Author: catur

  • PT Lapindo Wajib Bayar Tanah Non Sertifikat

    Dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa pengikatan ganti rugi tanah warga yang tidak bersertifikat mengikuti aturan yang sama dengan ganti rugi bagi tanah bersertifikat. Hal itu sesuai risalah pertemuan antara Menteri Sosial, BPN, BPLS, PT Minarak Lapindo Jaya, dan perwakilan warga 4 desa korban lumpur pada 2 Mei 2007.

    Perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya menolak menandatangani kesepakatan tersebut. Mereka mengaku datang hanya mendampingi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan tidak dapat membuat keputusan sepihak. “Kami datang hanya untuk mendampingi BPLS. Tidak bisa kami langsung tanda tangan begitu saja. Kami harus mengkaji dulu,” kata Yuniwati Theryana, perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya.

    Komnas HAM yang memfasilitasi pertemuan itu akhirnya memutuskan meminta pemerintah dan warga korban menandatangani kesepakatan dengan disaksikan PT Lapindo Brantas dan PT Minarak Lapindo Jaya. (E1)

  • Menteri PU: Prioritaskan Warga Perum TAS I

    Menurut Djoko, mekanisme pembayaran ganti rugi bagi warga yang wilayahnya masuk dalam peta terdampak diatur dalam Keputusan Presiden 14/2007.  “Tolong diberikan prioritas kepada warga Perum TAS yang sampai saat ini belum dapat 20 persen,” katanya.

    Djoko Kirmanto yang mengaku baru mengetahui fakta ini kemudian meminta konfirmasi pada Yuniwati Theryana, perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya. Yuniwati mengatakan, warga yang belum menerima 20% ganti rugi belum memenuhi semua syarat yang ditetapkan. Menurut dia, PT Minarak telah menyelesaikan ganti rugi 12.100 berkas tanah warga yang sudah lengkap. “Jika sampai sekarang belum dibayar, tentu ada hal yang belum dipenuhi,” katanya.

    Juru bicara warga Perum TAS I Sumitro membantah pernyataan Theryana Yuniwati. Menurut dia, alasan warga menunda penyerahan berkas karena ada pelanggaran yang dilakukan PT Minarak Lapindo Jaya. “Tertundanya berkas itu karena ada poin-poin kesepakatan jual beli yang ingin diubah Lapindo. Padahal hal itu tidak diatur dalam risalah Wapres,” ujarnya.

    Saat ini setidaknya terdapat 100 orang warga Perum TAS  I yang belum mendapatkan ganti rugi 20%. Padahal, berdasarkan kesepakatan warga dengan PT Lapindo dalam risalah Wakil Presiden, batas waktu pembayaran ganti rugi 20% April 2008.

    “Kami putus asa dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai akhirnya kami terpaksa menyerahkan berkas ke PT Minarak Lapindo Jaya, Januari lalu. Tapi sampai sekarang belum juga diproses,” kata Sumitro. (E1)

  • Korban Lapindo Masih Diabaikan

    Perwakilan dari Desa Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo dan Siring, Sidoarjo, yang menggabungkan diri dalam Gerakan Pendukung Perpres  No 14/2007 (Geppres) menyatakan bahwa saat ini masa kontrak rumah 2 (dua) tahun telah habis, sehingga telah melewati jatuh tempo pembayaran 80 persen jual-beli tanah dan rumah yang tenggelam, sebagaimana pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 tahun 2007.

    Akan tetapi ternyata, PT Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa pembayaran 80 persen, dengan alasan tanah-tanah warga yang bukti kepemilikannya berupa Pethok D, Letter C, atau SK Gogol tidak bisa “di-AJB-kan” (dibuatkan akte jual beli). Sebagaimana lazim di desa-desa tersebut, mayoritas warga, sekitar 14.000 KK, bukti kepemilikan tanah mereka adalah Pethok D, Letter C dan SK Gogol. Sangat sedikit yang memiliki sertifikat hak milik (SHM).

    Alasan PT MLJ tersebut tidak masuk akal. Sebab, Badan Pertanahan Nasional telah mengirimkan surat kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo yang telah bersertifikat maupun belum bersertifikat. BPN menjelaskan secara rinci mekanisme jual beli untuk tanah bersertifikat hak milik maupun tanah dengan bukti Yasan, Letter C, Pethok D, Gogol.

    PT MLJ justru memaksakan model cash and resettlement dalam penyelesaian sosial korban lumpur Lapindo. Ini tidak sesuai dengan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No 14 tahun 2007. Karena itu, Geppres menolak model cash and resettlement dan tetap berpegang teguh mendukung pelaksanaan Perpres No. 14 Tahun 2007. Geppres menuntut Pemerintah untuk “memaksa PT MLJ agar tunduk kepada Perpres dan menindak tegas atas pembangkangan yang dilakukan”.

    Berbeda dengan Geppres, korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Perwakilan Warga Perumtas menyatakan bahwa bahkan sampai hari ini, mereka belum mendapatkan uang muka 20 persen. Mereka mengatakan bahwa, pada 24 April 2007, mereka telah bertemu dengan Presiden, Wakil Presiden, Menko Kesra, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Sosial, Dirut Bank Tabungan Negara, Dirut Bank Nasional Indonesia dan Gubernur Jakarta. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa pembayaran uang muka 20 persen korban lumpur Lapindo di dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 akan dibayarkan mulai tanggal 24 April 2008.

    Faktanya hingga kini mereka belum mendapatkan uang muka 20 persen, apalagi berkenaan dengan pembayaran sisa 80 persen. Padahal saat ini telah setahun lebih dari waktu yang dijanjikan. Untuk itu PW Perumtas menuntut “realisasi pembayaran seratus persen langsung”.

    Sedangkan Gerakan 3 Desa yang terdiri dari Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, menuntut keadilan Pemerintah dalam menangani permasalah sosial di ketiga desa tersebut. Pada Juli 2008 lalu Presiden memang telah mengeluarkan Perpres No. 48 Tahun 2008 yang menetapkan ketiga desa tersebut dalam peta area terdampak. Namun dalam hal mekanisme implementasi, muncul banyak masalah, dan tidak sesuai dengan tuntutan warga.

    Pertamasebagian wilayah Desa Besuki, yakni Desa Besuki yang berada di timur bekas jalan tol tidak masuk ke dalam peta area terdampak. Berkaitan dengan hal itu, Gerakan 3 Desa menuntut wilayah Desa Besuki bagian timur untuk “dimasukkan ke dalam peta area terdampak”. Keduapenentuan harga jual beli aset lahan dan bangunan di wilayah 3 desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) masih belum jelas. Gerakan 3 Desa menuntut harga itu disesuaikan dengan desa-desa yang masuk wilayah peta area terdampak, yakni tanah sawah 120.000 per meter persegi, tanah kering 1.000.000 per meter persegi, dan bangunan 1.500.000 per meter persegi.

    Ketigadisebutkan dalam Perpres No. 48 Tahun 2008 bahwa sisa pembayaran 80 persen aset warga akan dilakukan setelah pelunasan sisa pembayaran 80 persen bagi korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggungjawab PT Lapindo Brantas. Bagi Gerakan 3 Desa, pembayaran 80 persen aset mereka tidak ada hubungannya dengan sisa pembayaran korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas, sebab menggunakan sumber mata anggaran yang berbeda. Artinya, pelunasan 80 persen untuk ketiga desa tersebut dilakukan tanpa menunggu pelunasan sisa 80 persen bagi korban yang masuk peta terdampak 22 Maret 2007 yang menjadi tanggung jawab Lapindo.

    Sementara, korban Lapindo yang tergabung dalam Paguyuban Warga 9 Desa yang berasal dari Desa Siring bagian barat, Jatirejo bagian barat, Gedang, Mindi, Glagah Arum, Plumbon, Pamotan, Ketapang, Gempolsari menyatakan bahwa desa-desa tersebut telah terkena dampak luapan lumpur Lapindo berupa munculnya buble gas di mana-mana, penurunan tanah, rusaknya sumber mata air, tergenangnya sebagian wilayah oleh rembesan air yang berasal dari tanggul lumpur Lapindo, maupun bau gas yang menyengat.

    Paguyuban Warga 9 Desa menyayangkan Pemerintah tidak bertindak cepat dan sigap. Wilayah desa tersebut tidak ditetapkan dalam peta area terdampak, sehingga tidak ada satu pihak pun yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di desa-desa tersebut. Padahal, empat orang warga desa telah meninggal akibat pencemaran gas yang terjadi dan belasan lainnya jatuh sakit.

    Karena itu, Paguyuban Warga 9 Desa menuntut kepada Pemerintah untuk (1) menetapkan wilayah 9 desa ke dalam peta area terdampak; (2) menggunakan cara Perpres No 14 tahun 2007, yakni dengan melakukan jual-beli lahan di wilayah kami dengan mekanisme 20 persen sebagai uang muka, dan 80 persen sisanya dibayarkan dalam jangka waktu 1 tahun kemudian; (3) jaminan keamanan, keselamatan, dan sosial.

    Jakarta, 29 Agustus 2008
    Gerakan Pendukung Perpres No 14 Tahun 2007/Geppres
    Perwakilan Warga Perumtas

    Gerakan 3 Desa
    Paguyuban Warga 9 Desa

    Kontak:

    Paring 08125296063
    Beggy 085269135520

  • Menuntut Tanggung Jawab Lapindo

    Menuntut Tanggung Jawab Lapindo

    Pasal 15 Perpres itu, ayat 1, secara gamblang telah menetapkan, Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah.”

    Masih pasal yang sama, ayat 2, tertulis, “Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis.” 

    Multajam, yang berasal dari Desa Kedungbendo Kecamatan Tanggulangin ini, menandatangani kontrak jual-beli tanah dan bangunan dengan PT MLJ pada Agustus 2006. Seharusnya hari ini ia sudah menerima 80 persen, tapi kenyataannya ia belum menerima sepeser pun. Multajam memang hanya punya bukti Letter C. Rupanya, inilah yang menjadi alasan PT MLJ menolak melunasi 80 persen sisa pembayaran.

    Bagi PT MLJ, surat bukti kepemilikan tanah selain sertifikat hak milik (SHM) dan sertifikat hak guna bangunan (SHGB) tidak bisa dibuat Akta Jual Beli (AJB). Andi Darussalam Tabusalla, Wakil Direktur Utama PT MLJ, beralasan, “Kami berpegangan pada Undang-Undang Pokok Agraria dan ketentuan dalam Perpres No 14 Tahun 2007,” katanya dalam website resmi MLJ.

    PT MLJ keliru. Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tanggal 24 Maret 2008 menjadi bukti kesalahan persepsi PT MLJ. Surat yang bertajuk Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo itu menyatakan, “Terdapat 4 (empat) mekanisme penyelesaian jual-beli antara masyarakat korban lumpur Sidoarjo dengan PT Lapindo Brantas yang masing-masing sesuai dengan lampiran surat ini.” Dalam lampiran itu, BPN menjelaskan secara rinci. Pertama, mekanisme jual beli untuk tanah bersertifikat hak milik, kedua untuk tanah dengan bukti Yasan, Letter C, Pethok D, Gogol, ketiga untuk tanah bersertifikat hak guna bangunan, dan keempat untuk tanah Pemerintah/Pemda.

    Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi PT MLJ untuk tidak melunasi 80 persen. Tapi, PT MLJ malah berbelit dan mengajukan skemacash and resettlement untuk tanah dengan bukti Letter C, Pethok D, atau SK Gogol. Anehnya, skema ini seolah-olah merupakan permintaan warga korban dan bukan sodoran PT MLJ. Pada 25 Juni 2008 lalu, PT MLJ mampu membujuk sebagian warga korban untuk menandatangani kesepakatan cash and resettlement itu.

    Dalam kesepakatan itu disebutkan, bangunan akan dibayar tunai, sedangkan tanah akan ditukar dengan tanah, satu banding satu. Tarif bangunan 1,5 juta per meter persegi, dan dibayar 2 bulan setelah warga membubuhkan tanda tangan persetujuan pola cash and resettlement. Tanah pekarangan akan ditukar dengan tanah kavling di kawasan Kahuripan Nirvana Village (KNV). Sementara, sawah akan ditukar dengan sawah di Desa Sambibulu, Kecamatan Sukodono. Uang 20 persen yang sudah diterima warga tidak dihitung, dianggap hibah.

    Secara sekilas, pola ini sangat menguntungkan warga. Sudah dapat ganti tanah, bangunan dibeli secara tunai, dapat hibah pula. “Ini merupakan solusi jalan tengah yang melegakan kedua pihak, maka seyogyanya diterima dengan lapang dada dan terbuka,” kata Andi Darussalam kepada wartawan di Surabaya. Seorang budayawan malah sempat mengatakan di media, “MLJ itu bisa disebut malaikat. Masak ada setan yang mau hibah? Tentu, yang melakukan hibah adalah malaikat.”

    Toh, tampak aneh ketika dalam kesepakatan tersebut, poin 5, terdapat semacam ancaman bagi pemilik tanah nonsertifikat, “PT Minarak Lapindo Jaya tidak akan melaksanakan pembayaran cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikannya Pethok D/Letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apa pun.”

    Terhadap ancaman semacam itu, warga pun panik. Multajam tak urung juga sempat panik. Tapi dia tetap tidak mau menggunakan pola cash and resettlement. Pertama, soal pembayaran bangunan, ia harus rela menunda 2 bulan setelah penandatanganan. Padahal kalau menurut aturan Perpres, dia sudah harus dibayar kontan 80 persen, hari ini. “Orang yang sudah tanda tangancash and resettlemnent kemarin saja belum cair,” ujar Multajam, merujuk salah seorang temannya yang memilih skema tersebut.

    Kedua, untuk tanah, tanah kavling yang tersedia 90 meter persegi dan 120 meter persegi. Sementara, tanah Multajam 213 meter persegi. “Kalau (luas) tanahnya kurang, hangus dan kalau tanahnya lebih (warga harus)nomboki, ini dipotong dari pembayaran bangunan,” jelas Multajam.

    Amari, 34 tahun, warga Desa Renokenongo, bisa lebih parah nasibnya jika memilih cash and resettlement. “Saya sudah beli tanah dan rumah di desa lain. Buat apa saya beli tanah lagi?” ujarnya. Warga korban yang mengambil pilihan semacam Amari sangat banyak, bahkan ada yang lebih parah. “Ada yang beli tanah dengan uang muka sekian persen, lalu bikin perjanjian akan membayar setelah mendapat uang 80 persen,” tutur Ahmad Soetomo, salah seorang Ketua RT Desa Renokenongo.

    Ada lagi yang sudah beli tanah dan sudah mendirikan bangunan. Cuma, dengan uang 20 persen jelas tidak mencukupi. Akhirnya mereka berhutang ke sana-sini, dengan janji akan membayarnya setelah memperoleh 80 persen. Maka itu sulit dibayangkan jika warga tidak menerima 80 persen secara cash and carry.“Gepengo koyok ilir, sampai kapan pun, warga tetap menuntut cash and carry,” ucap Soetomo.

    Karena itu bisa dibilang, skema cash and resettlementhanyalah akal-akalan PT MLJ untuk menghindar dari kewajiban. Bupati Sidoarjo Win Hendarso saja tidak mengakui adanya pola penyelesaian tersebut. “Saya tidak tahu apa itu cash and resettlement,” tegas Win ketika menerima audiensi warga korban Lapindo pada 6 Agustus lalu, yang juga dihadiri pihak BPLS dan BPN.

    Dalam pertemuan itu, terkait perumusan pola cash and resettlement, baik Bupati, BPLS, maupun BPN mengaku tidak pernah dilibatkan dan tidak tahu menahu. PT MLJ sendiri sebenarnya juga sudah menandatangani Risalah Pertemuan 2 Mei 2007 bersama Menteri Sosial, BPN, BPLS, dan perwakilan 4 desa dalam peta terdampak. Dalam risalah itu, PT MLJ bertekad berpegang teguh pada Perpres 14/2007.

    Warga sudah memegang kumpulan dokumen yang tepat. Ada tanda tangan saya, Pak Mensos, semua pihak. Semua lengkap. Semua berkomitmen pada penyelesaian menurut Perpres,” Win menambahkan.

    Dalam risalah itu ditegaskan, Pethok D/Letter C/SK Gogol merupakan alat bukti kepemilikan yang sah dan diperlakukan sama dengan Sertifikat.

    Meski begitu, hingga hari ini, pelunasan tanah dan bangunan warga belum dilakukan oleh PT MLJ. Bukankah dengan begitu, PT MLJ telah melakukan melakukan pelanggaran? “MLJ telah melakukan tindakan yang dikategori wanprestasi,” jelas Taufik Basari, ahli hukum dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Jakarta. Akibat dari wanprestasi, atau melanggar perjanjian, warga berhak menuntut agar PT MLJ segera mematuhi perjanjian, sekaligus menuntut ganti rugi atas keterlambatan yang terjadi. “Warga sudah dirugikan dengan biaya-biaya yang seharusnya tidak dikeluarkan seandainya tidak terlambat,” tambah Taufik.

    Andai 80 persen dibayar tepat waktu, warga tidak akan, misalnya, menggadaikan motornya untuk membiayai kontrak rumah, atau warga bisa memulai pekerjaan baru. Warga pun berhak menuntut penyitaan aset-aset PT MLJ. “Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) ini sama halnya dengan utang-piutang. Warga korban berhak memperoleh jaminan berupa penyitaan aset,” tandas master hukum dari Northwestern University, Chicago, ini. [Ba,Mam,Re]

  • Setelah Dua Tahun Ngontrak, Tinggal Di Mana?

    korbanlumpur.info – Hari mengontrak dua tahun rumah dua kamar di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II setelah rumahnya di Kedung Bendo, ditenggelamkan lumpur Lapindo. Cak Hari, sapaan akrab Hari Suwandi, tak ada duit untuk memperpanjang kontrakan. Duit 20 persen dari rumahnya yang terpaksa dijual pada Lapindo sudah habis dan 80 persennya nunggakLapindo milik keluarga Bakrie itu enggan mengeluarkan duit untuk melunasinya.

    Harusnya, seturut pasal 15 Perpres No. 14/2007, sisa 80 persen uang Hari dibayar sebulan sebelum masa kontrakanya habis. Tepatnya pada bulan Juli tahun ini. Cak Hari, yang gara-gara lumpur Lapindo tak hanya kehilangan rumah tapi juga pekerjaannya, pusing tujuh keliling. Nilai 20 persen yang diterima Cak Hari, yakni sebesar 31.268.000 rupiah, sudah habis untuk makan sehari-hari dan dibagikan pada tiga anaknya perempuannya yang sudah berkeluarga.

    Masing-masing saya bagi tiga jutaan,” tutur Hari.

    Di Kedung Bendo rumahnya yang lama, Cak Hari dan sebelas anggota keluarganya, terdiri dari istri, 3 putrinya, 3 menantu, dan tiga cucu, menempati rumah seluas 54 meter di tanah seluas 75,34 meter. Setelah bencana lumpur Lapindo Cak Hari hanya bisa mengontrak rumah kecil dan tak cukup 11 orang. Keluarganya pecah.

    Anak-anak ada yang ngungsi ke mertuanya dan ada yang ngontrak sendiri,” kata Cak Hari, di rumah kontrakannya, di Blok S, yang habis masa sewanya itu.

    Cak Hari, sebenarnya, sudah mempersiapkan uang untuk kontrakan ini, beberapa hari sebelum kontrakannya habis. Uang didapat dari hasil menggadaikan sepeda motor milik menantunya Ahmad Novik pada Bank Citra Abadi, bank simpan pinjam di dekat pom bensin Tanggulangin. “Saya tarik (gadaikan) dua juta,” tutur Cak Hari.

    Setelah dapat uang Cak Hari akan menitipkan uanguntuk kontrakan namun ditolak orang suruhan Ahmad Zuhron karena takut terpakai dan habis.

    Beberapa hari setelah kedatangan pertama orang suruhan Zuhron datang dan uang tersebut sudah dipakai Cak Hari untuk makan. “Sisanya tinggal tujuh ratus ribu,” kata Cak Hari.

    Semua uang itu dikasihkan dan kurangnya Cak Hari minta waktu untuk cari pinjaman. Empat hari kemudian orang suruhan Ahmad Zuhron datang ke rumah Hari dan menagih pembayaran perlunasan. Cak Hari bilang cuma punya duit itu dan tidak bisa cari tambahan. Dengan duit 700 ribu Cak Hari meminta diizinkan ngontrak setengah tahun.

    Kalau tidak diperbolehkan, ya, balik ngungsi ke pasar atau tidur di tanggul,” tutur Cak Hari pasrah.

    Multajam

    Nasib serupa juga dialami oleh Multajam, 43 tahun, dan keluarganya. Sama seperti Hari, sudah dua tahun Multajam menganggur. Pabrik sabun Debrima tempat dia bekerja tak lagi beroperasi karena digulung lumpur Lapindo. Sehari-hari biaya hidupnya dan kedua anaknya bergantung pada Taslimah, 37 tahun, istrinya, yang kerja di pabrik rokok Andalas. Per 1000 batang rokok yang diproduksi, Taslimah mendapat bayaran 2.400 rupiah.

    Paling banter sehari dia menghasilkan 3000 batang. Kerjanya tak tentu, kadang dalam sebulan libur 3 minggu. Tergantung pada pesanan.

    Multajam, yang dulu tinggal di Desa Kedung Bendo RT 05/RW 02 dengan aset rumah seukuran 110 meter di tanah seluas 213 meter ini, pusing. Uang 80 persen belum juga dibayarkan Lapindo. Di pihak lain, kebutuhannya tak bisa diajak kompromi. Ongkos sekolah dua anaknya, Ahmad Ulum Fahrudin dan Ferry Afriyanto, di SMK dan SMP tak bisa ditunda.

    Lebih pusing lagi, Multajam dihadapkan pada pola baru, cash and resettlement. Dengan skema ini, bangunan dibeli dan akan dibayar 2 bulan setelah penandatanganan, sementara tanah diganti tanah baru, satu banding satu. Multajam menolak.

    Kalau (luas) tanahnya kurang, hangus dan kalau tanahnya lebih (warga harus) nomboki, ini dipotong dari pembayaran bangunan,” jelas Multajam.

    Pembayaran pertama 20 persen diterima Multajam pada Agustus 2006. Multajam tak punya sawah, hanya punya pekarangan dan bangunan. Totalnya dia menerima, 75,6 juta. Uang 20 persen pembayaran tanah dan bangunan ini lalu dipakai Multajam untuk mengontrak rumah di Perumahan Tanggul Angin Anggun Sejahtera. Karena khawatir pencairan keduanya sulit dia memilih tipe yang murah di komplek Blok M 5/64. Dia mengontrak dua tahun. Kontrak itu habis kini, dan uang 80 persen belum dibayar oleh Lapindo. Multajam bingung mau tinggal di mana selanjutnya. Karena sudah memasuki kepala empat dia juga kesulitan mendapat kerja.

    Wis tuwek ngene arep kerjo opo? Kalah saingan karo sing nom-nom (sudah tua begini mau kerja apa? Kalah sama yang muda-muda),” tutur Multajam dengan logat Jawa Timuran.

    Cak Hari dan Multajam disiksa Lapindo dengan pola cash and carry namun Lapindo juga menggantung nasib orang-orang yang memilih cash and resettlement.

    Juminah

    Ini yang terjadi pada Juminah, 66 tahun, bukan nama sebenarnya, dan keluarganya yang memilih cash and resettlementSebelum Lumpur Lapindo menenggelamkan rumahnya sekaligus tempat kerjanya di Kedung Bendo, RT 02 RW 01, Porong, Juminah adalah janda beranak enam. Hidupnya begantung pada usaha dompet yang dikelola Baskoro (bukan nama sebenarnya), anaknya 40 tahun. Tiap bulan, pendapatan Baskoro lima sampai enam juta rupiah. Juminah dan kedua anaknya, termasuk Baskoro dan istrinya, menempati rumah sederhana berukuran 75 meter.

    Rumah ini juga dijadikan tempat usaha. Walau tidak kaya kehidupan mereka tenang. Ketenangan ini terenggut setelah Lapindo gagal dalam pengeboran dan mengakibatkan ribuan warga belasan desa di tiga kecamatan di Sidoarjo kehilangan rumah tinggal, pekerjaan, semua harta milik dan kehidupan sosial mereka.

    Baskoro sibuk mengungsikan keluarganya. Awalnya mereka mengungsi di balai desa, lalu pindah ke Tulangan dan terakhir di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera II (Perum TAS II) blok S7/39. Selama setahun Baskoro mengurusi pindah-pindah ini dan mengabaikan pekerjaannya.

    Setahun pasca bencana dan setelah keluarganya aman di Perum TAS II Baskoro baru bisa memulai usaha dompetnya kembali. Selain memproduksi Baskoro juga memasarkan dompet-dompetnya dan ini bukan pekerjaan mudah untuk pengusaha yang vakum setahun.

    Dia harus cari pelanggan-pelanggan baru. Tak hanya itu, omzetnya juga berkurang drastis hingga 50 persen. Kerugian macam ini tak dihitung oleh Lapindo saat membahas ganti rugi. Hanya usaha-usaha menengah ke atas yang dapat ganti rugi. Usaha-usaha kecil rumahan diabaikan. Akibatnya, banyak korban Lapindo kehilangan pekerjaan. Rata-rata mereka akhirnya jadi tukang ojek di lokasi bencana.

    Bagi warga kecil macam Baskoro yang dihitung ganti ruginya hanyalah tanah, rumah dan sawah. Itu pun sebenarnya bukan ganti rugi, melainkan jual beli. Untuk sawah 120 ribu permeter, satu juta permeter untuk tanah, dan satu juta setengah per meter untuk rumah. Sedangkan kerugiannya atas penghasilan setahun serta penurunan omzetnya tak masuk hitungan.

    Total harusnya Baskoro mendapat ganti rugi 187,5 juta. Namun ini tidak bayar kontan oleh Lapindo. Sebagai tahap awal Baskoro hanya mendapat 20 persen yakni 37,50 juta ini sesuai dengan hitungan cash and carry di pasal 15 Perpres No. 14/2007.

    Belakangan, Lapindo tak menaati peraturan pemerintah ini dan membikin peraturan baru yakni cash and resettlementIni membingungkan warga, termasuk Baskoro, dan karena bingung dia memilih cash and resettlement.

    Hitungannya tetap pada rumah yakni 1,5 juta rupiah per meter namun tanahnya diganti dengan tanah baru di tempat lain di wilayah Sidoarjo. Pilihan tanahnya ukuran 90 meter dan 120 meter. Untuk warga yang tanah kurang dari ukuran tesebut harus nomboki dan ini yang dialami Baskoro dan keluarga yang hanya memiliki tanah 75 meter persegi. Uang kekurangan ini dipotong langsung dari uang rumahnya. Ini tidak adil.

    Kami harus nomboki 15 juta,” tutur Baskoro.

    Sementara, pembayaran atas bangunan oleh Lapindo baru dilakukan setelah dua bulan dari Agustus 2008. Itu pun jika Lapindo tidak mangkir. Baskoro gamang karena sebentar lagi hendak puasa di mana kebutuhan hidup melonjak dan kontrakannya pun akan segera habis. Dia tidak tahu, dengan cara apa harus memenuhi semua biaya itu. [mam]

  • Beringin: Dusun Yang Terpinggirkan

    korbanlumpur.info – Apa yang terjadi terhadap dusun Beringin desa Pamotan sungguh memprihatinkan, sumur-sumur warga telah keluar gelembung-gelembung gas sehingga airnya tidak bisa dipakai lagi, selain itu, semburan api juga bermunculan dibeberapa rumah dan pekarangan warga. dusun Beringin, Pamotan terletak di sebelah barat pusat semburan lumpur Lapindo dan berjarak sekitar 2 km. Sama seperti desa-desa di luar peta area terdampak, kondisi kerusakan lingkungan dan turunnya kualitas kesehatan tidak dilihat sama sekali oleh Pemerintah.

    Kondisi ini sudah mulai sekitar bulan Januari 2008 dan hingga sekarang tidak ada penanganan serius. “Ini sudah sejak Januari, awalnya cuma kecil, sekarang semakin membesar” ujar Semiwati, 56 tahun warga Beringin. Semiwati menuturkan, di rumah kakanya Amani, api sudah keluar di dapur. “Awalnya kita mau nyalain kompor, tiba-tiba api menyambar ke sebelahnya, dulu itu bekas bak kontrol selokan” tambahnya. Dirumah Amani itu, semburannya diberi pipa untuk mengalirkan gas dan atapnya dilobangi agar gas bisa keluar ruangan, karena posisi keluarnya semburan api ada di dapur, keluarganya terkadang memakainya sebagai kompor. Sedangkan di rumah Semiwati sendiri air sumur sudah tidak bisa digunakan, gelembung-gelembung gas muncul dan airnya berbau serta berasa asin “Airnya banger, coba saja kalau nggak percaya” ujarnya. Dan memang benar, air itu berbau dan rasanya asin, tentu saja kondisi air yang seperti seharusnya tidak bisa dipakai lagi.

    Namun warga tidak punya pilihan lain, dengan air yang bercampur gas, mereka masih tetap menggunakannya untuk aktifitas sehari-hari. Semiwati sudah sedemikian kesal dengan kinerja pemerintah yang tidak tanggap, menurutnya warga sama sekali tidak terperhatikan, BPLS hanya memberi bantuan air yang tidak konstan pengirimannya “Dua hari sekali, cuma dua tandon pula, tentu tidak cukup, karena sumur warga sudah rusak semua” lagipula, kerusakan sudah terjadi sejak januari, tapi bantuan air baru ada satu bulan kemarin. Bantuan air bersih sama sekali tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan warga. Warga sendiri mengaku gelisah atas kondisi ini “Itu katanya mengandung gas beracun, kita was-was juga, gimana kalau keracunan, gimana kalau tiba-tiba apinya membesar” sambung Semiwati.

    Sampai sekarang, mereka berharap agar wilayah mereka segera diselesaikan dan warga bisa diselamatkan.[re]

  • Tanggul Penahan Lumpur Lapindo Jebol

    PT MLJ Mengaku Membayar Ganti Rugi Bertahap

    SIDOARJO, KOMPAS – Tanggul lumpur Lapindo di titik 44 di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, jebol pada hari Selasa (26/8) sekitar pukul 05.00. Sehari sebelumnya, warga menduduki tanggul dan memblokir akses kendaraan proyek penanganan lumpur untuk menuntut ganti rugi.

    Pada Senin lalu, sekitar 500 warga memblokir lima pintu masuk menuju tanggul dalam upaya menuntut sisa pembayaran ganti rugi sebesar 80 persen yang belum diterima dari PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Aksi itu membuat aktivitas penanganan tanggul penahan lumpur terhenti. Polisi membubarkan aksi pada pukul 17.00 sehingga kegiatan penanganan tanggul pulih.

    Tanggul yang jebol selebar 6 meter dan tinggi 3 meter tersebut mengakibatkan lumpur meluber dan menutupi jalan yang dilalui truk dan traktor di areal tanggul. Luberan lumpur juga mengenai Desa Renokenongo, tetapi belum membahayakan warga yang masih tinggal di desa tersebut.”

    Jebolnya tanggul sudah kami perkirakan. Hal tersebut akibat terhentinya aktivitas penanganan tanggul penahan lumpur karena pemblokiran warga,” kata Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain di Sidoarjo, Selasa.

    Jika tanggul yang jebol tidak segera ditangani, kata Zulkarnain, dikhawatirkan lumpur akan meluber lebih luas ke permukiman warga Desa Renokenongo.

    Apalagi saat ini seluruh lumpur yang keluar dari semburan dibuang ke kolam penampungan karena pipa pembuangan ke Sungai Porong ditutup atas desakan warga sejak Rabu pekan lalu.

    Berdasarkan perhitungan BPLS, daya tampung kolam seluas 110 hektar tersebut menyisakan waktu sekitar 15 hari lagi. Lebih dari itu, kolam tidak mampu menampung semburan lumpur sebanyak 100.000 meter kubik setiap hari.

    ”Kami berharap dapat kembali membuang lumpur ke laut melalui Sungai Porong,” kata Zulkarnain.

    Koordinator Gerakan Pendukung Peraturan Presiden (Geppres), Suwito, yang kemarin memimpin pemblokiran akses ke tanggul, bersikukuh meminta PT MLJ segera membayarkan sisa ganti rugi sebesar 80 persen.

    ”Kami belum menentukan langkah berikutnya. Kami akan berkoordinasi lagi dengan seluruh warga dalam mengupayakan pembayaran sisa ganti rugi yang belum kami terima,” tuturnya.

    Bertahap

    Sebelumnya, Wakil Presiden PT LMJ Andi Darussalam Tabussala mengemukakan, pihaknya sudah membayar sisa ganti rugi 80 persen senilai hampir Rp 210 miliar untuk 538 warga penerima ganti rugi cash and resettlement. Selain itu, ganti rugi cash and carry senilai hampir Rp 148 miliar juga sudah dibayarkan untuk 648 warga.

    ”Kami tetap bertanggung jawab menyelesaikan ganti rugi. Jika ada keluhan, warga korban lumpur saya minta menghadap langsung ke PT MLJ,” ujar Andi. Menurut dia, sampai kini pembayaran sisa ganti rugi tetap berlangsung meski secara bertahap.

    Saat ini masih ada sekitar 1.000 korban lumpur yang belum menerima ganti rugi karena masih dalam proses verifikasi oleh BPLS. (APO)

  • Warga Yang Ditahan Sudah Dilepas

    korbanlumpur.info – Seluruh korban lapindo, baik tujuh orang dari Mindi maupun tiga orang dari Jatirejo yang kemarin ditangkap ketika melakukan aksi penutupan tanggul sudah dilepas oleh pihak kepolisian.

    Seperti diberitakan kemarin, tujuh orang dari desa Mindi dan tiga orang dari desa Jatirejo ditahan ketika melakukan aksi demonstrasi dengan menutup akses masuk di tanggul semburan lumpur Lapindo.

    Tujuh orang Mindi itu adalah: Shohibul Izar warga RT 02 RW 01, Abdul Mukti warga RT 20 RW III, Muhammad Fatoni warga RT 07 RW III, Tri Joko Nugroho warga RT 21 RW III, Abdul Haris warga RT 14 RW II, Syamsul Ali warga RT 15 RW II, Boneran warga RT 14 RW II.

    Sedang tiga orang desa Jatirejo: Udin warga RT 10 RW 02, Suherianto warga RT 09 RW 02 dan Kukuh warga RT 08 RW 02.

    Menurut Subagyo SH, Pengacara dari Tim Advokasi Korban lapindo, korban sudah seluruhnya dilepaskan, yang terakhir adalah tiga warga dari Desa jatirejo, yang disangka melakukan perusakan alat berat. “Sudah dilepas semua, baik 7 warga Mindi dan 3 warga jatirejo yg merusak alat berat kontraktor penanggulan” begitu pernyataan Subagyo.

    Tujuh orang dari Mindi yang ditahan di Polsek Porong dilepaskan sekitar pukul 01.00 dinihari sedang tiga orang dari Jatirejo yang ditahan di Polres Sidoarjo dilepaskan sekitar pukul 13.30 siang hari.[re]

  • Tanggul Cincin Lapindo Jebol

    Tanggul Cincin Lapindo Jebol

    korbanlumpur.info – Sidoarjo: Tiga bego, eskavator, berlomba menjulurkan lengan pengeruknya di sekitar pusat semburan lumpur Lapindo. Satu bego mengeruk lumpur dari pusat semburan dan membuangnya di sisi timur tanggul sementara dua bego lainnya mengeruk tanah dan meninggikan tanggul. Pusat semburan ini biasa disebut lokasi tanggul cincin karena bentuk tanggulnya yang melingkar. Sisi timur tanggul ini jebol pada malam tadi.

    Awalnya cuman air di permukaan lumpur yang meluber di sisi timur tanggul lalu disusul dengan lumpur yang volumenya semakin meningkat karena operasi penanggulan sehari kemarin dihentikan oleh para korban Lapindo dari berbagai desa.

    “Lumpur mulai meluber jam 8 malam kemarin dan ini yang merusak tanggul,” tutur Ahmad Zulkarnain, corong Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo atau BPLS.

    Warga menuntut supaya Lapindo segera melunasi hutang 80% dari harga pekarangan, rumah, dan sawah mereka yang tenggelam dalam lumpur. Harusnya Lapindo membayar bulan lalu namun ternyata mangkir dan warga menutup penanggulan karena merasa tanah yang ditanggul masih miliknya.

    “Lapindo baru membayar dua puluh persen,” tutur Dumadi, warga Reno Kenongo yang turut dalam aksi penutupan tanggul kemarin. Tak hanya itu warga Reno Kenongo yang tergabung dalam Pagar Rekontrak bahkan belum mendapat bayaran tanah dan bangunannya sepeserpun.

    “Bayar dulu baru tanggul,” demikian bunyi tuntutan di spanduk-spanduk warga. Zulkarnain menghargai tuntutan warga ini dan membikin pernyataan tertulis yang berisi akan menghormati tuntutan warga dan tidak melakukan penanggulan hingga ada kepastian tuntutan tersebut dibayar oleh lapindo.

    Namun operasi penanggulan dilakukan lagi pada hari berikutnya.

    Selain jebol di sisi timur, cincin tanggul di sebelah timur cincin juga mulai retak. Retakannya lebih dari 10 meter dan lumpur mulai meluber dari dua retakan kecil. Retakan ini terdapat di tanggul tepat di tengah antara dukuh Wangkal, Sengon (desa Renokenongo) dengan perumtas Kedung Bendo.

    Retakan ini jelas membahayakan warga-warga desa di sebelah timur tanggul. “Bukan tidak mungkin ada desa baru yang akan terdampak lumpur,” jelas Zulkarnain.

  • Warga Kedung Bendo Masih Bertahan

    Warga Kedung Bendo Masih Bertahan

    korbanlumpur.info – Meskipun aksi di tempat lain dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian, warga yang menduduki akses ke tanggul di Desa Ketapang masih tetap bertahan. Sampai pukul 02.00 hari Selasa (26/8) warga masih tinggal di tenda darurat yang siang tadi didirikan oleh warga. “Kami tetap bertahan sampai tuntutan kami dipenuhi,” ujar Abdul Syukur (40 tahun) kepada Kanal.

    Bersama dengan puluhan korban lainnya dari Desa Kedung Bendo dan Gempolsari, Cak Syukur, demikian pria 40 tahun ini biasa dipanggil, yang merupakan warga Desa Ketapang memilih tidur di tanggul. Tidak hanya, laki-laki dewasa yang memutuskan untuk tinggal di tanggul, tetapi juga ibu-ibu maupun anak-anak kecil semuanya tidur di tenda yang dibangun seadanya itu.

    “Rumah kami kan sudah tenggelam, kontrak 2 tahun juga sudah habis. Kami tidak punya lagi tempat untuk tinggal,” terang bapak satu putra ini.

    Pendapat senada diungkapkan oleh Anto (29 tahun) warga Desa Kedung Bendo yang juga bertahan di tanggul. Pemuda lajang yang akrab dipanggil Gambar ini menegaskan tekad bahwa warga tidak khawatir aksi mereka akan dibubarkan oleh aparat. “Atas dasar apa aparat membubarkan kami. Sepanjang belum dilunasi, tanah ini kan masih milik kami,” tegasnya ketika ditemui dini hari tadi.

    Koordinator aksi di tanggul Desa Ketapang, Hari Suwandi menjelaskan bahwa memang beberapa kali dia dihubungi aparat dari Polres Sidoarjo. Pihak kepolisian menanyakan bagaimana situasi aksi yang dilakukan oleh warga di Desa Ketapang. Dan sejauh ini, situasi aksi di Desa Ketapang memang relatifterkendali. “Tadi malam kami mengadakan istighotsah yang dipimpin oleh Ustadz Matsukril dari Desa Kedung Bendo,” terang Hari.

    Menurut rencana, aksi korban Lumpur Lapindo dengan menutup tanggul akan dilanjutkan selama beberapa hari ke depan. Dan selama tuntutan mereka belum dipenuhi, warga akan tetap menduduki tanggul.

    “Bahkan kalau perlu kami akan mendirikan gubuk untuk tempat tinggal kami dan keluarga di atas tanah dimana dulu rumah kami berdiri,” tegasnya. (ako)

  • BPLS Tidak Berkutik dengan Desakan Warga

    BPLS Tidak Berkutik dengan Desakan Warga

    korbanlumpur.info – Aksi penutupan tanggul oleh warga korban Lumpur Lapindo benar-benar membuat pihak Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pusing tujuh keliling. Aktivitas penanggulan yang berhenti total selama seharian kemarin (Senin, 25/8), menyebabkan beberapa titik tanggul mengalami kritis akibat volume lumpur yang terus meningkat, sementara pengaliran ke sungai Porong dan penguatan tanggul tidak bisa dilakukan.

    Padahal, aksi warga tidak hanya akan berlangsung satu hari. Warga akan terus menutup akses ke tanggul, yang notabene adalah tanah mereka sendiri, sampai tuntutan sisa pembayaran 80 persen terpenuhi. Posisi BPLS kian terjepit karena warga berhasil ‘memaksa’ mereka menandatangani surat pernyataan, yang isinya ‘membiarkan’ warga untuk terus menutup akses ke tanggul.

    Surat pernyataan tersebut ditandatangani oleh Humas BPLS, Ahmad Zulkarnaen, yang kewalahan menghadapi desakan warga. Bertempat di Posko GEPPRES di Desa Jatirejo, Zulkarnaen tadi malam harus menghadapi berondongan pertanyaan dan gugatan dari korban yang mempertanyakan ketidaktegasan BPLS selaku pihak yang seharusnya bertanggungjawab menangani semua dampak yang timbul dari Bencana Lumpur Lapindo.

    Awalnya, Zulkarnaen datang ke Posko untuk memberi penjelasan terkait alasan pembubaran aksi warga di akses tanggul Desa Siring. Warga menganggap bahwa pihak kepolisian sebenarnya tidak berhak membubarkan aksi mereka karena aksi mereka tidak dilakukan di tempat umum, tetapi di lahan milik mereka sendiri. Warga juga sudah memberitahukan mengenai aksi mereka ini kepada kepolisian dan BPLS.

    Bahkan, dalam berbagai kesempatan, pihak BPLS selalu mengatakan bahwa mereka menghargai dan akan memfasilitasi tuntutan warga. Tetapi korban merasa hal itu hanya sebatas omong kosong semata. Ketika sampai pada kebutuhan misalnya BPLS seharusnya tegas membantu hak warga, mereka terkesan hanya pasif dan membiarkan saja.

    Karena itu, dalam kesempatan pertemuan kemarin, warga habis kesabarannya dengan posisi tidak jelas BPLS tersebut. Mereka menuntut agar Zulkarnaen yang dianggap mewakili BPLS mempertegas posisinya terhadap tuntutan warga. Warga kemudian menodong Zulkarnaen untuk menandatangani surat pernyataan bermaterei seperti di atas.

    Dengan ditandatanganinya surat pernyataan ini, warga memegang bukti bahwa ke depan BPLS akan mendukung tuntutan korban. Terkait dengan tuntutan sisa pembayaran 80 persen saat ini, BPLS tidak akan menghalangi aksi warga untuk menutup tanggul sampai ada perkembangan/keputusan positif terhadap tuntutan korban.

  • 7 Warga Mindi Diamankan Aparat

    7 Warga Mindi Diamankan Aparat

    korbanlumpur.info – Maghrib tadi tujuh warga Mindi yang ikut dalam aksi menutup tanggul lumpur Lapindo diamankan aparat. Mereka masih belum tahu kesalahannya.

    Saat ditemui di Polsek, Tujuh warga ini bercerita, saat ditangkap mereka bilang polisi langsung datang satu truk dan bilang kalau waktu aksinya sudah habis.

    Mereka adalah Shohibul Izar warga RT 02 RW 01, Abdul Mukti warga RT 20 RW III, Muhammad Fatoni warga RT 07 RW III, Tri Joko Nugroho warga RT 21 RW III, Abdul Haris warga RT 14 RW II, Syamsul Ali warga RT 15 RW II, Boneran warga RT 14 RW II.

    Sebelumnya, sekitar pukul 16.00 WIB, kira-kira 10 orang warga Jatirejo memecahkan kaca bego, eskavator, yang diparkir di titik 25. Setelah aksi ini tiga orang warga Jatirejo yang diduga melakukan perusakan ditangkap aparat kepolisian dari polsek Porong dan Satuan Samapta Kepolisian Resort Sidoarjo.

    Tak hanya melakukan penangkapan polisi juga membubarkan warga Siring yang melakukan aksi penutupan di pintu masuk ke pusat semburan. Aksi damai ini dilakukan karena Lapindo ingkar janji dalam pembayaran tanah, rumah dan sawah warga yang seharusnya dibayar bulan Juli lalu.

    Kebanyakan warga baru dibayar 20 persen dan sebagian bahkan belum dibayar sama sekali. Karena itulah warga korban Lapindo dari beberapa desa melakukan aksi menutup penanggulan sejak subuh tadi.

    “Bayar dulu baru tanggul,” begitu tulisan warga dalam spanduk-spanduk mereka.

    Penutupan ini dilakukan warga di desa masing-masing; antara lain di desa Siring, Reno Kenongo, Jatirejo, Kedung Bendo dan Ketapang, Mindi (di Pejarakan dekat spill way)  menyebabkan operasi penanggulan lumpur macet total.

    Hingga siang aksi yang diamankan oleh aparat gabungan dari Polsek Porong dan Satuan Samapta ini berjalan tanpa kekerasan.

    Kasat Samapta Polres Sidoarjo T Harahap yang ditemui saat mengamankan aksi di titik Reno Kenongo memahami tuntutan warga. Sebab, menurutnya karena memang Lapindo belum membayar sisa utangnya. Dia bilang akan bersatu dengan warga untuk mengamankan aksi ini.

    Sampai pada insiden perusakan kaca-kaca Bego di yang diparkir di dekat lokasi desa Jatirejo. Aksi ini dilakukan beberapa orang dan masa aksi tetap tenang di titik masing-masing.

    Setelah itu polisi yang melakukan pengamanan mulai membubarkan masa aksi yang paling dekat dengan titik Jatirejo adalah Siring dan ini yang dibubarkan aparat. sound system, spanduk dan terpal diangkut semua dalam truk polisi dan dibawa di Polsek Porong.

    Meski kejadian pengerusakan di titik penutupan Jatirejo yang berdekatan dengan titik Siring tapi Polisi juga membubarkan aksi penutupan tanggul di dua titik lainnya yang jaraknya lebih dari 5 kilo meter dan tidak mengerti apa-apa dengan aksi pengerusakan ini. Dua titik tersebut adalah titik Renokenongo dan Mindi.

    Tak hanya membubarkan aksi polisi juga mengangkut sound system dan spanduk, terpal dari Reno Kenongo dan Di titik Mindi polisi membawa terpal. Tak hanya itu masa aksi yang saat pembubaran ini sedang bergantian untuk menunaikan shalat Magrib juga ditangkap polisi tanpa alasan yang jelas.

    Saat ketemu T Harahap di Polsek Porong dia hanya bilang polisi tidak menangkap tapi cuma meminta keterangan.

  • Mereka yang Dihapus dari Peta

    Siring adalah desa kecil di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang dibelah oleh Jalan Raya Pos. Siring Timur sudah terhapus dari peta sejak lumpur Lapindo Brantas menyembur 29 Mei 2006. Siring Barat tinggal menunggu waktu terhapus dari peta. Perlahan namun pasti, tanah di Siring Barat ambles ke dalam bumi.

    Sebelum Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dibangun, Sidoarjo hanyalah pasar kecil pada sebuah persimpangan menuju Mojokerto, Malang, atau Surabaya. Ahli tata kota dari Universitas Gadjah Mada, Sudaryono, menyebutkan, Sidoarjo adalah satu dari kota-kota modern di Jawa yang tumbuh karena Jalan Raya Pos. Titik kebangkitan kota ini terutama terjadi tahun 1867 ketika jalur rel kereta api lintas Jawa dibangun.

    Namun, Sidoarjo (khususnya Porong) kini memudar. Bermula dari lumpur yang keluar di Desa Reno Kenongo, Kecamatan Porong, desa-desa lainnya mulai terhapus dari peta bumi. Sedikitnya 12.000 warga kehilangan rumah, jumlah yang mungkin terus bertambah karena belum ada tanda semburan berhenti.

    Penyebab semburan lumpur masih memicu kontroversi. Banyak yang menyalahkan Lapindo Brantas Inc yang melakukan pengeboran minyak bumi sekitar 150 meter dari pusat semburan. Lapindo Brantas Inc menyalahkan gempa bumi Yogyakarta, yang berjarak 300 kilometer dari pusat semburan, sebagai pemicunya.

    Sirna

    Apa pun penyebabnya, bencana itu membawa penderitaan luar biasa bagi rakyat.

    Siring Barat, Agustus 2008. Seorang gadis kecil tidur di kursi tamu, di dalam rumah yang nyaris ambruk. Tiga batang kelapa menyangga kuda-kuda rumah yang melengkung ke bawah. Lantai ambles. Dinding rengkah memanjang. Bau gas yang menyengat menguar dari rengkahan itu. ”Kami tak punya tempat tinggal lain,” kata Ikhwan (44), ayah gadis kecil, Nurul Aini (11), yang tengah tidur siang itu.

    Setengah jam di rumah itu, perut terasa mual dan kepala berdenyut akibat menghirup gas yang menyengat. Penelitian Tim Kajian Kelayakan Permukiman (TKKP) menunjukkan, gas di Siring Barat mengandung nitrogen dioksida (NO>sub<2>res<>res<) berkadar 0,116 ppm dan hidrokarbon (HC) hingga 55.000 ppm. Gas-gas ini karsinogenik, dan memicu kanker. Padahal, ambang baku mutu yang diizinkan—sesuai dengan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Jatim Nomor 129 Tahun 1996—untuk HC hanya 0,24 ppm dan NO>sub<2>res<>res< 0,05 ppm. Padahal, keluarga Ikhwan tinggal di sana dua tahun terakhir ini.

    Keluarga Sutiman (72) juga senasib. Mereka terpaksa tinggal di rumah yang nyaris roboh. ”Kasihan cucu-cucu, terpaksa tinggal di rumah seperti ini. Tapi, mau apa lagi? Kami tak punya uang untuk pindah,” ujar Sutiman.

    Perlahan tapi pasti, desa demi desa di Porong terhapus dari peta. Rumah-rumah hilang. Sekolah hilang. Tempat kerja hilang. Masjid juga hilang.

    Hilangnya Porong seakan mengingatkan pada sirnanya Majapahit seperti tercatat dalam Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi, yaitu ketika sirna ilang kertaning bhumi, yang menunjuk tahun 1400 Saka/1478 M. Secara leksikal, penyebutan angka juga dapat didefinisikan bahwa sirnanya

    Majapahit adalah ketika ”musnah hilang sudah selesai pekerjaan bumi”. Porong— sebagai bagian dari Delta Sungai Brantas —pernah menjadi pusat kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Jenggala, sekitar tahun 950 M-1500 M.

    Zona tak bertuan

    Sutiman dan ratusan warga Siring Barat lainnya seperti hidup di zona tak bertuan. Penderitaan mereka tak dianggap. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 tak memasukkan desa mereka dalam zona terdampak yang berhak mendapatkan ganti rugi dari Lapindo Brantas Inc.

    Perpres Nomor 48 Tahun 2008 tentang Perubahan Perpres Nomor 14 Tahun 2007 juga tak memasukkan Siring Barat yang nyata terkena dampak itu ke wilayah yang mendapat prioritas penanganan.

    Padahal, menurut Ketua Forum Komunikasi 9 Desa di Porong dan Tanggulangin Bambang Kuswanto, ada sembilan desa lain di luar desa terdampak yang jelas kena dampak. Yang terparah adalah Siring Barat, Jati Rejo Barat, dan Mindi.

    Pakar manajemen bencana dari Institut Teknologi Sepuluh November Amien Widodo mengaku tak habis pikir dengan kondisi ini. ”Nyawa orang tidak ada harganya di Siring Barat. Tiap detik adalah maut, tapi tak ada tindakan,” kata Amien, yang juga anggota tim peneliti TKKP.

    Tim TKKP yang dibentuk Pemerintah Provinsi Jawa Timur ini sejak Mei 2008 telah merekomendasikan agar warga Siring Barat, Jati Rejo Barat, dan Mindi segera dievakuasi. Menindaklanjuti rekomendasi itu, Gubernur Jatim Imam Oetomo mengirimkan surat kepada Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) pada 5 Mei 2008. Imam meminta agar 628 keluarga di tiga desa itu direlokasi. Namun, hingga sekarang belum ada respons dari Jakarta.

    ”Masalah ini sudah dibahas bersama DPR. Masalahnya, anggaran kita terbatas,” kata Sekretaris BPLS Adi Sarwoko.

    Data terakhir dari BPLS menyebutkan, titik semburan mencapai 98 buah. ”Apa lagi yang ditunggu? Jangan sampai ada korban lebih banyak,” sebut Amien.

    Sutiman dan ribuan warga di Sidoarjo tak hanya kehilangan ruang aman untuk tinggal, tetapi juga sejarah hidup. Akankah mereka juga dibiarkan kehilangan masa depan? (RYO)

    © Kompas

  • Aksi Damai Korban Lapindo Dibubarkan Aparat

    korbanlumpur.info – Aksi warga korban lumpur yang menutup akses ke lokasi semburan Lumpur yang berlangsung dengan damai, dibubarkan paksa oleh aparat keamanan. Yang dibubarkan adalah massa yang menduduki tanggul di pintu masuk desa Siring, akses yang langsung menuju ke titik R1 atau pusat semburan lumpur. Dilaporkan bahwa ada 3 orang warga yang ditahan dalam insiden ini.

    Dari beberapa informasi yang berhasil dikumpulkan tim Kanal, diperoleh keterangan bahwa pembubaran ini dipicu oleh adanya provokasi yang berupa perusakan terhadap peralatan berat yang berada di dalam lokasi tanggul. Diduga, perusakan ini dilakukan oleh beberapa orang pemuda yang kelihatan sedang mabuk, di lokasi bekas desa Jatirejo.

    Begitu mendapat laporan adanya perusakan ini, polisi kemudian menangkap ketiga pemuda tersebut. Bersamaan dengan penangkapan ini, ratusan petugas kepolisian juga membubarkan massa di Siring yang jaraknya paling dekat dengan lokasi penangkapan. “Sebagian besar peserta aksi tampaknya sedang pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat,” ujar Rere, warga Renokenongo yang menyaksikan kejadian tersebut.

    Kapolres Sidoarjo, AKBP Maruli Simanjuntak yang memimpin langsung pembubaran itu, menyatakan bahwa aksi blokade warga harus selesai sebelum jam 18.00. Jumlah massa yang berkurang hingga tinggal puluhan orang sore itu juga didominasi oleh kaum ibu, tidak berdaya menghadapi pembubaran oleh polisi yang beranggotakan ratusan personel. Spanduk dan berbagai macam alat aksi lainnya dilaporkan ikut disita oleh polisi.

    Saat ini, kelompok korban dari komponen GEPPRES yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan aksi masih mengadakan pertemuan untuk menyikapi aksi pembubaran oleh aparat keamanan ini.

    Sementara itu, aksi blokade yang berlangsung di titik lainnya, yaitu di bekas jalan tol Desa Renokenongo dan pintu masuk di Desa Ketapang. Di Desa Ketapang, peserta aksi yang sebagian besar adalah warga Kedung Bendo melanjutkan aksi malam ini dengan istighotsah. Warga bertekad untuk bertahan sampai tuntutan sisa pembayaran 80 persen segera dipenuhi. (ako)

  • Bikin Film Di Tengah Demo

    Bikin Film Di Tengah Demo

    Ada pemandangan lain di tengah demonstrasi ribuan korban lumpur Lapindo hari ini (25/08). Beberapa anak muda berpakaian kasual, tampak membawa peralatan pembuatan film ditengah kerumunan warga yang sedang menuntut hak-hak mereka. Kamera besar mereka men-shoot ke sekumpulan anak kecil yang bersepeda di atas tanggul.

    Mereka adalah mahasiswa IKJ (Institut Kesenian Jakarta) yang sedang mengerjakan tugas pembuatan film. Setting yang dipakai adalah sekitar wilayah semburan lumpur Lapindo. Ceritanya, ada anak-anak korban Lapindo yang berusaha mencari obat untuk ibunya yang sedang sakit. Ibu itu teracuni gas metan setelah lama berjualan di dekat wilayah lumpur Lapindo.

    Seperti diketahui, penelitian WALHI menyatakan lingkungan sekitar semburan lumpur telah tercemar PAH (policyclic aromatic hydrocarbons) 8.000 kali melebihi ambang batas. PAH merupakan senyawa yang berbahaya. Senyawa itu menyebakan tumor atau kanker secara lansung. Parahnya lagi, PAH bisa berubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan berpotensi tinggi akan resiko tumor dan kangker.Kenyataan ini sengaja ditutupi dan bahkan dimentahkan tanpa pernah dibuat penelitian tandingannya baik oleh pemerintah maupun pihak Lapindo Brantas.

    Menurut pengakuan Pidi, salah satu mahasiswa IKJ yang terlibat pada pembuatan film ini, setidaknya ada 20 mahasiswa IKJ yang ikut di Porong, untuk mengerjakan tugas itu. Mereka menggunakan pemain yang seluruhnya berasal dari korban, karena ingin mendapatkan gambaran nyata kondisi anak-anak korban Lapindo.

    Saat pengambilan gambar, korban Lapindo yang sedang melakukan aksi antusias melihat kerja para mahasiswa ini. Korban sendiri berharap semua kampanye yang dibuat, seharusnya bisa dipakai sebagai usaha menekan baik pihak Pemerintah maupun Lapindo.  Agar segera menyelesaikan masalah yang muncul akibat semburan lumpur itu.[re]

  • Korban Lapindo Bersatu Tutup Langgul

    Korban Lapindo Bersatu Tutup Langgul

    korbanlumpur.info – Gabungan beberapa kelompok korban kembali berunjuk rasa hari ini (25/08). Aksi ini karena masih berlarutnya proses pembayaran ganti rugi warga secara cash and carry. Juga belum jelasnya status desa-desa diluar peta area terdampak.

    Massa terdiri dari kelompok Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden), dan Paguyuban 4 Desa (Gedang, Ketapang, Glagaharum, dan Plumbon), juga tim 3 Desa (Mindi, Siring dan Jatirejo). Meskipun berbeda tuntutan, mereka melakukan aksi bersama menuntut penyelesaian desa-desa mereka.

    Geppres adalah kelompok desa-desa didalam peta area terdampak, yang sampai sekarang masih berjuang mendapatkan ganti rugi 80% secara cash and carry. Ini karena pihak Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menyatakan tidak akan membeli tanah warga yang berstatus kepemilikan Petok D dan Letter C.

    Sedangkan Paguyuban 4 Desa menuntut dimasukkannya wilayah mereka kedalam peta area terdampak. Sebab kesehatan dan keselamatan daerah mereka sangat rentan. Selain tinggal dekat tanggul yang bisa roboh sewaktu-waktu. Lingkungan mereka juga mengalami kerusakan dan terpolusi oleh logam berat dan PAH (policyclic aromatic hydrocarbons) . “Kami ini juga korban, tolong pemerintah jujur melihat kondisi desa-desa kami” kata Jarot dari Siring Barat.

    Sejak pagi, ribuan massa  bergerak menutup semua akses masuk ke tanggul di beberapa titik. Mereka menolak dilanjutkannya proses penanggulan sebelum persoalan mereka diselesaikan. Warga menyatakan bahwa area teanggul itu masih tanah hak milik mereka, karena belum diselesaikan pembayarannya. Mereka mengancam akan menduduki tanggul secara permanen bila tuntutannya tidak dipenuhi.

    “Ini tanah warga dan warga masih punya hak di sini karena Lapindo belum menyelesaikan sisa pembayaran 80%. Sampai kapanpun kami akan tetap disini kalau Lapindo menolak membayar secara cash and carry” tutur Suwito Koordinator Geppres ditengah-tengah massa. Hingga berita ini diturunkan, tidak ada pihak-pihak terkait yang datang untuk merundingkan permasalahan ini. [re]

  • Ribuan Korban Lapindo Menutup Tanggul

    korbanlumpur.info – Sidoarjo: Sejak subuh tadi Dumadi bersama dengan sekitar 470 keluarga  dari Desa Reno Kenongo yang tanahnya tergenang lumpur Lapindo menutup operasi penanggulan PT Minarak Lapindo Jaya. Mereka merasa masih memiliki tanah yang kini ditanggul. Mereka menutup pintu titik 43 yang letaknya tepat di bekas desa mereka alias Reno Kenongo.

    “Lapindo baru membayar dua puluh persen tanah kami, delapan puluh persennya tidak jelas,” jelas Dumadi di pinggir luapan lumpur.

    Selain Dumadi dan tetangganya, ribuan warga dari beberapa desa lainnya yang menjadi korban Lapindo juga melakukan aksi serupa yakni menduduki tanah mereka dan menyetop penanggulan.

    Aksi ini dilakukan setelah Lapindo mengingkari janjinya untuk melunasi sisa pembayaran yang mustinya di bayar bulan lalu.

    Aksi penutupan penanggulan ini dilakukan warga supaya mereka tidak merugikan orang lain. Sebelumnya mereka melakukan aksi menutup akses jalan raya Surabaya-Malang yang terletak di pinggir Tanggul.

    “Kami warga kecil yang dirugikan dan kami tak ingin merugikan orang lain. Kami menghentikan penanggulan karena tanah ini masih milik kami,” jelas Dumadi. [mam]

  • Dibutuhkan Kolam Penampungan Baru

    SIDOARJO, KOMPAS – Daya tampung kolam penampungan lumpur Lapindo diperkirakan hanya bertahan 21 hari sejak pipa pembuangan lumpur ke Sungai Porong ditutup atas desakan warga pada Rabu lalu. Agar lumpur tidak meluber dibutuhkan tempat penampungan yang baru.

    Demikian penjelasan Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS) Achmad Zulkarnain di Sidoarjo, Jawa Timur, kemarin. Saat ini, lanjut Zulkarnain, ada empat kolam penampungan yang digunakan untuk membuang lumpur Lapindo, yakni kolam Perumtas, Siring, Ketapang, dan Glagaharum I.

    Luas semua kolam penampungan sekitar 110 hektar. Nama keempat kolam tersebut diambil dari nama desa yang kini tenggelam oleh lumpur panas Lapindo,” kata Zulkarnain.

    Setiap hari, lanjutnya, sekitar 100.000 meter kubik lumpur masih keluar. ”Padahal, kami tidak pernah tahu kapan lumpur ini akan berhenti menyembur,” kata Zulkarnain. Ia berharap warga kembali mengizinkan pembuangan lumpur ke Sungai Porong.

    Unjuk rasa

    Di tempat berbeda, warga delapan desa korban lumpur Lapindo menyatakan akan memblokir areal tanggul di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Senin (25/8) pagi ini. Sebab, hingga kemarin pihak Lapindo belum juga melunasi sisa ganti rugi yang menjadi hak korban lumpur.

    ”Sampai sekarang Lapindo tidak pernah menjelaskan kapan sisa ganti rugi akan dibayar. Padahal, masa kontrak rumah warga sudah mulai habis,” kata Rois, koordinator warga Desa Siring.

    Berdasarkan surat kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh pimpinan Lapindo dan Bupati Sidoarjo pada 4 Desember 2006, pihak Lapindo akan membayar ganti rugi dengan skema 20 persen di muka dan sisanya dibayar selambat-lambatnya dua bulan sebelum masa kontrak rumah para korban lumpur habis. Selama menunggu pencairan sisa ganti rugi itu, warga diberi uang kontrak rumah untuk masa dua tahun.

    Pada umumnya, warga korban lumpur mengontrak rumah pada Agustus 2006. Karena itu, Agustus ini banyak warga korban lumpur yang sudah habis masa kontraknya. Lumpur Lapindo tidak hanya mengakibatkan tenggelamnya sejumlah desa atau tempat tinggal warga. Kemarin toko-toko di sepanjang Jalan Raya Porong yang langsung berhadapan dengan tanggul penahan lumpur pun semakin banyak yang tutup.

    Menurut beberapa pemilik toko yang ditemui, transaksi semakin merosot akibat banyak warga Porong yang menjadi korban lumpur pindah.(APO/LAS/NAW)

  • Living on the Poisonous Stream

    The residents of Permisan village near the Porong river in East Java have been harvesting fish from their ponds for generations, but since an environmental disaster at the Lapindo Brantas gas mining site in May 2006, the area has been suffering from vast eruptions of volcanic mud, which have buried nearby villages and displaced thousands of people.

    Whilst Permisan is not in the immediate vicinity of the mud flow, it does rely on the local river water to replenish its fish ponds, and since the company has been using the river to deposit the excess mud from the disaster zone, the fishermen have noticed that their fish harvests are getting smaller and less frequent.

    In this video, the residents of the community filmed their own story to demonstrate that their rights to livelihood have been violated and to request the acknowledgement of this by those responsible, and their assistance to help the community to manage their resources more effectively to ensure the sustainability of their local economy and way of life.

  • Aku Ingin Pulang

    Tragedi lumpur Lapindo adalah bencana ekologis terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Sejak bencana itu terjadi pada 29 Mei 2006 hingga hari ini tidak ada upaya nyata untuk menghentikan semburan lumpur ini. Warga korban luapan lumpur panas yang mengungsi di Pasar Baru Porong mencapai 14.768 jiwa. Meskipun sebagian kecil dari mereka telah mendapat bantuan kompensasi dari pihak Lapindo, warga terlanjur kehilangan mata pencaharian, tempat bernaung, segenap harta benda serta hidup dan kebersamaan yang telah terbangung.

    Telah banyak warga yang mengalami gangguan fisik, sebanyak 49.639 jiwa menjalani rawat jalan, 1.130 orang menjalani rawat inap tersebar di berbagai pos kesehatan dan rumah sakit. Penderita gangguan jiwa telah puluhan orang diakibatkan tinggal di lokasi pengungsian. Anak-anak terganggu dalam aktivitas belajar mengajar, 33 gedung sekolah negeri dan swasta, mulai tingkat TK hingga SMA telah terendam lumpur.

    Kerugian akibat Lumpur mencapai Rp 33 Triliun, serta tidak terhitung angka kerugian akibat bencana lingkungan dan sosial yang terjadi. Dan angka-angka akan terus bertambah sepanjang lumpur tetap mengalir….… Entah sampai kapan, hanya ada satu yang pasti …warga Porong yang desanya telah terendam lumpur, tidak akan pernah pulang kembali ke rumahnya.

    Untuk lebih jelas tentang peristiwa ini silahkan lihat di Jatam (www.jatam.org), Walhi (www.walhi.or.id), dan Gekko Studio (www.gekkovoices.com).

    Klik untuk melihat video :