Author: Redaksi Kanal

  • Tanah Yang Hilang

    Tanah Yang Hilang

    Tahun 2005, saya bertugas untuk pemotretan perajin perak di desa Reno Kenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Desa yang sebagian warganya bertani ini memiliki sentra usaha kecil kerajinan perak yang juga memasok kerajinan perak di pulau Bali. Saya mengingat desa ini dengan suasana khas pedesaan. Halaman rumah yang luas dan warga yang antusias mengelap kerajinan perak setengah jadi di teras rumah mereka. Selebihnya, masjid, sekolah dan jalan desa yang aspalnya mulai tergerus adalah pemandangan lain yang saya ingat.

    Ingatan akan tanah yang makin tenggelam oleh lumpur membawa saya kembali menelusuri jejak kampung halaman warga di kecamatan Tanggulangin, Porong dan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Tragedi Lumpur Sidoarjo ini kemudian menuntun saya untuk sedikit demi sedikit mengumpulkan rekam jejak kampung halaman yang makin hilang. Rumah, sawah, sekolah, masjid, makam, kantor pemerintahan, pabrik, dan jalan desa berangsur hilang ditelan lumpur.

    Mamuk Ismuntoro – Nukilan dari buku Tanah yang Hilang (Pannafoto, 2014)

    (versi PDF unduh di sini)

    This slideshow requires JavaScript.

  • Penghancuran Terencana

    Penghancuran Terencana

    Selang beberapa tahun berlalu, terdapat banyak perubahan kondisi di sekitar semburan lumpur Lapindo. Tidak hanya lingkungan fisik, melainkan juga terjadi perubahan sosial dan budaya.

    Setelah masuk dalam skema Perpres, warga harus menjual tanah dan rumahnya. Kondisi ini secara otomatis pula memaksa mereka untuk meninggalkan kampung halaman dan mencari permukiman baru. Sebelum meninggalkan rumah dan tanahnya, biasanya warga menghancurkan bangunannya sebab sisa bangunan itu bisa dimanfaatkan dengan dijual atau dimanfaatkan lagi jika membangun rumah baru.

    Foto-foto ini hanyalah sekelumit cerita mengenai dampak lumpur Lapindo, sebuah bencana teknologi yang menyisakan kehancuran. Desa dan kampung kini menjadi wilayah mati. Desa tak berpenghuni. Sisa puing bangunan rumah yang telah dihancurkan. Kehancuran itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Kehancuran itu terjadi karena telah direncanakan. Inilah beberapa potret penghancuran terencana itu.

    Teks dan foto oleh Lutfi Amiruddin

    Versi PDF unduh di sini.

    “Go Away From Porong”

    Proses pembongkaran rumah di tepi Jalan Raya Porong di seberang tanggul penahan lumpur. Setelah “masuk peta” berdasarkan Perpres 68/2011 dan dibeli pemerintah dengan APBN, tanah dan bangunan yang berada dalam wilayah Kelurahan Siring Barat ini harus dibongkar. Tulisan “Go Away from Porong” terpampang pada salah satu dinding bangunan yang masih tersisa. Judul itu menyiratkan pula bahwa penghuni yang mendiami tanah itu harus pergi meninggalkannya. (Aperture priority, F/8, 1/640sec, ISO 400)

    Puing-Puing

    Ini bukanlah sawah yang sedang diairi, melainkan tanah bekas bangunan yang telah dibongkar. Genangan air berasal dari hujan yang turun pada pagi sebelum foto ini diambil. Dahulu lokasi tersebut merupakan permukiman warga. Namun, demi kelancaran penyelesaian bagi korban lumpur Lapindo melalui skema Perpres, semua warga harus rela tanah dan bangunannya dibeli, termasuk wilayah Kelurahan Siring Barat ini. Setelah tanah dan bangunan dibeli, maka bangunan dibongkar, dan hanya menyisakan puing-puingnya. (Aperture priority, F/8, 1/800 sec, ISO 400)

    Tanggul Protes

    Tanggul penahan lumpur tidak hanya berfungsi untuk menahan lumpur agar tidak meluap, tetapi juga dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat memampang spanduk protes. Protes biasanya ditujukan kepada pihak Lapindo yang belum melunasi cicilan jual beli rumah dan tanah berdasarkan Peta Area Terdampak 22 Maret 2007. Protes juga kerap berisi tuntutan pertanggungjawaban Lapindo atas kerusakan lingkungan di wilayah kecamatan Porong dan Jabon, Sidoarjo. Tanggul penahan lumpur bukan sekedar bangunan fisik, melainkan juga arena pertarungan berbagai macam opini. (Aperture priority, 1/8, 1/400 sec, ISO 400)

    Masih Bertahan

    Salah satu rumah di sebelah barat tanggul di Jalan Raya Porong ini masih bertahan. Meskipun sudah miring akibat penurunan tanah, sang pemilik menolak untuk menjualnya. Rumah ini bisa jadi akan menjadi rumah terakhir yang masih berdiri di antara rumah lain yang telah dirobohkan. Memang penyelesaian korban Lapindo dengan cara menjual aset berupa rumah dan tanah dirasakan oleh korban bukanlah cara yang adil. (Manual, f/22, 1/60 sec, ISO 400)

    Kampung Mati

    Dulu, lokasi ini adalah kampung, tempat warga hidup bertetangga. Rumah itu dulu ditempati oleh beberapa keluarga. Di rumah itu pula mereka hidup, membesarkan, dan mendidik anak-anak mereka. Namun, setelah “masuk peta” dan melalui proses jual beli, beberapa bangunan rumah hanya menunggu waktu untuk dihancurkan. Penghuninya pun harus pindah dan mencari permukiman baru. Kini, tidak ada lagi manusia yang mendiaminya. Yang tersisa hanyalah seonggok batu bata yang direkatkan oleh semen menunggu gilirannya untuk dihancurkan. Sebuah musholla pun menunggu untuk dihancurkan. Ruang sosial, tempat interaksi sosial, kini hanya menjadi puing-puing yang tak berguna. (Aperture priority, f/10, 1/400 sec, ISO 400)

    Jangan Dibongkar

    Salah satu dinding rumah warga yang belum dibongkar. Pemilik bangunan belum membongkar dinding rumah ini lantaran pihak Lapindo belum melunasi proses jual beli bangunan dan tanah. Mempertahankan sisa bangunan ini penting karena dapat digunakan sebagai bukti luas bangunan yang harus dibeli oleh pihak Lapindo. Meskipun telah enam tahun berlalu sejak Perpres 14/ 2007 ditetapkan, proses cicilan jual beli tanah antara PT Minarak Lapindo Jaya dengan korban belum juga terlunasi sepenuhnya. (Aperture priority, f/8, 1/100sec, ISO 400)

  • Dana Talangan Lapindo Bisa Cair Akhir Mei Tapi …

    Dana Talangan Lapindo Bisa Cair Akhir Mei Tapi …

    Metrotvnews.com, Surabaya: Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, memastikan talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo cair pada akhir Mei 2015. Namun, kata dia, pencairan masih menunggu jumlah bunga yang harus dibayar Lapindo kepada pemerintah untuk membantu menalangkan ganti rugi tersebut.

    “Saat ini masih menunggu hitungan bunga yang akan dibayarkan Lapindo kepada pemerintah, kita masih menunggu itu. Tapi kata Menteri Keuangan sudah bisa dicairkan,” kata Pakde Karwo, sapaan akrabnya, kepada wartawan di Surabaya, Senin (4/5/2015).

    Pakde Karwo menyampaikan Pemprov Jatim terus berusaha segera membantu para korban Lapindo. Hanya saja saat ini pemerintah masih menghitung berapa bunga yang harus dibayar Lapindo ke pemerintah selaku pihak yang membantu memberikan talangan dana ganti rugi kepada korban Lapindo.

    “Pemerintah juga sudah menyetujui untuk memberikan talangan kepada Lapindo untuk korban Lapindo,” jelasnya.

    Dana talangan dari pemerintah yang diperbantukan untuk korban Lapindo sebesar Rp781,7 miliar. Namun dana ini belum bisa dicairkan karena harus menunggu proses audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengenai besaran pasti tanggungan yang harus dibayar PT Minarak Lapindo Jaya.

    Dari total ganti rugi area terdampak yang menjadi tanggungan Lapindo sebesar Rp3,8 triliun, PT Minarak Lapindo Jaya hanya bisa mengganti Rp3,03 triliun. Lapindo masih menyisakan dana Rp781,7 miliar.

    RRN | Amaludin

    Sumber: http://jatim.metrotvnews.com/read/2015/05/04/393764/dana-talangan-lapindo-bisa-cair-akhir-mei-tapi

  • Rel Kereta Api Porong Ditinggikan

    Rel Kereta Api Porong Ditinggikan

    SIDOARJO, KOMPAS — Mengantisipasi banjir susulan yang merendam jalur kereta api dan Jalan Raya Porong di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, PT Kereta Api Indonesia, Sabtu (2/5), meninggikan rel. Peninggian dilakukan supaya perjalanan kereta tidak terganggu banjir sehingga penumpang tak telantar.

    Sejak pagi, sejumlah pekerja sudah berada di jalur kereta api yang menghubungkan Stasiun Tanggulangin dan Stasiun Porong, tepatnya di sisi selatan tanggul penahan lumpur Lapindo. Kereta jenis mesin Multi Tie Tamper (MTT) juga dioperasikan di lapangan.

    Menurut Inspektur Lapangan PT Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (Daop) VII M Yudhi, permukaan rel ditinggikan sekitar 30 sentimeter (cm) dari kondisi normal. Peninggian untuk mengantisipasi banjir susulan karena wilayah Sidoarjo masih berpotensi diguyur hujan deras selama Mei ini.

    “Sehari sebelumnya kami melakukan pengangkatan rel karena terendam banjir setinggi 21 cm di atas permukaan atau kepala rel. Sabtu ini baru dilakukan peninggian dengan menambah bantalan berupa batu kerikil atau kericak,” ujar Yudhi di Sidoarjo.

    Kereta MTT yang dioperasikan mengangkat rel secara otomatis lalu memasukkan kericak di bawah rel sehingga terangkat. Kereta ini didesain khusus untuk pembangunan jalur kereta.

    Jumat lalu banjir menenggelamkan jalan raya Porong dan jalur KA sepanjang sekitar 1 kilometer. Akibatnya, 20 jadwal perjalanan KA terganggu dan sebagian batal berangkat. Padahal, kondisi KA terisi penuh penumpang karena musim liburan.

    Selain menenggelamkan rel KA, banjir juga mengakibatkan Jalan Raya Porong rusak parah akibat terendam air. Badan jalan dipenuhi lubang besar dan membuat banyak pengendara motor terjatuh. Kondisi kian parah karena permukaan aspal pun mengelupas. Selain karena hujan deras, banjir juga disebabkan luapan Sungai Ketapang akibat sedimentasi oleh lumpur Lapindo. Penyebab lain, permukaan tanah turun 2 cm karena pengaruh dari semburan lumpur Lapindo. Saat bersamaan, mesin pompa milik Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) kurang maksimal menyedot air.

    Dwinanto Hesti Prasetyo dari Humas BPLS mengatakan, pihaknya mengerahkan 10 mesin pompa di titik tanggul penahan lumpur Lapindo. Khusus di Jalan Raya Porong disiagakan tiga pompa. Sisanya di permukiman warga Desa Gempolsari yang juga terendam banjir.

    Sementara itu, banjir yang menggenangi sebagian wilayah di Kabupaten Pasuruan, Sabtu, mulai surut. Warga pun membersihkan rumahnya dan sekolah yang terendam air dan lumpur.

    KA anjlok

    Sementara itu, KA jurusan Medan-Tanjung Balai, Sabtu, anjlok karena patah roda di jalur Km 90 di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Akibat kejadian itu, 493 penumpang KA telantar hingga Sabtu siang. Tak ada korban dalam kejadian itu.

    Seorang penumpang KA, Khairuddin Yoes (56), menuturkan, mereka merasakan ada guncangan dua kali dan muncul asap dari bawah KA itu. “Kereta cepat berhenti,” ujarnya.

    Kepala Humas PT KAI Daop I Rapino Situmorang menyampaikan, penyebab pasti kejadian itu belum diketahui dan masih diselidiki. (nik/dia/dri)

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/05/03/15025631/Rel.Kereta.Api.Porong.Ditinggikan

  • Bola Panas “Ganti Rugi”

    Bola Panas “Ganti Rugi”

    Oleh: Anton Novenanto

    Memasuki bulan Mei 2015, persoalan “ganti rugi” korban Lapindo masih sekeruh warna lumpur panas yang tak kunjung berhenti menyembur di Porong, Sidoarjo.

    Pada Minggu (29 Maret 2015), Tempo memuat pernyataan Menteri PU Basuki Hadimuljono tentang janji pemerintah untuk menyelesaikan kekurangan pembayaran “ganti rugi” pada Mei 2015. Sekaligus, Basuki menyatakan bahwa BPKP sudah selesai melakukan tugasnya mengaudit aset Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Hasil audit menunjukkan bahwa aset MLJ sejumlah Rp 2,7 triliun, dari dugaan awal Rp 3,03 triliun.

    Persis sebulan setelah itu, Tempo memuat pernyataan humas BPLS Dwinanto Hesty Prasetyo bahwa proses pencairan dana tersebut masih menunggu peraturan presiden yang “draf hukumnya sudah diproses.” Dari Dwinanto juga kita mengetahui tentang adanya dua tahap yang harus dilalui sebelum pemerintah akhirnya menalangi hutang MLJ pada korban. Pertama, verifikasi oleh BPKP; kedua, penerbitan peraturan presiden berdasarkan hasil verifikasi tersebut.

    “Ganti rugi” adalah salah satu dari pelbagai persoalan kasus Lapindo lainnya, namun persoalan ini selalu menjadi tolok ukur bagi publik untuk menilai keseriusan pemerintah dalam menangani kasus ini. Kisah warga menuntut kerugian, MLJ yang tidak dapat memenuhi kewajibannya, ataupun pemerintah yang berusaha menjadi perantara selalu menarik media massa dan perhatian publik. Namun, bingkai yang ditawarkan media nyaris seragam: “kasus Lapindo akan selesai begitu ‘ganti rugi’ korban lunas seluruhnya.” Bagi saya, bingkai ini sangat problematis.

    Ketidak(pernah)jelasan jaminan hak-hak korban Lapindo, warganegara republik ini, adalah tema yang terus terulang, bahkan sampai menjelang 9 (sembilan) tahun semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei nanti. Hak-hak warganegara telah diabaikan sejak pemerintah memberikan izin pengeboran sumur eksplorasi di kawasan padat huni. Pemerintah pun selalu permisif dan melindungi perusahaan yang mengakibatkan jatuhnya lebih banyak korban dari warganegara. Dalam taraf tertentu pemerintah berusaha meringankan beban perusahaan dengan pelbagai dalihnya.

    Hal prinsipil pertama yang kerap luput adalah persoalan “ganti rugi” telah direduksi menjadi “jual beli” aset (tanah dan bangunan) warga. Sesuai Perpres 14/2007, aset di dalam PAT 22 Maret 2007 dibeli oleh Lapindo dan di luar PAT oleh pemerintah.

    Prinsip kedua yang juga luput adalah ketidak(pernah)jelasan pemerintah mengusut tuntas kasus Lapindo. Pemerintah, misalnya, tidak pernah tegas untuk menindak Lapindo yang jelas-jelas melanggar ketentuan Perpres 14/2007, yang mewajibkan perusahaan untuk melunasi pembelian sebelum dua tahun setelah uang muka dibayarkan (Pasal 14 Ayat 2). Alih-alih menghukum, pemerintah justru berencana menalangi kekurangan pembayaran itu dengan jaminan aset “milik negara” (!).

    Prinsip ketiga, yang terutama, adalah pemerintah belum punya nyali untuk mengubah kembali perspektifnya untuk melihat lumpur Lapindo sebagai “bencana industri” dan cenderung melihatnya sebagai bencana alam biasa.

    Pada masa awal semburan pemerintah yakin bahwa semburan itu disebabkan oleh pengeboran yang non-prosedural. Sayang, dalam perjalanannya, pemerintah justru mengabaikan bukti-bukti yang mendukung hal itu dan beralih pada dugaan-dugaan yang diusulkan oleh perusahaan. Perubahan sikap secara drastis semacam ini mengindikasikan betapa kuatnya pergulatan internal dalam tubuh dan tekanan eksternal terhadap pemerintah.

    Sebagai pihak yang mengeluarkan izin pengeboran, pemerintah berada dalam posisi terjepit. Dan jalan keluar yang dipilih untuk menyelamatkan diri adalah membantah bahwa segala kelalaian itu pernah terjadi dan mengambinghitamkan alam yang memang tidak dapat membela diri dalam dunia politik manusia.

    Pelunasan “ganti rugi” hanyalah satu persoalan yang belum menyentuh akar dari kasus Lapindo, karut-marut pengelolaan industri migas di republik ini. Kasus Lapindo bukanlah sekadar “peristiwa” bencana lumpur panas di Porong, melainkan buah simalakama politik migas di republik ini.

    Pada 29 Mei 2015 nanti, lumpur Lapindo akan genap sembilan tahun menyembur. Saat itu, kita akan mengenang bagaimana politik manusia atas alam telah berujung pada penghancuran ekologi dan masyarakat dan bagaimana pelunasan “ganti rugi” pada korban tidak akan pernah bisa memulihkan segala macam kehancuran yang terjadi.

    Heidelberg, Tag der Arbeit 2015

  • Rugi Bersih Bumi Resources Minerals Kian Bengkak

    Rugi Bersih Bumi Resources Minerals Kian Bengkak

    Bisnis.com, JAKARTA – Emiten Group Bakrie, PT Bumi Resources Minerals Tbk. (BRMS) masih membukukan rugi bersih US$ 17,8 juta setara dengan Rp 231,4 miliar pada kuartal I/2015, membengkak 35% dari rugi periode yang sama tahun sebelumnya US$ 13,17 juta.

    Berdasarkan laporan keuangan perseroan, Kamis (30/4/2015), disebutkan pendapatan merosot 35% menjadi US$ 3,15 juta dibandingkan dengan tiga bulan pertama tahun lalu US$ 4,89 juta.

    Emiten berkode saham BRMS tersebut berhasil menekan beban usaha menjadi US$ 1,3 juta dari US$ 1,99 juta. Namun, laba usaha perseroan merosot menjadi US$ 1,84 juta dari US$ 2,9 juta.

    Rugi sebelum pajak mengecil menjadi US$ 27,46 juta dari US$ 28,91 juta. Rugi netto tercatat melorot menjadi US$ 19,2 juta dari US$ 28,18 juta.

    Hingga akhir kuartal I/2015, total aset Bumi Resources Minerals mencapai US $1,87 miliar dari akhir tahun lalu US $1,86 miliar. Liabilitas mencapai US$ 732,89 juta dari US$ 703,75 juta dan ekuitas US$ 1,13 miliar dari US$ 1,15 miliar.

    Per 31 Maret 2015, saham Bumi Resources Minerals dikuasai oleh PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) sebesar 87,09%, PT Prudential Life Assurance 8,54%, dan publik 4,37%.

    Sukirno

  • Ganti Rugi Korban Lumpur di PAT Tak Kunjung Cair

    Ganti Rugi Korban Lumpur di PAT Tak Kunjung Cair

    Sidoarjo (beritajatim.com) – Pelunasan ganti rugi korban lumpur dalam peta area terdampak (PAT) melalui dana talangan yang sudah dijanjikan pemerintah, tak kunjung cair. Para korban lumpur juga berharap dana talangan senilai Rp 781 miliar yang sudah tercantum dalam APBN-P, segera dibayarkan.

    Menurut Suwarti warga korban lumpur asal Renokenogo, kapan dana talangan itu dicairkan. Warga korban lumpur sudah 9 tahun menunggu ganti rugi lunas. “Sudah 9 tahun ini warga korban lumpur merana menunggu kejelasan ganti rugi segera lunas,” ucapnya Rabu (29/4/2015).

    Terpisah, Vice Presiden PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darussalam Tabusala menandaskan, sudah memberikan data soal dana yang sudah dikeluarkan dalam jual beli aset korban lumpur dalam PAT. 

    Data pembayaran ribuan aset sudah diserahkan PT MLJ kepada BPLS. Tidak benar kalau MLJ belum menyerahkan data yang dibutuhkan itu. “Dana yang sudah kita keluarkan untuk penanganan sosial dan dampak yang ada, juga sudah dilaporkan semuanya,” terang Andi.

    Andi juga menyatakan belum mengetahui kapan dana talangan itu cair. Karena masih dalam pembahasan  Presiden, Menteri PU dan Menteri Keuangan.

    Ia juga berharap, soal pembayaran pelunasan dengan dana talangan itu, kewenangannya diberikan kepada MLJ. Karena soal dana itu, nantinya Lapindo yang akan mengembalikan. “Jika yang melakukan pembayaran pelunasan bukan pihak PT MLJ, harus ada klarifikasi terlebih dahulu kepada PT MLJ,” tukasnya.

    Orang kepercayaan keluarga Bakrie itu berharap, biarkan proses dana talangan, berjalan. Pihak-pihak diluar korban lumpur, jangan sampai terus melakukan provokasi maupun lainnya dengan tujuan tertentu. Tambah Andi, percayalah, kalau dana talangan itu cair dan PT MLJ yang diberi kewenangan dalam membayar pelunasan itu, akan dilakukan dengan baik. Tidak benar dan tidak mungkin kalau PT MLJ yang membayar, dilakukan dengan sistem cicil atau diangsur.

    “Ingat, dalam pembayaran ini, memakai uang pemerintah terlebih dahulu dan pasti banyak yang mengawasinya. Sistem cicil yang pernah dilakukan oleh PT MLJ, karena memang kondisi keuangan keluarga Bakrie tidak memungkinkan,” jelas Andi. [isa/kun]

    M. Ismail

    Sumber: http://beritajatim.com/politik_pemerintahan/236899/ganti_rugi_korban_lumpur_di_pat_tak_kunjung_cair.html

  • Aksi Sinarmas Menadah Aset Bakrie

    Aksi Sinarmas Menadah Aset Bakrie

    JAKARTA, KOMPAS.com – Gencarnya aksi Grup Sinar Mas mengincar aset Grup Bakrie mencuatkan banyak tanya. Salah satunya adalah dugaan adanya motif tersembunyi atas aksi Grup Sinarmas yang terus menadah aset-aset Grup Bakrie.

    Kabar yang beredar di kalangan pebisnis menyebut, kedekatan Franky Oesman Widjaja, salah satu putra mahkota  taipan Eka Tjipta Widjaja dengan Nirwan Bakrie disebut-sebut menjadi alasan. Sinarmas  mencoba  membangunkan bisnis Bakrie Grup yang tengah surut.

    Sayang, Nirwan yang selama ini disebut-sebut sebagai otak bisnis dalam Grup Bakrie tak bisa dikonfirmasi. Tapi, jawaban datang dari Managing Director Grup Sinar Mas Soeherman Gandi Sulistiyanto. Dia menyangkal kabar tersebut. “Tidak ada hubungannya, kecuali pertimbangan bisnis,” tandas Gandi, panggilan karibnya kepada Kontan, Jumat (24/4/2015).

    Biro Riset Kontan mencatat, aksi Sinarmas mengoleksi aset Bakrie sudah dimulai sejak tahun 2013. Kala itu, Sinar Mas melalui PT Bumi Serpong Damai Tbk membeli 3 hektare (ha) lahan di superblok Rasuna Epicentrum Jakarta milik PT Bakrieland Development Tbk. Sinarmas mengeluarkan dana investasi  sebesar Rp 868,93 miliar untuk mendanai aksi korporasi itu. Rencananya, Sinarmas akan mendirikan apartemen di lahan tersebut.

    Tak puas sampai disitu. Pada tahun 2014, Sinarmas kembali mengambil alih mal Epicentrum Walk yang berada di Rasuna Epicentrum. Nilai investasi atas aksi korporasi itu Rp 297 miliar. Melalui anak usaha lain yang bergerak di bisnis perkebunan, yakni Golden Agri Resources Ltd, perusahaan ini menadah dua aset lahan sawit seluas 16.000 hektare milik PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk senilai 178 juta dollar AS.

    Pada akhir tahun 2014 lalu, PT Smarfren Telecom, perusahaan telekomunikasi yang dimiliki Sinarmas juga telah merangsek masuk ke Bakrie Telecom, dengan kerjasama pemakaian jaringan.

    Sinarmas juga agresif memborong saham Grup MNC yang mengempit aset eks Bakrie. Belum lama ini, lewat Argyle Street Management Limited (ASML) Sinarmas membeli 5 persen saham PT MNC Land Tbk (KPIG). Dan, portofolio MNC Land adalah lahan eks Bakrie antara Lido Resort, jalan ton dan Bali Nirwana Resort.

    Yang terakhir, konglomerasi yang dibangun taipan Eka Tjipta itu ingin menguasai PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU), salah satu tentakel bisnis Bakrie di pertambangan batubara. Lewat ASML, Sinarmas menawar 100 persen saham Asia Resource Minerals Plc (ARMS), induk usaha BRAU. Saat ini, ASML mengempit 11,1 juta, setara 4,65 persen saham ARMS yang tercatat di Bursa Efek London.

    Adapun, pengendali saham ARMS adalah Samin Tan yang menguasai 47,6 persen saham ARMS, yaitu 23,8 persen melalui PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN) dan 23,8 persen melalui Ravenwood.

    ASML menawar saham ARMS seharga 41 pence per saham. Perusahaan ini juga berjanji menyuntikkan dana segar 150 juta dollar AS ke ARMS sebagai salah satu alternatif restrukturisasi utangnya. Asal tahu saja, BRAU memiliki utang senilai 950 juta dollar AS yang jatuh tempo tahun ini dan tahun 2017.

    Namun, niat ASML tersebut bisa jadi tak mulus karena Nathaniel Rothschild juga berambisi menguasai saham mayoritas ARMS. Saat ini Rothschild menggenggam 17,5 persen saham ARMS.

    Adisti Dini Indreswari

    Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/04/25/224800826/Aksi.Sinarmas.Menadah.Aset.Bakrie

  • Korban Lumpur Lapindo Tagih Janji Jokowi

    Korban Lumpur Lapindo Tagih Janji Jokowi

    WARGA korban lumpur Lapindo, Jawa Timur, di dalam peta area terdampak menagih janji Presiden Jokowi yang pernah berkampanye akan menyelesaikan proses ganti rugi warga secepatnya. Kenyataannya, hingga hampir sembilan tahun peristiwa lumpur terjadi, pembayaran ganti rugi tetap tak kunjung dilunasi.

    Kekesalan warga korban Lapindo terkait dengan lambatnya pembayaran ganti rugi itu disampaikan saat mereka mendatangi Panitia Khusus Lumpur DPRD Sidoarjo, kemarin. Di hadapan para anggota Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, warga mendesak dewan menyampaikan aspirasinya itu ke pemerintah pusat.

    Warga mengaku kesal sebab mereka berkali-kali dibohongi terkait dengan pembayaran ganti rugi yang tak kunjung selesai. Pada saat masih ditangani PT Minarak Lapindo Jaya, warga sudah kenyang dengan janji-janji yang tak kunjung ditepati.

    Kini saat pembayaran ganti rugi diambil alih pemerintah dengan dana talangan, warga juga tetap harus bersabar dengan janji. Sebelumnya warga mendapat informasi ganti rugi dari pemerintah dicairkan Februari 2015, tetapi tak terealisasi. Warga kembali mendengar ganti rugi dicairkan Maret, tapi lagi-lagi hingga saat ini ternyata tetap belum direalisasikan.

    “Mana janji Presiden Jokowi yang pernah berkampanye di tanggul akan menyelesaikan ganti rugi secepatnya?” kata Irvan, 50, korban lumpur Lapindo asal Desa Jatirejo.

    Dalam pertemuan dengan Pansus Lumpur Lapindo itu warga juga menyatakan menolak apabila pencairan uang ganti rugi harus melalui PT Minarak Lapindo Jaya ataupun Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Mereka berharap uang ganti rugi langsung ditransfer pada rekening warga.

    “Kalau melalui PT Minarak, hingga kiamat pun tak akan dibayar. Kalau melalui BPLS, akan menjadi rumit,” kata Juwari, 54, warga korban Lapindo asal Desa Renokenongo.

    Warga memberi batas waktu pada pemerintah hingga akhir April ini untuk mencairkan dana ganti rugi. Apabila pemerintah tak kunjung mencairkan dana ganti rugi tersebut, mereka mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa ke jalan. (HS/N-1)

    Sumber: http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/10785/Korban-Lumpur-Lapindo-Tagih-Janji-Jokowi/2015/04/22

  • [Maret 2015] Konstruksi Pengetahuan dalam Kasus Lapindo

    Buletin Kanal edisi Maret ini secara khusus menyajikan tulisan bagaimana pengelolaan kasus-kasus lingkungan yang mempengaruhi hidup warga dipengaruhi banyak hal.

    Kasus Lapindo, misalnya, telah dikonstruksi sedemikian rupa oleh sebagian pihak dengan menggunakan berbagai cara. Banyak ahli yang bisa ditelusur sejak awal menyajikan pendapatnya terkait kasus ini. Jika dikelompokkan, pendapat mereka terbagi dua. Kelompok pertama berpendapat semburan Lapindo lebih diakibatkan adanya potensi gunung lumpur yang menyembur karena aktivitas gempa beberapa hari sebelum 29 Mei 2006. Kelompok pendapat kedua menyampaikan semburan lumpur dipicu kesalahan pengeboran. Beberapa ahli yang lain nampaknya masih mencari-cari penyebab semburan ini.

    Tulisan Firdaus Cahyadi di Tempo menunjukkan peran para akademisi, sebagai ahli dalam mengkonstruksi pembenaran terkait eksploitasi pegunungan karst Kendeng. Ia mencontohkan dua kasus, Buyat dan Lapindo, untuk melihat bagaimana peran para ahli membangun opini publik dan kebijakan yang memiliki implikasi pengelolaan kawasan yang terkena dampak. Ia melihat peran para ahli yang cenderung berpihak kepada perusahaan.

    Anton Novenanto secara panjang dan mendalam menunjukkan betapa dalam kasus Lapindo ternyata pengurus negara sejak mula telah mempengaruhi keputusan strategis penanggulangan lumpur Lapindo. Ia menunjukkan secara runut bagaimana kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sejak mula menunjukkan ketidakberpihakan pengurus negara kepada korban Lapindo. Kebijakan yang dibuat justru telah membuat perusahaan bisa seenaknya tidak menyelesaikan kewajiban yang sudah diputuskan dalam model ‘jual beli’ hingga usia lumpur Lapindo hingga hampir 9 tahun.

    Bagaimana keputusan mengenai model ganti rugi, penetapan kawasan, anggaran, hingga pembentukan badan khusus pengelolaan lumpur Lapindo telah disusun sedemikian detail, yang kemudian pada era Jokowi dikatakan bahwa negara absen dalam urusan Lumpur Lapindo. Anton menggugat penggunaan ‘negara absen’ dalam kasus Lapindo karena berdasar telusurannya, fakta menunjukkan bahwa negara berperan besar dalam karut marut urusan Lumpur Lapindo hingga saat ini. “Negara absen dalam berpihak kepada warga” mungkin yang tepat digunakan dalam kasus lumpur Lapindo.

    Buletin Kanal juga memuat kesaksian Mamuk Ismuntoro yang pada saat awal semburan bertugas di desa-desa sekitar pusat semburan Lumpur Lapindo. Foto-foto yang diabadikannya menunjukkan dengan jelas bagaimana situasi desa-desa pada masa awal semburan Lumpur Lapindo. Kami berharap pada edisi selanjutnya bisa menampilkan beberapa rekaman gambar yang menunjukkan fase-fase semburan lumpur Lapindo.

    Bambang Catur Nusantara

    Daftar tulisan:

    1. Konstruksi Pengetahuan dalam Kasus Lapindo [pdf]
    2. Politik Pengetahuan dalam Kasus Lingkungan [pdf]
    3. Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? [pdf]
    4. Lapindo di Media (Maret 2015) [pdf]
    5. Tanah Yang Hilang [pdf]

    Unduh Buletin Kanal Volume XI, (Maret) 2015 versi lengkap di sini

  • Bumi Plc Memanas Lagi

    Bumi Plc Memanas Lagi

    Bekas penasihat Rothschild mengajukan proposal penawaran atas Asia Resource Minerals Plc

    Bareksa – Pertarungan memperebutkan Bumi Plc memasuki babak baru. Ian Hannam, sang pemicu peperangan itu. Bankir komoditas veteran itu menyiapkan penawaran terhadap Asia Resource Minerals Plc (ARMS). Perusahaan batu bara yang beroperasi di Kalimantan Timur, Indonesia itu dulu bernama Bumi Plc, tapi berganti nama menjadi Asia Resource Minerals Plc pada 2013.

    Penawaran potensial terhadap oleh Asia Coal Energy Ventures (ACE) seperti dilansir Bloomberg Business, memanaskan tensi antara Hannam dan Nathaniel Rothschild, pendiri Bumi Plc. Hannam sendiri dulu sebenarnya ikut membantu Rothschild menuntaskan transaksi terhadap Bumi Plc. dengan keluarga Bakrie, selaku pengendali PT Bumi Resources Tbk. Rothschild menyatakan kekeliruannya adalah terlalu bergantung pada nasihat dari Hannam. Hannam sebelumnya merupakan bankir senior di JPMorgan Chase & Co. Belakangan, Hannam mundur dari JPMorgan dan mendirikan Hannam & Partners, dan menjadi penasihat ACE.

    Pada 2010, Hannam bersama Rothschild mengajukan penawaran senilai US$ 3 miliar untuk transaksi Bumi Resources yang dikendalikan keluarga Bakrie. “Kesalahan kami adalah terlalu bergantung pada kedekatan hubungan antara Hannam dan JPMorgan dengan keluarga Bakrie,” ujar Rothschild dalam sebuah wawancara dengan Bloomberg tahun lalu. Hubungan Rothschild dengan keluarga Bakrie pun akhirnya retak dan mereka akhirnya berpisah pada 2013. Rothschild memberi ganti rugi US$ 501 juta dan mengganti nama Bumi Plc menjadi Asia Resource Minerals Plc.

    ACE mempertimbangkan penawaran harga 41 pence per lembar untuk mengakuisisi ARMS. Harga itu setara 173 persen premium di atas harga penutupan saham ARMS pada 13 April. Selain harga penawaran itu, ACE berjanji akan menyuntik dana segar US$150 juta kepada perusahaan yang memiliki tiga konsesi batu baru di Lati, Binungan, dan Samabara seluas 118.400 hektare di Kalimantan Timur itu. Sontak saja, penawaran dari Hannam itu mengancam rencana paket penyelamatan yang diajukan oleh Rothschild.

    Pada Februari, Rothschild setuju menanggung ekuitas senilai $100 juta untuk membantu ARMS menegosiasikan utang obligasi senilai $950 juta, sekaligus menghindar dari default. Sebelumnya, dalam sebuah voting, ia berhasil mengalahkan Samin Tan–bekas chairman Bumi Plc—yang yang mencoba mendapatkan kontrol dari dewan direksi.

    Pada 22 April, para pemegang saham ARMS akan memberi suara atas rencana usulan pendanaan oleh Rothschild NR Holdings. “Kami mendesak investor untuk menolak upaya oportunistik oleh NR Holdings menguasai ARMS tanpa membuat tawaran penuh dan adil kepada pemegang saham lainnya,” kata ACE dalam pernyataannya. “Kami menyambut baik keterlibatan kelompok figur Sinar Mas sebagai ‘kesatria’ untuk aset ini kunci Indonesia.”

    Manajemen ARMS dalam pernyataan resmi menyebutkan belum ada komunikasi langsung dengan ACE dan akan member pernyataan resmi pada waktunya. ACE didukung oleh Argyle Street Management Ltd., yang menguasai 4,7 persen saham ARMS. Di sisi lain, Sinar Mas Grup, perusahaan milik taipan Eka Tjipta Widjaja mendesak ARMS untuk segera membicarakan proposal penawaran tersebut. Sebaliknya, ACE tetap akan mengajukan proposal meski dewan direksi menolak penawaran tersebut.

    Selain ACE, Raiffeisen Bank International AG Austria menguasai 23,8 persen hak suara (voting rights) saham ARMS, Samin Tan dan Rothschild sama-sama memiliki hak suara 17.5 persen. Di Indonesia, ARMS mengendalikan PT Berau Coal Tbk. (BRAU). Harga saham BRAU diperdagangkan pada Rp 83 per lembar pada Rabu, 15 April 2015 di Bursa Efek Indonesia.

    Padjar Iswara

    Sumber: http://www.bareksa.com/id/text/2015/04/15/bumi-plc-memanas-lagi/10159/analysis

  • Audit Lapindo Tuntas, Segera Bentuk Tim Negosiasi

    Audit Lapindo Tuntas, Segera Bentuk Tim Negosiasi

    Jawa Pos, Jakarta – Dana talangan untuk korban lumpur Lapindo segera cair. Setelah audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tuntas, pemerintah kini masuk tahap finalisasi tim negosiasi.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, audit BPKP akan menjadi pegangan tim negosiasi saat bertemu dengan pihak Lapindo. ”Sekarang timnya sedang difinalisasi oleh Setkab (Sekretariat Kabinet),” ujarnya kepada Jawa Pos Minggu (12/4).

    Basuki mengatakan, berdasar audit BPKP, terdapat perbedaan angka dalam nilai aset Lapindo. Versi PT Minarak Lapindo Jaya, nilai aset tanah warga di peta terdampak yang sudah diganti Lapindo mencapai Rp 3,03 triliun. Namun, hasil audit BPKP menyebut hanya Rp 2,7 triliun. ”Rupanya, hitungan Lapindo juga memasukkan bonus dan ada beberapa berkas tanah yang dihitung dua kali,” katanya.

    Menurut Basuki yang juga ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), audit BPKP juga menyebut kebutuhan dana talangan menyusut dari Rp 781 miliar menjadi Rp 767 miliar karena adanya beberapa berkas tanah yang dihitung lebih dari satu kali. Saat ini penyusunan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) pun sudah berjalan. ”Itu sudah dilaporkan menteri keuangan,” ucapnya.

    Sebagaimana diketahui, dana tersebut akan digunakan untuk melunasi ganti rugi tanah warga korban lumpur Lapindo di peta area terdampak. Ganti rugi itu sebenarnya kewajiban Lapindo, namun karena perusahaan tidak memiliki kemampuan finansial, pemerintah bersedia memberi dana talangan agar proses ganti rugi tanah warga bisa segera tuntas.

    Hingga saat ini, Lapindo baru bisa memenuhi kewajiban ganti rugi tanah warga di peta terdampak sebanyak 9.900 berkas senilai Rp 3,03 triliun (versi Lapindo), sebagian besar berupa sertifikat tanah. Ada juga yang berupa girik. Namun, masih ada kekurangan 3.337 berkas yang belum bisa diselesaikan Lapindo senilai Rp 767 miliar. Kekurangan itulah yang akan ditalangi pemerintah.

    Dihubungi di tempat terpisah, Direktur PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan perbedaan perhitungan antara aset yang sudah dibeli Lapindo senilai Rp 3,03 triliun dan hasil audit BPKP yang hanya menyebut Rp 2,7 triliun. ”Kami ikut saja apa kata pemerintah,” ujarnya.

    Menurut Andi, meski hasil audit BPKP menyebut aset yang dikuasai Lapindo hanya Rp 2,7 triliun, nilainya masih jauh lebih besar daripada kebutuhan dana talangan Rp 767 miliar. Artinya, aset yang dijaminkan Lapindo jauh lebih besar daripada dana yang dipinjamkan pemerintah. ”Lain cerita kalau aset kami ternyata cuma Rp 600 miliar, itu baru jadi masalah,” jelasnya.

    Basuki menambahkan, dalam negosiasi dengan pihak Lapindo, pemerintah akan mengajukan skema pemberian dana talangan Rp 767 miliar dengan jaminan 9.900 berkas yang sudah dikuasai Lapindo senilai Rp 2,7 triliun (versi BPKP). Selanjutnya, Lapindo diberi waktu empat tahun untuk melunasi pinjaman kepada pemerintah. Jika itu tidak bisa dilakukan, pemerintah akan mengambil alih hak kepemilikan 9.900 berkas tanah yang sudah dijaminkan Lapindo. ”Dalam negosiasi, akan dibuat perjanjian tertulis dengan Lapindo,” ujarnya.

    Basuki yang pernah menjadi ketua pelaksana Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo (PSLS) pada 2007 akan memimpin tim negosiasi yang, antara lain, berisi unsur BPKP, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Keuangan. ”Semoga prosesnya cepat sehingga dana talangan bisa dicairkan untuk masyarakat korban lumpur,” katanya.(owi/c10/sof)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/15665/Audit-Lapindo-Tuntas-Segera-Bentuk-Tim-Negosiasi

  • LOGAM: Hak Angket Lumpur Lapindo Tak Logis

    LOGAM: Hak Angket Lumpur Lapindo Tak Logis

    KANALSATU – Korwil LOGAM (Loyalis Golkar Muda) Jawa Timur, Ismet Rama, mengkritisi rencana hak angket lumpur Sidoarjo yang terus digulirkan oleh anggota fraksi Partai Golkar kubu Agung Laksono, yang kabarnya akan diluncurkan setelah agenda besar DPR terkait fit & proper test Kapolri selesai.

    Menurut Ismet, kasus lumpur Lapindo sudah inkracht dan tidak bisa digoyang lagi secara hukum. “Jika ada pihak yang akan menjadikan persoalan lumpur sebagai materi hak angket, dari aspek sebelah mana akan dibidik, dan dalam perspektif apa,” tegas Ismet yang merupakan kader Partai Golkar tersebut, Minggu (12/4).

    Kepentingan pribadi sebagian pihak di Partai Golkar, kata Ismet, hendaknya tidak lagi menyeret-nyeret kasus lumpur ke dalam wilayah politik, karena secara hukum kasus lumpur sudah clear. “Pendekatan apalagi yang mau dipakai kalau bukan perspektif hukum,” tegas Ismet.

    Lebih jauh Ismet mengatakan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 November 2007 sudah jelas menolak gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) atas PT Lapindo yang dituding sebagai penanggung-jawab atas kerusakan lingkungan akibat lumpur di sekitar Sidoarjo. “Pengadilan tegas menyatakan bahwa semburan lumpur akibat fenomena alam,” katanya.

    Pengadilan Jakarta Pusat juga menolak gugatan serupa yang diajukan YLBHI. Selain itu, Mahkamah Agung juga menolak permohonan uji materi atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. “Dengan sejumlah putusan hukum tersebut, artinya kasus Lapindo sudah inkracht dan tidak bisa lagi diganggu gugat.”

    Ismet balik bertanya, “Jika hak angket berhasil dilakukan dan secara politis – misalnya – PT Lapindo dinyatakan bersalah, lantas apakah hasil paripurna itu bisa serta-merta dijadikan dasar ekskusi hukum, sementara secara hukum kasus lumpur sudah inkracht,” katanya.

    Terkait dengan itu, Ismet menghimbau fraksi lain untuk tidak ikutan menggulirkan hak angket lumpur Lapindo, jika tidak ingin dituding oleh masyarakat sebagai tindakan naif, memaksakan kehendak, dan tidak logis. “Jika hak angket ini didorong terkait kisruh Partai Golkar yang notabene melibatkan nama Aburizal Bakrie, sungguh tidak ada korelasinya. Mengada-ada, naif, dan tidak logis. Ini urusan partai, sentimen pribadi jangan dibawa-bawa ke wilayah politik,” kata Ismet.

    Lagi pula, kata Ismet, meski tidak ada satu pun putusan hukum yang memutuskan bahwa PT Lapindo Brantas bersalah terkait semburan lumpur Lapindo, tapi Grup Bakrie melalui PT Lapindo berkenan mengalah dan bersedia mengerjakan perintah recovery area sesuai Perpres No 14 Tahun 2007.

    Lapindo pun, kata Ismet, tidak berusaha melakukan yudicial review atas turunnya Perpres itu, namun memilih menjalankan kewajibannya meskipun lahan yang rusak akibat lumpur sangat luas, yakni (total luas Area Terdampak) 640 hektar. “Berdasarkan Perpres tersebut, Lapindo berkewajiban mengganti rugi lahan dalam Area Terdampak, sedangkan pemerintah melalui BPLS berkewajiban menangani lahan di luar Area Terdampak,” tambahnya.

    Pasal 15 dalam Perpres No 14 Tahun 2007, kata Ismet, seharusnya bisa menjadi landasan bagi para pihak-, sebelum melakukan justifikasi negatif terhadap kasus Lumpur Lapindo.

    Sesuai Perpres itu, lanjutnya, kewajiban Lapindo Brantas sbb: 1. Menanggung biaya sosial, membeli tanah dan bangunan masyarakat, 2. Pembayaran bertahap 20% di muka dan 80% sebulan sebelum masa kontrak habis, 3. Biaya penanggulangan lumpur, termasuk penanganan tanggul sampai ke Kali Porong.

    Sedangkan kewajiban Pemerintah dalam Perpres No 14 Tahun 2007, kata Ismet, sebagai berikut: 1. Menanggung biaya sosial kemasyarakatan di luar Area Terdampak, 2. Menanggung biaya penanganan infrastruktur untuk penanganan lumpur.

    “Lapindo Brantas telah berusaha menyelesaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya sesuai Perpres No 14 Tahun 2007. Mulai dari menanggung biaya sosial kemasyarakatan, pembayaran ganti rugi di area terdampak. Kabarnya Grup bakrie telah menghabiskan dana Rp 6 triliun lebih untuk keperluan tersebut,” katanya.

    Tapi anehnya, kata Ismet, ketika pemerintah akan menjalankan kewajibannya sesuai Perpres No 14 Tahun 2007 – terkait kewajiban pemerintah atas areal di luar peta terdampak, justru banyak pihak yang meributkan.

    “Jika poin itu yang akan dibawa ke Senayan sebagai materi hak angket, sungguh naif. Karena sejatinya semburan lumpur itu adalah bencana yang seharusnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah,” kata Ismet. (win5)

  • Lima Tahun Lagi Sidoarjo Bisa Tenggelam

    Lima Tahun Lagi Sidoarjo Bisa Tenggelam

    Pemkab Diminta Serius Tanggulangi Banjir

    TRIBUNNEWS.COM, SIDOARJO – Anggota Komisi C DPRD Sidoarjo M Nizar, Kamis (9/4/2015), menilai solusi pemkab terhadap banjir saat ini masih bersifat jangka pendek. Padahal, ancaman serius banjir menghendaki solusi permanen.

    “lebih serius dan konkret menanggulangi banjir. Jadi, paling penting dilakukan pemkab adalah mencegah sejak sekarang. Sekali lagi, Sidoarjo butuh solusi permanen,” ujar Nizar.

    Menurut Nizar, banjir yang menjadi langganan 114 kelurahan/desa di Sidoarjo ada dua jenis, yakni banjir rob (air laut) akibat air laut pasang dan banjir darat karena manajemen drainase yang kurang baik.

    Nizar melihat, usaha-usaha pemkab untuk mencegah banjir selama ini baru sebatas solusi jangka pendek. Pengerukan saluran drainase, memang perlu. Tapi, mestinya dilakukan tanpa menunggu hujan dan banjir.

    Dia juga menyayangkan belum adanya grand design drainase dalam tata wilayah Sidoarjo. Padahal, perencanaan drainase kota itu semestinya berjalan beriringan dengan rencana pengembangan perumahan dan industri.

    “Sidoarjo kini sudah kehilangan lahan resapan, karena perluasan perumahan dan industri itu. Dengan sistem drainase yang buruk, maka dampaknya adalah banjir,” ungkap Nizar.

    Nizar meminta pemkab memprioritaskan masalah banjir yang bisa menghambat pembangunan dan mengganggu aktivitas perekonomian warga.

    Senada dengan Nizar, pakar tata kota Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Putu Rudi Setiawan mengingatkan kepada Pemkab Sidoarjo untuk meninjau ulang kebijakan tata ruang wilayah dan visi pembangunan di Kota Udang itu.

    Banjir di Sidoarjo, kata Putu, terjadi karena semakin berkurangnya lahan resapan akibat menjamurnya perumahan dan industri serta lumpur Lapindo. Wilayah resapan di wilayah timur Sidoarjo, sekitar 650 hektar, hilang terpendam lumpur Lapindo.

    “Tanggulangin, misalnya, sekarang bisa dibilang sebagai kawasan yang tidak memiliki fungsi ekologis lagi,” tuturnya.

    Menurut dosen jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITS ini, sekarang masih belum terlambat untuk membangunSidoarjo agar benar-benar aman dari bencana ekologi seperti banjir.

    Dia mengimbau pemkab meninjau ulang kebijakan tata wilayah. Daerah yang potensi pertanian dan perikanannya tinggi, tidak perlu dipaksakan menjadi kawasan bisnis atau perkotaan.

    “Untuk jangka pendek dan jangka panjang, yang juga harus dilakukan adalah mendesain ulang sistem pengendalian banjir, mulai dari pembuatan bendungan, hingga pemeliharaan infrastruktur dan saluran untuk pengairan. Untuk desain ulang ini, tidak butuh waktu lama. Paling lama hanya enam bulan,” jelasnya. (idl/ben)

    Sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2015/04/10/lima-tahun-lagi-sidoarjo-bisa-tenggelam-pemkab-diminta-serius-tanggulangi-banjir

  • Golkar dan Lapindo

    Golkar dan Lapindo

    Versi PDF unduh di sini.

    MENYUSUL kekalahan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tahun 2014 lalu, Partai Golkar berada dalam posisi tersulit sepanjang sejarah republik ini. Golkar memiliki budaya politik untuk selalu merapat dan berkoalisi dengan pemegang kekuasaan. Di era Indonesia memilih presidennya secara langsung, kandidat Golkar selalu kalah. Namun, Golkar selalu berhasil memperkuat posisi politiknya untuk merapat pada kursi kekuasaan.

    Pada pemilihan presiden 2004, kandidat Golkar (Wiranto-Salahuddin Wahid) kalah di putaran pertama. Pada putaran kedua partai pun melimpahkan dukungannya kepada pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kalla pun ditunjuk sebagai ketua umum partai periode 2004-2009. Sementara beberapa kader penting masuk dalam kabinet dan pelbagai posisi strategis lainnya.

    Pada tahun 2009, kandidat Golkar (Jusuf Kalla-Wiranto), lagi-lagi, kalah dalam pemilihan presiden satu putaran. Akan tetapi, Golkar berhasil mempertahankan posisinya sebagai partai pendukung sang penguasa. Salah satu kader kunci bagi keberhasilan itu adalah Aburizal Bakrie yang terpilih sebagai ketua umum partai, mengalahkan Surya Paloh dalam Munas di Riau, Pekanbaru, Oktober 2009.

    Di bawah pimpinan Aburizal, Golkar menginisiasi pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) koalisi partai pendukung pemerintah dan Aburizal duduk sebagai ketuanya. Berangkat dari perjalanan semacam itu, kita dapat berkesimpulan bahwa dalam peta politik nasional, politisi Partai Golkar tidak pernah merasakan bagaimana menjadi oposisi.

    ‘Aburizalisasi Golkar’

    Tidak seperti zaman sebelumnya, Golkar mulai memperhitungkan kekuatan ‘figur’ (Aburizal) dan menggarapnya sebagai magnet partai. Rasionalisasinya adalah memperkokoh mesin partai warisan Orde Baru yang sudah berjalan baik.

    Untuk mencapai tujuan itu beberapa kader penting partai yang tidak sepaham dengan Aburizal dan ide-idenya diberhentikan. Sebagian lain memilih loncat ke partai lain. Mereka tidak sepakat dengan gerakan ‘Aburizalisasi Golkar,’ suatu gerakan menjadikan persoalan personal Aburizal menjadi persoalan kelembagaan partai. Salah satu yang paling kentara adalah, tentu saja, penggalangan dukungan partai atas kasus Lapindo.

    Sebagai ketua umum partai, Aburizal tidak perlu harus hadir sendiri untuk mengklarifikasi segala tuduhan publik terkait kasus Lapindo. Dia cukup memfungsikan kader partainya untuk menyuarakan kepentingannya. Hasilnya, kader dan simpatisan partai dari level nasional sampai level kampung telah disulap menjadi agen ‘normalisasi’ kasus Lapindo agar sesuai dengan versi Aburizal, dan Lapindo.

    Praktik ‘normalisasi’ itu dilakukan di pelbagai medan pertarungan kekuasaan. Yang paling masif adalah penggiringan opini di ruang-ruang publik. Di DPR, Golkar menginisiasi pendirian Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) dan memimpinnya. Pada praktiknya, yang dimaksud ‘pengawasan’ adalah melancarkan pelbagai skema penyelesaian kasus Lapindo menuruti kepentingan Aburizal, dan Lapindo.

    Golkar adalah kunci bagi lolosnya pengalokasian dana APBN untuk Lapindo. Sejak 2007, trilyunan rupiah uang rakyat telah digelontorkan untuk menangani dan menutupi segala macam akibat dan ulah Lapindo. Tak hanya itu, di bawah kendali Golkar, DPR pun menyatakan lumpur Lapindo sebagai ‘bencana alam,’ alih-alih ‘bencana teknologi.’

    Di tingkat lokal, Golkar merekrut beberapa korban Lapindo yang haus kekuasaan menjadi kader partai. Para korban ditawari beragam posisi, mulai anggota legislatif (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) sampai kepala daerah (Sidoarjo), asalkan mereka menyuarakan dan mendukung Aburizal, dan Lapindo.

    Dengan demikian, Golkar telah menjadi alat yang sangat efektif bagi Aburizal bukan hanya untuk melakukan ‘normalisasi’ namun juga melepaskan diri dari kasus Lapindo.

    Hak angket Lapindo, untuk (si)apa?

    Beberapa pengamat politik memprediksikan bahwa pasca pesta demokrasi 2014 lalu Golkar akan mengulang pola yang terjadi sebelumnya, yakni merapat ke penguasa. Pola itu diputus oleh sikap Aburizal, sebagai ketua umum partai, yang bersikeras untuk tetap mendukung Koalisi Merah Putih pimpinan Partai Gerindra. Padahal Golkar mendapatkan suara lebih banyak ketimbang Gerindra.

    Sikap Aburizal itu memicu reaksi keras dari sebagian besar eksponen partai. Menjadi oposan bertentangan dengan budaya politik partai. Bibit resistensi pun berkembang, namun casus belli bagi konflik internal Golkar adalah Munas Bali yang memilih kembali Aburizal sebagai ketua umum. Beberapa kader penting mengklaim Munas Bali tidak sah. Mereka pun menggelar Munas tandingan di Jakarta dan mengangkat Agung Laksono sebagai ketua umum partai.

    Perseteruan internal Golkar berlanjut menjadi makin runyam ketika lembaga negara lain turun campur. Dalam pelbagai pernyataannya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan dukungannya pada kubu Agung Laksono. Pernyataan itu sangat politis. Eksekutif membutuhkan dukungan dari parlemen bagi terlaksananya program. Tambahan suara dari Golkar di parlemen akan sangat menguntungkan bagi pemerintah. Dalam konteks tersebut, SK Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.AH.11.01 (23 Maret) yang menyatakan kubu Agung sebagai kubu yang sah menjalankan Golkar sangat problematis.

    Kubu Aburizal mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta yang pada 1 April lalu melemparkan putusan sela yang memerintahkan penundaan pemberlakuan SK tersebut. Selain itu, kubu Aburizal mewacanakan untuk melancarkan hak angket menggugat keputusan itu, yang langsung mendapatkan reaksi dari kubu Agung untuk menginisiasi hak angket untuk kasus Lapindo.

    Filsuf Prancis Jacques Derrida berpendapat bahwa dalam dunia politik hal paling sulit dalam politik bukanlah memperjuangkan kemerdekaan ‘liberté’ atau menciptakan kesetaraan ‘egalité, melainkan menjalin persaudaraan ‘fraternité.’Lewat buku Politics of Friendship (2005), Derrida mengungkapkan motif politik persaudaraan tidak murni sosial namun sangat pribadi: menyelamatkan diri sendiri.

    Berangkat dari argumen Derrida tentang politik persaudaraan, hak angket Lapindo – jika benar dilaksanakan – perlu dilihat sebagai strategi pendukung Agung Laksono untuk menyelamatkan diri dari kasus Lapindo. Caranya adalah melepaskan beban yang ditimpakan pada Golkar dan mengembalikannya ke pundak Aburizal. Wacana yang dipelihara dan disebarluaskan adalah ‘kasus Lapindo merupakan persoalan pribadi Aburizal dan perusahaannya, bukan persoalan Partai Golkar.’

    Kita berharap wacana hak angket Lapindo tidak berubah menjadi, apa yang disebut Derrida ‘simulakra,’ ruang yang diciptakan terlihat seolah-olah penting dan perlu bagi kepentingan bersama, namun sebenarnya hanya dibuat-buat untuk menutupi motif pribadi dari para penciptanya.

    Kita sangat mendukung pengusutan tuntas kasus Lapindo. Namun, kita juga berhak dan perlu bertanya: apakah hak angket akan efektif bagi tujuan itu? Kita harus terus mengingatkan pemerintah bahwa ada persoalan sangat mendesak untuk dilakukan: memulihkan dampak dan krisis sosial-ekologis akibat lumpur Lapindo.***

    Anton Novenanto, pengajar di Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya, Malang

    Sumber: http://indoprogress.com/2015/04/golkar-dan-lapindo/

  • Pengamat: DPR Tidak Boleh Terjebak dalam Konflik Golkar

    Pengamat: DPR Tidak Boleh Terjebak dalam Konflik Golkar

    BeritaSatu.com, Jakarta – Pengamat politik dari IndoStrategi Andar Nubowo meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak terjebak dalam konflik Partai Golkar di parlemen. Dia menilai kubu Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono (AL) mulai menggunakan DPR untuk kepentingan masing-masing.

    “Wacana angket Lapindo yang diusulkan kubu AL tampaknya untuk mengimbangi angket Menkumham yang diinisiasi oleh Partai Golkar kubu ARB. Jelas ini pola serangan balik atas ARB. Apalagi, kasus Lapindo identik dengan ARB,” ujar Andar saat dihubungi BeritaSatu.com, Selasa (31/3).

    Menurutnya, jika hak angket Lapindo dan Menkumham ini terjadi, maka akan menjadi kontestasi siapa yang paling berpengaruh dan kuat di parlemen, baik dalam konteks Partai Golkar sendiri ataupun Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

    “Kita berharap DPR bisa memilih dan memilah. Tidak terjebak pada arus konflik di tubuh partai tertentu. Lembaga DPR itu lembaga rakyat, tidak boleh disetir oleh salah satu pihak,” tegas Andar.

    Hak angket Lapindo, katanya kesannya memang lebih kuat sebagai politik revenge kubu AL terhadap ARB. Dia pun mengharapkan pimpinan DPR dan anggotanya perlu memeriksa secara objektif dan menghindari politisasi lembaga eksekutif untuk kepentingan kelompok tertentu.

    “Tetapi, jika substansi itu sesuai dengan tupoksi anggota dewan, ya jalan saja tanpa terjebak pada konflik internal partai tertentu. Intinya, DPR harus fokus bekerja di atas kepentingan partai atau golongan tertentu,” terangnya.

    Andar mengaku bahwa kesan politisasi kasus Lapindo tak terhindari. Pasalnya, kasus ini merupakan kasus lama, sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Publik, katanya, tentu bertanya mengapa baru dimunculkan hak angketnya setelah dualisme Partai Golkar.

    “Kesan politisnya kan tidak bisa dihindari. Tetapi, jika memang ditemukan fakta baru dalam Lapindo yang merugikan rakyat dan negara, saya kira boleh boleh saja. Makanya itu, argumentasi hak angket ini harus betul-betul jelas dan berdampak luas bagi masyarakat,” pungkasnya.

    Yustinus Paat | FEB

    Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/261613-pengamat-dpr-tidak-boleh-terjebak-dalam-konflik-golkar.html

  • Golkar Kubu Munas Jakarta Wacanakan Hak Angket Lapindo

    Golkar Kubu Munas Jakarta Wacanakan Hak Angket Lapindo

    JurnalParlemen, Senayan – Dualisme kepengurusan Partai Golkar antara kubu Munas Ancol (Agung Laksono) dengan Munas Bali (Aburizal Bakrie) kian memanas. Saling gugat dan ajukan laporkan ke Bareskrim Mabes Polri pun sudah dilakukan kedua kubu.

    Kini, Golkar kubu Agung Laksono memerintahkan anggotanya di Senayan, menggalang dukungan untuk pengajuan penggunaan Hak Angket soal Lapindo, sebagai balasan kepada Golkar kubu Aburizal yang lebih dulu menggulirkan penggunaan hak angket soal putusan Menkum dan HAM Yasonna Laoly mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono.

    “Kita upayakan besok kita galang angket soal Lapindo, angket pajak, dan angket pertambangan. Ini akan kita kerahkan agar di DPR lakukan angket. Kita dukung pemberantasan korupsi,” kata Wakil Ketua Umum Golkar Munas Ancol Yorrys Raweyai, Senin (30/3), di Gedung DPR, Jakarta.

    Yorrys menambahkan, angket tersebut ditujukan untuk mendalami apakah dana talangan dari Pemerintah ditujukan untuk kepentingan rakyat, atau hanya dijadikan lahan bagi pengusaha untuk meraup keuntungan.

    “Dana yang diberikan untuk kemanusiaan ke Lapindo kami setuju. Tapi, apakah rakyat terselamatkan atau pengusaha yang menikmati itu?,” tukasnya.

    Jay Waluyo

    Sumber: http://www.jurnalparlemen.com/view/9726/golkar-kubu-munas-jakarta-wacanakan-hak-angket-lapindo.html

  • Korban Lapindo Berharap Ganti Rugi Sebelum 29 Mei

    Korban Lapindo Berharap Ganti Rugi Sebelum 29 Mei

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Warga korban lumpur Lapindo mengaku tidak tahu-menahu tentang menciutnya besaran dana talangan yang akan dibayarkan pemerintah. Mereka tetap berharap dana dibayarkan sesegera mungkin. “Kami khawatir karena sudah cukup kami dibohongi hingga hampir sembilan tahun ini,” kata Sulastri, satu di antara warga itu, saat dihubungi, Senin, 30 Maret 2015.

    Menurut Sulastri, warga korban lumpur Lapindo resah karena tenggat pembayaran ganti rugi selalu diundur-undur. Dia mencatat, awalnya ganti rugi itu akan dibayarkan pada awal 2015, tepatnya pada Maret. Tapi belakangan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan kalau realisasi antara April dan Mei menunggu perumusan perjanjian dengan pihak Lapindo dan keputusan presiden ditandatangani.

    “Kalau memang sudah ada uangnya, kenapa belum dicairkan. Tolong segera dicairkan, kami sudah bosan seperti ini terus,” kata Sulastri lagi sambil mengingatkan 29 Mei mendatang genap sembilan tahun bencana lumpur Lapindo. Sulastri sendiri warga Desa Gempolsari yang terletak di sisi utara kolam lumpur raksasa Lapindo.

    Sebelumnya Menteri Basuki mengatakan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan kalau dana talangan ganti rugi korban lumpur Lapindo berubah menjadi Rp 767 miliar dari Rp 781 miliar dan aset PT Minarak Lapindo Jaya menyusut menjadi Rp 2,7 triliun dari nilai semula Rp 3,03 triliun.

    Menurut Basuki, penyusutan ini karena adanya beberapa bidang tanah yang terhitung dua kali. Lalu, juga terdapat bonus yang diberikan Lapindo kepada masyarakat yang bukan untuk pembayaran tanah.

    “Istilah dalam audit BPKP, yang diberikan Lapindo ke masyarakat itu tak bisa dihitung sebagai aset,” ujar Basuki saat meninjau irigasi di kawasan Gunung Nago, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu lalu.

    Sulastri yang juga telah menjalani verifikasi atas asetnya yang dirugikan oleh bencana lumpur itu tidak mengetahui tentang penyusutan-penyusutan itu. “Saya tidak tahu kalau ada penurunan seperti itu, malah yang saya dengar dari isu-isu malah membengkak,” katanya.

    MOHAMMAD SYARRAFAH | ANDRI EL FARUQI

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2015/03/30/058654091/Korban-Lapindo-Berharap-Ganti-Rugi-Sebelum-29-Mei

  • Pengamat: Hak Angket Lapindo Tak Relevan

    Pengamat: Hak Angket Lapindo Tak Relevan

    KBR, Jakarta – Wacana penggalangan hak angket Lapindo dinilai sarat kepentingan politik. Ini menyusul kisruh dua kubu antara Agung Laksono dan Aburizal Bakrie di internal partai Golkar.

    Menurut Koordinator Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, pengguliran hak angket oleh kubu Agung saat pemerintahan Joko Widodo, tidak relevan. Pasalnya sebagain besar kebijakan tentang lumpur Lapindo diambil saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

    “Kalau tidak hati-hati, sebetulnya yang tengah diangketi ini adalah pemerintahanya Jokowi yang disebut bukan merupakan aktor utama dalam pengabaian hak-hak masyarakat Lapindo,” kata Ray Rangkuti di KBR Pagi, (30/3/2015).

    “Ini kepentingan publik, cuma momentumnya kurang tepat, ini harusnya terjadinya di era Pak SBY. Mestinya sejak di eranya pak SBY yang relevan dilakukan. Ini jadi pertanyaan kita.”

    Ray Rangkuti menambahkan, hak angket Lapindo diperkirakan akan gagal seperti halnya hak angket untuk Menteri Hukum dan HAM.

    Kata dia, banyaknya wacana hak angket menunjukkan DPR lebih sibuk dengan urusan internal ketimbang kepentingan publik. Ray memperkirakan, kisruh internal partai maupun di DPR akan mewarnai wajah politik Indonesia sepanjang tahun ini.

    Ninik Yuniarti

    Sumber: http://portalkbr.com/03-2015/pengamat__hak_angket_lapindo_tak_relevan/69214.html