Category: Lapindo di Media

  • Korban Lapindo Nyekar Leluhur di Tanggul Lumpur

    Korban Lapindo Nyekar Leluhur di Tanggul Lumpur

    TEMPO.CO, Sidoarjo- Menjelang lebaran Idul Fitri, puluhan warga korban lumpur lapindo mendatangi titik 42 Desa Renokenongo Porong Sidoarjo. Mereka berkumpul tepat di bawah tenda biru dan menggelar istighozah dilanjutkan tabur bunga di pinggir tanggul titik 42.

    Pada istighozah itu mereka mendoakan arwah sesepuhnya yang sudah meninggal dan makamnya terendam oleh luapan panas Lapindo. ”Kami ingin mendoakan sesepuh, semoga beliau diterima di sisi-Nya,” kata penanggung jawab sementara Desa Renokenongo, Subakrie, kepada wartawan usai acara istighozah, Kamis, 24 Juli 2014.

    Menurut Subakrie, kegiatan itu biasa dilakukan tiap tahun menjelang Idul Fitri guna mengingat dan mendoakan arwah sesepuhnya yang makamnya dulu berada di sekitar titik 42 itu. Selain itu, tradisi dalam Islam ketika menjelang lebaran biasanya nyekar ke makam-makam. “Karena di sini makamnya sudah terendam, maka kami hanya nyekar di tanggul saja,” katanya.

    Koordinator penggerak istighosah, Djuwito, mengatakan acara itu sengaja digelar menjelang lebaran, bahkan biasanya satu atau dua hari menjelang lebaran. “Namun karena sekarang hari Kamis dan nanti malam tepat malam Jumat yang terakhir dari bulan ramadan maka kami selenggarakan hari ini,” kata dia.

    Istighozah itu, kata dia, selain mendoakan arwah sesepuhnya, mereka berharap supaya menyentuh hati pemerintah segera melunasi ganti rugi yang belum terbayarkan hingga saat ini. “Sudah delapan tahun kami terlunta-lunta disiksa oleh pemerintah, mereka sudah tak peduli pada kami,” kata dia.

    Subakrie, mengatakan Presiden SBY pernah berjanji untuk menyelesaikan masalah ganti rugi ini pada masa pertengahan masa jabatannya atau pada masa akhir masa jabatannya. “Dan sekarang sudah masuk pada masa akhir masa jabatanya, kami berharap sebelum berakhir masa jabatannya untuk menyelesaikan masalah ganti rugi,” kata dia.

    Menurut Subakrie, pihak korban lumpur yang dibantu oleh beberapa pengacara dan para mahasiswa fakultas hukum Surabaya telah melayangkan permohonan kepada SBY, inti permohonan kami hanya ada dua, yaitu meminta dana talangan kepada pemerintah dan pembayaran ganti rugi dilaksanakan oleh pemerintah. “Keduanya ini sama-sama menguntungkan kami,” kata dia.

    Permohonan itu, kata Subakrie, sudah diterima kantor Sekretaris Negara dan akan segera diberikan kepada SBY untuk diminta tandatangani dan pengesahan dari presiden. Dalam waktu dekat, korban Lapindo akan pergi ke Jakarta untuk menemui SBY. “Tepatnya satu minggu setelah lebaran,” kata dia.

    Selain itu pula, para korban lumpur ini akan sowan kepada presiden yang baru untuk membantu memuluskan atau merealisasikan ganti rugi itu. “Semoga pak SBY dan presiden yang baru masih punya hati nurani untuk membantu kami,” kata dia.

    © MOHAMMAD SYARRAFAH | Kamis, 24 Juli 2014

    Sumber: http://ramadan.tempo.co/read/news/2014/07/24/155595556/Korban-Lapindo-Nyekar-Leluhur-di-Tanggul-Lumpur

     

     

  • 2 Bulan Tanggul Lumpur Diblokade Warga, BPLS Angkat Tangan

    SIDOARJO – Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) selama dua bulan ini tidak bisa beraktivitas menangani lumpur. Pasalnya, warga korban lumpur masih melarang segara aktivitas penanganan lumpur sebelum ganti rugi mereka dilunasi.

    Sejauh ini tidak ada solusi untuk menyelesaikan masalah itu, karena Lapindo Brantas Inc tak kunjung melunasi ganti rugi korban lumpur.

    Akibatnya, kekuatan tanggul lumpur tinggal menghitung hari saja karena kondisi di kolam lumpur semakin penuh.

    Humas BPLS, Dwinanto Hesti Prasetyo mengatakan pengerjaan tanggul dihentikan warga sejak tanggal 18 Mei lalu. Pihaknya tidak bisa berbuat banyak, bahkan tak berani beraktivitas karena khawatir terjadi gesekan antara korban lumpur dan petugas dari BPLS.

    Sedangkan kondisi lumpur saat ini, lanjut Dwinanto, air di permukaan lumpur memang terlihat meninggi.

    Hal tersebut mengindikasikan bahwa semburan dari pusat semburan lumpur lebih banyak didominasi oleh air dibandingkan dengan lumpur.

    Sejak musim penghujan usai, tidak ada pengaliran lumpur ke Sungai Porong. Sehingga, pond hanya menampung volume yang dikeluarkan dari pusat semburan.

    “Praktis selama dua bulan kita tidak bisa membuang lumpur ke Sungai Porong,” jelas Dwinanto.

    Jika pembuangan lumpur ke Sungai Porong terhenti, otomastis lumpur akan menumpuk di kolam penampungan (pond).

    Jika sewaktu-waktu hujan turun, dikhawatirkan lumpur penuh dan akan meluber menggenangi Jalan Raya Porong dan rel KA jurusan Surabaya-Malang.
    Apa yang dilakukan agar warga memperbolehkan BPLS memperkuat tanggul lagi.

    Dwinanto mengaku, pihaknya sudah seringkali berdialog dengan warga korban lumpur. Namun, mereka mengaku tidak akan mengijinkan BPLS memperkuat tanggul sebelum ganti rugi aset mereka dilunasi.

    Sampai saat ini,  Lapindo Brantas Inc berkewajiban membayar sebanyak 13.237 berkas yang kini tinggal 3.348 berkas dengan nilai pembayaran sebesar Rp786 miliar.

    Dana yang dikeluarkan Lapindo untuk membayar aset warga sebesar Rp3,043 triliun. Atau dengan kata lain, sebanyak 75% berkas sudah lunas pembayarannya.

    Sedangkan total dana yang dikeluarkan oleh Lapindo untuk menangani lumpur sampai kini sudah sekitar Rp8 triliun.

    Dengan rincian, untuk penanganan semburan lumpur sekitar Rp5 triliun dan membayar aset warga sekitar Rp3 triliun.

    Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Emir Firdaus mengatakan, jika saat ini penyelesaian ganti rugi belum juga tuntas. Apalagi, belum ada kejelasan dari Lapindo kapan akan melunasi sisa pembayaran ganti rugi tersebut.

    Emir menjelaskan penyelesaian ganti rugi korban lumpur perlu ada campur tangan pemerintah.

    Sayangnya, sampai saat ini belum ada kepastian dari pemerintah kapan akan mengucurkan dana talangan untuk pelunasan ganti rugi.

    “Kita berharap secepatnya ada dana talangan dari pemerintah untuk korban lumpur,” tandasnya. (Abdul Rouf)

    Sumber: http://daerah.sindonews.com/read/882472/23/2-bulan-tanggul-lumpur-diblokade-warga-bpls-angkat-tangan

  • Dua Desa dan Dua Kelurahan di Sidoarjo Tidak Kebagian Dana Rp 1 Miliar

    Dua Desa dan Dua Kelurahan di Sidoarjo Tidak Kebagian Dana Rp 1 Miliar

    TRIBUNNEWS.COM, SIDOARJO– Dua desa dan dua kelurahan yang sudah ditenggelamkan lumpur Porong tidak mendapat suplai anggaran Rp 1 miliar dari pemerintah yang akan diberikan pada 2015.

    Meski secara administrasi sistem pemerintahannya masih ada, tapi secara geografis daerah itu sudah tertutup lumpur sehingga tidak berpenghuni.

    Desa yang terendam lumpur yakni Desa Renokenongo, Kecamatan Porong dan Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin. Sedang dua kelurahan yang ditenggelamkan lumpur Lapindo adalah Kelurahan Jatirejo dan Kelurahan Siring, Kecamatan Porong.

    Empat wilayah ini praktis penghuninya sudah kabur sejak beberapa tahun lalu. Meski demikian, warga masih ber-KTP desa atau kelurahan yang ditinggalkan itu.

    Wakil Ketua Komisi A DPRD Sidoarjo, Warih Andono, menjelaskan empat desa yang sudah tidak ada aktivitas apa-apa (pembangunan) tidak berhak mendapat bantuan apa-apa.

    “Kalau dipaksakan untuk apa uang sebanyak itu, terus pertanggungjawabannya bagaimana. Sekarang saja tempat tinggal para penduduk terpencar,” tutur Warih, Selasa (8/7/2014).

    Politisi Partai Golkar ini mengungkapkan, tetap dipertahankannya urusan administrasi di empat daerah yang terendam lumpur itu, karena masih ada persoalan yang belum dituntaskan yakni ganti rugi korban lumpur. Karena lahan mereka (korban lumpur) ada di daerah itu sehingga butuh untuk proses jika suatu saat dibutuhkan.

    “Seperti perangkat desa dan kades masih tetap ada, tapi sebatas untuk pengurusan surat menyurat saja,” ucapnya bergurau.

    Sementara itu, Perda Pedoman Penghapusan dan Penggabungan Desa yang merupakan merupakan perda inisiatif dewan masih belum terlaksana. Komisi A waktu itu sudah mengajukan Raperda penghapusan dan penggabungan desa lumpur dalam prolegda 2015.

    Dalam luberan lumpur ini, sebenarnya masih ada  beberapa desa di Kecamatan Besuki yang daerahnya sudah dijadikan areal lumpur. Yaitu, Desa Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring serta Desa Mindi, Kecamatan Porong.

    Desa-desa ini kemungkinan besar akan digabung ke desa lain. Desa yang daerahnya juga diberi ganti rugi, seperti Desa Ketapang, Desa Kalitengah atau desa yang tergabung dalam 65 RT yang ganti ruginya dibayar pemerintah.

    “Jumlah desa yang ada di Sidoarjo nantinya bisa menyusut tidak lagi 353 desa. Di Porong dan sekitarnya saja sudah hilang berapa,” tutur Sekretaris Komisi A, H Adhy Samsetyo.

    Sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2014/07/08/dua-desa-dan-dua-kelurahan-di-sidoarjo-tidak-kebagian-dana-rp-1-miliar

  • Sewindu Lumpur Lapindo (3): Korban Lumpur Lapindo Bingung Nyoblos

    Sewindu Lumpur Lapindo (3): Korban Lumpur Lapindo Bingung Nyoblos

    indep

    Belasan ribu warga korban lumpur masih bingung di tempat pemungutan suara (TPS) mana akan akan mencoblos saat pemilihan presiden (Pilpres), Juli 2014 mendatang. Mereka ini tidak mendapat TPS. Bahkan belasan ribu dari mereka tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT).

    Ribuan warga lain, namanya masih masuk DPT di TPS desa asal mereka. Namun mereka ini sudah meninggalkan desa itu dan hidup berpencar di tempat tinggal sementara atau pengungsian.

    Berdasarkan pemutakhiran data pemilih yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sidoarjo, per Mei 2014, pemilih di empat desa dicatat nol. Keempat desa tersebut memang telah hilang terkubur lumpur. Terdiri Jatirejo, Reno Kenongo, Siring, Kecamatan Porong. Satu lagi, Desa Kedung Bendo, yang masuk Kecamatan Tanggulangin. Pemilik hak pilih dari empat desa, yang diperkirakan mencapai 15.000 lebih terancam tidak menggunakan hak pilih.

    Di luar empat desa, ada dua desa lain, yang ribuan warganya terancam tidak bisa menggunakan hak pilih. Kedua desa itu adalah, Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin dan Desa Mindi Kecamatan Porong. Di sini 8.000 warga masuk DPT dan TPS-nya pun masih tercatat di KPU.

    Persoalannya, kedua desa ini sudah kosong, karena ditinggalkan warganya yang berpencar mencari rumah baru.

    Edeh (54), korban lumpur asal Kedung Bendo mengaku hingga kini belum mengetahui, apakah dirinya bisa mencoblos saat pilpres nanti. “Pengalaman pemilu lalu, saya  tidak bisa nyoblos,” jelasnya.

    Janda dua anak itu sudah lima tahun terakhir mengontrak rumah di Desa Jimbaran Kulon, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo. Namun  KTP Edeh tetap Kedung Bendo. Ia dan warga lumpur memang diminta tidak ganti KTP. Sebab perubahan data kependudukan, bisa membuatnya sulit bahkan kehilangan ganti rugi dari Lapindo. “Jadi KTP saya tetap KTP Kedung Bendo,” kata Edeh kepada Surya, Kamis (29/5/2014).

    Di lingkungan barunya, Edeh sempat ingin mencoblos. Tapi petugas tidak mau menerimanya, karena namanya tak ada di DPT. Juga tidak masuk dalam daftar pemilih khusus (DPK), daftar pemilih susulan bagi warga yang belum masuk DPT.  “Tidak bisa (nyoblos). Katanya karena saya bukan penduduk situ,” tambahnya

    Korban Lapindo : Saya Juga Ingin Pilih Presiden Yang Sanggup Membantu Kami

    Pengalaman serupa dirasakan Kasiati (56), juga warga Kedung Bendo. Pada pileg April silam, dia tidak bisa memilih wakil rakyatnya, di tempatnya yang baru, Perumahan Mutiara Citra Asri (MCA). Pada Pilpres nanti, Kasiati berharap bisa memilih. “Saya juga ingin pilih presiden yang sanggup membantu kami,” katanya.

    Tapi Kasiati belum tahu bagaimana caranya untuk bisa menggunakan hak suaranya. Kasiati juga tidak tahu, apakah namanya masuk DPT atau tidak. Hingga kini belum pernah ada pendataan warga sebagai pemilih.
    “Rasanya belum pernah petugas yang datang mendata,” tambah Harwati, warga Desa Siring menimpali.

    Itu berarti, Hawati dan teman-temannya sesama korban lumpur yang pada pemilu lalu tidak masuk DPT, pada pilpres ini juga tetap tidak masuk DPT atau DPK. “Kami juga tidak pernah mendapatkan sosialisasi. Di mana nyoblosnya, dan bagaimana mengurusnya suratnya,” katanya.

    Harwati menceritakan, pada pemilu legislatif lalu, ia sebenarnya bisa memilih di tempat tinggal barunya, Desa Candipari. Sebab ia sudah mengurus surat keterangan domisili dari kepala desa setempat agar bisa diditerima sebagai pemilih.

    Pagi-pagi ia datang ke TPS. Tapi hingga siang, ia tak kunjung mendapat giliran mencoblos.Capek menunggu,  ia memilih balik pulang dan urung mencoblos.

    “Sudah datang pagi-pagi. Tapi disuruh tunggu  sampai pemilih asli sana nyoblos semua. Jadi saya putuskan nggak usah nyoblos aja, mending kerja saja,” ujar tukang ojek di tanggul lumpur itu.

    Tidak semua korban lumpur golput ketika itu. Sebagian mereka tetap bisa menggunakan hak suaranya meski telah pindah tempat tinggal.

    “Saya dulu pindah dari Siring ke desa Gedang. Nyoblos buat pileg kemarin ya di Gedang. Tidak sulit karena birokasi kepindahan juga dibantu sama lurah,” sebut Purwaningsih (55).

    Khusus warga Ketapang dan Mindi, yang masih masuk DPT, masih bisa mudah memilih. Sebab di desanya yang telah kosong penduduk, dalam pileg  lalu masih didirikan TPS. Dengan begitu warga yang sudah hijrah ke berbagai tempat bisa langsung ke TPS itu.

    KPPS Tak Proaktif Untuk Datangi Korban Lumpur Lapindo

    Pj Kepala Desa Reno Kenongo, Subakri, membenarkan adanya keluhan warga yang sulit menggunakan hak suara. Ia kemudian menceritakan saat pileg April lalu. Saat itu ia didatangi banyak warga.

    Mendapatkan laporan tersebut, Subrakri lalu berkoordinasi dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) setempat.

    “PPK lalu mengarahkan mereka agar datang ke kelurahan tempat mereka tinggal sekarang untuk meminta surat keterangan domisili. Surat keterangan itu bisa dipakai untuk mencoblos di tempat tinggal baru mereka,” kata Subakri.

    Namun Subakti tidak tahu, apakah mereka kemudian melaksanakan prosedur itu atau tidak. Subakri juga tidak mengetahui secara persis berapa persen warganya yang memilih dan golput saat pileg lalu.

    Subakri yang kini tinggal di Desa Juwet Kenongo menyebut, kebingungan warga mendapatkan TPS ini terjadi karena petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tidak proaktif.

    Menurut dia, seharusnya KPPS datang ke desa-desa yang diperkirakan menjadi tempat domisili sementara para korban lumpur dan mendata nama-nama korban lumpur. “KPPS harusnya turun dan mendata secara door to door (dari pintu ke pintu),” tambahnya.

    Hingga kini warga korban lumpur memang disarankan tidak berganti KTP. Saran itu, kata Subakri telah disampaikan sejak masa pemerintahan Bupati Win Hendarso. Pemkab, kala itu khawatir ganti KTP akan menyulitkan proses pembayaran sisa kewajiban Lapindo. Tapi dampaknya, mereka tidak bisa tercatat sebagai pemilih di tempat baru.

    Di desa Reno Kenongo sendiri, tercatat ada sekitar enam ribu warga. Sebagian besar dari mereka, telah hijrah ke Kecamatan Sidoarjo setelah rumah yang mereka diami terpendam lumpur. Meski telah pindah domisili, namun berbagai pelayanan yang terkait kependudukan, masih dilayani oleh kelurahan Reno Kenongo.

    “Pelayanan tetap jalan. Mulai 2011 sampai sekarang kami masih pinjam satu ruangan di kantor Camat Porong untuk melayani kebutuhan warga Reno Kenongo. Sebelumnya, sejak Reno Kenongo tenggelam, hingga 2010 pelayanan dilakukan di rumah saya di Juwet Kenongo,” pungkasnya.

    (c) Liputan Khusus Harian Surya

  • Victims still await full settlement after eightyears

    Victims still await full settlement after eightyears

    Victims mark eight years of the devastating mudflow in Sidoarjo, East Java, Thursday. Thousands of displaced residents asked the visiting Joko “Jokowi” Widodo to pay the compensation that the government had promised them. (JP/Wahyoe Boediwardhana)

     

    Tjarwadi, 68, a resident of Siring village, Sidoarjo regency, East Java, had not previously known 65-year-old Sadawi Priadi of nearby Glagah Arum village.

    However, they shared the same fate when their homes and all their belongings were engulfed by the hot mudflow originating from the Panji I oil well drilling conducted by PT Lapindo Brantas Inc. in 2006.

    Lapindo is partially owned by the Bakrie family, which is under the patronage of Golkar Party chairman Aburizal Bakrie. 

    Neither Tjarwadi, a trader, nor Sadawi, a driver for a shoe factory, have received the full compensation long promised by the government.

    “Whereas in fact, President Susilo Bambang Yudhoyono personally promised to compensate every one of the victims of the Lapindo mudflow by February 2010, this has not happened in reality,” Tjarwadi told The Jakarta Post during the commemoration of the eight anniversary of the eruption of the mudflow on Thursday in Sidoarjo.

    He claimed that Lapindo should have already paid Rp 635 million (US$54,588) for his 235-square-meter plot and 135-square-meter house, but Tjarwadi and his wife Saropah, 55, have so far only received Rp 247 million. 

    “The initial payment was 20 percent of the total amount, while the rest was to have been paid in installments at Rp 15 million per month, but that happened for eight months only. I’ve received no cash transfers for the past year,” said Tjarwadi.

    The same tale was also related by Sadawi who lost 887 square meters of land and a house measuring 165 square meters. He should have received compensation of Rp 1.1 billion, but has only received Rp 320 million as of now. 

    Thousands of people swarmed on top of embankment 22, located west of the gush point, bordering the railway line and the Porong-Sidoarjo highway to commemorate the eighth anniversary of the Lapindo mudflow.

    Presidential candidate Joko “Jokowi” Widodo also attended the commemoration and met the mudflow victims on Thursday.

    Jokowi, who has been nominated by the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), the NasDem Party, the National Awakening Party (PKB) and the Hanura Party, also signed a political contract with various civil society groups if elected as president.

    “The Lapindo hot mudflow case must be settled. The state must be manifest among the people. If this was resolved it would indicate the state is there for the people,” Jokowi addressed the crowd.

    Jokowi will run in the presidential election on July 9 against Prabowo Subianto who has been nominated by several parties, including the Gerindra Party and the Golkar.

    According to the National Development Planning Board (Bappenas) the mudflow has caused Rp 27.7 trillion in losses. It has buried more than 600 hectares of land, displacing 39,700 people and submerging three subdistricts, 12 villages, 11,241 buildings and 362 hectares of rice paddies. 

    Both Tjarwadi and Sadawi were of the same opinion when they were asked about presidential candidate Jokowi.

    “I don’t care about his party. I only see his character. I believe he would not be as hesitant and be able to speed up the compensation process through the state budget,” said Sadawi.

    If he was elected as president, added Sadawi, Jokowi would be the same as when he led Surakarta (Solo) and Jakarta. 

    Sadawi said he was drawn to what he believed to be the humble personality of Jokowi, and he believed him to be close to the people.

    Wahyoe Boediwardhana

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2014/05/30/victims-still-await-full-settlement-after-eight-years.html

  • Sewindu Lumpur Lapindo (2): 33 Gedung Sekolah Telah Terkubur Lumpur Lapindo

    Sewindu Lumpur Lapindo (2): 33 Gedung Sekolah Telah Terkubur Lumpur Lapindo

    kholid-bin-walid

    Hari ini (29/5), genap sewindu lumpur Lapindo menyembur di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Selama delapan tahun menyembur, ribuan rumah dan gedung terkubur. Sampai saat ini sudah 33 gedung sekolah termasuk dalam daftar pengisi dasar lautan lumpur itu.

    “Sekolah saya dulu persisnya ada di mana kira-kira, itu saja sudah lupa”, kata Khobir sambil memandang hamparan luas lumpur Lapindo, Senin (26/5/2014)

    Hamparan luas lumpur itu mengubur empat desa berikut semua isinya. Yang tersisa hanyalah kenangan Khobir pada masa-masa di sekolah dulu. Kenangan pada teman dan guru-gurunya.

    Khobir kini tergabung dalam komunitas KLM (Korban Lumpur Menggugat). Surya menemui Khobir di sela-sela kesibukannya mempersiapkan acara peringatan Sewindu Lumpur Lapindo di sekitar tanggul. Khobir berharap luapan lumpur yang disebutnya sebagai tragedi itu segera berakhir.

    Harapan serupa diucapkan Ali Mas’ad, Kepala MA Kholid Bin Walid. Harapan Ali Mas’ad ini biasanya juga diwujudkan dalam bentuk doa bersama. Setiap musim kelulusan siswa, Ali selalu mengajak anak didiknya yang baru lulus sujud syukur di tanggul lumpur, tepatnya di lokasi sekolahnya yang telah terkubur. ”Kami hanya bisa berdoa semoga tragedi ini bisa berakhir,” katanya.

    Ali maupun Khobir berharap sekolah-sekolah yang masih tersisa di seputar kawasan lumpur tidak menjadi korban lumpur berikutnya.

    Tercatat sudah 33 gedung sekolahan yang lenyap. Sekolah-sekolah yang tinggal menjadi cerita duka itu tersebar di enam desa. Siring, Reno Kenongo, Kedung Bendo, Jatirejo, Pejarakan, dan Besuki. “Semuanya gedung SD. Tidak ada sekolah lanjutan,” kata Mustain Baladan, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo, Rabu (28/5/2014).

    Sekolah-sekolah yang tutup sebagian digabung dengan sekolah terdekat yang belum tersentuh lumpur. Mustain Baldan tidak tahu, sampai kapan sekolah-sekolah itu bisa bertahan. Yang pasti  bayang-bayang tamat sudah semakin dekat.

    Selain berpotensi menyusul ditenggelamkan lumpur, sekolah ini juga mulai kehabisan murid. Penduduknya secara bergelombang telah hijrah, menjauhi lumpur yang telah menjadi gunung dan terus menyembur.

    Kekurangan Murid, Tiga Sekolah Ini Terancam Tamat

    Ancaman tamat paling nyata dirasakan tiga sekolah dasar (SDN). Terdiri SDN Mindi I, SDN Mindi II, serta SDN Ketapang. Kepala SDN Mindi 1, Musthofa membenarkan potensi sekolahnya tamat. Mustofa mengaku, sekolah sampai sekarang masih bisa bertahan karena masih banyak warga Mindi dan sekitarnya yang mendaftarkan anaknya. Hingga saat ini, SDN Mindi 1 masih memiliki 278 siswa, mulai dari kelas 1 hingga kelas 6. Secara administratif, sekolah akan ditutup bila tidak mampu memenuhi kuota jumlah siswa, minimal 26 pendaftar.

    Tapi perlahan namun pasti, sekolahnya toh akan tamat. Sejak 2013 lalu seluruh permukiman dan lahan di Desa Mindi sudah dibeli pemerintah. Sampai saat ini, separuh warga Mindi sudah hidup tersebar di luar desa.

    Mantan Kepala SDN Jatirejo 2 ini tidak mengetahui apa rencana Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo setelah penutupan. Hanya saja, ada beberapa usulan dari orang tua siswa yang nantinya tinggal di lokasi relokasi di kawasan Kesambi. Mereka meminta sekolah ikut dipindah ke sekitar Kesambi.

    Untuk tahun ajaran baru ini sekolah yang dia pimpin akan tetap beroperasi karena sudah ada sekitar 44 pendaftar. Para calon siswa tersebut berasal dari sejumlah desa seperti Pesawahan, Gedang, serta Juwet.

    Nasib SDN Mindi 2 tak lebih baik. Sejak tahun lalu, sekolah ini tidak menerima murid baru. Sehingga tahun ajaran baru 2014, Dinas Pendidikan melarang mereka membuka pendaftaran siswa baru.

    Praktis, siswa-siswa yang ada saat ini hanyalah siswa kelas 2 hingga kelas 6, dengan jumlah siswa yang tak lebih dari 65 orang. Sekolah ini nantinya direncanakan akan bertahan sampai seluruh siswanya lulus.

    Saat Surya mengunjungi sekolah itu untuk meminta konfirmasi dari kepala sekolah, Bachrudin, yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat. “Kami kok tidak tahu kalau ada rencana sekolah ini akan ditutup,” kata seorang guru setempat yang tidak mau ditulis namanya.

    Lumpur Lapindo Menyembur, Banyak Anak Putus Sekolah

    Belum ada data baru tentang jumlah anak korban lumpur yang akhirnya putus sekolah. Data terakhir pernah dihimpun aktivis dari Sanggar Al Faz untuk tahun ajaran 2010/2011. Ketika itu tercatat  ada 103 anak yang tidak melanjutkan sekolah.

    Sanggar Al Faz  adalah inisiator program Solidaritas Anak Lumpur. Program tersebut dibuat dengan tujuan untuk menghimpun beasiswa bagi anak-anak korban lumpur yang terancam atau putus sekolah karena orang tua yang tak lagi sanggup membiayai pendidikan mereka. “Beasiswa itu dihimpun dari donasi publik,” kata Fani Tri Jambore, aktivis Solidaritas Anak Lumpur.

    Ada banyak sebab anak putus sekolah setelah lumpur Lapindo menyembur. Ada yang dikarenakan orang tua yang tak sanggup membiayai setelah kehilangan lapangan kerja. Juga tidak sedikit yang disebabkan lokasi relokasi sekolah yang terlalu jauh.

    Faktor mental ikut menambah panjang daftar anak putus sekolah. Pengalaman ini setidaknya ditemui Imam Khoiri, korban lumpur asal Desa Siring. Pria yang kini pindah di kecamatan Prambon tersebut, menyatakan anaknya mogok sekolah gara-gara di tempat yang baru, sering diejek temannya.

    Cerita yang hampir mirip disampaikan Harwani. Korban lumpur asal Desa Siring mengungkapkan, mental anaknya sempat drop karena harus pindah sekolah. “Anak saya yang pertama sempat males sekolah karena sering pindah-pindah sekolah,” katanya. Beruntung, Harwani cukup sabar membesarkan hati, hingga sang anak mau melanjutkan sekolah.

    Sekolah di Galangan Hingga Rumah Penduduk

    Sekolah ini sungguh ’sakti’. Setelah diterjang lumpur pada 2006 silam, sekolah ini tetap bertahan hingga kini. Padahal, puluhan sekolah lainnya langsung tamat riwayatnya begitu gedungnya terkubur lumpur. Adalah Madrasah Aliyah (MA) Khalid Bin Walid, nama sekolah itu.

    Ali Mas’ad, kepala sekolah milik Yayasan Khalid Bin Walid itu menceritakan kerja keras yayasan menyambung hidup sekolah kebanggaan warga Desa Renokeongo, satu dari empat desa yang terkubur lumpur.

    Dulu di awal semburan muncul, Ali bersama guru dan muridnya setiap hari harus kerja bakti untuk membersihkan lumpur. Rutinitas itu dilakukan sebelum proses belajar mengajar.

    Namun pada 2007, luberan lumpur tidak bisa ditahan lagi. Volumenya aliran terus membesar. Dari cuma setinggi mata kaki, lumpur terus menggunung hingga mengubur atap.

    “Waktu itu banyak sekolah yang pindah ke arah barat. Kalau kami ikut-ikutan, tidak mungkin bisa bersaing dengan sekolah-sekolah yang lebih besar. Jadi saya bertahan saja, pindahnya ke timur,” kata Ali.

    Sejak saat itu Ali harus merelokasi sekolah. Dalam pikirannya, gedung sekolah boleh terkubur, tapi nasib puluhan siswanya tidak boleh ikut mati. Dia bertekad untuk terus menggelar proses belajar mengajar.

    Pada awal masa relokasi, Ali menyulap toko bangunan di Desa Glagah Arum menjadi ruang kelas. Tiga tahun sekolah itu bertahan di toko galangan. Pemilik bangunan menyewakan bangunan toko itu ke orang lain.
    Ali pun kelabakan. Dia harus segera mencari bangunan pengganti. ”Alhamdulillah, ada warga yang mau meminjamkan rumahnya untuk kami,” katanya.

    Sejak 2009 Ali menampung siswanya di rumah sederhana itu. Luasnya memang 300 meter persegi, tetapi kondisinya masih jauh dari kata layak untuk ukuran sebuah sekolah.Ali bergeming. Dia menganggap, pendidikan jauh lebih penting ketimbang memikirkan fasilitasnya.

    Bangunan di gang sempit itu menjadi tempat belajar 75 siswa kelas 1 sampai 3. Ali dibantu 20 guru yang setia mengabdi di sekolah tersebut. Kata Ali, sekolah hanya bisa menggaji para guru itu antara Rp 300.000 sampai Rp 500.000. ”Ini murni pengabdian,” katanya menilai perjuangan para guru di sekolahnya

    Berharap Lapindo Mengganti Gedung Sekolah Yang Karam Ditelan Lumpur

    Kalimat pengabdian bukan saja menggambarkan kecilnya gaji. Kata pengabdian itu juga tergambar dari ketelatenan dan kesabaran para guru hadir ke sekolah setiap hari. Padahal jarak rumah mereka sekarang cukup jauh. Ya sejak lumpur menenggelamkan desa, para guru itu harus hijrah di tempat yang jauh.Terpencar di Kecamatan Krembung dan Wonoayu, sebelah barat Porong.

    Saat masih di Renokenongo, para guru ini biasa datang ke sekolah mengendarai sepeda angin. Ali bersyukur, hanya ada satu guru yang mundur karena tinggal terlalu jauh.

    Tahun ajaran baru ini, MA Khalid Bin Walid sudah menerima 7 calon siswa. Dia yakin, sampai penutupan pada Juli nanti, jumlah itu akan bertambah. Selama ini, Ali selalu mengandalkan pendekatan personal kepada warga di sekitar sekolah untuk mendapatkan siswa.

    Dia bersama para guru, tidak segan mendatangi rumah-rumah warga untuk menyekolahkan anaknya. ”Warga yang tidak mampu menjadi sasaran kami. Anak-anak mereka harus sekolah dan kami membebaskan biaya SPP,” ungkap warga asli Renokenongo itu.

    Dia yakin, sekolahnya  akan terus bertahan, karena hanya ada satu MA di Glagah Arum. Banyak anak usia sekolah di kawasan itu yang enggan bersekolah karena jauhnya lokasi sekolah setingkat SMA atau MA. Nah, MA yang dipimpinnya bisa menjadi solusi kebutuhan warga akan pendidikan.

    Saat ini, Ali masih tetap berharap Lapindo mengganti lahan dan gedung sekolah mereka yang karam. Dia juga tidak lelah menagih janji insentif bagi para guru yang rumahnya jauh dari sekolah. ”Berkali-kali ditagih ya tetap saja mbulet. Tapi saya terus akan bersuara,” ujar Ali.

    Tinggalkan Sekolah Lantaran Tak Tahan Ejekan

    Hidup keluarga sederhana ini berantakan begitu lumpur Lapindo menyembur 2006 silam. Pasangan muda yang baru memiliki anak balita tak pernah membayangkan akan hidup di pengungsian. Cerita pelik mereka menjadi cermin buram  ribuan korban lumpur Lapindo lainnya.

    Bertahan hidup demi anak. Hanya kalimat itu yang tertanam di hati pasangan Chamidah dan Imam Khoiri. Sejak lumpur meneanggelamkan rumah mereka di Desa Siring, Kecamatan Porong delapan tahun lalu, mereka harus hidup berpindah-pindah. Pengungsian Pasar Baru Porong menjadi destinasi awal mereka.

    Ratna Sari, anak sulung pasangan muda itu dibawa serta bergumul dengan ribuan pengungsi. Saat itu Sari masih duduk di bangku taman kanak-kanak. “Saya sedih kalau ingat apa yang dialami anak saya,” kata Chamidah.

    Perempuan berkulit sawo matang itu mengatakan, Sari tumbuh menjadi anak yang tertutup. Lingkungan mempengaruhi perkembangan psikisnya. Keluar dari pengungsian, pasangan ini hidup nomaden atau berpindah-pindah. Kadang di rumah saudaran, saat lain mengontrak rumah.

    Seingat Chamidah, dia sudah tiga kali pindah. Begitu juga dengan sekolah Sari yang mengikuti jejak orang tuanya. Saat sekolah inilah Sari sering mendapat ejekan dari kawan-kawannya. “Sulungku diejek anak tukang ojek tanggul dan korban lumpur,” ungkapnya berkaca-kaca.

    Ejekan itu datang bertubi. Sari yang awalnya periang, berubah menjadi pendiam. Dia trauma, kata Chamidah. Ibu tiga anak itu tidak menyangka, ejekan itulah yang membuat Sari enggan bersekolah kembali. Sari stres dan tidak tahan dengan ejekan itu. Gadis yang kini berusia 14 tahun itu berhenti sekolah ketika duduk di bangku kelas dua.

    Chamidah ikut-ikutan stres karena anak pertamanya itu tidak memiliki ijazah. Dia bingung bagaimana nanti Sari akan mendapatkan pekerjaan tanpa ijazah. Menurutnya, Sari gadis yang tidak melawan saat diintimidasi teman-temanya.

    Dia memilih diam dan menangis ketika mendapatkan ejekan. Chamidah sudah berulang kali menasihati Sari agar melawan saat ejek orang. Namun Sari bergeming. Dia diam, tetapi menangis.

    ”Anak saya yang pertama mirip ayahnya. Putih dan cantik. Dia pendiam. Saya tidak bisa marah kepadanya karena saya mengerti dia memulai hidup di pengungsian yang serba susah. Saya kasihan padanya,” kata Chamidah dengan mata menerawang.

    Hidup di Pengungsian, Pengaruhi Psikis Anak Korban Lumpur Lapindo

    Surya menemui Chamidah di sekitar tanggul lumpur Lapindo awal minggu lalu. Saat itu dia membantu suaminya bekerja sebagai tukang ojek. Sebelumnya, Chamidah pernah bekerja sebagai buruh pabrik untuk membantu perekonomian keluarga.

    Namun, penyakit kanker serviks yang dideritanya mengharuskan dia beristirahat. Sari kini tinggal di rumah neneknya di Tulangan, Sidoarjo usai rumahnya terendam lumpur. Lokasinya sekitar 10 kilomter sebelah barat Porong. Di sana Sari membantu merawat neneknya yang sudah sakit-sakitan.

    Setiap hari Chamidah meyempatkan diri mengunjungi ibu dan anaknya. Selain itu juga diminta mengasuh dua adiknya. Berbeda dengan Sari, dua anak Chamidah lainnya tumbuh menjadi sosok yang temperamental.

    Meski tidak hidup di pengungsian, Chamidah mengakui hidup dua anaknya yang lain juga serba sulit. Ejekan juga sering dilontarkan kepada keduanya. Hanya saja, dua anak Chamidah ini bermental baja. Mereka malah balik melawan ketika mendapatkan hinaan.

    Tidak jarang Chamidah harus berurusan dengan orang tua teman-teman anaknya. ”Ada yang lapor kalau anak saya memukul anak mereka,” ujar Chamidah.

    Dia tidak serta merta memarahi sang anak. Pasalnya, anaknya membela diri karena terus-terusan diejek anak tukang ojek dan korban lumpur. Bagi Chamidah, apa yang dilakukan sang anak adalah bentuk pembelaan diri. ”Hati orang tua mana yang tidak hancur tahu anaknya dihina karena pekerjaan orang tuanya,” imbuhnya.

    Chamidah masih berharap Sari mau sekolah lagi. Namun dia bingung karena dari mana anaknya itu harus memulai sekolah. Saat ini, Sari lebih banyak mengenyam pendidikan non-formal. Setiap sore, dia mengaji di musala dan belajar agama.

    sumber:  Liputan Khusus Harian Surya

  • Sewindu Lumpur Lapindo (1): Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan

    Sewindu Lumpur Lapindo (1): Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan

    tempo - lempar bakrie

    Ribuan korban lumpur, terutama dari golongan keluarga miskin (gakin) semakin nelangsa. Mereka harus pontang-panting mendapatkan layanan kesehatan. Kondisi ini terjadi karena mereka hidup tanpa jaminan kesehatan. Padahal ancaman kesehatan mereka semakin besar, seiring lamanya semburan lumpur Lapindo.

    Harwati, korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, menyebut ada ribuan warga korban lumpur Lapindo yang tidak tercover jaminan kesehatan. “Alasan Dinas Kesehatan lucu. Kami dianggap terlambat mendaftar. Padahal kami sama sekali tidak pernah dapat sosialiasi,” kata Harwati, Senin (26/5/2014).

    Perempuan 43 tahun itu mengaku sudah berjuang bersama para tetangganya sejak 2011. Ketika jaminan kesehatan masih bernama Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Mulai tahun ini, jaminan kesehatan itu berganti menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

    Herwati menceritakan, awalnya, dia dan korban lumpur meminta didaftarkan Jamkesmas, namun gagal. Sebelumnya, nama-nama mereka juga gagal masuk ke Jamkesda dengan alasan terlambat mendaftar.

    Berbagai instansi mereka datangi. Mulai dari kelurahan, kecamatan, DPRD sampai Pemkab Sidoarjo. Jawaban yang didapat Harwati sangat normatif. Isinya lebih banyak janji. Harwati menilai, janji itu sampai saat ini belum terealisasi.

    Beberapa warga memang kemudian  mengurus surat keterangan miskin (SKTM) ke kelurahan. Surat ini bisa menjadi pengganti bagi warga miskin yang tidak memiliki kartu Jamkesmas untuk mendapatkan pengobatan gratis. Tapi tidak sedikit warga yang frustrasi karena merasa dipingpong.

    “Kalau mengingat dipingpong-pingpong ini,  kami merasa kok seolah-olah orang miskin seperti kami ini dilarang sakit. Ya Allah, kok tega-teganya memperlakukan kami begitu,” tutur Herwati.

    Pendataan Korban Lumpur Lapindo Awut-awutan

    Cerita sedih disampaikan oleh Novik Akhmad, korban lumpur Lapindo asal Jatirejo. Dia mengeluh karena tidak pernah diikutkan dalam program jaminan kesehatan. Padahal mereka menderita karena bencana tersebut. “Dulu ada jamkesmas, ada juga jamkesda. Tapi kami tidak pernah diikutkan program itu. Padahal kami korban lumpur yang setiap hari menghirup gas beracun dari semburan lumpur,” keluh pemuda 32 tahun itu.

    Novik yang merasa sangat membutuhkan jaminan kesehatan, kemudian mendaftarkan kedua orangtuanya sebagai peserta BPJS secara mandiri. Premi ditanggungnya sendiri setiap bulan, Rp 90.000.

    Pemuda bertubuh kurus itu mengaku tidak memiliki uang lagi untuk menambah anggota keluarga masuk sebegai perserta BPJS. Pasalnya, untuk menambah peserta, dia harus kembali membayar premi. Untuk kelas III, premi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 25.000, sedangkan kelas II, ditetapkan Rp 45.000.

    Dia menilai, pemerintah lalai dalam menjamin kesehatan warganya, terutama warga korban lumpur. Ada ribuan warga lain yang sama sekali tidak pernah tahu ada program jaminan kesehatan dari negara. Selama ini, hanya warga yang kritis saja yang mendapatkan akses informasi.

    Menurut Novik, kisah pilu warga itu terjadi karena pendataan yang dilakukan terhadap korban lumpur awut-awutan.  Ia lalu merujuk data Pemkab Sidoarjo melalui Basis Data Terpadu PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial). Di situ tercatat hampir 90 persen warga korban lumpur tidak tercatat sebagai sasaran Jamkesmas atau BPJS. Bahkan di Desa Renokenongo, data rumah tangga sasaran tercatat nol persen. Padahal ada ratusan KK yang semestinya masuk kategori keluarga miskin (Gakin).

    Begitu juga di Desa Jatirejo, yang tercatat sebagai penerima jaminan kesehatan cuma 31 KK. Kemudian Desa Kedungbendo hanya 6 keluarga dan Siring 36 keluarga.

    “Saya tidak tahu, bagaimana pemerintah melakukan pendataan. Yang jelas, ribuan warga lain tidak pernah didata. Alasan pemerintah daerah sih warga korban lumpur hidup terpencar. Jadi mereka kesulitan mendata. Padahal, pemerintah bisa kok mendata warga saat foto dan pengurusan e-KTP lalu. Tetapi itu tidak dilakukan,” kritik Novik.

    Warga korban lumpur sendiri selama ini tidak sempat mengurus masalah itu. Mereka terlalu disibukkan dengan alotnya pelunasan ganti rugi dan tempat tinggal sementara

    Uang Ganti Rugi Lumpur Lapindo Sudah Habis untuk Berobat
    Arrohma
    Kegiatan Komunitas Arrohma

    Penuturan senada  disampaikan korban lumpur lainnya, Khoiri. Sejak lima tahun silam, istrinya divonis mengidap kanker serviks. Warga asli Siring itu pun bingung bukan kepalang karena tidak memiliki ongkos untuk biaya pengobatan.

    Awalnya, Khoiri bisa membiayai pengobatan istrinya dengan uang ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Tahun pertama, Khoiri sudah menghabiskan Rp 100 juta. Sebagian besar uang itu dihabiskan untuk biaya kemoterapi. Kemudian dia harus menjual rumah di kawasan Pandaan.

    Khoiri jatuh miskin. Dia tidak memiliki biaya untuk proses penyembuhan selanjutnya. Tabungannya saat itu hanya menyisakan Rp 5 juta. Berbagai instansi pemerintah dia datangi.

    Dia hanya ingin istrinya terdaftar di dalam jamkesmas atau sejenisnya. Dia mendatangi kecamatan dan Dinkes Sidoarjo. Namun tidak ada hasil.

    Oleh seorang dokter, Khoiri dan istrinya disarankan mengurus SKTM. “Alhamdulillah setelah itu kemoterapinya gratis,” kata Khoiri. Namun dia tetap harus menyediakan uang jutaan rupiah untuk menebus obat yang tidak masuk dalam daftar tanggungan negara. Meski begitu, dia bersyukur nyawa istrinya tertolong.

    Saat ini, kondisi istrinya sudah membaik. Tapi masih kontrol ke dokter. Nah untuk kebutuhan kontrol ini Khoiri merasakan sulitnya hidup tanpa jaminan kesehatan. Ia terpaksa telat tiga bulan dari jadwal kontrol yang ditentukan dokter.

    Tiap kontrol, Khoiri harus mengeluarkan minimal Rp 500.000. Butuh waktu dan kerja keras untuk mengumpulkan uang itu. Ia harus menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai kuli bangunan yang memang tidak seberapa. Apalagi pekerjaan kuli bangunan itu tidak selalu ada.

    Biasanya, bila sedang tidak order bangunan, Khoiri mencoba menganis rejeki dengan mengojek. Itupun dilakukan dengan was-was karena kondisi kesehatan Khoiri sendiri rawan gangguan. Dua kali kecelakaan saat nguli menjadi penyebab. Dokter menyarankan agar dia tidak bekerja terlalu berat. “Saya hampir mati karena terlindas truk saat nguli,” ujarnya lirih.

    Khoiri sangat berharap, ia dan keluarga terdaftar sebagai peserta BPJS.

    Dinas Kesehatan Tak Tahu Jumlah Warga Lapindo yang Terdaftar

    Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sidoarjo, Ika Harnasti mengaku tak tahu persis jumlah warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo yang telah terdaftar dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Menurutnya, data tersebut sepenuhnya ada di tangan BPJS Kesehatan sendiri. “Saya hanya PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) untuk Dinas Kesehatan yang tugasnya untuk pemberian pelayanan kesehatan saja,” kata Ika, Kamis (27/5/2014).

    Dia hanya memastikan, untuk korban lumpur yang memang memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau dinyatakan miskin, biaya pengobatannya akan ditanggung oleh pemerintah.

    Terkait syarat kepesertaan BPJS Kesehatan bagi korban lumpur Lapindo, juga tidak ada perbedaan dengan syarat kepesertaan masyarakat yang lain.

    Yang paling utama, dalam BPJS, penyakit-penyakit atau bahaya kesehatan yang termasuk dalam KLB atau kejadian luar biasa, tidak dicover. Dengan demikian, untuk penyakit-penyakit yang tergolong KLB, sepenuhnya menjadi beban pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkab Sidoarjo.

    “Dan kalau memang belum terdaftar ke dalam BPJS, harus dilihat dulu apakah yang bersangkutan tergolong mampu atau tidak. Kalau mampu, pengobatan di puskesmas ya bayar. Sebaliknya kalau tidak mampu, ya gratis,” lanjutnya

    DPRD Sidoarjo Minta Data Keluarga Miskin Dimutakhirkan

    Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Mahmud Untung mengakui memang ada banyak warga korban lumpur yang tidak tersentuh jaminan kesehatan yang diselenggarakan negara. Penyebabnya, tidak semua dari mereka yang menyandang status miskin. Padahal, status miskin itu menjadi syarat mutlak mendapatkan jaminan dari negara.

    “Kan tidak semua warga korban lumpur itu miskin. Jadi perlu ada pendataan yang selektif untuk menentukan siapa yang berhak,” ujarnya.

    Mahmud menjelaskan, penyelenggarakan jaminan kesehatan oleh BPJS itu ada dua model, yakni mandiri dan dibiayai negara. Untuk kategori kedua, hanya warga berstatus miskin saja yang bisa mendapatkannya. Sedangkan yang tidak termasuk miskin, harus atas biaya sendiri. “Jadi ada kok warga (korban lumpur) yang mendaftar BPJS mandiri,” kata dia.

    Terkait upaya memberikan jaminan kesehatan itu, lanjut Mahmud, pihaknya sudah mempertemukan warga korban lumpur dengan Dinkes serta Bappeda Kabupaten Sidoarjo.  Namun, kata Mahmud, tidak bisa kemudian mengintervensi data penerima BPJS yang dimiliki BPLS. Sebab, data penerima jaminan dari negara itu merupakan domain Badan Pusat Statistik (BPS).

    Mahmud mengkritik cara pendataan keluarga miskin korban lumpur Lapindo. Pendataan oleh BPS itu dilakukan tanpa melibatkan unsur-unsur di Sidoarjo.

    Menurut Mahmud, pendataan dan perumusan kriteria miskin untuk korban lumpur itu seharusnya dilakukan tim terpadu, gabungan dari BPS, Pemkab Sidoarjo,  kelurahan, dan perwakilan warga.

    Data miskin itu, lanjut Mahmud, seharusnya diupdate terus. Sebab, warga miskin untuk korban lumpur Lapindo bersifat dinamis.

    Dia mencontohkan, ada warga yang sebelum terjadi tragedi lumpur, termasuk warga mampu. Namun, setelah  terjadi semburan lumpur, menjadi miskin. Ada juga warga yang masuk kriteria kaya setelah menerima ganti rugi dari Lapindo, tapi kemudian jatuh miskin karena membengkaknya kebutuhan hidup. “Inilah yang perlu selalu dilihat dan diantisipasi,” tuturnya.

    Pendataan terakhir dilakukan pada 2011. Padahal, saat itu sudah banyak warga miskin korban lumpur yang tidak tercover jaminan kesehatan, yang saat itu masih bernama Jamkesmas.  “Kami meminta agar ada pemutakhiran data dalam waktu dekat,” tegasnya.

    Informasinya, pada 2014 ini akan ada pendataan ulang. Dia berharap Pemkab Sidoarjo mendorong BPS agar lebih teliti dalam mendata warga korban lumpur. Dia menilai, permasalahan di sana tidak sama dengan daerah lain yang juga menjadi obyek pendataan.

    Permasalahan lain yang dianggap menyulitkan pendataan adalah tersebarnya domisili warga korban lumpur.  “Masalah ini memang sangat teknis. Tetapi, mereka kan tetap warga Sidoarjo meskipun tinggal di daerah lain. Apalagi, mereka tidak akan melepas status warganya karena masih terkait dengan proses ganti rugi,” ungkap politikus PAN itu.

    Untuk sementara, Mahmud menyarankan agar warga menggunakan SKTM untuk mendapatkan layanan kesehatan. Layanan kesehatan juga bisa dilakukan di puskemas.

    Korban Lumpur Lapindo Bertahan dengan Jimpitan Sehat

    Para korban lumpur Lapindo terus berharap bisa menikmati layanan  kesehatan gratis dari negara yang kini ditangani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tapi, karena tidak mau mati dalam ketidakpastian, mereka membentuk lembaga pendanaan mandiri, Jimpitan Sehat.

    Komunitas Ar-Rohma membuat terobosan dengan menggarap model pendaanaan swadaya untuk membantu biaya pengobatan. Tidak besar memang dana yang bisa dibagikan, tapi manfaatnya cukup dirasakan para anggota komunitas itu.

    Ar-Rohma beranggotakan korban lumpur dari empat desa,  Jatirejo, Siring, Reno Kenongo, dan Kedung Bendo, yang lenyap terkubur lumpur Lapindo.

    Dana pengobatan itu mereka namakan dana Jimpitan Sehat. Sesuai namanya, dana itu mereka ambil kecil-kecilan secara rutin dari para anggotanya. “Kami bertemu dua minggu sekali. Nah di pertemuan itu, ada jimpitan lima ribu rupiah. Namanya Jimpitan Sehat,” kata Saropah, Selasa (27/5/2014).

    Saropah dulu tinggal di  Jatirejo. Tapi sejak 2006, ia harus membawa keluarganya mengungsi setelah rumahnya terkubur lumpur.

    Saropah kini tinggal di Pasuruan bersama suami dan tiga anaknya. Meski tinggal di Pasuruan, Saropah dan suaminya, Sulastro, setiap hari tetap bertandang ke lokasi lumpur Lapindo.  Hidupnya masih bergantung di desa kelahirannya itu. Bedanya dulu, hidupnya bergantung  pertanian sawahnya, kini bergantung pada wisatawan lumpur Lapindo. Persisnya, jasa ojek untuk melayani pengunjung lumpur. Kalau beruntung, rezekinya bisa bertambah lewat VCD lumpur yang ia jajakan untuk pengunjung.

    Beberapa kali Saropah terbantu  Jimpitan Sehat itu. Itu ia rasakan  ketika melahirkan anak ketiganya. Juga ketika seorang anaknya harus berobat di puskesmas. Satu lagi, manfaat jimpitan kesehatan itu dirasakan ketika orangtuanya meninggal. Ya, Jimpitan Sehat juga mengcover biaya kematian.

    “Bantuannya memang ala kadarnya. Tetapi itu cukup membantu meringankan kami. Setidaknya bisa buat beli obat atau buat transport saat berobat,” ujarnya

    Sulit Peroleh Layanan Kesehatan, Korban Lapindo Dilarang Sakit

    kerajinan 06

    Di Komunitas Ar Rohmah, lanjut Saropah, selain terdapat penghimpunan Jimpitan Sehat, juga telah dibentuk koperasi kecil-kecilan. Di koperasi itu, para anggota yang berjumlah sekitar 30 orang, bisa meminjam uang sewaktu-waktu saat benar-benar membutuhkan.

    Ketua Komunitas Ar Rohmah, Harwati (39), menyebutkan, komunitas yang dia kawal itu saat ini lebih fokus pada upaya penanganan kesehatan dan ekonomi korban lumpur Lapindo yang menjadi anggota. Selain melalui Jimpitan Sehat dan koperasi, di komunitas tersebut para anggota juga kerap menggelar pelatihan usaha.

    “Ada pelatihan membuat kerajinan tangan seperti menyulam dan merajut. Hasilnya beberapa kali kami ikutkan pameran dan dijual. Keuntungannya juga buat anggota,” papar Harwati.

    Upaya Harwati mendorong perbaikan kesehatan warga korban lumpur Lapindo di Komunitas Ar Rohmah didorong masih banyaknya korban yang belum dimasukkan dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) sehingga menyebabkan mereka kesulitan memperoleh layanan BPJS Kesehatan.

    Harwati sendiri mengaku terinspirasi dari perjalanan hidupnya. Tahun 2008 silam, warga Siring yang kini hijrah ke Desa Candipari tersebut kehilangan suaminya, Muhtadi, karena kanker ulu hati. Saat meninggal, Muhtadi berusia 42 tahun.

    Kematian Muhtadi sempat menyisakan kenangan pahit bagi Harwati. Sebelum meninggal, RSUD Sidoarjo menolak merawat Muhtadi. Alasannya, Lapindo Brantas belum menyelesaikan tunggakan ke RS. Padahal, satu-satunya kesempatan berobat ketika itu adalah menggunakan bantuan pengobatan yang diberikan Lapindo.

    “Dari kejadian itu, saya sering kali kesal kalau mendengar ada orang miskin yang kesulitan dapat pengobatan. Kesannya seperti orang miskin memang benar-benar dilarang sakit,” pungkasnya.

    sumber: Liputan Khusus Harian Surya

  • Jelang 8 Tahun, Korban Lapindo Pasang 110 Patung

    Jelang 8 Tahun, Korban Lapindo Pasang 110 Patung

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Puluhan warga lumpur Lapindo sejak pagi bergotong royong membawa patung manusia untuk diletakan di Titik 21, Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin 26 Mei 2014. Patung-patung itu guna memperingati delapan tahun semburan lumpur Lapindo.

    Seniman yang memotori pembuatan patung, Dadang Christanto menjelaskan patung yang dibuatnya sejak satu bulan yang lalu sudah terkumpul sekitar 110 dan semua patung itu akan diletakan di tanggul. “Semuanya berjumlah 110 patung yang akan kami pasang,” kata dia kepada Tempo di sela-sela pemasangan patung, Senin, 26 Mei 2014.

    Jumlah 110 itu, kata dia, tidak ada makna filosofi khusus karena para korban lumpur Lapindo yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan patung hanya mampu membuat sebanyak itu. “Kami tiap hari bisa menghasilkan 4 sampai 5 patung,” kata dia.

    Sementara simbol patung, menurut Dadang, merupakan simbol bahwa korban lumpur meskipun delapan tahun ditelantarkan oleh pihak perusahaan PT Minarak Lapindo Jaya dan pemerintah, mereka masih bisa bertahan hidup dan masih bisa bertahan. “Inilah orang-orang pilihan yang sangat hebat,” kata dia.

    Patung tersebut dibuatnya berpasang-pasangan untuk menunjukan suatu keluarga korban lumpur, tangannya menengadah keatas menunjukan permohonan ganti rugi yang kian dilunasi sejak delapan tahun silam. “Namun untuk lebih lengkapnya nanti setelah pemasangan ini selesai akan ada maknanya semuanya,” ujar dia.

    Seniman yang saat ini tinggal di Australia ini menjelaskan bahwa aksi pagelaran patung itu merupakan aksi lanjutan dari aksi yang digelarnya pada tahun 2008 tahun silam. “Sehingga ini ada makna korelasi nanti.”

    Menurut Dadang, patung itu akan bertahan sekitar 4 bulanan karena campuran dari lumpur dan semen sehingga dipastikan dapat bertahan. “Yang saya khawatirkan malah bambu yang membuat patung itu berdiri,”katanya.

    Patung-patung itu dijadwalkan pemasangannya selama dua hari sejak pagi ini, sampai berita ini diturunkan mereka masih mampu memasang sekitar 20 patung manusia. Pemasangan itu terbilang sulit pasalnya ditancapkan pada bambu supaya patung itu bisa berdiri.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/05/26/058580387/Jelang-8-Tahun-Korban-Lapindo-Pasang-110-Patung

  • Rombongan Obor Marsinah Tabur Bunga di Tanggul Lumpur Lapindo

    Rombongan Obor Marsinah Tabur Bunga di Tanggul Lumpur Lapindo

    Sidoarjo – Rombongan obor Marsinah melakukan tabur bunga di atas tanggul lumpur Lapindo. Rombongan melakukannya di titik 10 A Tugu Kuning desa Siring kecamatan Porong Sidoarjo.

    Rombongan obor Marsinah berangkat dari Jakarta sejak tanggal 1 Mei 2014 untuk mengenang sosok Marsinah, sebagai pahlawan buruh yang telah berjasa memperjuangkan hak-hak buruh.

    Marsinah sendiri adalah Karyawan PT Catur Putra Surya, sebuah perusahaan yang memproduksi jam tangan yang berada di desa Siring Porong Sidoarjo. 11 tahun lalu, Marsinah meninggal demi memperjuangkan hak-hak buruh.

    Rombongan obor Marsinah telah melewati 20 kota termasuk mendatangi kota kelahiran dan tempat peristirahatan Marsinah selamanya di kota Nganjuk.

    Di atas tanggul lumpur Lapindo, rombongan obor Marsinah melakukan beberapa kegiatan, diantanya tiap-tiap perwakilan berorasi, membaca puisi serta menyalakan obor serta tabur bunga di atas tanggul.

    “Marsinah adalah pahlawan buruh, sampai saat ini Marsinah tidak mati. Masih ada Marsinah-Marsinah yang lain,” kata Salah satu korlap aksi Budi Wardoyo dari Politik Rakyat, Jumat (9/5/2014).

    Budi menambahkan, Marsinah adalah sosok wanita yang luar biasa, yang berani memperjuangkan hak buruh dengan nyawa taruhannya. Untuk itu, Budi dan rombongan berharap kepada pemerintah agar Marsinah di jadikan pahlawan buruh.

    “Kasus pembunuhan Marsinah harus segera diungkap,” pungkasnya.

    Jumat, 09/05/2014 17:30 WIB | Suparno – detikNews

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2014/05/09/173026/2578582/475/rombongan-obor-marsinah-tabur-bunga-di-tanggul-lumpur-lapindo

  • Korban Lapindo Memarahi Anggota DPRD

    indosiar.com, Sidoarjo – (Selasa : 29/04/2014) Warga korban lumpur Lapindo kembali mendatangi gedung DPRD setempat untuk menuntut pembayaran ganti rugi yang belum juga selesai. Pertemuan warga dengan anggota dewan berlangsung penuh amarah setelah warga merasa diabaikan.

    Puluhan korban lumpur Lapindo ini rencananya akan menemui anggota DPRD dan anggota pansus lumpur Lapindo untuk meminta klarifikasi putusan Mahkamah Agung terkait pembayaran ganti rugi bagi mereka. Namun mereka harus menelan kekecewaan karena tidak satupun anggota dewan yang menemui mereka.

    Terlanjur kecewa, korban lumpur ini kemudian menumpahkan kemarahan saat sejumlah anggota dewan mendatangi mereka. Kemarahan warga mereda setelah ketua pansus lumpur Lapindo mengajak warga berdialog di ruang rapat. Namun dialog kembali membuat warga kecewa. Karena anggota DPRD tidak memberikan jawaban yang memuaskan.

    Untuk kesekian kalinya, pihak DPRD Sidoarjo berjanji mendesak pemerintah mengambilalih tanggungjawab pembayaran ganti rugi, atau memberikan pinjaman kepada PT Lapindo. (Tim Liputan/Sup)

    Sumber: http://www.indosiar.com/fokus/korban-lapindo-memarahi-anggota-dprd_117316.html

     

  • Tak Ditemui Anggota Dewan, Korban Lumpur Lapindo Marah

    Tak Ditemui Anggota Dewan, Korban Lumpur Lapindo Marah

    Sidoarjo – Puluhan warga korban lumpur Lapindo mendatangi kantor DPRD Sidoarjo. Mereka datang atas undangan Emir Firdaus selaku ketua pansus lumpur Lapindo.

    Sayangnya kedatangan mereka awalnya justru ditolak Emir. Warga tidak diperkenankan masuk. Warga pun akhirnya bergerombol di area halaman parkir dalam gedung DPRD Sidoarjo. Mereka geram dengan sikap Emir.

    “Sebagai seorang anggota dewan harus bisa mengayomi, jangan hanya ada perlunya saja,” teriak Nanik, salah seorang warga korban lumpur lapindo, Senin (28/4/2014).

    Nanik mengatakan, warga oleh pihak kelurahan disuruh datang ke gedung DPRD Sidoarjo. Yang mengundang adalah Emir Firdaus. Namun Emir sendiri selaku pengundang justru tak ingin ditemui.

    “Ayo Emir cepat keluar, jangan hanya duduk dan sembunyi di balik jabatanmu sebagai anggota dewan,” tambah dia.

    Warga terus menghujat Emir. Mereka terus berteriak-teriak sehingga membuat gaduh gedung anggota dewa tersebut. Kemarahan warga yang terus memuncak dan makin memanas itu akhirnya membuat mereka diperbolehkan masuk. Mereka diizinkan masuk di ruang rapat DPRD.

    Warga akhirnya ditemui oleh Emir. Suasana masih memanas saat dilakukan hearing atau pertemuan antara warga korban lumpur lapindo dengan Emir. Warga ingin mengetahui maksud kenapa mereka dipanggil dan dikumpulkan di DPRD Sidoarjo.

    “Apa maksud dan tujuan kami untuk dikumpulkan,” kata Khosim salah satu warga korban lapindo lainnya.

    “Kami juga ingin mempertanyakan kenapa pembayaran belum dilunasi. BPLS masih terus bekerja melakukan penanggulan. Itu harus dihentikan,” tambah dia.

    Hingga pukul 13.00 WIB, suasana hearing di ruang rapat masih membahas mengenai pembayaraan pelunasan ganti rugi korban lumpur Lapindo, terutama membahas mengenai putusan MK. Ternyata masih banyak warga yang tidak memahami mengenai keputusan MK tersebut.

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2014/04/28/130405/2567376/475/tak-ditemui-anggota-dewan-korban-lumpur-lapindo-marah?9922032

     

  • Rakyat Menggugat Lapindo (Negara)

    Tanggal 26 Maret 2014 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan maklumat hukum baru yang memerintahkan negara untuk turun tangan mengatasi korban lumpur Lapindo, pembayaran ganti rugi belum juga selesai hingga 8 tahun berjalan.   

     

     

  • Lapindo Masih Menunggak Ganti Rugi Rp 850 Miliar

    Lapindo Masih Menunggak Ganti Rugi Rp 850 Miliar

    TEMPO.COJakarta – PT Minarak Lapindo Brantas masih menunggak ganti rugi atas 3.000 tanah dan bangunan milik warga di peta areal terdampak lumur Sidoarjo. Padahal, juru bicara Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Dwinanto, mengatakan berdasarkan ketentuan pemerintah, seharusnya perusahaan menyelesaikan ganti rugi paling lambat 2009.

    “Dari perpres, ganti rugi di dalam areal terdampak adalah tanggung jawab Lapindo dan maksimal dibayarkan dua tahun sejak 2007. Sekarang masih banyak warga yang belum dilunasi, sekitar 3.000,” kata Dwinanto ketika dihubungi Tempo, Rabu, 26 Maret 2014.

    Dwinanto mengatakan selama ini BPLS telah mengawasi pembayaran yang dilakukan oleh Lapindo kepada warga. Namun pembayaran kembali tersendat karena perusahaan beralasan ada masalah keuangan. “Kami selalu berupaya melakukan upaya penagihan sebatas kami mampu. Misalnya, lewat surat-menyurat, tegur-menegur, dan koordinasi soal pembayaran. Tetapi lebih dari itu di luar kewenangan kami,” katanya.

    Dwinanto mengatakan, awal 2013, pihak Minarak sempat berjanji melunasi tunggakan ganti rugi pada akhir 2013. Janji ini, kata Dwinanto, disampaikan dalam sebuah forum bersama Dewan Pengarah BPLS yang terdiri atas sejumlah menteri. “Memang tidak ada surat resmi dari mereka. Tetapi karena ini forum resmi dan ada notulensi rapat, kami anggap janji itu adalah sebagai pernyataan resmi,” kata Dwinanto.

    Lapindo Brantas diwajibkan membayar ganti rugi tanah dan bangunan milik korban lumpur Sidoarjo yang berada di dalam peta areal terdampak sebesar Rp 3,82 triliun. Saat ini Lapindo masih memiliki tunggakan ganti rugi Rp 850,91 miliar kepada warga di areal tersebut.

    Adapun warga yang berada di luar peta areal terdampak menjadi tanggung jawab pemerintah. Dwinanto mengatakan, untuk ganti rugi di luar peta areal terdampak, masih ada sekitar seribu berkas yang belum diselesaikan BPLS.

    Rabu, 26 Maret 2014, Mahkamah Konstitusi membacakan amar putusan permohonan uji materi korban Lumpur Sidoarjo atas UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang APBNP 2013. Dengan putusan ini, negara harus menjamin perusahaan segera melunasi ganti rugi yang menjadi hak warga.

    BERNADETTE CHRISTINA MUNTHE

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/03/27/206565859/Lapindo-Masih-Menunggak-Ganti-Rugi-Rp-850-Miliar

  • Korban Lumpur Lapindo Belum Tenang

    Korban Lumpur Lapindo Belum Tenang

     

    TRIBUNNEWS.COM, SIDOARJO —  Meski Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa negara wajib menjamin pelunasan ganti rugi, para korban lumpur Lapindo, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang berada di peta area terdampak merasa belum tenang.

    Mereka masih menantikan upaya konkret pelunasan ganti rugi itu. ”Kami tidak mau tahu uang ganti rugi itu dari mana asalnya, tetapi yang penting ada pelunasan secepatnya,” kata Yudo Wintoko, korban asal Desa Renokenongo, Porong, Kamis (27/3/2014), di Sidoarjo. Warga tidak peduli pelunasan tersebut dibayar oleh PT Lapindo Brantas Inc setelah dipaksa pemerintah atau dibayar menggunakan uang negara.

    Menurut Yudo, korban di wilayah peta area terdampak (PAT) sudah menunggu pelunasan ganti rugi selama delapan tahun sejak semburan lumpur Lapindo terjadi. Selama itu pula korban menanti ketegasan negara untuk menjamin nasib mereka.

    Rabu, MK memutuskan agar negara, dengan segala kekuasaan yang dimilikinya, harus dapat menjamin dan memastikan PT Lapindo Brantas Inc dapat melunasi ganti rugi terhadap masyarakat di wilayah PAT. Berdasarkan ketentuan hukum sebelumnya, ganti rugi di wilayah PAT menjadi tanggung jawab Lapindo dan di luar wilayah PAT menjadi tanggung jawab pemerintah.

    Keputusan MK tersebut merupakan permohonan enam warga yang tinggal di wilayah PAT. Mereka merasa selama ini didiskriminasi karena ganti rugi di luar wilayah PAT telah terselesaikan, sementara pelunasan ganti rugi terhadap mereka tak pernah jelas.

    Pembayaran ganti rugi terhadap warga di wilayah PAT yang harus ditanggung Lapindo masih Rp 1,5 miliar. Berdasarkan catatan Kompas, total warga yang tinggal di wilayah PAT dan berhak atas pelunasan itu sekitar 3.000 orang.

    Akibat ketidakjelasan pembayaran tersebut, sebagian besar warga di wilayah PAT mencari penghasilan dengan mengubah tanggul lumpur menjadi tempat wisata. Mereka mendapat penghasilan dari biaya parkir, jasa ojek motor, dan penjualan compact disc (CD) tentang lumpur Lapindo.

    Salah seorang warga yang menjual CD di tanggul, Harwati (38), mengaku masih ragu dengan tindak lanjut putusan MK itu.

    ”Kami sudah lama sering dibohongi. Kami juga sudah lama meminta pemerintah turun tangan, tetapi, kok, baru sekarang begitu. Jangan-jangan ada kepentingan politik karena sudah dekat pemilu,” katanya.

    Terkait dengan pelunasan ganti rugi, Harwati berharap pemerintah memilih mekanisme pembayaran yang tepat. Alasannya, selama ini warga di wilayah PAT terbagi dalam beberapa kelompok.

    Juru bicara Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Dwinanto, mengatakan, pihaknya masih menunggu instruksi lebih lanjut pasca putusan MK tersebut. Selama ini BPLS juga terus mendesak PT Minarak Lapindo Jaya yang berwenang melaksanakan pembayaran. (DEN)

    Sumber: http://www.tribunnews.com/regional/2014/03/28/korban-lumpur-lapindo-belum-tenang

  • Lapindo innuendo

    Lapindo innuendo

    After nearly eight years, justice has been delayed and, hence, denied, for many people affected by the mudflow disaster stemming from gas drilling activities in the East Java regency of Sidoarjo. The Constitutional Court’s verdict favoring those affected last week has provided relief as it holds the state responsible for compensating those made to suffer without discrimination.

    The Finance Ministry says it needs time to study the ruling, but as the court’s ruling is final and binding, the question now is when the people will have their rights fulfilled.

    The unanimous decision to grant the plaintiffs’ demand for the revision of the 2013 state budget is a testament to the state’s failure, if not reluctance, to protect citizens afflicted by disaster. Siti Askabul Maimanah, Rini Arti, Sungkono, Dwi Cahyani, Tan Lanny Setyawati and Marcus Johny Ranny had challenged the state budget for not allocating compensation despite the severity of the mudflow damage.

    Presidential Regulation No. 14/2007 requires PT Lapindo Brantas as the operator of the gas well to pay Rp 3.83 trillion (US$ 338 million) in compensation to residents of 12 villages near the epicenter of the disaster, Rp 3.04 trillion of which has been paid. The government, according to the regulation, is accountable for compensating residents outside those villages.

    Whatever the motive behind the sharing of the burden between the government and Lapindo, partly owned by the family of Golkar Party chairman and presidential candidate Aburizal Bakrie, all the victims deserve compensation. Regardless of the government’s demarcation to divide the responsibility, all victims are entitled to equal treatment.

    The court’s ruling provides legal certainty to mudflow victims of their right and justification for the government to push Lapindo to fulfill the compensation payments. Any attempt to buy time or negotiate the implementation of the verdict will amount to violation of the rule of law, which will only cost the government its credibility.

    It is unlikely that the government will dare turn a deaf ear to the verdict. The political year will force President Susilo Bambang Yudhoyono’s administration to do its utmost to take any measure possible to uphold the Constitution.

    With or without pressure, the government bears the responsibility to protect people affected by a disaster, either natural or man-made, as soon as it strikes. The long road the six mudflow victims took to reach justice would not have happened if state protection was guaranteed in the first place.

    The Supreme Court has unfortunately declared the mudflow in Sidoarjo a natural disaster, but as far as the Constitutional Court verdict is concerned, Lapindo cannot escape the responsibility of rehabilitating the lives of those displaced and the local economy hurt by the mudflow.

    The mudflow disaster shows the price we have to pay for allowing politics to blur efforts to mitigate disaster, which is a matter of humanity.

    Source: http://www.thejakartapost.com/news/2014/04/02/editorial-lapindo-innuendo.html

  • 5 Kekalahan Pemerintah atas Lapindo Brantas

    TEMPO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi korban lumpur Lapindo di lokasi peta terdampak, Rabu, 26 Maret 2014. Mahkamah membatalkan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013 karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi itu sama saja menguntungkan masyarakat yang masuk peta terdampak dan pihak Minarak Lapindo Jaya.

    Bagi pemerintah, menurut kuasa termohon, Mursid Mudiantoro, putusan itu berarti negara harus menalangi kewajiban PT Lapindo Brantas yang belum terbayar sekitar Rp 1,5 triliun sejak pembayaran macet pada 2008. “Kami selalu kalah melawan Lapindo. Kami berharap, dengan tangan negara melalui MK, hak kami bisa kembali,” ujarnya.

    Sejak tahun 2007, sedikitnya setiap tahun negara mengeluarkan minimal Rp 500 miliar untuk mengatasi lumpur Lapindo. Dengan kekalahan terakhir maka bakal ditambah Rp 1,5 triliun. Berikut ini sederet “kemenangan” PT Lapindo atas lumpur yang menenggelamkan 19 desa di Sidoarjo.

    1. Bencana Alam sebagai Penyebab

    Sampai enam tahun semburan lumpur Lapindo, tidak ada satu pun pihak Lapindo Brantas yang bisa disalahkan, kecuali karena bencana alam. Para tersangka yang berjumlah 13 dari pihak pengelola tidak bisa dipidanakan karena Polda Jawa Timur menghentikan penyidikan pada Agustus 2009.

    Sedangkan Paripurna DPR pada September 2009 pun menetapkan penyebab semburan Lapindo adalah bencana alam, bukan kesalahan manusia. Menurut Aburizal Bakrie, semburan Lapindo merupakan fenomena alam yang tidak pernah berhenti selama 30 tahun. “Bisa dibayangkan, tragedi muncrat lumpur ke permukaan mungkin dalam 30 tahun tak akan terselesaikan,” kata Ical, sapaan Aburizal, pada 14 Maret 2012 kepada Tempo.

    2. Dana APBN

    Presiden meneken Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (selanjutnya disebut BPLS). Dengan dibentuknya BPLS maka seluruh penanganan dampak semburan diambil dari dana APBN. Lapindo Brantas hanya mengurusi ganti rugi pada peta terdampak.

    Padahal kerugian di luar ganti rugi bagi korban sangatlah besar. Seperti laporan BPK, kerugian Biaya Ekonomi Langsung sampai Rp 19,8 triliun. Alokasi APBN untuk menangani Lapindo dari 2007 sampai 2012 mencapai Rp 6,4 triliun. Sedangkan Aburizal Bakrie mengaku sampai April 2012 sudah mengeluarkan Rp 9 triliun. “Sebenarnya berat karena setiap bulan kami harus mengeluarkan dana Rp 100 miliar,” kata Ical pada 14 Maret 2012.

    3. Gagal di Ranah Hukum

    Berbagai cara dilakukan untuk menggugat Lapindo Brantas. Pada April 2009, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait dengan penanganan perkara lumpur Lapindo.

    Sebelumnya, pada November 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan menolak gugatan perdata yang diajukan YLBHI dalam perkara penanganan korban lumpur Lapindo. YLBHI menggugat Presiden RI, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, BP Migas, Gubernur Jawa Timur, Bupati Sidoarjo, serta Lapindo Brantas Inc (Lapindo) sebagai turut tergugat. Majelis hakim menilai pemerintah dan Lapindo dianggap sudah melakukan upaya yang optimal. Atas putusan itu, YLBHI mengajukan banding. Setelah permohonan banding ditolak, mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

    Walhi pada Juni 2006 juga mengajukan gugatan class action terhadap PT Lapindo Brantas, pemerintah, dan BP Migas ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sayang, lagi-lagi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Desember 2007 menolak gugatan Walhi.

    4. Ganti Rugi Belum Lunas

    Menurut data BPLS sampai April 2012, dari seluruh nilai kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 3,831 triliun, baru dibayar Rp 2,910 triliun. Sisanya sebesar Rp 920,5 miliar masih belum jelas.

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam berjanji akan melunasi ganti rugi bagi korban pada akhir 2012. Namun kepastian itu bisa sirna karena Nirwan Bakrie pada Mei 2012 menyatakan Minarak Lapindo hanya sanggup membayar Rp 400 miliar. Sisa Rp 500 miliar ganti rugi yang masuk peta terdampak belum ada kepastian kapan akan dilunasi. Setidaknya, sampai Maret 2013, tanggungan ganti rugi Minarak Lapindo masih Rp 680 miliar.

    5. Penanganan Pusat Semburan

    Menurut BPLS, pusat semburan sudah bergeser sejauh 300 meter. Jumlah material semburan berupa air dan lumpur memang semakin berkurang. Pada awal letusan, semburan material mencapai 180 ribu meter kubik per hari. Sampai April 2012, semburan semakin berkurang menjadi 10-15 ribu meter kubik per hari.

    Meskipun begitu, sulit diketahui sampai kapan semburan lumpur akan berhenti. Awalnya, pada Agustus 2009, pemerintah mengambil alih penutupan pusat semburan. Namun, Juli 2010, pemerintah menyerah dan menetapkan untuk menyetop penghentian semburan Lapindo. Alternatif yang dipilih akhirnya mengalirkan lumpur melalui Sungai Porong.

    Analisis Journal of the Geological Society edisi Maret yang ditulis Tempo menyebutkan lumpur baru akan berhenti menyembur pada tahun 2037. Bayangkan, kolam penampungan lumpur sekarang sudah melebihi 6,6 juta meter persegi dengan panjang tanggul yang mengitari kolam mencapai 22,14 kilometer. Adapun tinggi tanggul berkisar 9-11 meter.

    EVAN | PDAT (Sumber Diolah Tempo, BPLS)

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/03/27/206565846/5-Kekalahan-Pemerintah-Atas-Lapindo-Brantas/1/0

  • MK Kabulkan Gugatan Warga Sidoarjo Soal Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 9 ayat (1) UU No 15 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013. MK juga menghapus tanggung jawab perbedaan ganti rugi antara Peta Area Terdampak (PAT) dan di luar PAT.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon,” kata Ketua Majelis Konstitusi Hamdan Zoelva dalam persidangan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (26/3/2014).

    Enam warga Sidoarjo, Jawa Timur, sebelumnya menguji materi pasal tersebut karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut berisi pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar PAT pada tiga desa. Ada pun bunyinya sebagai berikut:

    “APBN Tahun 2013 menyatakan, untuk untuk kelancaran Upaya Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun anggaran 2013 dapat digunakan untuk:

    a. Pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring dan Desa Pejarakan); dan sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo dan Kelurahan Mindi)”

    Para pemohon yakni Siti Askabul Maimanah, Rini Arti, Sungkono, Dwi Cahyani, Tan Lanny Setyawati, dan Marcus Johny Ranny adalah warga Sidoarjo yang sebelumnya tinggal di dalam PAT. Mereka mengaku dirugikan hak konstitusionalnya dan diperlakukan tidak adil dengan adanya UU tersebut.

    Warga di dalam PAT mengaku belum mendapatkan ganti rugi, padahal warga di luar PAT telah mendapatkan ganti rugi. Tuntutan mereka, korban lumpur Lapindo di dalam PAT mendapatkan hak yang sama dengan warga di luar PAT. Perbedaan ini yang membuat MK mengabulkan permohonan enam warga Sidoarjo tersebut.

    “Pasal 9 ayat (1) huruf a UU No 15 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN TA 2013 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Hamdan.

    “Sepanjang UU tersebut tidak dimaknai sebagai negara dengan kekuasaan yang ada harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah PAT oleh perusahaan yang bertanggungjawab untuk itu,” sambungnya.

    Hal ini menunjukkan Pasal 9 dalam UU APBN TA 2013 bertentangan dengan UUD 1945. Terutama Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang intinya mengenai penggunaan APBN untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. (vid/mad)

    Sumber: http://news.detik.com/read/2014/03/26/193846/2537837/10/mk-kabulkan-gugatan-warga-sidoarjo-soal-ganti-rugi-lumpur-lapindo

    [Putusan lengkap Mahkamah Konstitusi dapat dilihat di sini]

  • Korban Lumpur Lapindo Kehilangan Hak Pilih

    KBR68H, Jakarta – Sepuluh ribu warga korban lumpur Lapindo di empat desa Sidoarjo, Jawa Timur kehilangan hak sipilnya. 

    Koordinator Medialink, Ahmad Faisol mengatakan, warga di Desa Jatirejo, Siring, Ronokenongo dan Kedung Bendo sejak tiga tahun lalu tidak masuk dalam data pemerintah daerah maupun pusat.

    Menurut Faisol, akibat sejumlah desa tersebut tenggelam, status kependudukan para warga menjadi tidak lagi diakui. Hal ini menyebabkan mereka tidak bisa mengakses berbagai program sosial, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta hak pilih dalam Pemilu.

    “Mereka itu 4 desa yang tenggelam di tanggul lumpur itu, Jatirejo, Siring, Renokenongo, dan Kedung Bendo benar-benar kehilangan hak sipilnya. Mereka itu sudah tidak lagi terdaftar untuk peserta pemilu. Kalau dicek di DPT KPU, mereka tidak terdaftar sama sekali, termasuk di dalam proses pendataan Jamkesmas ini, nol-nol semua,” kata Ahmad Faisol, di sebuah hotel di kawasan Menteng, (12/3).

    Koordinator Medialink, Ahmad Faisol menambahkan, lembaganya bersama warga Sidoarjo telah mengajukan data kepada pemerintah daerah. Namun pemda setempat  tidak menyambut baik, dengan alasan tidak memiliki wewenang dalam pendataan. Karenanya, Medialink akan mengajukan data warga ke kementerian terkait agar hak sipil mereka bisa segera dipulihkan.

    Sumber: http://www.portalkbr.com/berita/beritapemilu/3167548_6033.html

  • Terdakwa dugaan korupsi lahan Lapindo minta penangguhan penahanan

    Terdakwa dugaan korupsi lahan Lapindo minta penangguhan penahanan

    LENSAINDONESIA.COM: Mantan Kepala Desa (Kades) Besuki Sidoarjo, M Siroj mengajukan eksepsi (bantahan) atas kasus korupsi penjualan lahan terdampak lumpur Lapindo yang didakwakan JPU kepadanya.

    Saat sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis (27/2/2014) ini, dalam eksepsinya kuasa hukum terdakwa, Ricky Panjaitan SH, menyebut dakwaan material yang sebelumnya disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Irwan Setiawan itu rancu. Ada inkonsistensi antara peran terdakwa dengan yang lain dalam kasus ini. “Ini malah campur baur,” jelasnya kepada wartawan usai sidang.

    Diungkapkan, bentuk inkonsistensi itu adalah tak jelasnya dakwaan JPU terkait proses pertemuan dengan petani, proses penyerahan uang hingga pengukuran lahan ketika jual beli tanah. Dia melihat bahwa peran terdakwa dalam jual beli ini bukan yang utama. Malah sebaliknya, Syuhadak (berkas terpisah) adalah koordinator lapangan untuk proses jual beli lahan. “Sebenarnya kasus ini berawal dari ikatan jual beli dengan delapan petani. Dari situ kemudian dilakukan pengukuran, tapi kena lumpur sehingga jumlahnya jadi membengkak. Ini yang membuat klien saya diajukan ke pengadilan,” katanya.

    Selain eksepsi, kuasa hukum terdakwa juga memohon dan menyerahkan penangguhan penahanan kepada majelis hakim. Terkait hal ini, ketua majelis hakim Sri Herawati menjelaskan, bahwa permohonan itu akan dipertimbangkan. “Dipertimbangkan apa dikabulkan atau tidak,” tegasnya.

    Untuk diketahui, berdasarkan penyidikan yang ada, maka terdakwa terindikasi melakukan pemalsuan dan penggelapan dana bantuan ganti rugi lahan warga terdampak lumpur Lapindo dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Dari hasil penyidikan, dia didakwa menggelapkan dana hingga 30 persen dari total yang digelontorkan pemerintah untuk para warga yang masuk dalam peta terdampak. “Perbuatan terdakwa sesuai dakwaan dan audit yang dilakukan, merugikan keuangan negara hingga Rp 603 juta,” papar JPU Irwan Setiawan.

    Untuk penggelapan dan pemalsuan yang dilakukan Siroj, yakni dengan memanipulasi luas lahan di kawasan Lapindo milik warga yang hendak dibeli BPLS. Salah satunya sawah milik warga seluas 2.435 meter persegi, dimana dalam laporan ke BPLS disebutkan seluas 1.334 meter persegi. Padahal saat itu, BPLS mematok Rp 1 juta per meter persegi. “Padahal sesuai data yang ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN), luas lahan milik warga mencapai 2.435 meter persegi. Dengan begitu, terdakwa terbukti melakukan penggelapan disertai penipuan,” ujarnya.

    Adapun pasal yang dijeratkan berlapis, yakni pasal 2 dan 3 UU No 31/1999 yang diperbarui No 21/2001 tentang Tipikor dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara. @ian

    Sumber: http://www.lensaindonesia.com/2014/02/27/terdakwa-dugaan-korupsi-lahan-lapindo-minta-penangguhan-penahanan.html

  • Korupsi Lahan Lapindo: Mantan Kades M. Siroj Diancam 20 Tahun Penjara

    LENSAINDONESIA.COM: Mantan Kepala Desa Besuki, M. Siroj akhirnya didudukan di kursi pesakitan Pengadilan Tipikor Surabaya, sebagai terdakwa dugaan korupsi jual beli lahan terdampak Lumpur Lapindo.

    Tak tanggung-tanggung dalam perkara ini, M Siroj diancam oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Sidoarjo dengan hukuman 20 tahun penjara.

    Berdasarkan nota dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Irwan setiawan, kasus yang menjerat terdakwa bermula saat pemerintah melakukan proses ganti rugi lahan terdampak milik ratusan kepala keluarga di Desa Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo pada 2010 lalu.

    Saat itu, Siroj masih menjabat Kades dan terbukti melakukan penyelewengan dana yang diperuntukkan bagi warga. Ia didakwa menggelapkan dana hingga 30 persen, dari total yang digelontorkan pemerintah untuk para warga yang masuk dalam peta terdampak.

    “Perbuatan terdakwa sebagaimana dalam dakwaan dan audit yang dilakukan merugikan keuangan negara hingga Rp 603 juta,” ujar Irwan (20/2/2014).

    Modus yang dilakuan Siroj, memanipulasi luas lahan milik warga yang hendak dibeli BPLS. Salah satunya sawah milik warga seluas 2.435 meter, disebutkan seluas 1.334 meter persegi. Padahal saat itu, BPLS mematok Rp 1 juta per meter persegi.

    “Padahal sesuai data yang terdapat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), luas lahan milik warga mencapai 2.435 meter persegi. Dengan demikian terdakwa terbukti melakukan penggelapan disertai penipuan,” tegasnya.

    Atas perbuatan itu, JPU menjerat pasal berlapis kepada terdakwa. Yakni pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak pidana korupsi dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.

    Terkait penangguhan penahanan dari tahanan kejaksaan ke tahanan kota, sebagaimana diajukan penasihat hukum terdakwa, majelis hakim yang diketuai Sri Herawati menjelaskan akan mempelajari dulu berkasnya.

    “Kami terima surat permohonannya, tapi akan dipertimbangkan dulu,” jelasnya.

    Siroj dilaporkan warganya pada awal 2012 lalu, kerena dicurigai telah memainkan dana dari BPLS. Setelah dilaporkan ke Polres Sidoarjo, ia ditetapkan sebagai tersangka September 2012.@ian

    Sumber: http://www.lensaindonesia.com/2014/02/22/korupsi-lahan-lapindo-mantan-kades-m-siroj-diancam-20-tahun-penjara.html