Tag: mahkamah konstitusi

  • Korban Lapindo Memarahi Anggota DPRD

    indosiar.com, Sidoarjo – (Selasa : 29/04/2014) Warga korban lumpur Lapindo kembali mendatangi gedung DPRD setempat untuk menuntut pembayaran ganti rugi yang belum juga selesai. Pertemuan warga dengan anggota dewan berlangsung penuh amarah setelah warga merasa diabaikan.

    Puluhan korban lumpur Lapindo ini rencananya akan menemui anggota DPRD dan anggota pansus lumpur Lapindo untuk meminta klarifikasi putusan Mahkamah Agung terkait pembayaran ganti rugi bagi mereka. Namun mereka harus menelan kekecewaan karena tidak satupun anggota dewan yang menemui mereka.

    Terlanjur kecewa, korban lumpur ini kemudian menumpahkan kemarahan saat sejumlah anggota dewan mendatangi mereka. Kemarahan warga mereda setelah ketua pansus lumpur Lapindo mengajak warga berdialog di ruang rapat. Namun dialog kembali membuat warga kecewa. Karena anggota DPRD tidak memberikan jawaban yang memuaskan.

    Untuk kesekian kalinya, pihak DPRD Sidoarjo berjanji mendesak pemerintah mengambilalih tanggungjawab pembayaran ganti rugi, atau memberikan pinjaman kepada PT Lapindo. (Tim Liputan/Sup)

    Sumber: http://www.indosiar.com/fokus/korban-lapindo-memarahi-anggota-dprd_117316.html

     

  • Tak Ditemui Anggota Dewan, Korban Lumpur Lapindo Marah

    Tak Ditemui Anggota Dewan, Korban Lumpur Lapindo Marah

    Sidoarjo – Puluhan warga korban lumpur Lapindo mendatangi kantor DPRD Sidoarjo. Mereka datang atas undangan Emir Firdaus selaku ketua pansus lumpur Lapindo.

    Sayangnya kedatangan mereka awalnya justru ditolak Emir. Warga tidak diperkenankan masuk. Warga pun akhirnya bergerombol di area halaman parkir dalam gedung DPRD Sidoarjo. Mereka geram dengan sikap Emir.

    “Sebagai seorang anggota dewan harus bisa mengayomi, jangan hanya ada perlunya saja,” teriak Nanik, salah seorang warga korban lumpur lapindo, Senin (28/4/2014).

    Nanik mengatakan, warga oleh pihak kelurahan disuruh datang ke gedung DPRD Sidoarjo. Yang mengundang adalah Emir Firdaus. Namun Emir sendiri selaku pengundang justru tak ingin ditemui.

    “Ayo Emir cepat keluar, jangan hanya duduk dan sembunyi di balik jabatanmu sebagai anggota dewan,” tambah dia.

    Warga terus menghujat Emir. Mereka terus berteriak-teriak sehingga membuat gaduh gedung anggota dewa tersebut. Kemarahan warga yang terus memuncak dan makin memanas itu akhirnya membuat mereka diperbolehkan masuk. Mereka diizinkan masuk di ruang rapat DPRD.

    Warga akhirnya ditemui oleh Emir. Suasana masih memanas saat dilakukan hearing atau pertemuan antara warga korban lumpur lapindo dengan Emir. Warga ingin mengetahui maksud kenapa mereka dipanggil dan dikumpulkan di DPRD Sidoarjo.

    “Apa maksud dan tujuan kami untuk dikumpulkan,” kata Khosim salah satu warga korban lapindo lainnya.

    “Kami juga ingin mempertanyakan kenapa pembayaran belum dilunasi. BPLS masih terus bekerja melakukan penanggulan. Itu harus dihentikan,” tambah dia.

    Hingga pukul 13.00 WIB, suasana hearing di ruang rapat masih membahas mengenai pembayaraan pelunasan ganti rugi korban lumpur Lapindo, terutama membahas mengenai putusan MK. Ternyata masih banyak warga yang tidak memahami mengenai keputusan MK tersebut.

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2014/04/28/130405/2567376/475/tak-ditemui-anggota-dewan-korban-lumpur-lapindo-marah?9922032

     

  • Rakyat Menggugat Lapindo (Negara)

    Tanggal 26 Maret 2014 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan maklumat hukum baru yang memerintahkan negara untuk turun tangan mengatasi korban lumpur Lapindo, pembayaran ganti rugi belum juga selesai hingga 8 tahun berjalan.   

     

     

  • 5 Kekalahan Pemerintah atas Lapindo Brantas

    TEMPO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi korban lumpur Lapindo di lokasi peta terdampak, Rabu, 26 Maret 2014. Mahkamah membatalkan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013 karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi itu sama saja menguntungkan masyarakat yang masuk peta terdampak dan pihak Minarak Lapindo Jaya.

    Bagi pemerintah, menurut kuasa termohon, Mursid Mudiantoro, putusan itu berarti negara harus menalangi kewajiban PT Lapindo Brantas yang belum terbayar sekitar Rp 1,5 triliun sejak pembayaran macet pada 2008. “Kami selalu kalah melawan Lapindo. Kami berharap, dengan tangan negara melalui MK, hak kami bisa kembali,” ujarnya.

    Sejak tahun 2007, sedikitnya setiap tahun negara mengeluarkan minimal Rp 500 miliar untuk mengatasi lumpur Lapindo. Dengan kekalahan terakhir maka bakal ditambah Rp 1,5 triliun. Berikut ini sederet “kemenangan” PT Lapindo atas lumpur yang menenggelamkan 19 desa di Sidoarjo.

    1. Bencana Alam sebagai Penyebab

    Sampai enam tahun semburan lumpur Lapindo, tidak ada satu pun pihak Lapindo Brantas yang bisa disalahkan, kecuali karena bencana alam. Para tersangka yang berjumlah 13 dari pihak pengelola tidak bisa dipidanakan karena Polda Jawa Timur menghentikan penyidikan pada Agustus 2009.

    Sedangkan Paripurna DPR pada September 2009 pun menetapkan penyebab semburan Lapindo adalah bencana alam, bukan kesalahan manusia. Menurut Aburizal Bakrie, semburan Lapindo merupakan fenomena alam yang tidak pernah berhenti selama 30 tahun. “Bisa dibayangkan, tragedi muncrat lumpur ke permukaan mungkin dalam 30 tahun tak akan terselesaikan,” kata Ical, sapaan Aburizal, pada 14 Maret 2012 kepada Tempo.

    2. Dana APBN

    Presiden meneken Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (selanjutnya disebut BPLS). Dengan dibentuknya BPLS maka seluruh penanganan dampak semburan diambil dari dana APBN. Lapindo Brantas hanya mengurusi ganti rugi pada peta terdampak.

    Padahal kerugian di luar ganti rugi bagi korban sangatlah besar. Seperti laporan BPK, kerugian Biaya Ekonomi Langsung sampai Rp 19,8 triliun. Alokasi APBN untuk menangani Lapindo dari 2007 sampai 2012 mencapai Rp 6,4 triliun. Sedangkan Aburizal Bakrie mengaku sampai April 2012 sudah mengeluarkan Rp 9 triliun. “Sebenarnya berat karena setiap bulan kami harus mengeluarkan dana Rp 100 miliar,” kata Ical pada 14 Maret 2012.

    3. Gagal di Ranah Hukum

    Berbagai cara dilakukan untuk menggugat Lapindo Brantas. Pada April 2009, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait dengan penanganan perkara lumpur Lapindo.

    Sebelumnya, pada November 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan menolak gugatan perdata yang diajukan YLBHI dalam perkara penanganan korban lumpur Lapindo. YLBHI menggugat Presiden RI, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, BP Migas, Gubernur Jawa Timur, Bupati Sidoarjo, serta Lapindo Brantas Inc (Lapindo) sebagai turut tergugat. Majelis hakim menilai pemerintah dan Lapindo dianggap sudah melakukan upaya yang optimal. Atas putusan itu, YLBHI mengajukan banding. Setelah permohonan banding ditolak, mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

    Walhi pada Juni 2006 juga mengajukan gugatan class action terhadap PT Lapindo Brantas, pemerintah, dan BP Migas ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sayang, lagi-lagi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Desember 2007 menolak gugatan Walhi.

    4. Ganti Rugi Belum Lunas

    Menurut data BPLS sampai April 2012, dari seluruh nilai kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 3,831 triliun, baru dibayar Rp 2,910 triliun. Sisanya sebesar Rp 920,5 miliar masih belum jelas.

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam berjanji akan melunasi ganti rugi bagi korban pada akhir 2012. Namun kepastian itu bisa sirna karena Nirwan Bakrie pada Mei 2012 menyatakan Minarak Lapindo hanya sanggup membayar Rp 400 miliar. Sisa Rp 500 miliar ganti rugi yang masuk peta terdampak belum ada kepastian kapan akan dilunasi. Setidaknya, sampai Maret 2013, tanggungan ganti rugi Minarak Lapindo masih Rp 680 miliar.

    5. Penanganan Pusat Semburan

    Menurut BPLS, pusat semburan sudah bergeser sejauh 300 meter. Jumlah material semburan berupa air dan lumpur memang semakin berkurang. Pada awal letusan, semburan material mencapai 180 ribu meter kubik per hari. Sampai April 2012, semburan semakin berkurang menjadi 10-15 ribu meter kubik per hari.

    Meskipun begitu, sulit diketahui sampai kapan semburan lumpur akan berhenti. Awalnya, pada Agustus 2009, pemerintah mengambil alih penutupan pusat semburan. Namun, Juli 2010, pemerintah menyerah dan menetapkan untuk menyetop penghentian semburan Lapindo. Alternatif yang dipilih akhirnya mengalirkan lumpur melalui Sungai Porong.

    Analisis Journal of the Geological Society edisi Maret yang ditulis Tempo menyebutkan lumpur baru akan berhenti menyembur pada tahun 2037. Bayangkan, kolam penampungan lumpur sekarang sudah melebihi 6,6 juta meter persegi dengan panjang tanggul yang mengitari kolam mencapai 22,14 kilometer. Adapun tinggi tanggul berkisar 9-11 meter.

    EVAN | PDAT (Sumber Diolah Tempo, BPLS)

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/03/27/206565846/5-Kekalahan-Pemerintah-Atas-Lapindo-Brantas/1/0

  • MK Kabulkan Gugatan Warga Sidoarjo Soal Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 9 ayat (1) UU No 15 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013. MK juga menghapus tanggung jawab perbedaan ganti rugi antara Peta Area Terdampak (PAT) dan di luar PAT.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon,” kata Ketua Majelis Konstitusi Hamdan Zoelva dalam persidangan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (26/3/2014).

    Enam warga Sidoarjo, Jawa Timur, sebelumnya menguji materi pasal tersebut karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut berisi pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar PAT pada tiga desa. Ada pun bunyinya sebagai berikut:

    “APBN Tahun 2013 menyatakan, untuk untuk kelancaran Upaya Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun anggaran 2013 dapat digunakan untuk:

    a. Pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring dan Desa Pejarakan); dan sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo dan Kelurahan Mindi)”

    Para pemohon yakni Siti Askabul Maimanah, Rini Arti, Sungkono, Dwi Cahyani, Tan Lanny Setyawati, dan Marcus Johny Ranny adalah warga Sidoarjo yang sebelumnya tinggal di dalam PAT. Mereka mengaku dirugikan hak konstitusionalnya dan diperlakukan tidak adil dengan adanya UU tersebut.

    Warga di dalam PAT mengaku belum mendapatkan ganti rugi, padahal warga di luar PAT telah mendapatkan ganti rugi. Tuntutan mereka, korban lumpur Lapindo di dalam PAT mendapatkan hak yang sama dengan warga di luar PAT. Perbedaan ini yang membuat MK mengabulkan permohonan enam warga Sidoarjo tersebut.

    “Pasal 9 ayat (1) huruf a UU No 15 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN TA 2013 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Hamdan.

    “Sepanjang UU tersebut tidak dimaknai sebagai negara dengan kekuasaan yang ada harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah PAT oleh perusahaan yang bertanggungjawab untuk itu,” sambungnya.

    Hal ini menunjukkan Pasal 9 dalam UU APBN TA 2013 bertentangan dengan UUD 1945. Terutama Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang intinya mengenai penggunaan APBN untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. (vid/mad)

    Sumber: http://news.detik.com/read/2014/03/26/193846/2537837/10/mk-kabulkan-gugatan-warga-sidoarjo-soal-ganti-rugi-lumpur-lapindo

    [Putusan lengkap Mahkamah Konstitusi dapat dilihat di sini]

  • Kejanggalan Penanganan Lumpur Lapindo

    Kejanggalan Penanganan Lumpur Lapindo

    suarasurabaya.net – Mursid Mudiantoro, kuasa hukum korban Lapindo menduga ada permainan kebijakan di balik tak kunjung lunasnya ganti rugi bagi korban lumpur yang ada di dalam peta terdampak. Permainan ini, kata Mursid bisa diketahui dengan tidak dilaksanakannya surat Sri Mulyani, Menteri Keuangan bernomor S-358/MK.02/2009 tertanggal 16 Juni 2009.

    “Ada surat Sri Mulyani, yang ternyata berbeda dengan yang dilaksanakan BPLS,” kata Mursid ketika berbincang dengansuarasurabaya.net, Rabu (11/12/2013).

    Setelah surat dari Sri Mulyani yang ditujukan pada DPR RI dan BPLS itu, BPLS lantas mengirimkan surat terkait perubahan Peraturan Presiden (Perpres) tentang BPLS.

    Menurut Mursid, surat dari BPLS tertanggal 23 September 2009 ternyata berbeda dengan surat dari Sri Mulyani.

    Dalam surat Sri Mulyani, ditegaskan jika negara bisa memberikan dana talangan untuk pemberian ganti rugi bagi aset tanah dan rumah warga korban lumpur. Sedangkan untuk penanganan semburan yaitu membuat tanggul dan mengalirkan lumpur ke Sungai Porong harusnya ditanggung oleh Lapindo.

    “Tapi dalam suratnya, BPLS malah membalik dan minta penanganan pengaliran semburan lumpur diambil alih negara. Sedangkan pemberian ganti rugi tetap dibebankan pada Lapindo,” kata Mursid.

    Dengan adanya surat ini, presiden lantas mengeluarkan Perpres perubahan ke-tiga terkait BPLS, yaitu Perpres tahun 2009.

    Adanya kejanggalan ini, kata Mursid, juga telah dia ungkap dalam persidangan lanjutan uji materi terkait ganti rugi di Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (10/12/2013) kemarin.

    Bahkan dalam persidangan kemarin, surat dari Sri Mulyani dan dari BPLS ini juga telah diminta untuk dijadikan sebagai barang bukti tambahan.

    Mursid berharap, dengan adanya bukti tambahan ini, korban lumpur bisa memenangkan uji materi sehingga proses pemberian ganti rugi segera bisa diambil alih oleh pemerintah.

    Sekadar diketahui, saat ini korban Lapindo yang berada di dalam peta terdampak mengajukan uji materi terhadap Undang-undang nomor 15 tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 19 tahun 2012 tentang APBN khususnya pasal 9 ayait 1 huruf a tentang anggaran ganti rugi untuk korban lumpur.

    Gugatan di MK ini dimaksudkan untuk meminta keadilan sehingga warga yang berada di dalam peta terdampak yaitu warga Siring, Renokenongo, Jatirejo, dan Kedunggbendo segera mendapatkan proses pelunasan ganti rugi dan diambilkan dari dana APBN bukan lagi dari Lapindo.

    Sidang lanjutan sendiri akan digelar pada 17 Desember 2013 mendatang dengan agenda kesimpulan. (fik/ipg)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/128133-Kejanggalan-Penanganan-Lumpur-Lapindo

  • Korban Lumpur Lapindo Gugat UU APBN 2013

    Korban Lumpur Lapindo Gugat UU APBN 2013

    Metrotvnews.com, Jakarta: Merasa haknya belum dipenuhi oleh PT Lapindo Brantas, korban luapan lumpur lapindo gugat Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013 (UU APBN 2013) ke Mahkamah Konstitusi.

    Menurut kuasa hukum penggugat, Mursid Mudiantoro bencana akibat pengeboran minyak di Sidoarjo, Jawa Timur bukan hanya tanggung jawab Lapindo. Pemerintah pun seharusnya ikut bertanggung jawab

    “Kalau pengeboran itu berhasil, negara akan diuntungkan sangat besar, jadi negara sebenarnya harus ikut bertanggung jawab,” kata Mursid usai sidang lanjutan uji materi UU APBN 2013 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/11).

    Selama ini, ganti rugi yang dibebankan pada Lapindo terhadap warga di wilayah Peta Area Terdampak (PAT) belum juga dilunasi. Sejauh ini, Lapindo baru membayar ganti rugi sebesar Rp 3 triliun. Padahal, Rp 4,5 triliun masih harus dibayarkan oleh perusahaan milik Abu Rizal Bakrie ini.

    Ketimbang menunggu ketidakjelasan Lapindo, kata Mursid, sisa utang lebih baik dibayar pemerintah melalui APBN. Sebab selama ini korban yang ada diluar wilayah PAT diganti dengan dana APBN dan sudah lunas.

    “Untuk itu kami menggugat UU APBN agar wilayah dalam PAT ikut ditanggung APBN. Lagi pula kalau pemerintah membayar itu, maka tanah warga bisa menjadi milik negara,” imbuhnya.

    Kerugian lainnya, dialami oleh sejumlah pengusaha yang menjadi korban lumpur Lapindo. Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GBKLL) SH Ritonga, seluruh pengusaha korban luapan lumpur Lapindo sudah masuk daftar hitam perbankan. Imbasnya, mereka kesulitan mengajukan pinjaman untuk berusaha.

    “Seluruh pengusaha korban lumpur Lapindo di-blacklist. Kami tidak lagi dipercaya untuk mengajukan pinjaman,” keluhnya.

    Ritonga menyebutkan secara pribadi ia baru menerima uang ganti rugi 30% atau sejumlah Rp7,5 miliar. “Sebanyak Rp4 miliar itu saya gunakan untuk membayar pesangon pegawai saya yang berjumlah 900 orang,” imbuhnya.

    Atas dasar tersebut, para korban menggugat UU No 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN. Pasalnya, UU itu menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengganti kerugian korban yang berada di luar wilayah PAT, sedangkan bagi korban di dalam wilayah PAT ditanggung kerugiannya oleh PT Lapindo Brantas.

    Mereka pun ingin ganti rugi terhadap warga di wilayah PAT juga menjadi tanggungan negara. Pasalnya janji Lapindo untuk segera melunasi utangnya tak kunjung direalisasikan.

    Menanggapi tuntutan penggugat, Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial, Kementerian Sosial yang diwakili Hardi Prasetyo sebagai pihak pemerintah mengakui adanya keterlamatan pelunasan ganti rugi dari PT Lapindo. “Ini juga merupakan masalah BLPS. Tapi sesuai arahan presiden kita melakukan pengawasan dan membentuk tim independen agar ada percepatan,” kata Hardi dalam persidangan.

    Sebelumnya, dalam upaya pemenuhan hak atas tanah dan bangunan serta perlindungan hukum warga korban lumpur Lapindo, Pemerintah menerapkan dua pola penanganan, yaitu penanganan daerah PAT yang menjadi tanggung jawab  PT Lapindo Brantas dan daerah di luar PAT menjadi tanggung jawab pemerintah.

    Ketentuan tersebut ditindaklanjuti PT Lapindo dengan menunjuk PT Minarak Lapindo Jaya sebagai subyek hukum yang melakukan proses ganti rugi tanah dan bangunan di wilayah PAT dengan menggunakan perjanjian ikatan jual beli.

    Namun terdapat perbedaan nilai harga tanah dan bangunan antar korban. Padahal mereka sama-sama merupakan korban bencana lumpur.

    Bukan hanya itu, sejak 2009 PT Lapindo dinilai abai atas kewajiban pembayaran ganti rugi dan pelunasan tanah dan bangunan korban lumpur di Sidoarjo. Oleh sebab itu, penggugat yang merupakan korban lumpur meminta MK menyatakan Pasal 9 UU APBN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak menyertakan dan memasukan wilayah PAT yang terdiri dari Desa Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Ketapang dan Renokenongo.

    Mereka juga meminta MK memerintahkan Pemerintah dan DPR untuk memasukan wilayah tersebut dalam UU APBN/APBN-P tahun berikutnya sebagai tanggung jawab Pemerintah. (Lulu Hanifah)

    Sumber: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/28/1/197796/Korban-Lumpur-Lapindo-Gugat-UU-APBN-2013

  • Warga Korban Lumpur Lapindo Gelar Istighosah, Berharap Ganti Rugi Dibayar

    Warga Korban Lumpur Lapindo Gelar Istighosah, Berharap Ganti Rugi Dibayar

    Sidoarjo – Ratusan warga korban lumpur Lapindo di dalam peta terdampak menggelar doa bersama. Istighosah itu dilakukan di atas tanggul tepatnya di titik 42. Meski panas menyengat, tetapi mereka tetap khusyuk melakukannya.

    “Kami berdoa agar perjuangan rekan kami di Mahkamah Konstitusi (MK) berhasil,” kata Salamun, salah satu warga kepada detikcom, Kamis (28/11/2013).

    Salamu mengatakan jika 4 warga korban lumpur Lapindo di dalam peta terdampak telah berangkat ke Jakarta. Mereka adalah Wiwik, warga Desa Siring; Subakri, warga Desa Reno Kenongo; Suwito, warga Desa Reno Kenongo; dan Warno, warga Jatirejo.

    “Semoga perjuangan kami di sidang nanti membawa hasil,” lanjut Salamu.

    Warga berharap hasil sidang di MK nanti berhasil dengan digolkannya keputusan untuk membayar sisa pembayaran ganti rugi menggunakan dana APBN. “Kami berharap masalah ini diambil pemerintah dengan membayar kami menggunakan APBN. Kami sudah tak percaya lagi dengan Minarak Lapindo Jaya (MLJ),” ujar Salamu.

    Alasan Salamu memang masuk akal karena MLJ tak juga melunasi sisa pembayaran ganti rugi. 7 Tahun adalah waktu yang tidak pendek bagi warga korban lumpur Lapindo untuk menunggu.

    “Ganti rugi saya sekitar Rp 1 miliar. Tetapi saya masih diberi Rp 600 juta. Sampai kapan saya menunggu untuk hak saya. Kami berharap sidang di MK berjalan lancar dan hasilnya menggembirakan untuk korban lumpur Lapindo,” pungkas Salamu. (iwd)

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2013/11/28/113953/2426148/475/warga-korban-lumpur-lapindo-gelar-istighosah-berharap-ganti-rugi-dibayar

  • Pengusaha Korban Lumpur Lapindo Masuk Daftar Hitam Perbankan

    Pengusaha Korban Lumpur Lapindo Masuk Daftar Hitam Perbankan

    Massa dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berunjuk rasa di depan Istana Negara menuntut penyelesaian kasus lumpur Lapindo, Jakarta, Senin (29/4/2013). Menjelang 7 tahun musibah lumpur Lapindo Jatam menilai anak-anak korban lumpur Lapindo terancam masa depannya karena tersendatnya penyelesaian maslah tersebut. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
    Massa dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berunjuk rasa di depan Istana Negara menuntut penyelesaian kasus lumpur Lapindo, Jakarta, Senin (29/4/2013). Menjelang 7 tahun musibah lumpur Lapindo Jatam menilai anak-anak korban lumpur Lapindo terancam masa depannya karena tersendatnya penyelesaian maslah tersebut. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Gabungan Pengusaha di Sidoarjo Jawa Timur yang menjadi Korban lumpur PT Lapindo Brantas Inc mengaku kesulitan dalam berusaha karena mereka masuk dalam daftar hitam (black list) perbankan.

    “Seluruh pengusaha korban lumpur Lapindo di-‘blacklist’ perbankan. Kami tidak lagi dipercaya untuk mengajukan pinjaman,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GBKLL), SH Ritonga, saat menjadi saksi uji materi Undang-Undang APBN di MK, Jakarta, Kamis (28/11/2013).

    Ritonga menuturkan, pihaknya sangat kesulitan untuk berusaha karena sisa ganti rugi belum dilunasi PT Lapindo Brantas Inc. Untuk itu, mereka meminta pemerintah ikut memikirkan kesusahan para pengusaha tersebut.

    “Kami menginginkan, sebagai pengusaha yang menampung tenaga kerja dan turut menjadi tonggak perekonomian di Sidoarjo, dipikirkan juga oleh pemerintah,” kata dia.

    GBKLL menurut kini beranggotakan 26 perusahaan dari berbagai macam jenis usaha dan memiliki 15 ribu pegawai.

    Ritonga sendiri tidak menyebutkan total ganti rugi yang belum dibayarkan PT Lapindo. Dia hanya mengaku telah menerima ganti rugi sebesar 30 persen atau berjumlah Rp7,5 miliar.

    Sebanyak Rp 4 miliar, kata Ritonga, dihabiskan untuk membayar gaji dan pesangon pegawainya.

    Sekedar informasi, Mahkamah kembali melanjutkan uji materi Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang APBN.

    Uji materi UU APBN diajukan oleh para pemohon yang merupakan warga dan pengusaha korban lumpur lapindo, yang termasuk di dalam wilayah Peta Area Terdampak (PAT). Menurut pemohon, UU APBN menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengganti kerugian korban yang berada di luar wilayah PAT, sedangkan bagi korban di dalam wilayah PAT ditanggung kerugiannya oleh PT Lapindo Brantas.

    Pemohon uji materi tersebut adalah warga dan pengusaha korban lumpur lapindo, yang termasuk di dalam wilayah Peta Area Terdampak (PAT).

    Menurut pemohon, Undang-Undang APBN menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengganti kerugian korban yang berada di luar wilayah PAT, sedangkan bagi korban di dalam wilayah PAT ditanggung kerugiannya oleh PT Lapindo.

    Penulis: Eri Komar Sinaga; Editor: Johnson Simanjuntak

  • Sidang Perdana Korban Lapindo Digelar Pekan Depan

    Sidang Perdana Korban Lapindo Digelar Pekan Depan

    suarasurabaya.net – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menjadwalkan sidang perdana uji materi korban Lumpur Lapindo. Laman Mahkamah Konstitusi di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ menyebutkan sidang perdana uji materi korban lumpur ini akan digelar pada Senin 28 Oktober 2013 pukul 13.30 siang.

    Di laman tersebut, uji materi korban lumpur, bernomor perkara : 83/PUU-XI/2013, dengan pokok perkara pengujian UU Nomor 15 tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2013.

    Pemohon uji materi ini enam orang diantaranya adalah Siti Askabul Maimanah, dan Rini Arti, keduanya warga Renokenongo, Sidoarjo; serta empat orang direktur perusahaan korban lumpur. Dalam perkara ini, pemohon menguasakan ke Mursid Mudiantoro.

    “Untuk sidang awal ini adalah pemeriksaan pendahuluan,” kata Mursid pada suarasurabaya.net, Rabu (23/10/2013). Sidang pendahuluan sendiri berisi pemeriksaan pokok-pokok perkara yang diajukan untuk menyesuaikan dengan standar uji materi di MK.

    Sekadar diketahui, uji materi ini berkaitan dengan proses pemberian ganti rugi. Dalam UU APBN 2013, hanya menganggarkan pemberian ganti rugi bagi korban lumpur di luar peta terdampak. Sedangkan untuk warga dan perusahaan di dalam peta terdampak, maka ganti rugi dibayar oleh Lapindo Brantas Inc.

    “Jika kami memang, pemberian seluruh ganti rugi nantinya diambil alih sepenuhnya oleh negara, tidak ada lagi Lapindo,” kata Mursid. (fik/rst)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/126113-Sidang-Perdana-Korban-Lapindo-Digelar-Pekan-Depan

     

  • BPLS Berharap Korban Lumpur Menangkan Uji Materi di MK

    suarasurabaya.net – Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) berharap gugatan uji materi yang dilayangkan warga dan pengusaha korban Lapindo bisa menjadi solusi kebuntuan pembayaran ganti rugi yang selama ini terjadi.

    “Kami harapannya semua bisa segera selesai. Semoga ini bisa menjadi solusi,” kata Dwinanto, Juru Bicara BPLS ketika berbincang dengan suarasurabaya.net, Minggu (20/10/2013).

    Menurut Dwinanto, sebelum gugatan ini, pada tahun 2012 silam sebenarnya sempat ada warga korban lumpur yang melayangkan gugatan serupa ke MK. Saat itu warga malah menentang penggunaan dana APBN untuk pembayaran korban lumpur.

    Tapi untuk uji materi yang dilayangkan warga kali ini berbeda, warga malah mendesak APBN membiayai seluruh ganti rugi termasuk ganti rugi untuk korban yang berada di dalam peta terdampak.

    Dwinanto mengatakan, dalam Peraturan Presiden terbaru Nomor 37 tahun 2012, untuk ganti rugi yang ditanggung APBN meliputi warga di tiga kelompok. Kelompok pertama adalah warga di desa Besuki, Pejarakan serta Kedungcangkring. Selain itu juga ada warga di sembilan RT di Jatirejo Barat dan Siring Barat. Sedangkan kelompok ketiga adalah warga di 65 RT yang berada di radius kubangan lumpur lebih luar dari dua kelompok sebelumnya.

    Untuk kelompok pertama dan kedua, pembayaran ganti rugi dari APBN saat ini sudah hampir lunas dan hanya menyisakan beberapa berkas yang memang masih bermasalah dari sisi ahli waris. Sedangkan untuk pembayaran di 65 RT, tahun ini diharapkan juga sudah lunas.

    “Kalau saya berharap jika uji materi ini berhasil maka warga di dalam peta terdampak juga bisa segera dilakukan pelunasan,” kata Dwinanto.

    Sekadar diketahui, saat ini warga dan pengusaha korban lumpur yang berada di dalam peta terdampak melakukan uji materi terhadap undang-undang APBN 2013. Dalam uji materi ke MK ini, warga berharap negara bisa mengambil alih pelunasan ganti rugi.

    Ganti rugi bagi korban lumpur saat ini memang dibagi dua, di dalam peta terdampak dibayar Lapindo, sedangkan di luar peta terdampak dibayar oleh negara. (fik)

  • Aset Tanah Lumpur Lapindo Bisa Dikuasai Negara

    suarasurabaya.net – Mursid Mudiantoro SH, kuasa hukum korban lumpur Lapindo, Minggu (20/10/2013) mengatakan, jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi yang dia layangkan, maka negara wajib membayar sisa ganti rugi yang saat ini belum dibayarkan oleh Lapindo Brantas Inc.

    Dan meskipun hanya sisa ganti rugi senilai sekitar Rp 800 miliar yang harus dibayar, tapi seluruh tanah di dalam peta terdampak nantinya bukanlagi milik Lapindo melainkan milik negara.

    “Duit yang pernah dikeluarkan Lapindo itu bagian dari CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan. Jadi nanti meskipun yang dibayarkan negara hanya sebagian kecil ganti rugi, tapi aset tanah di dalam peta terdampak adalah milik negara,” kata Mursid, ketika berbincang dengan suarasurabaya.net, Minggu (20/10/2013).

    CSR ini, kata dia, setidaknya telah sesuai dengan Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga apa yang telah dikeluarkan oleh Lapindo memang bisa masuk kategori sebagai bagian dari CSR.

    Mursid juga mengatakan, yang digugat adalah APBN 2013 bukan APBN 2014, karena di APBN 2013 terdapat anggaran ganti rugi untuk warga korban lumpur. Sedangkan di APBN 2014 belum tentu ada pemberian ganti rugi.

    “Memang APBN 2013 sebentar lagi selesai, tapi saya yakin MK akan cepat menyelesaikan gugatan ini,” kata Mursid. Dalam aturan, gugatan ke MK memang hanya memerlukan waktu maksimal 60 hari. Artinya, sebelum dua bulan MK sudah harus memutus gugatan yang dilayangkan ini.

    Sekadar diketahui, warga korban Lapindo yang berada di dalam peta terdampak, saat ini melakukan uji materi terkait undang-undang pemberian ganti rugi ke MK. Dengan gugatan ini, negara diharapkan bisa mengambil alih tugas Lapindo untuk membayar ganti rugi di dalam peta terdampak. (fik)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/126000-Aset-Tanah-Lumpur-Lapindo-Bisa-Dikuasai-Negera

  • Alasan Korban Lapindo Menggugat ke MK

    Alasan Korban Lapindo Menggugat ke MK

    suarasurabaya.net – Mursid Mudiantoro SH, kuasa hukum korban lumpur lapindo yakin Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN khususnya pasal 9 ayat 1 huruf a tentang anggaran ganti rugi untuk korban lumpur.

    Keyakinan ini kata Mursid, karena adanya sejarah panjang problem penanggulangan dampak lumpur lapindo yang dimulai dari kesepakatan tanggal 22 maret 2007 antara Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, dan PT Lapindo Brantas Inc tentang penetapan peta tedampak.

    Atas kesepakatan itulah lantas keluar Peraturan Presiden nomor 14 tahun 2007 tanggal 8 April 2007 mengenai pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan memerintahkan pada Lapindo untuk membeli seluruh tanah warga di dalam peta terdampak.

    Peta terdampak sendiri meliputi areal di Desa Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Ketapang dan Renokenongo yang secara total jumlah dokumen bangunan dan tanah mencapai 13.237 berkas dengan nilai jual beli mencapai Rp 3,828 triliun lebih. Jumlah ini belum termasuk ganti rugi dengan sistem business to business terhadap 26 perusahaan yang juga tenggelam karena lumpur dengan nilai ganti rugi Rp 529 miliar lebih.

    “Dari total ganti rugi ini, ternyata hingga saat ini masih ada Rp 800 miliar yang belum dibayarkan Lapindo,” kata Mursid ketika berbincang dengan suarasurabaya.net, Minggu (20/1/2013). Padahal, sesuai amanat perpres, proses ganti rugi maksimal harus dibayarkan dua tahun setelah tragedi lumpur. Saat ini sudah memasuki tahun ke tujuh tragedi tersebut.

    Selain itu, ganti rugi bagi warga dan perusahaan di dalam peta terdampak juga harusnya lunas sebelum pelunasan ganti rugi di luar peta terdampak. Kenyataannya, saat ini seluruh ganti rugi di luar peta terdampak sudah lunas. “Jadi ada banyak kejanggalan di sini,” kata dia.

    Terkait status hukum, kata Mursid, juga telah ada putusan Mahkamah Agung pada 3 April 2009 yang menolak permohonan kasasi YLBHI, serta adanya putusan PT Jakarta pada 13 Juni 2008. Atas dasar ini, secara hukum Lumpur di Sidoarjo bukanlah kesalahan pengeboran, melainkan karena adanya fenomena alam.

    Polda Jawa Timur pada 5 Agustus 2009 juga telah mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dan menyatakan jika tidak ada unsur pidana dalam tragedi lumpur.

    Tak hanya itu, Mursid juga menemukan adanya pernyataan dari Lapindo jika mereka sudah tidak sanggup lagi membayar. “Saat ini sudah waktunya negara yang mengambil alih untuk memberikan ganti rugi bagi warga,” kata dia.

    Sekadar diketahui, saat ini warga dan pengusaha korban lumpur memang menggugat ke Mahkamah Konstitusi dan berharap negara bisa mengambil alih pembayaran ganti rugi. (fik)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/125999-Alasan-Korban-Lapindo-Menggugat-ke-MK

  • Korban Lapindo Uji Undang-Undang Ganti Rugi ke MK

    Korban Lapindo Uji Undang-Undang Ganti Rugi ke MK

    suarasurabaya.net – Korban Lapindo yang berada di dalam peta terdampak mengajukan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN khususnya pasal 9 ayat 1 huruf a tentang anggaran ganti rugi untuk korban lumpur.

    Pemohon mendalilkan bahwa tidak ada keadilan dalam undang-undang tersebut. “Korban di luar peta terdampak dapat ganti rugi dari APBN, sedangkan yang di dalam peta terdampak tidak dapat, ini yang kami uji,” kata Mursid Mudiantoro, kuasa hukum pemohon ketika berbincang dengan suarasurabaya.net, Minggu (20/10/2013).

    Menurut Mursid, korban lapindo yang memberikan kuasa pada dirinya, tidak hanya mayarakat melainkan juga para pengusaha korban lumpur yang hingga saat ini tak kunjung mendapatkan pelunasan ganti rugi.

    Sebagai korban lumpur, kata Mursid, baik warga maupun perusahaan yang ada di dalam peta terdampak yaitu empat desa Siring, Renokenongo, Kedungbendo, dan Jatirejo merasa tidak mendapatkan perlakuan yang adil karena ganti rugi dibebankan ke Lapindo, sedangkan di luar mereka ganti rugi dibayar oleh pemerintah dan tahun ini sudah lunas.

    Menurut Mursid, mereka mendaftarkan gugatan ke MK pada 19 September dengan nomor perkara 83/PUU-XI/2013. Dalam gugatan ini, sebagai pemohon adalah enam orang yaitu Siti Askabul Maimunah, dan Rini Arti warga Renokenongo; serta empat orang lagi adalah para direktur perusahaan korban lumpur.

    Beberapa direktur perusahaan yang ikut menggugat di antaranya adalah direktur CV Mitra Jaya Sidoarjo; PT Victory Rottanindo; PT Pramono Irindo Jaya; serta PT Oriental Samudera Karya.

    Keenam orang ini lantas menguasakan gugatannya ke tiga orang pengacara yaitu Mursid Mudiantoro, Mustofa Abidin, dan Imam Syafi’i yang kesemuanya adalah para advokat pada kantor Law Office Mursyid, Syamsul dan Partners. “Rencanannya jadwal sidang perdana akan digelar minggu ini,” kata Mursid. (fik)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/125993-Korban-Lapindo-Uji-Undang-Undang-Ganti-Rugi-ke-MK

     

  • Sudah Triliunan, Kok Belum Semua Korban Lapindo Dapat Ganti Rugi?

    Sudah Triliunan, Kok Belum Semua Korban Lapindo Dapat Ganti Rugi?

    JAKARTA, KOMPAS.com — Pengucuran dana dari APBN untuk penanganan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, terus menjadi polemik. Ada yang pro atas kebijakan pemerintah menyikapi lumpur Lapindo. Ada pula yang mengkritik. Lalu, sampai kapan pemerintah harus mengucurkan dana dari rakyat untuk semburan lumpur Lapindo? (more…)