Tag: Perpres 14/2007

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (BPLS)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (BPLS)

    Oleh: Anton Novenanto

    (Bagian terakhir dari 3 tulisan; tulisan sebelumnya bisa dibaca di sini dan di sini)

    BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR Sidoarjo, atau BPLS adalah lembaga negara yang dibentuk khusus untuk menangani lumpur Lapindo melalui penerbitan Perpres 14/2007 pada 8 April 2007. Pembentukan BPLS menunjukkan betapa spesialnya kasus Lapindo dibandingkan bencana lingkungan lain di Indonesia. BPLS merupakan representasi negara dalam kasus Lapindo yang masih bekerja sampai saat ini.

    Secara garis besar, tugas BPLS tidak berbeda dengan Timnas: menangani upaya penanggulangan semburan lumpur, menangani luapan lumpur, dan menangani masalah sosial dan infrastruktur (Perpres 14/2007, Pasal 1, Ayat 2). BPLS berkewajiban untuk melaporkan pelaksanaan tugasnya itu kepada Presiden (Pasal 1 Ayat 3), namun segala arahan, pembinaan, dan pengawasan pelaksanaan tugas dilakukan oleh Dewan Pengarah BPLS (Pasal 3 Ayat 1), bukan oleh Presiden. Ada perbedaan struktur pengorganisasian BPLS jika dibandingkan dengan Timnas yang berada di bawah supervisi yang diketuai Menteri ESDM. Dewan Pengarah BPLS diketuai oleh Menteri Pekerjaan Umum, Menteri ESDM hanya duduk sebagai anggota dewan tersebut. Struktur semacam ini menandai hal yang substansial dalam orientasi agenda kerja BPLS yang lebih difokuskan pada pembangunan infrastruktur; bandingkan dengan orientasi penanganan kecelakaan industri migas yang dilakukan Timnas (lihat tulisan sebelumnya).

    Perubahan itu dapat juga dilacak dalam peraturan perundangan yang melandasi Perpres 14/2007. Landasan hukum Keppres 13/2006 orientasinya adalah ‘industri migas’, sementara landasan hukum Perpres 14/2007 adalah ‘manajemen tata ruang’. Perpres 14/2007 disusun dengan ‘mengingat’ UU Tata Ruang No 24/2007, UU Lingkungan Hidup No. 23/1997, UU Migas No. 22/2001, UU Pemerintahan Daerah No. 32/2004 jo UU No. 8/2005. Dengan demikian, seperti halnya Timnas, BPLS tidak sedang dibentuk atas logika ‘penanganan bencana’. Pada bagian ini, kita akan menelusuri bagaimana negara (c.q. BPLS) berperan untuk melebarkan bencana pembangunan dengan memfokuskan diskusi pada proses pemindahan penduduk secara paksa.

    Salah satu klausul penting Perpres 14/2007 adalah ihwal pembagian tanggung jawab penanganan masalah sosial kemasyarakatan antara pemerintah dan Lapindo. Perpres mengatur bahwa Lapindo ‘hanya’ bertanggung jawab untuk ‘membeli tanah dan bangunan’ warga yang termasuk dalam Peta 22 Maret 2007 (Pasal 15, Ayat 1) dan tanggung jawab atas wilayah di luar peta tersebut ‘dibebankan pada APBN’ (Pasal 15, Ayat 3). Perpres juga mengatur tentang pembagian kewajiban penanganan fisik antara Lapindo (yang dibebani biaya penanggulangan semburan lumpur dan pembuangan lumpur ke Kali Porong; Pasal 15, Ayat 5) dan pemerintah (yang menanggung biaya relokasi infrastruktur; Pasal 15, Ayat 6). Hingga kini, tidak pernah jelas dasar hukum dari pembagian tanggung jawab semacam itu.

    Hingga tulisan ini dibuat, telah terjadi lima kali perubahan atas Perpres 14/2007 melalui penerbitan peraturan presiden baru, yaitu pada 17 Juli 2008 (Perpres 48/2008), 23 September 2009 (Perpres 40/2009), 27 September 2011 (Perpres 68/2011), 5 April 2012 (Perpres 37/2012), dan 8 Mei 2013 (Perpres 33/2013). Jika kita melihat struktur peraturan perundangan yang melandasi penerbitan revisi Perpres 14/2007, maka kita akan menemukan bahwa revisi tersebut dilandasi oleh peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara, a.l.: UU Keuangan Negara (17/2003), UU Perbendaharaan Negara (1/2004), UU APBN (2008, 2009, 2011, 2012, dan 2013). Hal semacam itu dapat dilihat dalam konteks bahwa revisi atas Perpres 14/2007 melibatkan penambahan biaya kompensasi untuk membeli wilayah ‘di luar peta’ yang juga harus dikosongkan akibat degradasi lingkungan yang akut. Pengosongan suatu wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.

    Yang tak kalah menarik adalah, tentu saja, reduksi kewajiban Lapindo untuk membiayai upaya penanggulangan semburan dan pembuangan lumpur ke Kali Porong. Hal itu disampaikan dalam Perpres 40/2009 yang menghapus seluruh Pasal 15 Ayat 5, dan menambahkan upaya-upaya itu dalam Pasal 15 Ayat 6. Perpres 40/2009 juga menambahkan satu ayat yang berbunyi:

    Biaya tindakan mitigasi yang dilakukan oleh Badan Pelaksana BPLS untuk melindungi keselamatan masyarakat dan infrastruktur dibebankan kepada APBN. (Pasal 15 Ayat 7)

    Dengan demikian, sejak Perpres 40/2009 keluar seluruh biaya penanggulangan lumpur Lapindo ditanggung pemerintah. Mengacu penggalan-penggalan data yang tersaji acak di website BPLS (bpls.go.id), dan Nota Keuangan APBN (Perubahan), kita bisa mengalkukasi secara sederhana jumlah dana yang dianggarkan pemerintah terkait penanganan lumpur Lapindo, yang sejak 2007 sampai 2015 secara akumulatif mencapai nilai Rp 11,72 trilyun (lih. Tabel 1). Anggaran tersebut disalurkan, terutama, melalui BPLS, dan ini berarti negara telah mengambil perannya dalam kasus Lapindo. Negara berperan aktif sebagai aktor utama yang mengatur: a) pembagian kewajiban penanganan bencana antara Lapindo dan pemerintah (Perpres 14/2007); b) mereduksi kewajiban Lapindo tersebut (Perpres 40/2009); dan c) mengambil alih kewajiban perusahaan dan membebankannya pada APBN. Yang paling kontroversial tentunya adalah peran negara sebagai legitimator pemindahan paksa penduduk dengan cara menerbitkan peta-peta baru, seperti yang akan kita bahas setelah ini.

    Tabel 1. APBN untuk Lapindo
    Tabel 1. APBN untuk Lapindo

    ***

    TIMNAS MENAMAI PETA 22 Maret 2007 dengan ‘peta area terdampak’. Baik representasi Lapindo ataupun aparatus negara akan selalu merujuk pada istilah tersebut peta itu bila sedang berbicara tentang area ‘terdampak’ lumpur Lapindo. Secara naif, mereka menyebut wilayah di luar peta 22 Maret bukan sebagai ‘area terdampak’ lumpur Lapindo, hanya ‘tak layak huni’. Sekalipun beda istilah, praktik yang terjadi di lapangan tetap sama: pemindahan penduduk dari hunian mereka secara paksa, dan proses itu dilegitimasi dengan peta baru yang menjadi lampiran revisi atas Perpres 14/2007.

    ‘Wilayah 3 Desa’ – Revisi pertama atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 48/2008 (17 Juli 2008), mengatur tentang penambahan wilayah baru yang harus dikosongkan untuk kebutuhan pembangunan tanggul dan saluran pembuangan sampai Kali Porong. Istilah yang populer untuk menyebut wilayah tersebut adalah ‘wilayah 3 Desa’ merujuk pada 3 (tiga) desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) di Kecamatan Jabon. Mekanisme yang diterapkan bagi para penduduk ketiga desa tersebut adalah seperti yang berlaku pada penduduk ‘dalam peta’, jual beli tanah dan bangunan. Hanya saja pembelinya bukan lagi Lapindo, tapi pemerintah. Nilai tukar aset bagi wilayah ini mengacu pada besaran yang dibayarkan oleh Lapindo (Pasal 15b Ayat 6), atau yang jamak disebut ‘harga Lapindo’.

    Perpres 48/2008 juga mengatur bahwa status tanah dan bangunan yang dibeli tersebut akan menjadi ‘Barang Milik Negara’ (Pasal 15c Ayat 1) yang dikelola oleh Menteri Keuangan dan digunakan oleh BPLS (Pasal 15c Ayat 2). Akan tetapi, dalam proses jual beli aset di wilayah ‘3 Desa’ tersebut PP Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum No. 36/2005 jo PP 65/2006 tidak berlaku (Pasal 15b Ayat 4) yang ini menunjukkan ketidakjelasan landasan hukum dan tujuan pembelian tanah tersebut. Untuk memperjelas wilayah mana saja yang harus dikosongkan, sebuah peta baru dibuat oleh BPLS. Pengosongan wilayah berarti juga pemindahan paksa para penghuninya.

    Berdasarkan data yang tersaji di website BPLS, terdapat 1.804 berkas klaim masuk dari wilayah ‘3 Desa’ tersebut. Sampai Desember 2012, 1.793 berkas dinyatakan sudah lolos verifikasi dengan nilai tukar total mencapai Rp 627,78 milyar dan 1.768 berkas sudah lunas dibayar (senilai Rp 511,32 milyar). Beberapa berkas yang bermasalah, sehingga tidak lolos verifikasi, dipicu oleh sengketa tanah seputar kepemilikan dan juga jenis tanah (sawah atau pekarangan). Selain itu, persoalan tanah komunal (seperti, tanah kas desa, fasilitas umum, dan fasilitas sosial) juga menyisakan pertanyaan pada siapakah yang berhak atas kompensasi mengingat penduduk tercerai-berai di hunian barunya.

    Peta Wilayah Tiga Desa (Juli 2008)
    Peta Wilayah Tiga Desa (Juli 2008)

    ‘Wilayah 9 RT’ – Revisi kedua atas Perpres 14/2007, yang dituangkan dalam Perpres 40/2009 (23 September 2009) mencantumkan wilayah baru yang dimasukkan sebagai area ‘tidak layak huni’. Wilayah ini kemudian populer dengan sebutan ‘wilayah 9 RT’, mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) di tiga desa (Siring, Jatirejo, dan Mindi) yang terkena dampak deformasi tanah dan munculnya semburan gas berbahaya (Pasal 15b Ayat 1a). Wilayah ‘9 RT’ harus dikosongkan segera dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun (Pasal 15b Ayat 8), dan bagi penduduknya pemerintah akan memberi bantuan sosial (uang kontrak rumah, tunjangan hidup, dan biaya evakuasi) (Pasal 15b Ayat 9).

    Perpres 40/2009 tidak menyebutkan tentang hak warga untuk menerima kompensasi atas tanah dan bangunan mereka. Warga hanya diminta untuk segera mengosongkan wilayah tersebut. Kompensasi bagi warga di wilayah ini baru diatur dalam Perpres 68/2011 tentang perubahan ketiga atas Perpres 14/2007 (27 September 2011). Mekanisme kompensasi yang berlaku tetap sama, jual beli tanah dan bangunan (Pasal 15b Ayat 3), penghitungan nilai kompensasi juga disamakan dengan wilayah sebelumnya. Dan pada bulan Oktober 2011, BPLS merilis sebuah peta baru yang mencantumkan ‘wilayah 9 RT’. Data di website BPLS menyebutkan bahwa dari total 789 berkas klaim ‘wilayah 9 RT’ yang masuk, 769 berkas telah lolos verifikasi (senilai Rp 436,80 milyar). Pada Desember 2012, sejumlah 757 berkas (Rp 376,07 milyar) sudah terbayar. Sisanya masih bermasalah pada hal yang sama, a.l.: sengketa kepemilikan, debat luas dan jenis tanah (sawah/pekarangan), dan tanah komunal.

    2012 12 00 Peta kerja small
    Peta Kerja Oktober 2011

    Wilayah 66 RT’ – Perpres 68/2011 mencantumkan pembentukan ‘Tim Terpadu’ yang dibentuk oleh Dewan Pengarah BPLS untuk mengkaji wilayah terkena dampak lumpur Lapindo (Pasal 15b Ayat 1b). Hasil kajian tim tersebut adalah pemetaan wilayah baru yang harus segera dikosongkan karena dinyatakan sebagai wilayah tak layak huni dalam Perpres 37/2012 tentang perubahan keempat atas Perpres 14/2007 (5 April 2012). Wilayah baru tersebut dikenal dengan ‘wilayah 65 RT’ mengacu pada jumlah RT (rukun tetangga) yang harus dikosongkan yang kali ini mencakup 8 (delapan) desa/kelurahan, yaitu: Besuki, Mindi, Pamotan, Gedang, Ketapang, Gempolsari, Kalitengah, dan Wunut.

    Pada 8 Mei 2013, terbit Perpres 33/2013 tentang perubahan kelima atas Perpres 14/2007 yang merinci batas-batas wilayah yang sebelumnya sudah diatur dalam Perpres 37/2012 dan menambahkan 1 (satu) RT di Kelurahan Porong yang kemudian membuat wilayah baru itu sekarang disebut ‘wilayah 66 RT’. Selain merinci batas-batas dan penambahan wilayah baru, Perpres 33/2013 mengatur kompensasi tanah wakaf yang menjadi kewenangan Kementerian Agama (Pasal 15b Ayat 10).

    Untuk wilayah ’66 RT’, BPLS menargetkan sekitar 5.000 berkas klaim masuk. Sampai Desember 2012, BPLS menerima 4.422 berkas klaim dengan nilai tukar mencapai Rp 451,93 milyar, dan baru 3.556 berkas yang terbayar (Rp 261,33 milyar). Dengan demikian, diperkirakan masih ada sekitar seribu berkas lagi yang menjadi tanggung

    Peta 5 April 2012
    Peta 5 April 2012

    an pemerintah. Sayang, website BPLS tidak mencantumkan data mutakhir tentang kelanjutan proses pembayaran tersebut.

    ***

    PEMINDAHAN PAKSA BESAR-BESARAN lain yang dilakukan oleh negara, namun luput dari amatan publik adalah terkait pembebasan lahan untuk relokasi infrastruktur. Relokasi infrastruktur mensyaratkan pembebasan lahan baru untuk pembangunan, dan dengan demikian menandai fase lain pemindahan paksa akibat lumpur Lapindo. Untuk merelokasi infrastruktur (jalan tol dan jalan raya), pada Juli 2007 ditentukan luasan lahan yang dibutuhkan. Penentuan itu dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 188/260/KPTS/013/2007. Menurut rencana awal tersebut, infrastruktur baru akan melintasi wilayah di 15 (limabelas) desa yang meliputi 11 (sebelas) desa di Kabupaten Sidoarjo dan 4 (empat) desa di Kabupaten Pasuruan. Luas lahan yang dibutuhkan mencapai 132,16 ha. Namun, setelah melakukan penghitungan riil dan beberapa kesepakatan dengan instansi yang lain, pada April 2010 disepakati bahwa lahan yang dibutuhkan ‘hanya’ 123,77 ha.

    Kebutuhan lahan untuk relokasi
    Kebutuhan lahan untuk relokasi

    Pengurangan itu meloloskan Desa Kludan di Kabupaten Sidoarjo dari proyek pembebasan lahan itu. Namun, sebagian warga di 14 (empatbelas) desa yang lain harus merelakan tanah dan bangunan mereka untuk digantikan dengan infrastruktur jalan raya dan jalan tol (lihat Peta Relokasi Infrastruktur). Sepuluh desa/kelurahan di Kabupaten Sidoarjo yang yang terkena dampak relokasi infrastruktur adalah Desa Kali Sampurno, Desa Kali Tengah, dan Desa Ketapang di Kecamatan Tanggulangin, Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Kesambi, Kelurahan Juwet Kenongo, Kelurahan Porong, dan Desa Kebon Agung di Kecamatan Porong, serta Desa Kedungcangkring di Kecamatan Jabon. Dan empat desa di Kabupaten Pasuruan adalah Desa Carat, Desa Gempol, Desa Kejapanan, dan Desa Legok di Kecamatan Gempol.

    Seperti halnya proyek pembangunan infrastruktur makro lainnya, beberapa permasalahan sempat tercatat terkait proses pengosongan lahan dan pembangunan relokasi infrastruktur yang dilakukan BPLS tersebut. Yang paling kentara adalah tingginya nilai kompensasi yang diminta sebagian warga dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh pemerintah. Beberapa warga meminta kompensasi setara ‘harga Lapindo’, yang berlaku untuk tanah dan bangunan dalam Peta 22 Maret 2007. Beberapa warga lain, menuntut nilai yang lebih tinggi lagi karena aset mereka terletak di pinggir jalan utama. Beberapa tanah status kepemilikannya dipegang oleh banyak orang yang berujung pada sengketa internal sehingga mempersulit proses pemberian kompensasi. Pelbagai masalah terkait pembebasan lahan tersebut berdampak pada pembangunan jalan (tol maupun arteri) secara parsial. Infrastruktur baru dibangun terputus-putus dalam 4 (empat) paket, dan baru menjadi satu kesatuan sehingga bisa beroperasi penuh pada Maret 2012.

    Percepatan pembangunan infrastruktur baru, menggantikan infrastruktur lama yang terendam lumpur Lapindo, dilandasi lebih oleh motif ekonomi, yaitu mengembalikan nadi transportasi dari/ke Pelabuhan Tanjung Perak ke/dari wilayah industri besar di Jawa Timur bagian Selatan dan Timur. Dan atas nama ‘kepentingan umum’ itulah lagi-lagi rakyat harus dikorbankan dengan cara pemindahan paksa. Negara, lagi-lagi, hadir sebagai aktor utama yang melegitimasi proses yang tidak bakal terjadi jika saja negara tidak pernah memberi izin Lapindo untuk melakukan pengeboran migas di kawasan padat huni.

    Peta Infrastruktur 2010 lowres

    ***

    PRESIDEN JOKOWI TELAH memerintahkan jajaran menteri di kabinetnya untuk memenuhi kontrak politik yang disepakatinya pada korban Lapindo, memberikan pinjaman bersyarat pada Lapindo yang tidak mampu melunasi kewajibannya membayar aset warga yang dimasukkan dalam ‘area terdampak’ lumpur Lapindo. Jumlah pinjaman tidak main-main, Rp 781,69 milyar. Syarat yang diberikan adalah Lapindo harus menyerahkan 13.327 berkas aset warga sebagai jaminan dan Lapindo diberi waktu empat tahun untuk mengembalikan pinjaman tanpa bunga itu. Jika Lapindo gagal mengembalikannya, aset akan diambil alih negara –yang sebenarnya adalah keputusan yang paradoks, karena seperti sudah dibahas sebelumnya, mengacu pada UU Pokok Agraria No 6/1956, tanah yang dibeli Lapindo itupun secara hukum statusnya adalah tanah negara; bagaimana mungkin negara menyita asetnya sendiri (Novenanto 2015a; 2015b).

    Aksi negara menalangi hutang Lapindo itu telah diklaim sebagai ‘kehadiran negara’ yang dianggap telah absen selama ini. Namun, seperti disampaikan dalam rangkaian tulisan ini, negara adalah aktor penting dalam kasus Lapindo. Negara telah hadir, bahkan sebelum pengeboran Sumur Banjar Panji 1, dengan memberi izin pengeboran migas di kawasan padat huni. Dengan demikian, negara telah berperan dalam penentuan lokasi terjadinya suatu bencana industrial. Bahkan, negara tidak pernah mengawasi kegiatan ‘industri berbahaya’ itu. Peran aktor-aktor negara semakin kentara dengan menerbitkan peta area terdampak dan melegitimasi pemindahan paksa para penghuninya melalui penerbitan Perpres 14/2007 dan juga revisi terhadapnya. Tidak hanya itu, negara juga telah melegitimasi perluasan pemindahan paksa terkait proyek relokasi infrastruktur yang rusak. Untuk penanganan dampak lumpur Lapindo, negara telah menganggarkan dana sebesar Rp 11,72 trilyun; dana yang sebenarnya bisa digunakan untuk pengembangan di sektor lain.

    Kasus Lapindo bukanlah sekadar masalah bencana lumpur panas menyembur di kawasan padat huni. Kasus Lapindo adalah pembuktian kebobrokan pengelolaan industri migas di negeri ini, tidak hanya pada proses perizinan tapi juga tata kelola penanganan kecelakaan industrial yang riskan terjadi. Oleh karena itu, satu-satunya ketidakhadiran negara dalam kasus Lapindo adalah untuk menjatuhkan hukuman setimpal pada Lapindo yang telah melakukan kesalahan fatal dalam industri migas yang penuh resiko. (habis)

  • SBY, Selamatkan Bakrie Ya!

    SBY, Selamatkan Bakrie Ya!

    patung-SBYTidak lama lagi masa jabatan Susilo Bambang Yudhoyono berakhir. SBY punya banyak janji, di antaranya penyelesaian kasus lumpur Lapindo. Kasus Lapindo muncul pada 2006, setelah dua tahun masa jabatan SBY jilid pertama. Pada 2009, ketika belangsung pemilihan presiden, SBY mencalonkan diri lagi dan membuat janji akan menuntaskan kasus Lapindo apabila terpilih kembali. (more…)

  • Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Korban Lapindo Menagih Janji

    Yang terhormat Presiden Republik Indonesia selaku pelayan rakyat Indonesia. Saya bertindak untuk dan atas nama korban lumpur Lapindo dengan kuasa kemanusiaan, bermateraikan lembaran kristal air mata korban Lapindo yang telah kering, yang sebentar lagi dapat berubah mencair mendidih, melebihi panas lumpur Lapindo.

    Bapak Presiden, korban Lapindo selama ini bernasib tidak sebaik yang diiklankan di media massa. Saya hanya mengingatkan bahwa Lapindo Brantas Inc telah membuat kesepakatan penyelesaian dengan pemerintah sehingga terbit Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 / 2007).

    Pasal 15 Perpres itu menentukan:

    Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1).

    Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).

    Dahulu, untuk memperoleh pembayaran 20 persen jual-beli tanah dan rumah korban Lapindo tersebut harus melalui aksi massa. Sekarang, ketika dua tahun kontrak rumah korban Lapindo berlalu, PT. Minarak Lapindo Jaya (yang ditunjuk Lapindo Brantas Inc) tidak bersedia membayar 80 persen terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat (petok D, leter C, gogol dan yasan). Perlu saya tekankan lagi, cara penyelesaian sosial korban Lapindo adalah “jual-beli” tanah dan rumah korban yang kini telah berubah menjadi kekayaan danau lumpur itu.

    Bapak Presiden, mengapa PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar untuk melunasi sisa pembayaran 80 persen kepada korban Lapindo yang tanahnya belum bersertifikat? Padahal diantara mereka telah menandatangani Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB)? Hal itu disebabkan PT. Minarak Lapindo Jaya menuruti pendapat notaris/pejabat pembuat akte tanah (PPAT) yang digunakannya.

    Saya mengingatkan kilas balik perjalanan kesepakatan segitiga antara pemerintah, Lapindo Brantas Inc dengan korban Lapindo. Pada 24 April 2007 korban Lapindo dari Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas) I Sidoarjo menghadap Wakil Presiden RI yang mewakili Bapak Presiden. Dalam pertemuan itu hadir Menkokesra, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta dan Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN).

    Risalah Rapat 24 April 2004 yang dipimpin Bapak M. Jusuf Kalla itu menyepakati sisa pembayaran sebesar 80 persen dilakukan bersama dengan pembayaran kepada masyarakat di empat desa (menurut Peta Wilayah Terdampak 22 Maret 2007) pada bulan April 2008. Pak Presiden, sekarang ini sudah bulan Agustus 2008, bulan kemerdekaan, tapi korban Lapindo masih jauh dari merdeka.

    Soal tanah-tanah yang belum bersertifikat, pada tanggal 2 Mei 2007 telah disepakati oleh perwakilan korban Lapindo, Menteri Sosial, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo dan PT. Minarak Lapindo Jaya, yang intinya menentukan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, SK gogol diperlakukan sama dengan tanah-tanah bersertifikat. Pak Presiden, mayoritas tanah korban Lapindo belum bersertifikat.

    Selepas dari penandatanganan Risalah Kesepakatan pertemuan tersebut, PT. Minarak Lapindo Jaya kembali ingkar. Setelah mulai jatuh tempo pembayaran 80 persen (bertahap, mulai April 2008), lagu lamanya dinyanyikan lagi: PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar. PT. Minarak Lapindo hanya mau membayar rumah yang telah tenggelam, sedangkan tanahnya akan diganti dengan tanah kaplingan (bekas sawah) yang disediakan oleh perusahaan lain di bawah Grup Bakrie. Sedangkan uang muka 20 persen tadi dianggap hibah kepada warga korban Lapindo.

    Kelihatannya menguntungkan korban Lapindo, tapi kenyatannya tidak sebab tanah kaplingan penggantinya itu masih belum jelas, penyerahannya 8 bulan hingga setahun, dan harga asalnya hanya sekitar Rp. 200 ribu/m2, sedangkan tanah pemukiman/pekarangan korban Lapindo telah disepakati Rp. 1 juta/m2. Meskipun ada janji bahwa nantinya korban Lapindo boleh menjual tanah pengganti itu seharga Rp. 1 juta/m2 tetapi itu sudah menyimpang dari pasal 15 Perpres No. 14/2007.

    Tak ada kepastian bahwa PT. Minarak Lapindo Jaya akan patuh dengan perjanjian yang baru itu, sebab PT. Minarak Lapindo Jaya sudah ingkar dengan beberapa kesepakatan yang telah dibuat dan tidak patuh dengan pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu. Dengan pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 / 2007 (yang sudah dikuatkan putusan MA No. 24 P/HUM/2007) saja ingkar, apalagi dengan kesepakatan yang tak ada dasar hukumnya?

    Pak Presiden, dalam pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS dan BPN Kabupaten Sidoarjo pada 5 Agustus 2008 yang lalu PT. Minarak Lapindo Jaya tidak hadir. BPN sendiri menyatakan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, gogol dan yasan bisa dibuatkan akte jual beli (AJB). BPN sudah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan tanggal 24 Maret 2008. Jadi, secara hukum administrasi negara sudah tidak ada kendala. Jika PT. Minarak Lapindo tidak patuh kepada Perpres No. 14/2007 itu, apakah Bapak Presiden hanya akan diam saja menonton penderitaan korban Lapindo?

    Apakah pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu masih berlaku?

    Kalau ada yang mengatakan bahwa dengan dibayarkannya 20 persen tanah pertama dua tahun lalu itu warga korban Lapindo sudah makmur, itu kebohongan besar. Mayoritas mereka kehilangan pekerjaan dan mulai mencari pekerjaan baru dan banyak yang menanggung utang.

    Dalam pertemuan dengan Komnas HAM tanggal 1 Mei 2008 di Pendopo Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo, wakil korban lumpur lapindo dari Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang telah memberikan mandat kepada Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa apabila PT. Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa 80 persen itu maka di Sidoarjo akan terjadi banyak gelandangan sebab rata-rata korban Lapindo terlanjur menanggung utang sebab berharap dari pembayaran 80 persen itu.

    Perlu Bapak Presiden ketahui, akibat PT. Minarak Lapindo Jaya yang membangkang jatuh tempo pembayaran sesuai pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14/2007, kini masyarakat korban Lapindo terpecah-belah, saling bermusuhan akibat munculnya cara-cara baru di luar cara menurut pasal 15 Perpres No. 14 / 2007. GKLL itu pecah, muncul organisasi baru bernama Gerakan Pendukung Perpres No. 14/2007 (GEPPRES).

    Munculnya cara-cara penyelesaian di luar pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 itu akibat pemerintah yang tidak tegas kepada PT. Minarak Lapindo Jaya yang mempersulit penyelesaian sosial itu padahal dasar hukumnya sudah jelas. Sekali lagi, pemerintah tidak tegas untuk memaksa pihak Lapindo. Tetapi bagaimana nasib korban Lapindo yang membuat kesepakatan di luar pasal 15 Perpres No. 14/2007 jika kelak PT. Minarak Lapindo Jaya atau perusahaan pengembang yang menyediakan tanah pengganti itu ingkar? Padahal cara penyelesaian masalah sosial yang sudah ditentukan itu tidak murni bersifat perdata, tetapi terkandung kewajiban pemerintah memenuhi hak asasi manusia berdasarkan pasal 28 I ayat (4).

    Pak Presiden. Bahkan ada ratusan kepala keluarga korban Lapindo yang belum menerima pembayaran 20 persen dengan berbagai alasan, tanpa penyelesaian. PT. Minarak Lapindo juga mengingkari kesepakatannya dengan ratusan kepala keluarga korban Lapindo pengontrak rumah (yang tak punya tanah dan rumah sendiri).

    Jika diurai, masih ada banyak masalah lainnya, termasuk masalah kesehatan masyarakat sebab menurut temuan Tim Kajian Pemerintah Provinsi Jawa Timur, konsentrasi gas hidrokarbon di daerah sekitar semburan lumpur Lapindo mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batas toleransinya adalah 0,24 ppm. Kasihan para penduduk korban, terutama anak-anak mereka yang masih mempunyai masa depan, jangan sampai masa depan mereka rusak gara-gara pemerintah tidak cepat dan tepat untuk menyelesaian persoalan korban Lapindo itu.

    Masyarakat korban Lapindo telah begitu sabar. Meski menderita kerugian materiil dan imateriil yang tak terkira besarnya, mereka cukup patuh dengan Perpres No. 14/2007 yang hanya mengharuskan jual-beli tanah dan rumah korban lumpur yang tenggelam. Bahkan mereka telah diikat oleh PT. Minarak Lapindo Jaya dalam perjanjian dan pernyataan agar mengakui bahwa semburan lumpur itu bencana alam dan mereka tidak boleh menuntut Lapindo secara perdata dan pidana. Meski tidak tahu arti semua itu, mereka mau menandatangani pernyataan dan perjanjian seperti itu.

    Surat ini saya sampaikan secara terbuka, agar dapat sampai dan dibaca Pak Presiden dan banyak orang, bahwa itulah yang terjadi, tidak seindah yang diiklankan di media massa.

    Demikian surat ini, mohon agar negara ini tetap berdiri dalam kemerdekaan, tidak tenggelam menjadi Republik Lumpur Lapindo.

    Hormat saya, pesuruh sebagian korban Lapindo.

    Subagyo, 081615461567

  • Revisi Perpres Lapindo Tak Sentuh Substansi

    JAKARTA – Revisi Peraturan Presiden (Perpres) No 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dinilai tidak menyentuh substansi. Seharusnya, revisi lebih menyentuh hal prinsip.

    ”Seharusnya, tak ada lagi diskriminasi antar desa terdampak dan tidak,” ujar Syafruddin Ngulma Simeulue, komisioner Komnas HAM, kepada koran ini kemarin (29/6). Pembedaan tersebut tidak perlu karena masyarakat di sekitar semburan merasakan dampak yang sama.

    Seperti diwartakan, pemerintah telah merampungkan revisi Perpres 14/2007. Dalam perpres itu, tiga desa, yakni Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, akan dimasukkan dalam peta terdampak. Awal Februari lalu, tiga desa itu terkena dampak bencana tanggul jebol. Namun, mereka tidak masuk dalam peta terdampak. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan ganti rugi dari PT Lapindo Brantas.

    Warga tiga desa itu lantas menuntut wilayahnya dimasukkan ke peta terdampak. Permintaan itu disetujui dengan anggaran dari APBNP yang disetujui pada 10 April 2008. Anggaran tersebut belum bisa cair selagi payung hukumnya tidak ada. Karena itu, warga mendesak revisi perpres segera dilakukan supaya dana bisa dicairkan.

    Syafruddin menjelaskan, selain tidak perlu pembedaan daerah terdampak dan tidak terdampak, revisi seharusnya mengatur ganti rugi dan biaya pemulihan bagi warga. ”Itu sebenarnya lebih substansial,” terang mantan direktur Walhi Jatim itu.

    Terkait dengan investigasi terhadap kejanggalan dalam semburan lumpur yang sedang ditangani komnas, Syafruddin menjelaskan, pihaknya kini memasuki tahap akhir penyelesaian laporan. Namun, komnas masih membutuhkan beberapa keterangan dari pihak terkait. ”Salah satunya menteri lingkungan hidup. Kami masih atur jadwalnya,” katanya.

    Dia menargetkan, akhir Juli mendatang laporan dan rekomendasi bisa rampung. ”Nanti diputuskan di (rapat) paripurna sebelum kami publikasikan,” terangnya. (fal/oki)

    © Jawa Pos

  • Komisi Nasional Panggil Sejumlah Pejabat Terkait Lapindo

    Polisi tak perlu mencari pendapat ahli

    JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menjadwalkan pemanggilan terhadap sejumlah pejabat terkait dengan kasus semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka adalah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution.

    Menurut anggota Komisi Nasional Hak Asasi, Syafruddin Ngulma Simeulue, Komnas ingin menanyakan penanganan oleh pemerintah terhadap korban semburan. “Kenapa sampai sekarang belum ada langkah bagi sembilan desa terdampak?” ujarnya saat dihubungi kemarin.

    Surat pemanggilan, kata Syafruddin, sudah dikirim melalui faksimile sejak Jumat lalu. Komisi Nasional juga melayangkan surat panggilan melalui pos. Mereka dijadwalkan datang ke Komnas secara bergiliran. Menteri Rachmat pada 15 Juli. Ketua BPK Anwar Nasution pada 16 Juli. Setelah itu, Menteri Aburizal pada 17 Juli. “Diharapkan mereka bisa hadir,” ujarnya.

    Dalam pertemuan nanti, kata Syafruddin, Komnas juga akan menanyakan skema ganti rugi oleh pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Menurut Syafruddin, skema ganti rugi pemerintah berpotensi menimbulkan konflik antara warga di dalam tanggul dan di luar. Komnas menilai jumlah ganti rugi pemerintah terhadap warga desa di luar tanggul lebih kecil dibanding yang diberikan pihak Lapindo. “Padahal mereka sama-sama menderita. Rumahnya sama-sama terendam lumpur,” ujarnya.

    Pemanggilan pejabat negara ini masih terkait dengan pemanggilan yang pernah dilakukan Komnas terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro serta PT Lapindo Brantas dan PT Minarak Lapindo pada 13 Juni lalu. Hasil pemanggilan tersebut, kata Syafruddin, menjadi bahan rekomendasi bagi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

    Adapun pemanggilan terhadap Menteri Rahmat, kata Syafruddin, terkait dengan perizinan lingkungan bagi Lapindo Brantas Inc dalam melakukan pengeboran di sumur Banjarpanji 1 yang diduga sebagai sumber semburan. “Pengeboran itu memenuhi syarat atau tidak,” ujarnya.

    Sedangkan pemanggilan Anwar, kata Syafruddin, terkait dengan audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penanganan semburan lumpur. Hasil audit itu dipublikasikan dengan judul Laporan Pemeriksaan Penanganan Semburan Lumpur Sidoarjo. Laporan itu, kata Syafruddin, mestinya bisa digunakan sebagai bukti oleh polisi dalam penyidikan. Dengan adanya laporan itu, kata dia, polisi tak perlu mencari pendapat ahli yang sama mengenai penanganan semburan lumpur. “Polisi menunggu apa lagi?” ujarnya.

    Dihubungi terpisah, Lalu Mara Satriawangsa, staf khusus Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, mengatakan belum mengetahui soal panggilan Komnas. Menurut dia, persoalan lumpur Lapindo sudah ditangani Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo melalui peraturan presiden. “Lalu, kenapa Menko Kesra dipanggil?” ujarnya kepada Tempo tadi malam.

    SUKMA | ANTON SEPTIAN

    © Koran Tempo

  • Pemerintah Diminta Cabut Beleid Lapindo

    JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta pemerintah mencabut Peraturan Presiden Nomor 14 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Komnas menilai, meski beleid itu sudah direvisi, tetap tak memasukkan semua korban semburan lumpur agar mendapat ganti rugi.

    “Hanya sebagian kecil yang ter-cover. Padahal jumlah korban lebih banyak,” kata anggota Komnas, Syafruddin Ngulma Simeulue, kepada Tempo kemarin.

    Pemerintah telah merampungkan revisi peraturan presiden tersebut. Dalam peraturan itu, tiga desa, yakni Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, dimasukkan dalam peta wilayah yang terkena dampak. Sebelumnya, ketiga desa itu tidak dimasukkan dalam peta dampak sehingga korban dinilai tak berhak mendapat ganti rugi.

    Syafruddin menilai, di luar desa terkena dampak versi peraturan presiden yang baru, masih banyak korban semburan lumpur tidak mendapat ganti rugi. Meski saat ini wilayah mereka belum terkena dampak langsung, tempat tinggal mereka sudah tidak aman. Kondisi di desa-desa itu, kata Syafruddin, hampir mirip tiga desa yang dimasukkan dalam revisi peraturan presiden. “Bisa terjadi konflik antara mereka yang mendapat ganti rugi dan tidak,” kata dia.

    Menurut Syafruddin, pemerintah mestinya mencabut peraturan presiden itu dan menggantinya dengan peraturan baru yang bisa memulihkan hak semua warga di sekitar lokasi semburan. Selain tak perlu membedakan daerah terkena dampak dan tidak terkena dampak, kata dia, dalam peraturan baru itu juga diatur mekanisme ganti rugi dan biaya pemulihan bagi warga.

    ANTON SEPTIAN | Koran Tempo