Tag: joko widodo

  • Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun

    Pada tahun 2007 BPK menghasilkan sebuah dokumen penting dalam kasus lumpur Lapindo. Lembaga ini melakukan audit kinerja atas kejadian semburan lumpur Lapindo. Temuan-temuan dan rekomendasinya sangat penting, namun tidak pernah dijadikan pijakan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan lumpur Lapindo.

    BPK menemukan fakta-fakta bahwa Lapindo Brantas Inc. (LBI) tidak mampu menangani masalah di Sumur Banjarpanji 1 berupa rekahan pada formasi yang menyebabkan lumpur menyembur ke permukaan. Bahkan, pada bahan presentasi untuk Pertemuan Intosai-WGEA di Tanzania pada Juni 2007, Anwar Nasution menyampaikan bahwa kejadian lumpur Lapindo merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia.

    BPK juga menemukan bahwa regulasi dalam eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas alam di Indonesia saat ini tidak melindungi warga dan lingkungan. Utamanya pada kawasan-kawasan padat huni, tidak ada kekhususan pengelolaan sektor ini. Ditambah pula lemahnya pengawasan yang dilakukan lembaga negara dalam proses eksplorasi dan eksploitasi.

    Resiko semburan lumpur Lapindo semakin tinggi karena: LBI tidak menggunakan perusahaan kontraktor yang telah memiliki reputasi dalam pengeboran; penggunaan alat yang tidak sesuai standar; serta, kualifikasi tenaga teknis yang kurang atau tidak bisa dikontrol dengan baik oleh pemerintah.

    Setahun setelah kejadian semburan lumpur Lapindo itu, BPK juga menyimpulkan bahwa pemerintah sangat kurang dalam merespon kejadian semburan dan cenderung lambat. Akibatnya warga semakin kesulitan dalam menemukan lokasi yang lebih aman dan juga percepatan pemulihan ekonomi mereka. Hal ini semakin diperparah dengan ketiadaan perlindungan atas properti warga dan juga tidak pernah dilakukannya assesmen resiko dalam desain penanganan lumpur Lapindo. Pengelolaan dilakukan seadanya, tanpa pemahaman mendasar bagaimana lumpur Lapindo telah berdampak dalam berbagai dimensi kehidupan warga dan butuh penanganan yang khusus.

    Ketiadaan laporan yang konsisten para periset maupun pengurus negara terkait kandungan berbahaya lumpur dan air yang dikeluarkan lumpur Lapindo menambah ketidakjelasan bagaimana penanganan keluhan warga atas tercemarnya air sumur, kawasan pertanian, tambak, kawasan laut, dan juga permukiman.

    Rekomendasi BPK agar pemerintah segera melakukan riset mendalam dampak kandungan bahan berbahaya lumpur sepertinya tidak pernah dilakukan serius. Ini terlihat laporan penanganan lingkungan yang ditampilkan BPLS dalam situsnya (www.bpls.go.id) hanya berisi sebaran gelembung gas dan penurunan muka tanah. Padahal, Tarzan Purnomo (2014) menunjukkan logam berat telah menyebar di kawasan pertambakan dan sungai di wilayah timur area semburan lumpur Lapindo. Lumpur tidak saja mencemari air namun sudah mengkontaminasi tubuh ikan. Penelitian-penelitian serupa yang telah dihasilkan sejak 2007 menunjukkan kandungan logam berat mencemari kawasan di sekitar semburan Lapindo.

    Purnomo memeriksa kawasan tertentu secara periodik selama tiga kali. Di Renokenongo memeriksa kolam ikan, di Gempolsari memeriksa sungai, di Tegalsari memeriksa kolam tandon, dan kolam biasa di Permisan. Penelitian ini menunjukkan jumlah kandungan logam berat yang jauh melebihi ambang batas yang ditetapkan dalam Peraturan Gubernur No. 45/2002 dan Kepmen LH No. 51/2004. Pemeriksaan kandungan Cadmium (Cd) pada air menunjukkan jumlah 0.018 – 0.080 part per million (ppm). Padahal, ambang batas keamanan hanya pada level 0.01 ppm. Hal yang sama juga ditemukan pada kandungan Timbal (Pb) yang ditemukan sejumlah 0.013-0.074 ppm. Padahal, ambang bakunya hanya pada level 0.03 ppm.

    Yang mengejutkan adalah temuan kandungan logam berat Cd dan Pb pada tubuh ikan. Jumlah Cd ditemukan 0.037-1.542 ppm, padahal ia tak boleh lebih dari 0.001 ppm sebagai ambang batas keamanan. Demikian halnya Pb ditemukan ribuan kali lipat melebihi ambang batas 0.008 ppm dengan temuan sejumlah 0.179-1.367 ppm. Logam berat dalam dosis tinggi bersifat karsinogenik pemicu kanker dalam waktu panjang. Hasil penelitian ini sepertinya juga konsisten dengan temuan sebelumnya pada tahun 2009.

    Riset Walhi yang memeriksa kandungan logam berat dalam air dan lumpur Lapindo di puluhan titik area semburan lumpur Lapindo dan sungai Porong pada 2008 juga menemukan hal serupa. Jumlah Cd dan Pb juga ribuan kali diatas ambang baku.

    tabel kandungan logam berat

    Diduga kuat ada korelasi erat antara pemburukkan kualitas lingkungan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Misal, peningkatan jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong tercatat sejumlah 24.719 (pada 2005) menjadi 52.543 (2009). Kenaikan lebih dari dua kali lipat juga terjadi pada penyakit Gastrytis yang berjumlah 22.189 (tahun 2009) dari jumlah semula 7.416 warga (tahun 2005).

    Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bekerjasama dengan Walhi Jatim pernah memeriksa 20 warga korban Lapindo yang tinggal di wilayah semburan lumpur Lapindo pada 2010. Dari seluruh warga yang diperiksa itu, 75% mengalami kelainan pada pemeriksaan lengkap Haematologi.

    grafik kesehatan

    Rekomendasi agar dilakukan revisi atas kebijakan monitoring eksplorasi dan eksploitasi migas juga tidak dilakukan oleh pemerintah. Di kawasan di sekitar semburan lumpur Lapindo, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM masih mengijinkan LBI untuk mendalamkan sumur pengeboran mereka di Desa Kalidawir yang jaraknya kurang dari tiga kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo ke arah Timur.

    Menyusun kebijakan pengelolaan bencana yang tidak hanya berbasis bencana alam juga lambat dikerjakan. BPK menyarankan adanya pembangunan kebijakan komperehensif atas bencana dan perlu dilakukan penguatan kapasitas institusi pengelola bencana berdasar pengalaman bencana alam dan bencana buatan manusia, seperti lumpur Lapindo. Sayang, wacana penanganan bencana industri sepertinya baru akan dibahas beberapa tahun lagi.

    Pemerintah pimpinan Presiden Joko “Jokowi” Widodo sepertinya berniat untuk memperbaiki karut marut persoalan lumpur Lapindo. Jokowi menjanjikan akan menalangi kompensasi untuk korban Lapindo yang mestinya menjadi beban LBI, melalui Minarak Lapindo Jaya (MLJ) juru bayar LBI untuk jual beli aset dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang tak kunjung selesai. Sayang, hingga menjelang 9 (sembilan) tahun usia semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2015 nanti, janji itu belum ada realisasinya.

    Niat Jokowi itu pun sepertinya hanya solusi parsial atas dampak semburan lumpur Lapindo. Kerusakan yang diakibatkan oleh lumpur Lapindo sepertinya akan menapaki waktu yang panjang untuk bisa dipulihkan. Jika pemerintah tidak melakukan kajian mendalam yang bisa menghasilkan gambaran krisis sosial-ekologis yang terjadi akibat semburan itu, maka penyelesaiannya juga hanya menyentuh permukaan saja. Kerusakan lingkungan, relasi sosial yang hancur, pendidikan anak-anak yang terancam, kesehatan yang tidak terjamin, dan sumber ekonomi yang hilang, bila tidak ditelusuri mendalam niscaya akan semakin memperpanjang umur krisis di wilayah bagian selatan Sidoarjo ini.

    Berbagai dokumen temuan atas dampak semburan mestinya menjadi bahan untuk dibaca ulang agar memahami situasi. Pemerintahan Jokowi harus melakukan kajian kebutuhan yang mendalam dan melibatkan warga untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi tindakan dan upaya pemulihan sosial-ekologis di sekitar lumpur Lapindo.

    Semua institusi negara mesti terlibat dalam upaya pemulihan korban Lapindo. Tidak bisa lagi krisis multi dimensi yang dihasilkan lumpur Lapindo ditangani badan khusus BPLS yang hanya menangani “wilayah terdampak” dan tindakan-tindakan terbatas seperti saat ini.

    Bambang Catur Nusantara, Badan Pengurus Jatam dan editor korbanlumpur.info

    Pustaka Acuan

    Purnomo, Tarzan (2014) Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackishwater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud, Proceeding of International Conference on Research Implementation and Education of Mathematichs and Sciences 2014, Yogyakarta State University, 18-20 May.

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Pra Semburan)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Pra Semburan)

    (Bagian 1, dari 3 tulisan)

    Oleh: Anton Novenanto

    PADA TANGGAL 29 Mei 2014, pada masa kampanye pemilihan presiden lalu, di atas tanggul lumpur Lapindo, Joko ‘Jokowi’ Widodo melantangkan pentingnya kehadiran negara dalam kasus Lapindo. Kutipan langsung ucapan Jokowi yang tercatat di pelbagai media massa adalah demikian: ‘Dalam kasus [Lapindo, AN] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat’.

    Sebagai seseorang yang baru mengikuti kasus Lapindo sejak 2008, saya merasa sangat terganggu dengan pernyataan semacam itu, yang muncul dan seketika diterima sebagai ‘kebenaran bersama’ karena berangkat dari pengandaian bahwa negara absen dalam kasus Lapindo. Wacana ‘negara absen’ telah bergulir lama di ruang publik, khususnya di kalangan korban. Hal ini berangkat dari rangkaian peristiwa yang menunjukkan bahwa negara seolah-olah tidak pernah hadir sebagai lembaga politik yang berdaulat untuk mengatasi segala persoalan yang muncul, khususnya yang terjadi antara korban dan korporasi. Alih-alih membantu, korban merasa negara telah membiarkan mereka bertarung sendirian dalam relasi kuasa yang timpang ketika berhadap-hadapan dengan korporasi dan jejaring pendukungnya.

    Argumen yang diangkat melalui tulisan mungkin sangat bertolak belakang dengan apa yang dinyatakan oleh Jokowi tersebut dan dengan apa yang diyakini publik umum bahwa negara absen dalam kasus Lapindo. Justru sebaliknya, saya berargumen bahwa negara –melalui representasi aparatus birokrasi dan lembaga pemerintah– justru selalu terlibat aktif dalam merancang desain politik bencana lumpur Lapindo. Keterlibatan itu dapat dilacak dalam pernyataan-pernyataan yang terarsipkan dalam dokumen-dokumen publik tentang kasus Lapindo yang sudah menjadi rahasia umum dan beredar luas. Temuan-temuan tersebut saya hadirkan berdasarkan kronologis waktu dengan harapan agar pembaca yang awam dengan kasus Lapindo dapat teringat kembali pada apa saja peran negara dalam kasus Lapindo.

    ***

    SAYA MUNGKIN TERMASUK satu dari segelintir orang yang meyakini bahwa ‘kasus Lapindo’ sudah dimulai jauh sebelum lumpur panas menyembur pada bulan Mei 2006. Keyakinan semacam itu lahir dari sebuah pertanyaan kritis, bagaimana Lapindo bisa memperoleh izin pengeboran sumur eksplorasi migas di kawasan padat huni?

    Yang perlu kita ingat, industri migas, sepertinya halnya industri tambang yang lain, tergolong dalam ‘industri berbahaya’ (Benson & Kirsch 2010) yang beresiko tinggi dan oleh karenanya tidak boleh diselenggarakan dengan main-main. Pelaksanaan kegiatan industri migas harus direncanakan dan dilakukan mengikuti serangkaian prosedur yang rinci, hati-hati, dan teliti agar tidak justru berdampak fatal tidak hanya bagi manusia dan lingkungan yang berada di sekitarnya tapi juga rerantai sosial-ekologis yang lebih luas, dan khususnya bagi industri itu sendiri. Selain sudah menjadi kewajiban dari industri migas sendiri untuk menjaga keamanan dari kegiatannya yang penuh resiko tersebut, adalah tugas pemerintah untuk menjamin agar segala kegiatan industri berbahaya yang dilakukan di wilayah kedaulatannya dilakukan secara prosedural sehingga tidak mengancam warga negaranya.

    Pengawasan Pemerintah atas kegiatan industri migas tertuang dalam UU Migas No. 22/2001. Ada dua lembaga negara yang berkewajiban mengawasi kegiatan industri migas. Pertama, Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM (Ditjen Migas) yang memfokuskan pengawasan pada ketaatan kegiatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 41 Ayat 1). Kedua, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas) yang mengawasi pelaksanaan kegiatan berdasarkan kontrak kerjasama yang berlaku (Pasal 41 Ayat 2).

    Ditjen Migas – Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 02.P/075/M.PE/1992 menyebutkan bahwa setiap kontraktor migas ‘wajib menyampaikan laporan harian secara tertulis mengenai kegiatan pengeboran kepada Direktorat Jenderal [Migas, AN]’ (Pasal 9 Ayat 1). Lebih lanjut, menurut Surat Keputusan Menteri ESDM No. 1088K/20/MEM/2003, Ditjen Migas memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi kecelakaan kegiatan eksplorasi dan menentukan apakah kecelakaan tersebut masuk dalam kategori pidana ataukah kecelakaan operasional.

    Dalam laporan lengkap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (2007a)[1] disebutkan bahwa Ditjen Migas tidak pernah menerima laporan harian pengeboran Lapindo dan tidak pernah menegur apalagi memberi sanksi pada Lapindo. Ini berarti seluruh kegiatan pengeboran Lapindo, termasuk eksplorasi Sumur Banjar Panji 1, tidak pernah berada dalam pengawasan Ditjen Migas sebagai representasi dari pemerintah. Dalam kondisi demikian, antara 30 Mei dan 2 Juni 2006, Ditjen Migas melakukan investigasi terhadap kejadian semburan gas atau uap air di sekitar Sumur Banjar Panji 1 dan wajar bila Ditjen Migas tidak berhasil menemukan penyebab kejadian tersebut. Ditjen Migas justru melimpahkan tanggung jawab mencari penyebab itu pada hasil penyidikan Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim).

    BP Migas – PP 42/2002 tentang BP Migas dan PP 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas mengatur kewenangan BP Migas untuk melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan Kontraktor berdasarkan ketentuan kontrak kerjasama yang berlaku. Seperti halnya yang seharusnya terjadi pada Ditjen Migas, setiap Kontraktor berkewajiban untuk mengirimkan laporan tertulis secara periodik pada BP Migas terkait pelaksanaan kontrak kerjasama (Pasal 93 Ayat 2).

    Dalam proses penyelidikan BPK (2007a), BP Migas tidak berhasil menunjukkan dokumen yang membuktikan bahwa lembaga tersebut telah 1) melakukan kajian terhadap program pengeboran Lapindo dan 2) memberikan persetujuan terhadap program tersebut untuk memastikan kelayakannya dan kesesuaian dengan kaidah teknik perminyakan yang baik (pemilihan tempat, kedalaman pengeboran, kekuatan rig, ukuran dan rencana pemasangan selubung pengaman). Program pengeboran hanya ditandatangani oleh Lapindo dan subkontraktor pengeboran (PT Medici Citra Nusa). BP Migas hanya terbukti melakukan pengawasan dan pengendalian sebatas biaya operasional saja.

    ***

    MASA KRITIS MENJELANG 29 Mei 2006 – Dari laporan BPK, kita dapat mengetahui bahwa Lapindo tidak secara rutin mengirimkan laporan harian pengeboran pada BP Migas. Terkait laporan pengeboran pada masa kritis menjelang semburan lumpur (20-30 Mei 2006), BP Migas hanya mendapatkan laporan harian untuk tanggal 22 dan 30 Mei saja, sementara untuk hari yang lain tidak ada laporan masuk ke BP Migas (BPK 2007a). Ketiadaan laporan harian tentunya mempersulit BP Migas untuk melakukan pengawasan atas pengeboran dan memberikan saran-saran teknis yang mungkin dapat membantu penanggulangan awal permasalahan pengeboran Sumur Banjar Panji 1.

    Laporan Neal Adams Services (Adams 2006) menyebutkan bahwa pengeboran Sumur Banjar Panji 1 dimulai sejak 9 Maret 2005 (sekitar pukul 13:30 WIB) dan berhenti pada 3 Juni 2006. Tentu, yang menarik adalah apa yang terjadi pada masa-masa kritis menjelang semburan. Laporan Adams (2006) menyebutkan bahwa saat pengeboran mencapai kedalaman 2.630m,[2] pada tanggal 22 Mei, operator mencatat terjadinya peningkatan jumlah lumpur yang keluar dari dalam sumur. Hal ini koheren dengan keterangan warga pada KomnasHAM yang menyebutkan bahwa pada 23 Mei air bercampur lumpur sudah terdeteksi keluar ke permukaan tanah dan volume semakin membesar setelah gempabumi di Jogjakarta/Jawa Tengah pada 27 Mei (KomnasHAM 2012).

    Menurut Adams (2006), keluarnya lumpur pada 22 Mei dapat terjadi akibat ketiadaan selubung pengaman (safety casing). Selubung pengaman terakhir dipasang pada kedalaman 1.096m, yang berarti dinding sumur sepanjang 1.534m tidak pada posisi terlindungi dan rawan runtuh. Dengan kondisi demikian, Lapindo tetap saja meneruskan pengeboran. Pada 27 Mei, ketika operator mengebor dari kedalaman 2.771m sampai 2.813m, sensor mendeteksi kadar H2S di dalam sumur mencapai 25ppm. Pengeboran dilanjutkan, sementara sebagian besar kru dievakuasi. Pada 28 Mei, saat pengeboran mencapai kedalaman 2.834m keluar lumpur dari lapisan berpori, retak atau berongga yang berhasil ditembus oleh mata bor yang tidak muncul ke permukaan (lost circulation). Menyikapi hal itu, operator memutuskan untuk menarik mata bor sampai kedalaman 2.591m, yang dinilai Adams (2006) sebagai keliru karena mata bor seharusnya ditinggal di dalam lubang.

    Dini hari 29 Mei, ketika mata bor mencapai kedalaman 1.294m, operator mendeteksi adanya cairan masuk ke dalam sumur (well kick) dan usaha untuk mengatasinya adalah dengan menutup sumur. Operator berhasil menutup sumur, tapi tidak berhasil menarik keluar mata bor yang macet di dalam sumur. Beberapa jam kemudian, gas H2S terdeteksi di permukaan bumi di sekitar sumur dan kru mulai dievakuasi (Adams 2006). Keesokan harinya (30 Mei), intensitas dan frekuensi gas berkurang dan pada malam harinya operator memasukkan semen ke dalam sumur dan gas semakin berkurang. Hari berikutnya (31 Mei), operator melanjutkan penyemenan dan gas terus berkurang. Namun pada 1 Juni, air bercampur lumpur terdeteksi mengalir keluar dari titik-titik di sekitar bibir sumur. Operator mulai menyelamatkan peralatan dari lokasi pengeboran. Pada 2 Juni, operator mengebor kembali sumur sampai kedalaman 1.078m dan mendeteksi lontaran-lontaran material ke bibir sumur (firing guns) dan keretakan tanah di sekitar bibir sumur. Pada hari berikutnya (3 Juni), operator mulai membongkar tiang pengeboran, dan laporan harian berakhir di sini (Adams 2006).

    Adams (2006) menilai bahwa gelembung gas yang terdeteksi pada 29 Mei adalah indikator yang jelas dari terjadinya blowout bawah tanah. Alih-alih menanganinya, Operator justru fokus pada mempertahankan sumur eksplorasi, padahal jika fokus dialihkan pada blowout, mungkin kejadian itu bisa diatasi. Sementara itu, pengeboran ulang sumur pada 2 Juni dinilai sebagai ‘berbatas tipis dengan pelanggaran kriminal karena mengancam personil, peralatan, dan lingkungan sekitar’ (Adams 2006).

    Dari rangkaian kronologis semacam ini, kita dapat menilai bahwa pernyataan perwakilan Lapindo memang betul adanya, lumpur tidak keluar langsung dari sumur karena sumur berhasil ditutup rapat. Lapindo bahkan mengklaim keberhasilan menutup sumur membuktikan bahwa lumpur ‘tidak keluar dari sumur’ (Suradi 2009), yang tentu saja adalah pernyataan yang layak dipersoalkan.

    Berita tentang semburan air dan gas di sekitar Sumur Banjar Panji 1 mulai muncul di media massa nasional sejak 30 Mei. Pada hari yang sama itu, perwakilan Lapindo menyampaikan siaran pers untuk menjelaskan kejadian tersebut (EMP 2006). Seperti disampaikan di atas, sejak 1 Juni Lapindo telah berupaya menutup sumur untuk sementara dan memindahkan rig ke tempat yang aman dan pada 4 Juni rig sudah berhasil diturunkan seluruhnya. BP Migas baru mengirimkan tim ke lokasi Sumur Banjar Panji 1 pada 5 Juni, beberapa setelah sumur berhasil ditutup (BPK 2007a). Ini berarti, tanpa sempat BP Migas memberikan bantuan teknis pada krisis yang dialami, Lapindo sudah melakukan tindakan yang dianggapnya cukup preventif untuk mengatasi krisis tersebut.

    Pada 5 Juni, salah satu pemegang andil Kontrak Kerjasama Blok Brantas Medco melayangkan surat kepada Lapindo, sang operator blok, yang membuka secara publik intensi Lapindo untuk tidak memasang selubung seperti rencana. Dalam rapat Sidoarbeberapa minggu sebelum insiden (18 Mei), Medco sudah memperingatkan Lapindo tentang hal tersebut, tapi peringatan itu diabaikan. Medco pun mengklaim, dalam suratnya itu, bahwa insiden Banjar Panji 1 terjadi akibat ‘kelalaian berat’ (gross negligence) Lapindo yang tidak mematuhi program pengeboran yang telah disepakati bersama.

    Berdasarkan pendapat beberapa analis pengeboran, keberhasilan operator menutup sumur berdampak pada meningkatnya tekanan di bagian dalam sumur dan menyebabkan keretakan lapisan tanah di sekitarnya, yang diperparah dengan usaha operator untuk melakukan pengeboran ulang pada 2 Juni (bdk.: Adams 2006, Davies et al. 2008, 2010; Rubiandini dalam Tim Walhi 2008, Wilson 2006). Bahkan diakui oleh mandor pengeboran Sumur Banjar Panji 1, Syahdun, kebocoran gas yang terjadi pada 29 Mei 2006 disebabkan oleh runtuhnya dinding sumur bagian dalam (Saputra 2006). Proses semacam itulah yang mengakibatkan menyemburnya gas, air dan lumpur dari titik-titik di sekitar bibir Sumur Banjar Panji 1 yang waktu itu sudah tertutup rapat. Keretakan dan runtuhnya lapisan tanah di sekitar dinding sumur dapat terjadi akibat tidak dipasangnya selubung pengaman yang memang berfungsi untuk menahan tekanan dalam sumur.

    Dua versi asal semburan lumpur Lapindo. Baik keduanya menunjukkan bagaimana semburan awal tidak keluar bibir Sumur Banjar Panji 1. Gambar kiri, yang mengacu pada teori gempa bumi, menunjukkan lumpur keluar langsung dari bawah tanah melalui rekahan yang tidak terhubung dengan sumur. Gambar kanan, yang berpendapat tentang kesalahan pengeboran, menunjukkan lumpur berasal dari dalam sumur tapi tidak keluar dari bibir sumur karena tersumbat oleh mata bor yang macet. (Sumber gambar Sawolo et al. 2010, 1673)
    Dua versi asal semburan lumpur Lapindo. Baik keduanya menunjukkan bagaimana semburan awal tidak keluar bibir Sumur Banjar Panji 1. Gambar kiri, yang mengacu pada teori gempa bumi, menunjukkan lumpur keluar langsung dari bawah tanah melalui rekahan yang tidak terhubung dengan sumur. Gambar kanan, yang berpendapat tentang kesalahan pengeboran, menunjukkan lumpur berasal dari dalam sumur tapi tidak keluar dari bibir sumur karena tersumbat oleh mata bor yang macet. (Sumber gambar Sawolo et al. 2010, 1673)

    ***

    DARI URAIAN TERSEBUT dapat kita lihat bahwa negara (c.q., Ditjen Migas dan BP Migas) berperan penting dalam memberikan izin kegiatan industri migas tanpa pengawasan yang ketat padahal kegiatan semacam itu termasuk dalam kategori berbahaya dan penuh resiko. Lebih lanjut, dalam ringkasan eksekutifnya, BPK (2007b) menyebutkan tentang peran BP Migas dalam pemberian izin lokasi pengeboran oleh Pemkab Sidoarjo. Ada dua hal patut kita catat terkait izin lokasi itu. Pertama, lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 (dan juga sumur-sumur Lapindo lainnya) tidak sesuai dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No 16/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sidoarjo. Perda tersebut mengatur bahwa lokasi tempat sumur-sumur itu untuk kawasan pertanian, permukiman, dan perindustrian. Tidak disebutkan sama sekali tentang pertambangan, apalagi migas.

    Kedua, mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku (Instruksi Presiden No 1/1976 dan UU Pertambangan No 11/1967), lokasi pengeboran sumur migas harus berada sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, permukiman, atau objek yang mudah terbakar. Faktanya, Sumur Banjar Panji 1 berada 5 (lima) meter dari permukiman terdekat, 37 meter dari jalan tol (Surabaya-Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Sekalipun mengaku melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, Pemkab Sidoarjo berdalih pemberian izin lokasi didasarkan atas pertimbangan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas (BPK 2007b).

    Peran aktif aparatur negara juga sampai ke level kepala desa (lurah) terutama untuk mendapatkan lahan lokasi pengeboran Sumur Banjar Panji 1 di Desa Renokenongo, Lapindo. Sebelum mendapatkan lokasi pengeboran itu, di akhir 2005 kehadiran Lapindo ditolak warga di dua desa, Siring dan Jatirejo, di Kecamatan Porong. Untuk memudahkan mendapatkan lokasi, Lapindo pun dibantu oleh Lurah Renokenongo, Mahmudatul Fatchiah, yang menyampaikan pada warganya tentang kebutuhan lahan untuk usaha peternakan, bukan untuk pengeboran sumur gas alam (Batubara & Utomo 2012). Pada Maret 2006, Lapindo berhasil mendapatkan tanah di wilayah Desa Renokenongo dengan harga berkisar antara Rp 60.000 sampai Rp 125.000 per meter persegi. Berdasarkan pengakuan beberapa warga, uang pembebasan lahan diperoleh dari Lurah Renokenongo, bukan dari Lapindo (KomnasHAM 2012). Saat itu, tidak satupun direksi Lapindo yang berhadapan langsung dengan warga dalam proses pembebasan lahan tersebut. Bahkan si pemilik tanah, saat itu, tidak memperoleh informasi yang jelas tentang siapa yang akan mengelola tanah mereka dan untuk apa.

    Dengan demikian, kehadiran negara di masa awal kasus Lapindo adalah sebagai otorita politik yang memberikan izin berlangsungnya kegiatan industri berbahaya tanpa kontrol ketat yang potensial memicu lahirnya krisis sosial-ekologis yang lebih luas. (bersambung)

    [1] Untuk memudahkan pengutipan, saya memisahkan ‘laporan lengkap’ dengan ‘ringkasan eksekutif’ dari laporan BPK tersebut.

    [2] Laporan Neal Adams menggunakan skala ‘kaki’ (feet), untuk memudahkan pembaca Indonesia saya menggunakan padanan dalam skala ‘meter’ dengan pembulatan ke atas/bawah menghindari koma.

  • Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo

    Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    Oleh Anton Novenanto 

    RENCANA PEMERINTAH MENALANGI hutang Lapindo pada korban lumpur di Sidoarjo senilai Rp 781 milyar menggunakan dana taktis APBN 2015 patut didiskusikan secara kritis.

    Berangkat dari perspektif ‘korban’, mayoritas publik menilai pelunasan hutang Lapindo tersebut merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan mengingat korban sudah terlalu menunggu dalam ketidakpastian. Dana talangan adalah solusi darurat yang harus diambil oleh pemerintah untuk memberi kepastian pada para korban.

    Hanya sedikit dari publik yang tahu bahwa dana talangan hanya menyentuh satu kelompok korban Lapindo, kelompok cash and carry. Padahal, masih banyak kelompok korban lain yang tidak tersentuh oleh dana talangan dari pemerintah tersebut dan setiap kelompok itu menghadapi beragam masalah yang bisa jadi berbeda satu sama lain.

    Pada saat yang bersamaan, terdapat sekelompok orang yang berangkat dari perspektif ‘korporasi’ mempertanyakan secara kritis rencana pemerintah tersebut. Pemberian dana talangan merupakan strategi ekonomi-politik yang hanya menguntungkan konglomerasi besar yang sedang terlilit masalah finansial. Dalam kasus Lapindo, korporasi itu adalah Grup Bakrie. Logikanya sederhana: bukannya menghukum, negara justru membantu si pelaku kejahatan.

    Belajar dari pengalaman sebelumnya, dana talangan berujung pada praktik koruptif para penyedia dan penerima dana talangan, seperti kasus BLBI dan kasus Bank Century. Dana talangan itu tidak pernah kembali ke kas negara. Kritik dari kelompok ini dapat dirangkum dalam sebuah pertanyaan kritis: apakah pemerintah juga akan menyediakan dana talangan bagi korban Lapindo yang terlilit hutang akibat tertundanya pembayaran hak mereka selama bertahun-tahun?

    Terlepas dari pro-kontra terhadap rencana dana talangan untuk kasus Lapindo, yang tak kalah menarik perhatian adalah rencana pemerintah untuk menyita aset perusahaan bila dana tersebut tidak dikembalikan dalam kurun waktu tertentu. Rencana ini mendorong penulis untuk meninjau kembali kasus Lapindo menggunakan perspektif ‘objek’ – tanah yang menjadi medium relasi kuasa antara para agen yang terlibat di dalamnya.

    ***

    KOMPLEKSITAS PENANGANAN KASUS Lapindo bermula sejak penandatanganan Perpres 14/2007 tentang BPLS pada 8 April 2007. Salah satu hal prinsipil dalam Perpres itu adalah tentang bagaimana pemerintah menyederhanakan konsep ‘ganti-rugi’ menjadi praktik ‘jual-beli’.

    Secara sosiologis, terdapat perbedaan hakiki dalam relasi sosial yang disebabkan oleh masing-masing konsep itu. Dalam logika ‘ganti-rugi’ relasi sosial yang terjadi adalah antara korban dan pelaku dengan mengandaikan otoritas superior (penegak hukum, negara, juri) yang mengawasi proses tersebut. Sementara itu, dalam proses ‘jual-beli’ relasi sosial yang terjadi adalah antara penjual dan pembeli, dalam hal ini warga sebagai penjual dan Lapindo sebagai pembeli. Objek yang diperjualbelikan adalah tanah dan bangunan dalam peta area terdampak (PAT) tertanggal 22 Maret 2007.

    Sekalipun nilai tukar dari objek yang sedang dipertukarkan sama besarnya, hakikat pertukarannya tidak pernah sama. Dalam proses ‘ganti-rugi’, pelaku mengganti kerugian yang diderita oleh korban tanpa ada peralihan kepemilikan apapun. Sementara itu, ‘jual-beli’ mengutamakan peralihan kepemilikan dari pembeli ke penjual. Dan justru di sinilah letak masalahnya ketika objek yang sedang diperjualbelikan, salah satunya, adalah tanah.

    Mengacu pada peraturan yang ada, hanya ada dua subjek hukum yang boleh memperoleh ‘hak milik’ atas tanah, yaitu warga negara Indonesia (pribadi) dan badan hukum tertentu (UU Agraria No. 5/1960, Pasal 26 Ayat 2). Termasuk dalam badan hukum adalah bank negara, koperasi pertanian, organisasi keagamaan dan badan sosial (PP No. 38/1963, Pasal 1). Mengikuti UU Agraria 5/1960, transaksi tanah pada badan hukum selain itu, seperti Lapindo atau Minarak, akan batal secara hukum dan segala pembayaran yang telah dilakukan tak dapat dituntut kembali dan status tanah berubah menjadi ‘tanah negara’ (Pasal 27a).

    Mekanisme jual-beli antara warga-korban dan Lapindo telah diatur dalam Surat Kepala BPN tanggal 24 Maret 2008. Dan, menurut Perpres 48/2008, tanah dalam peta area terdampak statusnya beralih menjadi ‘barang milik negara’. Jika betul demikian, maka pertanyaan kritis kita adalah: bagaimana mungkin negara menyita aset yang statusnya sudah pasti bakal menjadi ‘tanah negara’?

    Berdasarkan penelusuran singkat tersebut, penulis berpendapat bahwa rencana ‘dana talangan’ dan ‘sita aset’ Lapindo merupakan bukti dari kedangkalan pemerintah memahami lansekap-bencana lumpur Lapindo. Pemerintah, dan publik umum (termasuk media massa) telah secara sempit memahami kasus Lapindo sebatas ‘ganti-rugi’ (itupun sebenarnya sudah direduksi menjadi ‘jual-beli’) apalagi untuk sampai pada persoalan pemulihan sosial-ekologis.

    ***

    BILA KITA MAU secara jeli memahami kasus Lapindo, kita akan menjumpai pelbagai fakta yang menunjukkan bahwa sisa hutang Lapindo melampaui Rp781 milyar. Lapindo juga masih berhutang pada para pengusaha melalui mekanisme B-to-B yang jumlahnya mencapai senilai Rp514 milyar. Selain itu, masih banyak korban dari kelompok cash and resettlement, misalnya, yang belum mendapatkan kepastian kapan mereka akan mendapatkan sertifikat atas tanah dan rumah baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Bagi kelompok ini, selama Lapindo belum menyerahkan sertifikat tersebut proses transaksi belumlah selesai dan Lapindo masih berhutang pada mereka.

    Selain persoalan ekonomi, dampak dan resiko sosial-ekologis juga kerap luput dari amatan publik. Pembuangan lumpur ke Selat Madura menyebabkan pendangkalan dan pencemaran di sepanjang DAS Porong yang berujung pada menurunnya produksi perikanan pantai timur Sidoarjo. Sampai kini belum terdengar program jangka panjang untuk melakukan normalisasi DAS Porong. Alih fungsi lahan akibat proyek relokasi jalan raya, jalan tol, dan juga permukiman kembali korban Lapindo merupakan sumber bagi meluasnya persoalan pada jaring sosial-ekologis yang lain.

    Dana talangan memang penting dan mendesak bagi para korban, namun rencana itu baru menyentuh sebagian dari kasus Lapindo. Dana itu hanyalah solusi darurat dan parsial karena diperuntukkan bagi sebagian korban dari kelompok cash and carry. Tentunya, masih banyak persoalan lain yang memunculkan dan dimunculkan oleh lumpur Lapindo yang membutuhkan perhatian dan tindakan konkret dari pemerintah.

    Pemerintah tidak pernah tegas, misalnya, untuk mengusut pemberian izin pada Lapindo untuk melakukan pemboran Sumur Banjar Panji 1, dan juga sumur-sumur yang lain, di kawasan padat huni. Pemerintah juga tidak pernah tegas untuk menindak Lapindo yang jelas-jelas melanggar Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk melunasi pembayaran pada korban sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan (Pasal 14 Ayat 2). Alih-alih menghukum, pemerintah justru mereduksi tanggung jawab Lapindo secara bertahap.

    ***

    SEBAGAI BAGIAN DARI publik kritis, kita seharusnya terus mempertanyakan ‘kemauan politik’ pemerintah untuk secara serius memahami kompleksitas kasus Lapindo dan mengusutnya sampai tuntas. Karena bila bukan pemerintah, lalu otorita  politik apa lagi yang bisa?

    Kasus Lapindo akan selalu menjadi uji kasus bagi siapapun yang duduk di kursi kekuasaan, termasuk Presiden Joko Widodo. Tentunya, publik sangat berharap agar dalam masa pemerintahan saat ini keadilan betul-betul ditegakkan. Kini saatnya menenggelamkan sang raksasa jahat dalam lumpur Lapindo, bukannya justru melindungi dan ikut tenggelam bersamanya.

    (bersambung: Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Etika)

    Heidelberg, 11 Januari 2015

    Penulis adalah dosen pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya. Mendalami kasus Lapindo sejak 2008 hingga kini.

    Catatan penulis: beberapa pendapat dalam artikel ini pernah disampaikan ke beberapa media cetak tanpa ada kejelasan.

    Versi PDF [unduh]

  • Beranikah Jokowi Usut Aktor Penyebab Muncratnya Lumpur Lapindo?

    JAKARTA, SACOM – Kita sama-sama tahu siapa pemilik Lapindo Brantas, penyebab muncratnya lumpur di Sidoarjo itu. Beranikah Jokowi mengungkapnya?

    Jangan anggap dana 781 milyar penanganan lumpur panas Lapindo bahwa kasus itu selesai. Pemerintah juga harus berani mengusut tuntas aktor pelakunya.  

    Untuk diketahui, Rapat Kabinet Jokowi pada tanggal 19 Desember 2014 memutuskan menggelontorkan dana talangan kepada Lapindo Brantas Inc. Bagus buat sebagian korban, namun belum menjawab aspek pelaku,

    “Kita berpendapat bahwa keputusan dana talangan harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo, bukannya akhir,” tegas siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

    Soal siapakah yang paling bertanggung jawab atas kasus Lapindo ini silahkan Anda simpulkan sendiri.

    Yang jelas komunitas korban yang tergabung dalam Korban Lumpur Lapindo Menggugat (KLM), seperti dilansir merdeka.com, pernah memberikan ‘Bandit Awards’ untuk Bapak kita yang terhormat Aburizal Bakrie, atau akrab disapa Ical itu.

    Bandit Awards, menurut para korban adalah sebagai bentuk sindiran atas nasib mereka yang terkatung-katung  selama bertahun-tahun dan betapa dahsyatnya dampak sosial-ekologis akibat “muncrat selamanya” lumpur panas itu.

    Pertanyaannya sekarang, apakah Jokowi memiliki keberanian? Seharusnya iya. Soalnya dia dipilih langsung oleh rakyat. Dan lihat saja betapa dia disambut meriah lewat arak-arakan usai pelantikannya sebagai Presiden 20 Oktober 2014. Termasuk didukung dan disambut juga oleh warga korban di Sidoarjo.

    Tentu saja harus punya nyali yang besar. Masalahnya yang dihadapinya bukan main-main. Ical adalah konglomerat besar, dan politikus senior  yang punya teman politikus senior juga, seperti Amien Rais atau Akbar Tanjung.

    Dia juga Ketua Umum Golkar, partai paling senior di Indonesia, setelah PDI-P dan PPP.  Manuvernya dengan Koalisi Merah Putih di parlemen seolah juga  menunjukkan “betapa seniornya” Bapak kita yang satu itu. Bahkan dia juga punya media pers sendiri yang juga harus diperhitungkan dan tidak boleh dianggap remeh.

    Tapi bukan berarti Jokowi tidak boleh berani. Harus berani lah, lagi-lagi kan dia didukung dan dipilih oleh rakyat secara langsung. Ini berarti Jokowi di “backing” oleh rakyat Indonesia.  Lagipula pengungkapan kan juga bagus untuk menjelaskan, apakah yang dituduh selama ini sebagai pelaku benar-benar bersalah dan harus bertanggung jawab atau tidak. 

    Sumber: http://suaraagraria.com/detail-21376-beranikah-jokowi-usut-aktor-penyebab-muncratnya-lumpur-lapindo.html

  • Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    [Siaran Pers] Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    • Rapat Kabinet, Jumat (19/12) lalu, memutus pemberian “dana talangan” sebesar Rp 781 milyar pada Lapindo Brantas Inc. (Lapindo). Dana talangan bisa jadi adalah langkah solutif bagi sebagian korban, namun kita melihat keputusan itu bukan satu-satunya langkah penyelesaian kasus Lapindo yang multidimensi ini. Untuk itu, kita menuntut elegansi negara hadir dan memahami kompleksitas kasus Lapindo.
    • Keputusan dana talangan baru menyentuh satu dimensi saja dari kasus Lapindo, yaitu “dimensi korban”. Keputusan itu hanya berlaku pada kelompok korban cash and carry yang sudah lama menanti terpenuhinya hak mereka. Bagi korban tersebut, dana itu adalah solusi mendesak yang tak bisa ditolak untuk segera dilakukan Pemerintah. Akan tetapi, solusi itu tidak menyentuh “dimensi pelaku”. Oleh karena itu, kita berpendapat bahwa dana talangan harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo, bukannya akhir.
    • Persoalan terutama dalam bencana lumpur panas Lapindo adalah ketiadaan data akurat tentang korban. Selama ini, data korban hanya merujuk pada jumlah aset (tanah dan bangunan) dan tidak pernah memperhitungkan aspek manusia. Manusia (korban bencana) telah direduksi menjadi materi (uang “ganti-rugi”). Sampai saat ini, tidak ada yang pernah tahu berapakah jumlah riil korban Lapindo? Siapa sajakah mereka? Pindah kemana sajakah orang-orang itu? Bagaimana pula mereka mengatasi ketegangan antara terputus dari hunian lama dan beradaptasi di hunian baru?
    • Pemerintah juga perlu menyentuh aspek sosial-ekologis. Kini, kualitas air bawah tanah di sekeliling tanggul lumpur menurun drastis membuat wilayah di sekitar semburan tidak lagi bisa masuk dalam kategori layak huni. Pembuangan lumpur ke Kali/Kanal Porong dan juga saluran air lainnya telah memperluas degradasi lingkungan sampai ke Selat Madura. Padahal, pelbagai riset ilmiah independen menemukan tingginya kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo. Penelitian WALHI, misalnya, menemukan kandungan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang berbahaya karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) yang tidak bisa dideteksi dalam waktu dekat. Bukannya menindaklanjuti secara lebih serius, pemerintah justru meragukan dan mengabaikan temuan-temuan tersebut. Pemerintah mengingkari fakta tersebut dengan menyatakan lumpur tidak mengandung zat berbahaya. Hal ini tentunya ironi mengingat degradasi ekologi berdampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Data puskesmas setempat menunjukkan persoalan kesehatan di sekitar semburan meningkat serius.
    • Sampai kini belum terlihat keseriusan pemerintah memulihkan kehidupan sosial-ekologis para korban Lapindo. Tidak ada kabar tentang rencana relokasi puluhan bangunan sekolah yang tenggelam dalam lumpur. Tidak ada perhatian khusus bagi pemulihan krisis sosial-psikologis bagi korban Lapindo, khususnya anak-anak dan perempuan, dua kelompok paling rentan dalam setiap bencana. Tidak ada kabar tentang rencana normalisasi Kali Porong. Pemerintah tidak bisa mengandaikan bahwa begitu korban mendapatkan uang “ganti-rugi” kehidupan ekonomi korban akan pulih secara sendirinya. Yang dibutuhkan warga-korban bukan hanya ikan, melainkan juga kail. Mereka memang butuhkan uang segar untuk bertahan hidup sementara, akan tetapi mereka lebih membutuhkan jaminan atas kehidupan yang layak, pekerjaan yang layak, hunian yang layak.
    • “Dalam kasus [Lapindo] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat,” begitu pernyataan yang dilontarkan Joko Widodo di hadapan korban Lapindo pada 29 Mei 2014 lalu. Makna “negara hadir” jangan dikerdilkan sebatas memberikan dana talangan sebagai solusi akhir bagi kasus Lapindo. Negara juga harus hadir menjatuhkan sanksi yang setimpal bagi para pelaku kasus Lapindo.
    • Kita sangat menyayangkan bahwa sampai kini tidak ada sanksi hukum pada Lapindo yang telah secara jelas-jelas melanggar Perpres 14/2007 karena kegagalannya membayar sisa 80 persen “paling lambat sebulan sebelum masa 2 (dua) tahun habis” (Pasal 15 Ayat 2) pada para korban. Belajar dari pengalaman pemberian dana talangan pada korporasi, pemerintah harus mengoptimalkan instrumen negara, seperti BPK dan KPK, untuk melakukan audit keuangan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan uang rakyat untuk menalangi Lapindo. Pemerintah harus memaksa Lapindo untuk mengembalikan seluruh dana yang diambilkan dari uang rakyat, karena termasuk dalam rakyat adalah para korban Lapindo!
    • Apabila penyelesaian kasus Lapindo oleh pemerintah mandeg pada urusan ganti-rugi semata (dengan mekanisme dana talangan), kita dapat menilai betapa amatir dan naifnya pemerintah kita. Hal semacam ini tentunya hanya akan menambah deretan praktik busuk korporasi dalam menyelesaikan masalah finansial internal mereka dengan menggunakan uang rakyat. Kedaulatan rakyat akan kembali disalahgunakan bila penegakkan hukum atas kasus Lapindo diabaikan, apalagi sampai para pelakunya dibebaskan dari segala tanggung jawab.
    • Kita menuntut elegansi negara hadir dalam kasus Lapindo. Untuk itu, kita mengajak pemerintah untuk memperluas horizon dalam melihat multidimensionalitas kasus Lapindo, bahwa lansekap-bencana lumpur Lapindo telah melampaui sebidang tanah yang sudah menjadi lautan lumpur di sekeliling semburan utama di Porong, Sidoarjo. Hanya dengan demikian, kita dapat menyaksikan penyelesaian kasus Lapindo secara runut dan menyeluruh.

    Porong, 29 Desember 2014

    Kanal (korbanlumpur.info) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

    Kontak: Catur (+62 81 336 607 872); Beggy (+62 85 269 133 520)

    Versi PDF [unduh]

  • Pemerintah Akhirnya Talangi Utang Lapindo Rp 781 Miliar

    Pemerintah Akhirnya Talangi Utang Lapindo Rp 781 Miliar

    kompas basuki konpers

    JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah akhirnya menalangi kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 781 miliar dalam proses ganti rugi tanah korban semburan lumpur di dalam area terdampak. Hal ini diputuskan setelah Lapindo menyatakan tak lagi mampu membayar.

    “Sisanya Rp 781 miliar, Lapindo menyatakan tidak ada kemampuan untuk beli tanah itu. Akhirnya diputuskan pemerintah akan beli tanah itu,” ujar Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimoeljono di Istana Kepresidenan, Kamis (18/12/2014).

    Pembayaran utang Lapindo itu akan menggunakan pos BA99 (dana taktis) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan tahun 2015. Meski ditalangi pemerintah, Basuki menuturkan, Lapindo tetap harus melunasi kewajibannya itu. Sebab, pemerintah juga turut menyita seluruh aset Lapindo sebagai jaminan.

    “Lapindo diberi waktu 4 tahun, kalau mereka bisa lunasi Rp 781 miliar kepada pemerintah, maka itu dikembalikan ke Lapindo. Kalau lewat, maka disita,” ungkapnya.

    Menurut dia, keputusan ini juga telah disepakati oleh CEO Lapindo Brantas Nirwan Bakrie. Basuki hari ini sudah mengontak langsung Nirwan melalui sambungan telepon. Skenario pelunasan utang ini pun akhirnya disepakati kedua belah pihak. “Tinggal di-follow up ke jaksa agung,” ucap Basuki.

    Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengungkapkan alasan pemerintah yang akhirnya turun tangan membayarkan utang Lapindo. Menurut Andi, ini tak lain karena ketidakjelasan yang dialami masyarakat selama 8 tahun. Menurut Andi, warga butuh kepastian dan negara harus hadir pada saat seperti itu.

    Andi mengatakan, pemerintah juga belum berpikir untuk menjatuhkan sanksi terhadap Lapindo akibat ketidakmampuannya membayar utang tersebut.

    “Presiden tidak berpikir, rakyat sudah menunggu. Fokus bagaimana caranya supaya harapan yang tertunda ini bisa dipenuhi. Itu saja fokusnya. Hal-hal lain terkait fairness dari Minarak Lapindo, kita pikirkan kemudian,” kata dia.

    Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang turut ikut dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo menyambut keputusan pemerintah itu. Menurut dia, dengan adanya pelunasan utang Lapindo oleh pemerintah, maka tindakan pembenahan tanggung oleh Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) bisa dilakukan.

    “Ini keputusan bagus kementerian, peta terdampak berikan satu keleluasaan untuk pembenahan tanggul. Ini penting karena kalau luber akan jebol,” ujar pria yang akrab disapa Pakde Karwo itu.

    Sabrina Asril

    Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2014/12/18/1912022/Pemerintah.Akhirnya.Talangi.Utang.Lapindo.Rp.781.Miliar

  • Jokowi Bahas Ganti Rugi Korban Lapindo Hari Ini

    Jokowi Bahas Ganti Rugi Korban Lapindo Hari Ini

    TEMPO.CO, Surabaya – Presiden Joko Widodo hari ini, Kamis, 18 Desember 2014, rencananya menerima Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Bupati Sidoarjo Saiful Illah. Pertemuan tersebut membahas mekanisme pelunasan ganti rugi warga korban lumpur Lapindo sebesar Rp 781 miliar.

    Agenda pertemuan itu telah diungkap Soekarwo sehari sebelumnya di kantornya di Grahadi, Surabaya. Saiful Illah juga mengungkap agenda yang sama ketika berbicara dengan warganya pada Rabu, 17 Desember 2014. Adapun hari ini, Kamis siang, seorang staf di Grahadi mengatakan Pakde Karwo–sapaan Soekarwo–sudah berada di Jakarta.

    Soekarwo sempat menuturkan Presiden Jokowi juga memanggil Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk pertemuan yang sama.

    Sebelumnya, Soekarwo menyatakan, pada masa kepemimpinan Presiden Sudilo Bambang Yudhoyono, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo merekomendasikan agar sisa ganti rugi warga diambil alih pemerintah pusat. Caranya, pemerintah–menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara–membeli aset warga secara langsung.

    Belakangan, muncul kabar bahwa mekanisme pembayaran sisa ganti rugi senilai Rp 781 miliar itu yakni pemerintah membeli aset milik Lapindo Brantas ataupun juru bayarnya, PT Minarak Lapindo Jaya. Begitu Lapindo pegang uang, sisa ganti rugi warga diharapkan bisa langsung dibayarkan.

    Warga korban selama ini menuntut pembayaran tersebut. Mereka bahkan menghadang akses BPLS ke kolam lumpur demi memperjuangkan ganti rugi itu.

    Sebagian blokade tersebut akhirnya berhasil ditembus dengan pengawalam aparat keamanan. BPLS kini bekerja memperbaiki dan memperkuat tanggul, berlomba dengan datangnya puncak musim hujan. Beberapa titik tanggul yang jebol di sisi selatan telah menyebabkan Kali Ketapang kelebihan kapasitas hingga mudah meluap dan beberapa desa menyusul tenggelam.

    EDWIN FAJERIAL

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/18/173629400/Jokowi-Bahas-Ganti-Rugi-Korban-Lapindo-Hari-Ini

  • Govt to ‘Help’ Lapindo With Mudflow Compensation, Offers to Buy Assets

    Jakarta. Victims of the Lapindo mudflow disaster in Sidoarjo, East Java, are one step closer to being compensated for losses — eight years after dozens of villages and hundreds of hectares of farmland were swamped.

    The government announced on Monday that it would buy assets from the company accused of triggering the disaster, Lapindo Brantas, which could then use the proceeds to pay out Rp 781 billion ($62 million) due to victims this year.

    Minister of Public Works Basuki Hadimuljono said the government would buy about 20 percent of the company’s assets, which was mostly land, in affected areas.

    The announcement comes just days after President Joko Widodo — through cabinet secretary Andi Widjajanto — ordered Lapindo Brantas to wrap up payments to victims of the mud volcano. On top of the Rp 781 billion owed to residents, the company, which is affiliated with the family of Golkar Party chairman Aburizal Bakrie, must pay Rp 500 billion to affected businesses in 2015.

    “They still have around Rp 1.4 trillion to pay,” Andi said. “We’re waiting for it.”

    The government’s decision to buy assets from Lapindo Brantas is bound to raise questions about why money from the state budget was essentially being used to compensate a mistake made by the company.

    The government is already required to pay Rp 300 billion compensation to victims whose land is located outside the map of affected areas. A 2012 judicial review which sought to have the company cover all compensation costs in areas affected by the mudflow was rejected by the Constitutional Court.

    Andi said buying the company’s assets was part of the government’s effort to “help” Lapindo Brantas fulfill its responsibilities.

    Lapindo Brantas was conducting gas exploration in the Sidoarjo area in 2006 when one of its natural gas wells blew out, causing a mud flow which destroyed hundreds of homes, swamped 720 hectares of land and displaced thousands of people.

    Scientists blame drilling activities by the company for triggering the eruption, but the government at the time decreed it a natural disaster.

    Ezra Sihite

  • Jokowi Ingatkan Lapindo Tuntaskan Hutang Tahun Depan

    JAKARTA – Presiden Joko Widodo mengingatkan perusahaan Lapindo untuk tidak mengulur waktu terlalu lama dalam membayar ganti rugi terhadap warga korban luapan lumpur.

    Ganti rugi itu diminta diselesaikan tahun depan sebesar Rp 781 miliar. Ini disampaikan melalui Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto di kompleks Istana Negara, Jakarta, Kamis, (4/12).

    “Tadi saya sudah melaporkan masalahnya ke presiden. Instruksi presiden, jangan lagi menunggu terlalu lama. 8 tahun itu cukup. Tahun anggaran 2015 ini harus tuntas,” tegas Andi.

    Andi juga mengatakan, pemerintah juga memiliki kewajiban membayar kurang lebih Rp 300 miliar untuk warga. Dana itu telah disiapkan dari APBN tahun anggaran 2015. Namun, masih harus menunggu Lapindo terlebih dahulu melunasi kewajiban ganti ruginya.

    Pemerintah, ujarnya, tidak membantu Lapindo dalam bentuk uang. Tetapi akan dicarikan solusi agar Lapindo bisa segera melunasinya. “Kami mencari cara untuk membantu Lapindo supaya bisa melaksanakan kewajiban. Dari keputusan MK, tidak memungkinkan pemerintah untuk mengambil alih kewajiban Lapindo itu. Yang bisa kami lakukan adalah membantu Lapindo, apakah lewat penjualan aset atau langkah lain,” sambungnya.

    Jika pemerintah dan Lapindo sudah memenuhi kewajiban, kata dia, akan mempermudah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk memperbaiki tanggul-tanggul yang rusak di wilayah terdampak. (flo/jpnn)

    Sumber: http://www.jpnn.com/read/2014/12/04/273681/Jokowi-Ingatkan-Lapindo-Tuntaskan-Hutang-Tahun-Depan-

  • Basuki Minta Jokowi Bayar Korban Lapindo

    TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono ingin pemerintah menindaklanjuti permintaan menyelesaikan sisa pembayaran korban lumpur Lapindo. Dalam rapat koordinasi yang digelar pada Selasa sore, 28 Oktober 2014, Basuki melapor kepada Kementerian Koordinator Perekonomian bahwa Tim Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) telah mengirim surat kepada Susilo Bambang Yudhoyono saat masih menjabat sebagai presiden untuk menyelesaikan masalah lumpur Lapindo.

    “Ini belum diputuskan Bapak Presiden yang lalu, hari ini saya laporkan ke Menko, Menko bilang oke, satu-dua hari ini akan dilaporkan ke Bapak Presiden,” katanya saat ditemui seusai rapat di gedung Kementerian Koordinator Perekonomian.

    Dia berharap pemerintah segera menyelesaikan sisa pembayaran korban lumpur Lapindo sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Apalagi Indonesia saat ini telah memasuki musim hujan. “Karena, kalau enggak, ini sudah musim hujan. Di sana enggak bisa bekerja, luber (nanti lumpurnya),” katanya.

    Mahkamah Konstitusi, kata dia, meminta pemerintah ikut menyelesaikan masalah lumpur Lapindo. Sesuai dengan keputusan Tim Pengarah BPLS, dia berharap pemerintah mengambilalih urusan sisa pembayaran PT Minarak Lapindo. Dengan melunasi sisa pembayaran, pemerintah dapat menjadikan daerah yang terkena dampak lumpur Lapindo tersebut menjadi milik negara.

    Selain menggelontorkan Rp 781 miliar untuk membayar 20 persen dari 640 hektare lahan, pemerintah juga mengeluarkan Rp 200 miliar untuk merawat tanggul Lapindo. “Tetapi sekarang belum bisa dikerjakan karena belum beres,” katanya.

    Menurut dia, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, negara dinyatakan salah jika mengabaikan masalah Lapindo. “Mendiskriminasi rakyatnya karena menelantarkannya. Itu kajian hukum. Kami dapat rekomendasi dari Kementerian Hukum dan HAM. Menurut Kemkumham, kalau (masalah lumpur Lapindo) terkatung-katung, justru negara disalahkan,” ujarnya.

    ALI HIDAYAT

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/10/29/078617786/Menteri-Basuki-Minta-Jokowi-Bayar-Korban-Lapindo

  • Korban Lumpur Lapindo Tagih Kontrak Politik Jokowi

    TEMPO.CO Sidoarjo: Korban lumpur Lapindo di dalam peta area terdampak menagih janji Presiden Joko Widodo dalam kontrak politik yang telah ditandatangani Jokowi. Kontrak tersebut diteken Jokowi pada 29 Mei lalu.

    “Jadi, hari ini tepat dilantiknya Pak Jokowi, kami menagih kontrak politiknya,” kata korban lumpur Lapindo, Sulastro, kepada Tempo usai acara doa bersama dan tumpengan perayaan pelantikan Jokowi di atas tanggul lumpur Lapindo, Senin, 20 Oktober 2014.

    Menurut Sulastro, permasalahan lumpur Lapindo beserta seabrek permasalahannya merupakan warisan Susilo Bambang Yudhoyono yang harus segera di selesaikan supaya rakyat tidak terus sengsara akibat perusahaan yang kurang bertanggung jawab.

    Harwati, korban lumpur Lapindo yang lain, berharap Jokowi tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan pemerintahan sebelumnya yang hanya bermodal janji-janji semata, namun tidak ada aplikasinya hingga akhir jabatannya. “Semoga didengar oleh Pak Jokowi,” kata dia.

    Pada 29 Mei lalu, Jokowi meneken kontrak politik di hadapan ribuan orang di Desa Siring, Porong, Sidoarjo. Ada lima poin dalam kontrak politik itu. Pertama, program Indonesia sehat. Kedua, program Indonesia pintar. Ketiga, permukiman miskin (geser, bukan gusur dan penataan). Keempat, dana talangan untuk korban lumpur Lapindo. Kelima, keamanan kerja.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/10/21/058615938/Korban-Lumpur-Lapindo-Tagih-Kontrak-Politik-Jokowi

  • Jokowi-JK Dilantik, Korban Lumpur Lapindo Syukuran Tumpeng Raksasa

    Jokowi-JK Dilantik, Korban Lumpur Lapindo Syukuran Tumpeng Raksasa

    surya - tumpeng-raksasa

    SURABAYA, KOMPAS.com — Menyambut pelantikan presiden dan wakil presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, ratusan korban lumpur Lapindo menggelar syukuran di atas tanggul lumpur, Senin (20/10/2014). Mereka membawa tumpeng raksasa untuk dimakan bersama-sama di atas tanggul lumpur.

    Tumpeng raksasa setinggi hampir dua meter itu diarak dengan kendaraan pikap menuju tanggul lumpur titik 21 Desa Siring Kecamatan Porong, Sidoarjo. Setelah menggelar doa bersama, mereka menyantap ramai-ramai tumpeng nasi kuning itu berikut lauk pauknya.

    Koordinator acara syukuran korban lumpur, Muhammad Nurul Hidayat, mengatakan, selain sebagai bentuk ucapan syukur, persembahan makanan yang dibuat secara gotong royong oleh warga korban lumpur itu juga disertai harapan agar selama memimpin negara lima tahun ke depan, Jokowi-Jusuf Kalla bisa menyelesaikan ganti rugi korban lumpur Sidoarjo.

    “Jujur, kami sebenarnya kecewa dengan Pak SBY karena tidak berhasil menyelesaikan masalah korban lumpur Lapindo. Kali ini, dipimpin Pak Jokowi, kami yakin masalah korban lumpur dapat selesai dengan cepat,” ungkapnya.

    Akhir Mei lalu, bertepatan dengan peringatan delapan tahun semburan lumpur Lapindo, Jokowi sempat berkampanye di atas tanggul dan menemui korban lumpur. Saat itu, dia menandatangani kontrak politik dengan korban lumpur yang berisi lima poin, yakni program Indonesia Sehat, program Indonesia Pintar, permukiman miskin (geser, bukan gusur dan penataan), dana talangan untuk korban lumpur Lapindo, serta keamanan kerja.

    © Achmad Faizal, Caroline Damanik

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/10/20/15333381/Jokowi-JK.Dilantik.Korban.Lumpur.Lapindo.Syukuran.Tumpeng.Raksasa

  • Rekomendasi Penuntasan Permasalahan Lumpur Lapindo kepada Pemerintahan Baru

    Rekomendasi Penuntasan Permasalahan Lumpur Lapindo kepada Pemerintahan Baru

    Pemilu 2014 telah berakhir, pemerintahan baru telah terpilih. Selepas gegap gempita pesta demokrasi ini, ada sebuah pertanyaan yang ikut mengembang menyertainya. Korban Lapindo dan publik Indonesia secara luas sedang menunggu jawaban akankah perubahan pemerintahan membawa hawa segar bagi penyelesaian kasus Lapindo.

    Lebih dari delapan tahun lalu, di sudut Kabupaten Sidoarjo, tepatnya di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo eksplorasi migas di tengah perkampungan padat penduduk berubah menjadi petaka. Semburan lumpur Lapindo mengubur wilayah seluas lebih dari 800 hektar di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin dan Jabon) dan menghancurkan kehidupan masyarakat di lebih dari 12 desa. Namun, ternyata, tragedi ini bukan hanya cerita hilangnya tanah dan bangunan masyarakat yang tenggelam oleh lumpur saja. Namun juga cerita hancurnya masa depan ratusan ribu masyarakat di Porong, Tanggulangin dan Jabon, dan bahkan lebih luas dari sekedar tiga kecamatan itu. Pertanyaan besarnya: Apa yang sesungguhnya terjadi dalam kasus semburan lumpur Lapindo ini?

    Apakah Ini Semua Hanya tentang Ganti Rugi Tanah dan Bangunan Saja?

    Permasalahan yang paling rutin direpetisi media massa dan, oleh karena itu, jamak dipahami publik luas yang awam dengan kasus Lapindo adalah perihal penyelesaian ganti-rugi korban Lapindo. Yang kerap luput dari liputan media massa dan perhatian publik adalah fakta bahwa penggantian kerugian yang diderita korban telah direduksi menjadi sebatas “jual-beli” (tanah dan bangunan) antara warga-korban dengan Lapindo atau pemerintah. Penggunaan mekanisme “jual-beli” (tanah dan bangunan) sebagai model “ganti-rugi” bagi para korban justru memunculkan persoalan sosial baru karena pemerintah hanya memperhitungkan kerugian materiil dan mengabaikan hilangnya hak-hak korban yang lain pasca menyemburnya lumpur panas Lapindo.

    Terkait hilangnya hak korban Lapindo, ada begitu banyak kerugian yang harus mereka tanggung selain hilangnya tanah dan bangunan. Di sektor ekonomi dan tenaga kerja, misalnya, terdapat sekitar 31.000 usaha mikro, kecil, dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Data Badan Pusat Statistik Jatim menyebutkan, di sektor formal, jumlah tenaga kerja turun 166.000 orang akibat kolapsnya beberapa perusahaan akibat terkena dampak luapan lumpur. Di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Selain itu, ribuan pekerja di sektor ekonomi in- dan non-formal, seperti: industri rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan, tukang ojek dan lain-lain, harus kehilangan pekerjaan mereka. Semua dikarenakan sarana dan prasarana telah hilang, tenggelam, atau telah rusak oleh lumpur. Menurut data Greenomics, pada tahun pertama semburan lumpur Lapindo, perkiraan kerugian ekonomi akibat semburan adalah sekitar Rp 33,2 triliun; sedangkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kerugian langsungnya ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung mencapai Rp 16,5 triliun.

    Pada persoalan kesehatan, penelitian WALHI menyimpulkan bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur panas mengandung PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2.000 (dua ribu) kali di atas ambang batas normal. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menyatakan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan bersifat karsiogenik (memicu kanker). Sedang menurut laporan tim kelayakan permukiman yang dibentuk Gubernur Jatim, level pencemaran udara oleh Hydrocarbon mencapai tingkat 8.000-220.000 kali lipat di atas ambang batas.

    Indikasi menurunnya derajat kesehatan warga bisa dilihat dari melonjaknya jumlah penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di dua puskesmas di Porong dan Jabon. Di Puskesmas Jabon, data penderita ISPA melojak 150% dari kondisi normal (dari rata-rata 60 kasus menjadi 170 kasus). Sedangkan di Puskesmas Porong, dari rata-rata 20.000 kasus ISPA pada tahun 2006 melonjak menjadi 50.000 kasus pada tahun 2007.

    Di sektor pendidikan, tercatat setidaknya 63 sekolah tenggelam dan mengakibatkan ribuan anak-anak kehilangan tempat belajar. Anak-anak ini dipaksa berpindah sekolah yang membuat mereka beradaptasi di lingkungan baru. Sementara itu tidak ada bantuan pendidikan kepada sekolah-sekolah dan murid yang harus berpindah tempat dan hal ini tentu saja mengurangi kualitas belajar mereka.

    Selain itu, kehilangan tanah berdampak juga pada hilangnya keterikatan sosial-budaya antara warga-korban dengan sejarah leluhurnya di desa asal mereka. Dalam masyarakat jawa penghormatan akan leluhur mendapat tempat yang tinggi. Setidaknya setiap tahun mendekati bulan Ramadhan selalu ada ritual tabur bunga dan berdoa di makam leluhur. Namun ketika makam itu tenggelam bersama desa mereka, ritual itu kini hilang. Warga hanya bisa berdoa di tepi tanggul, yang membuat keterikatan mereka tidak sekuat ketika mereka memanjatkan doa di depan nisan. Apakah kita bisa menilai kerugian sosial-budaya dalam satuan mata uang mana pun?

    Dana Talangan: Siapa Membayar Apa?

    Dalam peringatan sewindu semburan lumpur Lapindo, 29 Mei 2014, yang juga bertepatan dengan masa kampanye presiden, Joko Widodo menyempatkan diri mampir ke pinggir tanggul di Porong untuk melakukan kontrak politik dengan korban Lapindo. Hanya saja, solusi yang ditawarkan Jokowi saat itu adalah menawarkan “dana talangan” dari pemerintah untuk melunasi pembayaran ganti-rugi bagi korban “dalam peta”. Artinya, pemerintah akan membayar (memberi talangan) sisa tanggungan yang belum dibayar Lapindo pada korban dan pemerintah akan menagih uang tersebut langsung ke Lapindo. Seperti banyak kritik yang disampaikan sebelumnya, dana talangan bukanlah solusi yang menyeluruh untuk menyelesaikan kasus Lapindo. Selain dana talangan hanyalah solusi bagi salah satu kelompok korban, solusi semacam itu berarti mengabaikan status bencana sebagai “bencana industri”, yang mewajibkan perusahaan (Lapindo Brantas) untuk menanggung segala kerugian yang ditimbulkan dari ulahnya. Apakah parsialitas semacam ini yang akan dipilih oleh pemerintahan Joko Widodo dalam menangani kasus Lapindo?

    Persoalan seberapa banyak korban Lapindo yang belum dituntaskan ganti ruginya tentu adalah hal pertama yang harus dipastikan jika pemerintahan yang baru hendak memakai opsi dana talangan dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Harus diketahui secara pasti pembayaran yang telah dilakukan dan detail kekurangannya. Selayaknya dilakukan audit untuk menjamin tidak terjadinya kekeliruan.

    Problem pertama yang harus dihadapi dari usaha membaca kompleksitas penghitungan berapa banyak korban yang belum diselesaikan ganti ruginya oleh Lapindo adalah soal adanya beragam opsi yang dimunculkan Lapindo untuk menyelesaikan ganti rugi pada korban. Kompleksitas ini sendiri berakar dari ketidaktepatan Lapindo dalam membayarkan sisa 80 persen pada korban, yang seharusnya dibayarkan paling lambat dua tahun setelah pembayaran uang muka 20 persen. Alih-alih berinisiatif membayar kekurangan itu secara tunai sekaligus, Lapindo menawarkan dua alternatif “pembayaran”: Opsi pertama, Lapindo menawarkan “barter” dengan rumah baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV), yang dikelola oleh perusahaan properti yang masih di bawah payung Bakrieland. Mekanisme ganti-rugi yang direduksi sebatas “jual-beli” (tanah dan bangunan) oleh pemerintah memudahkan Lapindo untuk mempermainkan korban yang tidak memiliki sertifikat tanah dan bangunan dan memaksa mereka untuk memilih opsi “cash and resettlement” ke KNV. Opsi kedua, bagi korban yang bersikeras untuk memilih dibayar tunai, Lapindo menerapkan sistem pembayaran dengan mekanisme cicilan bulanan tanpa bunga. Korban dalam kelompok “cash and carry” inilah yang kerap menjadi sorotan media massa dan pejabat publik, seolah-olah tuntasnya pembayaran berarti pula tuntasnya permasalahan sosial-ekonomi yang diderita korban.

    Di luar mekanisme “cash and resettlement” dan cicilan kepada kelompok “cash and carry”, masih ada kelompok lain yang menuntut penyelesaian dengan opsi berbeda. Terkait cicilan, misalnya, masih ada kelompok warga yang bersikukuh untuk menuntut pembayaran 80% untuk mereka diberikan secara tunai, bukan dalam bentuk cicilan. Selain itu, bahkan masih ada kelompok korban Lapindo yang sampai sekarang masih menolak mekanisme jual beli sebagaimana dilakukan oleh Lapindo berlandaskan Perpres 14/2007. Masih ada juga model penyelesaian “B-to-B” yang lebih tidak jelas pelaksanaannya karena mendasarkan pada kesepakatan antara perusahaan dan pemilik aset tanah dan bangunan, tanpa memperhitungkan modal usaha dan nasib tenaga kerja dari perusahaan tersebut.

    Berdasarkan pemberitaan media massa, kita mendapatkan informasi bahwa Lapindo masih memiliki tanggungan pembayaran ganti-rugi dengan total sekitar 800 milyar. Nilai itu adalah jumlah uang yang masih harus dibayarkan pada kelompok korban “cash and carry”. Desakan yang menguat saat ini adalah agar pemerintah membayar sisa tersebut dulu pada korban dan menagih uang tersebut langsung ke Lapindo, melalui mekanisme “dana talangan”. Desakan publik semacam itu sudah muncul sejak lama, khususnya ketika Lapindo mulai menunjukkan gelagat untuk menghindari tanggung jawab membayar sisa 80 persen pada korban. Desakan itu semakin riil pasca-putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan tuntutan korban Lapindo yang meminta pemerintah untuk tidak memberlakukan pembedaan antara korban “dalam peta” dan korban “luar peta” karena mereka adalah sama-sama warganegara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai korban luapan lumpur Lapindo. Dari media massa juga kita mendapatkan informasi bahwa Lapindo tidak akan sanggup melunasi sisa pembayaran 800 milyar itu sampai akhir pemerintahan SBY ini. Artinya, pelunasan ganti-rugi pada korban “dalam peta” akan menjadi beban bagi pemerintahan Jokowi untuk mendesak Lapindo membayarkannya.

    Persoalannya, apakah tanggung jawab Lapindo adalah memang tinggal 800 milyar itu? Sekalipun banyak kritik, mekanisme ganti-rugi korban Lapindo yang direduksi menjadi “jual-beli” tanah dan bangunan mempermudah kita untuk menghitung sisa tanggung jawab Lapindo pada korban. Mekanisme semacam ini berarti bahwa korban akan mendapatkan ganti-rugi senilai dengan nilai tanah dan bangunan mereka. Seperti dibahas dalam paragraf sebelumnya, Lapindo menerapkan dua opsi untuk mengganti kerugian para korban. Selain opsi pembayaran tunai (cash and carry), yang masih tersisa 800 milyar itu, Lapindo juga memberlakukan opsi barter (cash and resettlement), mengganti aset korban dengan rumah dan bangunan baru di KNV. Hingga kini, persoalan ganti-rugi hanya terfokus pada korban “cash and carry”, padahal korban “cash and resettlement” pun memiliki permasalahannya yang tak kalah rumitnya. Sampai saat ini, sebagian besar korban yang tinggal di KNV belum mendapatkan sertifikat hak milik/guna atas tanah dan bangunan baru mereka itu. Dalam laporannya, Lapindo menyatakan bahwa begitu korban sudah mendapatkan rumah baru di KNV berarti pula Lapindo sudah menyelesaikan tanggung jawab pembayaran ganti-rugi pada korban tersebut. Padahal, menurut korban “cash and resettlement”, selama sertifikat belum diterima persoalan ganti-rugi belumlah sepenuhnya tuntas dan Lapindo masih berhutang pada mereka. Artinya, tanggung jawab Lapindo saat ini jauh lebih besar daripada nilai 800 milyar yang kerap dilontarkan di media massa karena perusahaan belum menyelesaikan tanggung jawab sertifikasi tanah dan bangunan KNV bagi para korban “cash and resettlement”.

    Rekomendasi-Rekomendasi untuk Penuntasan Kasus Lapindo

    Untuk menjawab begitu kompleksnya permasalahan penyelesaian kasus lumpur Lapindo ini, kiranya memang diperlukan sebuah peta jalan yang bukan sekedar dimaksudkan untuk mengembalikan kerugian materiil yang harus ditanggung korban Lapindo, namun juga menuntaskan segenap problem kehilangan hak yang hingga kini belum dirasakan oleh korban Lapindo. Dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi korban Lapindo, pemerintah harus berpedoman pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini, korban lapindo adalah pengungsi internal (internally displaced persons atau IDPs) yang membutuhkan jaminan atas terselenggaranya kebutuhan sesuai dengan kondisi mereka meliputi hak untuk hidup (Pasal 19), hak memperoleh pendidikan (Pasal 12), kebebasan memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing (Pasal 22), kebebasan bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah RI (Pasal 27), hak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya (Pasal 29), kebebasan dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat, penghilangan paksa, dan penghilangan nyawa (Pasal 33), hak untuk tidak ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atu dibuang secara sewenang-wenang (Pasal 34), hak untuk mempunyai milik dan tidak dirampas hak miliknya (Pasal 36), dan hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya (Pasal 65).

    Kasus Lapindo telah dan akan menjadi uji kasus bagi pemerintah perihal supremasi negara. Untuk itu, permasalahan yang paling krusial bagi penyelesaian kasus Lapindo bukanlah sekadar memberikan kompensasi yang setimpal pada korban, namun bagaimana mengembalikan supremasi negara di hadapan warganegaranya. Untuk itu, kami merekomendasikan pemerintahan yang baru untuk secara komprehensif memperhatikan persoalan-persoalan berikut ini sebagai bagian dari usaha pemulihan hak-hak korban Lapindo:

    1. Mengambil Alih Sisa Pembayaran Ganti-Rugi Korban untuk Kemudian Ditagihkan Kembali pada Lapindo.

    Untuk mengembalikan supremasi negara dalam kasus Lapindo, pemerintahan Joko Widodo harus secepatnya bisa menjamin pemenuhan hak para korban Lapindo. Mekanisme tercepat yang bisa dilakukan adalah skema pengambilalihan kewajiban pembayaran yang hingga sekarang masih belum diselesaikan oleh Lapindo kepada para korban. Seperti telah dijabarkan sebelumnya, proses pemenuhan ganti rugi melalui skema ini bukan hanya sekadar membayar berkas-berkas surat tanah dan bangunan warga yang belum selesai pembayarannya oleh Lapindo, namun harus dilakukan pemetaan kelompok-kelompok korban Lapindo dan berbagai opsi yang telah diambil sebelumnya. Penuntasan pembayaran ganti-rugi harus secara menyeluruh menyentuh semua korban yang sebelumnya menjadi tanggungan Lapindo untuk diselesaikan. Artinya, korban-korban yang ada dalam skema “cash and carry” dengan cicilan, “cash and resettlement”, yang menolak cicilan, maupun yang menuntut skema lain selain jual beli harus segera dituntaskan demi keadilan bagi semua korban Lapindo.

    Persoalan lain yang harus juga dipikirkan dalam proses pemberian dana talangan untuk menyelesaikan pembayaran kepada korban Lapindo adalah mekanisme penagihan kembali seluruh dana talangan yang telah dikeluarkan tersebut. Proses penghitungan hutang Lapindo yang belum terselesaikan harus dilakukan dengan proses yang transparan dan akuntabel. Jumlah biaya yang harus ditagihkan kepada Lapindo nantinya harus benar-benar dihitung cermat agar tidak semakin membebani keuangan negara yang diambil melalui APBN. Pemerintah, melalui jalur hukum, juga harus menagih segala biaya yang dikeluarkan untuk mitigasi bencana lumpur Lapindo (termasuk relokasi infrastruktur transportasi) pada Lapindo.

    Belajar dari proses dana talangan yang pernah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya, sebagaimana kasus Bank Century, pengucuran dana talangan oleh pemerintah untuk mengambil alih pembayaran terhadap aset tanah dan bangunan warga harus diawasi secara ketat. Penggunaan instrumen negara, seperti BPK dan KPK, harus dioptimalkan untuk menjaga penggunaan dana talangan dari kemungkinan penyelewengan anggaran. Untuk memastikan bahwa dana yang telah dikeluarkan oleh pemerintah bisa ditagihkan kembali kepada Lapindo, pemerintah harus mengajukan gugatan hukum kepada Lapindo atas kegagalannya menjalankan perintah Perpres 14/2007. Gugatan ini harus mampu memaksa Lapindo menyepakati skema dana talangan yang bisa ditagihkan kembali, sebelum pemerintah benar-benar menurunkan dana talangan.

    Selain itu, peralihan hak atas tanah yang terjadi akibat luapan lumpur Lapindo, melalui mekanisme jual-beli, merupakan sesuatu yang di luar kebiasaan umum (extraordinary). Bahkan, praktik jual-beli semacam itu melampaui peraturan tentang agraria yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya, peralihan hak atas tanah harus dikontrol dengan ketat agar tidak memunculkan konflik pertanahan baru.

    2. Pemulihan Lingkungan dan Jaminan Kesehatan

    Mengingat usaha menutup semburan lumpur bukanlah prioritas dalam mitigasi bencana lumpur Lapindo saat ini, pengendalian luapan lumpur di permukaan merupakan yang utama saat ini. Pembuangan lumpur melalui Kali/Kanal Porong dan juga saluran air lainnya mencemari sistem air bawah tanah di sekitar semburan sampai Selat Madura. Selama ini, pejabat pemerintah, khususnya BPLS, menyatakan bahwa lumpur tidak mengandung zat berbahaya dan oleh karenanya pembuangan lumpur ke Selat Madura tidak berbahaya bagi keanekaragaman hayati di wilayah itu, akan tetapi berdasarkan pantauan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo semenjak lumpur dibuang ke Selat Madura, produksi udang di Sidoarjo menurun drastis. Berdasarkan beberapa riset ilmiah yang dilakukan secara independen, kita dapat mengetahui besarnya kandungan logam berat yang ada dalam lumpur Lapindo, sesuatu yang hinga kini masih diingkari oleh pemerintah. Ini berarti wilayah yang terdampak lumpur Lapindo jauh lebih luas dibandingkan “peta area” yang dirilis oleh pemerintah.

    Pembangunan tanggul lumpur dan usaha relokasi infrastruktur transportasi (jalan raya, jalan tol, kereta api) telah mempengaruhi jaring-jaring ekologi yang lebih luas. Kebutuhan lahan kosong untuk wilayah Porong dan sekitarnya meningkat tajam mengakibatkan lebih banyak lagi peralihan hak atas tanah dan bangunan di wilayah lain. Situasi semacam ini mendongkrak harga tanah di Porong dan sekitarnya. Kebutuhan material pembangunan (seperti sirtu) telah menggerus bukit-bukit di Ngoro, Mojokerto dan di Rembang, Pasuruan.

    Dampak ekologis kasus Lapindo telah merambah luas memengaruhi berbagai lanskap dan ekosistem. Karena itu dibutuhkan sebuah usaha pemulihan yang luar biasa untuk mengembalikan kualitas lingkungan yang ada. Pengelolaan air lumpur sebelum dibuang ke Kali Porong mutlak dilakukan untuk menghentikan kerusakan yang sekarang semakin membesar hingga selat Madura. Selain itu, riset yang terbuka dan adil harus dilakukan untuk melihat sejauh mana dampak kerusakan ekologis akibat semburan lumpur panas telah terjadi secara aktual hingga hari ini. Dan yang tak kalah pentingnya, sejauh masih dimungkinkan, penghentian semburan lumpur Lapindo harus kembali menjadi prioritas untuk dikerjakan oleh pemerintahan yang baru.

    Degradasi kualitas lingkungan tak urung juga menyebabkan menurunnya kualitas kesehatan masyarakat yang ada. Seperti yang telah ditulis sebelumnya, hasil penelitian dan rekam tren penyakit di beberapa puskesmas di sekitar semburan lumpur Lapindo menunjukkan adanya peningkatan dampak kesehatan yang serius di masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat tentu membutuhkan perlindungan dan jaminan terhadap ancaman pengaruh lumpur Lapindo terhadap kesehatan mereka. Rencana “Kartu Indonesia Sehat” yang berpadu padan dengan BPJS Kesehatan dapat dipakai sebagai solusi penuntasan kebutuhan jaminan kesehatan bagi korban Lapindo. Namun, mengingat betapa susahnya korban Lapindo sekarang mengakses layanan kesehatan yang ada, pemerintahan baru harus menjamin bahwa korban Lapindo bisa mendapatkan prioritas jaminan kesehatan tersebut, mengingat kondisi lingkungannya yang semakin memburuk. Kepastian jaminan kesehatan bagi korban Lapindo adalah awal yang baik dari usaha pemenuhan hak atas korban Lapindo secara keseluruhan.

    3. Jaminan Pendidikan

    Hingga saat ini dari sekitar 63 institusi pendidikan yang tenggelam akibat luapan lumpur Lapindo, belum ada satupun yang ditangani oleh pemerintah. Beberapa sekolah akhirnya harus menjalankan kegiatan belajar mengajarnya di tempat dan kondisi yang tidak ideal (ruko, rumah warga, bekas bangunan lain, dll) Sementara persoalan ekonomi akibat luapan lumpur lapindo yang mendera para orangtua murid, mau tidak mau juga berdampak kepada para murid, sementara biaya sekolah tetap tinggi, sedang beban ekonomi keluarga meningkat. Tiap bulan, pelajar SD dan SMP masih membutuhkan biaya pendidikan (buku, seragam dan uang ujian) setidaknya Rp 67.000 per bulan, sementara pelajar SMA membutuhkan sekitar Rp 166.000 per bulan. Rencana penggunaan “Kartu Indonesia Pintar” oleh pemerintahan Joko Widodo diharapkan bisa menjadi salah satu solusi penanganan masalah ini. Prioritas utama adalah memastikan semua anak-anak korban Lapindo dapat terus mengenyam pendidikan dalam kondisi lingkungan pendidikan yang nyaman dan mendukung kegiatan belajar mengajar.

    4. Pemulihan Sosial-Budaya

    Pemulihan permasalahan sosial-budaya yang lahir menyusul pemindahan paksa korban dari kampung halaman mereka yang terendam lumpur ke hunian baru, baik yang dilakukan secara kolektif maupun individual, kerap luput dari perhatian publik dan media massa. Melepaskan diri dari lingkungan lama dan melekatkan diri ke lingkungan baru, apalagi bila dilakukan dengan paksaan akan menambah beban bagi pemulihan krisis sosial, ekonomi, psikologis, dan budaya para korban. Pemerintah mengandaikan kompleksitas semacam itu akan selesai secara sendirinya begitu korban menerima uang ganti-rugi. Namun, tidak semua krisis tersebut dapat digantikan dengan uang. Sampai saat ini, kajian tentang krisis semacam ini masih sangat minim karena perhatian publik lebih terfokus pada perihal ganti-rugi dan penanganan lumpur.

    Pemerintahan yang baru harus bisa memastikan adanya perencanaan dan pendampingan (asistensi) bagi para korban Lapindo dalam menata kehidupan dan lingkungannya yang baru. Asistensi bagi korban Lapindo di tempat baru dibutuhkan untuk membantu adaptasi sosial mereka dengan lingkungan sosial yang baru. Tugas dan kewenangan BPLS (atau badan lain yang akan ditunjuk oleh pemerintah) harus juga mencakup kebutuhan pemulihan sosial-budaya ini, sehingga pemulihan seutuhnya terhadap kehidupan korban lumpur Lapindo dapat dilakukan.

    5. Pemulihan Ekonomi

    Seperti telah dicatat sebelumnya, di sekitar Porong, tidak jauh dari lokasi eksplorasi sumur gas yang dikuasai PT Lapindo Brantas, dulu berdiri setidaknya 24 pabrik berbagai komoditi yang mampu menyerap puluhan ribu pekerja. Pasca-semburan lumpur Lapindo usaha-usaha ini memilih memindahkan lokasinya ke tempat lain atau harus gulung tikar. Akibatnya, masyarakat yang dulu hidup dan bekerja dari usaha-usaha ini harus kehilangan pekerjaan pula. Tidak banyak dari para korban yang bisa pindah ke pabrik atau tempat usaha lain karena kebanyakan sudah berumur, sementara pabrik biasanya hanya menerima pekerja baru yang masih muda. Selain itu, hilangnya mata pencaharian bagi ribuan pekerja di sektor in- dan non-formal juga perlu menjadi perhatian khusus bagi pemerintahan mendatang.

    Selain itu, hampir seluruh aktivitas ekonomi masyarakat di kampung dibangun berdasarkan kohesi sosial. Ikatan sosial antar warga masyarakat yang dijalin sejak lama merupakan modal bagi pelanggan atau pengguna jasa untuk bisa saling terhubung. Ketika berpindah ke tempat barunya, tidak serta-merta warga-korban bisa membangun kegiatan ekonominya kembali karena mereka tidak punya ikatan sosial yang baik dengan masyarakat di tempat yang baru, padahal menjalin ikatan sosial tidak bisa dilakukan secara cepat dan mudah. Mereka yang dahulunya mempunyai toko, misalnya, harus berjuang untuk mendapatkan pelanggan baru, sehingga membuka usaha di tempat baru tidak otomatis dapat menggaet pelanggan baru. Hal yang sama berlaku pada mereka yang berprofesi sebagai para tukang dan buruh sawah.

    Pemulihan ekonomi yang harus dilakukan pemerintahan yang baru harus bisa mengkoneksikan antara dampak kehancuran struktur sosial ini dengan permasalahan ekonomi. Usaha pemulihan ekonomi korban Lapindo tidak cukup hanya dengan mengadakan berbagai pelatihan yang kemudian dibayangkan bahwa hasil pelatihan tersebut akan mendukung pemenuhan kebutuhan ekonomi korban Lapindo. Pemulihan ekonomi korban Lapindo harus berbasis pada keterampilan dasar yang sebelumnya telah dimiliki oleh para korban, sehingga, misalnya, mereka yang sebelumnya adalah petani tidak dipaksakan untuk belajar menjahit.

    6. Administrasi Kependudukan

    Berkaca dari tidak adanya DPT khusus bagi korban Lapindo pada Pemilu 2014, maupun tidak adanya data warga dari desa-desa dalam Peta Area Terdampak pada PPLS 2014 lalu, kita perlu mendesakkan pada pemerintah bahwa administrasi kependudukan merupakan salah satu problem utama yang menyebabkan tidak bisa tuntasnya pemenuhan hak-hak korban Lapindo. Jaminan pemenuhan-pemenuhan hak korban Lapindo sebagai warganegara dan sebagai manusia, a.l., hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas hunian yang layak, hak atas pekerjaan hanya bisa terpenuhi bila hak hak sipil-politik para korban Lapindo itu sudah terpenuhi terlebih dulu. Pendataan korban Lapindo, sekalipun sebenarnya sudah terlambat, adalah sebuah kegiatan yang sangat mendesak untuk dilakukan.

    Oleh karena itu, pemerintah, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat, perlu lebih proaktif untuk melakukan pendataan korban Lapindo dari data lama di desa asal, dan kepindahan mereka ke tempat-tempat baru. Data korban ini akan menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban Lapindo agar pulih dari krisis.

    Rekomendasi ini disusun pada Diskusi Membahas Peta Jalan Penyelesaian Lumpur Lapindo di Sekretariat WALHI Jawa Timur – Surabaya, atas kerjasama WALHI Jawa Timur dengan Seknas Jokowi Surabaya pada 11 September 2014, yang dihadiri oleh:

    Abdul Rochim, korban Lapindo asal Desa Besuki; Komunitas Jimpitan Sehat

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, UniversitasBrawijaya, Malang (Riset “Peran Media dalam Konstruksi Kasus Lapindo” dan “Dampak Sosial-Budaya Kasus Lapindo”)

    Akhmad Novik, korban Lapindo asal Desa Jatirejo (aktif di WALHI)

    Arief Juniawan, mahasiswa UPN Veteran

    Catur Nusantara, koordinator Posko Informasi Korban Lapindo, Porong; Badan Pengurus JATAM (Riset “Dampak Lingkungan dan Dampak Kesehatan Korban Lapindo”)

    Dwi, korban Lapindo asal Desa Siring (Komunitas Arrohmah)

    Dandik Katjasungkana, Kontras; Seknas Jokowi

    Dian Noeswantari, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Riset “HAM berperspektif Gender untuk Kasus Lapindo” dan Monev “Hak Ekosob untuk Korban Lapindo”)

    Eko Widodo, korban Lapindo asal Besuki (aktif di WALHI)

    Fatkhul Khoir, Kontras Surabaya

    Rengga, Kontras Surabaya

    Gusti M Khoirul Akbar, mahasiswa Universitas Brawijaya

    Harwati, korban Lapindo asal Desa Siring (Komunitas Arrohmah)

    Imam Khoiri, korban Lapindo asal Desa Jatirejo (Komunitas Arrohmah)

    Irsyad, korban Lapindo asal Desa Besuki (Sanggar Alfaz)

    Misbachul Munir, KNTI; Seknas Jokowi Surabaya

    Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jatim

    Rere Christanto, korban Lapindo asal Desa Renokenongo (aktif di WALHI)

    Petrus M Riski, jurnalis

    Saropah, korban Lapindo asal Desa Jatirejo (Komunitas Arrohmah)

    Diana AV Sasa, D’Buku; Seknas Jokowi Surabaya

    Soebagyo, pengacara, drafter gugatan WALHI dalam kasus Lapindo, dan anggota tim Komnas HAM dalam penyelidikan pelanggaran HAM berat kasus Lapindo.