Category: Suara Publik

  • Lumpur dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

    Ada argumen kuat untuk mengikuti pendapat alm. Prof. Dr. Nikolaus Drijarkara. Rama Drijarkara menegaskan bahwa sila yang paling mendasar, dalam arti etis, adalah sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Mengapa sila ini? Karena tanpa kemanusiaan yang adil dan beradab, semua sila lain menjadi cacat. Sebaliknya, meskipun tanpa empat sila lain, sila kedua belum mengembangkan sepenuhnya dimensi-dimensi potensial manusia, akan tetapi asal seseorang, dan begitu pula hubungan antar orang, menjadi adil dan beradab, dasar situasi yang secara etis benar dan mantap sudah diletakkan. Dengan kata lain, hanya atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab empat sila lain bisa bermutu.

    Mari kita lihat tempat kunci sila kedua dengan sedikit lebih rinci. Pertama harus dikatakan bahwa kita memang harus mulai pada manusia, dan bukan pada Tuhan. Bukan karena manusia lebih tinggi daripada Tuhan – Tuhan tentu jelas lebih tinggi daripada manusia – melainkan karena sebagai manusia kita hanya dapat bertitik tolak dari kemanusiaan. Setiap orang yang mnengklaim bertolak langsung dari Tuhan otomatis sudah sesat dan menyesatkan. Ia adalah manusia, dengan pengertian manusia dan wawasan manusia, dan tidak bisa langsung mengatasnamakan Tuhan. Maka manusia senang atau tidak harus mulai dari dirinya sendiri. Tanpa kemanusiaan, tidak ada dimensi manusia lain. Jadi tanpa kemanusiaan tak ada dimensi lain, tak ada kebangsaan, tak ada kerakyatan, tak ada Ketuhanan (tetapi, sekali lagi, Tuhan tentu ada tanpa kemanusiaan, tetapi bukan Ketuhanan sebagai penghayatan dan pengakuan manusia terhadap Tuhan).

    Tetapi kemanusiaan yang bagaimana? Dimensi hubungan natar manusia yang menjadi syarat segala hubungan yang baik adalah keadilan. Adil berarti, mengakui orang lain, mengakui dia sebegai manusia, dengan martabatnya, dengan menghormati hak-haknya. Cinta itu mewujudkan hubungan antar manusia paling mendalam dan berharga, tetapi kalau dia melanggar keadilan, dia bukan cinta dalam arti yang sebenarnya. Kejujuran yang tidak adil bukan kejujuran. Dan kebaikan yang tidak adil kehilangan harkat etisnya.

    Tetapi keadilan tidak berdiri sendiri. Memperjuangkan keadilan hanyalah etis apabila dilakukan dengan cara yang beradab. Tanpa sikap beradab keadilan menjadi tidak adil. Itulah seninya sila kedua :”Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan salah satu rumusan cita-cita dasar manusia yang paling indah dan mendalam! Jadi kemanusiaan hanyalah utuh apabila adil dan beradab.

    Dari situ sudah dapat ditarik sebuah kesimpulan. Gasis paling bawah yang menjamin harkat etis manusia adalah keberadaban. Bertindak dengan beradab tentu belum cukup kalau kita menghadap kewajiban kita sebagai manusia dalam masyarakat dan dunia, akan tetapi sudah merupakan titik berpijak yang menjamin moralitas pada dasariah. Sebaliknya, bertindak dengan tidak beradab, demi tujuan baik pun, adalah tidak mutu dan tidak etis.misalnya orang yang memperjuangkan keyakinan politik atau keyakinan keagamaannya dengan cara yang tidak beradab justru merendahkan etika politik dan menghina agamanya sendiri. Sebenarnya banyak masalah dalam masyarakat kita sudah akan terpecahkan asal saja kita bertekad bersama untuk selalu bertindak secara beradab. Tak perlu dulu icara akhlak mulia, cukup kalau kita mau membawa diri sebagai makhluk yang beradab saja. Karena keberadaban itulah yang membedakan manusia dari binatang. Jadi kita mestinya bertekad untuk tidak pernag bertindak secara tidak beradab, secara brutal, secara kejam atau keji, secara beringas, secara kasar tak sopan. Tekad ini justru perlu dipegang dalam memperjuangkan yang baik. Begitu misalnya tindakan kasar dan brutal atas nama agama merupakan penghinaan terhadap agama yang diperjuangkan sendiri tak mungkin tindakan tak beradab dan brutal berkenan di hadapan Tuhan.

    Karena keadilan dan keberadaban merupakan syarat harkat etis segala tindakan manusia, kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan inti Pancasila.

    Hal itu dapat diperlihatkan pada sila-sila lain. Ketuhanan Yang Maha Esa yang disertai sikap tak adil atau tindakan tak beradab dan brutal menjadi tidak mutu dan menyabot makna Ketuhanan sendiri. Memang selama sejarah umat manusia sampai hari ini banyak kekasaran, kejahatan, kebrutalan dilakukan atas nama manusia. Semuanya itu menghina Tuhan. Orang yang bertindak brutal, kasar dan tidak beradab jangan berani mengatasnamakan Tuhan atau agama. Begitu pula nasionalisme yang terungkap dalam sila Persatuan Indonesia, selalu harus adil dan beradab kalau mempertahankan harkatnya. Mengaku cinta pada bangsa sendiri tetapi bersikap arogan dan brutal terhadap bangsa lain merusak harkat kebangsaan. Kerakyatan pun kalau tidak memperhatikan keadilan misalnya menjadi kediktatoran mayoritas yang melanggar hak-hak asasi minoritas – menjadi wahana kejahatan. Kerakyatan yang mencuat dalam tindakan tak beradab menjadi keganasan massa – rule of the mob dalam bahasa Inggris – yang memuakkan karena bisa menjadi brutal dan sampai ke pembunuhan. Kerakyatan Pancasila adalah kerakyatan yang adil dan beradab. Keadilan sosial adalah menarik bahwa kata adil – dan hanya kata adil, muncul dua kali dalam Pancasila – hanya wajar kalau diusahakan secara beradab. Keadilan kalau diperjuangkan dengan ancaman dan cara paksa, secara arogan, brutal, egois tdak beradab bukan lagi keadilan, melainkan egoisme ideologis. Memperjuangkan keadilan dengan cara biadab merusak harkat keadilan sendiri dan dalam kenyataan lalu sering menghasilkan rezim politik di bawah seorang diktator.

    Kalau Lumpur Porong hasil pengeboran Lapindo dilihat dari sudut kemanusiaan yang adil dan beradab, kelihatan segala dimensi malapetakanya itu. Fakta yang sangat relevan sangat sederhana. Lumpur Porong membebani negara kita yang sudah kekurangan dana dengan biaya tambahan luar biasa. Misalnya biaya untuk membuat jalan-jalan dan jalur kereta api yang vital di jantung Jawa Timur tidak sampai tenggelam. Ada bahaya sungguh-sungguh bahwa sebagian wilayah Jawa Timur, bagian yang padat penduduk dan sangat produktif bisa untuk selamanya dibuat tidak dapat dihuni. Tetapi fakta yang paling memilukan, ada 10.000 orang yang tenggelam rumah, pekarangan dan tempat kerjanya yang dengan demikian, hancur seluruh eksistensinya. Dan bahwa dari mereka ada yang sampai saat tulisan ini ditulis, 17  bulan sesudah bor itu meledak, belum juga menerima ganti rugi. Dan itu semuanya di negara yang mendasarkan diri pada kemanusiaan yang adil dan beradab.

    Di sini bukan tempatnya untuk berspekulasi sejauh mana Lapindo dengan pengeborannya harus dipersalahkan. Hal itu seharusnya dibikin jelas dalam sebuah perkara pengadilan. Di sini hanya mau ditunjuk betapa malapetaka yang menimpa masyarakat yang terkena lumpuyr Lapindo itu menantang pengakuan kita akan kemanusiaan yang adil dan beradab.

    Mereka itu mengalami kehancuran, bukan karena malapetaka alami murni, melainkan karena tindakan manusia. Itulah inti ketidakadilan yang mereka rasakan. Bahwa manusia-manusia yang melakukan operasi pencarian kekayaan dibawah kulit bumi bertindak dengan ceroboh sampai sekarang tidak terbantah. Kita menyaksikan sesuatu yang khas dalam dunia usaha – dan dalam wawasan para pejabat negara yang bertanggungjawab atas keselamatan masyarakat, – yaitu kecongkakan sebuah perusahaan besar yang tidak berpikir pada masyarakat kecil di dekatnya, yang dalam kasus Porong melakukan pengeboran tanpa memakai casing yang seharusnya dipakai untuk menjamin bahwa bahan yang keluar dari perut bumi tidak masuk ke dalam celah-celah tanah. Dan kali ini kecerobohan itu mempunyai akibat fatal. Masalahnya bukan bahwa mereka acuh tak acuh terhadap suatu kerugian masyarakat, melainkan bahwa mereka menganggap enteng kemungkinan bahwa pengeboran itu bisa gagal. Jadi bukan pengabaian total terhadap orang kecil, melainkan bahwa orang kecil, ya massa masyarakat, seakan-akan dilupakan. Bukan karena jahat, melainka karena sembrono. Itulah yang mendasari ketidakadilan di negara ini berbeda dengan beberapa di negara dimana kelas atas kejam terhadap massa rakyat, di Indonesia ada budaya perhatian terhadap orang kecil, tetapi dalam kenyataan perhatian itu dipojokkan oleh suatu wawasan yang hampir seluruhnya dikuasai oleh pertimbangan keuntungan perusahaan dan akses ke pusat-pusat kekuasaan. Seakan-akan kita di Indonesia hidup dalam dua dunia, atau ada dua bangsa di NKRI kita ini, mereka yang cepat atau lambat terbawa ke atas dalam pusaran naik akumulasi modal dan kemodernan akibat globalisasi. Dan mereka yang harus hidup dari dua Dollar US per hari atau kurang dan yang cita-citanya adalah survival, penjaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Dua-duanya hidup berdampingan, tetapi bangsa yang kedua oleh bangsa yang pertama- bangsa dalam angin naik- hampir tidak diperhatikan lagi. Itulah yang terjadi di Porong dan belakangan, sesudah terjadi malapetaka terjadi, tentu semua menyesalkan pengeboran itu. Sebuah penyesalan yang tidak banyak terasa oleh para korban yang begitu lambat merasakan diberi perhatian sungguh-sungguh.

    Kembali ke wawasan “kamu modal dan kuasa” yang hampir seluruhnya dipenuhi oleh kepentingan kemajuan ekonomis dalam rangka globalisasi sehingga perhatian spontan pada massa masyarakat tidak menembus lagi pengambilan keputusan. Wawasan yang buta terhadap kenyataan masyarakat itru tentu ajkan membahayakan masa depan bangsa. Situasi ini adalah unsustainable secara sosial. Masyarakat kita tidak senantiasa akan terus menerus menerima ketidakadilan itu dengan damai dan pasrah. Kita jangan mengharapkan kekerasan dalam masyarakat berkurang kalau mereka terus tidak diberi perhatian.

    Kadang-kadang kebutaan perusahaan-perusahaan terhadap masyarakat biasa berbalik menjadi kebrutalan terbuka/ pada tanggal 11 Oktober 2007 terbaca di sebuah harian Ibukota bahwa di Tangerang ada developer yang memagari dengan tembok tinggi sebuah kampong sebesar delapan atau sembilan rumah yang terletak di tengah-tengah tanah yang mau dikembangkannya, yang menolak untuk mau pergi, sesudah sebelumnya memblokir satu demi satu jalan-jalan yang menghubungkan kampung-kampung itu dengan dunia luar. Satu-satunya jalan ke luar bagi kampong itu – yang untuk terdiri ata orang-orang lanjut usia – adalah sebuah celah selebar  50 cm yang masih terbuka. Semua barang lebih  besar harus diangkut melalui tangga yang naik ke atas tembok tiga meter itu. Kalau kelakuan semacam itu dibiarkan terus, negara Indonesia akan menghadapi masa yang  berat di masa mendatang. Kebrutalan dan ketakpedulian terhadap massa rakyat yang terdiri atas orang kecil tak mungkin akan ditelan terus.

    Yang gawat bahwa ketidakadilan dalam kesempatan rakyat indonesia bisa maju tidak keluar dari sebuah kebencian atau rencana jahat khusus, melainkan merupakan akibat kecerobohan, kelalaian dan kurang perhatian pada kemungkinan bahwa ada orang yang menderita. Sebuah rencana yang jahat bisa langsung digugat dan dilawan. Tetapi ketidakadilan yang karena kurang perhatian, karena katakana, telinga orang-orang dia tas sudah penuh dengan bunyi keras ipod, cell phone dan iklan mereka sehingga jeritan mereka yang ketinggalan tidak kedengaran lagi, bisa menjadi kebiasaaan, dan kebiasaan hanya akan diubah dengan ledakan.

    Akhirnya perhatian pada orang kecil, wawasan yang betul-betul mau adil juga merupakan tantangan bagi keberadaan bangsa. Sebagai bangsa yang beradab, apa kita mau menerima bahwa terjadi perkembangan-perkembangan mengagumkan dan sebagian-sebagian cukup besar, bangsa tetap terancam kemiskinan dan keputusasaan?

    Franz Magnis-Suseno, tulisan ini disampaikan pada penyerahan Korban Lumpur Award, tanggal 26 Oktober 2007

  • Bersama (Siapa) Kita (Supaya) Bisa(?)

    “Bersama Kita Bisa” adalah semboyan yang dikumandangkan duet SBY-JK dalam kampanye pilpres 2004. Semboyan itu berperan dalam membawa duet itu ke kursi kepresidenan. Pidato kenegaraan (15/8/2008) diakhiri dengan: ”Harus Bisa! Apa pun masalahnya, kapan pun masanya, seberapa pun keterbatasannya, kalau kita bermental bisa, kita semua bisa dan Indonesia pasti bisa.”

    Akan tetapi, ternyata pada 11 September 2008, pemerintah mengeluarkan pernyataan mengejutkan: ”Tidak bisa menutup lumpur Lapindo”. Mengapa pemerintah mudah menyatakan tidak bisa menutup lumpur yang sudah dua tahun lebih menyengsarakan puluhan ribu warga Porong dan merugikan jutaan warga Jawa Timur? Apa yang terjadi hingga pemerintah menyerah dan terpaksa mengingkari semboyan ”Bersama Kita Bisa”?

    Keputusan pemerintah untuk menyerah didasarkan informasi tenaga ahli, terutama ahli geologi, yang menyatakan, bencana lumpur Lapindo adalah akibat gempa bumi dan aliran lumpur tidak dapat dihentikan.

    Padahal, ada pendapat bertentangan yang muncul dari tenaga ahli, khususnya ahli pengeboran (drilling engineer). Juga datang dari sejumlah ahli luar negeri, dari institusi terhormat dengan kredibilitas tinggi. Pemerintah seharusnya mengetahui adanya para ahli yang berpendapat berbeda, tetapi tidak pernah dimintai pendapat mereka.

    Merasa tak mampu

    Pemerintah tak bisa menutup lumpur karena memilih bersama para ahli yang tidak yakin bahwa aliran lumpur itu dapat dihentikan, merasa tidak mampu untuk dapat menutup atau mematikan sumber lumpur. Namun, jika bersama para insinyur pengeboran itu, pemerintah akan yakin sumur itu bisa dihentikan. Jadi, semboyan kampanye SBY-JK tahun 2004 perlu disesuaikan menjadi: ”Bersama (ahli pengeboran yang percaya diri) Kita Bisa (mematikan sumber lumpur)”.

    Pertanyaannya, mengapa pemerintah memilih bersama tenaga ahli yang tidak percaya bahwa sumber lumpur itu bisa ditutup? Mengapa pemerintah tidak memilih bersama tenaga ahli berpengalaman dan percaya bahwa mereka memiliki kemampuan dan keahlian untuk menutup sumber lumpur? Apakah pemerintah dirugikan jika memercayai kemampuan anak bangsa yang juga memiliki kepercayaan diri?

    Pemerintah sama sekali tidak dirugikan, baik secara ekonomi maupun politik. Sesuai Perpres No 14/2007, pemerintah menanggung biaya penanggulangan dampak dan biaya hidup untuk korban yang tinggal di daerah di luar peta lampiran perpres itu.

    Tahun 2007, biaya yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 700 miliar. Tahun 2008 bertambah, bisa di atas Rp 1 triliun. Juga tahun 2009 dan seterusnya, sedangkan biaya untuk menutup sumber lumpur diperkirakan sekitar 80 juta-120 juta dollar AS.

    Memang belum pasti 100 persen sumber lumpur dapat ditutup. Tetapi, melihat pengalaman para insinyur pengeboran yang lebih dari 30 tahun dengan prestasi sejenis yang meyakinkan, peluang berhasil amat besar. Insinyur pengeboran yang lain, saat berpengalaman baru beberapa tahun, berani menyatakan, dia bisa menutup semburan gas yang luar biasa besar, yang semula akan ditutup Red Adair dari AS. Ahli lain, dengan kemampuannya, telah berhasil membuat perangkat lunak simulasi cara mematikan semburan dan telah diverifikasi oleh hasil perangkat lunak luar negeri.

    Apakah mereka terlalu percaya diri dan mendahului keputusan Tuhan? Tidak! Mereka memiliki kepercayaan diri berkat pengalaman selama 30 tahun lebih didukung kemampuan yang dimiliki. Mereka adalah anak bangsa yang cerdas dan berkemampuan yang merasa berutang pada bangsa dan ingin membayarnya dengan keahliannya. Mereka adalah anak bangsa yang bermartabat, yang percaya pada kemampuan dan pengalaman mereka.

    Percaya diri

    Jika sikap itu dianggap takabur, Bung Karno, Bung Hatta, serta para pendiri bangsa tentu akan kita anggap takabur saat mendirikan bangsa Indonesia. Bahwa kondisi negara kita amburadul, bukanlah karena rasa percaya diri para pendiri bangsa, tetapi karena sikap kebanyakan pemimpin bangsa kita yang tidak benar, termasuk sikap pesimistis dan tidak percaya diri saat mengatakan, kita tidak bisa menutup sumber lumpur Lapindo.

    Mengapa pemerintah memilih bersama para ahli yang pesimistis, yang notabene tidak mempunyai banyak pengalaman lapangan, daripada bersama para ahli yang optimistis dan berpengalaman? Untuk apa Presiden berpidato berkali-kali memompakan optimisme jika pemerintah sendiri lebih percaya kepada tenaga ahli yang pesimistis? Hal itu jelas merupakan kerugian imaterial yang amat besar.

    Bersama para ahli yang merasa tidak mampu, kurang pengalaman, kurang percaya diri, dan pesimistis kita tidak bisa menutup sumber lumpur itu. Bersama para ahli yang mampu, berpengalaman, percaya diri, dan optimistis, kita bisa menutup sumber lumpur. Lalu bersama siapa?

    Uraian itu jelas menggambarkan bersama siapa seharusnya kita, yaitu bersama para ahli pengeboran yang berpengalaman, percaya diri, bemartabat, punya integritas dan niat baik. Jika dianggap belum jelas keterangannya dan karena itu pemerintah belum yakin, mereka bisa dipanggil untuk menjelaskan.

    Jika perlu, dilakukan dialog dengan para ahli yang tidak yakin sumber lumpur dapat ditutup, yang dihadiri pihak ketiga, yaitu tenaga ahli, berpengalaman dari institusi luar negeri yang terhormat dengan kredibilitas tinggi.

    Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/20/00343277/bersama.siapa.kita.supaya.bisa

  • Korban Lapindo Belum Merdeka

    Korban Lapindo Belum Merdeka

    Pada Agustus ini, setiap kali menelusuri jalan raya di Jakarta, kita akan selalu menemukan pemandangan yang membangkitkan jiwa nasionalisme. Di sepanjang jalan, para pedagang bendera Merah-Putih dengan berbagai ukuran sedang menjajakan dagangan mereka.

    Bukan hanya bendera Merah-Putih yang menjadi komoditas andalan di bulan Agustus ini, tapi juga berbagai peralatan dan aksesori yang dapat digunakan untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-63.

    Bulan ini 63 tahun yang lalu, para pahlawan kita gigih berjuang dengan mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan Indonesia, sebuah negara baru yang akan melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.

    Untuk itulah, sebuah kewajaran pula bila seluruh rakyat Indonesia merayakan hari yang bersejarah itu dengan sukacita. Terlebih ada ungkapan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya.

    Sayangnya, pada tahun ini tidak semua warga memperingati hari kemerdekaan negerinya dengan sukacita. Tak jauh dari Kota Pahlawan Surabaya, tepatnya di kawasan Porong, Sidoarjo, sudah dua

    tahun ini ribuan warga kehilangan nafkah, rumah, bahkan juga kehilangan harapan mereka untuk menatap masa depan, akibat semburan lumpur Lapindo.

    Adalah Mbok Ma, seorang nenek tua warga Dusun Sengon, Renokenongo, Sidoarjo. Seperti yang ditulis di web korban Lapindo, selama ini nenek tersebut hidup sendiri di rumah yang berukuran 5 x 6 meter.

    Nenek itu hidup tanpa pekerjaan dan tanpa uang simpanan di bank. Ia bisa hidup layak dan bahagia sekalipun tanpa kerabat. Itu semua karena ia hidup di Desa Renokenongo.

    Kebahagiaan Mbok Ma ini tiba-tiba pudar seiring munculnya semburan lumpur Lapindo yang menenggelamkan kampungnya. Tak hanya rumahnya yang hancur, tapi juga kebahagiannya dalam hidup bertetangga di sebuah desa.

    Bukan hanya Mbok Ma yang mengalami nasib tragis. Ada Bapak Yakup beserta istrinya, yang meninggal pada April lalu. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, keduanya meninggal karena sesak napas
    akibat menghirup gas beracun.

    Selain sepasang suami-istri di atas, ada korban lain dari warga Siring Barat. Dia bernama Unin Qoriatul. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan, di dalam saluran pernapasannya terdapat cairan yang tampak dalam bentuk bayangan gas. Kini kondisi kesehatannya terus menurun.

    Selain warga Siring, warga Jatirejo Barat juga mengalami nasib sama. Seorang ibu bernama Luluk meninggal pada Maret 2008 lalu. Penyebab kematiannya sama, yakni mengalami sesak napas akibat
    menghirup gas beracun di sekitar rumahnya.

    Sementara itu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Walhi Jawa Timur menyebutkan bahwa semburan lumpur Lapindo ternyata juga mengandung gas beracun yang berbahaya bila terhirup oleh manusia.

    Winarko, seorang warga asli Sidoarjo, bahkan khawatir akan lahir generasi cacat akibat gas beracun dari semburan lumpur Lapindo.

    Mbok Ma, Bapak Yakup dan istrinya, Unin Qoriatul, serta warga korban Lapindo lainnya adalah sebagian warga negara Indonesia yang sejak dua tahun yang lalu telah jauh dari kata merdeka. Mereka dihinakan dan dihilangkan nafkahnya, bahkan juga hidupnya, oleh lumpur Lapindo.

    Lantas, ke mana perginya negara yang dulu dicita-citakan akan melindungi dan menyejahterakan rakyat? Negara yang seharusnya berada di garda depan dalam memperjuangkan hak-hak warganya ternyata justru “bersujud” di hadapan PT Lapindo.

    Sejak awal Lapindo telah melucuti satu demi satu kekuasaan dan kewibawaan negara. Sejak dari proses perizinan, korporasi ini telah membuat negara jadi sangat tak berdaya.

    Aturan tantang tata ruang wilayah yang menempatkan kawasan Porong sebagai kawasan permukiman pun dengan mudahnya ditabrak Lapindo. Akhirnya, korporasi itu pun mendapat izin untuk mengeksploitasi kawasan yang kini telah menjadi kubangan lumpur itu.

    Untuk mengatasi semburan lumpur itu, semula pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo. Dalam keputusan tersebut secara
    jelas disebutkan tanggung jawab Lapindo untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan persoalan sosial yang muncul akibat semburan lumpur.

    Regulasi itu kemudian diganti dengan Peraturan Presiden No. 14/2007, yang justru berupaya meringankan bahkan menghilangkan tanggung jawab PT Lapindo atas dampak sosial dan lingkungan hidup dari semburan lumpur panas itu. Setidaknya ada dua hal dalam peraturan presiden tersebut yang membebaskan Lapindo dari tanggung jawab tersebut.

    Pertama, dalam peraturan presiden itu terdapat pembagian wilayah kelola yang menjadi tanggung jawab negara dan Lapindo (pembuatan peta wilayah yang terkena dampak dan di luar peta terkena dampak). Padahal sebelumnya semua menjadi tanggung jawab Lapindo akibat kelalaiannya melakukan pengeboran.

    Kedua, skema penanganan dampak sosial dan lingkungan direduksi menjadi skema jual-beli. Padahal dampak sosial dan ekologi tidak bisa hanya diselesaikan dengan skema jual-beli aset korban.

    Kini Perpres No. 14/2007 sudah direvisi lagi menjadi Perpres No. 48/2008. Namun, peraturan baru itu hanya untuk memperluas peta dampak semburan lumpur Lapindo. Roh Perpres No. 48/2008 itu tetap saja menilai bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam sehingga uang rakyat dari anggaran negara harus tetap digelontorkan untuk menyubsidi sebuah korporasi besar yang seharusnya bertanggung jawab atas malapetaka itu.

    Negara, yang seharusnya melindungi rakyatnya, kini harus bertekuk lutut pada Lapindo. Sementara dulu Indonesia tunduk pada korporasi Belanda yang bernama VOC, kini negara harus kembali tunduk pada sebuah korporasi yang kebetulan dekat dengan pusat kekuasaan. Sejatinya, tak hanya korban Lapindo belum merdeka, tapi juga negara ini.

    Negara belum mampu melepaskan diri dari penjajahan korporasi yang sepak terjangnya merugikan publik. Kasus Lapindo adalah contoh yang baik bagi kita untuk merefleksikan kembali arti kata merdeka.

    # Pemerhati Lingkungan Hidup, Bekerja di OneWorld-Indonesia

    © Koran Tempo

  • Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Korban Lapindo Menagih Janji

    Yang terhormat Presiden Republik Indonesia selaku pelayan rakyat Indonesia. Saya bertindak untuk dan atas nama korban lumpur Lapindo dengan kuasa kemanusiaan, bermateraikan lembaran kristal air mata korban Lapindo yang telah kering, yang sebentar lagi dapat berubah mencair mendidih, melebihi panas lumpur Lapindo.

    Bapak Presiden, korban Lapindo selama ini bernasib tidak sebaik yang diiklankan di media massa. Saya hanya mengingatkan bahwa Lapindo Brantas Inc telah membuat kesepakatan penyelesaian dengan pemerintah sehingga terbit Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 / 2007).

    Pasal 15 Perpres itu menentukan:

    Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1).

    Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).

    Dahulu, untuk memperoleh pembayaran 20 persen jual-beli tanah dan rumah korban Lapindo tersebut harus melalui aksi massa. Sekarang, ketika dua tahun kontrak rumah korban Lapindo berlalu, PT. Minarak Lapindo Jaya (yang ditunjuk Lapindo Brantas Inc) tidak bersedia membayar 80 persen terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat (petok D, leter C, gogol dan yasan). Perlu saya tekankan lagi, cara penyelesaian sosial korban Lapindo adalah “jual-beli” tanah dan rumah korban yang kini telah berubah menjadi kekayaan danau lumpur itu.

    Bapak Presiden, mengapa PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar untuk melunasi sisa pembayaran 80 persen kepada korban Lapindo yang tanahnya belum bersertifikat? Padahal diantara mereka telah menandatangani Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB)? Hal itu disebabkan PT. Minarak Lapindo Jaya menuruti pendapat notaris/pejabat pembuat akte tanah (PPAT) yang digunakannya.

    Saya mengingatkan kilas balik perjalanan kesepakatan segitiga antara pemerintah, Lapindo Brantas Inc dengan korban Lapindo. Pada 24 April 2007 korban Lapindo dari Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas) I Sidoarjo menghadap Wakil Presiden RI yang mewakili Bapak Presiden. Dalam pertemuan itu hadir Menkokesra, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta dan Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN).

    Risalah Rapat 24 April 2004 yang dipimpin Bapak M. Jusuf Kalla itu menyepakati sisa pembayaran sebesar 80 persen dilakukan bersama dengan pembayaran kepada masyarakat di empat desa (menurut Peta Wilayah Terdampak 22 Maret 2007) pada bulan April 2008. Pak Presiden, sekarang ini sudah bulan Agustus 2008, bulan kemerdekaan, tapi korban Lapindo masih jauh dari merdeka.

    Soal tanah-tanah yang belum bersertifikat, pada tanggal 2 Mei 2007 telah disepakati oleh perwakilan korban Lapindo, Menteri Sosial, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo dan PT. Minarak Lapindo Jaya, yang intinya menentukan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, SK gogol diperlakukan sama dengan tanah-tanah bersertifikat. Pak Presiden, mayoritas tanah korban Lapindo belum bersertifikat.

    Selepas dari penandatanganan Risalah Kesepakatan pertemuan tersebut, PT. Minarak Lapindo Jaya kembali ingkar. Setelah mulai jatuh tempo pembayaran 80 persen (bertahap, mulai April 2008), lagu lamanya dinyanyikan lagi: PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar. PT. Minarak Lapindo hanya mau membayar rumah yang telah tenggelam, sedangkan tanahnya akan diganti dengan tanah kaplingan (bekas sawah) yang disediakan oleh perusahaan lain di bawah Grup Bakrie. Sedangkan uang muka 20 persen tadi dianggap hibah kepada warga korban Lapindo.

    Kelihatannya menguntungkan korban Lapindo, tapi kenyatannya tidak sebab tanah kaplingan penggantinya itu masih belum jelas, penyerahannya 8 bulan hingga setahun, dan harga asalnya hanya sekitar Rp. 200 ribu/m2, sedangkan tanah pemukiman/pekarangan korban Lapindo telah disepakati Rp. 1 juta/m2. Meskipun ada janji bahwa nantinya korban Lapindo boleh menjual tanah pengganti itu seharga Rp. 1 juta/m2 tetapi itu sudah menyimpang dari pasal 15 Perpres No. 14/2007.

    Tak ada kepastian bahwa PT. Minarak Lapindo Jaya akan patuh dengan perjanjian yang baru itu, sebab PT. Minarak Lapindo Jaya sudah ingkar dengan beberapa kesepakatan yang telah dibuat dan tidak patuh dengan pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu. Dengan pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 / 2007 (yang sudah dikuatkan putusan MA No. 24 P/HUM/2007) saja ingkar, apalagi dengan kesepakatan yang tak ada dasar hukumnya?

    Pak Presiden, dalam pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS dan BPN Kabupaten Sidoarjo pada 5 Agustus 2008 yang lalu PT. Minarak Lapindo Jaya tidak hadir. BPN sendiri menyatakan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, gogol dan yasan bisa dibuatkan akte jual beli (AJB). BPN sudah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan tanggal 24 Maret 2008. Jadi, secara hukum administrasi negara sudah tidak ada kendala. Jika PT. Minarak Lapindo tidak patuh kepada Perpres No. 14/2007 itu, apakah Bapak Presiden hanya akan diam saja menonton penderitaan korban Lapindo?

    Apakah pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu masih berlaku?

    Kalau ada yang mengatakan bahwa dengan dibayarkannya 20 persen tanah pertama dua tahun lalu itu warga korban Lapindo sudah makmur, itu kebohongan besar. Mayoritas mereka kehilangan pekerjaan dan mulai mencari pekerjaan baru dan banyak yang menanggung utang.

    Dalam pertemuan dengan Komnas HAM tanggal 1 Mei 2008 di Pendopo Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo, wakil korban lumpur lapindo dari Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang telah memberikan mandat kepada Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa apabila PT. Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa 80 persen itu maka di Sidoarjo akan terjadi banyak gelandangan sebab rata-rata korban Lapindo terlanjur menanggung utang sebab berharap dari pembayaran 80 persen itu.

    Perlu Bapak Presiden ketahui, akibat PT. Minarak Lapindo Jaya yang membangkang jatuh tempo pembayaran sesuai pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14/2007, kini masyarakat korban Lapindo terpecah-belah, saling bermusuhan akibat munculnya cara-cara baru di luar cara menurut pasal 15 Perpres No. 14 / 2007. GKLL itu pecah, muncul organisasi baru bernama Gerakan Pendukung Perpres No. 14/2007 (GEPPRES).

    Munculnya cara-cara penyelesaian di luar pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 itu akibat pemerintah yang tidak tegas kepada PT. Minarak Lapindo Jaya yang mempersulit penyelesaian sosial itu padahal dasar hukumnya sudah jelas. Sekali lagi, pemerintah tidak tegas untuk memaksa pihak Lapindo. Tetapi bagaimana nasib korban Lapindo yang membuat kesepakatan di luar pasal 15 Perpres No. 14/2007 jika kelak PT. Minarak Lapindo Jaya atau perusahaan pengembang yang menyediakan tanah pengganti itu ingkar? Padahal cara penyelesaian masalah sosial yang sudah ditentukan itu tidak murni bersifat perdata, tetapi terkandung kewajiban pemerintah memenuhi hak asasi manusia berdasarkan pasal 28 I ayat (4).

    Pak Presiden. Bahkan ada ratusan kepala keluarga korban Lapindo yang belum menerima pembayaran 20 persen dengan berbagai alasan, tanpa penyelesaian. PT. Minarak Lapindo juga mengingkari kesepakatannya dengan ratusan kepala keluarga korban Lapindo pengontrak rumah (yang tak punya tanah dan rumah sendiri).

    Jika diurai, masih ada banyak masalah lainnya, termasuk masalah kesehatan masyarakat sebab menurut temuan Tim Kajian Pemerintah Provinsi Jawa Timur, konsentrasi gas hidrokarbon di daerah sekitar semburan lumpur Lapindo mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batas toleransinya adalah 0,24 ppm. Kasihan para penduduk korban, terutama anak-anak mereka yang masih mempunyai masa depan, jangan sampai masa depan mereka rusak gara-gara pemerintah tidak cepat dan tepat untuk menyelesaian persoalan korban Lapindo itu.

    Masyarakat korban Lapindo telah begitu sabar. Meski menderita kerugian materiil dan imateriil yang tak terkira besarnya, mereka cukup patuh dengan Perpres No. 14/2007 yang hanya mengharuskan jual-beli tanah dan rumah korban lumpur yang tenggelam. Bahkan mereka telah diikat oleh PT. Minarak Lapindo Jaya dalam perjanjian dan pernyataan agar mengakui bahwa semburan lumpur itu bencana alam dan mereka tidak boleh menuntut Lapindo secara perdata dan pidana. Meski tidak tahu arti semua itu, mereka mau menandatangani pernyataan dan perjanjian seperti itu.

    Surat ini saya sampaikan secara terbuka, agar dapat sampai dan dibaca Pak Presiden dan banyak orang, bahwa itulah yang terjadi, tidak seindah yang diiklankan di media massa.

    Demikian surat ini, mohon agar negara ini tetap berdiri dalam kemerdekaan, tidak tenggelam menjadi Republik Lumpur Lapindo.

    Hormat saya, pesuruh sebagian korban Lapindo.

    Subagyo, 081615461567

  • Kemerdekaan Pers dan Lumpur Lapindo

    Bukan rahasia lagi jika dalam kasus semburan lumpur Lapindo itu muncul fenomena yang sebenarnya tidak baru, yaitu ‘jual-beli’ informasi. Jika dalam dunia hukum ada fenomena mafia peradilan yang melibatkan polisi, jaksa, hakim serta advokat (pengacara) selaku makelar kodok, tampaknya dalam dunia jurnalistik juga ada mafia jurnalistik. Ada kawan wartawan yang bisa menjelaskan konspirasi antara pihak Lapindo Brantas Inc. dengan para jurnalis. Ia memetakan kelompok konspirasi itu ada tiga, yaitu: konspirasi dengan jurnalis secara pribadi, konspirasi dengan perusahaan media dan konspirasi dengan redaksi media. Wallahu’alam.

    Sudah berbulan-bulan ini tampaknya media (pers) seolah enggan memberitakan keadaan riil para korban lumpur Lapindo. Yang lebih banyak menjadi bahan berita adalah perundingan antara para pengurus Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dengan PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Pers juga sudah enggan mengulas tentang peran pemerintah ketika MLJ tapi kini berbalik arah ‘membangkang’ Perpres No. 14 Tahun 2007 dengan kemunculan skema penyelesaian sosial cash and resettlement, yang dengan sendirinya melanggar klausul cash and carry perjanjian ikatan jual-beli (PIJB) antara MLJ dengan korban lumpur Lapindo.

    Tetapi justru yang sering muncul di beberapa media adalah berita advertorial atau advertorial terselubung dengan judul yang sama, yaitu: “Sidoarjo Bangkit.” Dalam advertorial – baik yang terang-terangan maupun terselubung – itu isinya sama: mengulas bahwa seolah-olah skema relokasi ke Kahuripan Nirwana Village (KNV) adalah ‘masa depan’ yang baik. Pers tidak memuat informasi yang benar tentang keluhan para korban lumpur Lapindo sendiri, baik yang ‘terpaksa’ menerima skema cash and resettlement maupun yang menolak. Pers hanya mengutip komentar para petinggi MLJ, menteri, aparat dan pengurus GKLL, memuji model cash and resettlement sebagai cara terbaik. Pers tidak menampilkan kritikan atas ‘pembangkangan’ Lapindo dan MLJ tersebut.

    Idealisme pers

    Hal menyedihkan semacam itu tidak saja terjadi dalam kasus lumpur Lapindo. Dalam perpolitikan misalnya juga terjadi di mana dengan dalih profesionalisme pers ada para jurnalis jebolan dari berbagai perusahaan media yang bergabung membuat media baru yang khusus menjadi corong salah satu calon gubernur. Mereka berdalih bahwa yang mereka jual adalah jasa profesi sebagai jurnalis.

    Menurut UU No. 40 Tahun 1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik (pasal 1 angka 1). Dalam penjelasan pasal 3 ayat (2) dijelaskan: Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Lantas bagaimana cara melaksanakan prinsip ekonomi dengan kewajiban sosialnya?

    Saya coba korelasikan hal itu dengan kewajaran atau kepatutan yang menjadi asas hukum. Apakah wajar dan patut misalnya perusahaan pers menerima iklan yang sifatnya subyektif dari pihak Lapindo untuk menjalankan prinsip ekonomi korporasi pers, padahal Lapindo sedang berkonflik dengan masyarakat? Pers bisa menjadi kikuk dalam memberitakan kondisi riil masyarakat korban secara utuh. Atau, menurut beberapa kawan jurnalis, ada perusahaan pers yang ‘menghantam’ Lapindo dengan berita yang khusus meliput derita korban lumpur Lapindo, yang tujuannya untuk memperoleh harga iklan yang tinggi?

    Baik pers, aktivis LSM atau NGO, seharusnya tidak menjadi omnivora yang ‘memakan segala’ tanpa memasang ukuran idealisme. Ada contoh, sebuah lembaga bantuan hukum yang menetapkan etika tak tertulis, di mana advokat yang bergabung di dalamnya dilarang membela pengusaha melawan buruh, pemerintah melawan warga, tuan tanah melawan petani, korporasi melawan masyarakat, tidak boleh membela tersangka/terdakwa kasus korupsi. Hal itu untuk menghindari konflik kepentingan, sebab misi lembaga hukum diprioritaskan membantu kaum lemah. Sedangkan kaum kuat ekonomi lebih leluasa untuk menyewa advokat komersiil.

    Arah bisnis media, dalam persaingan yang semakin ketat, tampaknya mulai menanggalkan baju idealisme. Pers mengarah pada korporasisasi, di mana pelaksanaan kewajiban sosialnya berubah menjadi semacam praktik corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan korporasi pada umumnya.

    Berita yang disajikan dalam beberapa hal menjadi alat tawar-menawar, meski dalam beberapa hal masih ada yang dimaksudkan untuk kontrol sosial. Tetapi dengan masuknya pebisnis bermasalah ke ruang ekonomi pers, maka kontrol sosialnya menjadi disparatif. Pers akan cenderung melunak dengan para pemasang iklan yang berkonflik dengan masyarakat, tapi bisa lebih garang kepada ‘penguasa’ yang tidak memasang iklan. Itu jelas tidak adil.

    Kemerdekaan pers

    Dalam era demokrasi yang semakin menguat, kemerdekaan pers tak lagi diancam oleh penguasa represif, tapi oleh kekuatan ekonomi hitam. Ketika ada hakim yang memukulkan palu hukuman kepada pers atas gugatan korporasi atau suatu pihak dengan tuduhan pencemaran nama baik, bisa jadi itu disebabkan pengaruh uang korporasi itu (baca: suap) kepada penegak hukum, bukan karena tekanan kekuasaan politik.

    Tangan-tangan kekuasaan ekonomi itulah yang mengancam memasung kemerdekaan pers, sebab dengan iming-iming uang maka ada para jurnalis yang mengorbankan idealisme dan independensinnya. Kinerja pers dalam memberitakan kasus lumpur Lapindo hanya merupakan salah satu contoh isu ketidakmerdekaan pers yang merebak luas. Isu itu bukan semata dugaan eksternal pers, tapi juga atas ‘kesaksian’ para jurnalis yang masih bisa mempertahankan idealisme mereka.

    Masyarakat mempunyai hak untuk disuguhi informasi yang adil dan obyektif. Memang sulit mengukur keadilan dan obyektivitas itu, meski hal itu bisa saja dibawa ke ranah hukum. Tetapi hukum yang masih terjangkit virus korupsi juga belum dapat menjamin terwujudnya keadilan. Namun dengan semakin menguatnya ‘rasan-rasan’ di masyarakat tentang ‘permainan pers’ dalam kasus lumpur Lapindo itu, maka Dewan Pers seharusnya mengambil inisitif untuk melakukan ‘pengintaian’ untuk mencari bukti-bukti tentang siapa saja jurnalis maupun perusahaan pers yang telah bermain.

    Kita tengah membangun martabat bangsa ini. Ketika kita mulai ramai membangun hukum agar lebih beradab, jangan sampai dunia pers kita terlupakan dan menjelma menjadi ‘perusahaan informasi’ yang tak lagi mengenal misi sosial dalam rangka melaksanakan kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (lihat pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999). Misi sosial itu bukanlah dengan menyumbang beras dan uang, tapi melakukan kontrol sosial yang fair.

    SUBAGYO, S.H.

  • Volcano Reveals a Murky Indonesia

    Volcano Reveals a Murky Indonesia

    THE TOWN of Porong lies 30 kilometers south of Surabaya, the coastal capital of East Java province in Indonesia. On the map, the town and the surrounding district of Sidoarjo is moored in a swath of rural green, part of the rice-growing countryside that nurtures Java, the most world’s most populous island. seen up-close, though, the Porong’s hinterland is semi-industrial farmland-a patchwork of backyard factories, rice paddies, shrimp farms and modern industrial buildings linked by toll-road to Surabaya.

    Since May 2006, the map has been redrawn in spectacular fashion. A volcanic outpouring of toxic mud has swallowed up 11 towns, engulfing homes, factories, schools and farms, and uprooting around 16,000 people. The mud covers 6.5 sq. kilometers, hemmed by a network of dams and levees. A 3 kilometer stretch of toll-road lies abandoned after a concrete bridge began to crack from subsidence. Trucks must crawl through Porong on a clogged two-lane street. And still the hot, stinking mud keeps gushing.

    The disaster began with a wildcat well drilled by Lapindo Brantas, an energy company part-owned by Aburizal Bakrie, a prominent Indonesian tycoon and politician. The drilling opened a fissure in the ground from where the mud has flowed ever since. Efforts to staunch the flow have all failed, so engineers are pumping mud into the Porong River and out to sea, while shoring up the earthen dams. An eventual fix could be years away. In June 2007, Japan offered to build a 130-foot high dam around the volcano, on the theory that the dried, hardened mud would eventually cut off the flow.

    Lying on the Pacific Ring of Fire, Indonesia is no stranger to natural disasters. Seizing on this seismic record, Lapindo executives sought to blame the Sidoarjo mudflow on an earthquake that hit Central Java three days earlier. Most geologists, however, reject this theory. Critics say it is part of a strategy by Lapindo to evade taking full responsibility for an expensive clean-up. So far, it seems to be working. Police in East Java have compiled a case against the company for criminal negligence, but prosecutors refuse to proceed, saying the evidence is inconclusive.

    Yet for all its natural calamities-earthquakes, tsunamis, landslides-Indonesia’s real curse may lie in its boardrooms. A government tally of the economic cost of disasters in 2006 ranked the Sidoarjo mud volcano in second place, behind the deliberately-lit fires that annually ravage lowland forests on Sumatra and Borneo to make way for plantation crops. Both events amount to corporate malfeasance and environmental ruin hiding behind natural phenomena. The cruelest blow is to those who labor in the shadow of such willful destruction. Look no further than the entrepreneurs in Porong whose small family-owned factories-the lifeblood of Indonesia’s economy-lie buried in the oozing mud.

    Indonesia is enjoying its fastest growth since the 1998 economic meltdown and fall of dictator Suharto. In retrospect, its bumpy transition to democracy now appears as a necessary learning curve that may be starting to pay off. Separatist conflicts no longer threaten the realm. Anticorruption agencies finally have teeth. Foreign investment is picking up, though not in labor-intensive manufacturing-the lure of China or Vietnam is stronger. Though government spending on education is still low, lawmakers have begun to address budgetary shortfalls.

    But the family-run conglomerates that plundered and profited, then defaulted on their loans when the crisis hit, still play an outsized role in Indonesia, as they do across Southeast Asia. Many Indonesian firms have a lukewarm regard for corporate governance and pay little heed to reputational risk, reasoning that foreign capital will always be available. At least until the recent credit squeeze in the United States, that was a reasonable bet. Last year saw a flurry of new stock and bond issues by Indonesian borrowers with abysmal reputations, including Asia Pulp & Paper, which defaulted on a record $13.9 billion in debt in 2001. It seems that foreign investors have remarkably short memories when it comes to Indonesian conglomerates. For tycoons that despoil the environment, bilk minority shareholders and fund rent-seeking politicians, the future looks bright, particularly while commodity prices remain high.

    Does this matter? Indonesia needs large companies capable of developing industries and providing services that the government can’t provide. It’s naive to expect that new entrepreneurs could replace overnight the disgraced leftovers of the Suharto era. Opaque corporate governance and corrupt regulators aren’t exclusive to Indonesia; foreign investors in China have their own horror stories to tell. But it’s easy to overlook such downside risks and focus on China’s domestic growth story and export prowess. China has also pushed its corporate giants to list on major international stock exchanges where regulations are stricter and minority shareholders expect disclosure. Few Indonesian companies seem willing or able to follow suit, preferring instead to do business in Indonesia’s malleable jurisdiction.

    Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono has a solid economics team who has made smart macro decisions. Even the notoriously graft-ridden customs department has been put on its toes in recent months, and the judiciary may be next. But economic leadership needs to go further if Indonesia wants to promote a competitive system that rewards efficiency and innovation, not cartels and monopolies. In South Korea, the chaebol, or conglomerates, still exert an unhealthy influence over lawmakers, but they’ve proven that they can compete on the world stage. Few would dispute that corporate governance has improved in South Korea over the last decade, spurred by government regulators keen to cement their rise in the global economy.

    By contrast, Indonesia’s corporate sector is similar to that of the Philippines: focused primarily on squeezing profits from domestic opportunities and lobbying to keep out competitors. In his book Asian Godfathers: Money and Power in Hong Kong and Southeast Asia, author Joe Studwell argues that economic success in the region has come despite, rather than because of, the outsized influence of its tycoons. He finds little to cheer in the region’s recovery since the 1997-98 Asian financial crisis, since the political elites apparently remain beholden to the same dominant players.

    This business model doesn’t lend itself to global competitiveness. Boston Consulting Group released an annual ranking in December 2007 of the top 100 go-getting companies in developing economies. Not surprisingly, Indian and Chinese enterprises dominated the list. Indonesia, the world’s fourth-largest country, only managed one entry: instant noodle maker Indofood Sukses Makmur, part of the diversified Salim Group. Optimists point to the generational changes taking place in Southeast Asian conglomerates that are allowing Western-educated scions to take over the reins. This shift, coupled with regional economic integration, can be a force for good, if it means improving corporate governance and environmental practices.

    But local regulators will still need to show teeth to increase the cost of noncompliance, as consumer activism-a key ingredient in shaping corporate behavior in the West-is lacking in Asia. Environmental campaigners in Indonesia have sought to close this gap by targeting careless resource companies, usually foreign investors such as U.S. mining companies, with limited success. In December, a district court in Jakarta rejected a lawsuit by Friends of the Earth Indonesia that sought damages against Lapindo and national and local government officials over their culpability in the Sidoarjo mudflow. The court ruled that it was a “natural disaster” and fined the plaintiffs a token amount.

    Of course, many Southeast Asian conglomerates will choose not to go overseas because the returns are better at home. Opening up their markets to more foreign competition would force them to overhaul their model to stay ahead of the game. In turn, new entrants from more closely regulated economies will demand a level playing field, which should mean better corporate governance and less opaque regulatory systems. But without political will to tackle the most egregious abuses by influential companies, it’s hard to see how commercial agreements alone would be enough to shift behavior, since domestic interests usually trump trade relations. The strides made in South Korea on overhauling corporate governance and improving regulatory frameworks followed the election in 1997 of human-rights activist Kim Dae Jun. Globalization was a factor, but so was the determination of a newly elected leader to raise standards.

    There’s another reason why Indonesia needs to clean up its corporate sector. Government inaction in the face of corporate abuses such as the Lapindo case does a disservice to the victims and, more broadly, to Indonesian voters. Unless politicians can hold wrongdoers to account-and make sure that taxpayers aren’t stiffed for the clean-up bill-it becomes harder to make the case for democracy as the cure for Indonesia’s ills. That would play to the gallery in much of Asia, where authoritarian governments are the norm and public participation is suppressed by “father-knows-best” rulers. With a presidential vote in Indonesia scheduled in 2009, a campaign by a strongman candidate who promises a firmer hand might be persuasive. That would be a setback for a democracy that is currently the most dynamic and decentralized in Southeast Asia, where voters are able to turf out local mayors who don’t cut it. Such a privilege is rare in the region.

    Lapindo belongs to the Bakrie Group, a diversified conglomerate headed by Mr. Bakrie, 60. Its units include oil-palm plantations, mobile telecommunications, property and energy. Mr. Bakrie, who was ranked by Forbes in 2007 as Indonesia’s richest man with a net worth of $5.4 billion, is a senior executive of Golkar, the largest political party in Indonesia’s parliament. At the time of the accident, which he calls a “natural disaster,” he held the most senior economic post in President Yudhoyono’s cabinet. Lapindo tried to buy off homeless villagers with hand-outs as long as they signed waivers that exempted the company from lawsuits. When frustrated protesters from the accident site rallied in Jakarta to press for compensation and housing, Mr. Bakrie’s position appeared to be in doubt. But instead, when President Yudhoyono announced a reshuffle, his economics czar was moved to a new position: coordinating minister for public welfare.

    To the families stuck in limbo in makeshift refugee camps in Porong, or living in rented rooms, that sounded like a cruel joke. Many have received cash hand-outs from Lapindo, but are waiting for full compensation for their loss of land, housing and livelihood. After months of dithering, President Yudhoyono issued a decree in 2007 that mandated the company to pay $412 million in compensation, including the purchase of despoiled land. But to the anger of would-be recipients, Lapindo insisted on paying 20% up-front, and the rest within two years. Sunarto, a businessman who goes by one name, says he refuses to accept the 20%, worth about $6,500 based on the value of his inundated family compound, which included a small cigarette factory that employed 40 workers. He wants the company to pay out now, so that villagers can rebuild their lives and plan for the future. “The local economy has collapsed… Even if you want to start a business, there’s nobody buying anything,” he said.

    If a foreign oil company had triggered the mudflow, it might have been a different story. Pressure from shareholders and environmental activists, fanned by international news coverage, are a potent mix. But Bakrie calculated that it could hide behind the fiction of an unstoppable natural disaster and rely on its political clout to do the rest. From a bottom-line perspective, it was the right call. Taking full responsibility would have exposed the company to economic liabilities that are likely to run into billions of dollars, given the extent of the damage and the continued mudflow. Instead, Bakrie tried to arrange a fire sale of Lapindo, its part-owned unit, to obscure offshore investors for a nominal amount. However, Indonesia’s capital-markets regulator blocked the sale, which appeared to be a ploy to wash Bakrie’s hands of the toxic mud volcano. It was a shot by regulators across the bows of a local conglomerate, an all too rare sign that not all Indonesian institutions are cowed by their political masters.

    Simon Montlake

    © Far East Economic Review

  • Skandal Ekosida Lumpur Lapindo

    Ekosida merupakan istilah yang digunakan dalam bidang lingkungan hidup. Jika genosida diartikan sebagai pembasmian seluruh atau sebagian bangsa, ras, kelompok etnik ataupun kelompok agama, maka ekosida diartikan sebagai pembasmian atau perusakan sistem ekologi normal, yang tentu berakibat pada nasib buruk manusia.

    Tama Leaver (1997) menjelaskan tulisan William Gibson dan Ridley Scott, bahwa ekosida merupakan efek buruk dari upaya-upaya ekonomi untuk mencapai kesejahteraan global (akibat globalisasi), penerapan faham ultra-utilitarianisme serta eksploitasi dari cara-cara produksi mutakhir yang dilakukan kaum kapitalis.

    Ekosida sebenarnya tak jauh dari model genosida, misalnya terjadinya ‘pembasmian penduduk’ akibat toksinasi atau kehancuran fungsi lingkungan hidup seperti yang terjadi pada komunitas penduduk sekitar tambang emas Newmont di Buyat dan lain-lain, serta kematian massal dalam banjir besar atau longsor akibat perusakan fungsi lingkungan hidup. Dalam kasus lumpur Lapindo, ekosida telah terjadi sebagai fakta notoir (tak perlu dibuktikan lagi, sebab telah menjadi pengetahuan umum).

    Zat beracun

    PBB melalui United Nations Disaster Assessment and Coordination sejak Juli 2006 telah merekomendasikan untuk adanya penelitian dan monitoring secara reguler terhadap soal lingkungan dalam kasus lumpur Lapindo. Tetapi tampaknya pemerintah Indonesia tidak terlalu memperhatikan hal yang berkaitan kesehatan masyarakat dalam jangka pendek dan panjang akibat semburan lumpur tersebut. Contohnya, gas semburan lumpur Lapindo itu sudah menewaskan dua warga Siring Barat (Sutrisno, meninggal 14/3/2008 dan Luluk, meninggal 26/3/2008) serta puluhan orang serta anak-anak dirawat di rumah sakit.

    Guna mendeteksi bahaya akibat pencemaran dan perusakan ekologi karena semburan lumpur Lapindo itu, September 2007 sampai dengan Januari 2008, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur bekerjasama dengan beberapa ahli dan laboratorium melakukan penelitian lumpur Lapindo di Sidoarjo di berbagai titik hingga ke wilayah terluar akibat semburan lumpur Lapindo. Penelitian yang dilakukan Walhi tersebut juga dalam rangka untuk ‘meneguhkan keyakinan’, apa benar hasil penelitian beberapa laboratorium kampus di dalam negeri yang menyatakan tak ada masalah dengan kandungan lumpur Lapindo, dibandingkan dengan hasil penelitian sementara (awal) pemerintah RI dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan adanya kemungkinan fatal akibat gas semburan lumpur Lapindo.

    Penelitian Walhi tentang logam berat akibat lumpur Lapindo menunjukkan hasil sebagai berikut:

    Parameter
    Satuan
    Kep. MenKes No. 907/2002
    Hasil Analisa Logam Pada Materi
    Lumpur Lapindo
    Air Lumpur Lapindo
    Sedimen Sungai Porong
    Air Sungai Porong
    Kromium (Cr)
    mg/L
    0,05
    nd
    nd
    nd
    nd
    Kadmium (Cd)
    mg/L
    0,003
    0,3063
    0,0314
    0,2571
    0,0271
    Tembaga (Cu)
    mg/L
    1
    0,4379
    0,008
    0,4919
    0,0144
    Timbal (Pb)
    mg/L
    0,05
    7,2876
    0,8776
    3,1018
    0,6949

    Perbandingan parameter ambang batas logam berat sebagai berikut:

    Parameter
    Satuan
    Kadar maksimal yang diperbolehkan
    Per. MenKes No. 416/1990
    Kep.MenKes No. 907/2002
    WHO 1992
    Uni Eropa
    Kanada
    USA
    Kromium (Cr)
    mg/L
    0,05
    0,05
    0,05
    0,005
    0,05
    0,05
    Kadmium (Cd)
    mg/L
    0,005
    0,003
    0,005
    0,005
    0,005
    0,005
    Tembaga (Cu)
    mg/L
    1
    1
    1
    0,1
    1
    1
    Timbal (Pb)
    mg/L
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05

    Selain logam berat, Walhi juga meneliti kandungan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH). Karena mahalnya biaya, Walhi hanya menguji kandungan Benz(a)anthracene dan Chrysene yang hasilnya mencapai ribuan kali lipat dari ambang batas. Beberapa senyawa lain yang tergolong dalam PAH adalah acenaphthene, acenaphtylene, anthtracene, benz(a)antracene, benz(a)pyrene, benz(b)fluoranthene, chrysene, dibenz(a,h)anthracene, fluoranthene, fluorene, indeno(1,2,3cd)pyrene, naphthalene, phenanthrene dan pyrene (Liguori et al, 2006), dan masih terdapat ribuan senyawa lainnya.

    Sebagai perbandingan, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menetapkan baku mutu PAH dalam air laut untuk wisata bahari sebesar 0,003 mg/liter. Sedangkan baku mutu Hidrokarbon dalam udara yang diizinkan berdasarkan PP No 41 tahun 1999 adalah 160 ug/Nm3. Namun dalam temuan Walhi, kadar Benz(a)anthracene di titik tertentu ada yang mencapai 0,5174 mg/kg (sampel terendah 0,4214 mg/kg). Sedangkan kadar Chrysene ada yang mencapai 806,31 μg/kg lumpur kering (sampel terendah 203,41 μg/kg).

    Dalam jangka pendek, akibatnya hanya tampak adanya penduduk yang keracunan gas dan bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Namun dalam jangka panjang, lumpur Lapindo tak hanya menjadi nasib buruk masa depan para korban langsung, tapi juga masyarakat yang setiap hari melintasi sekitar semburan lumpur Lapindo yang terancam oleh penyakit kanker akibat senyawa PAH yang bersifat karsiogenik. Pasalnya, zat beracun yang termasuk PAH bersifat bebas tempat, bisa bercampur udara, air, tanah dan seluruh media yang ada.

    Dahulu, Chief Operating Officer PT Energi Mega Persada Tbk., Faiz Shahab menyatakan pihaknya serius membangun pabrik batu bata skala besar di lokasi bencana. Namun, Kepala Unit Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Ir Amien Widodo mengatakan bahwa lumpur Lapindo itu bisa memicu kanker. Sifat-sifat karsinogenik ini terutama dipicu oleh kandungan logam berat yang terdapat dalam lumpur (Kompas, 14/7/2006). Itulah mengapa pabrik batu bata yang direncanakan itu tidak ada kabarnya lagi, sebab bisa jadi mereka takut dengan sifat bahaya lumpur Lapindo.

    Logam berat juga bisa menimbulkan penyakit degeneratif (kelainan fisik) dan menimbulkan keturunan penderita slow learner (lambat berpikir), sedangkan zat-zat beracun PAH mengakibatkan kanker, permasalahan reproduksi, membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit. Setidaknya lima hingga sepuluh tahun ke depan baru akan tampak akibatnya.

    Peran negara dan korporasi

    Artikel ini tidak bermaksud ‘meneror’ masyarakat, tetapi didasari hasil penelitian laboratorium. Para ahli yang turut dalam penelitian Walhi tersebut berpesan agar Walhi ‘merahasiakan’ identitasnya sebab kampus tempat mengajarnya rupanya sudah tidak bisa independen. Ini semakin menunjukkan bahwa hegemoni korporasi telah menyerang kemerdekaan intelektual.

    Terlepas dari semua itu, setidak-tidaknya pemerintah RI seharusnya lebih serius dalam upaya menyelamatkan masyarakat dari akibat buruk lumpur Lapindo yang dalam banyak hal selalu ditutup-tutupi. Jika tidak, sama halnya pemerintah terlibat dalam skandal ekosida, sebagaimana banyak laboratorium domestik yang membuat kesimpulan berdasarkan ‘pesanan’ sehingga tidak lagi obyektif. Inilah fenomena kekuasaan kapitalis yang menerapkan faham ultra-utilitarianisme, tidak peduli dengan nasib sosial.

    Para pejabat pemerintah dan seluruh pengambil keputusan korporasi kasus semburan lumpur Lapindo, termasuk ‘laboratorium palsu’ mungkin bisa mengelak dan bersembunyi pada hari ini dalam kejahatan ekosida itu. Tetapi kelak kasus ini akan membawa mereka ke pengadilan hak asasi manusia (HAM), bahkan dalam forum hukum internasional, jika mereka tidak mau bertanggung jawab mulai hari ini untuk tunduk pada hukum internasional dan nasional dalam rangka memenuhi hak-hak para korban lumpur Lapindo yang sudah lama menderita dan terancam menjadi korban ekosida.

    Sebagai pihak yang telah mengambil ‘manfaat’ (utilitas) dari negara ini, berlakulah adil dan santun kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara ini! Jangan hanya mau enaknya, lalu lari dari tanggung jawab!

    Percepatan penyelesaian sosial hendaknya segera dilakukan agar warga korban lumpur semakin bisa diselamatkan dari kejahatan ekosida tersebut. Alangkah malang nasib warga korban lumpur yang diombang-ambingkan oleh pihak Lapindo. Dahulu Lapindo bersuara lantang akan patuh kepada model penyelesaian menurut pasal 15 Perpres No. 14/2007, tapi kini malah membangkangnya dengan memaksakan cara cash & resettlement dengan alasan bahwa tanah-tanah Petok D, letter C dan gogol tak dapat dibuatkan akte jual beli. Padahal sudah ada pedoman berupa Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo.

    Jika Lapindo si anak korporasi Grup Bakrie itu bisa ‘mempermainkan’ diskresi hukum yang dibuat pemerintah, lalu Presiden yang membuat diskresi hukum itu diam saja, maka kepala negara ini telah diinjak-injak. Jika begitu, bagaimana kewajiban pemerintah untuk melindungi korban lumpur Lapindo dan menegakkan hukum?

    SUBAGYO, S.H. 

  • Lusi sinking into its own caldera

    Two years after it first erupted, Lusi is back in the news again, this time because the area around the vent is starting to show signs of subsidence. The world’s fastest-growing mud volcano is collapsing by up to three metres overnight, suggests new research.

    As the second anniversary (May 29) of the eruption on the Indonesian island of Java approaches, scientists have found that the volcano – named Lusi – could subside to depths of more than 140 metres with consequences for the surrounding environment.

    The sudden overnight three metre collapses could be the beginning of a caldera – a large basin-shaped volcanic depression – according to the research team, from Durham University UK, and the Institute of Technology Bandung, in Indonesia.

    Their findings, based on Global Positioning System (GPS) and satellite measurements, are due to be published in the journal Environmental Geology.

    The fact that subsidence is occuring is actually no surprise; it’s a natural consequence of the eruption itself. Lusi was the result of the breaching of a subsurface aquifer – a porous, water-bearing rock horizon, which was being squeezed by the weight of all the overlying rocks. Because the cap rocks were impermeable mudstones, the water couldn’t move anywhere in response to this squeezing, meaning that the water within the aquifer was being held under extremely high pressure.

    As soon as the breach occurred, all that pressure had an outlet, causing high pressure water to burst upwards, mixing with the overlying mudstones on the way to create the lovely ooze that is currently engulfing Sidoarjo province. For those who remember Super Soakers, they work along a similar principle – you increase the water pressure by pumping air into a sealed water reservoir, resulting in a much stronger water jet when you finally pull the trigger and create a ‘breach’.

    Obviously this is going to lead to a decrease in water pressure within the aquifer; since this pressure was resisting the weight of the overlying rock – now augmented by the weight of the mud that has erupted onto the surface – a decrease will lead to compression of the aquifer, and subsidence, in the area where the eruption is occuring.

    The Environmental Geology paper by Abidin et al. observes exactly this. The GPS data presented was collected between June 2006 and September 2007, and indicates fast subsidence of 2-4 centimetres a day in the first four or five months after the eruption, and slower (and apparently slowing) subsidence of 0.1-0.3 cm a day thereafter. Even after it slowed down, that’s getting on for a metre of displacement every year, which is very fast by geological standards.

    The paper also refers to more recent measurements where large vertical displacements – 10s of cm or even metres – appear to have occurred literally overnight, which might indicate that some of the subsidence is now being taken up by extensional faulting around the vent.

    The formation of such a caldera may restrict the lateral extent of the mud flow, by creating a natural hole for it to fill (although human intervention though the building of dams is also a control here).

    Radar interferometry, which compares altimetry data collected after the eruption to altimetry collected before to highlight changes in topography, has also been used to examine elevation changes over a wider area, and confirms that subsidence has occurred up to 10 km from the central vent. Interestingly, it also shows that a sizeable area to the northeast has been uplifted since the eruption:

    The boundary between the uplifted region and the subsiding vent follows the trend of a fault which runs through the area, indicating that it has been active since Lusi first erupted. This is very interesting, because it is this fault – the Watukosek Fault – that has been cited in the argument that Lusi was a natural response to an earthquake, rather than shoddy drilling practices.

    Does this new data support that interpretation, and let PT Lapindo Brantas (or whatever they’re called now) off the hook? No, actually – the deformation associated with motion on this fault only begins after July 2006, two or three months after the eruption first started, so it in fact fairly conclusively proves that it was not involved in the initial breakthrough. Somehow, though, I doubt this will be the final word on this particular subject.

    Chris Rowan

    Sumber: Science Blogs

  • Lusi: not man-made after all?

    Regular readers of this blog should be aware of the mud volcano currently erupting in the Sidoarjo district in East Java, Indonesia, and the unsuccessful attempts to stem the flow by dropping concrete balls into the vent. Meanwhile, more and more villages, railways and factories are being engulfed, and tens of thousands of people displaced, by the encroaching mud.

    Obviously someone has to pay for the attempts at mitigation, no matter how hare-brained, and compensate those who have found their homes and livelihoods suddenly below ground level. Precisely who that someone should be has been the subject of a fair amount of legal wrangling between the Indonesian government and PT Lapindo Brantas, an exploration company who were drilling a gas well in the area at the time of the eruption.

    At first glance, it doesn’t look good for Lapindo Brantas: not only is the main vent of Lusi is a mere 200 m from their well, but it also turns out that the lower section of the borehole had not been ‘cased’, or sealed off from the surrounding rock with steel jacketing. In the paper which provided the background to my original post on Lusi, Richard Davies and his co-authors suggested that this lack of protection was directly responsible for the eruption: when the borehole penetrated a sealed limestone aquifer, it released a surge of high pressure water back up the drill hole, fracturing and mixing with the overlying mudstones and sending the a torrent of hot mud racing up to surface.

    But there is a complication. Two days before Lusi erupted, a magnitude 6.3 earthquake hit central Java. Could this have had something to do with the eruption of Lusi? Davies et al. say no, but a paper in press in Earth and Planetary Science Letters argues otherwise – and thanks to the obvious legal ramifications, this little spat is getting a little bit of media attention. In this second paper, Adriano Mazzini, of the University of Oslo, and his colleagues* propose that shaking due to the earthquake weakened a fault which runs close to the Lusi vent, and it was this structure, not the borehole, that initially provided an escape route for the overpressured water. Their Figure 4 shows the location of the fault (dashed line) in relation to the borehole (BJP1) and all the mud eruptions in the area in the first week of activity.

    This is interesting, and I can certainly see how the presence of this fault might have exacerbated matters. But it’s difficult to ignore the fact that even if teleseismic stresses acting on a buried fault did have a hand in triggering the eruption, of all the places Lusi could have erupted along that fault, it erupted at the closest possible point to a borehole which was not properly sealed, and therefore at high risk of blow-out. Could this be a coincidence? Mazzini et al. would have us believe so: they claim that the borehole had not penetrated down to the limestone aquifer at the time of the eruption (directly contradicting Davies et al.), and that, almost miraculously, the eruption has not registered in the borehole in any way at all:

    no kicks [pressure fluctuations]. were recorded at the bottomhole of BJP1 [at the time of the eruption], and no fluids erupted through the well… Borehole tests showed that there was no connection between the fluids circulating in the well and mud erupted on surface.

    Neither of these claims is supported by hard data in the paper, so where the two papers disagree on vital and important facts (particularly the depth attained and the timing and nature of pressure changes in the borehole), it is rather difficult to assess who is right. I have to say that regardless of the root cause of the eruption, the subsurface around the vent is probably now so pervasively fractured, and the borehole is such an obvious weak point, that it seems rather unlikely that you see no sign of the eruption in the borehole fluids.

    You’d also think that the eight experts consulted by the Indonesian police, who must surely have had access to the borehole records, would have been a bit less confident in implicating the drilling if this was the case. But then, when there are bills and blame to be assigned, the science is always going to be stretched to breaking point – especially since a law-suit demands a black-and-white answer to what may turn out to be a complicated question: ‘would Lusi have erupted, and erupted so spectacularly, if the Lapindo Brantas borehole been properly sealed?’.

    The answer to that may well be yes, even if the May 27th earthquake does prove to be a factor.

    Chris Rowan 

    Sumber: http://scienceblogs.com/highlyallochthonous/2007/08/lusi_not_manmade_after_all.php

  • Happy Birthday, Lusi (the Drilling Totally Did It)

    It’s been two years since the ground opened near Sidoarjo, Indonesia, spewing mud over the homes, farms, and businesses of tens of thousands of people. The disaster quickly acquired the rather endearing name of “Lusi”, which is short for “lumpur” (Indonesian for mud) and “Sidoarjo”. The two-year anniversary media bonanza has focused on the continuing plight of the refugees and the publication of a new paper analyzing GPS data around the mud volcano to determine that there is, indeed, going to be a big hole in the ground where the mud used to be. Chris Rowan has already blogged about that study, so I’ll not summarize it again here.

    However, there’s another paper due out, this time in Earth and Planetary Science Letters, discussing the cause of the eruption. The initial eruption was suspiciously near to a gas exploration borehole … but it was also just three days after a magnitude 6.3 earthquake. “Could the earthquake have caused the eruption?” Hah. No. It was totally the exploration well.

    We – and by “we” I mean Richard Davies (also an author on the study documenting the big hole in the ground), myself, Michael Manga, Rudi Rubiandini, and Richard Swarbrick – came to this conclusion through two main lines of argument. The first is something Michael pointed out in short a 2007 article in EOS: the earthquake in question was smaller and farther away than past earthquakes in that part of Indonesia. Compared to other earthquakes that have made mud do interesting things, it’s rinky-dink.

    In the paper, we go on at length about the various ways in which the earthquake was utterly wimpy and unexceptional. I spent a good chunk of last summer estimating the amount of shaking it probably produced and the amount of stress it put on the crust near Lusi. No matter how you slice it, the “trigger” was smaller than anything you might expect to cause an eruption, and also smaller than a bunch of previous earthquakes that didn’t do anything.

    Of course, you could still invoke weird, exotic, or handwavy mechanisms by which a run-of-the-mill earthquake could have triggered an eruption. But we found a much simpler explanation: Drilling mud.

    Boreholes – especially deep boreholes – are almost always filled with mud. This helps keep the hole from caving in, and prevents other bad things from happening when the drill encounters highly pressurized water or oil. Drillers must constantly monitor and adjust the consistency of the mud to ensure that the mud doesn’t escape into the surrounding rock, and conversely, that the fluid in the surrounding rock doesn’t get into the hole.

    The day before the eruption, water from the surrounding rock started flowing into the borehole. In the course of trying to control this, the drillers sealed the top of the hole – but they put a pressure meter inside. We calculated that the weight of the drilling mud, in addition to the pressure recorded at the top of the hole while it was sealed, was enough to muscle into the surrounding rock and force open fractures leading to an eruption.

    We don’t say that PT Lapindo Brantas (the company operating the exploration well) should be blamed for the eruption. In order to throw around concepts of blame or liability, we would need to establish not only that the drilling caused the eruption, but that the drilling practices used – the decisions about whether or not to install steel casing in the borehole, or the actions taken to control the well during the days before the eruption – were somehow deficient.

    Gentle readers, I ain’t touching that question with a ten-foot stand pipe.

    Maria Brumm

    Sumber: http://scienceblogs.com/greengabbro/2008/06/happy_birthday_lusi_the_drilli.php

  • Korban Lapindo dan Mandulnya Negara

    Korban lumpur lapindo yang di dalam peta area terdampak pada 22 Maret 2007 kini tengah resah. Kurang lebih 1000 an orang belum menerima uang muka 20 persen. Sisanya sebesar 11 ribu kepala keluarga cemas menuggu ketidakjelasan pembayaran 80 persen oleh PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ).

    Hari Selasa, 5 Agustus 2008 yang lalu, kami bersama dengan ribuan korban lumpur melakukan aksi untuk meminta komitmen pemerintah dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menegakkan aturan hukum yang ada. Aturan hukum itu menyangkut pembayaran sisa 80 persen yang harus dilakukan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Namun, hasil pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS, dan BPN tak membuah hasil yang menggembirakan. Bupati, BPN, dan BPLS tak secara kongkrit menegakkan aturan itu.

    Sesuai dengan mekanisme hukum yang ada, pada tanggal 2 Mei 2007, menteri sosial selaku wakil ketua dewan pengarah BPLS, bersama dengan Ketua BPLS, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Sidoarjo, Vice Presiden PT Minarak Lapindo Jaya, dan perwakilan warga mengadakan rapat bersama. Salah satu hasilnya disepakati bahwa tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya dapat di akte jual belikan. Sehingga secara otomatis posisinya setara dengan tanah tanah warga yang bersertifikat.

    Pertemuan ini tentu sangat menggembirakan warga. Harapan besar bahwa tanah tanah warga mendapatkan payung hukum dalam hal pembayaran sisa aset mereka sebesar 80 persen. Apalagi pada tanggal 24 Maret 2007, Badan Pertanahan Nasional membuat surat perintah kepada Badan Pertanahan Kabupaten Sidoarjo mengenai petunjuk pelaksanaan penyelesaian masalah lumpur Sidoarjo. Isi pokok surat itu adalah tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya hanya letter c, pethok d dan sk gogol bisa dilakukan penerbitan akte jual beli. Bahkan disaat PT Minarak Lapindo Jaya melakukan pelunasan pembayaran 80 persen, BPN dapat menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

    Waktu terus berlalu, setahun kemudian, warga telah waktunya mendapatkan sisa pembayaran 80 persen. Sebagian besar warga berharap, mereka dapat segera membeli rumah, karena selama ini mereka hidup dalam rumah kontrakan. Bahkan sebagian diantaranya telah membeli rumah dengan status hutang. Harapannya, hutang itu dapat segera terlunasi disaat mereka mendapatkan pembayaran uang sisanya sebesar 80 persen.

    Alangkah terkejutnya ketika harapan itu coba dirubah. PT Minarak Lapindo Jaya, bersama dengan Ketua Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dan Emha Ainun Najib membuat nota kesepahaman bahwa sisa pembayaran 80 persen akan dibayarkan dalam bentuk cash and resettlement (C n R). Pola C n R mekanismenya berupa tanah warga ditukar guling satu banding satu. Sedangkan rumah rumah warga yang telah tenggelam PT Minarak Lapindo Jaya sanggup membayarnya sesuai dengan harga saat warga menerima uang muka 20 persen, yakni sebesar 1,5 juta per meternya.

    Bahkan PT Minarak Lapindo Jaya menyatakan tidak bersedia membayar secara tunai (cash) bagi tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya hanya letter c, pethok d dan sk gogol. Yang lebih konyol dan memuakkan, beberapa makelar bergentayangan setiap malam. Mereka mengumpulkan warga yang sangat awam mengenai praktik hukum dan prosedur pengurusan aset aset mereka yang telah tenggelam. Para makelar tersebut mengancam kepada warga, aset mereka yang 80 persen tidak akan diuruskan bahkan tidak akan di bayar, jika tidak segera mengumpulkan berkas berkas mereka kepada para makelar.

    Modusnya, para makelar mengumpukan warga pada malam hari selepas sholat isya’. Pada pertemuan itulah warga dibuat cemas, dan takut. Sehingga pada malam hari itu juga warga diminta mengumpulkan berkas untuk mengurus pembayaran sisa 80 persen dalam bentuk C n R.

    Menghadapi kenyataan yang amburadul seperti itu, beberapa warga yang melek secara politik dan hukum menginisiasi dibentuknya Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden) yang menutut sisa pembayaran 80 persen dalam bentuk tunai (cash), baik tanah maupun bangunan. Mereka menolak skema C n R yang dibuat oleh PT MLJ dan GKLL.

    Jika mekanisme C  n R dilakukan maka warga akan mengalami beberapa kerugian:

    1. Warga menderita kerugian tanah yang menjadi aset miliknya. Sebab jika PT Minarak Lapindo Jaya membayar tanah tersebut secara tunai, harganya satu juta per meter perseginya. Sedangkan dengan sisten C n R, PT Minarak Lapindo Jaya mengganti tanah warga dengan tanah, yang pengadaannya tanahnya per meter perseginya paling mahal 300 ribu per meter perseginya.
    2. Lokasinya tanah tempat tukar guling relatif jauh dengan mata pencaharian warga, yang rata rata menjadi buruh pabrik, buruh tambak, dan sektor informal lainnya di sekitar Porong dan Tanggulangin.
    3. Pembayaran 80 persen secara tunai yang semestinya dapat digunakan untuk beli rumah dan modal usaha, dengan model C n R, maka uang tunai yang dimiliki warga semakin berkurang, sebab hanya mendapatkan pembayaran dari rumah mereka yang tenggelam saja.
    4. Jika warga terpaksa harus membangun rumah ditanah hasil relokasi satu banding satu, mereka akan tinggal di dalam komplek perumahan. Suasana hidup didalam perumahan secara kultural dan sosial jelas akan sangat berbeda dengan suasana hidup di kampung pendesaan. Biaya sosial hidup diperumahan akan lebih mahal, sebab air harus beli lewat PDAM atau membeli genset sedotan air, serta biaya biaya lainya, layaknya hidup di dalam perumahan.

    Menghadapi situasi ini, maka Geppres menginginkan agar komitmen pembayaran 80 persen harus tetap dalam bentuk uang tunai. Namun perjuangan ini masih menghadapi jalan buntu, ketika secara sepihak PT Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar tanah tanah yang bukti kepemilikannya hanya pethok d, letter c, maupun sk gogol. Menghadapi situasi seperti ini, BPN, BPLS, dan Bupati cenderung acuh. Tak ada konsekuensi paksa apapun yang ditujukan kepada PT Minarak Lapindo Jaya dari pemerintah atas sikap itu. Negara telah dikalahkan oleh praktik dagang. Sejarah VOC terulang kembali dalam sejarah Indonesia modern. Mana janji dan pernyataanmu Pak Presiden.

    ”Negara tidak boleh dikalahkan, hukum harus ditegakkan”.

  • Saat Menteri KLH dibutakan oleh Lapindo

    Pada 31 Juli 2008 lalu, KLH memberikan predikat biru plus pada Lapindo Brantas Inc. Blue company merupakan predikat kepada perusahaan yang telah cukup baik melaksanakan kewajibannya terhadap lingkungan. Sejak dibebankan tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial bagi perusahaan tambang oleh Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas, perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri mining, oil and gasoline berlomba-lomba menggelar kegiatan-kegiatan amal yang diekspos oleh media, sementara perusakan lingkungan oleh perusahaan tersebut tak lagi menjadi persoalan besar di bangsa ini. Eco-labeling le[ada Lapindo tersebut menunjukkan keberpihakan Pemerintah RI terutama Kementrian KLH terhadap korporasi pelaku kejahatan lingkungan dan kemanusiaan.

    Undang-undang Perseroan Terbatas sebenarnya masih absurd dalam mengemas Corporate Environmental and Social Responsibility. Sejauh apa suatu perusahaan dinilai menghormati lingkungan hidup belum ada stadarisasinya. Meskipun absurd, sesuatu yang mutlak terlihat jelas bahwa suatu perusahaan tidak comply terhadap lingkungan hidup adalah jika aktivitas perusahaan itu telah jelas mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Terlebih bila disambungkan dengan tiga elemen CSR  yang dikenal di dunia internasioanl yaitu people, planet, profit (masyarakat, planet, dan keuntungan). Suatu perusahaan dalam mencari keuntungan wajib memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan planet ini.

    Di tengah kerancuan indikator perusahaan comply atau tidak terhadap lingkungan hidup, pemerintah dapat sewenang-wenang menyematkan predikat hijau dan biru terhadap perusahaan yang nyata-nyata mengakibatkan ecocide, seperti halnya yang diterima Lapindo. Menurut penemuan BPK-RI dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Lapindo terbukti lalai dalam pengeboran hingga menyebabkan menyemburnya Lumpur Panas yang mengandung gas mudah terbakar di sumur Banjar Panji-1 yang kini telah merendam habis 12 desa di Sidoarjo. Semburan Lumpur ini mengakibatkan sedikitnya 60 ribu orang mengungsi karena ekosistemnya dimusnahkan. Menurut penelitian berapa ahli, Lumpur ini mengandung logam berat seperti Cadmium, Chromium, Arsen, dan Merkuri yang kadarnya diatas baku mutu yang dipersyaratkan. Tidak hnya itu, Lumpur ini juga mengandung mikrobiologi yang bersifat patogen seperti coliform, salmonella, dan staphylococcus aureus.

    Coliform ini adalah bakteri yang banyak ditemui di feses binatang berdarah panas seperti reptiliaColiform tidak menyebabkan penyakit tapi adanya coliform ini menjadi indicator adanya organisme yang membawa penyakit atau patogen. Sedangkan Salmonella adalah mikrobiologi yang menyebabkan typhoid fever, paratyphoid fever, dan foodborne illness/food poisoning. Staphylococcus aureus, adalah mikrobiologi yang menyebabkan penyakit golden step yang dapat mengakibatkan radang selaput otak (meningitis), Pneumonia, toxic shock syndrome (TSS) dan septicemia.

    Lebih buruk lagi, akhir-akhir ini baru diketahui bahwa lumpur ini mengandung Polyciclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) 2000 kali ambang batas normal. PAH ini adalah senyawa kimia yang terbentuk proses pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil di areal pengeboran. PAH merupakan senyawa yang berbahaya karena ia selain karsinogenik dan mutagenik, ia juga teratogenikIa tidak langsung menyebakan tumor atau kangker secara lansung, namun PAH akan berubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan berpotensi tinggi akan resiko tumor dan kangker. Mengerikannya, PAH dapat berpindah dari media apapun. Tidak hanya dari udara yang dihirup, namun dari pori-pori kulit dan lubang tubuh. Menginjak tanah yang terkontaminasi PAH (akibat terkena udara yang mengandung PAH), serta mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi PAH dapat mengakibatkan PAH masuk ke tubuh manusia.

    Dampak dari PAH di tubuh manusia ini baru dapat terlihat setelah PAH terakumulasi dalam tubuh, antara lain dapat menyebabkan kangker permasalahan reproduksi, dan membahayakan organ dalam dan kulit. Di Pasar Porong, beberapa orang telah teridentifikasi memiliki benjolan-benjolan di sekitar leher, payudara dan punggung. Menurut data di RSUD Sidoarjo, beberapa korban telah meninggal dunia dan teridentifikasi flek di paru-paru mereka, bahkan di korban yang diketahui selama hidupnya bukan perokok aktif. Saat ini masih ada ratusan ribu warga Sidoarjo yang menghirup udara yang terkontaminasi dan berbau busuk, mengkonsumsi air yang terkontaminasi PAH, hidup tanpa peringatan dari perusahaan.

    Setelah kerusakan lingkungan dan sosial akut yang ditimbulkan oleh perusahaan ini, penyematan predikat biru kepada Lapindo merupakan bentuk kongkret pemerintah menutup mata atas perbuatan Lapindo. Predikat biru ini merupakan bukti adanya konspirasi antara lapindo dengan pemerintah dan menempatkan posisinya diametral dengan rakyat. Penyematan ini dikemas dalam sebuah perhelatan mewah yang memakan dana sekitar 3 milyar rupiah. Tidak ada transparansi dalam penentuan indikator menghormati lingkungan, apalagi adanya partisipasi masyarakat sekitar areal aktivitas perusahaan untuk memberikan penilaian apakah perusahaan itu comply terhadap lingkungan dan sosial atau tidak.

    Uang triliunan yang telah dikeluarkan oleh Lapindo untuk upaya menanggulangi dampak semburan (yang pada kenyataannya tidak tuntas), tidak bisa dikategorikan sebagai bentuk CSR, karena uang tersebut adalah kewajiban lapindo yang lahir akibat perbuatannya merusak lingkungan. Berbeda dengan konsep awal CSR yang merupakan filatropi korporasi atau karitatif. Uang tersebut bukanlah bantuan bencana alam seperti halnya banyak bantuan perusahaan untuk korban gempa, namun merupakan kewajiban perusahaan karena telah memusnahkan suatu ekosistem tanpa ampun.

    Sangat tidak tepat adanya apabila pemerintah menyematkan predikat biru plus kepada lapindo yang tidak hanya melakukan pemusnahkan ekosistem (ecocide), namun juga tidak bertanggung jawab atas restitusinya, mengingat sebagian besar dana penanggulangannya dibebankan kepada APBN. Pemerintah yang harusnya melindungi rakyat karena posisi timpang antara korporasi dan rakyat, justru menambah kekuatan gigantika korporasi. Begitulah apabila kehormatan menteri KLH telah dibeli dengan uang panas Lapindo.

    DINA SAVALUNA

  • Pilkada Jatim, Lumpur Lapindo dan Kemandekan Ekonomi

    Pilkada Jatim, Lumpur Lapindo dan Kemandekan Ekonomi

    Lumpur Lapindo merupakan salah satu penentu pertumbuhan ekonomi Jatim. Dampak lumpur, Jatim kehilangan potensi tumbuh sekitar 1 persen dari 20.000-30.000 kendaraan yang biasa melewati jalur antara Surabaya dan Malang serta kota-kota lain. Potensi kehilangan selama setahun sebesar Rp 170 triliun sepanjang 2007-2008.

    Dengan sikap dan motivasi yang realistis, mengatasi permasalahan itu adalah keberanian menaruh kepemimpinan yang berani, peduli, dan bisa menaklukkan arogansi pusat. Pembagian kewenangan timpang, tetapi pembagian penderitaan selalu ada di Jatim. Pajak yang ditarik seharusnya bisa dialokasikan untuk rehabilitasi akses dan infrastruktur ekonomi yang rusak dan mandek akibat lumpur Lapindo.

    Ada lima hal utama yang harus segera dipulihkan, yakni jalan akses (tol dan jalan negara) sepanjang 20-30 km antara Porong-Gempol, relokasi jalur pipa gas, jalur pipa air minum, jembatan Kali Porong, dan jalur kereta api.

    Namun, beda pandangan tentang kewenangan menjadikan ketidakjelasan siapa sebenarnya yang punya wewenang menyelesaikan problem itu. Korban dari pemimpin yang ragu dan tidak kompeten itu menyebabkan proses pengambilan keputusan selalu mengambang.

    Kalau dilakukan polling, tentu semua minta segera saja Pemerintah Provinsi Jatim menindaklanjuti masalah tersebut sebagai program emergency. Kalau perlu dengan meyakinkan pebisnis dan masyarakat mencari dana Rp 2 triliun-Rp 3 triliun untuk mengatasi persoalan itu karena dua tahun berlalu, kita telah kehilangan kesempatan ratusan kali lipat.

    Tingginya angka pengangguran dan sekaligus potensi makin banyak industri yang gagal tumbuh seharusnya menjadi pertimbangan utama. Ada penambahan biaya dan kehilangan waktu yang sangat berarti untuk jalur transportasi antara Surabaya dan wilayah selatan dan timur Jatim, membuat 30 persen ekonomi Jatim stagnan.

    Di sektor transportasi, misalnya, lebih dari 50 persen perusahaan bus berhenti operasi, lebih dari 30 persen angkutan barang tidak berjalan, dan lebih dari 25 persen angkutan kereta api berkurang. Sebab, setiap kontainer harus menambah Rp 1 juta untuk melewati Porong-Gempol karena mata rantai hambatan dan pungutan, serta akibat terlambatnya masuk ke pelabuhan.

    Untuk itu, Jatim perlu menaikkan daya negosiasinya. Posisi tawar yang win-win solution seharusnya memberikan kewenangan untuk segera mengatasi infrastruktur bisnis.

    Operasionalisasi jalur penerbangan Surabaya-Malang harus segera dibuka, begitu juga pembenahan kereta api. Harus ada jaminan aman agar transportasi barang dan penumpang lancar. Jalan tol juga harus segera dimulai, termasuk pula jalur pipa gas. Mengaktifkan kembali angkutan laut dari dan ke Pasuruan–, Probolinggo, –Surabaya akan menjadi pilihan sementara.

    Memulihkan hak ekonomi sosial budaya dari 30.000 warga korban lumpur ditambah hak ekonomi dari 500.000 orang lainnya menjadi begitu berarti untuk mengurangi tekanan ekonomi.

    KRESNAYANA YAHYA Pengamat Statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

  • Lapindo vs Rakyat vs Negara

    Kini lumpur Lapindo memasuki babakan baru. Nasib rakyat dipertaruhkan. Juga uang negara. Jika kasus itu dikategorikan bencana alam, triliunan rupiah uang rakyat yang dikutip negara akan dikorbankan. Nuansa itu yang semakin kental dalam penanganan perkara ‘Kota Neraka’ Sidoarjo. Benarkah begitu?

    Hari-hari ini rakyat korban lumpur Lapindo keleleran di berbagai tempat di Jakarta. Mereka menderita dan terus berjuang menuntut haknya. Sisi lain, kasus pidananya masih menggantung. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus ini bolak-balik dari Polda Jatim ke Kejaksaan Tinggi dan kembali lagi ke Polda. Itu, katanya, karena kurang alat bukti.

    Dua tahun sudah kasus ini mengambang. Musibah itu terjadi semula diindikasikan karena efisiensi yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. Pengeboran yang dilakukan tanpa cassing. Lapisan bumi penutup lumpur terkuak, tekanannya merekahkan tanah, menyemburkan lumpur yang belum diketahui berapa juta atau miliar meter kubik kandungannya.

    Namun indikator itu akhir-akhir ini dimentahkan. 12 pakar yang dilibatkan pendapatnya terpecah. Tiga pakar menyebut lumpur itu akibat human error. Sedang sisanya mengatakan meluapnya lumpur itu adalah bencana alam. Alam yang salah. Mengirim lumpur mencelakakan manusia.

    Itu yang menjadi alasan pihak Kejaksaan akan mempelajari ‘Black Box’. Kesaksian warga yang terkena musibah, serta ahli pengeboran. Namun yang perlu dikritisi, pendapat warga yang mana. Dan juga para ahli pengeboran yang berafiliasi kemana. Sebab perkara ini dalam proses waktu sudah ‘terkonversikan’ dengan uang. Nuansa kasusnya menjadi sangat ekonomis dan politis. Jika pihak Kejaksaan tidak jeli, maka kasus Lapindo ini bisa kian memperburuk citra institusi ini.

    Mengapa musibah dipertalikan dengan uang? Itu tak terhindarkan dalam perkara lumpur Lapindo ini. Contoh sederhana yang sudah bisa dirasakan semuanya, lihatlah media yang memberitakan miring kasus ini selalu happy ending dengan iklan. Simak musibah bulan kemarin ketika tiga orang terbakar gara-gara merokok di daerah yang udaranya sudah dipenuhi gas itu, tidak satu pun media memberitakan. Masuklah Pilkada Jawa Timur, maka ada aroma Lapindo di sana. Serta tanyalah dinding resto Shangrilla Hotel di Jl Mayjen Soengkono, mereka akan banyak cerita nego soal-soal yang berbau lumpur. Jadi jangan kaget jika kecurigaan sejenis juga ditujukan pada polisi dan kejaksaan.

    Mengapa lumpur Lapindo dicurigai kental dengan aliran uang? Itu tidak sulit diraba. Musibah ini bagi sebuah perusahaan ibarat pembuatan water treatment. Wajib dibangun dengan dana besar, tapi kurang produktif bagi pandangan dunia usaha. Akibatnya banyak yang mensiasati dengan menyuap pejabat korup. Itu pula kenapa pencemaran akut tidak terelakkan.

    Dalam kasus lumpur Lapindo hampir sama. Di dalamnya ‘teronggok’ uang bertriliun-triliunan rupiah. Celakanya uang itu masuk kategori tidak produktif, karena untuk dibayarkan pada korban lumpur. Baik untuk ganti rugi lahan persawahan, pemukiman penduduk, serta berbagai pabrik yang terendam lumpur.

    Uang itu darimana? Bisa dari kocek Lapindo Brantas Inc atau dari pemerintah. Lapindo harus mengeluarkan uang itu jika kelak divonis salah dalam pengeboran. Atau pemerintah yang harus mengkafer itu kalau kasus lumpur ini dinyatakan sebagai bencana alam. Tidak mengherankan kalau berbagai aksi dan mungkin juga kesaksian yang mengarahkan kasus itu sebagai bencana alam selalu dituding sebagai langkah menuju ‘pengalihan’ tanggungjawab Lapindo.

    Jika kondisinya seperti itu, bisa dimaklumi jika berbagai pihak sekarang asyik ‘bermain’. Perkara yang semula terang itu jadi mentah. Itu karena skenario besar sedang menggelinding. Padahal pengeboran tanpa dicassing jelas-jelas sebuah kesalahan. Penahan lapisan lumpur itu terkuak, dan tekanannya melesak kemana-mana. Kendati semburan itu tidak persis di pengeboran yang dilakukan Lapindo.

    Namun sebelum semuanya terjadi, yakinlah, rakyat dan negara akan ‘dikorbankan’. Lumpur yang sudah menyembur dua tahun itu bakal divonis sebagai bencana alam. Dengan begitu rakyat yang terkena musibah akan ditangani negara. Uang negara yang dipungut dari rakyat itu akan dijadikan ‘pampasan perang’  untuk mengatasi itu.

    Tanda-tanda menuju ke sana sudah semakin benderang. Tiga gelintir pakar yang tidak kompromi itu naga-naganya ke depan bakal ikut mengamini suara mayoritas. Adakah Kejaksaan dan polisi bisa dijadikan pegangan untuk secara adil menangani kasus ini? Harapan rakyat dan negara memang tinggal itu.

    Djoko Su’ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

    © DetikNews

  • Gubernur, Lapindo, dan Reformasi Birokrasi

    Di luar soal kebutuhan dasar hidup (pangan, sandang, dan papan), pengangguran, kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan, isu lain yang menonjol di Jawa Timur adalah masalah lingkungan (lumpur Lapindo) dan reformasi birokrasi.

    Tema terakhir inilah yang begitu diharapkan oleh publik saat mendengarkan program dan janji-janji yang diucapkan oleh calon gubernur/calon wakil gubernur Jatim. Sayang, tidak satu pun cagub/cawagub yang menjawab secara eksplisit terhadap dua hal itu sehingga konstituen umumnya tidak puas terhadap program yang ditawarkan.

    Memang ada satu cagub/cawagub yang relatif memiliki keberpihakan terhadap persoalan Lapindo ini, namun program itu tidak disebarkan secara ekstensif pada masa kampanye, tetapi baru diuraikan dalam debat publik terakhir (19/7/2008) yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional. Dari segi substansi, sebetulnya faktor apa yang membuat dua soal itu begitu penting di Jatim?

    Perangkap Lapindo

    Pada 2006, Bank Dunia memublikasikan kekayaan seluruh negara di dunia dengan memasukkan tiga variabel, yakni modal alam, modal tak berwujud (intangible), dan modal ciptaan. Hasilnya, umumnya negara-negara yang memiliki modal alam besar justru total kekayaannya sangat rendah.

    Indonesia, yang memiliki karakteristik seperti itu, total kekayannya (per kapita) jauh di bawah Singapura, Korea, Thailand, Malaysia, dan Filipina (Bank Dunia, 2006). Dalam hal ini, Indonesia hanya sedikit lebih baik ketimbang China. Di internal Indonesia sendiri, kasusnya juga mirip, di mana wilayah (provinsi) yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) justru terperosok menjadi provinsi miskin.

    Jawa Timur juga tidak terlepas dari kisah itu, di mana kekayaan SDA yang dipunyai justru membuat wilayah ini terbelakang dari banyak aspek. Misalnya, pendapatan/kapita Jatim di bawah pendapatan/kapita nasional dan persentase penduduk miskinnya jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional.

    Dalam bingkai seperti itulah persoalan lingkungan menjadi penting dalam konteks pembangunan ekonomi. Di Jatim, soal lingkungan yang terbesar sebetulnya bukanlah kasus Lapindo, melainkan kian habisnya hutan dan jumlah lahan kritis yang terus membesar.

    Tercatat, sekarang hutan lindung di Jatim lebih dari 50% kawasannya dalam kondisi kritis, misalnya Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Meru Betiri, Kawah Ijen, Pegunungan Hyang-Argopuro, Taman Nasional Baluran, Kawaswan Gunung Tarub, dan Bromo Tengger Semeru. Sedangkan total lahan kritis di Jatim tidak kurang dari 1 juta ha, di mana jumlah ini setara dengan luas lahan sawah di Jatim.

    Masalah inilah yang sebetulnya menjadi pemicu bencana banjir dan kekeringan di Jatim. Namun, eskalasi masalah ini berada di bawah kasus Lapindo akibat letaknya yang tidak berada di pusat kegiatan ekonomi dan “tidak terdapat” korporasi besar di balik kerusakan lingkungan itu.

    Pada titik inilah kemudian kasus Lapindo menjadi “seksi” karena mempertemukan banyak kepentingan. Tawaran program yang dibutuhkan dari soal ini sebetulnya hanya dua hal. Pertama, kejelasan dari cagub/cawagub untuk menempatkan kasus itu sebagai masalah bencana (alam) atau malpraktik korporasi. Pemilihan sikap terhadap penyebab masalah tersebut akan berimplikasi luas terhadap kepentingan yang lebih besar.

    Kedua, bagaimanakah mendudukkan posisi korban (penduduk) yang secara langsung terkena dampak lumpur Lapindo. Tentu saja ekspektasi korban bukan hanya “ganti rugi” yang diharapkan, tetapi “ganti untung” (materi dan non-materi) karena implikasi kasus itu sangat besar.

    Sayang, memang tidak mudah mengambil sikap dalam kasus ini karena sebagian kewenangan bukan di tangan provinsi, sehingga bisa dipahami bila cagub/cawagub tidak bersikap eksplisit. Namun, setidaknya untuk poin yang kedua sikap itu seharusnya dapat ditunjukkan.

    Pembelahan Birokrasi

    Hampir bisa disepakati bahwa sebagian besar kegagalan implementasi pembangunan bukan akibat kelangkaan konsep kebijakan, melainkan kegagapan birokrasi untuk mengawal kebijakan tersebut. Di luar masalah sistem rekruitmen yang kacau dan political interest yang tinggi, di tubuh birokrasi juga tersembul patologi model patron yang sangat kuat.

    Implikasinya, setiap kebijakan yang disorong oleh satu kelompok tertentu dapat dipastikan akan dijegal oleh kelompok yang lain. Tidak bisa dihindari, hal yang sama juga terjadi dalam birokrasi di Jatim, bahkan dapat disaksikan secara kasat mata.

    Pembelahan kepentingan antarkelompok birokrasi tersebut sudah sangat menyedihkan sehingga kebutuhan reformasi bukan sekadar mendesain ulang sistemnya, tetapi juga mendisiplinkan perilaku aktor-aktor yang berada di dalamnya. Tentu saja ini bukan hanya membutuhkan komitmen dari pemimpinnya, tetapi memastikan pemimpin itu bukan bagian dari kelompok kepentingan.

    Keberhasilan reformasi birokrasi, seperti di Lamongan (Provinsi Jatim), Sragen dan Kebumen (Provinsi Jateng), Jembrana (Provinsi Bali), dan Provinsi Gorontalo, merupakan contoh telanjang yang menerangkan bahwa reformasi birokrasi juga butuh jarak antara pemimpin dan masalahnya (bukan sekadar sistem), sehingga sensitivitas dan kredibilitas terus terjaga.

    Poin-poin itu yang mestinya dapat dieksplorasi secara mendalam dalam debat cagub/cawagub, sekaligus diusung dalam platform tertulis, sehingga memudahkan pemilih (khususnya pemilih terdidik) dalam menentukan sikap dukungan terhadap cagub/cawagub. Tetapi, lepas dari itu semua, ajang pilgub langsung pertama di Jatim telah memberikan banyak pembelajaran bagi khalayak, termasuk jenis kampanye yang membodohi publik.

    Selamat memilih, Jatim!

    Ahmad Erani Yustika PhD, ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, Pascasarjana Fakultas Ekonomi – Universitas Brawijaya

  • Lapindo, Davies, dan Tingay

    Kasus semburan lumpur Lapindo kini menghangat lagi. Polisi akan meminta keterangan para ahli untuk membaca laporan pengeboran sumur Banjar Panji I milik PT Lapindo Brantas yang menyemburkan lumpur panas tersebut. Direktur Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Jawa Timur Komisaris Besar Rusli Nasution menyatakan dua ahli baru dimintai keterangan bulan depan (Koran Tempo, 28 Juli 2008). Siapa dua ahli itu? Kita tunggu saja.

    Yang jelas, perkembangan kasus Lapindo makin hangat lagi setelah sekian lama redup. Pekan lalu, misalnya, masyarakat Indonesia seakan kembali tersedak ketika Dr Mark Tingay dari Curtin University, Australia, menyatakan bahwa semburan lumpur Sidoarjo terjadi karena kesalahan manusia.

    Kesimpulan dari berbagai kajian ilmiah yang dilakukan tim Curtin University, menurut Tingay, menunjukkan bahwa semburan lumpur itu bukan akibat gempa bumi Yogya. Alasannya, gempa Yogya yang berkekuatan 6,3 skala Richter ketika sampai di Sidoarjo getarannya hanya tinggal 2 skala Richter. Kekuatan getaran 2 skala Richter sama dengan gelombang kecil di pinggir kolam. Tak akan bisa memicu perubahan struktur geologis yang menyebabkan munculnya semburan lumpur dari perut bumi Sidoarjo (Koran Jakarta, 24, 25, dan 26 Juli 2008).

    Sebelumnya, Richard J. Davies, pakar geologi Inggris, juga mengumumkan hasil penelitiannya tentang penyebab munculnya semburan lumpur panas tersebut. Dengan dedikasi ilmiahnya yang meyakinkan, Davies, ahli geologi dari Department of Earth Science, University of Durham, Inggris, menyatakan bahwa munculnya semburan lumpur panas Sidoarjo bukanlah peristiwa alami, melainkan lebih diakibatkan oleh kesalahan manusia dalam melakukan pengeboran migas.

    Davies dalam makalahnya yang dimuat dalam jurnal Earth Planetary Science and Letters edisi terbaru berjudul “Birth of Mud Volcano: East Java”, 29 Mei 2006, mengungkapkan kesimpulannya yang diterjemahkan secara bebas sebagai berikut: Lusi (lumpur Sidoarjo) muncul karena adanya tekanan tinggi pada kedalaman 2,5-2,8 kilometer pengeboran migas terbuka, sehingga menimbulkan pecahan pada batu-batuan (lapisan bumi). Lusi menunjukkan bahwa gunung lumpur itu muncul akibat adanya retakan-retakan pada lapisan-lapisan tanah di kedalaman berkilo-kilometer, sehingga menyebabkan air dari lapisan yang amat dalam keluar dan bercampur lumpur pada lapisan-lapisan bumi di atasnya.

    Dengan melihat aktivitas semburan lumpur yang telah berlangsung 173 hari (kini 660 hari–Red), kami yakin semburan tersebut akan terus aktif dalam beberapa bulan, bahkan beberapa tahun ke depan. Permukaan tanah di daerah yang terletak beberapa kilometer dari semburan lumpur akan mengalami penurunan (subsidence) dalam beberapa bulan ke depan, dan penurunannya makin parah di daerah yang berdekatan dengan pusat semburan. Dengan membuat model dan pengukuran amblesnya permukaan tanah, akan bisa diprediksi sejauh mana dampak gunung lumpur tersebut terhadap penduduk lokal.

    Sebetulnya, apa yang disimpulkan Mark Tingay dan Davies hampir sama dengan apa yang disimpulkan Prof Dr Rudi Rubiandini, Guru Besar Geologi ITB, dan Dr Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Davies dan Tingay, dengan tradisi ilmiahnya yang ketat, baru menyimpulkan setelah melakukan serangkaian studi dan analisis yang panjang dan teliti, baik di lapangan maupun literatur. Makalah Davies bisa dimuat di jurnal geologi terkemuka dunia tersebut setelah tim redaksi jurnal yang terdiri atas para pakar geologi Universitas Durham melakukan kajian mendalam.

    Tentu saja, kesimpulan Tingay, Davies, dan sejumlah pakar ITB tidak akan bisa diterima oleh pihak Lapindo Brantas. “Siapa pun bisa membuat interpretasi atau pendapat atas terjadinya semburan lumpur tersebut,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat PT Lapindo Yuniwati Teryana saat dimintai tanggapan atas kesimpulan Davies. Yuniwati menjelaskan bahwa Lapindo telah melakukan kajian dengan para ahli.

    Kesimpulannya menyebutkan: pengeboran yang dilakukan sudah sesuai dengan standar pengeboran yang berlaku secara nasional maupun internasional. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang dikenal dekat dengan Aburizal Bakrie, pemilik Lapindo Brantas, menyatakan bahwa laporan hasil penelitian pihak asing tidak bisa mempengaruhi keputusan pemerintah. Pemerintah telah menetapkan semburan lumpur Sidoarjo sebagai bencana nasional, dan karena itu ganti rugi masyarakat yang terkena dampak diambil dari APBN.

    Sungguh mengherankan bila cara berpikir wakil presiden negeri sebesar Indonesia sama dengan Kepala Divisi Humas Lapindo. Padahal, faktanya, bila pengeboran sudah sesuai dengan standard operasi, kenapa ada operator pengeboran yang disalahkan dan dijadikan tersangka oleh kepolisian? Dan publik sejak awal sudah mengetahui dari pendapat para ahli perminyakan bahwa blow out (semburan lumpur tersebut) terjadi karena pada pengeboran di sumur Banjar Panji-1, khususnya pada kedalaman 4.000 feet ke atas, Lapindo “sengaja” tidak digunakan casing (selubung). Akibatnya, ketika ada tekanan tinggi dari dalam yang menimbulkan semburan tersebut, operator Lapindo tidak bisa mengatasinya. Dan akibatnya terjadilah semburan lumpur yang hingga kini sudah berlangsung dua tahun lebih itu. Bagaimana mekanisme munculnya semburan lumpur akibat tiadanya casing tersebut, Tingay, Davies, Rudi, dan Andang mempunyai penjelasan yang nyaris sama.

    Memang benar, pihak Lapindo berkukuh pada pendapat bahwa semburan lumpur itu muncul akibat pengaruh gempa bumi di Yogyakarta, dua hari sebelumnya. BPPT dan LIPI secara institusi agaknya pro terhadap pendapat terakhir ini. Meski demikian, sejumlah ilmuwan independen, termasuk para pakar geologi dari ITB dan BPPT sendiri, menolak pendapat tersebut. Bahkan seorang pakar geologi dari IAGI menuduh ilmuwan BPPT dan LIPI yang berpendapat bahwa semburan lumpur itu akibat pengaruh gempa bumi di Yogya sudah terkooptasi oleh pemilik Lapindo, yang notabene Menteri Koordinator Kesra Aburizal Bakrie.

    Lantas, mana yang benar? Sampai saat ini pengadilan belum memutuskan siapa yang salah, Lapindo atau gempa bumi. Namun, meski belum ada keputusan pasti siapa yang salah, peraturan presiden yang terkait dengan Lapindo sejak awal menyiratkan bahwa semburan lumpur itu akibat gempa bumi. Dan pemerintah sudah memutuskan bahwa kasus semburan lumpur Sidoarjo adalah bencana alam, sama dengan gempa bumi Yogya. Karena bencana alam, pemerintah yang menanggung segala kerugian akibat semburan lumpur itu dengan dana APBN. Tragis memang, uang rakyat dipakai untuk menanggung kerugian yang amat besar akibat ulah Lapindo. Padahal sebagian besar rakyat Indonesia sangat miskin dan hidupnya sangat menderita.

    Wahyudin Munawir, alumnus Geofisika ITB, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, penulis buku Lapindo Gate

  • Yo opo rek, Pejabat Ngelucu

    Para pelawak sudah tak lucu lagi. Padahal rakyat masih butuh hiburan. Bayangkan, harga bensin naik, listrik byar-pet melulu, para pejabat hobi menilep duit rakyat, jaksa suka main mata dengan makelar suap, dan sebagainya–bagaimana mungkin semua itu tidak membikin kepala dan perasaan rakyat jadi spaning?

    Karena para juru hibur profesional sudah kehilangan jurus melucu, posisi itu pun diambil alih pemerintah. Kali ini kementerian lingkungan hidup yang membikin rakyat ngakak. Kantor itu baru saja menobatkan PT Lapindo Brantas sebagai salah satu perusahaan yang mengelola lingkungan dengan baik. Ha-ha-ha!

    Pancen wis wolak-waliking jaman,” celetuk kawan saya. Kata dia, lha wong semburan lumpur Lapindo telah membikin enam desa kelelep, 10 ribu rumah ambles, dan menyebabkan ribuan penghuninya jadi pengungsi, kok dianggap mengelola lingkungan hidup dengan baik? “Lelucon wagu!” sumpah serapahnya.

    Saya bilang kepadanya, yang dinilai baik itu adalah anak perusahaan Lapindo Brantas yang memproduksi gas, bukan Lapindo yang mengebor itu. Kawan saya malah melotot, “Apa bedanya? Kan pemiliknya sama. Logikamu itu sama saja dengan perumpamaan yang menyebut aku orang dermawan karena tangan kananku suka sedekah, padahal tangan kiriku aktif nilep duit sana-sini–persis para anggota parlemen itu!”

    Lalu ia berceramah. Jargon-jargon pro-lingkungan yang dikoarkan pemerintah selama ini, kata dia, hanya omong kosong. Gerakan penanaman sejuta pohon yang dulu di-blow-up media hanyalah pertunjukan teater sesaat. “Tetapi ketika kekuatan modal yang bicara, lenyaplah semua itu,” ia mengakhiri orasinya.

    Tampaknya ia benar-benar murka. Saya kira ia akan semakin muntap jika melihat kasus di Kulon Progo, Yogyakarta, saat ini. Di sana, para pemodal tengah berusaha mereklamasi pantai Kulon Progo untuk menambang bijih besi. Itu artinya, akan melenyapkan hampir 3.000 hektare lahan dan gumuk pasir yang dikelola warga. Padahal di sana tumbuh subur tanaman cabai, semangka, jeruk, sawi, terung, kentang, juga padi yang telah menghidupi belasan ribu jiwa di empat kecamatan. Sedangkan gumuk pasir melindungi mereka dari ancaman tsunami.

    Penambangan itu tinggal menunggu lampu hijau saja dari Pak Presiden. Saya berdebar menanti: apakah akan ada lawakan besar lain di Kulon Progo? Dan apakah rakyat akan tertawa oleh lawakan itu?

    Tulus Wijanarko Wartawan Tempo

    © Koran Tempo

  • Refleksi Hari Anak Nasional 23 Juli 2008

    Oleh Roostien Ilyas (Ketua Panitia Hari Anak Nasional 2008, aktif di Gerakan Menutup Lumpur Lapindo [GMLL])

    Sayang, anak-anak Indonesia belum semua bisa tertawa gembira dan hidup dengan penuh harapan. Sebagian di antara mereka hidup dalam suasana muram, penuh tekanan, kehilangan kasih sayang, bahkan terancam masa depannya. Mereka adalah anak-anak korban Lapindo. Ribuan anak-anak mengalami tingkat depresi mengerikan akibat semburan lumpur.

    Tanda-tanda depresi itu dapat dilihat dari cara bicara anak umur empat tahun yang sudah fasih meniru orang dewasa. Selain itu, mereka berbicara sangat kasar kepada orang tua dan orang yang lebih tua usianya. Cara mereka becanda juga sangat kasar. Alur hidupnya tidak terkontrol. Jika dibiarkan, mereka pasti akan menjadi lost generation.

    Pada 2007, ketika penulis mengawali pendirian Trauma Center bagi anak korban Lapindo, kondisi mereka sangat memprihatinkan. Anak-anak yang seharusnya berhak bermain dan belajar itu telantar bersama hilangnya tempat tinggal.

    Suasana penuh kemarahan dari lingkungan di pengungsian telah mengganggu psikologis mereka. Sehari-hari yang terdengar hanya sumpah serapah dari warga yang marah dan kecewa. Belum lagi mereka sering dengan mudah menyaksikan orang tua melakukan hubungan suami-istri.

    Ketika datang bermain di Trauma Center, bisa terlihat dari raut wajah dan tatapan anak-anak itu bahwa perhatian mereka terpecah. Di balik keceriaan khas kanak-kanak, mereka sebenarnya menyimpan trauma, ketakutan, dendam, dan rasa putus asa akibat luapan lumpur Lapindo.

    Yang paling berbahaya adalah mulai munculnya rasa kebencian di pikiran bawah sadar mereka. Kebencian terhadap suatu golongan, dendam terhadap status sosial yang berbeda (yang tidak terkena bencana), dan orang-orang kaya. Sebab, dalam penangkapan mereka, orang-orang kayalah yang menyebabkan mereka hidup menderita.

    Depresi itu terjadi karena situasi ketidakpastian. Baik itu ketidakpastian berhentinya semburan lumpur maupun ketidakpastian penanganan terhadap mereka. Dari pengalaman penulis mendampingi anak-anak di pengungsian Sidoarjo, tidak ada tindakan dari pihak Lapindo Brantas atau pemerintah memedulikan nasib mereka. Dengan kata lain, tampak nyata terjadi pembiaran terhadap penderitaan yang mereka alami.

    Keadaan mengajarkan kepada mereka bahwa kemarahan, sumpah serapah, bahkan kekerasan adalah sesuatu yang wajar. Orang tua mereka yang putus asa dan marah tidak perlu menceritakan apa yang terjadi. Dengan sendirinya, anak-anak menyerap situasi anomali itu ke dalam perilaku dan kebiasaan mereka. Karena itu, tidak heran jika keyakinan mereka terhadap keberadaan Tuhan juga tererosi bersama tenggelamnya rumah mereka. Mulut mereka memang masih bisa diajak berdoa, namun tampak itu dilakukan dengan setengah hati.

    Dalam kondisi yang serbasulit, moralitas seolah menjadi standar yang tidak layak diterapkan. Munculnya prostitusi anak, bahkan mungkin trafficking anak di mata orang tua korban Lapindo, bisa saja terpaksa dianggap solusi bagi defisit finansial mereka.

    Tak Membuka Mata

    Toh tetap saja ironi itu tidak membuka mata para pengambil kebijakan. Bukan saja ketidakjelasan kapan luapan akan dihentikan, recovery atas fisik dan psikis korban juga tidak ada dalam agenda pemerintah atau pihak Lapindo. Padahal, anak-anak dan juga perempuan adalah pihak yang paling rentan dalam hal itu. Mereka rapuh secara fisik dan sosial. Dampak dari ”kejahatan kemanusiaan” dalam bentuk pembiaran dan pengabaian oleh negara, antara lain, hilangnya hak hidup, hak tumbuh kembang, hak dilindungi, dan hak partisipasi pendidikan.

    Ketakutan mereka terhadap lumpur panas telah mengendap menjadi masalah psikologis yang akan mereka bawa seumur hidup. Dan, reaksinya mungkin baru terlihat 5-10 tahun mendatang, saat mereka dewasa dan menggantikan generasi yang telah menyengsarakannya. Saat ini saja mereka telah bertingkah laku seperti orang dewasa dalam hal penggunaan kata-kata kasar dan guyonan dengan nada sarkastis. Padahal, mereka siswa SD. Selain itu, mereka menjadi malas belajar karena lingkungan sekolah bercampur di tempat-tempat darurat.

    Anak-anak adalah bapak masa depan. Siapa pun yang berbicara tentang masa yang akan datang harus berbicara tentang anak-anak. Jika mereka tumbuh di tengah masyarakat yang sedang mengalami depresi masal, bagaimana wajah bangsa ini pada masa depan?

    Bangsa Indonesia yang, konon, menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, namun ternyata pemerintahnya tidak tergerak ketika harkat kemanusiaan warganya terampas.

    Para pejabat negara seharusnya merasa malu dan meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan. Pemerintah telah lalai terhadap amanat rakyat. Jika tidak mampu menekan Lapindo untuk menutup semburan lumpur, setidaknya negara bisa memaksa untuk mendahulukan penanganan ribuan manusia yang menjadi korban, khususnya anak-anak dan perempuan.

    Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli 2008 ini perlu menjadi momentum yang paling tepat guna membulatkan komitmen kita dalam mengembalikan harapan dan impian anak-anak korban Lapindo yang sudah terendam lumpur. (*)

    Dimuat di Jawa Pos 23 Juli 2008

  • “Cash and Resettlement”, Jalan Sesat

    Subagyo SH, Tim Advokasi Posko Bersama Korban Lumpur Lapindo

    Tampaknya jalan yang ditempuh korban lumpur Lapindo untuk mendapatkan pembayaran jual-beli tanah dan bangunan mereka yang telah terkubur bubur lumpur itu harus penuh liku.

    Kilas balik perjuangan warga korban lumpur Lapindo, saya coba ingatkan kembali. Dahulu, warga korban lumpur terwp-content-wp-content dalam wadah yang secara prinsip terbelah dalam dua aliran. Aliran pertama Warga yang setuju skema Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14/2007) yaitu jalan penyelesaian sosial dengan jual-beli tanah dan rumah warga korban dengan pembayaran 20 persen di muka dan 80 persen sebelum masa kontrak rumah korban berakhir.

    Mereka kini tergabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang konon merupakan mayoritas korban lumpur Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007.

    Aliran kedua, warga yang tidak setuju skema Perpres No. 14/2007, mereka meminta pembayaran strict cash (tunai langsung). Mereka tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagarrekontrak). Tapi seiring jalan, Pagarrekontrak yang bertahan di pengungsian Pasar Porong Baru Sidoarjo itu akhirnya setuju dengan skema Perpres No. 14/2007 setelah ditekan melalui ancaman pemutusan air PDAM, listrik dan penghentian jatah makanan. Pada akhir April 2008 kemarin Pagarekontrak setuju dengan skema pembayaran jual-beli 20:80, tapi meminta jaminan jika ternyata PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) ingkar janji. Namun, terakhir pimpinan mereka (H. Sunarto) tiba-tiba mengambil keputusan menukik tajam: setuju cash & resettlement yang menimbulkan rasan-rasan para pengikutnya yang takut menyatakan ketidaksetujuan mereka.

    Di luar GKLL dan Pagarrekontrak masih ada ribuan korban lain yang berjuang dalam kelompok-kelompok kecil dan para individu. Bahkan di Pasar Porong Baru saya menemukan adabeberapa orang korban yang mendeklarasikan tekadnya,” Sampai kiamatpun saya tak akan menjual tanah dan rumah saya yang telah terendam!” Ternyata di luar itu juga banyak yang belum mau menjual tanah dan rumah mereka yang terkubur lumpur. Mereka kelak akan menggugat ganti rugi kepada Lapindo. Pilihan ini juga harus dihormati.

    Ada juga warga yang berkasnya ‘diblokir’ oknum aparat desa sebab mereka tidak mau menuruti adanya pungutan 25 persen sehingga BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) tidak berani meneruskan prosesnya. Ada juga sengketa perbedaan tafsir jenis tanah yang menurut dokumennya tanah pekarangan tapi menurut kenyataan separoh rumah dan separoh dibuat tempat menamam kangkung (ditafsir sawah).

    Ada pula warga yang resah sebab ada pengurus desa atau kelurahan atau pengurus kelompok warga yang meminta ‘uang jasa’ 0,5 persen. Ada juga sedikit warga yang ‘berbelanja perhiasan dan kendaraan’ setelah memperoleh pembayaran uang muka 20 persen. Dan lain-lain, kisahnya tidak sesederhana yang diberitakan media, tidak semesra apa yang digambarkan oleh iklan-iklan Lapindo di media.

    Jalan tengah?

    Warga kini dibelit masalah baru, yaitu: MLJ tidak lagi tunduk pada skema Perpres No. 14/2007. MLJ tidak mau membayar cash and carry (C&C) sesuai klausul PIJB dan Perpres No. 14/2007. Alasannya, tanah nonsertifikat (Petok D dan Letter C) tidak dapat di-dibuatkan akte jual beli (di-AJB-kan) karena berbenturan dengan aturan UU No. 5/1960 (UUPA).

    Atas dalih tersebut, maka muncullah skema baru di luar PIJB yang telah ditandatangani MLJ dan korban lumpur Lapindo, yaitu: cash and resettlement (C&R). Skema C&R itu disusun dalam Nota Kesepahaman tanggal 25 Juni 2008 antara MLJ, pengurus GKLL, perwakilan warga dan Emha Ainun Nadjib yang dinyatakan dalam nota tersebut sebagai penggagas pendekatan budaya.

    Dalam skema ini, pembayaran uang muka 20 persen yang telah dilakukan MLJ kepada warga dihibahkan kepada penerimanya. Selanjutnya, MLJ hanya mau membayar harga rumah atau bangunan milik warga yang terendam lumpur. Sedangkan tanahnya tidak dibeli, tapi diganti dengan tanah di tempat lain. Inilah yang dianggap sebagai ‘jalan tengah’ sebagai bentukwin win solution.

    Sesungguhnya, ketika Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 14/2007 sudah menjadi ‘jalan tengah’ bagi Lapindo Brantas Inc., (putusan Mahkamah Agung RI No. 24 P/HUM/2007) meski belum tentu jalan adil bagi rakyat Indonesia, sebab rakyat melalui APBN harus menanggung biaya pembangunan infrastruktur serta biaya penyelesaian sosial di luar peta terdampak versi pemerintah. Perpres No. 14/2007 itu sendiri sudah tidak taat dengan prinsip absolute liability dalam pertanggungjawaban usaha hulu migas yang seharusnya diformulasikan dalam kontrak kerjasama usaha hulu migas berdasarkan pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas).

    Ketika mayoritas korban lumpur Lapindo mau menerima skema pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu maka aturan jual-belinya membentur UU No. 5/1960 (lihat pasal 21). Sebab, mayoritas tanah korban lumpur adalah tanah Hak Milik. Sedangkan MLJ selaku perseroan terbatas (PT) bukan merupakan subyek hukum yang boleh memiliki Hak Milik atas tanah. Seharusnya mekanisme formalnya bukan jual-beli tanah, tapi bisa dengan pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi.

    Tapi nasi sudah menjadi bubur. MLJ bertekad berpegang teguh pada Perpres No. 14/2007 (tampak pada catatan tangan di Risalah Pertemuan tanggal 2 Mei 2007 antara Menteri Sosial, BPN, BPLS, MLJ dan perwakilan 4 desa). Tapi kini MLJ mulai ‘membangkang’ Perpres itu, ingkar dengan klausul C&C dalam PIJB yang disusunnya sendiri. Pebruari 2008 lalu, MLJ meminta syarat: “MLJ akan mau meng-AJB-kan tanah-tanah Petok D dan Letter C, asalkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi persetujuan.” Lalu BPN mengeluarkan Surat BPN tanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Lapindo (yang ditandatangani Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Atas tanah) yang menjamin dapatnya dilaksanakan jual-beli terhadap tanah-tanah Petok D, Letter C, gogol dan yasan.

    Sebelumnya, Kepala BPN Sidoarjo juga menjamin akan menerbitkan sertifikat kepada Lapindo jika seluruh tanah warga korban lumpur sudah dibeli (Radar Sidoarjo, 12/4/2007). Menteri Sosial pun pernah mengatakan bahwa Lapindo tidak bisa tidak membayar, karena itu perintah Perpres No. 14/2007 (Kompas, 4/5/2007). Tetapi nyatanya MLJ bisa ‘memaksakan diri’ untuk mengingkari skema Perpres No. 14/2007 dan PIJB yang telah dikonsepnya sendiri. Bagi Lapindo, hukum itu adalah apa saja keinginannya. Negara sepertinya tunduk kepada Lapindo.

    Jalan sesat

    Silahkan para pihak yang menyetujui cara atau skema C&R untuk menganggapnya sebagai jalan tengah. Tetapi bukan berarti para korban lumpur yang ‘terpaksa’ menerima jalan itu telah diperlakukan adil dan pasti. Saya katakan ‘terpaksa’ sebab jika mereka ditanya jawabannya memang terpaksa, daripada tak memperoleh apa-apa. 

    Skema C&R itu secara hukum menjadi ‘jalan sesat’ sebab melawan aturan Perpres No. 14/2007 yang susah payah melanggar UUPA dan ‘terpaksa’ dilegalisasi dengan putusan Mahkamah Agung RI (MA) No. 24 P/HUM/2007. Itulah diskresi hukum yang di tingkat teknis telah disetujui Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga pihak Lapindo telah diberikan jaminan kepastian hukum oleh Presiden, MA dan BPN.

    Tetapi justru hak kepastian hukum para korban lumpur Lapindo dilanggar oleh MLJ seenaknya sendiri. Jika hari ini Lapindo bisa membangkang Perpres No. 14/2007 dan perjanjian (PIJB) yang telah ditandatanginya, apa susahnya baginya untuk kelak mengingkari model-model penyelesaian baru yang sudah terlanjur disetujui dengan ‘keterpaksaan’ warga korban lumpur Lapindo yang tak pernah diberikan pilihan, baik skema C&R dan lain-lainnya yang tak ada payung hukumnya? Bolehkah masyarakat korban lumpur Lapindo juga seenaknya sendiri untuk tidak patuh pada hukum negara?

    Apakah MLJ bisa dijamin tak akan ingkar lagi dan tak akan membuat masalah lagi dengan skema penyelesaian baru yang belum pasti itu? Salahkah para korban yang tidak lagi menaruh kepercayaan kepada MLJ setelah dibohongi?

    Artikel ini tidak memberikan solusi baru, kecuali bahwa seharusnya solusi yang telah disepakati agar dilaksanakan, sebagai cara saling menghormati kedudukan hukum masing-masing pihak. Jika tidak, negara punya wewenang melakukan ‘paksaan pemerintahan’ kepada Lapindo serta MLJ untuk tunduk kepada hukum negara. Jika tidak, berapa kali lagi negara ini dan warga korban lumpur akan diremehkan terus oleh anak-anak kecil dari Grup Bakrie itu?

  • Tentang Ganti Rugi

    Di media massa kerap kali disampaikan bahwa Lapindo sudah mengganti kerugian yang dialami oleh warga akibat semburan lumpur. Sejalan dengan itu, Lapindo melalui PT Minarak Lapindo Jaya membuat dan memasang iklan yang cukup intensif untuk menunjukkan bahwa mereka sudah melaksanakan tanggung jawab kepada warga. Dan segendang sepermainan, BPLS dan pemerintah juga kerap mewartakan bahwa Lapindo sudah membayar ganti rugi.

    Diberitakan pula bahwa warga korban Lapindo setelah dibayar, sekarang kaya raya. Skema pembayaran yang ditetapkan oleh Perpres adalah aset warga dibeli oleh Lapindo. Setelah pembayaran mendapat pembayaran berupa uang, sehingga sekarang kaya raya dan mulai bisa mendapat. Ini ditambah dengan pembandingan bahwa harga yang dibayar oleh Lapindo adalah lebih tinggi dari NJOP.

    Warga yang terus menuntut Lapindo adalah karena mereka mengambil untung dan serakah. Hal ini terkait dengan poin nomor dua diatas, bahwa mestinya setelah dibayarkan ganti ruginya oleh Lapindo, warga seharusnya bersyukur dan berhenti berdemo2. Apalagi dibandingkan dengan korban bencana alam biasa, dimana ganti rugi hanya diberikan senilai 15 juta per keluarga

    Lapindo sudah memberikan semua fasilitas yang diperlukan oleh korban. Dalam berbagai kesempatan, pihak Lapindo selalu mengemukakan bahwa mereka sudah menyediakan semua fasilitas dasar yang diperlukan oleh korban, mulai dari kesehatan, air bersih, pendidikan sampai pada penyediaan makanan untuk korban.

    Lapindo meskipun belum jelas bersalah, sudah mengeluarkan dana miliaran bahkan triliunan rupiah untuk korban. Berlarut-larutnya penyelidikan kasus Lapindo dan ditolaknya dua gugatan class action dari Walhi dan YLBHI kepada Lapindo seringkali dijadikan alasan Lapindo bahwa mereka tidak bersalah. Meskipun mereka tidak bersalah, namun toh Lapindo tetap peduli dan mengeluarkan biaya ratusan milyar bahkan triliunan rupiah lebih.

    Yang pertama perlu diklarifikasi adalah, tidak ada yang namanya ganti rugi. Yang terjadi adalah proses jual-beli aset korban (tanah, sawah dan bangunan). Dan korban disini adalah yang rumahnya masuk dalam peta terdampak, mereka adalah korban langsung.

    Begini analoginya:

    Ada bis yang entah kenapa nyeruduk serombongan pengendara motor. Sebagai bentuk pertanggungjawaban si pengemudi, seharusnya dia membiayai biaya perawatan dan penyembuhan para pengendara, lalu membetulkan kerusakan motornya ke bengkel, dan mungkin memberi sejumlah santunan sebagai ganti rugi atas ketidaknyamanan atau kehilangan waktu yang dialami tiap pengendara. Dan motor tetap dikembalikan kepada si pengendara tho?

    Tetapi alih-alih melakukan semua hal diatas, si pengemudi mobil ini ternyata memilih untuk membeli motor yang ditabrak, dengan harga diatas harga pasar, tanpa mempedulikan luka diderita maupun kerugian yang dialami para pengendara. Dengan uang hasil pembelian itu, korban diharap mampu beli motor lain, juga mengobati sendiri lukanya dan mengganti kerugian lain yang timbul tadi.

    Masalahnya kemudian adalah, terdapat beberapa jenis pengendara. Ada pengendara yang motornya keluaran terbaru, sehingga dihargai cukup mahal, namun ada juga yang motornya sudah butut, sehingga harganya juga murah. Kalau yang motornya baru tadi, mungkin memang akan cukup untuk beli motor baru, dan biaya pengobatan. Nah untuk yang motornya butut, jangan2 hanya untuk biaya pengobatan saja sudah habis duitnya.

    Nah, ada yang lebih celaka lagi nasibya, yaitu adalah mereka yang naik motor pinjaman. Dengan skema tadi, yang dapat duit adalah yang punya motor. Sedangkan dia tidak dapat apa2, dan semakin babak belur karena keluar biaya sendiri untuk pengobatan. Yang untung malah si empunya motor dirumah, yang tidak ikut mengalami kecelakaan.

    Usut punya usut, kabarnya kenapa si penabrak tadi memilih skema ini adalah karena ternyata dia punya bengkel reparasi motor. Sehingga, motor-motor yang ditabrak dan ringsek tadi, nantinya bisa diperbaiki lagi dan dijual sehingga mendatangkan untung. Jadi yang mestinya sekarang dia keluar duit dan merugi karena dia bersalah telah nabrak, malah potensial dapat untung.

    Demikian juga dengan bencana Lapindo ini. Tidak ada itu yang namanya ganti-rugi. Oleh Perpres 14/2007, alih-alih membayar ganti rugi kepada warga, malah diperintahkan membeli sawah, tanah dan bangunan milik warga. Tidak peduli kerugian lain yang mereka alami, baik fisik (seperti kehilangan dan rusaknya perabot dan barang lainnya) maupun non fisik (penderitaan di pengungsian, kehilangan sumber pencaharian maupun pekerjaan, hidup yang tiba-tiba tercerabut dari lingkungan sosial dan budaya yang diakrabinya, dan sebagainya), Lapindo hanya bertanggungjawab membeli aset mereka.

    Masalahnya, tidak semua orang mempunyai aset yang besar, sehingga ganti rugi tersebut hanya akan cukup untuk membeli aset di tempat yang lain. Sedangkan kehilangan barang, hutang yang harus diambil selama mengungsi, kehilangan pekerjaan, biaya pengobatan, tambahan biaya sekolah anak, dan sebagainya tidak dihitung. Apalagi kerugian yang bersifat immaterial.

    Seperti analogi kecelakaan mobil nabrak motor diatas, yang paling merana nasibnya adalah kelompok warga yang tinggal disitu, namun tidak ikut memiliki aset, alias pengontrak atau penyewa. Meskipun mereka sudah bertahun-tahun (beberapa kasus bahkan puluhan tahun) tinggal disitu dan bekerja serta menjadi bagian dari warga, karena bukan pemilik aset, maka dia tidak dapat apa-apa. Yang mendapat pembayaran malah pemilik tanah yang bisa jadi orang dari luar daerah dan tidak mengalami dampak apa2 dari bencana ini.

    Sekali lagi sesuai dengan analogi diatas, ternyata Lapindo tidak benar-benar ’rugi’. Dengan skema jual beli ini, mereka saat ini sudah menguasai tanah seluas hampir 700 ha, secara utuh dalam satu blok, diwilayah yang diperkirakan sangat kaya akan kandungan hidrokarbon. Dan dengan adanya pengembang besar PT Bakrieland Development, Tbk, bukan tidak mungkin bekas wilayah yg sekarang terendam lumpur ini, entah berapa tahun lagi akan disulap jadi kawasan industri atau hunian yang mahal (ingat perkembangan kawasan pantai Indah kapuk di Jakarta atau kawasan Pakuwon di Surabaya?). Jadi, duit yang keluar hari ini anggap saja investasi lahan properti masa depan.

    Dari uraian diatas, bagaimana mungkin Lapindo sudah mengganti rugi korban?