Author: catur

  • Walhi Bali: KLH Lecehkan Korban Lapindo

    Denpasar, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bali menuding Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) telah melakukan pelecehan terhadap korban Lapindo Sidoarjo. Dimana KLH telah memberikan anugerah biru plus kepada Lapindo Brantas Incorporation.

    Padahal menurut Walhi, Lapindo Brantas merupakan perusahaan hitam perusak lingkungan. Tudingan tersebut disampaikan Walhi Bali ketika melakukan aksi teatrikal bersama Aliansi Peduli Korban Lapindo (APKL) di Jl. Dewi Sartika, Denpasar, Jumat (8/8).

    Direktur Walhi Daerah Bali, Agung Wardana menyatakan, KLH tidak saja melakukan pelecehan terhadap masyarakat korban lumpur Lapindo akan tetapi pemerintah terutama KLH tidak mempunyai kepekaan sosial terhadap penderitaan para korban Lapindo.

    Walhi juga menuding, Lapindo Brantas juga ikut melakukan pelecehan terhadap korban lumpur Lapindo dimana pada saat korban Lapindo mengalami penderitaan, justru keluarga Bakrie menggelar pesta pernikahan dengan menghabiskan dana puluhan milyar rupiah.

    “Di tengah penderitaan korban, ternyata keluarga Bakrie lebih memilih untuk menghabiskan dananya hingga puluhan milyar rupiah untuk berpesta daripada memenuhi tanggung jawabnya kepada korban. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak punya sense of crisis,” ujar Agung Wardana.

    Sementara dalam aksi teatrikalnya, Aliansi Peduli Korban Lapindo membawa duplikat kue pernikahan yang terbuat dari triplek setinggi 1,2 meter. Kue pernikahan tersebut dikelilingi oleh 5 orang aktivis yang badannya dilumuri oleh lumpur dan lehernya diikat dengan tali. Hal ini disimbolkan sebagai pernikahan yang dilaksanakan di atas penderitaan korban lapindo. (Mlt)

    © BeritaBali.com

  • Korban Lapindo dan Mandulnya Negara

    Korban lumpur lapindo yang di dalam peta area terdampak pada 22 Maret 2007 kini tengah resah. Kurang lebih 1000 an orang belum menerima uang muka 20 persen. Sisanya sebesar 11 ribu kepala keluarga cemas menuggu ketidakjelasan pembayaran 80 persen oleh PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ).

    Hari Selasa, 5 Agustus 2008 yang lalu, kami bersama dengan ribuan korban lumpur melakukan aksi untuk meminta komitmen pemerintah dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menegakkan aturan hukum yang ada. Aturan hukum itu menyangkut pembayaran sisa 80 persen yang harus dilakukan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Namun, hasil pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS, dan BPN tak membuah hasil yang menggembirakan. Bupati, BPN, dan BPLS tak secara kongkrit menegakkan aturan itu.

    Sesuai dengan mekanisme hukum yang ada, pada tanggal 2 Mei 2007, menteri sosial selaku wakil ketua dewan pengarah BPLS, bersama dengan Ketua BPLS, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Sidoarjo, Vice Presiden PT Minarak Lapindo Jaya, dan perwakilan warga mengadakan rapat bersama. Salah satu hasilnya disepakati bahwa tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya dapat di akte jual belikan. Sehingga secara otomatis posisinya setara dengan tanah tanah warga yang bersertifikat.

    Pertemuan ini tentu sangat menggembirakan warga. Harapan besar bahwa tanah tanah warga mendapatkan payung hukum dalam hal pembayaran sisa aset mereka sebesar 80 persen. Apalagi pada tanggal 24 Maret 2007, Badan Pertanahan Nasional membuat surat perintah kepada Badan Pertanahan Kabupaten Sidoarjo mengenai petunjuk pelaksanaan penyelesaian masalah lumpur Sidoarjo. Isi pokok surat itu adalah tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya hanya letter c, pethok d dan sk gogol bisa dilakukan penerbitan akte jual beli. Bahkan disaat PT Minarak Lapindo Jaya melakukan pelunasan pembayaran 80 persen, BPN dapat menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

    Waktu terus berlalu, setahun kemudian, warga telah waktunya mendapatkan sisa pembayaran 80 persen. Sebagian besar warga berharap, mereka dapat segera membeli rumah, karena selama ini mereka hidup dalam rumah kontrakan. Bahkan sebagian diantaranya telah membeli rumah dengan status hutang. Harapannya, hutang itu dapat segera terlunasi disaat mereka mendapatkan pembayaran uang sisanya sebesar 80 persen.

    Alangkah terkejutnya ketika harapan itu coba dirubah. PT Minarak Lapindo Jaya, bersama dengan Ketua Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dan Emha Ainun Najib membuat nota kesepahaman bahwa sisa pembayaran 80 persen akan dibayarkan dalam bentuk cash and resettlement (C n R). Pola C n R mekanismenya berupa tanah warga ditukar guling satu banding satu. Sedangkan rumah rumah warga yang telah tenggelam PT Minarak Lapindo Jaya sanggup membayarnya sesuai dengan harga saat warga menerima uang muka 20 persen, yakni sebesar 1,5 juta per meternya.

    Bahkan PT Minarak Lapindo Jaya menyatakan tidak bersedia membayar secara tunai (cash) bagi tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya hanya letter c, pethok d dan sk gogol. Yang lebih konyol dan memuakkan, beberapa makelar bergentayangan setiap malam. Mereka mengumpulkan warga yang sangat awam mengenai praktik hukum dan prosedur pengurusan aset aset mereka yang telah tenggelam. Para makelar tersebut mengancam kepada warga, aset mereka yang 80 persen tidak akan diuruskan bahkan tidak akan di bayar, jika tidak segera mengumpulkan berkas berkas mereka kepada para makelar.

    Modusnya, para makelar mengumpukan warga pada malam hari selepas sholat isya’. Pada pertemuan itulah warga dibuat cemas, dan takut. Sehingga pada malam hari itu juga warga diminta mengumpulkan berkas untuk mengurus pembayaran sisa 80 persen dalam bentuk C n R.

    Menghadapi kenyataan yang amburadul seperti itu, beberapa warga yang melek secara politik dan hukum menginisiasi dibentuknya Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden) yang menutut sisa pembayaran 80 persen dalam bentuk tunai (cash), baik tanah maupun bangunan. Mereka menolak skema C n R yang dibuat oleh PT MLJ dan GKLL.

    Jika mekanisme C  n R dilakukan maka warga akan mengalami beberapa kerugian:

    1. Warga menderita kerugian tanah yang menjadi aset miliknya. Sebab jika PT Minarak Lapindo Jaya membayar tanah tersebut secara tunai, harganya satu juta per meter perseginya. Sedangkan dengan sisten C n R, PT Minarak Lapindo Jaya mengganti tanah warga dengan tanah, yang pengadaannya tanahnya per meter perseginya paling mahal 300 ribu per meter perseginya.
    2. Lokasinya tanah tempat tukar guling relatif jauh dengan mata pencaharian warga, yang rata rata menjadi buruh pabrik, buruh tambak, dan sektor informal lainnya di sekitar Porong dan Tanggulangin.
    3. Pembayaran 80 persen secara tunai yang semestinya dapat digunakan untuk beli rumah dan modal usaha, dengan model C n R, maka uang tunai yang dimiliki warga semakin berkurang, sebab hanya mendapatkan pembayaran dari rumah mereka yang tenggelam saja.
    4. Jika warga terpaksa harus membangun rumah ditanah hasil relokasi satu banding satu, mereka akan tinggal di dalam komplek perumahan. Suasana hidup didalam perumahan secara kultural dan sosial jelas akan sangat berbeda dengan suasana hidup di kampung pendesaan. Biaya sosial hidup diperumahan akan lebih mahal, sebab air harus beli lewat PDAM atau membeli genset sedotan air, serta biaya biaya lainya, layaknya hidup di dalam perumahan.

    Menghadapi situasi ini, maka Geppres menginginkan agar komitmen pembayaran 80 persen harus tetap dalam bentuk uang tunai. Namun perjuangan ini masih menghadapi jalan buntu, ketika secara sepihak PT Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar tanah tanah yang bukti kepemilikannya hanya pethok d, letter c, maupun sk gogol. Menghadapi situasi seperti ini, BPN, BPLS, dan Bupati cenderung acuh. Tak ada konsekuensi paksa apapun yang ditujukan kepada PT Minarak Lapindo Jaya dari pemerintah atas sikap itu. Negara telah dikalahkan oleh praktik dagang. Sejarah VOC terulang kembali dalam sejarah Indonesia modern. Mana janji dan pernyataanmu Pak Presiden.

    ”Negara tidak boleh dikalahkan, hukum harus ditegakkan”.

  • Saat Menteri KLH dibutakan oleh Lapindo

    Pada 31 Juli 2008 lalu, KLH memberikan predikat biru plus pada Lapindo Brantas Inc. Blue company merupakan predikat kepada perusahaan yang telah cukup baik melaksanakan kewajibannya terhadap lingkungan. Sejak dibebankan tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial bagi perusahaan tambang oleh Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas, perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri mining, oil and gasoline berlomba-lomba menggelar kegiatan-kegiatan amal yang diekspos oleh media, sementara perusakan lingkungan oleh perusahaan tersebut tak lagi menjadi persoalan besar di bangsa ini. Eco-labeling le[ada Lapindo tersebut menunjukkan keberpihakan Pemerintah RI terutama Kementrian KLH terhadap korporasi pelaku kejahatan lingkungan dan kemanusiaan.

    Undang-undang Perseroan Terbatas sebenarnya masih absurd dalam mengemas Corporate Environmental and Social Responsibility. Sejauh apa suatu perusahaan dinilai menghormati lingkungan hidup belum ada stadarisasinya. Meskipun absurd, sesuatu yang mutlak terlihat jelas bahwa suatu perusahaan tidak comply terhadap lingkungan hidup adalah jika aktivitas perusahaan itu telah jelas mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Terlebih bila disambungkan dengan tiga elemen CSR  yang dikenal di dunia internasioanl yaitu people, planet, profit (masyarakat, planet, dan keuntungan). Suatu perusahaan dalam mencari keuntungan wajib memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan planet ini.

    Di tengah kerancuan indikator perusahaan comply atau tidak terhadap lingkungan hidup, pemerintah dapat sewenang-wenang menyematkan predikat hijau dan biru terhadap perusahaan yang nyata-nyata mengakibatkan ecocide, seperti halnya yang diterima Lapindo. Menurut penemuan BPK-RI dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Lapindo terbukti lalai dalam pengeboran hingga menyebabkan menyemburnya Lumpur Panas yang mengandung gas mudah terbakar di sumur Banjar Panji-1 yang kini telah merendam habis 12 desa di Sidoarjo. Semburan Lumpur ini mengakibatkan sedikitnya 60 ribu orang mengungsi karena ekosistemnya dimusnahkan. Menurut penelitian berapa ahli, Lumpur ini mengandung logam berat seperti Cadmium, Chromium, Arsen, dan Merkuri yang kadarnya diatas baku mutu yang dipersyaratkan. Tidak hnya itu, Lumpur ini juga mengandung mikrobiologi yang bersifat patogen seperti coliform, salmonella, dan staphylococcus aureus.

    Coliform ini adalah bakteri yang banyak ditemui di feses binatang berdarah panas seperti reptiliaColiform tidak menyebabkan penyakit tapi adanya coliform ini menjadi indicator adanya organisme yang membawa penyakit atau patogen. Sedangkan Salmonella adalah mikrobiologi yang menyebabkan typhoid fever, paratyphoid fever, dan foodborne illness/food poisoning. Staphylococcus aureus, adalah mikrobiologi yang menyebabkan penyakit golden step yang dapat mengakibatkan radang selaput otak (meningitis), Pneumonia, toxic shock syndrome (TSS) dan septicemia.

    Lebih buruk lagi, akhir-akhir ini baru diketahui bahwa lumpur ini mengandung Polyciclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) 2000 kali ambang batas normal. PAH ini adalah senyawa kimia yang terbentuk proses pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil di areal pengeboran. PAH merupakan senyawa yang berbahaya karena ia selain karsinogenik dan mutagenik, ia juga teratogenikIa tidak langsung menyebakan tumor atau kangker secara lansung, namun PAH akan berubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan berpotensi tinggi akan resiko tumor dan kangker. Mengerikannya, PAH dapat berpindah dari media apapun. Tidak hanya dari udara yang dihirup, namun dari pori-pori kulit dan lubang tubuh. Menginjak tanah yang terkontaminasi PAH (akibat terkena udara yang mengandung PAH), serta mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi PAH dapat mengakibatkan PAH masuk ke tubuh manusia.

    Dampak dari PAH di tubuh manusia ini baru dapat terlihat setelah PAH terakumulasi dalam tubuh, antara lain dapat menyebabkan kangker permasalahan reproduksi, dan membahayakan organ dalam dan kulit. Di Pasar Porong, beberapa orang telah teridentifikasi memiliki benjolan-benjolan di sekitar leher, payudara dan punggung. Menurut data di RSUD Sidoarjo, beberapa korban telah meninggal dunia dan teridentifikasi flek di paru-paru mereka, bahkan di korban yang diketahui selama hidupnya bukan perokok aktif. Saat ini masih ada ratusan ribu warga Sidoarjo yang menghirup udara yang terkontaminasi dan berbau busuk, mengkonsumsi air yang terkontaminasi PAH, hidup tanpa peringatan dari perusahaan.

    Setelah kerusakan lingkungan dan sosial akut yang ditimbulkan oleh perusahaan ini, penyematan predikat biru kepada Lapindo merupakan bentuk kongkret pemerintah menutup mata atas perbuatan Lapindo. Predikat biru ini merupakan bukti adanya konspirasi antara lapindo dengan pemerintah dan menempatkan posisinya diametral dengan rakyat. Penyematan ini dikemas dalam sebuah perhelatan mewah yang memakan dana sekitar 3 milyar rupiah. Tidak ada transparansi dalam penentuan indikator menghormati lingkungan, apalagi adanya partisipasi masyarakat sekitar areal aktivitas perusahaan untuk memberikan penilaian apakah perusahaan itu comply terhadap lingkungan dan sosial atau tidak.

    Uang triliunan yang telah dikeluarkan oleh Lapindo untuk upaya menanggulangi dampak semburan (yang pada kenyataannya tidak tuntas), tidak bisa dikategorikan sebagai bentuk CSR, karena uang tersebut adalah kewajiban lapindo yang lahir akibat perbuatannya merusak lingkungan. Berbeda dengan konsep awal CSR yang merupakan filatropi korporasi atau karitatif. Uang tersebut bukanlah bantuan bencana alam seperti halnya banyak bantuan perusahaan untuk korban gempa, namun merupakan kewajiban perusahaan karena telah memusnahkan suatu ekosistem tanpa ampun.

    Sangat tidak tepat adanya apabila pemerintah menyematkan predikat biru plus kepada lapindo yang tidak hanya melakukan pemusnahkan ekosistem (ecocide), namun juga tidak bertanggung jawab atas restitusinya, mengingat sebagian besar dana penanggulangannya dibebankan kepada APBN. Pemerintah yang harusnya melindungi rakyat karena posisi timpang antara korporasi dan rakyat, justru menambah kekuatan gigantika korporasi. Begitulah apabila kehormatan menteri KLH telah dibeli dengan uang panas Lapindo.

    DINA SAVALUNA

  • Revisi Perpres Lapindo Tak Sentuh Substansi

    JAKARTA – Revisi Peraturan Presiden (Perpres) No 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dinilai tidak menyentuh substansi. Seharusnya, revisi lebih menyentuh hal prinsip.

    ”Seharusnya, tak ada lagi diskriminasi antar desa terdampak dan tidak,” ujar Syafruddin Ngulma Simeulue, komisioner Komnas HAM, kepada koran ini kemarin (29/6). Pembedaan tersebut tidak perlu karena masyarakat di sekitar semburan merasakan dampak yang sama.

    Seperti diwartakan, pemerintah telah merampungkan revisi Perpres 14/2007. Dalam perpres itu, tiga desa, yakni Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, akan dimasukkan dalam peta terdampak. Awal Februari lalu, tiga desa itu terkena dampak bencana tanggul jebol. Namun, mereka tidak masuk dalam peta terdampak. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan ganti rugi dari PT Lapindo Brantas.

    Warga tiga desa itu lantas menuntut wilayahnya dimasukkan ke peta terdampak. Permintaan itu disetujui dengan anggaran dari APBNP yang disetujui pada 10 April 2008. Anggaran tersebut belum bisa cair selagi payung hukumnya tidak ada. Karena itu, warga mendesak revisi perpres segera dilakukan supaya dana bisa dicairkan.

    Syafruddin menjelaskan, selain tidak perlu pembedaan daerah terdampak dan tidak terdampak, revisi seharusnya mengatur ganti rugi dan biaya pemulihan bagi warga. ”Itu sebenarnya lebih substansial,” terang mantan direktur Walhi Jatim itu.

    Terkait dengan investigasi terhadap kejanggalan dalam semburan lumpur yang sedang ditangani komnas, Syafruddin menjelaskan, pihaknya kini memasuki tahap akhir penyelesaian laporan. Namun, komnas masih membutuhkan beberapa keterangan dari pihak terkait. ”Salah satunya menteri lingkungan hidup. Kami masih atur jadwalnya,” katanya.

    Dia menargetkan, akhir Juli mendatang laporan dan rekomendasi bisa rampung. ”Nanti diputuskan di (rapat) paripurna sebelum kami publikasikan,” terangnya. (fal/oki)

    © Jawa Pos

  • Korban Semburan Gas Liar Dijanjikan Rumah

    SIDOARJO — Konsep ganti rugi bagi korban Lapindo yang berada di Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi tinggal menunggu persetujuan Presiden.

    Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) saat ini sudah menentukan konsep ganti rugi bagi kawasan yang terkena semburan liar. “Konsepnya, mereka akan kami berikan rumah di kawasan lain,” kata Bachtiar kemarin.

    Dengan konsep ini, kata dia, pemerintah memberikan dua rumah sekaligus kepada korban. Satu rumah di kawasan yang telah ditentukan dan satu rumah lagi adalah rumah mereka semula. “Jadi rumah mereka yang asli sampai kapan pun tetap milik warga,” ujar Bachtiar.

    Menurut Deputi Sosial BPLS Sucahyono, saat ini ada sembilan rukun tetangga di tiga desa itu yang direkomendasikan untuk segera direlokasi. Di kawasan ini setidaknya terdapat 756 rumah yang akan segera dipindahkan ke tempat lain.

    Sementara itu, kemarin sebanyak 111 korban Lapindo sudah bisa segera menempati rumah mereka di perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) di kawasan Sukodono, Sidoarjo.

    “Hari ini ada 75 warga yang menerima kunci, Senin kemarin ada 25, dan sebelumnya ada 11,” kata Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla. Menurut Andi, saat ini telah ada 1.072 warga yang telah melakukan ikatan jual-beli dengan Minarak.

    KNV merupakan kawasan yang dibangun Minarak di area 2.000 hektare yang rencananya akan menampung sekitar 7.000 rumah khusus bagi korban Lapindo.

    Bachtiar menyambut baik komitmen Minarak. “Sebelumnya, hanya janji-janji semata. Tapi hari ini semuanya terwujud,” katanya.

    Selain dihadiri Bachtiar Chamsyah dan Andi Darussalam, penyerahan kunci tahap kedua dihadiri Direktur Utama Lapindo Brantas Imam Agustinus; Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Irjen Herman Surjadi Sumawiredja; Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Bambang Suratno; anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo; Bupati Sidoarjo Win Hendarso; Wakil Bupati Sidoarjo Syaiful Illah; serta ribuan korban Lapindo.

    Rohman Taufiq | Koran Tempo

  • Satu Semburan, Tujuh Kelompok

    Semburan lumpur panas Lapindo di wilayah Sidoarjo, yang sampai saat ini terus bermunculan, mengakibatkan terpecahnya warga. Setidaknya dalam dua tahun ini, satu semburan sudah memunculkan tujuh kelompok dengan tuntutan yang berbeda.

    1. Kelompok Choirul Huda, mengatasnamakan Gabungan Korban Lumpur Lapindo beranggota sekitar 1.500 orang dengan tuntutan cash and resettlement.
    2. Kelompok Fathurozi atau Ny Mahmudah, mengatasnamakan Gerakan Pendukung Perpres dengan anggota sekitar 1.000 orang dengan tuntutan cash and carry.
    3. Kelompok Soenarto, mengatasnamakan Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak dengan anggota sekitar 1.500 warga menuntut percepatan ganti rugi maksimal Desember 2008.
    4. Kelompok Perumtas pimpinan Imam Agustinus, dengan anggota lebih dari separuh warga perumtas dengan tuntutan resettlement murni.
    5. Kelompok Perumtas pimpinan Sumitro, dengan anggota kurang dari separuh warga perumtas dengan tuntutan cash and carry.
    6. Kelompok di luar peta dampak pimpinan Bambang Kuswanto dengan anggota warga Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi, menuntut ganti rugi.
    7. Kelompok Abdurrohim dengan anggota warga Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring dengan tuntutan revisi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Peta Dampak.

    ROHMAN T | Koran Tempo

  • 1.000 Korban Lapindo Tolak Uang dan Tempat Tinggal

    Banyak warga yang belum mengambil bantuan Presiden

    SIDOARJO — Sekitar 1.000 korban semburan lumpur Lapindo yang mengatasnamakan Gerakan Pendukung Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 dari berbagai desa kemarin menggelar istigasah. Acara dilakukan di Masjid Nurul Huda, Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, yang kini telah rusak akibat terjangan lumpur Lapindo.

    Warga menuntut Lapindo mempercepat pembayaran cash and carry. Mereka menolak konsep baru cash and resettlement seperti yang diterima kelompok Gerakan Korban Lumpur Lapindo. “Konsep awal jangan diganti-ganti,” kata koordinator warga, Fathurozi, kemarin.

    Dari pantauan Tempo, acara ini diikuti oleh sebagian besar korban Lapindo dari kawasan yang masuk peta dampak lumpur, yakni Desa Renokenongo, Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Besuki, Mindi, Pejarakan, Kedungcangkring, Ketapang, Glagah Arum, Kalitengah, serta Gempol Sari.

    Mereka meminta Minarak melunasi proses pembayaran ganti rugi 80 persen sebagaimana telah diatur dalam Perpres No. 14/2007. Dalam peraturan ini disebutkan, aset warga berupa tanah kering atau tanah pekarangan diganti dengan Rp 1 juta per meter persegi, tanah sawah Rp 120 ribu per meter persegi, dan bangunan Rp 1,5 juta per meter persegi.

    Vice President PT Minarak Andi Darussalam Tabusalla sampai berita ini diturunkan belum mau mengangkat telepon selulernya.

    Mantan Lurah Renokenongo, Ny Mahmudah, berharap pemerintah bisa menjembatani perbedaan penafsiran antara Minarak dan warga.

    Ketua Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo Maimun Siroj berjanji akan segera mempertemukan warga dengan pihak Minarak. “”Jangan sampai warga semakin terpecah,”” ujarnya.

    Dalam kesempatan itu, Maimun meminta korban Lapindo yang berada dalam peta dampak segera mengambil jatah bantuan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Uang itu, kata dia, telah diterima dan dimasukkan ke rekening Pemerintah Daerah Sidoarjo sejak beberapa bulan lalu. Bantuan dari Presiden tersebut, menurut Maimun, berjumlah Rp 10 miliar dan saat ini masih tersisa sekitar Rp 700 juta.

    ROHMAN T | Koran Tempo

  • Komisi Nasional Panggil Sejumlah Pejabat Terkait Lapindo

    Polisi tak perlu mencari pendapat ahli

    JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menjadwalkan pemanggilan terhadap sejumlah pejabat terkait dengan kasus semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka adalah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution.

    Menurut anggota Komisi Nasional Hak Asasi, Syafruddin Ngulma Simeulue, Komnas ingin menanyakan penanganan oleh pemerintah terhadap korban semburan. “Kenapa sampai sekarang belum ada langkah bagi sembilan desa terdampak?” ujarnya saat dihubungi kemarin.

    Surat pemanggilan, kata Syafruddin, sudah dikirim melalui faksimile sejak Jumat lalu. Komisi Nasional juga melayangkan surat panggilan melalui pos. Mereka dijadwalkan datang ke Komnas secara bergiliran. Menteri Rachmat pada 15 Juli. Ketua BPK Anwar Nasution pada 16 Juli. Setelah itu, Menteri Aburizal pada 17 Juli. “Diharapkan mereka bisa hadir,” ujarnya.

    Dalam pertemuan nanti, kata Syafruddin, Komnas juga akan menanyakan skema ganti rugi oleh pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Menurut Syafruddin, skema ganti rugi pemerintah berpotensi menimbulkan konflik antara warga di dalam tanggul dan di luar. Komnas menilai jumlah ganti rugi pemerintah terhadap warga desa di luar tanggul lebih kecil dibanding yang diberikan pihak Lapindo. “Padahal mereka sama-sama menderita. Rumahnya sama-sama terendam lumpur,” ujarnya.

    Pemanggilan pejabat negara ini masih terkait dengan pemanggilan yang pernah dilakukan Komnas terhadap Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro serta PT Lapindo Brantas dan PT Minarak Lapindo pada 13 Juni lalu. Hasil pemanggilan tersebut, kata Syafruddin, menjadi bahan rekomendasi bagi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

    Adapun pemanggilan terhadap Menteri Rahmat, kata Syafruddin, terkait dengan perizinan lingkungan bagi Lapindo Brantas Inc dalam melakukan pengeboran di sumur Banjarpanji 1 yang diduga sebagai sumber semburan. “Pengeboran itu memenuhi syarat atau tidak,” ujarnya.

    Sedangkan pemanggilan Anwar, kata Syafruddin, terkait dengan audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penanganan semburan lumpur. Hasil audit itu dipublikasikan dengan judul Laporan Pemeriksaan Penanganan Semburan Lumpur Sidoarjo. Laporan itu, kata Syafruddin, mestinya bisa digunakan sebagai bukti oleh polisi dalam penyidikan. Dengan adanya laporan itu, kata dia, polisi tak perlu mencari pendapat ahli yang sama mengenai penanganan semburan lumpur. “Polisi menunggu apa lagi?” ujarnya.

    Dihubungi terpisah, Lalu Mara Satriawangsa, staf khusus Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, mengatakan belum mengetahui soal panggilan Komnas. Menurut dia, persoalan lumpur Lapindo sudah ditangani Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo melalui peraturan presiden. “Lalu, kenapa Menko Kesra dipanggil?” ujarnya kepada Tempo tadi malam.

    SUKMA | ANTON SEPTIAN

    © Koran Tempo

  • Korban Lapindo, Apa Pantas Saya Bawa Pacul?

    Setelah menyaksikan langsung rumah yang disediakan PT Minarak Lapindo Jaya bagi korban Lapindo, Sumiran seperti kebingungan. Niatnya memang sudah bulat menerima rumah itu sebagai ganti rugi. “Tapi saya bingung memilih,” kata lelaki 47 tahun itu. Rumah 54 meter persegi di atas lahan 148 meter itu ia rasa belum cukup untuk tempat main dua anaknya.

    Selain bingung memilih, dia mesti yakin rumah itu cukup layak buat dirinya. Semula dia khawatir apakah pintu dari tripleks itu cukup kuat jika ditabrak anaknya. Begitu pula dinding rumah yang ia selisik satu per satu. Tapi, setelah mencoba pompa air, dia sejenak terdiam. “Alhamdulillah, airnya tidak asin,” katanya.

    Rumah dari Minarak itu terdiri atas tiga kamar tidur dan satu kamar mandi. Berdiri di kawasan seluas 2.000 hektare, rumah itu akan menjadi hunian baru bagi korban Lapindo yang setuju dengan ganti rugi cash and resettlement. Kusen rumah terbuat dari aluminium. Gentingnya terbuat dari beton. “Kalau bocor, kayaknya sulit cari gantinya,” kata Sumiran, yang diiyakan rekannya.

    Bagi Sumiran, rumah di Kahuripan Nirwana Village di Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, itu boleh disebut elite. Apalagi jika melongok gerbang perumahan yang berbentuk dua raksasa dari sembilan rangka baja. Nama perumahan ditulis dalam huruf kapital dengan ukuran jumbo. Jalan masuk selebar 10 meter terbagi dua dengan taman apik di bagian tengahnya.

    Menurut Vice President Minarak Andi Darussalam Tabussala, perumahan ini memang didesain dengan konsep regency. Kompleks ini dirancang agar mampu menampung 7.000 rumah bagi korban Lapindo yang tak punya sertifikat tanah dan bangunan. “Sampai sekarang perumahan ini terus dikerjakan,” kata Andi.

    Rumah yang didesain agar tampak elite ini justru membuat Sumiran takut menempati. “Apa pantas saya bawa pacul kalau hidup di sini,” katanya. Maklum, sejak lahir hingga dewasa, dia hidup dalam keluarga petani. Sawah adalah sumber kehidupannya.

    Sumiran berharap Minarak Lapindo Jaya bisa menyediakan area persawahan bagi penghuni Kahuripan Nirwana Village agar warganya bisa tetap bercocok tanam. “Bertani merupakan pekerjaan kami turun-temurun,” katanya. Kalau beralih profesi, tentu Sumiran harus belajar lagi dari nol.

    ROHMAN TAUFIQ | Koran Tempo

  • PT Minarak Paksakan Pola Uang dan Tempat Tinggal

    SURABAYA — Andi Darussalam Tabusalla, Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, juru bayar yang ditunjuk PT Lapindo Brantas Inc, menolak permintaan warga korban lumpur yang tidak memiliki sertifikat sebagai kelengkapan berkas kepemilikan aset. Mereka meminta diberi ganti rugi secara tunai (cash and carry). “Kami tetap tidak bisa membeli aset yang nonsertifikat,” katanya kemarin.

    Ia mengatakan, selain berpatokan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007, proses jual-beli harus mengikuti kaidah akta jual-beli (AJB). Kepada mereka, ditawarkan konsep uang tunai dan tempat tinggal (cash and resettlement).

    Pernyataan Andi ini sekaligus menjawab tuntutan sekitar 1.000 korban Lapindo yang pada Minggu, 6 Juli lalu, menggelar istigasah menolak konsep cash and resettlement. Warga menuntut percepatan pelunasan cash and carry bagi rumah ataupun tanah mereka yang kini telah tertutup lumpur.

    Warga juga mengatakan kesepakatan yang dibuat antara PT Minarak dan warga-pada saat pembayaran uang muka 20 persen-tidak ada keharusan tentang syarat sertifikat. Karena itu, warga menuntut pembayaran sisa 80 persen segera dilakukan. Warga yang menolak pola cash and resettlement menyebut diri sebagai Gerakan Pendukung Perpres.

    Andi Darussalam mengatakan, jika warga tetap berkeras, tidak ada solusi lain yang bisa ditempuh. “Pola cash and resettlement merupakan solusi yang elegan dan menguntungkan kedua pihak,” katanya.

    Koordinator Gerakan Pendukung Perpres Fathurozi mengatakan jika PT Minarak tetap menolak tuntutan mereka, warga mengancam akan terus melakukan unjuk rasa. “Sesuai perjanjian, September 2008 Minarak sudah harus melunasi, tapi kini tiba-tiba mereka ingkar dan menciptakan konsep cash and resettlement,”katanya sembari menambahkan, jika mereka mengambil konsep tersebut, mereka akan kembali dipersulit oleh Minarak.

    ROHMAN TAUFIK | Koran Tempo

  • Pemerintah Diminta Cabut Beleid Lapindo

    JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta pemerintah mencabut Peraturan Presiden Nomor 14 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Komnas menilai, meski beleid itu sudah direvisi, tetap tak memasukkan semua korban semburan lumpur agar mendapat ganti rugi.

    “Hanya sebagian kecil yang ter-cover. Padahal jumlah korban lebih banyak,” kata anggota Komnas, Syafruddin Ngulma Simeulue, kepada Tempo kemarin.

    Pemerintah telah merampungkan revisi peraturan presiden tersebut. Dalam peraturan itu, tiga desa, yakni Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, dimasukkan dalam peta wilayah yang terkena dampak. Sebelumnya, ketiga desa itu tidak dimasukkan dalam peta dampak sehingga korban dinilai tak berhak mendapat ganti rugi.

    Syafruddin menilai, di luar desa terkena dampak versi peraturan presiden yang baru, masih banyak korban semburan lumpur tidak mendapat ganti rugi. Meski saat ini wilayah mereka belum terkena dampak langsung, tempat tinggal mereka sudah tidak aman. Kondisi di desa-desa itu, kata Syafruddin, hampir mirip tiga desa yang dimasukkan dalam revisi peraturan presiden. “Bisa terjadi konflik antara mereka yang mendapat ganti rugi dan tidak,” kata dia.

    Menurut Syafruddin, pemerintah mestinya mencabut peraturan presiden itu dan menggantinya dengan peraturan baru yang bisa memulihkan hak semua warga di sekitar lokasi semburan. Selain tak perlu membedakan daerah terkena dampak dan tidak terkena dampak, kata dia, dalam peraturan baru itu juga diatur mekanisme ganti rugi dan biaya pemulihan bagi warga.

    ANTON SEPTIAN | Koran Tempo

  • Amerika Bidik Sumur Lapindo Jadi Pembangkit Listrik

    JAKARTA – Konsorsium asing dari Amerika Serikat menawarkan solusi untuk mengolah semburan lumpur Lapindo Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi pembangkit listrik panas bumi berkekuatan 2.000 megawatt.

    Konsorsium terdiri atas Vlociti Holding Inc dan Houston Based Coy, penyandang dana yang berkedudukan di Amerika Serikat, serta Sirex PHS, Preston US, dan Turbo Jacks sebagai pemilik teknologi yang berkedudukan di Berlin, Jerman. Tak ketinggalan pula PT Jatayu Sarana Investasi sebagai pemilik proyek/koordinator untuk subkonsultan dan subkontraktor di Indonesia.

    Presiden Direktur Vlociti Holding Inc Taswin Tarib memaparkan tawaran tersebut di Kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla. Koordinator Staf Khusus Wakil Presiden Alwi Hamu mewakili Wakil Presiden mendengarkan dan menelaah tawaran ini.

    Taswin menyatakan perusahaannya bukan pemain baru di bidang panas bumi. Perusahaannya telah melakukan eksplorasi panas bumi di Amerika Serikat dan Jerman dengan masing-masing daya berkekuatan lebih dari 300 megawatt.

    Saat ini semburan lumpur Lapindo mencapai 80 ribu meter kubik per hari, sedangkan temperatur semburan mencapai 40-60 derajat Celsius.

    Taswin mengatakan listrik dari hasil panas bumi di Sidoarjo itu akan dijual ke PLN dengan harga 2-3 euro sen per kWh dan diharapkan bisa mengatasi kekurangan pasokan listrik di Indonesia.

    “Kami tidak meminta jaminan dari pemerintah dan PLN. Kami tidak menggunakan dana dari pemerintah Indonesia, kami gunakan dana dari grup kami,” ujarnya di Istana Wakil Presiden kemarin.

    Menurut Taswin, Lapindo dipilih sebagai proyek percontohan karena kandungan panas buminya sangat tinggi. Secara bersamaan, akan dibangun juga proyek 2 x 2.000 megawatt di Jawa lainnya dan 1 x 2.000 megawatt di setiap pulau, yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

    “Pada 14 Agustus nanti, tim akan mempresentasikan lebih detail melalui teknis dan metode yang kami gunakan,” kata dia. Jika pemerintah sepakat, saat itu juga akan ditandatangani nota kesepakatan atau memorandum of agreement-nya.

    Menurut Taswin, pembangunan pembangkit listrik panas bumi Lapindo, mulai dari memasang vertical channel sampai menghasilkan listrik, memakan waktu 3-4 tahun dengan nilai investasi US$ 5,2 miliar untuk keseluruhan pembangkit. “Proyek ini juga akan menyerap 2.000-2.500 tenaga kerja,” kata dia.

    Alwi menyatakan konsorsium sudah mempresentasikan rencananya di hadapan Wakil Presiden dan difasilitasi oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. “Pak Wapres langsung merespons dan meminta ini dikaji lebih mendalam,” kata dia.

    Menurut Alwi, tawaran ini bisa menjadi solusi bagi kekurangan pasokan listrik Indonesia saat ini. Tawaran ini juga bisa sedikit menyelesaikan bencana lumpur Lapindo.

    Anton Aprianto | Koran Tempo

  • Lingkungan Hidup, Lumpur Lapindo, Siapa Berani?

    Dua tahun sudah semburan lumpur Lapindo Brantas Inc meluluhlantakkan harta benda, emosi, dan kehidupan sosial masyarakat Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dampak semburan lumpur bukan hanya berupa kekacauan infrastruktur, tetapi juga korban jiwa. Lumpur itu juga memberikan efek bagi Provinsi Jatim.

    Data yang dipaparkan pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Kresnayana Yahya, menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Jatim, yang biasanya selalu setengah persen di atas pertumbuhan ekonomi nasional, kini setengah persen di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Biangnya, semburan lumpur di wilayah eksplorasi Lapindo Brantas Inc.

    Seretnya pertumbuhan ekonomi itu antara lain akibat matinya sejumlah industri dan hotel, serta tingginya biaya transportasi yang harus dikeluarkan pengusaha untuk distribusi produk. Seperti Rabu (18/6) lalu, antrean panjang kendaraan berat pengangkut barang memenuhi ruas jalan raya yang menghubungkan Porong, Sidoarjo, dengan Gempol, Pasuruan. Jalan tol Surabaya-Porong, yang semestinya bisa menyedot kendaraan dari ruas jalan raya dan menghemat waktu tempuh, tak bisa diandalkan lagi karena ikut menerima dampak terjangan lumpur. Antrean di jalan raya tak terelakkan. Jarak Surabaya-Malang, yang dalam kondisi normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam, kini butuh hingga tiga jam.

    Dampak sosial juga tak kalah parah. Warga Desa Renokenongo yang rumahnya terkena semburan lumpur panas masih banyak tinggal di pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Sekitar 500 keluarga tinggal di bangunan kios pasar. Pertumbuhan kejiwaan dan sosial anak-anak yang tinggal di penampungan itu dikhawatirkan terganggu. Mereka, 900-an warga Desa Renokenongo, hanya menanti tanggung jawab Lapindo Brantas Inc.

    Tak kurang upaya dilakukan beberapa pihak untuk menggugat keadilan masyarakat atas semburan lumpur ini. Seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang mengajukan gugatan secara terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan untuk menuntut pertanggungjawaban semburan lumpur yang masih berlangsung hingga kini itu. Namun, semua upaya itu kandas.

    Bahkan, upaya hukum yang sudah dilakukan Polda Jatim, dengan menetapkan beberapa orang sebagai tersangka yang bertanggung jawab dalam semburan lumpur itu, tak juga berujung. Pasalnya, kejaksaan masih kukuh membutuhkan bukti yang menunjukkan korelasi antara pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas Inc dan semburan lumpur. Akibatnya, berkas perkara itu berkali-kali bolak-balik dari kejaksaan ke kepolisian.

    Padahal, ilmuwan Inggris, Richard Davies, awal Juni lalu, menyebutkan, semburan lumpur di Sidoarjo bukan bencana alam, melainkan dipicu pengeboran di sumur Banjar Panji I. Sedangkan Lapindo Brantas Inc menyebutkan, lumpur itu menyembur ke permukaan bumi akibat dipicu gempa di Yogyakarta, beberapa hari sebelumnya.

    Yang paling parah dari semua itu, pemerintah sepertinya bergeming. Tak mau menolehkan sejenak ke Porong untuk lebih menyalurkan empati dan bentuk tanggung jawab atas warganya yang kehilangan tanah, rumah, kehidupan sosial, dan ikatan dengan leluhur.

    Sengaja mendiamkan

    Airlangga Pribadi Kusman, pengajar ilmu politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, yakin, elite politik di Jatim dan Jakarta sengaja mendiamkan persoalan lumpur yang menyembur pertama kali pada 29 Mei 2006 ini.

    Tak ada tekanan politik dari Gubernur Jatim Imam Utomo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, maupun DPRD Jatim dan DPRD Sidoarjo. Dugaan Airlangga, semburan lumpur ini akibat kesalahan kolektif yang melibatkan banyak pihak sehingga semua pihak akan menutup persoalan ini.

    Dari sisi politik, kondisi ini akan mendorong proses delegitimasi terhadap proses politik yang berlangsung di Jatim. Juga, delegitimasi masyarakat terhadap negara dan pemerintah. ””Masyarakat merasa kepentingan mereka tidak diperjuangkan wakil rakyat maupun eksekutif yang dipilihnya,”” ujar Airlangga.

    Pemimpin daerah juga terkesan tak bergerak untuk mengantisipasi kian buruknya kondisi di sekitar Porong akibat semburan lumpur yang terus terjadi. Padahal, banyak contoh bencana ikutan yang muncul akibat semburan lumpur yang terus bertumpuk di sekitar sumbernya. Terakhir, tiga pekerja di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, luka akibat ledakan gas.

    Dengan perhitungan kerugian akibat semburan lumpur yang masih bertumpuk, tentu pemimpin Jatim akan berpikir, betapa lebih efektifnya jika menggunakan daya tawarnya terhadap pemerintah pusat untuk segera bertindak tegas menangani dampak lumpur itu. Bayangkan, kemajuan yang dicapai dalam pembangunan oleh Gubernur Jatim terpilih nanti akan ”dipotong” dengan kerugian akibat semburan lumpur yang masih terjadi sampai kini.

    Amien Widodo, geolog yang mendalami manajemen bencana dari ITS, menyarankan, Pemerintah Provinsi Jatim membuat peta risiko di sekitar semburan lumpur. “Peta itu dapat menunjukkan daerah dengan risiko rendah, sedang, dan tinggi sehingga setiap individu yang ada di daerah itu dapat mewaspadai segala kemungkinan yang terjadi. ”Buat peta yang menggambarkan, di sini daerah aman untuk tinggal dan tidak. Lalu, buat juga daerah rawan amblesan, di sini daerah rawan semburan gas, dan sebagainya. Peta ini mesti diperbarui setiap saat, selama lumpur masih menyembur,”” kata Amien.

    Jika langkah seperti itu tak dilakukan, niscaya semburan lumpur Lapindo hanya dianggap angin lalu. ”Apakah nyawa jadi tidak ada artinya?”

    Dewi indriastuti dan Nina Susilo

    © Kompas

  • Pilkada Jatim, Lumpur Lapindo dan Kemandekan Ekonomi

    Pilkada Jatim, Lumpur Lapindo dan Kemandekan Ekonomi

    Lumpur Lapindo merupakan salah satu penentu pertumbuhan ekonomi Jatim. Dampak lumpur, Jatim kehilangan potensi tumbuh sekitar 1 persen dari 20.000-30.000 kendaraan yang biasa melewati jalur antara Surabaya dan Malang serta kota-kota lain. Potensi kehilangan selama setahun sebesar Rp 170 triliun sepanjang 2007-2008.

    Dengan sikap dan motivasi yang realistis, mengatasi permasalahan itu adalah keberanian menaruh kepemimpinan yang berani, peduli, dan bisa menaklukkan arogansi pusat. Pembagian kewenangan timpang, tetapi pembagian penderitaan selalu ada di Jatim. Pajak yang ditarik seharusnya bisa dialokasikan untuk rehabilitasi akses dan infrastruktur ekonomi yang rusak dan mandek akibat lumpur Lapindo.

    Ada lima hal utama yang harus segera dipulihkan, yakni jalan akses (tol dan jalan negara) sepanjang 20-30 km antara Porong-Gempol, relokasi jalur pipa gas, jalur pipa air minum, jembatan Kali Porong, dan jalur kereta api.

    Namun, beda pandangan tentang kewenangan menjadikan ketidakjelasan siapa sebenarnya yang punya wewenang menyelesaikan problem itu. Korban dari pemimpin yang ragu dan tidak kompeten itu menyebabkan proses pengambilan keputusan selalu mengambang.

    Kalau dilakukan polling, tentu semua minta segera saja Pemerintah Provinsi Jatim menindaklanjuti masalah tersebut sebagai program emergency. Kalau perlu dengan meyakinkan pebisnis dan masyarakat mencari dana Rp 2 triliun-Rp 3 triliun untuk mengatasi persoalan itu karena dua tahun berlalu, kita telah kehilangan kesempatan ratusan kali lipat.

    Tingginya angka pengangguran dan sekaligus potensi makin banyak industri yang gagal tumbuh seharusnya menjadi pertimbangan utama. Ada penambahan biaya dan kehilangan waktu yang sangat berarti untuk jalur transportasi antara Surabaya dan wilayah selatan dan timur Jatim, membuat 30 persen ekonomi Jatim stagnan.

    Di sektor transportasi, misalnya, lebih dari 50 persen perusahaan bus berhenti operasi, lebih dari 30 persen angkutan barang tidak berjalan, dan lebih dari 25 persen angkutan kereta api berkurang. Sebab, setiap kontainer harus menambah Rp 1 juta untuk melewati Porong-Gempol karena mata rantai hambatan dan pungutan, serta akibat terlambatnya masuk ke pelabuhan.

    Untuk itu, Jatim perlu menaikkan daya negosiasinya. Posisi tawar yang win-win solution seharusnya memberikan kewenangan untuk segera mengatasi infrastruktur bisnis.

    Operasionalisasi jalur penerbangan Surabaya-Malang harus segera dibuka, begitu juga pembenahan kereta api. Harus ada jaminan aman agar transportasi barang dan penumpang lancar. Jalan tol juga harus segera dimulai, termasuk pula jalur pipa gas. Mengaktifkan kembali angkutan laut dari dan ke Pasuruan–, Probolinggo, –Surabaya akan menjadi pilihan sementara.

    Memulihkan hak ekonomi sosial budaya dari 30.000 warga korban lumpur ditambah hak ekonomi dari 500.000 orang lainnya menjadi begitu berarti untuk mengurangi tekanan ekonomi.

    KRESNAYANA YAHYA Pengamat Statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

  • Seluruh Menteri Tandatangani Revisi Perpres Lapindo

    TEMPO Interaktif, Sidoarjo: Seluruh Menteri yang ada di dalam Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), hari ini (11/7) sudah menandatangani perubahan Peraturan Presiden (Perpres) No 14 tahun 2007 tentang luapan lumpur Lapindo.

    ““Hari ini seluruh menteri sudah tandatangan, termasuk menteri keuangan juga. Diharapkan sepulang dari kunjungan luar negeri, Presiden langsung bias menandatanganinya juga,”” kata Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, ketika meresmikan penancapan tiang pancang untuk memulai pembangunan infrastruktur pengganti jalan raya porong di Sidoarjo, siang ini (11/7).

    Perubahan Perpres yang dimaksud adalah perubahan areal terdampak Lumpur didalam Perpres yang semula hanya menjangkau kawasan empat desa yaitu Siring, Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo, kini dirubah dengan menambahkan tiga Desa yaitu Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring.

    Dengan perubahan ini, tambah Joko, warga di tiga tersebut akan segera mendapatkan ganti rugi seperti yang telah didapatkan warga di empat desa lainnya. Hanya saja, ganti rugi yang didapatkan bukan berasal dari Lapindo melainkan akan diambilkan dari APBN.

    ““Kami mohon maaf jika perubahan ini agak lama. Kita sebenarnya juga ingin cepat tapi tetap harus dijaga supaya tetap akurat,” “tambah Joko.

    Selain itu, Joko juga meminta maaf atas belum berhasilnya pemerintah dalam menutup semburan lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo yang hingga saat ini setidaknya telah mengusir 12 ribu lebih keluarga.

    ““Atas nama pemerintah kami minta maaf karena belum berhasil menutup, tapi kami akan terus berusaha semaksimal mungkin,”” kata Joko.

    Menurut Joko, sejak awal pemerintah sebenarnya langsung turun kelapangan untuk bisa segera menanggulangi dampak semburan tersebut. Saat itu, Presiden juga langsung menginstruksikan untuk segera menutup dan memagari kawasan semburan dengan tanggul penahan.

    ““Setelah itu berbagai upaya juga sudah kita lakukan tapi hingga kini tetap belum berhasil,”” tambah Joko.

    Upaya penutupan yang dimaksud dimulai dengan menggunakan alat bernama snubbing unit, kemudian dilanjutkan dengan side traking (pengeboran menyamping), terus relief well (pengeboran miring) dan yang terakir dengan menggunakan bola beton yang kesemuanya tetap belum bisa menutup semburan tersebut.

    Di tempat yang sama, Ketua BPLS Sunarso menyambut baik atas selesainya revisi perpres tersebut. “”Kami juga berharap, kawasan di tiga desa lainnya (Siring barat, Jatirejo barat, dan Mindi), juga segera diputuskan,”” kata Sunarso.

    Kawasan tiga desa terakhir ini kini memang sudah tidak layak huni akibat munculnya ratusan semburan gas liar dihampir seluruh rumah yang ada. Karennya warga juga berharap untuk segera mendapatkan ganti rugi sehingga mereka bisa meninggalkan rumah mereka.

    Rohman Taufiq |Koran Tempo

  • Lapindo Kalah di Arbitrase Internasional

    JAKARTA — Lapindo Brantas Incorporated, perusahaan yang berada di pusat pusaran kasus semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur, dikalahkan PT Medco Brantas dalam persidangan di Badan Arbitrase Internasional.

    Kabar itu disampaikan tim ahli pengeboran independen Robin Lubron saat mendampingi korban lumpur Lapindo berdiskusi dengan Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga. “Putusannya sudah ada beberapa bulan lalu,” ujar Lubron kemarin.

    Lubron menjelaskan, dalam gugatan itu diketahui Medco Brantas sebelumnya telah memperingatkan agar Lapindo berhati-hati dalam melakukan pengeboran. Namun, hal itu tidak diindahkan.

    Selain peringatan, Lubron melanjutkan, terdapat 14 hal yang tidak dipatuhi Lapindo saat melakukan pengeboran, di antaranya titik pengeboran yang salah karena dekat dengan permukiman, alatalat tidak diasuransikan, tidak adanya pelindung mata bor, dan penanganan penutupan luapan lumpur yang tidak menyeluruh.

    Menurut dia, secara prosedur Lapindo melanggar karena melakukan kesalahan teknis. “Dengan putusan itu, artinya semua kerugian tersebut harus ditanggung Lapindo,” ujarnya.

    Majalah Tempo edisi Juni tahun lalu menyebutkan, dalam gugatan ke arbitrase, Medco membeberkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Lapindo terhadap perjanjian kerja sama operasi. Salah satunya soal peringatan Medco agar Lapindo memasang selubung bor (casing) untuk mengantisipasi kebocoran, yang ternyata tak diindahkan.

    Dalam gugatan itu juga disinggung soal dana provisi untuk kegiatan operasional hulu migas sebesar US$ 14 juta. Medco menolak langkah Lapindo yang “membelokkan” dana operasional itu untuk menangani dampak semburan lumpur.

    Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teryana, saat dihubungi kemarin membantah soal adanya putusan itu. Sebab, saat ini Medco tidak lagi menjadi pemegang saham Lapindo karena telah menjualnya ke Grup Perkasa. “Memang sempat ada arbitrase, tapi tidak dilanjutkan dan ada kesepakatan,” ujar Yuniwati kemarin.

    Adapun Sekretaris Perusahaan Medco Energi Sisca Alimin mengatakan pihaknya sudah tidak berurusan dengan soal itu lagi. “Saya tidak tahu-menahu karena Medco sudah tidak pegang lagi,” ujarnya kemarin.

    Kendati masih banyak muncul tuntutan agar Lapindo menanggung seluruh kerugian, pemerintah tetap ngotot mengambil alih tanggung jawab itu. Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menjanjikan ganti rugi kepada warga sembilan desa di luar peta terdampak.

    ““Nanti akan kami samakan ganti ruginya,”” ujarnya di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia kemarin. Rachmat datang ke kantor Komisi memenuhi panggilan berkaitan dengan kasus lumpur Lapindo. Di tengah pertemuan, dia menerima perwakilan korban dari sembilan desa itu.

    Dia menjelaskan, dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan setiap perusahaan yang menyebabkan kerusakan lingkungan harus menanggung ganti rugi secara mutlak dan seketika. “Untuk itu, harus ada pembuktian kesalahan lebih dulu secara hukum. “Lapindo belum diputuskan bersalah,”” katanya.

    RINI KUSTIANI | ANTON SEPTIAN | DIAN YULIASTUTI | SETRI

    © Koran Tempo

     

  • Pemerintah Akan Tinjau Hasil Arbitrase Lapindo

    TEMPO Interaktif, Jakarta:Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan pemerintah akan meninjau hasil persidangan arbitrase internasional yang menyatakan Lapindo Brantas Incorporated kalah.

    Menteri Purnomo mengaku pemerintah belum menerima laporan adanya arbitrase tersebut. “Kami akan cek dulu, karena kami belum pernah dapat laporan ada arbitrase Medco dengan Lapindo,” kata Purnomo di Jakarta, Selasa (15/7).

    Pemerintah, lanjut dia, akan mencari informasi tentang arbitrase tersebut. Dia menambahkan, pemerintah tak dilibatkan Moneygram online dalam proses arbitrase tersebut. “Kami tak pernah dipanggil untuk menjadi saksi,” ujar Purnomo.

    Hasil putusan Badan Arbitrase Internasional menyatakan bahwa PT Medco Brantas memenangkan gugatan terhadap Lapindo kalah. Majalan Tempo edisi Juni tahun lalu menyatakan, dalam gugatan itu, Medco membeberkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan Lapindo terhadap perjanjian kerja sama operasi.

    Salah satunya soal peringatan Medco agar Lapindo memasang selubung bor (casing) untuk mengantisipasi kebocoran yang diabaikan. Dalam gugatan itu juga disinggung soal dana provisi untuk kegiatan operasional hulu miogas sebesar US$ 14 juta.

    Medco menolak langkah Lapindo yang “membelokkan” dana operasional itu untuk menangani dampak semburan lumpur (Koran
    Tempo, Senin, 15 Juli).

    Yuniwati Teryana, Vice President Relations Lapindo Brantas mengatakan bahwa data pengeboran yang terekam di mud logging unit menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara sumur ekplorasi Banjarpanji-1 dan semburan lumpur di Sidoarjo.

    Mud logging unit adalah satu perangkat alat dalam pengeboran yang berfungsi, antara lain, untuk melakukan pengamatan dan perekaman proses pengeboran.

    Data mud logging unit tersebut menyatakan bahwa tekanan pengeboran menunjukkan tekanan lubang sumur lebih rendah daripada kekuatan batuan (dinding sumur).

    “Ini berarti bahwa casing shoe yang merupakan bagian terlemah dari sumur bahkan tidak pecah,” ujar Yuniwati.

    Yuniwati menambahkan, data survei sonan log menunjukkan tidak adanya aliran di belakang casing sumur. “Fakta ini membuktikan bahwa casing shoe tersebut tidak pecah,” kata Yuniwati.

    Data mud logging unit itu, kata Yuniwati, telah diserahkan kepada pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur.

    Nieke Indrietta | Koran Tempo

  • Kejaksaan Agung Koordinasikan Kasus Lapindo

    JAKARTA — Kejaksaan Agung menugasi Direktur Prapenuntutan Jaksa Agung Muda Pidana Umum M. Sidik Ismail untuk berkoordinasi dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menangani kasus Lumpur Lapindo. “Dalam dua-tiga hari ini dia akan ke Jawa Timur,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Bonaventura Daulat Nainggolan di ruang kerjanya kemarin.

    Sidik diminta berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Jawa Timur untuk mendapatkan data yang tersimpan dalam black box drilling atau rekam jejak pengeboran Lapindo Brantas Inc.

    Sebelumnya, ahli pengeboran sumur minyak dan gas bumi, Robin Lubron dan Mustika Saleh, mengatakan penyebab semburan lumpur Lapindo dapat diketahui dari data tersebut.

    SUTARTO | Koran Tempo

  • Lapindo vs Rakyat vs Negara

    Kini lumpur Lapindo memasuki babakan baru. Nasib rakyat dipertaruhkan. Juga uang negara. Jika kasus itu dikategorikan bencana alam, triliunan rupiah uang rakyat yang dikutip negara akan dikorbankan. Nuansa itu yang semakin kental dalam penanganan perkara ‘Kota Neraka’ Sidoarjo. Benarkah begitu?

    Hari-hari ini rakyat korban lumpur Lapindo keleleran di berbagai tempat di Jakarta. Mereka menderita dan terus berjuang menuntut haknya. Sisi lain, kasus pidananya masih menggantung. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus ini bolak-balik dari Polda Jatim ke Kejaksaan Tinggi dan kembali lagi ke Polda. Itu, katanya, karena kurang alat bukti.

    Dua tahun sudah kasus ini mengambang. Musibah itu terjadi semula diindikasikan karena efisiensi yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. Pengeboran yang dilakukan tanpa cassing. Lapisan bumi penutup lumpur terkuak, tekanannya merekahkan tanah, menyemburkan lumpur yang belum diketahui berapa juta atau miliar meter kubik kandungannya.

    Namun indikator itu akhir-akhir ini dimentahkan. 12 pakar yang dilibatkan pendapatnya terpecah. Tiga pakar menyebut lumpur itu akibat human error. Sedang sisanya mengatakan meluapnya lumpur itu adalah bencana alam. Alam yang salah. Mengirim lumpur mencelakakan manusia.

    Itu yang menjadi alasan pihak Kejaksaan akan mempelajari ‘Black Box’. Kesaksian warga yang terkena musibah, serta ahli pengeboran. Namun yang perlu dikritisi, pendapat warga yang mana. Dan juga para ahli pengeboran yang berafiliasi kemana. Sebab perkara ini dalam proses waktu sudah ‘terkonversikan’ dengan uang. Nuansa kasusnya menjadi sangat ekonomis dan politis. Jika pihak Kejaksaan tidak jeli, maka kasus Lapindo ini bisa kian memperburuk citra institusi ini.

    Mengapa musibah dipertalikan dengan uang? Itu tak terhindarkan dalam perkara lumpur Lapindo ini. Contoh sederhana yang sudah bisa dirasakan semuanya, lihatlah media yang memberitakan miring kasus ini selalu happy ending dengan iklan. Simak musibah bulan kemarin ketika tiga orang terbakar gara-gara merokok di daerah yang udaranya sudah dipenuhi gas itu, tidak satu pun media memberitakan. Masuklah Pilkada Jawa Timur, maka ada aroma Lapindo di sana. Serta tanyalah dinding resto Shangrilla Hotel di Jl Mayjen Soengkono, mereka akan banyak cerita nego soal-soal yang berbau lumpur. Jadi jangan kaget jika kecurigaan sejenis juga ditujukan pada polisi dan kejaksaan.

    Mengapa lumpur Lapindo dicurigai kental dengan aliran uang? Itu tidak sulit diraba. Musibah ini bagi sebuah perusahaan ibarat pembuatan water treatment. Wajib dibangun dengan dana besar, tapi kurang produktif bagi pandangan dunia usaha. Akibatnya banyak yang mensiasati dengan menyuap pejabat korup. Itu pula kenapa pencemaran akut tidak terelakkan.

    Dalam kasus lumpur Lapindo hampir sama. Di dalamnya ‘teronggok’ uang bertriliun-triliunan rupiah. Celakanya uang itu masuk kategori tidak produktif, karena untuk dibayarkan pada korban lumpur. Baik untuk ganti rugi lahan persawahan, pemukiman penduduk, serta berbagai pabrik yang terendam lumpur.

    Uang itu darimana? Bisa dari kocek Lapindo Brantas Inc atau dari pemerintah. Lapindo harus mengeluarkan uang itu jika kelak divonis salah dalam pengeboran. Atau pemerintah yang harus mengkafer itu kalau kasus lumpur ini dinyatakan sebagai bencana alam. Tidak mengherankan kalau berbagai aksi dan mungkin juga kesaksian yang mengarahkan kasus itu sebagai bencana alam selalu dituding sebagai langkah menuju ‘pengalihan’ tanggungjawab Lapindo.

    Jika kondisinya seperti itu, bisa dimaklumi jika berbagai pihak sekarang asyik ‘bermain’. Perkara yang semula terang itu jadi mentah. Itu karena skenario besar sedang menggelinding. Padahal pengeboran tanpa dicassing jelas-jelas sebuah kesalahan. Penahan lapisan lumpur itu terkuak, dan tekanannya melesak kemana-mana. Kendati semburan itu tidak persis di pengeboran yang dilakukan Lapindo.

    Namun sebelum semuanya terjadi, yakinlah, rakyat dan negara akan ‘dikorbankan’. Lumpur yang sudah menyembur dua tahun itu bakal divonis sebagai bencana alam. Dengan begitu rakyat yang terkena musibah akan ditangani negara. Uang negara yang dipungut dari rakyat itu akan dijadikan ‘pampasan perang’  untuk mengatasi itu.

    Tanda-tanda menuju ke sana sudah semakin benderang. Tiga gelintir pakar yang tidak kompromi itu naga-naganya ke depan bakal ikut mengamini suara mayoritas. Adakah Kejaksaan dan polisi bisa dijadikan pegangan untuk secara adil menangani kasus ini? Harapan rakyat dan negara memang tinggal itu.

    Djoko Su’ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

    © DetikNews

  • Kasus Lapindo Tunggu Laporan Menteri Energi

    JAKARTA — Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyatakan masih menunggu laporan dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral terkait kekalahan PT Lapindo Brantas Inc di arbitrase internasional. “Pemerintah akan melihat dulu, tapi Departemen Energi dulu, baru ke saya,” ujarnya kemarin.

    Sebelumnya, arbitrase internasional memenangkan Medco atas Lapindo dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Fakta itu diungkapkan tim ahli pengeboran independen, Robin Lubron, pada Senin, 14 Juli lalu, di Kejaksaan Agung. Akibat putusan itu, Lapindo dan perusahaan yang terafiliasi dengan kelompok usaha Bakrie harus menanggung semua kerugian.

    Menurut Djoko, pemerintah belum bisa mengambil keputusan terkait putusan yang mengharuskan Lapindo Brantas menanggung kerugian. “Masih tunggu putusan pengadilan,” katanya. Dia mengaku belum mendapat laporan dari Menteri Energi.

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro juga menyatakan hal yang sama dengan Djoko. Menurut Purnomo, pemerintah akan mempelajari hasil putusan arbitrase internasional. Dia mengaku belum menerima laporan putusan tersebut. “Kami akan cek dulu karena kami belum pernah dapat laporan tentang arbitrase Medco dan Lapindo,” ujarnya.

    Purnomo menjelaskan, pemerintah tidak dilibatkan dalam proses persidangan di arbitrase tersebut. “Kami tak pernah dipanggil menjadi saksi,” katanya.

    RIEKA RAHADIANA | NIEKE INDRIETTA

    © Koran Tempo