Tag: pendidikan

  • Sekolah Korban Lumpur Lapindo belum Dapat Ganti Rugi

    Sekolah Korban Lumpur Lapindo belum Dapat Ganti Rugi

    Metrotvnews.com, Sidoarjo: Selain ribuan pemukiman, jalur transportasi dan tempat ibadah, luberan lumpur Lapindo di Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo juga menenggelamkan puluhan bangunan sekolah. Ironisnya, bangunan sekolah yang tenggelam belum mendapatkan ganti rugi sehingga mengganggu proses belajar mengajar.

    Madrasah Aliyah Kholid bin Walid menjadi satu dari puluhan sekolah yang direndam lumpur Lapindo. Bangunan sekolah di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, lenyap ditelan lumpur. Sekolah pun sudah berpindah tempat lima kali. Kini, murid dan guru MA Kholid bin Walid beraktivitas di gedung sewaan Desa Glagah Arum, Kecamatan Porong.

    Yayasan Kholid bin Walid belum menerima ganti rugi sepeser pun dari PT Minarak Lapindo Jaya. Saat ini, Madrasah Kholid bin Walid masih memiliki 64 siswa yang terbagi dalam tiga kelas yaitu kelas X, XI dan XII. Hampir separuh siswa merupakan anak-anak korban lumpur Lapindo.

    Pihak sekolah memberikan dispensasi pada anak korban lumpur, baik kedatangan ke sekolah maupun uang SPP. Walaupun dalam kondisi serba terbatas, pihak yayasan berkeinginan agar sekolah ini tetap hidup untuk membantu pemerintah mencerdaskan bangsa.

    Sayangnya, meski dalam kondisi memprihatinkan, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo kurang memperhatikan nasib sekolah korban Lapindo ini. Bantuan untuk siswa miskin dari dinas pendidikan justru dikurangi.

    Demikian pula bantuan dana untuk siswa miskin dari Kementerian Agama yang sudah dihentikan sejak satu semester terakhir. Padahal, hasil ujian nasional siswa sekolah itu dalam beberapa tahun terakhir selalu mencapai seratus persen.

    “Kami sudah beberapa kali menemui pihak PT Minarak Lapindo Jaya. Namun, selalu tidak jelas,” kata Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Kholid bin Walid, Ali Masad, di Sidoarjo, Senin (8/12/2014).

    Harapan juga diungkapkan siswa kelas XII MA Kholid bin Walid, Ayu. Dia meminta Lapindo atau pemerintah memperhatikan nasih sekolahnya. Sebab kondisi sekolah ini tidak layak, berada di tengah pemukiman warga dan lahan yang sempit.

    “Kami berharap ganti rugi segera diberikan demi nasib belajar-mengajar adik-adik kelas kami selanjutnya,” kata Ayu.

    Entah kapan sekolah ini mendapatkan ganti rugi senilai Rp4 miliar. Apalagi, PT Minarak Lapindo Jaya sudah menyatakan tidak memiliki uang untuk membayar ganti rugi korban lumpur. 

    Heru Susetyo

    Sumber: http://news.metrotvnews.com/read/2014/12/08/329067/sekolah-korban-lumpur-lapindo-belum-dapat-ganti-rugi

  • Pemkab Baru Bangun SD Terdampak Lumpur

    SURYA Online, SIDOARJO – Pemkab Sidoarjo baru membangun sebuah sekolah dari 13 sekolah yang ditenggelamkan lumpur Lapindo di wilayah Porong. Sekolah yang sudah dibangun yakni SDN Kali Sampurno 3, Tanggulangin.

    Kepala Bidang TK/SD Dinas Pendidikan (Dindik) Sidoarjo, Drs. Joko Supriyadi, mengatakan, SDN Kali Sampurno 3 diharapkan bisa menampung siswa yang sekolahnya tenggelam lumpur.

    “Gedungnya bagus dan dibuat dua lantai, kalau dari segi fisik SDN itu termegah se-Sidoarjo. Lokasinya di sekitar Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II,” jelasnya, Jumat (25/7/2014).

    Sekolah yang dibangun cukup  besar sehingga biaya perawatannya cukup lumayan mahal. Kapasitas maksimal bisa 12 rombongan belajar. Satu rombel bisa sekitar 36 – 40 anak. “Jadi totalnya bisa menampung sekitar 400 – 500 siswa,” jelas Joko Supriyadi.

    Fasilitas yang ada cukup lumayan seperti ruang kantor, ruang guru, ruang lab, ruang rapat, perpustakaan, ruang UKS, dan termasuk gudang. “Biaya sekolah sharing dengan pusat, yaitu 6 lokal dari BNPB dan 6 lokal yang lain dari APBD,” ujarnya.

    Lembaga sekolah dasar yang tenggelam di antaranya SDN Siring, SDN Kedungbendo 1, 2, 3, SDN Reno Kenongo 1, 2, 3. Kemudian yang terdampak  itu mulai dari SDN Jatirejo, SDN Besuki, SDN Pejarakan dan yang terakhir SDN Mindi 1, 2, 3 dan SDN Ketapang. Sekolah yang tenggelam dan terdampak diharapkan segera ada gantinya, karena jumlah SDN di Sidoarjo makin lama makin menyusut.

    “Menyusutnya karena persoalan merger atau persoalan lain. Sementara jumlah penduduk terus meningkat, tentunya jumlah siswa juga akan terus meningkat,” ungkap Joko.

    © Anas Miftakhudin | Tribunews.com | 25 Juli 2014

    Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2014/07/25/pemkab-baru-bangun-sd-terdampak-lumpur

  • Kesulitan Biaya Pendidikan, Anak Korban Lapindo Terancam Dikeluarkan

    Sidoarjo, korbanlumpur.info | Sudah lebih dari tujuh tahun kasus Lumpur Lapindo berlangsung. Pihak Lapindo Brantas, Inc yang seharusnya bertanggungjawab melunasi sisa ganti rugi korban yang termasuk dalam Peta Area Terdampak 22 Maret 2007 tidak menyelesaikan kewajibannya. Bahkan negara, yang seharusnya menjamin hak-hak pendidikan anak-anak, tidak hadir menyelesaikan persoalan yang membelit warga.

    Setidaknya apa yang dialami Indah Susanti, salah satu anak korban Lapindo dari Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, bisa menggambarkan ketiadaan tanggung jawab para pihak tersebut. Ia sedang menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) PGRI 5 Sidoarjo terancam dikeluarkan dari sekolah lantaran siswa kelas tiga ini belum bisa membayar daftar ulang sebesar 650 ribu rupiah dan tunggakan dua bulan SPP sebesar 600 ribu.

    Menurut ibunya, Satumi (52 Tahun), anaknya sejak masuk kelas tiga pada bulan Agustus 2013 belum bisa melunasi tunggakan biaya sekolah. Ia yang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Porong hanya berpenghasilan pas-pasan dan tidak cukup membiayai sekolah anaknya. Tumi, panggilan kesehariannya, mengandalkan pembayaran cicilan ganti rugi dari Lapindo. Padahal cicilan ganti rugi dari Lapindo yang seharusnya dibayar per bulan tidak sekalipun dibayarkan pada tahun 2013 ini.

    “Jum’at kemarin anak saya pulang pagi dan menangis. Katanya mau dikeluarkan dari sekolah kalau tidak segera melunasi tunggakannya. Saya bingung apalagi ganti rugi belum juga keluar,” cerita Tumi.

    Tumi yang anggota kelompok belajar Ar-Rohma, kelompok perempuan para korban Lapindo, mendiskusikan persoalan yang ia hadapi dengan anggota lain kelompok itu. Pada Sabtu (31/8) ditemani Harwati, kordinator Ar-Rohma, ia menemui kepala sekolah SMK PGRI 5 untuk meminta keringanan biaya. Namun, upaya yang dilakukan tak menemukan solusi yang meringankan untuknya. Pihak sekolah tidak mau tahu persoalan kesulitan biaya yang dialaminya. Pihak sekolah hanya memberi batas waktu sampai tanggal 30 September 2013 kepada Susanti untuk melunasi tunggakan.

    “Saat menemui pihak sekolah, mereka malah memberikan pilihan berhenti sekolah atau melunasi biaya tunggakan. Padahal kami hanya meminta waktu sampai cicilan ganti rugi dari Lapindo dibayar. Tapi lha kok malah hanya dikasih waktu sampai bulan depan. Kalau tidak bisa melunasi, Susanti akan dikeluarkan,” kata Harwati.

    Harwati menyesalkan pernyataan dari pihak sekolah yang hanya memberikan batas waktu sampai akhir bulan September 2013 untuk melunasi tunggakan biaya. Padahal jika dicermati, rincian biaya daftar ulang yang tertunggak itu ternyata untuk biaya kaos olahraga, atribut sekolah, dan SPP bulan Juli. Seharusnya pihak sekolah bisa memberikan keringanan atau mendapatkan kelonggaran waktu sampai Tumi memeiliki biaya untuk membayar.

    “Bu Tumi ini kan janda, dia cuma mengandalkan dagang sayur di pasar. Masak tidak mendapatkan keringanan. Padahal kami sudah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya kondisi ibu Tumi saat ini yang kesulitan keuangan,” tutur Harwati. Ia bersama kelompok Ar-Rohma masih berusaha untuk membantu persoalan yang dialami Tumi.

    Dengan kondisi semacam ini, Tumi hanya bisa berharap Lapindo unuk segera melunasi sisa ganti rugi aset tanah dan bangunan warga. “Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Saya berharap Lapindo segera melunasi sisa pembayaran ganti rugi saya agar saya bisa membiayai sekolah anak saya,” kata Tumi dengan meneteskan air mata.

    Kepada pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya, korban seperti Tumi berharap tak muluk. Mereka hanya ingin pemerintah lebih tegas kepada  perusahaan agar menepati janji, demikian halnya perusahaan untuk segera selesaikan tanggung jawab pembayaran ganti rugi. Ini semua agar pendidikan anak-anak mereka tidak terbengkalai.(Vik)

  • A report from the Lapindo mud flow

    A report from the Lapindo mud flow

    It is astonishing in size. The mud stretches as far as the eye can see and it still has steam billowing out from the middle of it. We are in Surabaya in the East of Java, Indonesia, where we have travelled with JATAM (the Indonesian anti-mining network) to the site of the ‘Lapindo mud flow.’

    The mud flow gets its name from ‘Lapindo Brantas,’ the company responsible for the disaster. In 2006, Lapindo caused a gas-well blowout, which triggered the mud flow. It has swallowed 22 villages and displaced thousands of people, many of whom have only received a small proportion of the compensation that they are due. Some of the companies involved with the disaster have received funding from the UK finance sector. (more…)

  • Korban Lapindo Bertemu Komisi D DPRD Sidoarjo

    Korban Lapindo Bertemu Komisi D DPRD Sidoarjo

    Sidoarjo, korbanlumpur.info — Sekitar 30 warga korban Lapindo yang tergabung dalam kelompok belajar Ar-Rohma hari Senin (3/6) mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo. Tujuan kedatangan warga kali ini adalah ingin menyampaikan persoalan pendidikan dan kesehatan yang selama tujuh tahun belakangtidak mendapatkan perhatian dari Lapindo maupun pemerintah.

    Kelompok warga yang mayoritas perempuan itu langsung ditemui Mahmud, ketua Komisi D DPRD Kabupaten Sidoarjo. Warga langsung menyampaikan aspirasinya terkait persoalan pendidikan dan kesehatan yang tengah mereka hadapi. Mulyani, seorang anggota Ar-Rohma dari Desa Jatirejo, menyampaikan perihal anaknya yang saat ini terancam tidak bisa mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) karena masih menunggak biaya UAS dan tiga bulan SPP.

    “Saya hanya tukang jahit. Dulu sebelum lumpur menenggelamkan kampung saya, pendidikan tidak menjadi masalah buat saya. Di tempat baru sekarang, saya mati-matian mencari uang untuk membiayai anak saya sekolah.  Sudah 3 bulan saya belum bisa membayar SPP anak saya. Anak saya diancam tidak bisa mengikuti UAS kalau belum bisa melunasi SPP,” cerita Mulyani, yang kini tinggal di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II.

    Nur Hadi Setiyawan, siswa SMU Walisongo, Gempol, juga terancam tidak menerima ijazah. Pasalnya sejak kelas 1 sampai kelas 3 dirinya juga sering menunggak SPP. Total biaya SPP yang belum dilunasi hampir sebesar 3 juta rupiah. “Anak saya tahun ini lulus SMU, tapi kami belum bisa mengambil ijazahnya karena belum bisa melunasi SPP dan biaya Ujian Nasional,” keluh Nur Ali, orangtua Nur Hadi.

    Menanggapi persoalan pendidikan korban Lapindo tersebut, Mahmud berjanji akan segera menindaklanjutinya. Politisi dari Fraksi PAN ini dalam waktu dekat akan mengundang Dinas Pendidikan dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    “Dalam waktu dekat kami akan mengundang Dinas Pendidikan dan BPLS untuk membicarakan hal ini. Disiapkan saja data anak-anak yang putus sekolah dan yang kesulitan biaya agar bisa ditindak lanjuti,” janji Mahmud.

    Harwati, Kordinator Kelompok Belajar Ar-Rohma, sangat berharap anggota dewan dari Komisi D bisa membantu persoalan warga. Menurutnya selama ini korban Lapindo sudah menderita. Ganti-rugi aset tanah dan bangunan tidak menyelesaikan masalah. Bahkan banyak warga yang kini semakin menderita.

    “Banyak anak-anak korban Lapindo yang putus sekolah. Banyak warga yang kehilangan mata pencaharian, yang lalu kesulitan membiayai sekolah anak-anaknya. Jaminan kesehatan juga sama sekali tidak diperhatikan. Kami berharap Komisi D bisa membantu kami untuk mengatasi masalah ini,” ungkap Harwati di akhir pertemuan.

    Lebih lanjut Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur yang juga ikut dalam pertemuan itu sangat berharap pemerintah lebih memperhatikan persoalan pemulihan pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

    “Kasus lumpur Lapindo ini sudah tujuh tahun berjalan, seharusnya negara juga menjamin dan memulihkan hak-hak korban Lapindo. Persoalan pemulihan pendidikan, kesehatan dan ekonomi juga harus menjadi prioritas,” ungkapnya.

    © Ahmad Novik untuk korbanlumpur.info

  • For the Future

    Since May 2006, the Lapindo mudflow destroyed the lives of the people in eight villages in Porong, Sidoarjo, East Java. Besuki village is one of them, and this is their story. This film was screened and discussed by the Besuki villagers at Camp Sambel.

    © engagemedia.org | 29 Juni 2012

  • Nasib SDN Besuki

    Daris Ilma – 25 Januari 2013

    Di sudut Desa Besuki yang sebagian wilayahnya tenggelam oleh Lumpur Lapindo masih terlihat aktifitas di SDN Besuki. Sekolah yang terletak di sisi selatan tanggul penahan Lumpur Lapindo ini mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di musholla sekolah. Kondisi sekolah yang tidak terawat, adanya genangan air ditambah dengan bau Lumpur Lapindo tak mengurangi semangat anak-anak untuk datang ke acara ini. Lantunan sholawat nabi terdengar jelas dari bibir mereka. (more…)

  • Marjinal: Jangan Padamkan Semangat

    “Untuk hari ini, apa yang teman-teman rasakan setidaknya itu bisa jadi bagian pengetahuan yang akan dipahami dan dimengerti oleh teman-teman yang lain agar bisa saling menjaga lebih baik dan tetap semangat,” ujar Maik Marjinal.

    Apa yang terjadi hari ini adalah pelajaran buat ke depan. Apa yang terjadi pada anak-anak di wilayah semburan lumpur Lapindo adalah pembelajaran bagi anak-anak yang lain untuk tidak mengalami pengabaian yang sama. Jangan padamkan semangat.

    Pesan dari MARJINAL ini merupakan bagian dari solidaritas musisi Indonesia untuk menyelamatkan pendidikan anak-anak korban Lapindo.

  • Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo

    Seribu Rupiah untuk Pendidikan Anak-Anak Korban Lumpur Lapindo

    Uang seribu rupiah, bukanlah jumlah yang banyak dan juga tidak sedikit, apalagi buat anak-anak, terutama anak-anak korban lumpur Lapindo. Lumpur lapindo telah menenggelamkan rumah, sawah, sekolah dan tempat mencari nafkah orangtua mereka. Keceriaan dan masa depan mereka turut ditenggelamkan oleh lumpur Lapindo. (more…)

  • Empowering Children Community in Porong

    Empowering Children Community in Porong

    The onset of mudflow disaster was at 10.00 p.m., on 29 May 2006. It was initiated by leakage of hydrogen sulfide (H2S) gas in the area of gas exploration rig in Banjar Panji 01, managed by Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) in Renokenongo Village. The seepage was first characterized with the burst of white smoke from cracked ground. The height of the smoke about 10 meter. The white gas followed with mudflow to the land of local people.

    The mudflow certainly leads to serious traffic jams and distortions in toll road and railway transportation flows. The State Owned Railway Enterprise (PT. Kereta Api) sometimes has to heighten the railway sleepers due to the mudflow. The local people sadly have to evacuate their homes and stay in evacuation points , especially in the Hall of Kedung Bendo Village, Porong Sector Police Department and Pasar Baru Market that is newly constructed by the Regency Government of Sidoarjo. (more…)

  • Sekolah Tenggelam, Ujian Nasional Numpang

    Sekolah Tenggelam, Ujian Nasional Numpang

    32 siswa MA Khalid bin Walid mengikuti ujian nasional di rumah kepala sekolahnya di Desa Glagaharum, Porong, Sidoarjo. Hal ini dikarenakan gedung sekolah utama di Desa Renokenongo terendam lumpur sejak 24 Oktober 2008 silam.

    Sudah dua kali MA Khalid bin Walid menyelenggarakan UAN di luar gedung utama. Pada tahun 2009, sekolah ini mengadakan UAN di toko bahan bangunan dan tahun ini di rumah kepala sekolahnya yang berjarak 50 meter dari toko bahan bangunan.

    Salah satu siswa, Ika Fatma Riawanti (18) mengakui kalau rumah tempat belajarnya sekarang sangat tidak memenuhi standart untuk proses belajar mengajar. Ika juga berharap supaya pihak terkait merelokasi sekolahnya agar adik kelasnya nanti bisa melaksanakan UAN di gedung sekolah yang layak. (fahmi)

    This slideshow requires JavaScript.

  • Kisahku

    Kisahku

    Hampir 12 tahun sudah aku duduk di bangku sekolah. Mengenyam pendidikan yang semakin tahun semakin susah untuk didapatkan.

    Banyak anak yang putus sekolah. Beralih pada pekerjaan yang menghasilkan uang. Mungkin yang ada di benak mereka adalah “Daripada sekolah menghabiskan uang, lebih baik bekerja menghasilkan uang.” Di perempatan jalan dan lampu merah mereka mencari rezki. Apapun mereka lakukan agar dapat merasakan sesuap nasi. Membersihkan kaca mobil, mengamen bahkan meminta-minta. Mereka semua adalah mereka yang tidak bisa merasakan bangku sekolah. Mereka masih seumuran denganku, bahkan ada yang masih seumuran dengan adikku yang kini kelas 5 SD.

    Aku adalah salah satu dari mereka yang beruntung. Aku sangat bersyukur atas semua yang ada padaku. Aku bisa merasakan indahnya bangku sekolah selama hampir 12 tahun. Masa-masa indah yang aku rasakan selama sekolah mungkin tak pernah dirasakan oleh mereka yang putus sekolah. Ya… aku memang beruntung.

    Saat lulus SD aku mendaftar ke Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN). Dan keberuntungan itu berpihak padaku. Aku diterima di salah satu SMP Negri yaitu Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong.

    Setiap manusia tak selamanya memperoleh keberuntungan dalam hidupnya. Begitu pula denganku. Saat aku kelas 2 SMP, sekolah tempat aku menuntut ilmu tenggelam oleh Lumpur Lapindo. Semua pasti tahu apa, siapa dan bagaimana Lumpur lapindo itu. Aku dan seluruh siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong harus berkali-kali berpindah tempat agar kami tetap mendapatkan pelajaran.

    Terakhir kalinya kami harus menumpang di Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 1 Porong. Lokasinya sangat jauh dari rumahku. Setiap hari aku harus mengayuh sepedaku sejauh 4 km. Bisa dibayangkan, di siang yang terik saat sebagian orang sedang beristirahat dari segala kativitasnya, aku dan yang lain harus berangkat sekolah. Baru ketika aku kelas 3, hati pihak lapindo tergelitik untuk mengantarkan kami yang rumahnya jauh dari lokasi sekolah. Mereka mengirimkan beberapa truk polisi untuk mengantar kami.

    Saat Ujian Nasional (UNAS) pun lagi-lagi kami harus menumpang. Kali ini kami meumpang di Sekolah Menengah Atas Negri (SMAN) 1 Porong. Dengan segala rintangan yang telah kami hadapi akhirnya kami semua dinyatakan lulus. Kami semua sangat senang. Tapi saat kami semua merayakan kelulusan, teryata Sekolah Menengah Pertama Negri (SMPN) 2 Porong sudah tak terlihat dari permukaan. Seolah itu benar-benar telah tenggelam.

    Selanjutnya, aku daftar di salah satu SMA Negri. Tapi sayang, keberuntungan memang tak berpihak padaku. Aku dinyatakan gagal. Akhirnya, mau tak mau aku harus menerima itu semua. Kini aku menuntut ilmu di sekolah swasta di seberang desaku.

    Malang tak dapat ditolak. Sawah milik ayahku terendam Lumpur Lapindo. Ugh….. aku berteriak sekeras yang aku bisa. Aku ingin berkata “Sampai kapan aku dihantui oleh Lumpur Jahannam itu???????!”

    Saat itulah kondisi ekonomi keluargaku mulai memburuk. Areal persawahan kini tak bisa ditanami apapun. Dulu ketika aku masih SMP, pembayaran SPP atau yang lain tak pernah telat. Tapi kini? Hampir beberapa bulan aku tak bisa membayar SPP. Aku selalu telat. Aku malu pada tean-temanku. Tapi aku harus sadar. Dengan apa aku membayar SPP itu? Aku tak boleh kalah dengan malu.

    Saat kelas 2 SMA Lumpur Jahannam itu kembali mengusikku. Desa tempat aku tinggal, sebagian tenggelam oleh Lumpur Lapindo karena jebolnya tanggul penahan Lumpur Jahannam itu. Yang lebih parah, hanya sebagian desa saja yang dianggap sebagai korban. Desaku memang terbelah enjadi dua sejak adanya proyek pembangunan jalan tol yang menghubungkan Sidoarjo-Malang.

    Wilayah yang dianggap sebagai korban ialah mereka yang berada di sebelah Barat Tol. Sedangkan kami yang berada di wilayah Timur Tol harus menerima ketidakadilan. Padahal pepohonan di wilayah kami telah mati akibat luberan lumpur begitu juga dengan air. Air kami telah tercemar. Contohnya saja diumahku. Semula banyak orang yang mengambil air di sumurku karena airnya sangat jernih dan segar. Tapi sekarang? Air di rumahku sangat keruh dan berasa pahit? Apa itu bukan korban? Coba pikir lagi. Banyak orang mengira aku adalah orang kaya yang telah mendapat ganti rugi. Mereka salah! Mereka tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tak tau ketidakadilan yang terjadi.

    Mereka yang dianggap sebagai korban juga mendapatkan perlakuan tidak adil. Semua orang berkata “Ganti Rugi”. Padahal itu bukan ganti rugi. Itu adalah sebuah proses jual beli antara pihak Lapindo dan mereka yang dianggap sebagai korban. Dalam setiap proses jual beli tentu ada kesepakatan antara kedua pihak. Tapi dalam permasalahan ini tidak ada kesepakatan sama sekali. Mereka yang dianggap sebagai koraban harus mau menerima apa yang telah ditetapkan oleh pihak Lapindo. Sungguh tidak adil.

    Kami hanya ingin diakui sebagai korban dari koorporasi Mu! Aku tau siapa diriMu! Aku tau siapa namaMu! Aku tau siapa penyebab penderitaan kami semua! Tapi aku tak ingin menyebutkan siapa namaMu! Karena hanya akan membuat sakit hatiku. Kau dalah orang yang serakah!

    Aku harus mengikuti program beasiswa yang diperuntukkan bagi keluarga miskin agar aku bisa tetap sekolah. Di kelasku hanya beberapa anak saja yang mengikuti program itu. Malu? Kini tidak ada kata malu dibenakku. Rasa malu itu hilang seiring dengan penderitaan yang aku alami sejak Lumpur Jahannam meluap. Hingga kelas 3 ini aku masih mengikuti program itu.

    Ujian Nasional (UNAS) tinggal beberapa bulan. Tapi aku masih belum bisa memenuhi persyaratan administratif. Banyak uang yang harus dikeluarkan diantaranya pembayaran Try Out, Penambahan Intensitas Belajar (PIB), Ujian Semester, Ujian Praktek, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan masih banyak lagi. Aku tak tahu bagaimana memberitahukan pada ayahku. Aku tak boleh patah semangat atas apa yang terjadi. Aku terus belajar agar aku menjadi pintar.

    Banyak sekali kampus yang mendatangi sekolahku. Banyak pula yang terpengaruh dengan program yang diberikan setiap kampus. Ada yang memberikan iming-iming siap kerja bagi mereka yang masuk ke kampus itu. Aku sendiri bingung. Tapi untuk apa aku bingung? Toh aku juga nggak aka kuliah?

    Teman-temanku telah menetapkan Universitas dan jurusan yang akan diambil. Saat semua sibuk mengutarakan isi hatinya yang ingin segera lulus dan merasakan dunia kuliah, aku hanya bisa mendengar dan tersenyum. Terkadang aku memberi sedikit saran. Dalam hati aku menangis. Aku ingin seperti mereka. Aku ingin bergabung dengan mereka. Membicarakan dunia perkuliahan, membicarakan jurusan yang dipilih dan membicarakan masa depan.

    Aku tak boleh egois. Untuk dapat menuntaskan bangku sekolahku saja, orang tuaku harus banting tulang. Bagaimana jika aku kuliah nanti? Dengan apa mereka harus membiayai semua itu? Daun?

    Aku pernah membicarakan masalah ini pada ayahku. Dan, “Ayah tidak punya uang untuk membiayai kamu kuliah.” Aku sebenarnya sudah tahu jawaban apa yang akan keluar. Dalam hati aku hanya bisa bicara “Mungkinkan ada Mukjizat pada keluargaku?”

    Ternyata Do’a dan usahaku tak sia-sia. Semester ganjil kemarin aku menduduki peringkat ke 4 di kelasku. Aku sangat senang. Aku menganggap itu sebuah mukjizat. Aku segera memberitahukan kabar baik ini pada ayahku. Dan memang benar. Mukjizat itu ada. Tiba-tiba ayah menyuruhku untuk mengikuti PMDK. Aku sangat senang. Aku segera mencari informasi tentang beasiswa pendidikan. Setiap hari aku membuka internet untuk mencari informasi yang aku butuhkan. Ya Tuhan! Terimakasih.

    Berbagai saran dan informasi diberikan padaku. Aku segera mencetak formulir Beasiswa Mengikuti Ujian (BMU) bagi siswa berprestasi dari berbagai Universitas Negri. akhirnya ada 4 Univesitas Negri yang aku pilih. Aku juga telah mengirim biodata dan persyaratan yang dibutuhkan. Meskipun persaingan sangat ketat aku tak boleh pesimis. Aku yakin keberuntungan dan mukjizat menyertaiku.

    Banyak yang masuk ke Universitas dengan memberikan sejumlah uang. Aku tidak setuju dengan itu. Jika itu masoh berlanjut maka masa depan anak negri akan suram. Mereka yang tidak memiliki uang tapi pintar pasti tidak akan bisa merasakan dunia kuliah. Ujung-ujungnya penganguran merajalela. Aku sangat bersyukur bisa merasakan bangku sekolah dan menuntaskan pendidikanku.

    Ada berita bahwa Yayasan Pendidikan Bakrie memberikan bantuan beasiswa kepada dua anak warga korban lumpur melalui Yayasan Peduli Lumpur Sidoarjo (Yaplus). Biaya pendidikan yang diberikan per orang untuk delapan semester itu mencapai Rp 90 sampai Rp 100 juta. Hanya 2 orang? Sedangkan korban dari Lumpur Lapindo sangat banyak. Apa semua itu hanya untuk mencari simpati?

    Aku tak akan mengikuti beasiswa itu. aku tak akan menjual ilmu yang selama ini aku dapatkan untuk membuat orang menderita. Anak yang mendapatkan beasiswa itu pasti tidak akan peduli dengan mereka yang sesama korban Lumpur Lapindo. Dia akan terikat dengan berbagai aturan yang ditetapkan oleh pihak tersebut. Dia taidak akann menentang ketidak adilan yang ada demi beasiswa yang dia terima.

    Aku berharap agar aku diterima di salah satu Universitas Negri. Akan aku tunjukkan tanpa beasiswa dari seorang yang mengatasnamakan Yaplus, aku bisa kuliah. Aku juga berharap agar mereka semua yang tidak dapat kuliah dengan alasan biaya segera sadar. Banyak car agar tetap melanjutkan pendidikan diantaranya dengan cara mencari beasiswa. Tapi jangan sampai salah mencari beasiswa ya! Kita harus tetap melanjutkan pendidikan kita agar menjadi orang yang berguna bagi semua orang. Kepintaran kita jangan untuk menyengsarakan orang lain.

    Daris Ilma

     

  • Sekolah Swasta Bertahan

    Jumat, 10 Oktober 2008

    Sidoarjo, KOMPAS – Pihak sekolah swasta milik Yayasan Kholid bin Walid di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, memilih tetap bertahan meski wilayah itu sedang dalam proses pembangunan tanggul kolam penampungan lumpur Lapindo. Alasannya, hingga kini pihak sekolah belum menemukan lokasi atau gedung baru sebagai gantinya.

    Kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini belum dimulai seperti sekolah lain yang kembali masuk pada hari Kamis (9/10). Kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang terdiri atas taman kanak-kanak, madrasah ibtidaiyah (setingkat SD), madrasah tsanawiyah (SMP), dan madrasah aliyah (SMA) itu baru akan dimulai pada hari Senin (13/10).

    Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Kholid bin Walid, Ali Asa’ad, mengatakan, meski proses pembangunan kolam lumpur sudah dimulai, kegiatan belajar-mengajar di sekolah tetap akan berlangsung seperti biasa. Ia mengatakan, hingga kini pihaknya belum menemukan gedung baru sebagai pengganti gedung yang ada saat ini jika nanti dirobohkan untuk pembangunan tanggul.

    Anggota staf Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), Akhmad Kusairi, berharap agar gedung sekolah milik Yayasan Kholid bin Walid tidak digunakan lagi sebagai tempat belajar-mengajar. Luapan air lumpur membuat sekolah tersebut tidak layak digunakan lagi. (APO)

  • Renokenongo Ditanggul, Sekolah Khalid bin Walid Diliburkan

    korbanlumpur.info – Pasca bencana lumpur Lapindo kondisi Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Khalid bin Walid di Renokenongo Porong kian memprihatinkan; sudah bangunannya retak karena tanah yang ditempati ambles kini dibanjiri air asin pula.

    Selasa (21/10) banjir menutup akses jalan masuk sekolah menyebabkan ratusan siswa tiga sekolah ini tidak bisa masuk ke ruang kelas. Mereka bergerombol di sebuah warung tak jauh dari sana.

    “Kami tidak meliburkan cuma menyuruh mereka untuk belajar di rumah dua hari (ke depan),” tutur Sri Retno, kepala MTs Khalid bin Walid.

    Sejak tanggul cincin pusat semburan lumpur jebol Agustus lalu dan sengaja tak diperbaiki hingga kini sedikit demi sedikit Renokenongo menjadi lautan dan sekolah Khalid bin Walid sebagai sekolah satu-satunya yang masih bertahan juga kebanjiran.

    Selain sekolah milik Nahdlatul Ulama ini, di Renokenongo ada empat sekolah lainnya, yakni; Taman Kanak-kanak Dharma Wanita Sekolah Dasar Negeri I, II Renokenongo, dan SMP Negeri II Porong dan sekolah-sekolah ini sudah dipindah semua.

    “TK, SD dan SMP sudah pindah semua setelah ledakan pipa gas (pertamina; 22 November 2006). Tinggal Khalid bin Walid yang bertahan,” tutur Lilik Kaminah, warga Renokenongo yang mengungsi di Pasar Baru Porong-cum- guru TK Muhajirin.

    Menurut kepala MA Khalid bin Walid; Ali Mas’ad, banjir ini bukan yang pertama dialami sekolahnya, sebelumnya, dua kali sekolah ini kebanjiran lumpur, yakni pada Agustus 2006, kemudian setelah ledakan pipa gas pertamina. Meski repot sekali sekolah ini tetap menjalankan proses belajar mengajar.

    MI, MTs, dan MA ini menjadi sekolah alternatif bagi warga tidak mampu dari korban lumpur Lapindo karena sekolah ini membebaskan SPP buat para korban.

    Saat saya tanya apa duitnya dari Lapindo? Dengan tegas Mas’ad menjawab tidak. Lapindo tak memberi apapun pada sekolah ini selain Rp. 2.400.000 untuk biaya pindah-pindah kursi-meja pada saat luapan lumpur pasca ledakan pipa gas pertamina.

    “Duitnya dari Agniya (orang-orang kaya) yang menyumbang sekolah ini,” tutur Mas’ad.

    Sebenarnya banjir ini sudah mulai menggenangi sekolah Khalid bin Walid sejak bulan puasa lalu. Namun masih bisa dialirkan ke tempat yang lebih rendah. Meski terganggu dan khawatir kalau-kalau sekolahnya rubuh sewaktu-waktu namun proses belajar mengajar tetap di jalankan.

    “Kami terpaksa libur lebih awal saat puasa,” tutur salah seorang guru saat itu.

    Kalau kemarin air masih bisa dialirkan sekarang sudah tak ada harapan lagi untuk dialirkan, pasalnya, sejak Jum’at lalu desa Renokenongo mulai ditanggul. Penanggulan ini menuai protes dari warga karena sekitar 171 keluarga yang masih bertahan di rumah mereka karena belum mendapatkan pemabayaran 20 % dari tanah mereka. Haji Danu dan putranya Anang, warga Renokenongo, ditangkap karena aksi ini dan hingga hari ini belum dibebaskan meski tuntutannya tidak jelas.

    Menurut Mas’ad, saat ini MA Khalid bin Walid sedang menjalani tes tengah semester dan tes ini terpaksa dihentikan. “Jumat depan siswa-siswa kami suruh masuk lagi dan untuk sementara menempati masjid (tak jauh dari lokasi sekolah) karena ujian mesti diselesaikan,” jelas Mas’ad.

    Sri Retno merencanakan untuk memindahkan ruang sekolah ke desa sebelah timur Renokenongo dengan pertimbangan kebanyakan siswa sekolah ini berasal dari desa-desa sebelah timur. Rencana ini belum jelas karena meski terkena musibah mereka masih diribetkan dengan urusan perijinan dan tak tahu akan kapan pindahnya.

    “Kami masih mengurus perijinannya,” tutur Retno.[mam]

  • Anak-Anak Muhajirin

    Anak-Anak Muhajirin

    korbanlumpur.info – Mulanya anak-anak sering merengek dan minta kembali ke rumah setiap saat, lebih-lebih kalau malam. Ini bikin Lilik Kaminah, korban Lapindo asal Desa Renokenongo di pengungsian Pasar Baru Porong, tambah senewen. Mereka sudah pusing memikirkan rumah dan tempat kerja mereka yang musnah diterjang lumpur. Akibatnya, anak-anak jadi dibiarkan main apa saja tanpa pengawasan.

    “Hidupnya nggak  normal, terlalu bebas, sing penting mburu menenge, lek gak sumpek—, hidupnya tidak normal, terlalu bebas, yang penting tidak menangis, biar tidak (makin) sumpek,” tutur ibu 30 tahun yang biasa dipanggil Mbak Kami.

    Desa Renokenongo punya lima dukuh. Sejak meluapnya lumpur Lapindo Mei 2006, secara bertahap desa-desa ini terendam lumpur. Pertama tiga dukuh: Balungnongo, Wangkal dan Renomencil. Penduduknya lalu mengungsi di balai desa Renokenongo. Sementara dua dukuh lainnya, Sengon dan Renokenongo masih bisa ditempati.

    Namun setelah meledaknya pipa gas pertamina di dekat lokasi luapan lumpur pada 22 November 2006, tanggul lumpur ambrol dan lima dukuh di Renokenongo tenggelam, termasuk balai desa yang digunakan mengungsi. Orang-orang Balungnongo, Wangkal dan Renomencil lantas terpencar mencari kontrakan. Sementara warga Sengon dan Renokenongo mengungsi ke pasar Baru Porong. Beberapa media memberitakan ledakan ini mengakibatkan 8-14 orang meninggal namun banyak penduduk yang meyakini korbannya jauh lebih banyak.

    Keadaan semacam ini berlangsung hingga satu tahun dan Lapindo belum punya kejelasan tanggungjawabnya atas musibah pada warga ini. Walau mumet dengan ketidakjelasan ini, mereka tak ingin kehilangan semuanya. Paling tidak mereka ingin anak-anak mereka lebih baik dan tak ingin mereka juga larut dalam kepiluan.

    Ide inilah yang kemudian melatarbelakangi pendirian Taman Kanak-Kanak Muhajirin di tengah-tengah pengungsian Pasar Baru Porong. Nama ‘Muhajirin’ dipilih untuk pengingat bahwa mereka hijrah (lebih tepatnya diusir) dari tempat tinggal mereka menuju pengungsian.

    Mereka hanya modal dengkul dan semangat waktu hendak mendirikan TK ini. Awalnya semua sekolah di Renokenongo tenggelam dalam lumpur Lapindo: SDN I dan II Renokenongo, SMP II Porong dan MI hingga MA milik Yayasan Khalid bin Walid. Belakangan, MI-MA Khalid bin Walid masih bisa digunakan meski bangunannya sudah rusak berat. Sementara SD dan SMP sudah tidak bisa digunakan dan murid-muridnya dipindahkan ke sekolah lain.

    SDN I Renokenongo dipindah ke SD Glagaharum (SD Glagah meminjamkan ruangan dan siswa SDN I Renokenongo masuk sore), SDN II Renokenongo pindah SDLB Juwet Kenongo (masuk pagi) dan SMP II Porong pindah ke SMP I (masuk sore).

    “Yang SD dan SMP gedungnya pindah tapi murid dan gurunya tetep,” tutur Ahmad Surotun Nizar, warga dukuh Reno pada saya.

    Setelah tahun ajaran 2007, pengungsi-pengungsi di pasar Porong punya keluhan sama. Anak-anak usia TK mereka tak bisa sekolah. Lapindo juga belum memberikan ganti rugi sepeserpun.

    “Kalau ke TK paling dekat di desa Gedang dan itu bayar empatratus ribu rupiah, kami tak punya duit,” tutur Mbak Kami.

    Para pengungsi ini mengorganisasikan diri dalam “Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak alias Pagar Rekontrak.” Mereka didampingi beberapa aktivis dari Uplink (Urban Poor Linkage Indonesia), organisasi nirlaba yang mengurusi kaum miskin perkotaan.

    Keluhan soal TK ini lalu dibahas dalam rapat pengurus Pagar Rekontrak dan didampingi beberapa pendamping dari Uplink dan karena kebutuhannya mendesak mereka lalu mendirikan TK Muhajirin ini dengan apa adanya.

    “Ruangnya hanya disekat kain, meja-mejanya dari triplek, pendaftaran pertama ada 70 anak yang masuk, semuanya digratiskan,” tutur Mbak Kami.

    Mbak Kami punya putra berusia 5 tahun yang ikut masuk TK namanya Ahmad Fiqhi. Mbak Kami yang pernah punya pengalaman mengajar lalu didaulat untuk mengajar.

    Tak ada target bisa membaca atau menghitung di TK ini. Tujuan pertama dan utama mereka supaya anak-anak tidak menangis. Mereka dibantu untuk mengungkapkan apa isi pikiran mereka dengan melukis. Mereka di kasih kertas dan pensil dan disarankan untuk melukis apa saja yang menarik menurut mereka.

    Di luar dugaan, lukisan anak-anak ini berkisar pada rumah, lumpur, bulldozer, bego (istilah yang digunakan pengungsi untuk menyebut eskavator) dan alat-alat berat di sekitar lumpur.

    Selain melukis mereka juga menceritakan rumahnya di sana, mainnya di mana, bego yang di sana warna merah atau biru.

    Kegiatan TK ini juga membantu Mbak Kami untuk melupakan sejenak persoalan berat yang dihadapinya karena Lapindo belum memberikan tanggungjawabnya setelah dua tahun.

    Pengungsi di Pasar Baru Porong belum mendapatkan uang pembelian tanahnya sepeserpun mereka hanya dapat uang jatah hidup dan dihentikan bulan Mei lalu. “Aku justru bingung kalau nggak ada kegiatan ini. Dengan anak-anak bawaannya kita bisa ketawa,” tutur Mbak Kami getir.

    FOTO-FOTO: LALA/UPLINK, IMAM S

  • Kisah Eef, Lowie dan Anak Korban Lapindo

    Eef dan Lowie (baca: if dan lui), demikian pasangan muda ini memperkenalkan diri, tengah dalam perjalanan keliling Indonesia ketika mereka mendengar tentang bencana Lapindo. Karena rasa ingin tahu, mereka kemudian mampir melihat-lihat ke lokasi semburan lumpur dalam perjalannya ke Bali.

    Selepas melihat tanggul dan desa-desa yang tenggelam, mereka tanya tentang bagaimana nasib warga yang sebelumnya tinggal disana. Oleh pemandunya, mereka diarahkan ke Pasar Baru Porong (selanjutnya, “Paspor”), karena di sanalah sebagian besar warga yang mengungsi masih tinggal.

    Hal pertama yang menjadi pertanyaan mereka ketika berada di pasar adalah, bagaimana nasib anak-anak? Bagaimana sekolah mereka? Apakah mereka bisa bermain dengan normal? Dan berbagai pertanyaan seputar anak-anak, yang justru tidak pernah saya dengar dari pejabat ketika mereka datang ke Paspor.

    Dari si guru yang menemui, mbak Lilik Kaminah, meluncurlah cerita tentang sekolah TK Paspor yang serba darurat dan ala kadarnya. Kurang lebih begini tutur mbak Kami, demikian dia biasa dipanggil:

    Selepas lumpur menenggelamkan desa mereka (Desa Renokenongo), sebagian warga disana mengungsi ke paspor. Salah satu perhatian para orang tua yang mempunyai anak usia sekolah adalah, bagaimana nasib sekolah anak2 mereka, khususnya usia TK dan SD, yang sekolahan mereka ikut tenggelam oleh lumpur.

    Ternyata di pengungsian Paspor, sarana pendidikan, seperti halnya dengan banyak kebutuhan lainnya, tidak disediakan oleh pemerintah maupun Lapindo. Setelah beberapa lama meminta dan menunggu tanpa ada kejelasan kapan akan disediakan fasilitas sekolah, akhirnya para orang tua mencari sendiri2 sekolah lain di desa terdekat.

    Bagi anak usia SD maupun SMP, untuk pindah ke sekolah lain ini mungkin tidak masalah, karena mereka bisa berangkat sendiri. Disamping itu, proses adaptasi dengan teman2 sebaya dan guru2 yang baru dikenal juga relatif mudah. Namun bagi anak usia TK yang masih terlalu kecil terdapat beberapa kesulitan bagi mereka untuk pindah ke TK lain.

    Orang tua tidak mungkin mereka melepas anak2 itu berangkat sendirian, sementara mengantar dan nungguin di sekolah juga sulit. Dalam banyak kasus juga sebagian dari mereka kesulitan untuk adaptasi dengan teman2 dan guru2 baru. Pada beberapa kasus ditemui bahwa teman2 baru mereka mengolok2 anak2 tersebut dengan, ”…hei anak lumpur,” atau ”hei anak Lapindo” atau ”hei anak pengungsi”, sehingga membuat anak2 korban itu jadi tertekan

    Karena itu, setelah beberapa waktu, para warga pengungsi di Paspor memutuskan untuk membuka sendiri sekolah TK. Bagaimana dengan guru dan fasilitas sekolah? Guru diambil dari warga yang punya anak usia TK, yang tahu kira-kira cara mengelola sekolah TK dari mengamati selama mereka mengantar anak2 sekolah, dulunya sewaktu sebelum ada semburan lumpur.

    Sedangkan peralatan dan buku2 diambil dari sumbangan, dan sebagian perabotan dibikin sendiri oleh warga. Maka demikianlah, sekolah TK paspor yang serba sukarela dan seadanya ini mulai berjalan dan mendidik sekitar 60 orang anak2.

    Mendengar cerita ini, Eef dan Lewis menyatakan ingin melihat sekolah TK itu keesokan harinya (karena hari itu sudah sore, sehingga sekolah tutup). Kenapa mereka begitu tertarik dengan anak2 TK ini, pikir saya. Usut punya usut, ternyata mereka, khususnya si cewek, Eef adalah mahasiswi yang tengah belajar menjadi guru olahraga bagi anak-anak, dan tertarik dengan masalah-masalah pendidikan anak usia dini.

    Dan di beberapa negara yang pernah mereka kunjungi, kerap mereka melakukan kegiatan dengan anak-anak usia prasekolah sampai sekolah dasar. ”Lalu bagaimana dengan faktor bahasa”, tanya saya, ”kalian kan gak bisa bahasa Indonesia, sedangkan anak-anak itu gak mungkin ngomong Inggris.” ”Jangan khawatir, lihat saja sendiri,” tukas mereka.

    Maka kemudian, ketika mereka kembali keesokan harinya, saya benar-benar terperangah. Ternyata mereka benar-benar bisa berinteraksi secara langsung dengan anak2 TK itu. Saya tentu saja tidak tahu apa yang ada dibenak anak2 TK itu terhadap dua bule tersebut. Apakah mereka menanggap dua orang itu londo edan, atau mereka merasa bahwa dua orang asing ini memang tulus bermain dengan mereka.

    Yang jelas, mereka saling bermain, bernyanyi (yup, menyanyi…!) dan melakukan berbagai permainan yang mengedepankan unsur senang-senang dan olah raga. Ternyata untuk anak-anak TK itu, betapa bahasa bukan menjadi halangan bagi mereka untuk bisa bersenang-senang dan bermain. Selama dua jam penuh sampai waktu sekolah habis, mereka masih asik bermain.

    Maka yang awalnya dua orang backpacker tadi cuman mampir dalam perjalanannya ke Bali, menjadi tinggal selama beberapa hari dan berinteraksi dengan anak2 TK paspor. Yang awalnya dua orang turis bokek dan gak bawa duit, akhirnya membelikan seperangkat buku ajar dan alat2 peraga lainnya yang membantu berjalannya kelas dengan lebih baik.

    Dan sayapun termangu ketika menyadari bahwa kenapa yang punya kepedulian semacam ini adalah 2 orang pengelana, dari ujung bumi, dan terjadi setelah anak2 TK itu ada disitu hampir setahun. Tidak adakah relawan-relawan di negeri ini yang bisa membantu sekolah TK kami yang serba darurat itu dan membantu dan mengajak anak2 kami bermain2, sehingga mereka bisa merasakan rasa kenormalan, barang sehari atau dua hari.

    Atau, tidak seperti kepada si Eef dan Lowie, sedemikian sulitnyakah ternyata menggerakkan kepedulian anak bangsa sendiri terhadap kondisi-kondisi seperti yang dihadapi anak2 di Paspor.

    Atau pembentukan opini dan kampanye yang dilakukan pemerintah dan pemodal bahwa Lapindo sudah bertanggungjawab, (termasuk menyediakan pendidikan bagi anak2 kami) sudah sedemikian merasuk, sehingga orang kemudian enggan membantu.

    Atau jangan-jangan sesederhana bahwa karena publik memang tidak tahu ada situasi-situasi seperti ini di lapangan yang dialami korban lapindo, karena tersisihnya masalah ini dari hiruk pikuk isu lain yang lebih serius (ganti rugi, tanggul jebol, jalanan macet, dsb) dalam bencana multi dimensi ini. Atau, jangan…jangan…
    Tau ah, bingung…

    Tiba-tiba, mbak Kami, si guru dadakan tadi mendatangi dan sambatan ke saya. ”Mas, besok -besok ajak orang bule lagi ya, siapa tahu bisa bantu biaya foto dan buku raport anak-anak, sebab kalo ndak ada itu, nanti anak2 gak bisa nerusin ke SD.” Nah lho….!

    IIFFFFF… LUUIIIII… Ternyata mereka sudah kembali ke negerinya.

    Dan TK kami masih di Pasar Porong, masih seperti setahun yang dulu, tetap sedikit yang peduli…