihat hasil rekapitulasi pengukuran di posko tersebut.

    Ditanya soal bukti tanah, Zulkarnain mengatakan tidak masalah. Sebab, pihak BPN tidak mempersoalkan letter C atau pethok D. Yang dipersoalkan adalah ukuran tanah yang sebenarnya. “Maka, dilakukan pengukuran,” jelasnya.

    Kemarin malam (8/8) sosialisasi dilaksanakan di Balai Desa Pejarakan. Mereka yang hadir adalah warga Desa Pejarakan dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon. Di Pejarakan ada 9 RT yang masuk peta, sedangkan di Kedungcangkring ada 3 RT.

    Zulkarnain menjelaskan, sosialisasi hanya membahas masalah pengukuran. (riq/ib)

    © Jawa Pos

  • Perjuangan Panjang Warga Pemilik Tanah Letter C

    Tolak Resettlement, Tuntut Pembayaran 80 Persen Tunai

    Tanpa terasa dua tahun lebih lumpur menyembur di Sidoarjo. Selama itu pula berbagai penderitaan dialami warga. Salah satunya kehilangan tempat tinggal. PT Minarak telah membayar uang muka ganti rugi 20 persen. Namun, pelunasan 80 persen sampai saat ini masih banyak yang belum terbayarkan.

    Dwi Sulastriyah, 32, asal Dusun Sengon, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, mengaku resah. Sebab, sampai saat ini dia belum menerima pelunasan ganti rugi tersebut. Padahal, dia sangat membutuhkan uang itu untuk melanjutkan hidup dan membangun rumah di tempat lain.

    “Saya sangat membutuhkan (uang, Red) itu,” ujarnya. Saat ini yang ada dalam benaknya hanyalah pelunasan ganti rugi rumahnya. Namun, untuk mendapatkan haknya itu butuh perjuangan sangat berat. Sebab, surat-surat tanahnya dianggap tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan PT Minarak. “Surat tanah saya hanya Letter C,” katanya.

    Pada pelunasan 80 persen, PT Minarak menetapkan sertifikat harus hak milik (SHM) atau hak guna bangunan (SHGB). Sebab, persyaratan akta jual beli harus menyertakan sertifikat tersebut.

    Hal itulah yang membuatnya prihatin. Gara-gara bukti tanah hanya Letter C, nasib mereka terkesan dipermainkan. Yakni, PT Minarak tidak mau membayar dalam bentuk tunai, melainkan dengan resettlement. “Padahal, saya butuh uang untuk membeli atau membangun rumah baru,” ucapnya.

    Keprihatinan yang sama dirasakan Untung, 35, warga lain. Ganti rugi yang diterima belum tuntas. Padahal, rumahnya sudah hancur untuk pembangunan tanggul. “Ini masih tanah saya karena belum dilunasi,” ujar yang sambil menunjuk tanggul yang berdiri di atas bekas rumahnya.

    Atas dasar itulah dia bersama warga lain melarang pekerjaan tanggul di kawasan Sengon, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. Penolakan itu dilakukan dengan memasang tiang di sekitar tanggul tersebut. Tiang yang terbuat dari bambu setinggi 1,5 meter itu bertuliskan “Jangan Ditanggul”.

    “Kami tidak izinkan sebelum ada pelunasan ganti rugi dalam bentuk tunai,” tegasnya.

    Keprihatinan itu juga dipicu oleh riwayat tanah tersebut yang umumnya tanah warisan. Artinya, ketika lumpur menenggelamkan kawasannya, tenggelam pula nostaliga yang pernah mereka alami.

    Ahmad Sutono, salah satu ketua RT di desa itu, berharap penderitaan warga cepat selesai. Hal itu ditandai dengan pelunasan ganti rugi 80 persen tunai. Dia tidak menginginkan resettlement. “Yang diinginkan warga hanya pembayaran tunai,” katanya.

    Dia meminta pemerintah segera turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Sebab, warga sudah sangat menderita. Mereka sudah kehabisan uang untuk mengontrak rumah. Pastilah uang tunai yang dibutuhkan. “Karena itu, kami ingin dibayar tunai,” pinta Ahmad.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Akhmad Zulkarnain memahami posisi warga. Dia berharap warga mengomunikasikannya dengan BPLS.  “Keluh-kesah mereka akan kami sampaikan ke tingkat atas. Atau kami jadikan dasar untuk mendesak PT Minarak,” ujar Zulkarnain yang mengaku siap diajak diskusi kapan saja.

    Dia juga meminta warga mengizinkan pengerjaan tanggul dilanjutkan kembali. Jika tanggul tidak diperkuat, kawasan lain bisa terancam. “Itu akan merugikan warga lain,” tegas dia. (ib)

    © Jawa Pos