Tag: kompas

  • Normalisasi Sungai, BPLS Diberi Waktu Dua Minggu

    Kamis, 9 Oktober 2008

    SIDOARJO, KOMPAS – Bupati Sidoarjo Win Hendrarso memberi batas waktu dua minggu kepada Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS Jawa Timur untuk merampungkan normalisasi Sungai Porong. Bupati mengusulkan pembuatan celah di tengah-tengah endapan sungai dan penambahan mesin pengeruk lumpur Lapindo di Sungai Porong.

    Win menjelaskan, endapan lumpur Lapindo di Sungai Porong semakin parah dan sangat mengkhawatirkan. Apalagi, sekarang sudah mendekati musim hujan. Beberapa titik tanggul sungai bukan mustahil jebol karena tidak mampu menampung aliran air Sungai Porong yang tidak lancar akibat endapan lumpur.

    ”Saya berharap BPLS dapat segera merampungkan normalisasi Sungai Porong itu. Jika tidak, dikhawatirkan terjadi luapan air sungai di musim hujan nanti,” kata Win, Rabu (8/10) di Sidoarjo, Jatim.

    Win juga mengimbau agar mesin pengeruk lumpur di Sungai Porong ditambah. Lima mesin pengeruk yang beroperasi saat ini masih kurang seiring dengan semakin dekatnya musim hujan. ”BPLS sepatutnya menambah jumlah mesin pengeruk lumpur menjadi 12 unit,” ujarnya.

    Senin lalu Win meninjau endapan lumpur Lapindo Brantas di Sungai Porong yang berada di Desa Bulang, Kecamatan Prambon, Sidoarjo. Lokasi tersebut dinilai paling rawan saat musim hujan nanti. Tahun lalu, selisih permukaan air sungai dengan tanggul sekitar 15 sentimeter. Tahun ini, diprediksi terjadi luapan air sungai saat musim hujan dan hal itu bakal merendam ratusan hektar sawah di desa tersebut.

    Masih berlanjut

    Tentang pembuangan lumpur Lapindo ke Sungai Porong, hingga kemarin hal itu masih berlanjut. Dalam waktu dekat bahkan akan ada penambahan pipa pembuangan lumpur ke sungai itu. Rencananya, pipa tersebut dipasang dari titik tanggul nomor 42 menuju Sungai Porong melewati Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    Menurut anggota staf Humas BPLS, Akhmad Kusairi, selain ada penambahan pipa pembuangan lumpur, akan ada penambahan tujuh mesin pemompa lumpur sehingga total mesin jadi 19 unit.

    Pipa yang dipasang, katanya, berdiameter 60 sentimeter dengan debit 0,6 meter kubik lumpur per detik. ”Penambahan pipa pembuangan lumpur ini bertujuan mengurangi debit pembuangan lumpur ke kolam penampungan lumpur yang saat ini nyaris penuh. Selain itu, untuk mencegah timbulnya wilayah terdampak baru sebagai akibat jebolnya tanggul jika tak mampu menampung lumpur,” kata Kusairi.

    Masih terkait lumpur Lapindo, kemarin 211 keluarga pengungsi korban lumpur di Dusun Besuk, Desa Besuki, tepatnya di sisi barat Jalan Tol Porong-Gempol, berbenah untuk pindah. Pasalnya, tempat pengungsian yang selama ini mereka tempati akan dilalui pipa pembuangan lumpur menuju Sungai Porong. (APO)

  • Presiden Perlu Undang Ahli Pengeboran ke Porong

    Rabu, 1 Oktober 2008 | 09:44 WIB

    Kompas – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu mengundang para ahli pengeboran minyak dan gas untuk membahas langkah-langkah yang bisa diambil, guna menghentikan semburan lumpur di Porong,
    Sidoarjo, Jawa Timur.

    Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Syafruddin Ngulma Simeulue usai mengikuti salat Idulfitri bersama ratusan warga korban semburan lumpur di atas tanggul di Desa Ketapang, Porong, Sidoarjo, Rabu (1/10).

    Menurut ia, pemerintah tidak boleh menyerah dan bersikap pasrah tanpa mengambil tindakan apa-apa untuk menghentikan semburan lumpur yang terjadi sejak 2005. “Dalam hal ini, Presiden bisa memanggil ahli-ahli drilling terbaik untuk membahas segala kemungkinan yang bisa diambil guna menutup semburan lumpur. Saya yakin para ahli pengeboran itu mengetahui langkah apa yang harus dilakukan,” katanya.

    Syafruddin menegaskan, Presiden memiliki kewenangan tertinggi untuk mengambil langkah-langkah terbaik mengatasi semburan lumpur akibat pengeboran migas Lapindo Brantas Inc. Selain itu, mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, yang selama ini sangat intens mengikuti perkembangan penanganan korban semburan lumpur itu, juga meminta pemerintah berada di garis depan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi para korban.

    “Jangan membiarkan warga berhadap-hadapan langsung dengan Lapindo Brantas atau PT Minarak Lapindo Jaya dalam penyelesaian ganti rugi. Pemerintah yang harus berhadapan dengan kedua perusahaan itu untuk membantu warga korban semburan lumpur,” katanya.

    Syafruddin juga mengingatkan aparat keamanan yang bertugas di sekitar lokasi semburan dan pengungsian, untuk tidak bersikap dan melakukan tindakan yang bisa meresahkan warga. Terkait kehadirannya mengikuti salat Id bersama warga korban semburan lumpur, Syafruddin mengaku sudah merencanakan datang menemui korban lumpur bersamaan dengan kegiatan mudik lebaran ke Pandaan, Pasuruan.

    “Sekalian saya ingin memantau hasil kesepakatan pemerintah dengan warga korban lumpur yang sudah dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2008. Sejauh ini, belum ada tindak lanjut dari kesepakatan itu,” katanya.

    Kesepakatan itu di antaranya menyebutkan bahwa akan dilakukan pengikatan jual-beli yang di dalamnya terkandung pelepasan atas hak kepemilikan tanah bagi warga yang hanya memegang bukti berupa Petok D, Letter C dan SK Gogol. Tanah warga yang dilepaskan itu selanjutnya menjadi milik negara dan segera dilakukan pembayaran ganti rugi 20 persen bagi korban yang berkasnya sudah lengkap.

    Bagi warga korban lumpur yang berada di luar peta terdampak, pemerintah akan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan warga, seperti sarana air bersih, saluran pengairan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan. Hanya saja, kesepakatan itu tidak menyebutkan batas waktu yang harus dipatuhi PT Minarak Lapindo Jaya dan Lapindo Brantas untuk memenuhi tuntutan warga korban Lapindo.

    “Makanya kami secara intensif terus memantau di lapangan, untuk mengetahui tindak lanjut yang dilakukan pemerintah,” ujar Syafruddin. (ROY)

  • Pembayaran Ganti Rugi Korban Lumpur Tetap Diprioritaskan

    Kamis, 16 Oktober 2008 | Kompas

    SIDOARJO, Kompas – PT Lapindo Brantas Inc melalui PT Minarak Lapindo Jaya tetap memrioritaskan pembayaran ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, meski saat ini terjadi krisis keuangan global yang menimpa sebagian besar perusahaan di Indonesia. Diharapkan, pembayaran ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo tidak terkendala akibat krisis tersebut.

    Demikian dikatakan Vice President Relations PT Lapindo Brantas Inc Yuniwati Teryana kepada Kompas, Kamis (16/10), di Sidoarjo. Pernyataan tersebut untuk menanggapi keluhan beberapa korban lumpur Lapindo di Sidoarjo yang belum menerima pembayaran uang muka ganti rugi sebesar 20 persen atau sisa ganti rugi sebesar 80 persen meski sudah lewat jatuh tempo pembayaran.

    Krisis keuangan global yang terjadi turut berpengaruh bagi perusahaan di Indonesia, termasuk PT Lapindo Brantas Inc. Namun, penanggulangan musibah korban lumpur merupakan salah satu prioritas bagi kami. Kami berharap, pembayaran ganti rugi tidak terkendala dan kondisi perusahaan segera pulih, jelas Yuniwati.

    Sejauh ini, PT Lapindo Brantas Inc telah membayar sisa ganti rugi 80 persen kepada korban lumpur Lapindo sebanyak 3.781 berkas dengan nilai Rp 1,153 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk uang muka 20 persen kepada pemilik 12.759 berkas korban lumpur senilai Rp 709,72 miliar.

  • Bikin Hujan Buatan untuk Buang Lumpur Lapindo

    Sabtu, 11 Oktober 2008 | Kompas

    Mojokerto, Kompas – Pemerintah Provinsi Jawa Timur berencana membuat hujan buatan di sekitar aliran Kali Porong, Mojokerto, Jawa Timur. Tujuannya untuk mengatasi sedimentasi yang semakin parah di Kali Porong terkait pembuangan lumpur Lapindo—melalui kali tersebut—ke laut.

    Demikian penjelasan Penjabat Gubernur Jawa Timur (Jatim) Setia Purwaka seusai melantik Wakil Bupati Mojokerto di Pendopo Kabupaten Mojokerto, Jumat (10/10). ”Rencana pembuatan hujan buatan itu disebabkan debit air yang melewati Kali Porong sudah tidak memadai lagi untuk menggelontor lumpur Lapindo yang dialirkan,” paparnya.

    Hujan buatan, tambah Setia, akan dibuat jika debit air di Waduk Wonorejo dan Waduk Sutami belum memungkinkan untuk menggelontor endapan lumpur di kali itu. Pasalnya, kebutuhan lain, seperti pengairan tanaman pertanian (yang menggunakan air waduk), masih dinilai lebih penting. ”Saya akan bahas ini dengan Dinas Pengairan, yakni soal debit airnya,” kata Setia lagi.

    Dalam kaitan itu, menurut Setia, PT Lapindo Brantas Inc tetap harus bertanggung jawab atas semua dampak dan upaya pemulihan akibat luapan lumpur panas tersebut. ”Lapindo tidak bisa lepas tangan sekalipun kehabisan sumber daya untuk menanggulanginya,” ujarnya.

    Sebagaimana diberitakan, untuk menghindari perluasan daerah terdampak lumpur Lapindo, pemerintah menyetujui pembuangan lumpur itu ke laut melalui Kali Porong.

    Tanggal 6 Oktober lalu endapan lumpur tampak mengering di kali tersebut dan menyebabkan pembuangan lumpur ke laut macet. Tidak hanya itu, endapan yang demikian juga berpotensi mengakibatkan banjir pada musim hujan.

    Rawan banjir

    Masih soal kemungkinan banjir, di Madiun, Jawa Timur, Pejabat Pembuat Komitmen Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo Saelan mengingatkan perlunya waspada terhadap luapan air Sungai Bengawan Madiun. ”Wilayah yang terkena banjir akibat luapan sungai itu akhir tahun 2007 sampai awal tahun 2008, pada musim hujan ini masih harus waspada. Pasalnya, tak ada perubahan berarti yang dilakukan pemerintah,” kata Saelan.

    Menurut dia, di sepanjang 90 kilometer aliran Sungai Bengawan Madiun masih ada sekitar 20 kilometer bantaran sungai yang belum diberi tanggul, yakni di Kecamatan Kwadungan, Ngawi, dan Kota Ngawi. Selain itu, ada pula 25 kilometer bantaran sungai seperti itu, yakni mulai dari Kabupaten Madiun sampai Ponorogo. ”Kami sudah mengajukan usulan dana untuk pembuatan tanggul, tetapi belum dialokasikan oleh pemerintah pusat,” paparnya. (APA/INK)

  • Normalisasi Sungai, BPLS Diberi Waktu Dua Minggu

    SIDOARJO, KOMPAS – Bupati Sidoarjo Win Hendrarso memberi batas waktu dua minggu kepada Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS Jawa Timur untuk merampungkan normalisasi Sungai Porong. Bupati mengusulkan pembuatan celah di tengah-tengah endapan sungai dan penambahan mesin pengeruk lumpur Lapindo di Sungai Porong.

    Win menjelaskan, endapan lumpur Lapindo di Sungai Porong semakin parah dan sangat mengkhawatirkan. Apalagi, sekarang sudah mendekati musim hujan. Beberapa titik tanggul sungai bukan mustahil jebol karena tidak mampu menampung aliran air Sungai Porong yang tidak lancar akibat endapan lumpur.

    ”Saya berharap BPLS dapat segera merampungkan normalisasi Sungai Porong itu. Jika tidak, dikhawatirkan terjadi luapan air sungai di musim hujan nanti,” kata Win, Rabu (8/10) di Sidoarjo, Jatim.

    Win juga mengimbau agar mesin pengeruk lumpur di Sungai Porong ditambah. Lima mesin pengeruk yang beroperasi saat ini masih kurang seiring dengan semakin dekatnya musim hujan. ”BPLS sepatutnya menambah jumlah mesin pengeruk lumpur menjadi 12 unit,” ujarnya.

    Senin lalu Win meninjau endapan lumpur Lapindo Brantas di Sungai Porong yang berada di Desa Bulang, Kecamatan Prambon, Sidoarjo. Lokasi tersebut dinilai paling rawan saat musim hujan nanti. Tahun lalu, selisih permukaan air sungai dengan tanggul sekitar 15 sentimeter. Tahun ini, diprediksi terjadi luapan air sungai saat musim hujan dan hal itu bakal merendam ratusan hektar sawah di desa tersebut.

    Masih berlanjut

    Tentang pembuangan lumpur Lapindo ke Sungai Porong, hingga kemarin hal itu masih berlanjut. Dalam waktu dekat bahkan akan ada penambahan pipa pembuangan lumpur ke sungai itu. Rencananya, pipa tersebut dipasang dari titik tanggul nomor 42 menuju Sungai Porong melewati Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo.

    Menurut anggota staf Humas BPLS, Akhmad Kusairi, selain ada penambahan pipa pembuangan lumpur, akan ada penambahan tujuh mesin pemompa lumpur sehingga total mesin jadi 19 unit.

    Pipa yang dipasang, katanya, berdiameter 60 sentimeter dengan debit 0,6 meter kubik lumpur per detik. ”Penambahan pipa pembuangan lumpur ini bertujuan mengurangi debit pembuangan lumpur ke kolam penampungan lumpur yang saat ini nyaris penuh. Selain itu, untuk mencegah timbulnya wilayah terdampak baru sebagai akibat jebolnya tanggul jika tak mampu menampung lumpur,” kata Kusairi.

    Masih terkait lumpur Lapindo, kemarin 211 keluarga pengungsi korban lumpur di Dusun Besuk, Desa Besuki, tepatnya di sisi barat Jalan Tol Porong-Gempol, berbenah untuk pindah. Pasalnya, tempat pengungsian yang selama ini mereka tempati akan dilalui pipa pembuangan lumpur menuju Sungai Porong. (APO)

    © Kompas

  • BPLS Pertimbangkan Bangun Kolam Penampungan Baru

    SIDOARJO, KOMPAS – Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS mempertimbangkan membangun dua kolam baru untuk menampung lumpur di Desa Renokenongo dan Desa Besuki, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

    Hal itu diungkapkan Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain, Senin (1/9) di Sidoarjo. Menurut perhitungan BPLS, sejak pembuangan lumpur ke Sungai Porong dihentikan, Rabu lalu, kolam yang ada seluas 110 hektar hanya mampu menampung lumpur sembilan hari lagi.

    Di Desa Renokenongo, ada lahan seluas 80 hektar, sedangkan di Desa Besuki ada lahan seluas 25 hektar. Persoalannya, belum semua warga memperoleh ganti rugi. Di Desa Renokenongo masih ada 75 keluarga yang tinggal. Padahal, desa tersebut termasuk dalam peta terdampak lumpur Lapindo. Sebagian besar warga desa sudah mengungsi, khususnya yang telah terima ganti rugi.

    Desa Besuki, yang belakangan dimasukkan ke dalam peta terdampak lumpur Lapindo bersama Desa Pejarakan dan Kedungcangkring, masih dalam proses pengukuran tanah dan bangunan.

    ”Untuk rencana pembuatan kolam penampungan di Desa Besuki, Deputi Operasi BPLS sudah berkoordinasi dengan PT Minarak Lapindo Jaya,” katanya.

    Kegiatan pembuangan lumpur di Sungai Porong dihentikan akibat protes warga yang khawatir endapan lumpur akan membuat air sungai meluap di musim hujan. Di sisi lain, pembuangan seluruh semburan lumpur, 100.000 meter kubik per hari, dikhawatirkan mempercepat penuhnya kolam penampungan yang ada.

    Wakil Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur Kusnadi dan Wakil Keta Komisi E DPRD Jawa Timur Kuswiyanto, saat meninjau normalisasi Sungai Porong, mengusulkan peninjauan ulang Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Pembuangan Lumpur ke Sungai Porong.

    Menurut mereka, perlu kajian komprehensif untuk mendapatkan solusi pembuangan lumpur selain ke Sungai Porong. ””Jika pembuangan lumpur ke sungai menimbulkan dampak lebih berbahaya, perpres perlu ditinjau ulang,”” ujar Kuswiyanto. (APO)

  • Tanggul Penahan Lumpur Lapindo Jebol

    PT MLJ Mengaku Membayar Ganti Rugi Bertahap

    SIDOARJO, KOMPAS – Tanggul lumpur Lapindo di titik 44 di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, jebol pada hari Selasa (26/8) sekitar pukul 05.00. Sehari sebelumnya, warga menduduki tanggul dan memblokir akses kendaraan proyek penanganan lumpur untuk menuntut ganti rugi.

    Pada Senin lalu, sekitar 500 warga memblokir lima pintu masuk menuju tanggul dalam upaya menuntut sisa pembayaran ganti rugi sebesar 80 persen yang belum diterima dari PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Aksi itu membuat aktivitas penanganan tanggul penahan lumpur terhenti. Polisi membubarkan aksi pada pukul 17.00 sehingga kegiatan penanganan tanggul pulih.

    Tanggul yang jebol selebar 6 meter dan tinggi 3 meter tersebut mengakibatkan lumpur meluber dan menutupi jalan yang dilalui truk dan traktor di areal tanggul. Luberan lumpur juga mengenai Desa Renokenongo, tetapi belum membahayakan warga yang masih tinggal di desa tersebut.”

    Jebolnya tanggul sudah kami perkirakan. Hal tersebut akibat terhentinya aktivitas penanganan tanggul penahan lumpur karena pemblokiran warga,” kata Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain di Sidoarjo, Selasa.

    Jika tanggul yang jebol tidak segera ditangani, kata Zulkarnain, dikhawatirkan lumpur akan meluber lebih luas ke permukiman warga Desa Renokenongo.

    Apalagi saat ini seluruh lumpur yang keluar dari semburan dibuang ke kolam penampungan karena pipa pembuangan ke Sungai Porong ditutup atas desakan warga sejak Rabu pekan lalu.

    Berdasarkan perhitungan BPLS, daya tampung kolam seluas 110 hektar tersebut menyisakan waktu sekitar 15 hari lagi. Lebih dari itu, kolam tidak mampu menampung semburan lumpur sebanyak 100.000 meter kubik setiap hari.

    ”Kami berharap dapat kembali membuang lumpur ke laut melalui Sungai Porong,” kata Zulkarnain.

    Koordinator Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres), Suwito, yang kemarin memimpin pemblokiran akses ke tanggul, bersikukuh meminta PT MLJ segera membayarkan sisa ganti rugi sebesar 80 persen.

    ”Kami belum menentukan langkah berikutnya. Kami akan berkoordinasi lagi dengan seluruh warga dalam mengupayakan pembayaran sisa ganti rugi yang belum kami terima,” tuturnya.

    Bertahap

    Sebelumnya, Wakil Presiden PT LMJ Andi Darussalam Tabussala mengemukakan, pihaknya sudah membayar sisa ganti rugi 80 persen senilai hampir Rp 210 miliar untuk 538 warga penerima ganti rugi cash and resettlement. Selain itu, ganti rugi cash and carry senilai hampir Rp 148 miliar juga sudah dibayarkan untuk 648 warga.

    ”Kami tetap bertanggung jawab menyelesaikan ganti rugi. Jika ada keluhan, warga korban lumpur saya minta menghadap langsung ke PT MLJ,” ujar Andi. Menurut dia, sampai kini pembayaran sisa ganti rugi tetap berlangsung meski secara bertahap.

    Saat ini masih ada sekitar 1.000 korban lumpur yang belum menerima ganti rugi karena masih dalam proses verifikasi oleh BPLS. (APO)

  • Mereka yang Dihapus dari Peta

    Siring adalah desa kecil di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang dibelah oleh Jalan Raya Pos. Siring Timur sudah terhapus dari peta sejak lumpur Lapindo Brantas menyembur 29 Mei 2006. Siring Barat tinggal menunggu waktu terhapus dari peta. Perlahan namun pasti, tanah di Siring Barat ambles ke dalam bumi.

    Sebelum Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dibangun, Sidoarjo hanyalah pasar kecil pada sebuah persimpangan menuju Mojokerto, Malang, atau Surabaya. Ahli tata kota dari Universitas Gadjah Mada, Sudaryono, menyebutkan, Sidoarjo adalah satu dari kota-kota modern di Jawa yang tumbuh karena Jalan Raya Pos. Titik kebangkitan kota ini terutama terjadi tahun 1867 ketika jalur rel kereta api lintas Jawa dibangun.

    Namun, Sidoarjo (khususnya Porong) kini memudar. Bermula dari lumpur yang keluar di Desa Reno Kenongo, Kecamatan Porong, desa-desa lainnya mulai terhapus dari peta bumi. Sedikitnya 12.000 warga kehilangan rumah, jumlah yang mungkin terus bertambah karena belum ada tanda semburan berhenti.

    Penyebab semburan lumpur masih memicu kontroversi. Banyak yang menyalahkan Lapindo Brantas Inc yang melakukan pengeboran minyak bumi sekitar 150 meter dari pusat semburan. Lapindo Brantas Inc menyalahkan gempa bumi Yogyakarta, yang berjarak 300 kilometer dari pusat semburan, sebagai pemicunya.

    Sirna

    Apa pun penyebabnya, bencana itu membawa penderitaan luar biasa bagi rakyat.

    Siring Barat, Agustus 2008. Seorang gadis kecil tidur di kursi tamu, di dalam rumah yang nyaris ambruk. Tiga batang kelapa menyangga kuda-kuda rumah yang melengkung ke bawah. Lantai ambles. Dinding rengkah memanjang. Bau gas yang menyengat menguar dari rengkahan itu. ”Kami tak punya tempat tinggal lain,” kata Ikhwan (44), ayah gadis kecil, Nurul Aini (11), yang tengah tidur siang itu.

    Setengah jam di rumah itu, perut terasa mual dan kepala berdenyut akibat menghirup gas yang menyengat. Penelitian Tim Kajian Kelayakan Permukiman (TKKP) menunjukkan, gas di Siring Barat mengandung nitrogen dioksida (NO>sub<2>res<>res<) berkadar 0,116 ppm dan hidrokarbon (HC) hingga 55.000 ppm. Gas-gas ini karsinogenik, dan memicu kanker. Padahal, ambang baku mutu yang diizinkan—sesuai dengan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Jatim Nomor 129 Tahun 1996—untuk HC hanya 0,24 ppm dan NO>sub<2>res<>res< 0,05 ppm. Padahal, keluarga Ikhwan tinggal di sana dua tahun terakhir ini.

    Keluarga Sutiman (72) juga senasib. Mereka terpaksa tinggal di rumah yang nyaris roboh. ”Kasihan cucu-cucu, terpaksa tinggal di rumah seperti ini. Tapi, mau apa lagi? Kami tak punya uang untuk pindah,” ujar Sutiman.

    Perlahan tapi pasti, desa demi desa di Porong terhapus dari peta. Rumah-rumah hilang. Sekolah hilang. Tempat kerja hilang. Masjid juga hilang.

    Hilangnya Porong seakan mengingatkan pada sirnanya Majapahit seperti tercatat dalam Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi, yaitu ketika sirna ilang kertaning bhumi, yang menunjuk tahun 1400 Saka/1478 M. Secara leksikal, penyebutan angka juga dapat didefinisikan bahwa sirnanya

    Majapahit adalah ketika ”musnah hilang sudah selesai pekerjaan bumi”. Porong— sebagai bagian dari Delta Sungai Brantas —pernah menjadi pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Jenggala, sekitar tahun 950 M-1500 M.

    Zona tak bertuan

    Sutiman dan ratusan warga Siring Barat lainnya seperti hidup di zona tak bertuan. Penderitaan mereka tak dianggap. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 tak memasukkan desa mereka dalam zona terdampak yang berhak mendapatkan ganti rugi dari Lapindo Brantas Inc.

    Perpres Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Perpres Nomor 14 Tahun 2007 juga tak memasukkan Siring Barat yang nyata terkena dampak itu ke wilayah yang mendapat prioritas penanganan.

    Padahal, menurut Ketua Forum Komunikasi 9 Desa di Porong dan Tanggulangin Bambang Kuswanto, ada sembilan desa lain di luar desa terdampak yang jelas kena dampak. Yang terparah adalah Siring Barat, Jati Rejo Barat, dan Mindi.

    Pakar manajemen bencana dari Institut Teknologi Sepuluh November Amien Widodo mengaku tak habis pikir dengan kondisi ini. ”Nyawa orang tidak ada harganya di Siring Barat. Tiap detik adalah maut, tapi tak ada tindakan,” kata Amien, yang juga anggota tim peneliti TKKP.

    Tim TKKP yang dibentuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur ini sejak Mei 2008 telah merekomendasikan agar warga Siring Barat, Jati Rejo Barat, dan Mindi segera dievakuasi. Menindaklanjuti rekomendasi itu, Gubernur Jatim Imam Oetomo mengirimkan surat kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pada 5 Mei 2008. Imam meminta agar 628 keluarga di tiga desa itu direlokasi. Namun, hingga sekarang belum ada respons dari Jakarta.

    ”Masalah ini sudah dibahas bersama DPR. Masalahnya, anggaran kita terbatas,” kata Sekretaris BPLS Adi Sarwoko.

    Data terakhir dari BPLS menyebutkan, titik semburan mencapai 98 buah. ”Apa lagi yang ditunggu? Jangan sampai ada korban lebih banyak,” sebut Amien.

    Sutiman dan ribuan warga di Sidoarjo tak hanya kehilangan ruang aman untuk tinggal, tetapi juga sejarah hidup. Akankah mereka juga dibiarkan kehilangan masa depan? (RYO)

    © Kompas

  • Dibutuhkan Kolam Penampungan Baru

    SIDOARJO, KOMPAS – Daya tampung kolam penampungan lumpur Lapindo diperkirakan hanya bertahan 21 hari sejak pipa pembuangan lumpur ke Sungai Porong ditutup atas desakan warga pada Rabu lalu. Agar lumpur tidak meluber dibutuhkan tempat penampungan yang baru.

    Demikian penjelasan Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain di Sidoarjo, Jawa Timur, kemarin. Saat ini, lanjut Zulkarnain, ada empat kolam penampungan yang digunakan untuk membuang lumpur Lapindo, yakni kolam Perumtas, Siring, Ketapang, dan Glagaharum I.

    Luas semua kolam penampungan sekitar 110 hektar. Nama keempat kolam tersebut diambil dari nama desa yang kini tenggelam oleh lumpur panas Lapindo,” kata Zulkarnain.

    Setiap hari, lanjutnya, sekitar 100.000 meter kubik lumpur masih keluar. ”Padahal, kami tidak pernah tahu kapan lumpur ini akan berhenti menyembur,” kata Zulkarnain. Ia berharap warga kembali mengizinkan pembuangan lumpur ke Sungai Porong.

    Unjuk rasa

    Di tempat berbeda, warga delapan desa korban lumpur Lapindo menyatakan akan memblokir areal tanggul di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Senin (25/8) pagi ini. Sebab, hingga kemarin pihak Lapindo belum juga melunasi sisa ganti rugi yang menjadi hak korban lumpur.

    ”Sampai sekarang Lapindo tidak pernah menjelaskan kapan sisa ganti rugi akan dibayar. Padahal, masa kontrak rumah warga sudah mulai habis,” kata Rois, koordinator warga Desa Siring.

    Berdasarkan surat kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh pimpinan Lapindo dan Bupati Sidoarjo pada 4 Desember 2006, pihak Lapindo akan membayar ganti rugi dengan skema 20 persen di muka dan sisanya dibayar selambat-lambatnya dua bulan sebelum masa kontrak rumah para korban lumpur habis. Selama menunggu pencairan sisa ganti rugi itu, warga diberi uang kontrak rumah untuk masa dua tahun.

    Pada umumnya, warga korban lumpur mengontrak rumah pada Agustus 2006. Karena itu, Agustus ini banyak warga korban lumpur yang sudah habis masa kontraknya. Lumpur Lapindo tidak hanya mengakibatkan tenggelamnya sejumlah desa atau tempat tinggal warga. Kemarin toko-toko di sepanjang Jalan Raya Porong yang langsung berhadapan dengan tanggul penahan lumpur pun semakin banyak yang tutup.

    Menurut beberapa pemilik toko yang ditemui, transaksi semakin merosot akibat banyak warga Porong yang menjadi korban lumpur pindah.(APO/LAS/NAW)

  • Pipa Pembuangan Lumpur Ditutup

    Jalan Raya Porong dan Rel KA Terancam

    SIDOARJO, KOMPAS – Sebanyak 10 dari 15 pipa pembuangan lumpur ke Sungai Porong ditutup sejak Rabu (20/8) pukul 22.00. Penutupan dilakukan Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo atau BPLS atas desakan warga. Namun, dalam hal ini berisiko mengurangi ketahanan tanggul dan lumpur bisa meluber.

    Rabu malam di Kantor Kecamatan Porong, BPLS menyosialisasikan normalisasi Sungai Porong di hadapan sejumlah warga dan 11 kepala desa di Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ke-11 desa itu dilalui aliran Sungai Porong.

    BPLS menyatakan, normalisasi Sungai Porong menunggu musim hujan agar di Dam Lengkong di Mojokerto tersedia cukup air untuk menggelontor endapan lumpur. Namun, warga menolak rencana itu karena khawatir jika endapan lumpur tidak segera diatasi Sungai Porong keburu meluap.

    Warga mendesak agar lumpur tidak dialirkan ke sungai dan pipa pembuangan ditutup. Beberapa warga mengancam akan memotong pipa pembuangan jika desakan mereka tidak dipenuhi.

    Akhirnya, melalui stasiun pompa, pembuangan lumpur ke Sungai Porong dihentikan. Pipa pembuangan yang ditutup terdiri dari empat pipa di Desa Besuki dan enam pipa di Desa Kedungcangkring. Lima pipa lain sudah tidak berfungsi karena terendam oleh endapan lumpur di sungai.

    Kepala Desa Kedungcangkring Abdul Rosyid, Kamis, mengatakan, endapan lumpur di Sungai Porong yang makin tinggi membuat warga cemas. Saat ini permukaan air Sungai Porong sudah di atas tanah permukiman dan sawah warga Desa Besuki serta Kedungcangkring akibat air tertahan endapan lumpur. Mereka khawatir pada musim hujan air sungai meluap dan merendam rumah.

    Wira’i (59), petani Desa Besuki, menyatakan, ia kini tidak bisa lagi mengolah sawah karena ada rembesan air dari sungai.

    Kepala Humas BPLS Achmad Zulkarnain mengatakan, lumpur yang dialirkan ke sungai adalah 10 persen dari volume semburan lumpur. Padahal, total semburan sekitar 100.000 meter kubik per hari.

    ”Jika seluruhnya terus dibuang ke kolam penampungan, akan mengancam ketahanan tanggul yang berbatasan langsung dengan Jalan Raya Porong dan rel kereta api di sisi barat tanggul. Selain itu juga mengancam permukiman warga Kecamatan Tanggulangin di sisi utara tanggul,” katanya.

    Tebal endapan lumpur di Sungai Porong 3-5 meter dengan panjang endapan sekitar 500 meter. Saat ini BPLS berupaya mengeruk lumpur dengan mesin keruk. Selain dua alat keruk yang ada, BPLS berencana menambah dua alat keruk lagi. (APO)

    © Kompas

  • Masa Depan Warga Porong Suram

    Semburan Lumpur Lapindo agar Segera Diatasi

    Surabaya, Kompas – Warga sekitar kawasan Porong, Kabupaten Sidoarjo, terancam tidak mempunyai masa depan apabila lumpur Lapindo tidak ditangani secara tepat. Persoalannya, dampak luapan lumpur itu berkepanjangan. Lebih dari 2 tahun semburan lumpur itu telah menimbulkan dampak negatif bagi warga dan ekonomi Jawa Timur.

    Jalur di Porong ibarat urat nadi perekonomian Jawa Timur (Jatim). Pergerakan ekonomi Jatim yang melewati jalur di Porong sekitar 40 persen. Kondisi tersebut tercermin dari berbagai industri dan usaha, mulai perhotelan sampai angkutan darat. Dampak yang sangat terasa terutama untuk kawasan di sekitar Porong maupun daerah yang melewati Porong, seperti Prigen, Tretes, Pasuruan, bahkan sampai Banyuwangi.

    Selama lumpur Lapindo tidak tertangani secara baik, kawasan Porong menjadi terganggu dan ini berpengaruh terhadap pelaku usaha serta warga di sana. “Walau banyak yang mengatakan sekarang perekonomian di sana mulai pulih, itu bukan berarti tidak ada masalah,” kata pengamat ekonomi dan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, Tjuk Kasturi Sukiadi, dalam Simposium Nasional Riset dan Kebijakan Ekonomi, Kamis (21/8). Simposium itu juga menghadirkan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

    Bahkan, rencana relokasi infrastruktur Porong menjadi pukulan tersendiri bagi warga yang menempati peta terdampak. Di satu sisi relokasi infrastruktur menjadi solusi untuk mengatasi persoalan transportasi, tetapi di sisi lain menyebabkan kawasan Porong dan sekitarnya mati. “Bisa-bisa Porong dan sekitarnya menjadi daerah yang ditinggalkan,” tuturnya. Hanya 1 persen

    Dikatakan, berdasarkan perhitungan beberapa unsur, di antaranya pariwisata, industri, dan transportasi, potensi kerugian akibat lumpur Lapindo berkisar Rp 45 triliun per tahun. Artinya, sejak semburan lumpur pada Mei 2006 sampai sekarang, kerugian akibat lumpur di atas Rp 90 triliun. “Kerugian masih terus bertambah karena belum ada jalan keluar,” kata Tjuk.

    Menurut dia, seharusnya pusat semburan lumpur ditutup. Tidak ada jalan lain. Apalagi, sumber daya manusia baik pakar dari dalam negeri maupun luar negeri siap membantu. Dengan dana yang diperlukan sekitar Rp 1 triliun, seharusnya upaya menutup pusat semburan bisa segera direalisasikan. “Ini kecelakaan teknis kok dibiarkan saja,” ujar Tjuk.

    Namun, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menilai adanya lumpur Lapindo tidak berarti mematikan Sidoarjo. Sebagai gambaran, wilayah Sidoarjo berada di atas lahan seluas 743 kilometer persegi. Sementara daerah yang terdampak lumpur Lapindo hanya 700 hektar. “Luasnya hanya 1 persen dari seluruh wilayah. Sidoarjo akan pulih,” katanya.

    Membaiknya perekonomian di sekitar Sidoarjo terlihat dari human development index Sidoarjo yang mencapai 72,85 persen. Perolehan tersebut mengacu pada beberapa kriteria, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat. “Maka, kami mengampanyekan Sidoarjo Bangkit dan memberikan kemudahan kepada masyarakat korban lumpur. Salah satunya berupa bantuan modal kerja,” ujar Win. (BEE)

    © Kompas

  • Kontrak Habis, Ganti Rugi Tak Segera Dilunasi

    Mendesak, Normalisasi Sungai Porong

    SIDOARJO, KOMPAS  Sekitar 100 warga Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berunjuk rasa lagi menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80 persen. Saat ini kontrak rumah mereka sudah habis. Warga yang tidak memiliki uang terpaksa mengungsi kembali ke Pasar Baru Porong.

    Unjuk rasa dilakukan seusai upacara peringatan HUT Kemerdekaan Ke-63 RI di areal tanggul lumpur Lapindo, Minggu (17/8). Upacara itu diikuti anggota Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), karyawan PT Lapindo Brantas, anggota Batalyon Zeni Tempur V Brawijaya, dan warga korban lumpur dengan inspektur upacara Mayor (Inf) Rukun Santoso.

    Selesai upacara pada pukul 08.30, warga Jatirejo lantas mengibarkan spanduk bertuliskan tuntutan pembayaran sisa ganti rugi.

    Uswanti (31), salah satu warga, berteriak sambil menangis di hadapan anggota BPLS. Ia meminta agar BPLS memperjuangkan nasib korban lumpur Lapindo yang belum juga menerima sisa ganti rugi 80 persen.

    “”Masa kontrak kami sudah habis sejak Juli lalu. Seharusnya kami sudah menerima sisa ganti rugi pada Juni 2008. Kenyataannya, hingga kini ganti rugi belum kami terima,”” ujar Uswanti.

    Mereka juga belum menerima uang perpanjangan kontrak. Akibatnya, Uswanti, suami, dan dua anaknya kembali menempati Pasar Baru Porong. Sebelumnya ia mengontrak rumah di Kelurahan Sidokare, Kecamatan Sidoarjo. ””Kami terpaksa meninggalkan rumah kontrakan karena tidak punya uang untuk memperpanjang kontrak,”” katanya.

    Warga lain, Mohamad Amrul (48), mengancam akan menduduki tanggul dan menghentikan proyek penanggulangan lumpur jika sisa pembayaran tidak segera dilunasi.

    Kepala Humas BPLS Ahmad Zulkarnain menyatakan, pihaknya terus mengupayakan penyelesaian sisa ganti rugi 80 persen kepada PT Minarak Lapindo Jaya.

    Normalisasi Sungai Porong

    Sebanyak 11 kepala desa di Kecamatan Porong beserta Camat Porong Totok Mariyanto mendesak BPLS melakukan normalisasi Sungai Porong. Penyebabnya, kondisi sungai terus mendangkal akibat pembuangan lumpur ke sungai.

    ”Akibat pembuangan lumpur ke sungai, air menjadi susah mengalir, sedangkan permukaan air terus naik. “Kami khawatir jika musim hujan tiba permukiman warga yang terletak di sekitar sungai bisa terendam luapan air sungai,”” kata Totok.

    Menjawab desakan tersebut, Zulkarnain menyatakan, BPLS akan menambah alat keruk untuk memperdalam sungai agar air mengalir lancar. 

    Adapun upaya lain, yaitu menggelontorkan air ke sungai agar lumpur hanyut tidak bisa dilakukan. ”Air untuk menggelontor sungai berasal dari dam Lengkong, Mojokerto. Padahal, pada musim kemarau ini debit air di sana menipis,” kata Zulkarnain. (APO)

    © Kompas

  • Ganti Rugi Belum Lunas, Warga Patok Tanggul

    SIDOARJO, KOMPAS – Sekitar 50 warga korban lumpur Lapindo memasang patok di tanggul lumpur Lapindo di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (10/8). Hal itu sebagai bentuk protes warga karena sisa ganti rugi sebesar 80 persen tak kunjung dibayar oleh PT Minarak Lapindo Jaya.

    Warga korban lumpur dari RT 18, 19, dan 20 Desa Renokenongo tersebut bergerak menuju tanggul sekitar pukul 11.00. Beberapa warga memasang patok kayu bertuliskan nama masing-masing untuk menunjukkan bekas tempat tinggalnya sebelum terendam lumpur.

    “”Kami menolak pembangunan tanggul sebelum ganti rugi dilunasi,”” kata Ketua RT 20 yang juga koordinator aksi, Ahmad Sutomo.

    Warga lain, Dwi Sulastriyah, mengatakan, “PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) ingkar janji karena hingga masa kontrak rumah habis Juli lalu, sisa ganti rugi sebesar 80 persen hingga kini belum diberikan.”

    Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Ahmad Zulkarnain menyatakan, pihaknya akan mendesak PT MLJ agar segera membayar sisa ganti rugi. Jika tidak segera diselesaikan, hal itu akan mengganggu penanganan teknis lumpur Lapindo oleh BPLS.

    Menurut Zulkarnain, selain warga yang belum menerima sisa ganti rugi 80 persen, masih ada sekitar 1.000 korban lumpur yang belum menerima ganti rugi sama sekali. ””PT MLJ sudah berkomitmen akan menyelesaikan paling lambat September 2008. Jika proses verifikasi selesai, ganti rugi akan segera dibayar,”” katanya.

    Wakil Presiden PT MLJ Andi Darussalam Tabussala mengatakan, warga yang masa kontraknya habis pada Juli atau Agustus 2008 dijanjikan akan diberi perpanjangan masa kontrak selama empat bulan. (APO)

  • Lingkungan Hidup, Lumpur Lapindo, Siapa Berani?

    Dua tahun sudah semburan lumpur Lapindo Brantas Inc meluluhlantakkan harta benda, emosi, dan kehidupan sosial masyarakat Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dampak semburan lumpur bukan hanya berupa kekacauan infrastruktur, tetapi juga korban jiwa. Lumpur itu juga memberikan efek bagi Provinsi Jatim.

    Data yang dipaparkan pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Kresnayana Yahya, menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Jatim, yang biasanya selalu setengah persen di atas pertumbuhan ekonomi nasional, kini setengah persen di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Biangnya, semburan lumpur di wilayah eksplorasi Lapindo Brantas Inc.

    Seretnya pertumbuhan ekonomi itu antara lain akibat matinya sejumlah industri dan hotel, serta tingginya biaya transportasi yang harus dikeluarkan pengusaha untuk distribusi produk. Seperti Rabu (18/6) lalu, antrean panjang kendaraan berat pengangkut barang memenuhi ruas jalan raya yang menghubungkan Porong, Sidoarjo, dengan Gempol, Pasuruan. Jalan tol Surabaya-Porong, yang semestinya bisa menyedot kendaraan dari ruas jalan raya dan menghemat waktu tempuh, tak bisa diandalkan lagi karena ikut menerima dampak terjangan lumpur. Antrean di jalan raya tak terelakkan. Jarak Surabaya-Malang, yang dalam kondisi normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam, kini butuh hingga tiga jam.

    Dampak sosial juga tak kalah parah. Warga Desa Renokenongo yang rumahnya terkena semburan lumpur panas masih banyak tinggal di pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Sekitar 500 keluarga tinggal di bangunan kios pasar. Pertumbuhan kejiwaan dan sosial anak-anak yang tinggal di penampungan itu dikhawatirkan terganggu. Mereka, 900-an warga Desa Renokenongo, hanya menanti tanggung jawab Lapindo Brantas Inc.

    Tak kurang upaya dilakukan beberapa pihak untuk menggugat keadilan masyarakat atas semburan lumpur ini. Seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang mengajukan gugatan secara terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan untuk menuntut pertanggungjawaban semburan lumpur yang masih berlangsung hingga kini itu. Namun, semua upaya itu kandas.

    Bahkan, upaya hukum yang sudah dilakukan Polda Jatim, dengan menetapkan beberapa orang sebagai tersangka yang bertanggung jawab dalam semburan lumpur itu, tak juga berujung. Pasalnya, kejaksaan masih kukuh membutuhkan bukti yang menunjukkan korelasi antara pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas Inc dan semburan lumpur. Akibatnya, berkas perkara itu berkali-kali bolak-balik dari kejaksaan ke kepolisian.

    Padahal, ilmuwan Inggris, Richard Davies, awal Juni lalu, menyebutkan, semburan lumpur di Sidoarjo bukan bencana alam, melainkan dipicu pengeboran di sumur Banjar Panji I. Sedangkan Lapindo Brantas Inc menyebutkan, lumpur itu menyembur ke permukaan bumi akibat dipicu gempa di Yogyakarta, beberapa hari sebelumnya.

    Yang paling parah dari semua itu, pemerintah sepertinya bergeming. Tak mau menolehkan sejenak ke Porong untuk lebih menyalurkan empati dan bentuk tanggung jawab atas warganya yang kehilangan tanah, rumah, kehidupan sosial, dan ikatan dengan leluhur.

    Sengaja mendiamkan

    Airlangga Pribadi Kusman, pengajar ilmu politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, yakin, elite politik di Jatim dan Jakarta sengaja mendiamkan persoalan lumpur yang menyembur pertama kali pada 29 Mei 2006 ini.

    Tak ada tekanan politik dari Gubernur Jatim Imam Utomo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, maupun DPRD Jatim dan DPRD Sidoarjo. Dugaan Airlangga, semburan lumpur ini akibat kesalahan kolektif yang melibatkan banyak pihak sehingga semua pihak akan menutup persoalan ini.

    Dari sisi politik, kondisi ini akan mendorong proses delegitimasi terhadap proses politik yang berlangsung di Jatim. Juga, delegitimasi masyarakat terhadap negara dan pemerintah. ””Masyarakat merasa kepentingan mereka tidak diperjuangkan wakil rakyat maupun eksekutif yang dipilihnya,”” ujar Airlangga.

    Pemimpin daerah juga terkesan tak bergerak untuk mengantisipasi kian buruknya kondisi di sekitar Porong akibat semburan lumpur yang terus terjadi. Padahal, banyak contoh bencana ikutan yang muncul akibat semburan lumpur yang terus bertumpuk di sekitar sumbernya. Terakhir, tiga pekerja di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, luka akibat ledakan gas.

    Dengan perhitungan kerugian akibat semburan lumpur yang masih bertumpuk, tentu pemimpin Jatim akan berpikir, betapa lebih efektifnya jika menggunakan daya tawarnya terhadap pemerintah pusat untuk segera bertindak tegas menangani dampak lumpur itu. Bayangkan, kemajuan yang dicapai dalam pembangunan oleh Gubernur Jatim terpilih nanti akan ”dipotong” dengan kerugian akibat semburan lumpur yang masih terjadi sampai kini.

    Amien Widodo, geolog yang mendalami manajemen bencana dari ITS, menyarankan, Pemerintah Provinsi Jatim membuat peta risiko di sekitar semburan lumpur. “Peta itu dapat menunjukkan daerah dengan risiko rendah, sedang, dan tinggi sehingga setiap individu yang ada di daerah itu dapat mewaspadai segala kemungkinan yang terjadi. ”Buat peta yang menggambarkan, di sini daerah aman untuk tinggal dan tidak. Lalu, buat juga daerah rawan amblesan, di sini daerah rawan semburan gas, dan sebagainya. Peta ini mesti diperbarui setiap saat, selama lumpur masih menyembur,”” kata Amien.

    Jika langkah seperti itu tak dilakukan, niscaya semburan lumpur Lapindo hanya dianggap angin lalu. ”Apakah nyawa jadi tidak ada artinya?”

    Dewi indriastuti dan Nina Susilo

    © Kompas

  • Pilkada Jatim, Lumpur Lapindo dan Kemandekan Ekonomi

    Pilkada Jatim, Lumpur Lapindo dan Kemandekan Ekonomi

    Lumpur Lapindo merupakan salah satu penentu pertumbuhan ekonomi Jatim. Dampak lumpur, Jatim kehilangan potensi tumbuh sekitar 1 persen dari 20.000-30.000 kendaraan yang biasa melewati jalur antara Surabaya dan Malang serta kota-kota lain. Potensi kehilangan selama setahun sebesar Rp 170 triliun sepanjang 2007-2008.

    Dengan sikap dan motivasi yang realistis, mengatasi permasalahan itu adalah keberanian menaruh kepemimpinan yang berani, peduli, dan bisa menaklukkan arogansi pusat. Pembagian kewenangan timpang, tetapi pembagian penderitaan selalu ada di Jatim. Pajak yang ditarik seharusnya bisa dialokasikan untuk rehabilitasi akses dan infrastruktur ekonomi yang rusak dan mandek akibat lumpur Lapindo.

    Ada lima hal utama yang harus segera dipulihkan, yakni jalan akses (tol dan jalan negara) sepanjang 20-30 km antara Porong-Gempol, relokasi jalur pipa gas, jalur pipa air minum, jembatan Kali Porong, dan jalur kereta api.

    Namun, beda pandangan tentang kewenangan menjadikan ketidakjelasan siapa sebenarnya yang punya wewenang menyelesaikan problem itu. Korban dari pemimpin yang ragu dan tidak kompeten itu menyebabkan proses pengambilan keputusan selalu mengambang.

    Kalau dilakukan polling, tentu semua minta segera saja Pemerintah Provinsi Jatim menindaklanjuti masalah tersebut sebagai program emergency. Kalau perlu dengan meyakinkan pebisnis dan masyarakat mencari dana Rp 2 triliun-Rp 3 triliun untuk mengatasi persoalan itu karena dua tahun berlalu, kita telah kehilangan kesempatan ratusan kali lipat.

    Tingginya angka pengangguran dan sekaligus potensi makin banyak industri yang gagal tumbuh seharusnya menjadi pertimbangan utama. Ada penambahan biaya dan kehilangan waktu yang sangat berarti untuk jalur transportasi antara Surabaya dan wilayah selatan dan timur Jatim, membuat 30 persen ekonomi Jatim stagnan.

    Di sektor transportasi, misalnya, lebih dari 50 persen perusahaan bus berhenti operasi, lebih dari 30 persen angkutan barang tidak berjalan, dan lebih dari 25 persen angkutan kereta api berkurang. Sebab, setiap kontainer harus menambah Rp 1 juta untuk melewati Porong-Gempol karena mata rantai hambatan dan pungutan, serta akibat terlambatnya masuk ke pelabuhan.

    Untuk itu, Jatim perlu menaikkan daya negosiasinya. Posisi tawar yang win-win solution seharusnya memberikan kewenangan untuk segera mengatasi infrastruktur bisnis.

    Operasionalisasi jalur penerbangan Surabaya-Malang harus segera dibuka, begitu juga pembenahan kereta api. Harus ada jaminan aman agar transportasi barang dan penumpang lancar. Jalan tol juga harus segera dimulai, termasuk pula jalur pipa gas. Mengaktifkan kembali angkutan laut dari dan ke Pasuruan–, Probolinggo, –Surabaya akan menjadi pilihan sementara.

    Memulihkan hak ekonomi sosial budaya dari 30.000 warga korban lumpur ditambah hak ekonomi dari 500.000 orang lainnya menjadi begitu berarti untuk mengurangi tekanan ekonomi.

    KRESNAYANA YAHYA Pengamat Statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

  • Lumpur Lapindo, Tiga Desa Baru Masuk Revisi Perpres

    Jakarta, Kompas – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani revisi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2008 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo di Jakarta, Kamis (17/7). Tiga desa yang terdampak semburan lumpur panas Lapindo Brantas Inc paling akhir yaitu Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring masuk dalam revisi perpres itu.

    Sudah diteken hari ini. Soal teknisnya, tentu nanti. Kan ada badan yang tinggal melaksanakan saja teknis dari perpresnya,” ujar Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa di halaman Istana Negara, Jakarta.

    Lambatnya penandatanganan revisi Pepres No 14/2008 menurut Hatta karena pembahasannya menyangkut dana yang melibatkan sejumlah menteri seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan menteri yang terkait.

    Mengenai kapan realisasi pemberian ganti rugi sebagai konsekuensi dari revisi perpres, Hatta mengemukakan, kecepatannya tergantung pelaksana teknis mulai dari Menteri Keuangan hingga BPLS.

    Secara terpisah, sebanyak 80 warga korban lumpur Lapindo dari tiga desa (Besuki, Kedungcangkring, dan Pejarakan) di luar areal peta terdampak menyambut baik penandatanganan revisi perpres itu. Warga yang sudah lima hari berada di Jakarta, di antaranya dua hari terakhir bermalam di lapangan Monumen Nasional (Monas), serentak meluapkan kegembiraan mereka.

    ”Tentu kami bersyukur, sekalipun kami belum melihat hitam di atas putih. Semoga saja benar adanya,” kata Koordinator Korban Lumpur Tiga Desa di Luar Peta Terdampak Abdul Rokhim, kemarin.

    Di Sidoarjo Jawa Timur, bergitu mendengar dilakukan revisi perpres, warga langsung melakukan sujud syukur. (INU/GSA/HEI)

    © Kompas

  • Aburizal Bakrie Luncurkan Komunitas Budaya Indonesia

    JAKARTA – Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Rabu (6/8), di Galeri Nasional, Jakarta, meluncurkan Komunitas Budaya Indonesia (KBI). KBI akan menjadi pusat gerak untuk upaya mengetengahkan peranan kebudayaan dalam bina bangsa dan bina negara.

    “Saya harapkan KBI tak hanya jadi suatu organisasi yang hanya menggelar seminar-seminar, apalagi event organizer. Saya berharap KBI punya kantor sendiri, alat-alat organisasi dan organisasi ini mesti berkembang. Punya library yang baik dan lengkap,” kata Aburizal Bakrie, yang datang telat dari dari jadwalnya.

    Pada acara peluncuran diperkenalkan tim inti KBI, yakni Azyumardi Azra (berhalangan hadr), Edi Sedyawati, Putu Wijaya, Sapto Raharjo, Putu Wijaya, Sugihartatmo, Taufil Abdullah, dan termasuk Aburizal Bakrie. KBI sebagai pusat gerak, semata-mata bertujuan memperluas kesadaran masyarakat Indonesia akan adanya sejumlah permasalahan budaya di dalam tubuh bangsa Indonesia, yang apabila dibiarkan tak terkendali akan berpeluang melemahkan bangsa, dari segi martabat maupun daya saingnya.

    Aburizal Bakrie mengatakan, persoalan budaya memang kurang mendapat perhatian. Tidak seperti persoalan sandang pangan, kesehatan, dan pendidikan yang mendapat perhatian besar. Padahal, persoalan budaya adalah persoalan mulia. “Sekarang baru peluncurannya, bentuknya belum. Saya akan dukung secara pribadi,” tandas Aburizal Bakrie yang juga mendukung Achmad Bakrie Institute dan Freedom Institute.

    KBI akan mendalami dan “intervensi” isu-isu pokok hubungan antarbudaya, industri budaya, jejaring data budaya, seni tradisi, perubahan budaya, dan orientasi budaya kaula muda Indonesia. Bertolak dari isu-isu pokok itu, maka kegiatan KBI dapat berupa kegiatan-kegiatan pembahasan tatap-muka, yang dapat berbentuk seminar, lokakarta, maupun diskusi-diskusi kecil yang tersebar. Juga ada penelitian, penerbitan (bentuk cetak, auditif maupun audia visual). (NAL)

    Sumber: Kompas

  • Gas Berbahaya di Gorong-gorong

    BPLS: Gas Jenis Metana dan Sangat Mudah Terbakar

    Sidoarjo, Kompas – Semburan gas yang mudah terbakar di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (8/4), semakin meluas dan merembes masuk ke gorong-gorong di tepi Jalan Raya Porong. Kondisi ini meresahkan warga karena membahayakan warga dan pengguna jalan.

    Yayak (35), salah seorang warga RT 12 RW 2 Desa Siring Barat yang rumahnya berada persis di depan gorong-gorong, merasa khawatir dengan adanya konsentrasi gas tersebut.

    “Kalau ada pengguna jalan yang membuang puntung rokok ke gorong-gorong itu, pasti akan langsung terbakar, rumah saya bisa langsung kena,” kata Yayak.

    Ia menuturkan, keadaan tersebut telah berlangsung sebulan terakhir. Bahkan, gas juga telah masuk ke dalam rumahnya melalui retakan-retakan yang muncul sejak dua bulan terakhir. “Bau gas itu menyengat sekali. Kalau malam, saya sekeluarga pusing-pusing,” ujar Yayak.

    Hal serupa dialami Sudarti (60). Bahkan, saat ini lantai di rumahnya terasa panas, sementara retakan-retakan di lantai dan tembok rumahnya juga semakin banyak.

    Karena kondisi seperti itu, Sudarti tidak lagi berani memasak atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan api karena khawatir terbakar. “Sekarang kalau mau memasak, terpaksa menumpang di rumah tetangga atau beli makanan jadi daripada rumah terbakar,” kata Sudarti.

    Sangat mudah terbakar

    Dari hasil pengukuran tim pemantau gas Fergaco di sekitar semburan lumpur Lapindo, kandungan low explosive limit (LEL)–gas mudah terbakar jenis metana–di gorong-gorong itu sudah melebihi 100 persen dalam radius 25 meter.

    “Artinya, gorong-gorong itu sudah berbahaya dan sangat mudah terbakar jika tersulut api,” ungkap Kepala Humas Badan Pelaksana Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain.

    Metana adalah gas yang sangat mudah terbakar. Kandungan metana 5-15 persen di udara sudah cukup untuk menimbulkan ledakan jika ada api. Namun, gas itu tidak beracun jika terhirup.

    Meskipun demikian, metana bisa menyebabkan orang mati lemas karena gas itu mengurangi konsentrasi oksigen yang dihirup manusia. Dalam gas tersebut, tidak ditemukan adanya kandungan gas beracun hydrogen sulfide (H2S).

    Achmad menjelaskan, sampai saat ini belum dapat dipastikan asal gas yang ada di gorong-gorong itu. “Ada kemungkinan gas berasal dari air yang membawa partikel gas dari sekitar Desa Siring yang mengalir ke gorong-gorong atau memang ada sumber gelembung gas di gorong-gorong tersebut,” katanya.

    Saat ini BPLS sedang memikirkan rencana meminimalkan risiko terjadinya kebakaran, apalagi gorong-gorong berada di pinggir jalan utama. Salah satunya adalah dengan memasang pita pengaman di sekitar muara gorong-gorong yang terhubung dengan sebuah kali kecil.

    “Selain itu, BPLS akan membuat ventilasi di sepanjang gorong-gorong agar gas dapat keluar dan tidak terkonsentrasi dalam jumlah besar,” kata Achmad.

    Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar yang dimintai penjelasan mengatakan bahwa sampai sekarang banyak ahli yang memaparkan teori tentang fenomena keluarnya gas di sekitar luapan lumpur Lapindo.

    Namun, salah satu penjelasan yang bisa dipakai tentang munculnya gas di gorong-gorong itu, menurut Andang, adalah struktur bawah tanah yang tertekan akibat materi lumpur yang keluar sehingga mengakibatkan gas ikut keluar ke permukaan dari celah-celah lapisan tanah.

    Menurut Andang Bachtiar, satu-satunya cara untuk mengatasi keluarnya gas di gorong-gorong adalah melokalisasi gas tersebut ke lokasi yang aman untuk kemudian dibakar.

    “Jika dibiarkan terkonsentrasi begitu saja, akan membahayakan karena mudah terbakar. Apalagi letaknya dekat dengan permukiman penduduk dan jalan raya,” kata Andang.

    Saat ini di Desa Siring Barat yang terdiri dari empat RT itu (RT 1, RT 2, RT 3, dan RT 12) terdapat sekitar 50 titik gelembung gas dan 4 titik semburan air bercampur gas.

    Puluhan rumah warga juga retak-retak, yang diduga terjadi akibat subsidence (penurunan tanah). Hal ini diduga kuat berkaitan dengan semburan lumpur Lapindo yang hanya berjarak sekitar 800 meter dari desa tersebut, yang menyebabkan kekosongan dalam tanah. (A13)

    Sumber : Kompas

  • Ganti Rugi Lapindo Tanah Nonsertifikat Bisa Dibuatkan Akta

    Sidoarjo, Kompas – Surat-surat bukti kepemilikan tanah selain sertifikat hak milik dan sertifikat hak guna bangunan milik korban lumpur Lapindo, seperti Letter C dan Petok D, bisa dibuatkan akta jual beli atau AJB tanah sehingga sah sebagai bukti untuk mendapatkan ganti rugi.

    Hal itu terungkap dalam dialog antara perwakilan warga korban lumpur Lapindo dari Desa Kedungbendo, Renokenongo, Jatirejo, serta Siring dan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso di Pendapa Kabupaten Sidoarjo, Selasa (5/8). Pada pertemuan itu dibahas status bukti kepemilikan tanah nonsertifikat serta mekanisme ganti rugi resettlement (pemukiman kembali).

    Menurut Sekretaris Daerah Sidoarjo Vinno Rudi Muntiawan, Badan Pertanahan Nasional menyepakati bahwa tanah milik korban lumpur, yang hanya memiliki Letter C atau Petok D, tidak dipermasalahkan untuk memperoleh ganti rugi. “Hal yang justru dipersoalkan adalah mekanisme ganti rugi dengan cara resettlement. Itu dasarnya dari mana?” tutur Vino.

    Hasil dialog tersebut disambut gembira ratusan warga empat desa yang menunggu di luar pendapa. Menurut Suwito, salah satu perwakilan warga Desa Jatirejo, dengan sahnya bukti kepemilikan nonsertifikat milik warga korban lumpur Lapindo, ia mendesak PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) segera merealisasikan pemberian ganti rugi.

    “Kami juga meminta Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) ikut memberi ganti rugi rumah warga yang termasuk dalam peta terdampak lumpur dengan bukti kepemilikan tanah berupa Letter C atau Petok D,” kata Suwito. Berpegang perpres Wakil Presiden PT MLJ Andi Darussalam Tabussala menyatakan, pihaknya tetap bersikukuh membayar sisa 80 persen ganti rugi kepada warga yang memiliki sertifikat tanah.

    “Kami tetap berpegang pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007, yang bisa kami bayar adalah yang bisa diukur, yaitu pemilik sertifikat hak milik. Selain itu tidak bisa kami bayar,” ujar Andi yang dihubungi melalui telepon.

    Wakil Ketua DPRD Sidoarjo Jalaludin Alham mengatakan, kedudukan PT MLJ dan warga korban lumpur sama-sama kuat berdasarkan Perpres No 14/2007. Menurut dia, dalam perpres tersebut memang tidak diatur bukti kepemilikan nonsertifikat bisa dibuat AJB.

    “Namun, pada perpres itu juga tidak diatur tentang resettlement. Warga bisa menolak itu,” katanya.

    Seusai pertemuan di Pendapa Kabupaten Sidoarjo, Bupati Sidoarjo menolak memberikan penjelasan lebih jauh. “Kita lihat saja praktik di lapangan nanti,” ujarnya singkat. (APO)

  • Menghirup Gas, 138 Warga Dirawat

    Semburan Lumpur Panas Semakin Meluas

    Sidoarjo, Kompas – Semburan lumpur panas dan gas alam di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, hingga Senin (5/6) atau hari kedelapan masih terus berlangsung dan bahkan area cakupannya semakin meluas. Sementara itu, 138 warga yang menghirup gas dibawa ke rumah sakit karena sesak napas.

    Gas putih yang baunya menyengat mirip amonia itu menyebabkan sejumlah warga pusing, sesak napas, dan tenggorokan terasa panas. Perumahan warga sekitar 150 meter dari titik semburan gas. Warga yang kesulitan bernapas dan mual-mual dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Pusat Pendidikan (Pusdik) Tugas Umum (Gasum) Porong yang dirujuk PT Lapindo Brantas—perusahaan penambang minyak dan gas di lokasi tersebut.

    Berdasarkan catatan Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Gasum, sebagian besar pasien adalah perempuan dan anak-anak. Hasil diagnosa menyebutkan, pasien rata-rata sakit pernapasan. Sebanyak 10 orang di antaranya rawat inap, sedangkan lainnya rawat jalan. Biaya perawatan ditanggung PT Lapindo Brantas.

    Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Gasum Komisaris Pancama Putra Hadi Wahyana mengatakan, “Ambulans kami siap 24 jam di permukiman warga.”

    Terus menyembur

    Kemarin lumpur panas dengan suhu sekitar 60 derajat Celsius dan gas terus menyembur. Intensitas dan volumenya pada siang hingga sore hari meningkat dengan tinggi sekitar 10 meter.

    Dari hamparan sawah Desa Siring sekitar 12 hektar, 95 persen di antaranya dibanjiri lumpur. Sisanya diperkirakan tak lama lagi akan terendam lumpur. Senin sore lumpur panas yang ditahan tanggul darurat tumpukan pasir sudah di atas permukaan Jalan Tol Surabaya-Gempol.

    Ditemui di lapangan, General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan volume semburan lumpur mencapai 5.000 meter kubik per hari. Imam mengatakan telah menurunkan tim mengkaji penanganan lumpur. Tim ini merupakan tim gabungan empat disiplin ilmu, yakni geoteknik, geohidrologi, teknik sipil, dan teknik lingkungan.

    Dr Adi Susilo, Kepala Laboratorium Geosains Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam (MIPA) Universitas Brawijaya, mengatakan, muncratnya (blow out) lumpur hidrokarbon pada sumur minyak Banjar Panji, Kabupaten Sidoarjo, yang dikelola PT Lapindo Brantas diduga karena faktor ketidakberuntungan.

    Pada saat penggalian, lubang galian yang belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai casing keburu menganga karena gempa bumi di Yogyakarta. Akibatnya terjadinya rekahan pada galian sehingga lumpur hidrokarbon muncrat.

    “Prosedurnya memang lubang galian pada bagian atas langsung ditutup beton. Namun, penutupan baru bisa dilakukan jika seluruh pekerjaan pengeboran selesai dan minyak mentahnya telah ditemukan,” katanya.

    Munculnya semburan lumpur di rumah warga, menurut Adi, merupakan gejala adanya rekahan tanah tidak hanya pada lokasi pengeboran, melainkan juga antara lokasi pengeboran dan rumah warga.

    “Jalan keluarnya memang Lapindo harus mengerahkan tenaga ahli yang lebih mampu, dan sangat mungkin hal itu harus didatangkan dari luar negeri, untuk menutup lokasi muncratan sumur. Tentang kerugian warga, mestinya itu ditutup dengan biaya asuransi yang sudah dibayar Lapindo,” ungkapnya. (LAS/ODY)

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.