Category: Lapindo di Media

  • Sonny Keraf: Ada Kesungkanan karena Aburizal Bakrie Ada di Pemerintahan

    APA boleh buat: nasi sudah jadi bubur, sawah telah jadi lumpur. Semburan gas dan lumpur panas dari sumur Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc di Desa Renokenongo, Sidoarjo, Jawa Timur, berlangsung hampir sebulan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro pada Senin pekan lalu menyatakan, semburan itu bukan akibat gempa, “Tapi karena kesalahan pengeboran.”

    Lapindo Brantas, anak perusahaan Energi Mega Persada, salah satu perusahaan yang tergabung dalam kelompok usaha Bakrie, awalnya memang menyebut gempa yang terjadi di Yogyakarta pada 27 Mei lalu sebagai penyebab. Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) yang seharusnya mengontrol eksplorasi ini mengamini pernyataan itu. Tapi, “Itu manipulasi informasi,” ujar Sonny Keraf, Wakil Ketua Komisi VII DPR–komisi yang salah satunya membawahkan bidang lingkungan.

    Kejengkelan Sonny terhadap BP Migas–lembaga yang bertanggung jawab atas pengawasan eksplorasi minyak dan gas di Indonesia–sudah sampai ubun-ubun. Ia menunjukkan data inefisiensi penyelenggaraan kegiatan hulu migas (cost recovery) yang terus meroket dari tahun ke tahun, sementara produksi migas justru menurun. Pada 2002 cost recovery tercatat US$ 3,1 miliar, tapi tahun berikutnya menjadi US$ 5,3 miliar. Tahun lalu angka itu terus naik menjadi US$ 7,5 miliar, setara dengan Rp 24,2 triliun.

    Selasa pekan lalu, Sonny menerima wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Philipus Parera, serta fotografer Cheppy A. Muchlis untuk sebuah wawancara di ruang kerjanya Gedung Nusantara I, DPR-RI. Menteri Lingkungan Hidup dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid ini menjawab semua pertanyaan dengan tenang, tak meledak-ledak.

     

    Mengapa bencana Lapindo Brantas ini terjadi?

    Kalau ditarik ke hulu, sangat mungkin berawal dari proses tender yang jatuhnya ke perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama. Karena berada dalam satu grup, kontrol dari kontraktor terhadap proses kerja perusahaan yang melakukan pengeboran tidak berjalan semestinya.

    Maksud Anda ada indikasi kolusi?

    Kalau saya dan Anda masih satu kelompok dan Anda mendapat tender dari saya, akan ada kecenderungan saya tidak akan dengan tegas mengontrol, mengendalikan, atau menegur Anda dan seterusnya. Polisi harus mengusut bagaimana kaitan antara Lapindo Brantas dan kontraktor, apakah ada indikasi kolusi atau tidak. Sebab, hal itu sangat berpengaruh terhadap proses kontrol, termasuk pemilihan teknologi dan peralatan yang digunakan. Bisa saja ada upaya penghematan untuk menaikkan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga prosedur operasi standar tidak dipenuhi.

    Apa alasan tudingan Anda ini?

    Ketika Lapindo Brantas, BP Migas, serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut pergeseran patahan akibat gempa di Yogyakarta (sebagai penyebab semburan lumpur) dalam penjelasan resmi di Komisi VII, saya langsung curiga. Penjelasan yang seragam ini merupakan manipulasi informasi, karena belakangan terbukti penyebabnya bukan itu.

    Kini tim independen sudah dibentuk. Anda percaya?

    Saya tidak percaya kepada tim ini. Saya tidak yakin BP Migas akan obyektif dan tidak campur tangan. Ini berdasarkan pengalaman di Newmont Minahasa, tatkala ada tim teknis yang dibentuk oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Teman-teman dalam tim tidak bisa leluasa mengungkapkan temuan mereka karena ada intervensi dari berbagai pihak. Itu membuat tidak semua yang ditemukan bisa diungkap. Problemnya, kalau tim ini sama sekali terlepas dari BP Migas, kita terbentur pada kendala teknis: siapa yang akan membiayai? Di luar itu saya mengharapkan ada tim pemantau dari masyarakat, mungkin dari Walhi dan pakar geologi serta geoscience di bidang perminyakan. Ini penting karena kita tahu Lapindo Brantas dimiliki oleh kelompok Bakrie. Saya khawatir ada kesungkanan dalam mengungkapkan ini, karena Pak Aburizal Bakrie ada di dalam pemerintahan sekarang.

    Apa alasan kekhawatiran itu?

    Dalam penjelasan awal yang saya anggap ada manipulasi untuk menyalahkan alam tadi, saya mendapatkan kesan jangan-jangan ini disebabkan Lapindo dimiliki kelompok usaha Bakrie.

    Anda melihat langsung penanganan di lapangan, bagaimana menurut Anda?

    Ada tiga hal menarik. Pertama, tidak ada koordinasi yang baik di antara pihak-pihak yang terlibat, baik dari BP Migas, Lapindo Brantas, pemerintah provinsi, kabupaten, maupun instansi lain. Lembaga penelitian dari berbagai universitas datang sendiri-sendiri dan mengambil sampel di titik yang berbeda, sehingga bisa saja temuan mereka sangat bervariasi. Ini disebabkan lemahnya kepemimpinan dalam manajemen penanganan bencana.

    Kedua, tidak ada komunikasi yang baik dengan masyarakat. Taruhlah satu-dua hari pertama orang masih sibuk dengan berbagai upaya untuk memahami fenomena ini. Tapi, paling lama satu minggu setelah itu, seharusnya ada pihak yang powerful–disegani, dipercaya, kredibel–untuk tampil mengatasi suasana dan menjelaskan ke masyarakat. Fungsi ini harus dilakukan BP Migas karena menurut undang-undang memang lembaga inilah yang memiliki kewenangan untuk itu.

    Ketiga, seorang penduduk yang pernah bekerja di pengeboran minyak dan rumahnya berhadapan langsung dengan sumur itu menyebutkan tidak ada aktivitas tanggap darurat yang jelas begitu bencana terjadi. Agak lama setelah bupatinya turun tangan, baru Lapindo menyediakan alat berat membangun tanggul bersama masyarakat. Tapi itu baru seminggu kemudian. Sudah terlambat.

    Tentang materi lumpur itu sendiri?

    Ini juga menarik. Pemerintah, termasuk Lapindo, di Komisi VII mengatakan bahwa lumpur itu bukan bahan beracun dan berbahaya (B3). Itu pernyataan yang gegabah. Salah satu anggota Komisi VII, Catur Sapto Edi (PAN), yang memahami betul soal B3, mengatakan itu kekeliruan yang besar. Sebab, di lapangan ditemukan tarbol, yaitu gumpalan minyak hitam, seperti ter yang mengapung di atas lumpur. Itu saja berarti ada B3. Belakangan ada temuan dari ITS di Surabaya dan pihak yang lain bahwa ditemukan juga fenol serta zat-zat lain.

    (Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 45 Tahun 2002 untuk air golongan III, yakni air untuk peternakan dan pembudidayaan ikan, ambang kandungan fenol adalah 1 miligram per liter. Sedangkan dari sampel lumpur yang diambil 40 meter di utara jalan tol Porong-Gempol, kandungan fenol tercatat tiga kali lebih tinggi, yakni 3,37 miligram per liter-Red).

    Menteri Negara Lingkungan Hidup pernah mengatakan bahwa lumpur itu tidak beracun?

    Itu juga mengejutkan saya. Dalam dialog di radio dengan Ketua Komisi VII Agusman Effendi pada 12 Juni lalu, Pak Rachmat Witoelar mengatakan bahwa lumpur itu bukan B3. Saya tanyakan lewat SMS. Beliau mengatakan informasi itu didapatnya dari lapangan. Untungnya Pak Rachmat lalu meralat pernyataannya.

    Tentang kompensasi per keluarga senilai Rp 200 ribu itu, layakkah?

    Saya yakin tidak semua masyarakat sekitar yang terkena lumpur mendapat kompensasi. Di lapangan saya temukan warga yang tinggal sangat dekat dengan tanggul pun mengaku tidak mendapat apa pun. Saya tidak tahu mereka ngomong benar atau tidak. Jadi ada kemungkinan pembagian kompensasi tidak merata. Saya tidak tahu kelanjutannya sekarang.

    Bagaimana menghitung kompensasi bagi penduduk atas kerugian yang mereka alami?

    Ada satu sub dalam tim independen yang melakukan perhitungan itu, baik kerugian material maupun imaterial. Material misalnya sawah mereka yang rusak dan kesehatan yang terganggu. Imaterial misalnya biaya yang muncul karena mereka kehilangan hari kerja, baik karena sakit maupun karena mereka harus mengawasi lumpur agar tidak membanjiri rumah. Kemudian sejauh mana sumur dan air mereka terkena. Juga harus diperhitungkan kerugian jalan tol, tidak hanya Jasa Marga tapi juga warga pengguna yang aktivitasnya terhambat. Belum lagi pabrik-pabrik di sekitarnya yang terhenti kegiatannya. Tentang ini Komisi VII sudah mengeluarkan dua sikap. Pertama, semua kerugian harus ditanggung Lapindo Brantas. Kedua, agar biaya yang dikeluarkan oleh Lapindo untuk ganti rugi tidak dimasukkan ke cost recovery. Kalau biaya itu termasuk cost recovery, negara dan pemerintah provinsi akan ikut menanggung karena ada porsi dari bagi hasil.

    Artinya, masyarakat yang jadi korban, masyarakat juga yang harus membayar?

    Betul. Itu kan tidak fair.

    Apakah ada sinyal Lapindo Brantas akan memasukkan ganti rugi itu sebagai cost recovery?

    Tahun lalu Komisi VII melakukan diskusi panjang dengan BP Migas tentang parameter cost recovery, karena kami lihat tidak ada ukuran jelas dalam menentukan ini. Tentu saja BP Migas mengatakan ada, tetapi di dalam prakteknya banyak hal yang tidak jelas. Saya katakan secara ekstrem pembantu (rumah tangga) ekspatriat yang sakit pun masuk cost recovery. Ini luar biasa merugikan. Itu sebabnya kami khawatir, biaya ganti rugi nantinya akan diklaim Lapindo Brantas sebagai cost recovery dengan alasan biaya ini muncul dalam proses pengeboran.

    Tapi rekomendasi Komisi VII kan tidak mengikat?

    Komisi VII akan meminta BP Migas tidak menyetujui itu.

    Anda yakin BP Migas akan melakukan itu?

    Itulah. Saya lihat BP Migas memang sangat lemah. Tapi, karena ini keputusan politik, seharusnya BP Migas bisa lebih tegas.

    Apa penyebab kelemahan BP Migas?

    Sebenarnya di sana banyak ahli. Saya khawatir ini cuma masalah kepemimpinan. Mungkin Pak Kardaya (Kardaya Warnika, Ketua BP Migas–Red) kurang tegas menggunakan wewenangnya. Saya tidak tahu apakah karena beliau tidak mampu mengontrol pengusaha migas karena tekanan dari pemerintah atau karena lobi-lobi lain.

    Tapi Ketua BP Migas kan dipilih oleh DPR juga?

    Pak Kardaya memang dipilih oleh Komisi VII. Jadi harus lebih diberdayakan. Juga pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral perlu mendorong BP Migas agar lebih kuat mewakili pemerintah dalam mengendalikan kegitan-kegiatan di sektor hulu ini. Jika memang nanti ditemukan ada unsur kelalaian prosedural dari Lapindo, BP Migas harus ikut bertanggung jawab. Kalau perlu Pak Kardaya mundur.

    Seperti apa contoh kelalaian prosedural itu?

    Seperti yang sudah diungkapkan media, Medco ternyata sudah mengingatkan kepada Lapindo bahwa casing (selubung) harus segera dipasang pada mata bor. Polisi harus mengusut ini untuk mengetahui seberapa besar unsur kelalaian dan kesengajaan. Kalau memang terbukti, harus ada proses pidana dan perdata. Kalau perlu, izin Lapindo dicabut karena merugikan masyarakat.

    Bagaimana memastikan investigasi terhadap kasus ini bisa obyektif?

    Di sini menurut saya hasil kerja tim independen menjadi penting. Dengan seluruh kepakaran yang dimiliki, mereka harus meneliti dan menyisir semua dokumen, termasuk dokumen seismik dan dokumen teknis lainnya. Kalau seluruh dokumen ini bisa dibuka untuk semua pihak, termasuk wartawan, kerja polisi pun bisa dikontrol. Apalagi kalau ada tim pemantau dari lembaga seperti Walhi dan pakar geoscience lainnya. Tim pemantau dari luar menjadi penting untuk mengingatkan tim independen kalau-kalau, entah karena lalai atau sengaja, mengabaikan dokumen atau bukti tertentu.

     

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Bernapas dalam Lumpur

    Infeksi saluran pernapasan akut menggerogoti kesehatan warga yang wilayahnya tergenang luapan lumpur panas. Penyakit minamata mengancam.


    BAU telur busuk yang menyengat hidung kini biasa dihidu warga desa Renokenongo, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Di sana, lumpur panas bercampur hidrogen sulfida (H2S) sudah hampir sebulan terus menyembur dari perut bumi.

    Banjir lumpur panas bahkan sudah menjadi bencana dan meluber ke desa-desa tetangga seperti Jatirejo dan Siring. Paru warga setempat dipaksa menghirup udara tercemar. Hasilnya, lebih dari 800 warga mesti menjalani perawatan medis. Sebagian terpaksa ngendon di bangsal rumah sakit.

    “Mayoritas pasien mengalami infeksi saluran pernapasan akut,” kata Komisaris Polisi Hadi Wahyana, Kepala Rumah Sakit Bhayangkara, Porong, yang kebanjiran pasien dadakan. Gejala yang dialami warga adalah sesak napas, pusing, mual, dan muntah. Ada juga pasien yang mengidap gangguan pencernaan seperti diare.

    Serbuan udara tercemar gas yang baunya mirip belerang itu menjadi ancaman lebih serius bagi mereka yang memiliki riwayat sakit paru kronis. Contohnya Suwoto, 76 tahun. Nyawa warga Renokenongo ini tak tertolong, meski sempat menjalani perawatan di rumah sakit selama beberapa hari. Hal serupa dialami Abdul Syukur Achyar, 57 tahun, warga Jatirejo yang meninggal pada hari yang sama.

    Penyakit Suwoto kambuh pada Senin dua pekan lalu. Keesokan harinya, ia langsung dibawa ke RS Bhayangkara. Hampir sepekan dirawat, kondisinya tak kunjung membaik. Ayah enam anak itu akhirnya dirujuk ke RSUD Sidoarjo. Di sana tim medis juga tak bisa berbuat banyak. Nyawa Suwoto tak bisa diselamatkan. “Udara tercemar membuat penyakitnya tambah parah dan sulit disembuhkan,” kata Hadi, yang bolak-balik menangani Suwoto sejak 2004.

    Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Airlangga Surabaya, Profesor Mukono, mengatakan bahwa semburan gas mempercepat proses meninggalnya Suwoto dan Syukur. Gas berbau busuk yang mereka hirup membawa dampak psikologis dan kesehatan yang makin buruk. Gejala yang terlihat, antara lain, mual, pening, dan jantung berdebar-debar. Kematian mereka, dalam istilah orang Jawa Timur, jadi seperti disengkakne (dipacu).

    Tak mau terperangkap udara tercemar gas yang diduga beracun, warga di daerah genangan lumpur makin banyak yang mengungsi. Pasar Baru Porong yang disediakan untuk tempat pengungsian makin berjubel.

    Bertahan di rumah dan bernapas di antara kubangan lumpur bukan lagi pilihan, karena kesehatan pernapasannya bakal terus tergerus. Tengok saja nasib keluarga Suparman, 49 tahun, warga Jatirejo. Gara-gara bertahan tinggal di rumah, istri, anak, dan dirinya sendiri harus opname di rumah sakit akibat saluran pernapasannya bermasalah.

    Bukan cuma udara tercemar bau busuk yang berbahaya. Pencemaran air di lokasi semburan lumpur oleh raksa, sulfat, nitrit, dan amonia bebas juga menimbulkan masalah. Soalnya, zat-zat itu potensial mengganggu kesehatan.

    Tim ahli dari Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) sudah menyatakan bahwa dari uji sampel, kandungan air di sana menunjukkan lonjakan zat-zat yang luar biasa. Kandungan raksa mencapai 2,565 miligram per liter (baku mutu 0,002 miligram per liter), sulfat 1437,5 miligram per liter (baku mutu 0), nitrit 6,60 miligram per liter (baku mutu 0,06), dan amonia bebas 154,5 miligram per liter (baku mutu mustinya 0).

    Mukono mengingatkan ada bahaya mengintai lantaran merebaknya zat-zat itu. Amonia bebas, misalnya, bila langsung terkena kulit akan menimbulkan iritasi dan gatal-gatal. Penyakit yang sama muncul bila terjadi kontak langsung dengan nitrit.

    Ancaman bahaya lebih besar pun sudah diramalkan. “Bila raksa masuk ke tubuh secara menahun, bisa timbul penyakit minamata,” kata Mukono. Penyakit yang muncul akibat mengkonsumsi makanan tercemar logam berat merkuri ini (Latin hydrargyrum, bersimbol Hg, raksa) pernah terjadi di Minamata, Jepang, pada 1950-an. Akibatnya, ratusan orang tewas.

    Penyakit minamata terjadi jika masyarakat mengkonsumsi makanan atau air yang mengandung raksa selama 20 tahun atau lebih. Raksa yang mengendap dalam tubuh akan memicu munculnya gangguan saraf pusat. Sebab itu, masyarakat di kawasan semburan lumpur panas harus berhati-hati.

    Dwi Wiyana, Sunudyantoro, Rohman Taufiq (Surabaya)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Maut di Mulut Sumur

    Semburan lumpur dan gas di tambang-tambang minyak dan gas acap terjadi. Biasanya terjadi karena operator teledor.

    MALAM di Gaoqiao biasanya larut dalam kesenyapan ala pedesaan Cina. Ada suara jangkrik dan angin dingin. Tapi, tidak malam itu. Sebuah ledakan keras merobek langit Gaoqiao. Suaranya berdebum. Ribuan orang yang meringkuk di balik selimut terkesiap. Sebagian warga mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Belum lagi mata terbuka sempurna, hawa panas dan bau busuk merayap ke rumah-rumah penduduk.

    Sebagian warga berhamburan meninggalkan rumah. Namun, banyak juga yang bertahan di rumah sembari menutup rapat-rapat jendela, pintu, dan lubang angin: pilihan yang keliru, sebab dengan begitu makin banyak racun yang terhirup ke paru-paru. Dalam hitungan menit, ribuan orang pun menggelepar.

    Rumah sakit-rumah sakit Kai panik. Mereka kebanjiran 243 mayat dan ribuan orang yang keracunan gas hidrogen sulfida serta sebagian kulitnya melepuh. Mereka datang dari 28 desa di Kai. Sekitar 41 ribu orang lainnya diungsikan menjauhi Gaoqiao. Esok harinya, pemerintah Cina mengumumkan ledakan 23 Desember 2003 itu terjadi karena semburan gas liar di tambang gas Chuangdongbei, Gaoqiao. Tambang itu dikelola Sichuan Petroleum Administration, milik China National Petroleum Corporation.

    Kejadian itu mirip dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Bedanya, di Gaoqiao hanya gas yang muncrat dari mulut sumur. Tak ada lumpur. Walau begitu, gas-gas yang baunya seperti kentut itu mencopot ratusan nyawa.

    Tragedi itu membuat miris pemerintah Cina. Mereka langsung mengirim tim pengendali bencana ke desa yang bersuhu rata-rata 0 sampai 4 derajat Celsius itu. Langkah pertama, tim itu adalah membakar gas, agar tak menyebar. Setelah itu, tim menyuntikkan 260 ton lumpur dan semen untuk menutup sumur.

    “Ini salah operator,” kata San Huashan, Deputi Direktur Keselamatan Kerja dan Administrasi Negara Cina seperti dikutip kantor berita Xinhua. “Mereka tidak mempersiapkan perangkat untuk menangani gas sulfur bertekanan tinggi.” Kesalahan itu, tutur San, bermula dari kesalahan operator memperkirakan kapasitas produksi dan kandungan gas di sumur.

    Tim pengendali juga menemukan sederet dosa operator lainnya, antara lain mereka tidak membakar gas yang keluar dan ada katup pengendali tekanan yang sengaja dilepaskan. Akibat keteledoran itu adalah sebuah semburan pembunuh yang dikenang sejarah. Sembilan bulan kemudian, pengadilan memvonis enam karyawan Sichuan Petroleum dengan hukuman penjara tiga sampai enam tahun.

    Bisnis tambang memang tak steril dari kecelakaan semburan lumpur dan gas. Di Indonesia kecelakaan seperti di Gaoqiao itu pernah terjadi di sumur Randublatung-A di Desa Sumber, Blora, Jawa Tengah, pada 2 Februari 2002. Semburan gas busuk itu membuat 4.400 penduduk mual dan pusing. Kepolisian Blora mencatat, sekitar 300 warga dirawat jalan dan dua orang lainnya dirawat inap di Rumah Sakit Cepu karena batuk dan sesak napas.

    Sumur Pertamina yang berjarak 100 meter dari pemukiman penduduk itu ditaksir memiliki 6 juta barel cadangan hidrokarbon. Gas yang menyelimuti Desa Sumber itu mengandung etana, propana, butana, pentana, karbondioksida, dan hidrogen sulfida. Untuk menyumpal kebocoran, kata Kepala Operasi Pemadaman R. Sujatmo, Pertamina menyemprotkan lumpur berat ke sumur. Perusahaan tambang pelat merah itu juga mengalirkan beribu-ribu liter air lewat pipa sepanjang 2,3 kilometer.

    Konsultan Geologi dan Perminyakan Untung Sumartoto mengungkapkan, semburan gas liar yang disertai keluarnya air dan tanah seperti di sumur Banjar Panji-1, Porong, jarang terjadi. “Biasanya gas atau minyak saja,” kata Untung.

    Albert Tilaar, konsultan yang pernah bekerja di perusahaan tambang asing, bercerita, kejadian di Porong itu pernah terjadi di Riau. “Lumpur menyembur hingga membentuk menjadi bukit,” ujarnya. Di tempat lain, kebocoran itu mengisap benda-benda yang ada di muka bumi. “Ada traktor beserta sopirnya terisap ke dalam bumi.” Namun, musibah itu selesai setelah operator menginjeksi lumpur dan semen.

    Efri Ritonga, Sohirin, L.R. Baskoro

    Sumber: No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Ke Mana Lumpur Dibuang

    SUDAH berhari-hari warga Desa Kedungbendo bergotong-royong membangun tanggul penahan lumpur. Penduduk setempat tak ingin kampung mereka terendam lumpur dari sumur PT Lapindo Brantas seperti tiga desa di sekitar Lapindo-Desa Siring, Jatirejo, dan Renokenongo. Tapi, akhirnya, pekan lalu jebol juga tanggul di Kedungbendo.

    Sudah hampir sebulan kebocoran di Lapindo terjadi, tapi amuk lumpur itu belum bisa dihentikan, juga belum bisa dibuang. Lapindo sejatinya telah menyiapkan tiga kolam penampung lumpur. Satu ada di sebelah utara jalan tol Porong-Gempol atau hanya 200 meter dari sumur Lapindo. Dan dua kolam lainnya berada di sebelah selatan jalan tol Porong-Gempol. “Itu bisa menampung lumpur sampai tiga pekan,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo Brantas.

    Ternyata perhitungan Imam meleset, jangkauan lumpur meluas ke Kedungbendo yang letaknya berdekatan dengan kolam pertama. Belakangan, para pejabat setempat baru sadar bahwa volume lumpur yang menyembur dari ladang Lapindo itu lebih besar dari yang diperkirakan semula, 5.000 meter kubik per hari. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur memperkirakan volume lumpur yang mengalir dari dasar bumi itu sebesar 50 ribu meter kubik per hari.

    Taksiran tersebut sama dengan hitungan tim dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) yang telah meneliti di 16 titik di kawasan yang digenangi lumpur. “Itu angka paling ekstrem,” kata Anggraeni, salah satu anggota tim ITS.

    Untuk mencegah perluasan lumpur, ITS mengusulkan agar areal kolam penampung lumpur yang semula 24 hektare diperluas jadi 225 hektare. “Lokasinya di kecamatan Porong, Tanggulangin, dan kecamatan Jabon,” kata Hasan Basri.

    Saat ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo baru menyiapkan lahan 85 hektare dan 24 hektare di antaranya di Desa Renokenongo. Jika semua kolam telah siap, diperkirakan bisa menampung lumpur selama dua bulan. Rencananya, setelah lumpur diendapkan di kolam, air di bagian permukaan akan dialirkan ke kali Porong.

    Teori ini bisa jalan jika kolam-kolam itu saling berdekatan. Masalahnya, letak kolam pertama dengan kolam kedua dan ketiga berjauhan. Saat ini kolam kedua dan ketiga masih melompong alias belum teraliri lumpur.

    Semula Lapindo berharap lumpur secara otomatis mengalir ke kolam tersebut karena bantuan gaya gravitasi. Namun, lumpur ternyata tidak bergerak arah ke kolam. Lumpur itu malah menerjang belasan pabrik dan rumah warga Jatirejo dan Renokenongo.

    Lapindo sebenarnya berusaha mengalirkan lumpur itu ke kolam kedua dan ketiga dengan sedotan mesin. “Tapi hanya jalan sebentar dan akhirnya macet,” ujar Subakri, Sekretaris Desa Renokenongo. Alhasil, kini lumpur bergerak semaunya sendiri. Duh.

    ZA, Sunudyantoro dan Rohman Taufiq (Surabaya)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Hidup di Atas Garis Lumpur

    Di bawah Porong, Sidoarjo, membentang garis lumpur. Inilah penyebab lumpur terus menyembur deras dan menggenangi empat desa.

    PERBURUAN itu hampir mencapai klimaksnya. Sudah dua hari mesin pengeruk itu menderu-deru menggaruk lumpur. Akhirnya, keran merah yang dicari-cari itu menyembul. Ukurannya cukup besar, diameternya setengah meter. Tapi, karena terpendam lumpur sedalam tiga meter, keran itu sulit dicari.

    Puluhan orang berseragam hitam segera membersihkan keran itu dengan kecekatan seorang geolog. Mereka sisihkan lumpur dengan teliti. “Kini kami tinggal memasang snubbing unit ke sumur ini,” ujar seorang petugas berseragam. Snubbing unit atau peralatan pengebor yang mudah dipindahkan itu diangkut delapan truk trailer. “Ini untuk mendeteksi dan menyumbat sumber retakan yang menyemburkan lumpur,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo, menimpali.

    Perburuan selanjutnya adalah mencari sumber aliran lumpur. Inilah salah satu pekerjaan tersulit. Sudah hampir sebulan ledakan lumpur di Kecamatan Porong, Sidoarjo, terjadi, tapi lumpur terus saja menyembur. Menurut hitungan Lapindo, saban hari sekitar 5.000 meter kubik lumpur dimuntahkan dari perut bumi.

    Menurut Imam, jika pusat semburan sudah ditemukan, baru dilakukan penyuntikan materi penyumbat rekahan. Menurut perhitungannya, paling cepat penyuntikan selesai pertengahan Juli. Namun, perkiraan ini terlalu ambisius karena sampai akhir pekan lalu tim ahli belum menemukan di mana pusat semburan. Inilah repotnya.

    Padahal, semakin lama petaka ini dibiarkan, akan semakin luas dan tinggi genangan lumpur. Tim ahli geologi dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) punya taksiran lain soal volume lumpur yang sudah menenggelamkan empat desa di Sidoarjo. Menurut lembaga ini, volume semburan per hari mencapai 50 ribu meter kubik, 10 kali lipat dari taksiran Lapindo. Luas genangannya dalam petaka yang sudah berumur hampir sebulan ini mencapai 110 hektare lebih. Jadi, sampai pekan lalu diperkirakan sudah 1,1 juta meter kubik lumpur yang dimuntahkan.

    Temuan itu didapat setelah mereka meneliti ketinggian lumpur di 16 lokasi. Di dekat sumber lumpur, kedalaman lumpur mencapai 6 meter. Semakin menyamping kian rendah mencapai 3 meter dan paling pinggir 1,5 meter. “Anggota tim sempat terperanjat karena semula volume yang ditaksir tak setinggi itu,” kata Makky Sandra Jaya, sekretaris tim yang dibentuk oleh Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) dan Lapindo.

    Dari mana datangnya lumpur yang tak berhenti mengalir itu? Menurut penyelidikan tim ahli geologi ITS, mereka menemukan dua patahan kulit bumi di bawah permukaan jalan tol dan di Desa Renokenongo. Retakan itu ada di kedalaman 6.000 meter, lebih dalam dari sumur Lapindo yang baru mencapai kedalaman 3.000 meter.

    Menurut Seno Puji Sarjono, anggota tim tersebut, lumpur panas yang menyembur dan merendam empat desa di Kecamatan Porong naik dari patahan yang retak tersebut. Tim itu kini masih meneliti retakan ini memiliki hubungan dengan pengeboran. “Juga apakah retakan itu menyambung ke lubang bor,” ujarnya.

    Untuk mengetahui lokasi patahan, tim menggunakan pemancar gelombang radio buatan Australia. Tim ini telah mengendus kemungkinan adanya retakan lain seperti di Desa Jatirejo dan Jalan Raya Porong. Hasil penelitian retakan ini akan menentukan pemasangan snubbing unit. “Sebab, jangan-jangan nanti satu ditutup, muncul retakan yang lain,” kata Seno.

    Adanya retakan bumi di bawah tambang Lapindo ini juga diungkap Rovicky Dwi Putrohari, geolog Indonesia yang kini bekerja di Malaysia. Menurut dia, patahan di daerah Porong itu membujur dari timur laut ke barat daya. Pendapat Rovicky ini mengutip penelitian Arse Kusumastuti, yang menemukan bahwa pernah terjadi runtuhan (collapse) di daerah itu pada masa lampau.

    Geolog yang rajin mengulas soal gempa dan pergeseran kulit bumi di berbagai milis ini menuturkan, dalam pengeboran, ujung mata bor itu sampai pada lapisan lempung. Lapisan ini menjadi tak stabil karena tercampur dengan air bawah tanah, sehingga menjadi seperti bubur.

    Melihat adanya patahan itu, Rovicky memperkirakan empat kemungkinan sumber kebocoran. Pertama, keluar dari pinggir lubang lama yang sudah diberi pipa selubung oleh Lapindo. Kedua, berasal dari lubang yang belum diselimuti casing, lalu lumpur keluar melalui patahan yang terpotong lubang sumur. Ketiga, sumber lumpur tidak ada hubungannya dengan sumur Banjar Panji-1.

    Jika sudah diketahui sumber kebocoran, maka ada dua skenario penyumbatan. Pertama menyuntikkan lumpur dan semen lewat lubang sumur Banjar Panji-1. Kedua, membuat sumur baru di samping sumur lama, lalu dari samping diinjeksi lumpur dan semen ke pusat kebocoran. Kita berharap sumber kebocoran itu bisa segera disumbat sebelum lumpur pelan-pelan menenggelamkan Sidoarjo.

    Untung Widyanto, Rohman Taufiq, Adi Mawardi, Sunudyantoro, Ahmad Fikri

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Karena Lambat, Tak Selamat

    PENANGANAN kasus semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, banyak menuai kritik. Sejak petaka ini muncul pada 29 Mei lalu, gerak pemerintah tak cukup gesit. Buktinya, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan agar kasus ini segera ditangani, tak pernah jelas siapa yang harus bertanggung jawab. Akibatnya, bencana meluas.

    Baru pekan lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menunjuk Grup Bakrie harus ikut menanggung beban kerugian yang ditimbulkan. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie-yang belum sekali pun melongok ke Sidoarjo-akhirnya juga menyatakan Lapindo Brantas harus bertanggung jawab. Namun soal detailnya bagaimana, Ical-sapaan akrabnya-meminta kasus ini ditanyakan kepada Nirwan Bakrie, adiknya yang kini banyak menangani perusahaan keluarga Bakrie.

    29 Mei

    Semburan lumpur panas terjadi di kawasan pengeboran gas milik Lapindo Brantas yang terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Manajemen Lapindo menyebutkan ini akibat gempa bumi.

    5 Juni

    PT Medco E&P Brantas, rekanan kerja sama operasi pengeboran, mengirim surat ke Lapindo. Medco pada 18 Mei telah mengingatkan Lapindo agar memasang selubung bor (casing) di kedalaman 8.500 kaki untuk mengantisipasi kebocoran.

    12 Juni

    Komisi E DPRD Jawa Timur dalam dengar pendapat meminta Lapindo bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan kerugian masyarakat. Suara senada diungkapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar. Namun General Manager Lapindo, Imam Agustino, menyatakan tanggung jawab harus dipikul bersama dengan pemerintah.

    14 Juni

    Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta BP Migas melakukan investigasi.

    15 Juni

    Sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Sutedjo Yuwono, menyatakan kementerian yang dipimpin Aburizal Bakrie ini belum perlu berkunjung langsung ke Sidoarjo. Alasanya, sudah diwakili Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Energi. Ketua DPR Agung Laksono menilai gerak pemerintah lamban.

    16 Juni

    General Manager Lapindo, Imam Agustino, membantah luapan lumpur akibat kesalaham timnya dalam pengeboran. Menteri Lingkungan Hidup menyatakan pengenaan sanksi atas Lapindo masih menunggu hasil tim investigasi.

    19 Juni

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro di Surabaya menyatakan, semburan lumpur panas bukan akibat gempa bumi, tapi kesalahan pengeboran.

    20 Juni

    Wakil Presiden Jusuf Kalla di Sidoarjo meminta Lapindo bertanggung jawab atas seluruh kerugian warga. Hadir dua wakil Grup Bakrie: Nirwan Bakrie dan Ari Sapta Hudaya. Nirwan meminta maaf atas nama keluarga Bakrie dan bersedia mengganti kerugian. Juru bicara Lapindo, Yuniwati Teriyana, tetap menyatakan pihaknya telah melakukan pengeboran menurut prosedur operasi standar (SOP).

    21 Juni

    Menteri Aburizal Bakrie menyatakan Lapindo harus bertanggung jawab. Menteri Pertanian Anton Apriyantono meminta Lapindo memberikan ganti rugi atas lahan pertanian yang rusak.

    22 Juni

    Kepolisian RI menyatakan rekanan PT Lapindo, PT Medici Citra Nusantara, tak melaksanakan prosedur standar operasi pengeboran. Kelalaian pemasangan selubung (casing) pipa bor bisa dimasukkan ke kategori pidana.

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Berujung pada Dua Dinasti

    KELUARGA Bakrie, tak bisa tidak, harus menanggung beban kerugian akibat bencana semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Semburat puluhan ribu kubik lumpur yang kini merendam empat desa dan membuat puluhan hektare sawah puso, belasan pabrik tutup, dan ribuan penduduk mengungsi ini berpangkal pada kesalahan pengeboran oleh Lapindo Brantas Incorporated.

    Kontraktor pengeboran itu adalah Alton International Indonesia. Perusahaan yang baru didirikan pada Oktober 2004 ini dimiliki Alton International Singapore (30 persen)-anak perusahaan Federal International (2000) Ltd, yang bermarkas di 47/49, Genting Road, Singapura. Dalam siaran pers Federal pada 20 Januari lalu disebutkan, perusahaan patungan ini dimiliki pula oleh PT Medici Citra Nusantara.

    Jika ditelisik lebih jauh, baik Lapindo maupun Alton punya kaitan dengan keluarga Bakrie. Di Lapindo, bendera Grup Bakrie berkibar lewat PT Energi Mega Persada, yang bakal segera dimerger dengan PT Bumi Resources Tbk, anak perusahaan Grup Bakrie lainnya. Di Alton, jejak keluarga Bakrie terekam lewat kepemilikan saham Federal International atas nama Syailendra Surmansyah Bakrie (12,29 persen). Ia tak lain anak Indra Usmansyah Bakrie, adik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie.

    Yang menarik, pertautan antara kontraktor pengeboran dan perusahaan operator ladang migas di Sidoarjo ini tak hanya berujung pada keluarga Bakrie. Di kedua perusahaan itu tertera pula nama pasangan suami-istri Rachman Latief. Di Energi Mega, Rennier Abdul Rachman Latief tercatat sebagai pemilik 3,11 persen saham, sekaligus menjabat komisaris. Ia pun dipercaya sebagai Presiden Direktur Lapindo. Sementara itu, sang istri, Nancy Urania Rachman Latief, merupakan pemilik 12,33 persen saham Federal.

    Dari komposisi itu, jelas keluarga Bakrie dan keluarga Rachman Latief termasuk yang akan kena “getah” kasus ini. Tapi bukan tak mungkin PT Medco E&P Brantas (anak perusahaan PT Medco Energi Internasional milik keluarga Panigoro) dan Santos Ltd (Australia) harus ikut menanggung beban kerugian. Sebab, keduanya ikut urunan modal mendanai proyek pengeboran itu (masing-masing 32 persen dan 18 persen). Sedangkan sisa participating interest (50 persen) didanai sendiri oleh Lapindo.

    Alton International Indonesia

    Berdiri pada Oktober 2004, Alton International Indonesia pada 20 Januari 2006 mengantongi kontrak proyek pengeboran ladang migas dari Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo, Jawa Timur. Kontrak dari anak perusahaan PT Energi Mega Persada Tbk senilai US$ 24 juta (lebih dari Rp 220 miliar) ini berlaku setahun sejak pertengahan Februari 2006. Sekitar 30 persen sahamnya dimiliki oleh Alton International Singapore-anak perusahaan Federal International (2000) Ltd (Singapura)-sedangkan sisanya oleh PT PT Medici Citra Nusantara.

    Lapindo Brantas Inc

    Lapindo Brantas Incorporated berdiri pada 1996. Sebelum jatuh ke tangan PT Energi Mega Persada pada Maret 2004, perusahaan ini dimiliki oleh Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Lapindo menjadi operator dan pemilik 50 persen kuasa pertambangan di blok migas Brantas seluas 3.050 kilometer persegi. Wilayah operasinya mencakup penambangan darat di Jawa Timur dan penambangan lepas pantai di Selat Madura, di antaranya lapangan gas Wunut dan Carat di Sidoarjo. Kapasitas produksi gas pada 2005 di blok ini mencapai 59 juta kaki kubik per hari.

    PT Energi Mega Persada 

    PT Energi Mega Persada merupakan salah satu anak perusahaan milik Grup Bakrie, lewat PT Kondur Indonesia dan PT Brantas Indonesia. Bisnis intinya di bidang penambangan dan perdagangan minyak dan gas. Salah satunya di Selat Malaka, Sumatera, dan Blok Brantas di Jawa Timur. Pada 2004, perusahaan ini pun berhasil mengakuisisi penuh wilayah kerja penambangan di Blok Kangean, Jawa Timur. Tak lama lagi, Energi Mega bakal dilebur dengan PT Bumi Resources Tbk, salah satu anak perusahaan Grup Bakrie lainnya.

    Metta Dharmasaputra, Yandhrie Arvian, Y. Tomi Aryanto

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Menangguk Ampas Berlumpur

    Keluarga Bakrie diminta menanggung semua kerugian. Medco dan Santos belum tentu selamat.

    SOSOK yang paling dinanti itu akhirnya muncul juga. Di Pasar Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Nirwan Bakrie bersama rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla datang menemui ribuan pengungsi korban lumpur panas. Kehadiran pemegang kendali usaha Grup Bakrie itu, Selasa pekan lalu, menyedot perhatian.

    Ia langsung diberondong tuntutan ganti rugi. Soalnya, Lapindo Brantas Incorporated, salah satu anak perusahaan Grup Bakrie, dituding menjadi biang keladi semburan lumpur panas sebulan terakhir ini di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Lumpur merendam Desa Jatirejo, Renokenongo, Siring, dan Kedungbendo. Sawah produktif yang terbenam lumpur kini sudah 127,29 hektare, dan mengancam 503 hektare lainnya. Lumpur juga menggenangi jalan tol Gempol-Surabaya setinggi 20 sentimeter.

    Rata-rata volume semburan melejit, dari 5.000 meter kubik per hari menjadi 50 ribu. Jika ditotal, volume lumpur yang sudah muntah mencapai 1,1 juta meter kubik–setara dengan 183 ribu truk ukuran sedang.

    Jusuf Kalla meminta kelompok usaha Bakrie menanggung seluruh kerugian. “Keluarga Bakrie harus berada di depan,” katanya sembari menunjuk Nirwan dan direksi Lapindo. “Sebagai perusahaan nasional, Lapindo harus memberikan contoh.” Nirwan, yang didampingi Presiden Direktur PT Bumi Resources Tbk (anak perusahaan Grup Bakrie) Ari Saptari Hudaya dan General Manajer Lapindo Imam P. Agustino, pun mengangguk takzim.

    Memang sulit menampik keberadaan keluarga Bakrie di balik kasus ini. Selain Lapindo, perusahaan kontraktor pengeboran yang ditunjuk, PT Medici Citra Nusantara, ternyata juga punya kaitan dengan keluarga Bakrie. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari lalu.

    Alton Indonesia didirikan Medici dan Alton International Singapore (AIS)–anak perusahaan Federal International (2000) Ltd-pada Oktober 2004. Di Federal inilah, Syailendra Surmansyah Bakrie (anak Indra Usmansyah Bakrie, adik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie) dan Nancy Urania Rachman Latief (istri Rennier Abdul Rachman Latief, Komisaris PT Energi Mega Persada, induk Lapindo) tercatat sebagai pemilik saham.

    Kepemilikan saham Nancy dan Syailendra yang semula kurang dari 7 persen membengkak jadi sekitar 23 persen, setelah membeli 42 juta lembar saham pada 9 Januari lalu. “Kami percaya mereka dapat membantu memperkuat bisnis kami di Indonesia,” kata Koh Kian Kiong, CEO Federal, sumringah.

    Mimpi Koh terbukti. Tak sampai dua minggu, Alton Indonesia menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta. “Kontraktor ini terpilih karena masih orang dekat Lapindo,” ujar sumber Tempo. Terakhir, total saham Nancy dan Syailendra hampir mencapai 25 persen, yang merupakan pemilik saham mayoritas Federal.

    * * *
    KEMBALI ke soal ganti rugi, menurut Jusuf, Lapindo antara lain harus membayar gaji buruh yang pabriknya tutup, memperbaiki jalan, sekolah, serta mengembalikan rumah warga seperti semula. “Warga tak boleh rugi satu sen pun,” katanya. Nirwan berjanji akan memenuhi tuntutan itu. “Atas nama keluarga Bakrie, kami pun minta maaf,” katanya.

    Keesokan harinya, giliran sang kakak, Aburizal Bakrie, yang meminta Lapindo bertanggung jawab. Detailnya bagaimana, ia meminta ditanyakan langsung ke Grup Bakrie. “Jangan tanya saya, saya kan Menko Kesra,” kata Ical yang belum sekali pun melongok lokasi bencana.

    Petaka di Sidoarjo bermula ketika sepetak sawah di Desa Renokenongo menyemburkan lumpur panas setinggi delapan meter pada 29 Mei lalu. Karena lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji 1, tudingan langsung mengarah ke Lapindo. Di sumur itulah Lapindo melakukan pengeboran gas pertama, awal Maret lalu.

    Sepucuk surat tertanggal 5 Juni 2006 dari Medco E&P Brantas menguatkan tudingan tersebut. Surat dari Budi Basuki, wakil Medco di komite operasi itu, ditujukan kepada General Manager Imam P. Agustino. Dalam surat yang salinannya diperoleh Tempo itu disebutkan, pada rapat teknis 18 Mei 2006, anak perusahaan Medco Energi Internasional ini telah mengingatkan Lapindo agar memasang selubung bor (casing).

    Selubung berdiameter 9-5/8″ (sekitar 25 sentimeter) mestinya dipasang di kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter). Fungsinya untuk mengantisipasi potensi hilangnya sirkulasi lumpur (loss) dan tendangan balik yang memuntahkan lumpur ke arah atas (kick) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung (batu gamping), sebagaimana disetujui dalam program pengeboran.

    Tapi Lapindo, menurut Medco–yang memiliki partisipasi modal kerja 32 persen di blok Brantas–tidak melaksanakannya. Itu sebabnya, sumur tak mampu menahan tekanan saat terjadi tendangan balik sehingga terjadi kebocoran. Atas dasar itu, Medco menilai Lapindo telah melakukan kelalaian (gross negligence), seperti tertuang dalam dokumen perjanjian operasi bersama (JOA) Blok Brantas, artikel 1.28.

    Mengacu pada klausul 4.6 dari JOA Brantas, Lapindo sebagai operator harus bertanggung jawab terhadap klaim dari pihak lain, termasuk menanggung biaya pemulihan agar situasi menjadi normal kembali setelah kebocoran.

    Dody Mochtar, juru bicara Santos Ltd, membenarkan klausul tersebut. Menurut dia, keberadaan klausul ini membuat Santos, yang memiliki penyertaan modal operasi 18 persen, tak bisa dimintai pertanggungjawaban. “Kami berpangku pada perjanjian kerja sama operasi,” katanya.

    Suara senada disampaikan Direktur Utama Grup Medco, Hilmi Panigoro. Menurut dia, keberadaan Medco di blok itu hanya sebatas partisipasi modal kerja, bukan operator. Kewenangannya pun sebatas memberikan advis teknis. “Dalam perjanjian sudah jelas, apa yang menjadi tanggung jawab operator dan pemegang saham,” katanya kepada Sofian dari Tempo. Soal penggantian kerugian, Hilmi juga menyatakan tak akan jadi masalah. “Semua operasi telah diasuransikan, termasuk klaim,” ujarnya.

    Masalahnya ternyata tak segampang itu. Pihak asuransi pagi-pagi sudah menyatakan tak serta-merta kerugian yang timbul dari pengeboran bisa diklaim. “Bila Lapindo terbukti harus bertanggung jawab, ya dilihat dulu cakupan polis asuransinya,” kata Amir Mochtar, Direktur Pemasaran Tugu Pratama Indonesia.

    Tugu Pratama, bersama Jasa Asuransi Indonesia, Wahana Tata, Central Asia, dan Astra Buana, tergabung dalam konsorsium yang menangani aset milik Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), termasuk ladang migas di Sidoarjo. Untuk itu, kantor Matthews Daniel–perusahaan yang biasa menilai besarnya kerugian di bidang energi dan perminyakan–sedang menghitung dampak akibat luapan lumpur di Sidoarjo. “Mereka juga menentukan penyebab kerusakan,” kata Amir. Perusahaan ini pula yang akan membuktikan apakah kerusakan akibat lumpur panas bisa dijamin oleh perjanjian asuransi.

    Peluang itu tampaknya kian kecil. Sebab, dari hasil pemeriksaan 32 saksi, polisi menyimpulkan PT Medici tidak melaksanakan pengeboran menurut prosedur standar. “Diduga, selubung pada pipa bor tidak digunakan,” kata juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Komisaris Besar Bambang Kuncoko. Jika dugaan ini benar, kelalaian itu bahkan bisa digolongkan tindak pidana.

    Jika begini masalahnya, bisa-bisa keluarga Bakrie memang harus sendirian menanggung semua ampas berlumpur ini. Padahal, satu sumber di pemerintah menyebutkan, biaya untuk menutup kebocoran akibat pengeboran saja bisa mencapai US$ 20-100 juta. Itu belum termasuk biaya sosial sebagai dampak banjir lumpur. Karena itu, kata seorang kolega keluarga Bakrie, total biaya kerugian ditaksir mencapai US$ 200 juta (sekitar Rp 1,9 triliun).

    Tapi itu semua masih sebatas pernyataan yang harus dibuktikan. Sebab, semua pihak yang terlibat: Lapindo, Medco, Santos, maupun asuransi, sampai saat ini masih mengunci rapat-rapat dokumen perjanjian di antara mereka. Menurut sumber Tempo, dalam soal Medco dan Lapindo, jika mengacu pada perjanjian pengelolaan Blok Cepu antara Pertamina dan ExxonMobil, kesimpulan akhirnya bisa lain. Dalam perjanjian itu disebutkan, setiap operasi pengeboran harus mendapat persetujuan dari semua pihak yang ikut menyertakan modal.

    Bisa saja salah satu pihak tidak mau memberikan persetujuan, sehingga bebas dari tanggung jawab. Namun, jika dari hasil pengeboran ditemukan cadangan migas, pihak tadi baru bisa turut mengenyam hasilnya, dengan syarat dikenakan biaya penalti–karena tidak ikut menanggung risiko di awal pengeboran.

    Pertanyaannya, apakah Medco dan Santos telah memberikan persetujuan itu. Sekretaris Perusahaan Medco, Andy Karamoy, menyatakan belum bisa menjawabnya. “Semuanya masih dikaji,” tuturnya. Namun, kata sumber tadi, “Bila benar sudah ada persetujuan, Medco dan Santos harus ikut ambil risiko.” Lagi pula, bila selama ini mereka mendapat laporan dari operator dan tidak menyatakan keberatan, itu sama saja dengan membiarkan potensi kerusakan terjadi. “Jadi jangan cuma teriak di akhir,” ujarnya.

    Untuk menekan beban kerugian, sebetulnya masih ada satu peluang yang bisa dimanfaatkan Lapindo. Caranya, memasukkan sebagian beban itu ke cost recovery alias penggantian biaya eksplorasi. Modus ini tentu harus diwaspadai, karena negaralah yang bakal harus nombok. Abdul Mutalib Masdar, praktisi di bidang perminyakan, mewanti-wanti biaya eksplorasi tak bisa begitu saja dimasukkan ke cost recovery, bila pelaksanaannya tak sesuai dengan prosedur.

    Dalam kaitan ini, kata sumber yang terlibat proses pengeboran, BP Migas pada Agustus 2004 sesungguhnya pernah mengingatkan agar Lapindo berhati-hati dalam melakukan pengeboran di Banjar Panji. “Bila tidak diantisipasi dengan desain selubung (pipa bor) yang bagus, potensi kebocoran akan besar,” katanya. Nah, peringatan itulah yang tampaknya diabaikan Lapindo.

    Yandhrie Arvian, Metta Dharmasaputra, Rohman Taufiq, Adi Mawardi (Sidoarjo)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Berjibaku Melawan Lumpur

    Area semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, terancam menjadi kawah atau ambles. Di Texas pernah terjadi, tanah seluas 16 hektare ambles 25 meter.

    LELAKI-LELAKI itu menuang lumpur ke dalam botol dengan ketelitian ilmuwan. Di bawah siraman matahari yang menyengat, empat pria itu setengah membungkuk di tepi jalan tol Surabaya-Gempol Km 38. Warna seragam mereka oranye, menyilaukan mata, memang. Itu adalah seragam khusus untuk bekerja di zona bahaya seperti di kawasan lumpur panas di Sidoarjo.

    Tak jauh dari keempat orang itu, mesin pengeruk menderum-derum. ”Tangan-tangan” mesin pengeruk itu beradu dengan tanah sawah. Mereka sedang beradu cepat dengan waktu, mengubah sawah menjadi waduk yang bisa menampung 240 ribu meter kubik lumpur. Dan itu tak bisa dilakukan dalam semalam seperti kisah Bandung Bondowoso membangun 1.000 candi. Kalau rencana itu terhambat, petaka lumpur panas di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, akan makin melebar ke mana-mana.

    Petaka itu bermula 29 Mei lalu, ketika tiba-tiba di tengah sawah menyembur lumpur panas dengan semburan gas setinggi delapan meter. Semburan itu terjadi hanya beberapa puluh meter dari ladang pengeboran gas PT Lapindo Brantas. Lumpur pun meluber ke mana-mana.

    Petaka itulah yang membuat sejumlah ilmuwan berseragam oranye datang ke Porong. Mereka adalah para ahli dari Institut Teknologi Surabaya, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Alert Disaster Control (Asia) Pte. Ltd. Kanada, dan Abel Engineering/Well Control, Texas. Mereka berjibaku meredam teror lumpur yang panasnya sekitar 50 derajat Celsius.

    ”Mereka akan menggunakan snubbing unit dan membuat sumur baru,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo. Snubbing unit adalah alat untuk mendeteksi adanya kebocoran di luar pipa selubung pengeboran (casing). Jika lokasi kebocoran diketahui, mereka akan menutup lubang itu.

    Untuk menutup kebocoran itu, pakar pengeboran minyak dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rudi Rubiandini R.S., mengusulkan dua cara. Pertama dengan cara menyuntikkan lumpur berat ke dalam sumur pengeboran yang diduga bocor. Lumpur itu, tutur doktor ITB itu, akan menutup rembesan sehingga semburan lumpur di permukiman penduduk akan mati dengan sendirinya. ”Baru setelah itu disemen semuanya,” ujarnya. Cara ini hanya butuh waktu sebulan.

    Alternatif lainnya, menurut Rudi, membuat sumur bor seperti yang diusulkan tim ahli Lapindo. Sumur itu digali bersebelahan dan menembus lubang pengeboran yang diduga bocor. Dari sumur itu lalu disuntikkan lumpur dan semen. Cara kedua ini diperkirakan memakan waktu lebih lama, sampai tiga bulan.

    Selain urusan menyumbat lumpur, perkara gawat yang juga harus dirampungkan adalah menangani lumpur yang sudah tersembur. ”Ini soal yang paling mendesak,” kata Rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS), Mohammad Nuh. Ihwal racun lumpur, tim ITS sudah melakukan penelitian. Hasilnya, cukup gawat: kadar merkurinya 2,5 ppm (satu bagian per sejuta). Lumpur itu juga memiliki nilai BOD, COD—dua indikator pencemaran air—serta minyak yang cukup tinggi. Jika langsung dibuang ke sungai akan mengganggu ekologi. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah setempat dan ITS sepakat akan mengendapkan lumpur ke waduk-waduk buatan. Setelah air terpisah dari lumpur, racun-racunnya akan dinetralkan. Hasilnya baru dibuang ke Kali Porong.

    Lumpur panas bukan satu-satunya ancaman di kawasan Porong. Warga di sana kini khawatir daerah mereka akan ambles karena lumpur yang terkuras akan menghasilkan rongga di bawah tanah. Kondisi itu bisa menyebabkan tanah ambles seperti yang terjadi di Texas pada 1991. Saat itu akibat luapan lumpur tanah seluas 16 hektare ambles hingga kedalaman 25 meter.

    Kemungkinan lain, Porong bisa menjadi ladang kawah seperti di Desa Kuwu, wilayah timur Kabupaten Purwodadi. Di desa ini muncul letupan-letupan lumpur yang airnya mengandung garam, padahal lokasinya jauh dari laut. Tanahnya yang sangat labil mengisap siapa saja yang berada di atas Bleduk Kuwu. Pernah seekor sapi terisap.

    Saat para peneliti sibuk menutup sumber semburan lumpur, polisi juga melakukan penyelidikan. Kepala Polri Jenderal Sutanto mengakui anak buahnya sudah mengundang ahli yang mengetahui soal pengeboran. Mereka juga memeriksa pekerja dan manajemen anak perusahaan Grup Bakrie itu. ”Kami selidiki, ternyata tidak ada casing (baja penutup) dalam kedalaman sekian meter. Kalau tidak dibangun, itu salah,” katanya di Jakarta, Jumat lalu.

    Persoalan casing atau pipa selubung lubang pengeboran memang mencuat ke permukaan setelah beredar dokumen dari salah satu rekanan proyek Lapindo. Dalam surat itu disebutkan, Lapindo, operator proyek pengeboran, tidak memasang casing berdiameter 9-5/8 inci pada sumur di kedalaman 8.500 kaki (2,5 kilometer). Padahal, pemasangan pipa ini merupakan salah satu rambu keselamatan pengeboran yang harus dipatuhi.

    Pada rapat teknis 18 Mei, rekanan Lapindo mengingatkan bahwa pipa selubung harus dipasang sebelum pengeboran mencapai sasaran, yaitu formasi Kujung di kedalaman sekitar 9.200 kaki (2,7 kilometer). Rupanya peringatan itu tidak diindahkan sehingga 11 hari kemudian muncratlah lumpur panas.

    Manajemen PT Energi Mega Persada Tbk (perusahaan induk dari PT Lapindo) mengakui bahwa casing itu memang belum dipasang. ”Casing itu sebenarnya akan kami pasang. Sebelum itu dipasang, kondisi sumur masih stabil. Kami sudah melakukan sesuai prosedur,” ujar Faiz Shahab, salah seorang bos Lapindo.

    Biang semburan lumpur ini memang sempat menjadi perdebatan di kalangan ahli geologi dan pengeboran. Lapindo sebelumnya menyatakan semburan itu terjadi akibat gempa. Mulyo Guntoro, peneliti yang pernah terlibat dalam survei beberapa sumur Lapindo menilai, petaka akibat itu pengeboran dilakukan tegak lurus dan bukan miring. Saat bor patah, lumpur bertekanan tinggi menyembur. Kesalahan lain, menurut Mulyo, karena tidak adanya pemadatan tanah.

    Rudi Rubiandini menilai kesalahan yang dilakukan Lapindo Brantas bukan dari cara pengeborannya. Tapi, perusahaan itu salah memilih titik pengeboran. Soal pengeboran yang tegak lurus, dia menduga perusahaan itu berniat mengurangi biaya. ”Ditambah lagi ketika lumpur keluar, tindakannya lambat,” katanya. Kini, dampak negatif dirasakan ribuan warga Jawa Timur.

    Untung Widyanto, Sunudyantoro, Adi Mawardi, Rohman Taufik, Rana Akbari Fitriawan, Ahmad Fikri

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Bakrie Terkait Lapindo

    NAMA Lapindo Brantas Incorporated tiba-tiba menjadi menu tetap media massa dalam tiga pekan terakhir. Sayangnya, bukan hal baik yang membuat nama perusahaan itu mencuat setiap hari. Lapindo dituding menjadi penyebab semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang terjadi mulai 29 Mei 2006.

    Sampai Jumat lalu, semburan lumpur panas itu belum juga bisa disetop. Sudah puluhan ribu kubik lumpur panas muncrat dan merendam tiga desa di Porong, yakni Renokenongo, Jatirejo, dan Siring. Puluhan hektare sawah puso, belasan pabrik tutup, dan ribuan penduduk terpaksa mengungsi. ”Tanah kami tiba-tiba jadi kolam,” kata Faqih, warga Renokenongo.

    Warga selama ini tak peduli dengan keberadaan Lapindo. Padahal perusahaan ini sudah beroperasi di daerah itu sejak 1996. Lapindo menjadi operator dan pemilik 50 persen kuasa pertambangan di blok seluas sekitar 300 hektare. Wilayah operasinya mencakup lapangan gas Wunut dan Carat, di Sidoarjo. Kapasitas produksi gas pada 2005 di blok ini mencapai 59 juta kaki kubik per hari.

    Namun, sejak peristiwa itu terjadi, warga hampir setiap hari membicarakan Lapindo. Meskipun awalnya mereka tak tahu siapa pemilik perusahaan yang membuat mereka terpaksa meninggalkan rumah dan sawahnya, belakangan mereka mendengar kelompok usaha Bakrie ada di belakang perusahaan tersebut.

    Lapindo pada mulanya dimiliki Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Tapi pada Maret 2004 kedua perusahaan itu diakuisisi oleh PT Energi Mega Persada. Di perusahaan yang sudah masuk bursa inilah kelompok usaha Bakrie dikaitkan.

    Hubungan Energi Mega dengan Grup Bakrie diakui oleh Yuniwati Teryana, Vice President Human Resources and Relations Lapindo. Hanya, dia menolak memerinci berapa persen dan atas nama siapa kepemilikan saham Bakrie di Energi Mega Persada. Namun sumber Tempo menyebutkan bahwa Bakrie ada di Energi Mega melalui Kondur Indonesia.

    Dalam laporan keuangan Energi Mega disebutkan, Kondur merupakan pemegang saham terbesar perusahaan itu dengan menguasai 30,41 persen saham. Selain Kondur ada PT Brantas Indonesia (19,95 persen), UBS AG Singapura (8,44 persen), Rennier Abdu Rachman Latief (4,71 persen), Julianto Benhayudi (3,31 persen), dan publik 33,18 persen.

    Seolah tak terpengaruh kasus tersebut, pada Rabu pekan lalu Energi Mega dan Bumi Resources—juga anggota Grup Bakrie—mengumumkan rencana merger mereka. Jika disetujui rapat umum pemegang saham luar biasa pada 28 Juli mendatang, kelak Bumi akan menjadi perusahaan baru hasil merger, dengan modal dasar Rp 30 triliun.

    YA, Sunudyantoro, Kukuh S. Wibowo

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Lebur dalam Genangan Lumpur

    Kubangan lumpur panas di Sidoarjo meluas. Kerugian diperkirakan miliaran rupiah

    DWI Cahyani tak habis-habisnya merenungi nasibnya. Tiba-tiba saja usahanya yang beromzet sekitar US$ 250 ribu (Rp 2,45 miliar) per bulan ludes dalam sekejap. Penyebabnya pun tak pernah terpikir olehnya. Senin tiga pekan lalu, lumpur panas tiba-tiba menggenangi pabriknya sampai setinggi lutut.

    Tak ada lagi yang tersisa di perusahaan yang terletak di Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur itu. Mesin-mesin pabriknya lumpuh tak bisa digunakan. Bahan baku rotan senilai Rp 1 miliar amblas. Pabrik mebel rotan miliknya, PT Victory Rottanindo, pun terpaksa merumahkan 250 karyawannya. Kebangkrutan sudah membayang di pelupuk mata Dwi.

    Padahal, sebelum bencana ini terjadi, setiap bulannya Victory biasa mengirim sampai 25 kontainer mebel rotan ke berbagai negara. Setiap kontainer nilainya sekitar US$ 10 ribu. Pas kejadian, Victory sebetulnya sudah siap mengapalkan empat kontainer ke Inggris. ”Tapi truk kontainer tak bisa masuk,” kata Dwi.

    Victory Rottanindo tak sendirian. Delapan pabrik lainnya di Jatirejo juga terpaksa berhenti operasi sejak dua pekan lalu. ”Setidaknya 683 tenaga kerja yang dirumahkan,” kata Cipto Budiono, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur.

    Jumlah itu masih bisa membengkak karena luapan lumpur yang mengandung hidrogen sulfida (H2S) itu sudah merendam 18 pabrik lain. Masalah kerusakan mesin, distribusi barang, dan pembatalan pesanan menguras pikiran pemilik pabrik. Persoalan ini kian pelik karena hingga akhir pekan lalu banjir lumpur belum juga bisa diatasi.

    Petaka lumpur ini bermula ketika pada 29 Mei lalu sebidang sawah di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, menyemburkan lumpur panas setinggi delapan meter. Hanya berselang empat hari, warga Renokenongo kembali dikejutkan oleh suara berdebum. Tanah merekah, lumpur panas pun terus mengalir.

    Karena lokasi semburan tak jauh dari sumur Banjar Panji 1, tudingan pun mengarah ke Lapindo Brantas Incorporated. Perusahaan yang selama ini melakukan pengeboran di sumur Banjar Panji itu dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Lapindo langsung membangun kolam penampungan dan tanggul untuk mencegah lumpur panas meluas. Tapi upaya itu tak membuahkan hasil.

    Ibarat kubangan raksasa, lumpur panas itu kini sudah menggenangi tiga desa: Renokenongo, Siring, dan Jatirejo. Ini membuat 2.700 warga diungsikan ke pasar Porong, Sidoarjo. Derasnya aliran lumpur yang mencapai 5.000 meter kubik—setara dengan 1.250 truk ukuran sedang—per hari juga merendam 64,8 hektare sawah yang belum sebulan ditanami.

    Akibatnya, nilai padi yang puso diperkirakan mencapai Rp 389 juta. Kerugian itu, kata Faqih, warga Renokenongo, belum termasuk biaya menanam padi yang berkisar Rp 500 ribu per petak. Bila satu hektare sawah dibagi menjadi tujuh petak, kerugian biaya tanam akibat lumpur panas mencapai Rp 226 juta.

    Lumpur panas juga luber sampai ke jalan tol Gempol-Surabaya. Semula Jasa Marga hanya menutup separuh badan jalan tol dari arah Gempol menuju Porong. Aliran lumpur juga sudah tidak merangsek sampai jal tol setelah Lapindo membuat tanggul. Tapi tanggul itu justru membuat lumpur mengarah ke perkampungan.

    Penduduk pun marah dan menjebol tanggul. Akibatnya, lumpur kembali membanjiri tol. Sejak Jumat lalu, perusahaan penyelenggara jalan tol itu terpaksa menutup jal tol itu di kilometer 38, karena tinggi lumpur sudah 20 sentimeter. Gara-gara penutupan ini, Jasa Marga diperkirakan merugi Rp 180 juta sampai 380 juta per hari.

    Kepala cabang tol Surabaya-Gempol Bachriansyah menjelaskan, selain pemasukan berkurang, sarana pelengkapan jalan tol yang ada di sana juga rusak. Kerusakan ini diperkirakan merugikan Jasa Marga Rp 200 juta. Beban tersebut masih harus ditambah dengan retaknya jalan akibat tergerus lumpur panas. Tapi besar kerugian konstruksi masih dihitung.

    Yang pasti, kata Bachriansyah, seluruh kerugian akan dibebankan kepada Lapindo. Kerugian dihitung per hari sejak 6 Juni lalu. ”Besarnya berapa, masih diperinci,” katanya.

    Bak terkena efek domino, lumpur panas ini juga menyebabkan kerugian di tempat lain. Kemacetan yang terjadi di jalan tol Gempol-Surabaya membuat para eksportir harus merogoh kocek tambahan.

    Direktur PT Lintas Utama Sejahtera, Isdarmawan Asrikan, mengungkapkan akibat kopi dan cengkeh miliknya terlambat tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, dia mesti menambah Rp 1 juta per kontainer. Biaya tambahan itu antara lain untuk transportasi, relokasi, transportasi bahan baku ekspor-impor, dan keterlambatan (closing time).

    Padahal, setiap hari ada seribu peti kemas dari Pasuruan, Probolinggo, Malang, Jember, dan Banyuwangi yang melintasi jalan tol Gempol-Surabaya. ”Kemacetan itu membuat ekspotir rugi Rp 1 miliar per hari,” kata Isdarmawan, yang juga Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Jawa Timur.

    Rangkaian peristiwa itu pun akhirnya menyedot perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia meminta Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral segera menginvestigasi kasus tersebut. ”Lapindo juga harus memberikan ganti rugi kepada masyarakat di sekitar lokasi pengeboran,” katanya.

    Tapi, menurut Faiz Shahab, Direktur Operasional PT Energi Mega Persada, perusahaan induk Lapindo Brantas, besarnya dana kompensasi akan dipastikan setelah penyebab semburan diketahui. Soalnya, sumber semburan bukan berasal titik pengeboran, tapi dari tiga titik yang berjarak 150-500 meter dari lokasi pengeboran.

    Selain itu, Energi Mega masih menunggu hasil pendataan yang dilakuan tim terpadu yang dipimpin Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Tim ini, kata Faiz, tengah mendata jenis kerusakan dan luas dampak kerusakan. ”Jadi kami tak bisa menyebut berapa angka ganti ruginya,” katanya seusai rapat umum pemegang saham Energi Mega, Rabu lalu.

    Repotnya, penyelesaian masalah lumpur panas ini memakan waktu lama. Faiz memperkirakan, soal ini baru beres pada akhir Oktober nanti. Bila ini benar terjadi, sudah bisa dibayangkan berapa kerugian yang bakal diderita oleh masyarakat setempat, juga para pengusaha dan eksportir.

    Karena itu, Gubernur Jawa Timur Imam Utomo meminta Lapindo pada tahap awal ini segera memberikan uang muka ganti rugi kepada semua perusahaan yang terkena dampak luapan lumpur. ”Ini tidak bisa dibiarkan,” katanya. Paling tidak, pengusaha-pengusaha yang pabriknya tutup seperti Dwi bisa menggaji karyawannya.

    Yandhrie Arvian, Zed Abidien, Kukuh S. Wibowo, Rohman Taufiq, Sunudyantoro

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Memburu Gas, Memanen Lumpur

    Kampung-kampung di Porong, Sidoarjo, diterjang lumpur panas. Ada dugaan, semburan lumpur itu akibat salah prosedur pengeboran.

    TEROR itu datang pada awal pagi. Ketika itu Renokenongo, desa tak terkenal di Sidoarjo, Jawa Timur, baru saja menggeliat. Orang-orang kampung menyeruput kopi, menghisap rokok sisa kemarin, menyapu halaman. Haji Soleh juga sedang menikmati hawa pagi saat tiba-tiba terdengar, “Bum…!” Lantai rumahnya meledak. Dari balik retakannya, mengalirlah lumpur panas. Baunya menyengat, bikin mual.

    Lelaki itu kaget. Juga puluhan penduduk di Renokenongo. Hari itu ada sepuluh rumah yang meleduk di Renokenongo. Semuanya di dekat kediaman Soleh. “Keluarga langsung saya ungsikan,” ujarnya.

    Ledakan pada Jumat pagi dua pekan lalu itu membuat warga ketar-ketir. Maklum, empat hari sebelumnya, ledakan serupa terjadi di sawah milik Probosutejo. Di tengah persawahan yang adem ayem itu tiba-tiba menyembur lumpur panas setinggi delapan meter. Hawa panas–suhunya sekitar 50 derajat Celsius, cukup untuk merebus telur–ikut menyebar cepat. Lumpur dan udara panas ini merendam 15 rumah di Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo.

    Warga Renokenongo terkesiap. Mereka tak menduga lumpur panas bisa seluas itu. Bahkan kini sudah 12 hektare sawah yang tenggelam dalam lumpur. Sekitar seribu orang mengungsi ke gedung olahraga dan markas kepolisian sektor setempat. Pabrik-pabrik di desa itu terpaksa juga tutup. “Kami terpaksa membatalkan produksi kursi rotan senilai US$ 10 ribu yang akan diekspor ke Belanda,” kata Dwi Cahyani, Direktur PT Victory Rotanindo.

    Jalan tol Gempol-Surabaya pun ikut kena getahnya, karena aliran tanah cair itu sampai ke sana. Pengelola jalan tol pun kelabakan membangun tanggul darurat dengan bertruk-truk tanah. Sampai Sabtu lalu, muncratan lumpur dan gas itu belum ada tanda-tanda berhenti.

    Lumpur petaka itu bermula dari sawah Probosutejo. Ledakan itu terjadi setelah PT Lapindo Brantas mengebor sumur minyak Banjar Panji di Porong. Entah mengapa, seperti adegan di film horor, tanah di sawah itu tiba-tiba merekah. Bum! Gas putih membubung. Lumpur mengalir kencang, bergumpal-gumpal seperti air yang muncrat dari pipa air minum. Hujan tuduhan pun jatuh ke Lapindo. Perusahaan ini dituding biang lahirnya “mata lumpur”.

    General Manager PT Lapindo Brantas, Imam Agustino, menolak tuduhan itu. Imam yakin, luapan lumpur bukan berasal dari pipa pengeboran yang saat ini mencapai kedalaman hampir 3 kilometer. “Itu dari retakan tanah akibat gempa Yogyakarta yang terjadi beberapa waktu lalu,” katanya. “Pengeboran Lapindo sudah dilakukan sesuai dengan standar baku industri migas.”

    Lumpur menyembur akibat gempa? Mulyo Guntoro tak sepakat dengan dalih itu. Lelaki ini justru percaya, petaka di Renokenongo itu akibat kesembronoan Lapindo. “Pengeboran di kedalaman lebih dari 2 kilometer seharusnya dilakukan miring, bukan lurus seperti yang dilakukan Lapindo saat ini,” kata ahli geologi dari Pusat Studi Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Surabaya.

    Guntoro mengaku pernah diajak Lapindo melakukan pemetaan gas di Sidoarjo. Dia menduga perusahaan ini melakukan kesalahan prosedur saat mata bor mencapai lapisan gas. Karena terlambat menyumbat, lumpur yang berada di lapisan atas ikut tersedot keluar bersama dengan gas. “Akibatnya, mereka tidak lagi bisa menyuntikkan lumpur untuk menyumbat, karena tekanan di dalam lubang pengeboran pasti sudah sangat besar,” kata dosen UPN itu.

    Lapindo dalam catatan Guntoro telah melakukan beberapa kesalahan dalam pengeboran di Renokenongo. Menurut dia, salah satu keteledoran Lapindo adalah tidak pernah melakukan pemadatan tanah di lokasi yang bakal dieksplorasi. Akibatnya, saat ada kebocoran, lumpur segera menyembur keluar. Selain itu, perusahaan itu tidak pernah berusaha menyumbat aliran-aliran kecil patahan tanah yang berada di sekitar lokasi pengeboran. “Tekanan gas dari dalam tanah pasti akan tinggi naik jika terjadi pengeboran di sekitarnya,” tutur Guntoro.

    Faktor gempa yang dijadikan dalih Lapindo juga dibantah Guntoro. Menurut dia, retakan tanah baru bisa terjadi jika ada gempa dengan kekuatan lebih dari 5 pada skala Richter. Padahal gempa yang terjadi di Yogyakarta dan dirasakan di Sidoarjo hanya berkekuatan 2 pada skala Richter. “Jadi, lucu jika mereka beralasan ada gempa,” ujarnya.

    Apa pun alasan Lapindo, kawasan Renokenongo kini merana. Pohon-pohon meranggas seperti terbakar. Saban hari sekitar 5.000 meter kubik lumpur menyembur. Dalam dua pekan, berarti volume lumpur yang mengubur desa itu setara dengan 14 ribu truk kecil. Kendati begitu, Imam menjamin lumpur dan gas yang keluar masih aman bagi kesehatan manusia. “Dari hasil penelitian, lumpur ini tidak mengandung racun seperti yang ditakutkan,” katanya.

    Namun klaim itu ditolak Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur. Dari hasil investigasi, organisasi pencinta lingkungan itu menemukan sumur-sumur warga yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari lokasi pengeboran dalam kondisi tercemar.

    Menurut Direktur Eksekutif Walhi Ridho Syaiful, selama tiga bulan beroperasi, anak perusahaan PT Energi Mega Persada itu tidak pernah melakukan sosialisasi atau pengumuman terhadap warga terdekat. Padahal, dalam surat edaran Menteri Pertambangan dan Energi, disebutkan kegiatan eksplorasi atau eksploitasi harus diumumkan untuk melindungi kepentingan sosial rakyat.

    “Kami tak pernah diajak rembukan, tahu-tahu terkena getahnya,” ujar Imam Sudarti, yang tinggal tak jauh dari lokasi Lapindo.

    Walhi mendesak pemerintah daerah dan Polri melakukan tindakan hukum kepada Lapindo Brantas untuk menyelamatkan lingkungan dan menghindari kerugian masyarakat. Menurut Ridho, pemerintah harus segera mencabut kontrak Lapindo Brantas sebagai bentuk pertanggungjawaban dan menjamin kesehatan serta perbaikan lingkungan.

    Soal kerusakan lingkungan, Made Sutarsa, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur, menjelaskan bahwa pengeboran yang dilakukan Lapindo sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang ada. “Kebocoran itu murni karena gejala alam, gempa,” katanya yakin. Amdal perusahaan itu dikeluarkan Kantor Menteri Lingkungan Hidup pada 1990.

    Menurut Manajer Umum Lapindo, Rewindra, dengan analisis dampak lingkungan itu, pihaknya tidak perlu lagi meminta izin warga ketika mau melakukan eksplorasi. “Yang penting kan sudah sesuai dengan amdal,” katanya. Perusahaan ini diizinkan melakukan eksploitasi dan eksplorasi di Sidoarjo hingga tahun 2020.

    Untuk mengatasi banjir lumpur, sejak awal musibah, Lapindo sebenarnya telah menginjeksikan lumpur padat ke retakan tanah. Namun upaya itu gagal sehingga genangan lumpur terus meluas, bahkan sampai ke jalan tol Surabaya-Gempol kilometer 38. Mereka kini hanya membuat tanggul agar laju lumpur tidak semakin luas.

    Lapindo juga berencana membawa lumpur untuk dibuang ke kali mati, bekas aliran Sungai Brantas di daerah perbatasan Sidoarjo-Pasuruan yang saat ini tidak lagi dialiri air. Upaya ini tinggal menunggu negosiasi antara Lapindo dan pemerintah Sidoarjo dan Pasuruan.

    “Kami angkat tangan, tidak bisa menghentikan semburan lumpur,” kata Bupati Sidoarjo Win Hendarso. Menurut dia, pemerintah daerah dan Lapindo telah mengirim surat permohonan bantuan kepada Wakil Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

    Sucahyono, Kepala Divisi Operasional Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) menjelaskan bahwa diperlukan waktu minimal 30 hari untuk menghentikan muncratan lumpur. Kasus di Porong ini, ujarnya, pernah terjadi di Riau, dan aliran lumpur baru bisa dihentikan setelah dibuat pengeboran sumur terarah secara miring dari tempat lain. “Tujuannya mencari titik pusat aliran lumpur dan memompakan bahan penyumbat,” katanya.

    Untung Widyanto, Rohman Taufiq, Kukuh S Wibowo

    Sumber: Majalah Tempo No. 16/XXXV/12-18 Juni 2006

  • Menghirup Gas, 138 Warga Dirawat

    Semburan Lumpur Panas Semakin Meluas

    Sidoarjo, Kompas – Semburan lumpur panas dan gas alam di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, hingga Senin (5/6) atau hari kedelapan masih terus berlangsung dan bahkan area cakupannya semakin meluas. Sementara itu, 138 warga yang menghirup gas dibawa ke rumah sakit karena sesak napas.

    Gas putih yang baunya menyengat mirip amonia itu menyebabkan sejumlah warga pusing, sesak napas, dan tenggorokan terasa panas. Perumahan warga sekitar 150 meter dari titik semburan gas. Warga yang kesulitan bernapas dan mual-mual dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Pusat Pendidikan (Pusdik) Tugas Umum (Gasum) Porong yang dirujuk PT Lapindo Brantas—perusahaan penambang minyak dan gas di lokasi tersebut.

    Berdasarkan catatan Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Gasum, sebagian besar pasien adalah perempuan dan anak-anak. Hasil diagnosa menyebutkan, pasien rata-rata sakit pernapasan. Sebanyak 10 orang di antaranya rawat inap, sedangkan lainnya rawat jalan. Biaya perawatan ditanggung PT Lapindo Brantas.

    Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Gasum Komisaris Pancama Putra Hadi Wahyana mengatakan, “Ambulans kami siap 24 jam di permukiman warga.”

    Terus menyembur

    Kemarin lumpur panas dengan suhu sekitar 60 derajat Celsius dan gas terus menyembur. Intensitas dan volumenya pada siang hingga sore hari meningkat dengan tinggi sekitar 10 meter.

    Dari hamparan sawah Desa Siring sekitar 12 hektar, 95 persen di antaranya dibanjiri lumpur. Sisanya diperkirakan tak lama lagi akan terendam lumpur. Senin sore lumpur panas yang ditahan tanggul darurat tumpukan pasir sudah di atas permukaan Jalan Tol Surabaya-Gempol.

    Ditemui di lapangan, General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan volume semburan lumpur mencapai 5.000 meter kubik per hari. Imam mengatakan telah menurunkan tim mengkaji penanganan lumpur. Tim ini merupakan tim gabungan empat disiplin ilmu, yakni geoteknik, geohidrologi, teknik sipil, dan teknik lingkungan.

    Dr Adi Susilo, Kepala Laboratorium Geosains Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam (MIPA) Universitas Brawijaya, mengatakan, muncratnya (blow out) lumpur hidrokarbon pada sumur minyak Banjar Panji, Kabupaten Sidoarjo, yang dikelola PT Lapindo Brantas diduga karena faktor ketidakberuntungan.

    Pada saat penggalian, lubang galian yang belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai casing keburu menganga karena gempa bumi di Yogyakarta. Akibatnya terjadinya rekahan pada galian sehingga lumpur hidrokarbon muncrat.

    “Prosedurnya memang lubang galian pada bagian atas langsung ditutup beton. Namun, penutupan baru bisa dilakukan jika seluruh pekerjaan pengeboran selesai dan minyak mentahnya telah ditemukan,” katanya.

    Munculnya semburan lumpur di rumah warga, menurut Adi, merupakan gejala adanya rekahan tanah tidak hanya pada lokasi pengeboran, melainkan juga antara lokasi pengeboran dan rumah warga.

    “Jalan keluarnya memang Lapindo harus mengerahkan tenaga ahli yang lebih mampu, dan sangat mungkin hal itu harus didatangkan dari luar negeri, untuk menutup lokasi muncratan sumur. Tentang kerugian warga, mestinya itu ditutup dengan biaya asuransi yang sudah dibayar Lapindo,” ungkapnya. (LAS/ODY)

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.

  • Lumpur Panas Semakin Meluas

    Sawah Rusak, Lantai Retak, dan Pohon Mengering
    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Warga Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, semakin resah akibat semburan lumpur panas yang semakin meluas. Lumpur berwarna abu-abu itu kini telah menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar dan pohon-pohon di sekitarnya mengering.

    Sawah yang terendam lumpur panas tersebut tanamannya mati, sedangkan tanahnya butuh waktu lama untuk bisa ditanami kembali. Adapun tanaman pisang dan pohon kayu keras yang terkena lumpur panas daunnya berguguran dan batangnya mengering.

    Keresahan warga Desa Siring semakin menjadi akibat munculnya semburan gas dari areal persawahan pada Minggu (4/6) dan Senin (5/6) kemarin. Titik semburan baru ini jaraknya hanya sekitar 15 meter dari rumah paling pinggir.

    Menurut Darti (37), pemilik rumah paling pinggir tersebut, gas menyembur Minggu malam sekitar pukul 23.00. Volume semburan tidak sebesar semburan di tengah areal sawah.

    “Senin pagi, semburan gas yang tidak disertai lumpur itu telah berhenti,” ucap Darti. Namun, warga sangat cemas sewaktu-waktu semburan muncul di areal permukiman warga.

    Sebuah rumah di RT 07 RW 02 Desa Siring lantainya ditemukan terangkat sekitar 10 sentimeter. Menurut Sulaikah (50), pemilik rumah, dari retakan lantai keramiknya t selalu keluar air bening bercampur pasir setiap semburan di tengah areal sawah aktif.

    Mendekati jalan tol

    Sementara itu, ketinggian lumpur semakin bertambah. Bahkan di sisi utara ketinggiannya sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38.

    Tanggul dari pasir dan batu yang dibangun memanjang di bahu jalan tol menjadi satu-satunya penahan laju lumpur. Lumpur yang tertahan tanggul darurat tersebut terus meninggi hingga lebih tinggi dari permukaan jalan tol. Persoalannya, ketika hujan turun akan mengakibatkan tanggul jebol dan lumpur menutupi jalan tol.

    General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan, semburan lumpur mencapai sekitar 5.000 meter kubik per hari. Untuk menanganinya, pihaknya telah membuat tanggul untuk melokalisasi pergerakan lumpur.

    “Kami juga sudah membentuk tim untuk mengkaji penanganan lumpur serta dampaknya. Hal ini dilakukan sebagai usaha menangani persoalan secara komprehensif,” tutur Imam.

    Pada kesempatan yang sama Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Herman Suryadi Sumawiredja menyatakan tidak menjumpai adanya indikasi kelalaian oleh PT Lapidno Brantas. “Semburan lumpur ini lebih karena faktor alam,” katanya.

    Sementara itu, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan telah membuat tim terpadu untuk penanganan lumpur. Konkretnya, Satlak Kabupaten Sidoarjo bekerja bersama dengan PT Lapindo. “Leading sectornya PT Lapindo Brantas,” ujarnya.

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.

  • Lumpur Panas: Ada Kesalahan Teknis dan Amdal

    Surabaya, Kompas – Semburan gas dan lumpur panas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, terjadi karena beberapa hal. Tiga kemungkinan penyebab insiden itu di antaranya adalah kesalahan teknis, pelanggaran terhadap analisis mengenai dampak lingkungan, dan pengaruh pengeboran dilakukan di daratan (on shore).

    Hal ini dikemukakan tim inti Dewan Lingkungan Jawa Timur Antoro Hendra Sanjaya seusai Sarasehan Lingkungan untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5/6) di Surabaya.

    Perbedaan kondisi pada setiap titik dalam tanah, menurut Antoro, menyebabkan sistem pengeboran tidak dapat disamakan antara satu titik dan titik yang lain.

    “Akibat kesalahan dalam pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas ini terjadi semburan lumpur panas,” kata Antoro.

    Amdal yang telah dibuat untuk PT Lapindo Brantas, lanjut Antoro, sudah mencakup arahan teknis untuk memantau dan mengelola bila terjadi masalah-masalah yang mungkin terjadi. Bila sampai terjadi insiden seperti luapan lumpur panas, berarti terdapat kelalaian dalam pelaksanaan amdal.

    “PT Lapindo pun seharusnya melaporkan secara berkala pantauan berdasarkan rencana pemantauan lingkungan yang ada dalam amdal. Dari laporan itu, dapat dikaji apa yang menyebabkan semburan itu,” tutur Antoro yang juga mantan Kepala Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) Jatim.

    Pengeboran daratan

    Pengeboran yang dilakukan di daratan (on shore), menurut Antoro, juga berpengaruh. Berbeda halnya dengan pengeboran lepas pantai. “Kebocoran dalam pengeboran di daratan sangat terasa dampaknya,” katanya.

    Antoro memberi solusi agar PT Lapindo mengurangi tekanan sumur dengan membuat terobosan pembuangan ke arah yang aman.

    Selain itu, PT Lapindo harus menjelaskan langkah yang akan dilakukan kepada masyarakat serta menyediakan dana community development.

    Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim dalam siaran persnya yang ditandatangani Manajer Kebijakan Publik Choirul Anwar mendesak agar Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mencabut kontrak dan mengusut tuntas berbagai pelanggaran yang dilakukan PT Lapindo Brantas.

    Wakil Kepala Bapedal Jatim Dewi J Putriatni mengatakan, Bapedal Jatim tidak mempunyai wewenang untuk menilai PT Lapindo Brantas karena amdal-nya dikeluarkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. “Kalau Bapedal diminta untuk ikut dalam tim yang memeriksa kandungan lumpur dan gas, bisa saja,” kata Dewi. (INA)

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.

  • Lumpur Panas Dekati Tol Surabaya-Gempol

    Semburan Gas di Areal Persawahan Desa Siring Kembali Naik

    Sidoarjo, Kompas – Lumpur panas dari perut Bumi selama tujuh hari berturut-turut di areal persawahan Desa Siring, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jatim, hingga Minggu (4/6), bertambah. Semburan lumpur pekat mirip lahar berwarna abu-abu itu bahkan sudah mendekati badan Jalan Tol Surabaya-Gempol.

    Berdasarkan pemantauan, jalan tol yang terancam terputus akibat lumpur itu adalah kilometer 38 dari arah Kota Surabaya. Di beberapa bagian lumpur bahkan sudah menjangkau tepi bahu jalan.

    Dalam kaitan itu, PT Lapindo Brantas selaku perusahaan eksploitasi dan eksplorasi minyak dan gas di lokasi tersebut membuat tanggul dengan menggunakan sejumlah alat berat. Ratusan kubik tanah didatangkan dengan dump truck ke lokasi itu untuk dijadikan tanggul darurat.

    Akibat kesibukan membuat tanggul tersebut, lalu lintas dari arah Gempol ke Surabaya menjadi lambat. Kecepatan mobil saat melalui lokasi rata-rata 5-10 kilometer per jam. Antrean kendaraan pun akhirnya tak terhindarkan.

    Kepala Cabang Jalan Tol Surabaya-Gempol Bachriansyah menyatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak PT Lapindo Brantas. “Prinsipnya, kami meminta PT Lapindo Brantas mengupayakan lumpur tidak sampai mengalir ke jalan tol,” ujarnya.

    Skenario terburuk, apabila lumpur akhirnya masuk ke badan jalan tol, pintu gerbang tol masuk Gempol akan ditutup. Selanjutnya, lalu lintas ke arah Surabaya dialihkan ke Porong.

    Lumpur panas itu terus keluar ketika PT Lapindo Brantas membuat sumur untuk penambangan gas. Lumpur cair itu suhunya di atas 57 derajat Celcius. Jika lumpur itu diinjak dengan kaki telanjang, kaki akan berwarna kemerah-merahan kepanasan.

    Selain membuat tanggul darurat dengan menggunakan pasir, PT Lapindo Brantas juga sudah mengantisipasi meluasnya lumpur ke jalan tol dengan memasang gedek (anyaman bambu) di antara areal persawahan yang telah tergenang lumpur dengan badan jalan tol.

    Akan tetapi, kemarin permukaan lumpur semakin tinggi. Akibatnya, gedek tak sanggup menahan laju lumpur yang akhirnya semakin merangsek ke badan jalan tol.

    Kembali naik

    Hari Minggu kemarin, sekitar pukul 11.00 hingga 15.00, volume semburan lumpur panas dan gas di areal persawahan Desa Siring kembali naik. Tinggi semburan mencapai sekitar enam meter.

    Sementara itu, gas putih berbau menyengat semacam amoniak pun kembali tercium. Gas yang mengandung hidrogen sulfida tersebut baunya tercium hingga radius 500 meter, mengikuti arah angin. Padahal kawasan permukiman warga Desa Siring jaraknya hanya sekitar 200 meter dari titik semburan.

    Relations and Security Manager PT Lapindo Brantas Budi Susanto mengatakan, telah meminta bantuan Alert Disaster Control untuk menganalisis penyebab semburan sekaligus memberikan kajian teknis penanggulangannya. Alert Disaster Control adalah sebuah perusahaan di Amerika Serikat dengan spesifikasi penanganan sumur penambangan.

    Sejauh ini PT Lapino Brantas menyatakan, keluarnya gas tersebut diperkirakan akibat gempa bumi yang membentuk retakan dalam lapisan tanah. Dampaknya, gas bertekanan tinggi mencari celah-celah itu untuk keluar ke permukaan tanah.

    Syahdun, mekanik pengeboran subkontrak PT Lapindo Brantas, menyatakan, semburan gas dan lumpur disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran hari Senin pekan lalu sekitar pukul 04.30. “Akibatnya, gas menekan ke samping dan mencari retakan dalam lapisan tanah untuk keluar ke permukaan,” ujarnya. (las)

    Sumber: Harian Kompas, 5 Juni 2006.

  • Lumpur Panas Timbulkan Ketakutan Warga

    Khawatir Rumah Mereka Ambles
    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Semburan lumpur panas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, membuat sejumlah warga ketakutan. Mereka tidak berani kembali ke rumah karena khawatir sewaktu-waktu rumah mereka ambles.

    “Kalau lumpur yang keluar dari dalam tanah sebanyak itu, pastilah tanah di bawah rumah saya berongga besar. Jadi saya takut kalau sewaktu-waktu rumah ambles ke dalam tanah,” tutur Muchtar, salah seorang warga Dusun Balongkenongo, Minggu (4/6), yang menolak kembali ke rumahnya. Empat warga lainnya juga menolak menempati rumah mereka yang sudah rusak terkena lumpur. Mereka adalah Anwar, Soleh, Husein, dan Madekur.

    Oleh sebab itu, Mochtar dan keempat warga lainnya meminta PT Lapindo Brantas untuk membeli tanah dan rumah mereka. Selanjutnya mereka lebih memilih pindah dari rumah lama. “Walau bagaimanapun, saya lebih memilih untuk pindah rumah,” ucap Madekur.

    Adapun warga lainnya menyatakan bersedia kembali. Akan tetapi, mereka meminta kompensasi yang wajar atas kerusakan dan gangguan yang dialami.

    Di tenda pengungsian

    Sekitar 20 pekarangan warga dibanjiri lumpur. Tingginya antara 5 sentimeter hingga 20 sentimeter. Selain itu, sekitar 100 warga masih tinggal di tenda pengungsian di halaman Kepolisian Sektor Porong. Sebagian lagi tinggal di rumah sanak saudara mereka. Rata-rata pengungsi adalah anak-anak dan perempuan.

    Relations and Security Manager PT Lapindo Brantas Budi Susanto menyatakan, belum bisa memberikan jawaban atas tuntutan warga. Pasalnya, saat ini PT Lapindo Brantas masih berkonsentrasi menghentikan semburan gas dan lumpur panas.

    Sekadar catatan, sejak Senin (29/5), semburan lumpur dan gas di areal persawahan Desa Siring tidak kunjung berhenti.

    Budi melanjutkan, segala sesuatu yang berkaitan dengan kompensasi sebaiknya disalurkan melalui tim dari Desa Renokenongo. Selanjutnya, tim tersebut akan berdialog dengan tim dari PT Lapindo Brantas untuk mencapai sebuah kesepakatan. “Ada baiknya tim beranggotakan salah satu di antara kelima warga tersebut,” kata Budi.

    Sementara itu, hingga kemarin sore, lumpur telah membanjiri areal persawahan seluas sekitar 10 hektar. Sawah yang terendam lumpur tersebut sebagian besar milik warga Desa Siring, sedangkan sisanya milik warga Desa Renokenongo.

    Darto (57), salah seorang anggota tim musyawarah Desa Siring menyatakan, belum ada kesepakatan soal kompensasi sawah. Adapun soal polusi yang ditimbulkan gas, disepakati kompensasi sebesar Rp 200.000 per keluarga.

    Kemarin, tim Health Safety and Environment PT Lapindo Brantas dijumpai tengah mengambil sampel lumpur. Tepatnya di sekitar semburan di kamar mandi rumah Soleh.

    Koordinator tim Health Safety and Environment PT Lapindo Brantas Munajad Cholil mengatakan, akan mengirim sampel tersebut ke empat laboratorium. Laboratorium tersebut adalah laboratorium milik Institut Teknologi Surabaya, Institut Perkebunan Bogor, Universitas Brawijaya, dan Sucofindo. Adapun yang dites adalah kandungan racun dan kesuburan dalam lumpur, serta baku mutu air.

    Sumber: Harian Kompas, 5 Juni 2006.

  • Sudah Sepekan Gas Ganggu Warga

    Pemerintah Janji Akan Tangani Segera

    Sidoarjo, Kompas – Gas dan lumpur panas dari perut bumi menyembur di kawasan permukiman warga Dusun Balongkenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (2/6). Karena itu, sekitar 300 warga terpaksa diungsikan. Peristiwa ini merupakan puncak dari semburan gas yang sudah berlangsung sepekan terakhir.

    Sehari sebelumnya, Kamis sekitar pukul 19.00, warga dikejutkan semburan gas dan lumpur yang muncul di areal persawahan Desa Renokenongo. Senin lalu pun, dari tengah rawa Desa Siring, Kecamatan Porong, terjadi hal serupa.

    Hingga kemarin lumpur panas dengan suhu lebih dari 57 derajat Celsius dan gas masih keluar dari sejumlah titik semburan, baik di areal persawahan maupun rawa.

    Berdasarkan pantauan kemarin, gas berbau menyengat dan lumpur panas menyembur tepat pada bagian lantai kamar mandi rumah Soleh (40), warga Dusun Balongkenongo RT 19 RW 05. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.

    Hingga Jumat pukul 17.00 lumpur pekat berwarna abu-abu terus mengalir keluar berikut gas. Akibatnya, sekitar 10 rumah warga kemasukan lumpur, sekitar satu hektar sawah diterjang lumpur, dan kamar mandi serta dapur milik Soleh rusak juga akibat lumpur.

    Ditemukan pula lantai keramik di rumah seorang warga terangkat ke atas. Menurut keterangan pemilik rumah, hal itu terjadi tidak lama setelah gas dan lumpur menyembur di rumah Soleh.

    Akibat peristiwa tersebut, sekitar 300 warga Desa Renokenongo diungsikan ke Balai Desa dan Kantor Poliklinik Pedesaan Kedungbendo, serta Kantor Kecamatan Porong. Meski demikian, sebagian besar warga lebih memilih mengungsi ke rumah sanak saudara mereka.

    Untuk sementara, gas dan lumpur berbau menyengat tersebut diduga kuat berasal dari sumur pengeboran gas PT Lapindo Brantas yang berada di sebelah selatannya. Jarak sumur dengan titik semburan di Dusun Balongkenongo sekitar 450 meter.

    Syahdun, mekanik pengeboran subkontrak PT Lapindo Brantas, menyatakan, semburan gas dan lumpur disebabkan pecahnya formasi sumur hasil pengeboran, Senin lalu sekitar pukul 04.30.

    “Akibatnya, gas menekan ke samping dan mencari retakan dalam lapisan tanah untuk keluar ke permukaan,” ujarnya.

    Sebelum formasi pecah, lanjut Syahdun, bor macet (stuck) dan oil bismart hilang.

    Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan akan mengerahkan seluruh potensi bersama PT Lapindo Brantas untuk mengatasi persoalan tersebut. Konkretnya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo akan mendatangkan empat backhoe—ditambah dua unit milik PT Lapindo Brantas—untuk melokalisasi lumpur di areal persawahan.

    “Satu-satunya solusi agar lumpur tidak meluas, sawah seluas 8-10 hektar terpaksa dikorbankan untuk dijadikan dam penampungan,” kata Win.

    Secara terpisah, General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan, peristiwa tersebut tidak ada kaitannya dengan sumur hasil pengeboran perusahaan penambang gas hidrokarbon itu. “Tidak ada yang salah dengan sumur pengeboran kami,” ujarnya. Meski demikian, pihaknya siap membantu penanganan persoalan itu. (LAS)

    Sumber: Harian Kompas, 3 Juni 2006.

  • Pekerja Tambang Bergelut Tanah dan Lumpur Rawa

    Oleh Laksana Agung Saputra

    Terik matahari tepat di atas ubun-ubun. Di area pertambangan gas PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, sejumlah pekerja mengempaskan badan di atas tanah, memperpanjang mimpi akan bonus yang mandek empat hari belakangan.

    Pekerja yang berjumlah 15 orang itu bukanlah karyawan PT Lapindo Brantas. Mereka adalah warga desa setempat yang direkrut perusahaan tersebut untuk membantu membersihkan lumpur dan tanah hasil galian. Paritan, demikian mereka menyebut profesi mereka yang akrab dengan lumpur dan tanah itu.

    Sejak Senin (29/5) pagi kegiatan penambangan dihentikan. Pasalnya sejak gas dengan kandungan hidrogen sulfida bercampur lumpur menyembur keluar di tengah rawa, pihak perusahaan menghentikan kegiatan penambangan. Tujuannya agar lebih fokus dalam menangani persoalan tersebut sekaligus sebagai standard safety procedure (prosedur pengamanan standar).

    Jadi, empat hari belakangan tidak ada lumpur dan tanah hasil penambangan. Artinya, tidak ada bonus untuk para paritan yang mayoritas telah berkeluarga itu.

    “Kalau lagi tidak ada penambangan, kami tidak mendapat bonus. Padahal, besarnya bonus lumayan untuk tambah-tambah beli makanan buat anak dan istri,” ujar Jauri (40), seorang paritan.

    Bonus yang dimaksud adalah ongkos tambahan yang diberikan PT Lapindo Brantas untuk setiap zak tanah dan drum lumpur yang dikumpulkan para paritan. Bonus untuk satu zak tanah adalah Rp 1.000 dan bonus untuk satu drum lumpur adalah Rp 5.000. Khusus untuk lumpur, perhitungan bonus dimulai di atas 200 drum.

    Sebagai gambaran, apabila kegiatan penambangan normal, para paritan secara bersama-sama bisa mengumpulkan 15 drum – 20 drum lumpur dalam sehari. Hasilnya lalu dibagi rata. Jadi bila ada 20 drum, per orang bisa mendapat sekitar Rp 6.500. Bila ditambah dengan bonus zak tanah, bonus terkumpul bisa mencapai sekitar Rp 10.000 per hari. “Lumayan untuk tambahan penghasilan,” kata Tamiadi (40), paritan yang sudah bekerja selama 6 bulan.

    Warga Desa Renokenongo

    Para paritan menerima upah per 10 hari sekali. Adapun upahnya Rp 45.000 per hari. Makan sekali disediakan perusahaan.

    Seluruh paritan yang berjumlah 45 orang merupakan warga Desa Renokenongo. Jumlah tersebut dibagi dalam tiga kelompok, masing- masing berjumlah 15 orang. Jadwal kerja setiap kelompok adalah dua hari masuk dan satu hari libur.

    Para pekerja rata-rata merupakan mantan pekerja pabrik yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Semisal Edi Tamsil (20) yang terkena PHK dari pabrik panci karena alasan efisiensi.

    Sekadar catatan, setiap penambangan selalu memerlukan oil bismart atau synthetic bismart. Bahan kimia ini merupakan syarat mutlak untuk memperlancar mata pasak dalam mengebor lapisan tanah. Oil bismart atau synthetic bismart itu dialirkan ke dalam rangkaian pipa bor lalu disedot ke atas. Saat ke atas, oil bismart atau synthetic bismart selalu bercampur lumpur dan tanah.

    Campuran tersebut kemudian diolah kembali dalam sebuah instalasi. Oli yang bersih kembali dialirkan ke bawah, sedangkan lumpur dan tanah dibuang. Sisa tanah dan lumpur inilah yang dibersihkan para paritan. Dengan sekop, mereka memasukkan tanah ke dalam sak dan lumpur ke dalam drum.

    Selain itu, para paritan membersihan oil bismart atau synthetic bismart yang tercecer di tanah area pertambangan. “Hal yang jelas, pekerjaan kami tidak jauh dari bersih-bersih,” kata Tamiadi (40) yang mempunyai dua anak itu. Hari-hari ini para paritan hanya bisa menunggu dan berharap agar persoalan gas dan lumpur itu bisa cepat teratasi. Dengan demikian, mereka bisa berpeluh payah untuk mendapatkan bonus.

    Tidak seperti karyawan teknis PT Lapindo Brantas yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang penambangan, mereka rata-rata hanya lulusan pendidikan dasar. Kemauan bekerja keras meski disengat teriknya matahari dan dipagut dinginnya fajar adalah modal utama mencari nafkah untuk keluarga.

    Sumber: Harian Kompas, 2 Juni 2006.

  • Lumpur Merusak Areal Sawah

    Pipa Bocor Cemari Irigasi
    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Lumpur yang terus keluar dari dalam perut bumi melalui rekahan tanah di tengah rawa Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, meluber ke saluran irigasi. Padahal, areal sawah yang dilaluinya rata-rata sudah mulai musim tanam.

    Berdasarkan pantauan pada Rabu (31/5), lumpur tersebut berwarna hitam keabu-abuan dan mengandung semacam minyak. Tanaman yang terkena lumpur tersebut diperkirakan tidak akan bisa tumbuh dengan subur.

    Lumpur yang mencemari sawah tersebut sebagai kelanjutan dari gas bocor yang terjadi Senin (29/5) lalu sekitar pukul 04.30. Saat itu dari tengah rawa Desa Siring, Kecamatan Porong, menyembur gas berwarna putih yang mengandung hidrogen sulfida berikut lumpur bersuhu tinggi.

    Gas tersebut berasal dari dalam sumur pengeboran gas PT Lapindo Brantas yang jaraknya sekitar 40 meter dari lokasi semburan. Hingga kemarin, gas dan lumpur masih menyembur keluar, meski volumenya naik turun.

    Akibat luberan lumpur, sampai dengan Rabu kemarin pukul 16.00, air dalam saluran irigasi hingga radius sekitar 400 meter arah barat rawa sudah tercemar. Padahal dalam radius tersebut sudah ada beberapa petak sawah yang memanfaatkan air dari saluran irigasi itu.

    Dua desa

    Saluran irigasi yang memanjang di tepi jalan kabupaten tersebut menghubungkan Desa Siring dan Desa Permisan, Kecamatan Jabon. Saluran irigasi itu untuk mengairi puluhan hektar sawah di dua desa tersebut.

    Kepala Seksi Produksi Palawija dan Hortikultura Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Sidoarjo Heksa Widagdo mengatakan, padi pada usia tersebut membutuhkan cukup air.

    “Meski tidak butuh air melimpah, padi usia muda butuh lahan basah,” ujarnya. Oleh sebab itu, ia mengimbau agar air yang telah tercemar dengan lumpur tidak dialirkan ke dalam sawah.

    Saat ditemui di lapangan, Koordinator Tim Health Safety and Environment PT Lapindo Brantas Munajad Cholil mengatakan akan menyedot lumpur agar tidak terus meluber ke sawah dan saluran irigasi. Caranya dengan menyedot lumpur yang akan ditampung ke dalam kolam. Kolam berukuran 20 m x 10 m dengan kedalaman 4 m ini tengah dibuat di dalam area pertambangan.

    Selain itu, pada Kamis ini akan dipasang instalasi pengolahan air limbah (IPAL) portabel di tepi rawa. “Lumpur akan disedot ke dalam IPAL, lalu airnya yang telah bebas polutan akan dialirkan saluran irigasi,” katanya.

    Sumber: Harian Kompas, 1 Juni 2006.